4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kadar Histamin Tuna (Thunnus sp) Tuna merupakan ikan yang mengandung sejumlah asam amino histidin. Asam amino ini merupakan substrat bagi enzim histidine decarboxylase (hdc), baik yang dihasilkan oleh bakteri dalam daging maupun oleh ikan itu sendiri, untuk kemudian diubah menjadi histamin (Frank et al. 1981; Hungerford 2010). Hasil analisis histamin memperlihatkan bahwa kadar histamin daging tuna bagian ekor yang disimpan pada suhu 4-5 °C dan (-2)-1 °C serta daging tuna bagian perut yang disimpan pada (-2)-1 °C selama 7 hari tidak melebihi 50 ppm, namun daging tuna bagian perut yang disimpan pada suhu 4-5 °C selama 7 hari telah melebihi 50 ppm. FDA mengatur tentang kadar maksimum histamin untuk ikan yang dapat dikonsumsi, yakni tidak melebihi 50 ppm. Hal tersebut disebabkan ketika terdeteksi histamin sebesar 50 ppm pada satu bagian tubuh, kemungkinan akan terdeteksi 500 ppm histamin pada bagian tubuh lainnya (FDA 2001). Kadar histamin ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kadar histamin daging ikan tuna dalam satuan ppm pada berbagai kondisi perlakuan Lama penyimpanan
0 hari 2 hari 7 hari
Lokasi daging Perut 4-5 0,9732±0,1970de 7,3427±0,5483c 71,3474±0,8901a
Ekor Suhu penyimpanan (°C) (-2)-1 4-5 (-2)-1 de de 0,5479±0,4233 0,7961±1413 0,4483±0,1298de de de 1,2843±0,3847 1,2909±0,4461 1,1748±0,4719de 0,3445±0,1683e 45,6645±0,6204b 1,4266±0,9584d
Keterangan: Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa interaksi antara ketiga perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar histamin pada daging ikan tuna. Lebih lanjut, hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada daging ikan tuna yang diambil di bagian ekor dengan suhu (-2)-1 °C selama penyimpanan 0 dan 2 hari tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dengan perlakuan suhu 4-5 °C selama penyimpanan yang sama. Demikian pula dengan daging ikan tuna yang diambil pada perut dengan suhu (-2)-1 °C
30
selama penyimpanan 0 hari dan 2 hari tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan perlakuan suhu 4-5 °C dengan penyimpanan yang sama. Akan tetapi, kombinasi perlakuan dengan menggunakan daging ekor dan perut pada suhu penyimpanan 4-5 °C dengan lama penyimpanan 7 hari memberikan perbedaan yang nyata dengan kombinasi perlakuan pada suhu penyimpanan (-2)-1 °C dengan lama penyimpanan 7 hari. Tingginya kadar histamin tuna pada bagian perut dibandingkan bagian ekor pada suhu 4-5 ºC selama penyimpanan 7 hari diduga dikarenakan isi perut merupakan sumber terbesar dari mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan Du et al. (2002) dan FDA (2004) yang menyatakan bahwa kandungan histamin pada bagian anterior ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan posterior. Lebih lengkap disampaikan oleh Lerke (1978), tercatat bahwa pada daging bagian dorsal dari ikan tuna jenis madidihang terdeteksi histamin 52±15 mg/kg, sedangkan daging bagian perut pada kondisi penyimpanan yang sama terdeteksi 4400±2700 mg/kg histamin. Adanya kandungan histamin hingga hari ke-7 diduga disebabkan oleh telah terjadinya autolisis yang menyebabkan degradasi protein, sehingga membebaskan histidin terikat. Selama histidin masih tersedia pada daging, enzim hdc bakteri akan terus bekerja membentuk histamin. Secara umum, Alasalvar et al. (2011) menyampaikan bahwa kandungan asam amino histidin pada ikan tuna adalah sebesar 82-90 mg/g protein. Lebih lanjut Silva et al. (1998) menyampaikan bahwa hingga penyimpanan hari ke-12, kadar histidin pada ikan tuna masih tersedia, yaitu sebesar 300 mg/100 g daging pada cakalang dan 400 mg/100 g daging pada ikan tuna sirip biru. Adanya perbedaan suhu penyimpanan dan lama penyimpanan terutama hari ke-7 terhadap peningkatan kadar histamin diduga disebabkan oleh aktivitas yang intensif dari bakteri-bakteri pembentuk histamin. Walaupun menurut Du et al. (2002) bahwa pada suhu 4 ºC dengan lama penyimpanan 9 hari tercatat telah terbentuk histamin sebanyak 68,8 ppm dengan log ALT mendekati 7,5 CFU/g dan log BPH mendekati 5,2 CFU/g, namun jika melihat data hasil analisis log ALT (Tabel 7) dan BPH (Tabel 8) menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya peningkatan yang signifikan akan jumlah bakteri selama berlangsungnya
31
penyimpanan hingga pada hari ke-7. Akan tetapi, jika melihat dari jenis bakteri yang ada cenderung terlihat adanya bakteri-bakteri pembentuk histamin yang kuat, seperti Raoultella ornithinolytica. Menurut Kung et al. (2009), Raoultella ornithinolytica dapat menghasilkan histamin hingga lebih dari 500 ppm, bahkan menurut Butler et al. (2010) dapat melebihi 1000 ppm pada kondisi yang optimal.
