Manusia adalah makhluk budaya dan makhluk social. Sebagai makhluk social manusia selaulu hidup bersama dalam arti manusia hidup dalam interaksi dan interpendensi sesamanya. Manusia saling membutuhkan sesamanya baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam proses antaraksi inilah diperlukan nilai-nilai, yang merupakan factor inherent dengan antar hubungan social itu. Celcius mennyatakan :”Ubi societas, ibis ius.” “ dimana ada masyarakat, disana ada hokum.” Hokum inilah norma-norma, atau nilia-nilai untukmengatur antar hubungan social manusia. Bahkan dapat disimpulkan bahwa tiada hubungan social tanpa nilai-nilai (norma-norma); dan tiada nilai-nilai tanpa hubungan social. Artinya, di dalam hubungan social mutlak adanya nilai-nilai. Manusia dalam hubungannya dengan sesamanya dan dengan alam semesta tak mungkin malekukan sikap netral atau apatis. Kecendrungankecendrungan untuk simpati, anti pati ataupun netral itu sendirimerupakan satu sikap. Dan setiap sikap adalah konsekuansi dari pada suatu penilaian, apakah evaluasi itu didasarkan atas asas-asas obyektif rasional ataukah subyektif emosional. Di dalam garis penilaian mulai dari pengertian, simpati, kagum, hormat, memuja, cinta atau sebaliknya salah faham, antipasti, jijik . menghinakan, mebenci; bahkan netral sekalipun adalah perwujudan dan pengejawatan penilaian. Nilai-nilai dalam kehidupan manusia bahkan merupakan dunia budaya manusia. Sebagai mikromos manusia hidup di dalam alam makromos yang tiada berbeda dengan makhluk-makhluk lain, sama-sama makhluk alami. Yang mengangkat derajat martabat manusia sebagai makhlik human being adalah budi nuraninyayang sadar nilai. Sadar nilai yang yang bersumber pula self existence, kesadaran diri terutama mengerti tujuan hidupnya atau paling tidak menyadari untuk apa manusia hidup dengan segala keterbatasa dan juga segala potensinya. Sikap menilai atas segala sesuatu adalah didorong oleh faktor-faktor dalam yang sudah merupakan potensi dan kejenuhan manusia. Tetapi bagaimana menilai yang benar, objektif adalah persoalan norma-norma, azas-azas normatif. 1
Kebenaran, kebaikan, kebajikan, kejujuran, cinta sesama, dan sebagainya adalah potensi martabat manusia. Adalah menjadi idealisme manusia untuk merealisasi potensi martabat manusia. Kebaikan manusia diukur dengan kenyataan seberapa jauh dia merealisasi potensi martabat manusia itu di dalam tingkah lakunya. Martabat manusia dan kepribadian seseorang selalu diukur dengan norma-norma yang berlaku dalam arti sejauh mana manusia loyal dengan nilai-nilai yang berlaku. Dengan demikian nilai-nilai dan norma-norma akan membentuk kepribadian manusia. Manusia tak berarti apa-apa tanpa adanya nilai-nilai, normanorma yang berlaku. Dalam realitas sosial kehidupan bersama, manusia memerlukan aturan hidup agar tercipta keteraturan sosial. Aturan hidup tersebut tidak selalu diwujudkan secara nyata, tetapi terdapat dorongan dalam diri manusia untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu. Ada perasaan-perasaan tertentu jika orang melakukan atau tidak melakukan hal tertentu. Meskipun terlihat abstrak, tetapi dapat dirasakan manfaatnya, bahkan ada yang dapat dihayati secara mendalam dengan intensitas yang tinggi jadi nilai sosial adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku social dari orang yang memiliki nilai itu Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa nilai sosial memiliki ciriciri antara lain : a) merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi antara anggota, b) membantu masyarakat agar berfungsi dengan baik, c) dapat dipelajari atau bukan bawaan dari lahir, d) dapat mempengaruhi emosi, e) dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dalam masyarakat, baik secara positif maupun negatif, dll. Sedangkan fungsi nilai antara lain: a) sebagai seperangkat alat yang siap dipakai untuk menetapkan harga diri pribadi dan kelompok, b) mendorong, menuntun, dan terkadang menekan manusia untuk berbuat baik, c) sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat, d) sebagai arah dalam berfikir dan bertingkah laku secara ideal dalam masyarakat dan, e) menjadi tujuan akhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan social. 2
Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain dalam kelangsungan hidupnya. Agar kehidupan bersama bisa berjalan teratur, manusia memerlukan aturan-aturan tertentu karena tidak semua orang bias berbuat menurut kehendaknya sendiri. Untuk mencapai keteraturan dan kenyamanan hidup bersama, manusia melakukan kesepakatan tentang apa yang boleh dilakukan, apa yang sebaik tidak boleh dilakukan kepada orang lain. Kesepakatan bersama itulah yang disebut norma social. Jadi norma sosial itu adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai paduan, tatanan, dan kendali tingkah laku yang sesuai dan diterima secara bersama. Norma-norma, aturan procedural dan aturan perilaku dalam kehidupan social pada hakekatnya adalah bersifat kemasyarakatan. Maksudnya adalah bukan saja karena norma-norma tersebut berkaitan dengan kehidupan social tetapi juga karena norma-norma tersebut adalah pada dasarnya hasil dari kehidupan bermasyarakat. Norma-norma adalah bagian dari masyarakat. Norma tumbuh dari proses kemasyarakatan, ia menentukan batasanbatasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Robert M.Z Lawang membagi norma menjadi dua macam, yaitu adat istiadat (mores) dan kebiasaan (folkway). Sering juga adapt istiadat ini menjadi hokum tertulis yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Adat istiadat maupun hukum memiliki kekuatan mengikat yang tegas. Adapun kebiasaan tidak memiliki kekuatan yang mengharuskan sanksi terhadap pelanggarannya tidak terlalu berat, misalnya cemoohan, ejekan, sinis, atau si pelanggar akan dijauhi oleh yang lain. Biasanya kebiasaan lebih mudah berubah dari pada adapt atau hukum. Norma-norma dalam masyarakat memiliki kekuatan yang mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada yang kuat. Berdasarkan kekuatan mengikatnya norma dapat dibagi sebagai berikut. 1. Cara (Usage); merupakan norma yang menunjuk pada suatu bentuk perbuatan dan memiliki kekuatan yang sangat lemah dibanding dengan kebiasaan. 2. Kebiasaan (Folkways); merupakan norma yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari cara (usage) dan merupakan 3
perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga dapat dikatakan orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Kebiasaan merupakan perikelakuan yang diterima masyarakat. 3. Tata Kelakuan (Mores) ; merupakan norma yang berkembang dari kebiasaan, dimana kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku saja, tetapi bahkan diterima sebagai normanorma pengatur. 4. Adat Istiadat (Custom); merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggarnya akan menderita sanksi yang keras yang kadangkadang diterima secara tak langsung. Berdasarkan
bidang-bidangnya
norma
dibagi
sebagai
berikut:
1. Norma Agama, merupakan norma yang mengandung peraturan-peraturan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh seseorang atau masyarakat. 2. Norma Kesopanan, merupakan norma yang mengatur seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. 3. Norma Kebiasaan, merupakan tata aturan seseorang atau kelompok dalam melakukan suatu kegiatan yang didasarkan pada tradisi atau perilaku yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. 4. Norma Kesusilaan, merupakan salah satu aturan yang berasal dar akhlak atau dari hati nurani sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk. 5. Norma Hukum, merupakan tata aturan yang paling tegas sanksi dan hukumnya yang terdiri dari hukum tertulis (KUHP, Undang-Undang, PP) dan hukum tidak tertulis misalnya hukum adat. Nilai yang dimiliki seseorang mempengaruhi perilakunya. Sedangkan norma sebenarnya mengatur perilaku manusia yang berhubungan dengan nilai yang terdapat dalam suatu kelompok. Artinya, untuk menjaga agar nilai kelompok agar tetap bertahan, lalu disusunlah norma-norma untuk menjaganya. Oleh karena
4
itu pelanggaran terhadap norma berarti juga pelanggaran terhadap nilai yang dimiliki oleh kelompok atau masyarakat. Pendidikan dalam hubungannya dengan nilai-nilai tidak saja supaya anak mengerti, memahami, sadar nilai-nilai social. Melainkan lebih-lebih supaya mereka melaksanakan secara loyal, demi ketertiban social, dan demi kesejagteraan bathin (tiadanya konflik, rasaberdosa) di dalam jiwa mereka. Secara umum pengertian nilai tidak terbatas. Segala sesuatu dalam alam raya adalah berniali. Nilai adalah seluas potensi kesadaran manusia. Variasi kesadaran manusia sesuai dengan individualitas dan keunikan kepribadiannya. Ada manusia yang memuja materi, karena baginya hidup ini ditentukan oleh materi. Ada manusia yang memuja keindahan, karena di dalamnya manusia menikmati kebahagian, ada pula manusia yang mengembara dalam kosmos, menjelajahi angkasa untuk mencari nilai hidupnya. Banyak manusia yang mengabadikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan, ada yang mengabadikan dirinya untuk kemanusiaan. Semuanya adalah perwujudan kesadaran nilai dalam masingmasing pribadi. Perkembangan penyelidikan ilmu pengetahuan tentang nilai-nilai terutama amat pesat dalam dua abad terakhir ini. Karl marx misalnya khusus menyelidiki nilai-nilai ekonomi (theory surplus values) dan bagaimana hidup manusia ditentukan oleh nilai tersebut. Nilai ekonomi, nilai materi dianggap sebagai satu-satunya nilai yang menentukan hidup manusia. Pandangan ini, kemudian yang dikenal sebagai faham komunisme, materialisme. Tetapi kesimpulan kaum materialisme ini tidak respresentatif, jauh dari valid. Menurut Brubacher, pengertian value itu adalah tidak terbatas, sangat erat denga pengertian-pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks. Encyclopedia Britannica menulis bahwa nilai itu adalah suatu penetapan atau suatu kulitas sesuatu obyek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau 5
minat. Di bagian selanjutnya, ensiklopedi tersebut manulis tentang nilai sebagai berikut : Nilai itu sunguh-sungguh ada dalam arti bahwa ia praktis dan efektif di dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat. Niai-nilai itu sungguh-sungguh satu realita dalam arti bahwa ia valid sebagai suatu cita-cita yang benar yang berlawanan dengan cita-cita yang palsu atau bersifat khayal. John Dewey (1859-1952) berpendapat bahwa “value is any object of social interest”. Brubacher menjelaskan bahwa “interest” sebagai “ to be between” (antara). Karena itu dalam hubungan atau antara hubungan subjek dengan sesuatu. Misalnya antara anak-anak – kurikulum, antara pribadi – sesuatu yang diinginkan, dan sebagainya. Dan sesungguhnya manusia dalam antar hubungan dan antaraksi di dalam kehidupannya selalu mengalami proses “interes” demikian. Dalam makna inilah nilai dapat menjadi motivasi tindakan manusia, lebih-lebih di dalam proses pendidikan. Karena yang bernilai ialah yang menarik hati, keinginan subyek; dan keinginan ini mendorong untuk dicapai demi kepuasan, baik lahiriah maupun rokhaniah atau kedua-duanya. Menurut pandangan Idealisme, Hegelian, nilai ialah suatu yang bersifat normative dan obyektif, berlaku umum. Bahkan nilai itu menjadi idelaisme, citacita tiap pribadi yang mengerti dan meyadarinya. Sebaliknya nilai tiu menjadi norma, ukuran untuk suatu tindakan seseorang apakah itu baik, buruk dan sebagainya. Hegelian berfikir bahwa semesta yang tertib sebagai perwujudan hukum alam yang universal, dan kekal itu terjadi di dalam alam raya dan melibatkan semua isinya. Manusia bagian dari alam universal dan idealisme wajar sekali meningkatkan tertib social. Nila-nilai tidak hanya menurut pikiran dan keinginan manusia secara subyektif. Nilai-nilai itu bersifat obyektif, universitas, independen dalam arti bebas dari pada pengaruh rasio dan keinginan manusia secara individual.