4. 2 Kadar TVB Tuna (Thunnus sp) Total Volatile Base (TVB) atau Total Volatile Basic Nitrogen (TVB-N) atau Total Volatile Nitrogen (TVN) merupakan jumlah dari amonia, dimetilamin (DMA), trimetilamin (TMA), dan komponen basa lainnya berbasis nitrogen yang bersifat volatil (Etienne et al. 2005b). DMA dan TMA dihasilkan dari degradasi trimetilamin oksida (TMAO), sedangkan amonia berasal dari adenosine monophospate (AMP) (Huss 1995). TVB dapat digunakan sebagai parameter kimia sebagai uji tambahan untuk meyakinkan hasil uji organoleptik dalam menentukan kebusukan ikan, namun TVB bukan merupakan indikator kebusukan yang tepat pada ikan tertentu, seperti tuna mata besar (Thunnus alalunga) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) karena merupakan ikan pelagis dengan kadar TMAO yang rendah (Etienne et al. 2005b). Analisis kadar TVB pada daging ikan tuna memperlihatkan bahwa hanya daging tuna bagian ekor dan perut yang disimpan pada suhu 4-5 °C selama penyimpanan 7 hari yang tidak termasuk dalam kelompok kondisi segar, yaitu melebihi 30 mg N/100 g (Farber 1965). Kadar TVB daging ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kadar TVB daging ikan tuna dalam satuan mg N/100 g pada berbagai kondisi perlakuan Lama penyimpanan
0 hari 2 hari 7 hari
Lokasi daging Perut
Ekor Suhu penyimpanan (°C) 4-5 (-2)-1 4-5 (-2)-1 9,1436±0,8028 9,1536±0,0609 10,0587±0,4677 9,6887±0,3544 13,3622±0,9684 10,4960±0,3624 13,2587±0,9531 12,8803±0,8783 38,6908±0,8867 14,3313±0,7589 36,9076±0,8352 18,5937±0,3923
Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang
32
nyata terhadap kadar TVB. Tidak adanya pengaruh ini diduga disebabkan aktivitas mikrorganisme dalam menghasilkan perubahan komponen volatil cenderung belum terlihat nyata. Secara mekanisme, perubahan volatil oleh bakteri melibatkan kerja enzim yang meliputi enzim dehidrogenase yang menguraikan asam amino dan TMAOase yang mereduksi TMAO. Suhu merupakan penghambat aktivitas bakteri tersebut. Banyak bakteri yang tidak dapat tumbuh pada suhu di bawah 10 ºC, bahkan bakteri psikotropik hanya dapat tumbuh dengan lambat. Pada suhu mendekati 0 ºC, pertumbuhan bakteri berada pada fase lag karena suhu tersebut memperpanjang fase lag bakteri (Huss 1995). Oleh sebab itu, tidak banyak bakteri bekerja untuk menghasilkan TVB. Menurut Özoğul & Özoğul (2000), ikan rainbow trout yang disimpan pada suhu 4-6 ºC mengalami peningkatan TVB dengan cepat setelah penyimpanan hari ke 7-9. Hal tersebut disebabkan karena kadar TVB tidak meningkat pada tahap awal kemunduran mutu. TVB hanya akan meningkat karena aktivitas bakteri selama tahap kemunduran mutu lanjut (Huss 1995; Silva et al. 1998; Etienne et al. 2005b), sehingga TVB bukanlah indikator kesegaran yang tepat pada tahap awal kemunduran mutu ikan. Oleh karena kemungkinan sampel tuna belum mengalami kemunduran mutu lanjut hingga penyimpanan hari ke(-2), maka kadar TVB tidak mengalami peningkatan yang besar.