6
Bentuk dan Tingkat-tingkat Nilai Di samping pembedaaan nilai secara obyektif dan subyektif, Brubacher mebedakan antara nilai intrinsic dengan nilai instrumental karena nilai-nilai di dalam masyrakat pasti mengalami evaluasi dan penilaian. Nilai instrumental ialah nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk sesuatu yang lain. Nilai terletak pada konsekuensi-konsekuensi pelaksanaannya dalam usaha mencapai yang lain. Sedangkan nilai intrinsic ialah nilai yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan di dalam dan dari dirinya sendiri. Edward Spranger mebedakan nilai berdasarkan interestpribadi manusia. Ada enam tipe manusia karena kepribadian orang itu menganggap salah satu nilai tersebut paling utama (dominan) bagi hidupnya. Nilai-nilai tersebut ialah : nilai religi, nilai ilmiah, nilai ekonomi, nilai politik (kekuasaan, Negara), nilai estetika dan nilai social (nilai kemanusiaan). Pada umumnya masyarakat menganut pendapat bahwa hierarki nilai di dalam kehidupan manusia ialah identik dengan hierarki tingkat-tingkat kebenaran. Sebab, kebenaran ialah nilai itu sendiri. Apa yang benar itu selalu mangandung kebaikan, dan sebaliknya kebaikan selalu benar. Tingkat-tingkat kebenaran seperti tingkat indera, tingkat ilmiah, tingkat filosofisdan tingkatan religious adalah paling wajar di dalam kehidupan manusia. Kewajaran itu bersumber pada proses pertumbuhan kesadaran pribadi sendiri : yakni mula-mula manusia pada awal perkembangannya hanya menyadari segala sesuatu melalui inderanya. Kemudian baru meningkat kepada kesadaran yang lebih rasioanal, yakni tingkat kesadaran atas nilai-nilai ilmiah. Demikian seterusnya ke tingkat filosofis dan religious. Nilai-nilai Pendidikan dan Tujuan Pendidikan Pendidikan secara praktis tak terpisahkan dengan nilai-nilai terutama yang meliputi : kulaitas kecerdasan, kerajinan, ketekunan; bahkan nilai yang dijabarkan dalam wujud kelas (tingklat, grade), nilai bersifat rank, score, marks. Lebih-lebih lagi pendidikan terutama masalah proses pembinaan nilai-nilai yang 7
bersifat fundamental seperti : nilai-nilai social, nilai ilmiah, nilai moral, nilai agama. Atau tersimpul di dalam tujuan pendidikan yakni membina kepribadian ideal. Pendidikan sebagai ilmu praktis yang normative berarti menetapkan asas norma yang hendak dilaksanakan oleh proses pendidikan. Ilmu pendidikan menjadi pembimbing praktis pelaksanaan membina kepribadian manusia. Dan asas-asas normative yang berlaku di dalam masyarakat dan Negara menjadi pendorong, menjadi nilai-nilai ideal yang menjadi pendorong, motivasi bagi anak didik dalam cita-cita hidupnya, self-realization. Bahkan nilai-nilai itu pula yang akan menentukan motode pengajaran , system dan organisasi kurikulum. Pendidikan yang diselenggarakan Negara, public-education, adalah untuk kepentingan rakyat keseluruhan, tanpa merugikan atau menguntungkan salah satu golongan di dalam masyarakat. Oleh karena itu tujuan pendidikan hendaknya representative bagi nilai-nilai yang dianut pribadi. Negara dan lembaga-lembaga pendidikan umumnya hendakanya selalu mempertimbangkan realita bahwa manusia itu menduduki status rangkap : (1) manusia sebagai pribadi dengan nilainilai yang amat bersifat pribadi pula, (2) manusi sebagai warga masyrakat, warga Negara; manusia sebagai makhluk social. Tujuan pendidikan Republik Indonesia yang bersifat Negara pancasila, seperti termaktub dalam ketetapan MPR (S) No. XXVII/MPRS/1966 bab II pasal 3: “Membentuk manusia pancasilais sejati, berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”, yang kemudian disempurnakan dengan ketetapan MPR No. II/MPR/1973 jo. Tap MPR No. IV/MPR/1978 jo. Tap MPR no. II/MPR/1983tentang GBHN sebagai berikut : “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, memprtinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
8
pembangunan yang dapat membanguna dirnya sendiri seta barsama-sama bertanggung jawab atas pemabngunan bangsa.” Ethika Jabatan Sudah tentu untuk menetapkan suatu kode ethika jabatan melalui filsafat pendidikan, karena kode ethika amat ditentukan oleh norma-norma yang berlaku bagi masyrakat. Namun asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prisnsip umum dapat dikemukakan. Asas-asas dimaksud misalnya: 1. Melaksanakan kewajibat dengan dasar good will atau itikad baik dengan kesadaran pengabdian. 2. Memperlakukan siapapun, anak didik ataupun kolega sebagai satu pribadi yang sama dengan pribadi dirinya sendiri. Manusia pada umumnya harus dianggap sebagai tujuan; dan bukan sebagai alat untuk kepentingan siapa pun. Setiap kita wajib menghormati martabat kemanusiannya dan martabat pribadinya. 3. Menghormati prestige, perasaan setiap orang. 4. Selalu berusaha menyumbangkan ide-ide, konsepsi-konsepsi dan karyakarya (ilmiah) demi kemajuan bidang kewajibannya. 5. Akan menerima haknya semata-semata sebagai satu kehormatan, dan bukan karena vested-interest. Kelima prinsip kode ethika jabatan ini mungkin dengan modifikasi tertentu mengalami interpretasi tertentu mengalami interprestasi dan reinterpretasi menurut tenpta , dan zaman.
9