4.3 Nilai ALT Tuna (Thunnus sp) Mikroorganisme pada ikan, umumnya ditemukan di seluruh permukaan luar tubuh ikan (kulit dan insang) atau pada bagian dalam jeroan dari ikan yang masih hidup maupun ikan yang baru ditangkap. Jeroan merupakan bagian tubuh ikan yang berisiko besar mengandung sejumlah besar bakteri karena disebut sebagai gudang bakteri (Huss 1995). Angka Lempeng Total (ALT) merupakan jumlah mikroorganisme hidup yang terdapat pada produk uji. ALT yang dapat diterima atau layak untuk konsumsi adalah tidak melebihi sebesar 5x10 5 CFU/g atau setara dengan log ALT 5,70 CFU/g (BSN 2006c). Hasil analisis ALT menunjukkan kondisi tidak layak konsumsi (log ALT melebihi 5,70 CFU/g) adalah untuk lama penyimpanan 7 hari,
33
baik pada daging bagian ekor maupun perut pada suhu penyimpanan 4-5 ºC. Nilai log ALT daging ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap ALT. Hal tersebut kemungkinan disebabkan pada suhu rendah, pertumbuhan bakteri menjadi terhambat. Huss (1995) dan Guizani et al. (2006) menyatakan bahwa ikan yang berasal dari perairan hangat, mengandung mikroba yang didominasi oleh mikroba mesofilik. Oleh karena perlakuan suhu yang diberikan adalah suhu rendah, diduga mengakibatkan pertumbuhan bakteri tersebut terhambat atau bahkan tidak tumbuh. Tabel 7 Log ALT daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi perlakuan Lama penyimpanan
0 hari 2 hari 7 hari
Lokasi daging Perut 4-5 3,30±0,0122 4,70±0,0356 6,70±0,1197
Ekor Suhu penyimpanan (°C) (-2)-1 4-5 (-2)-1 4,11±0,1656 3,52±0,0354 3,58±0,0778 4,60±0,0361 4,28±0,1891 4,40±0,2052 5,60±0,0986 6,70±0,0272 4,53±0,0284
Menurut Silva et al. (1998), pada suhu 0 ºC nilai log bakteri yang tumbuh pada ikan tuna segar pada penyimpanan 2 hari dan 7 hari berturut-turut sebesar 3,2 CFU/g dan 4 CFU/g, sedangkan penyimpanan pada suhu 20 ºC hanya selama 2 hari telah mencapai log bakteri 5,8 CFU/g. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri terhambat pada suhu rendah. Selain itu, pada suhu 4 ºC, baik bakteri mesofilik maupun bakteri psikrofilik, cenderung mengalami pertumbuhan yang tidak jauh berbeda (Silva et al. 1998) dan suhu 0 ºC dapat memperpanjang fase lag bakteri psikrofilik (Huss 1995).
4.4 Jumlah Bakteri Pembentuk Histamin Tuna (Thunnus sp) Histamin, yang merupakan salah satu amin biogenik, terutama terbentuk karena adanya enzim histidin dekarboksilase dari jenis bakteri yang terdapat pada
34
pangan laut. Bakteri pembentuk histamin (BPH) biasanya terdapat dalam lingkungan perairan, menetap di insang dan usus ikan laut yang hidup serta tidak berbahaya bagi ikan itu sendiri (Ko 2006). Secara umum jumlah bakteri pembentuk histamin yang dapat diterima atau layak untuk konsumsi sama dengan ketentuan jumlah bakteri dengan ALT yaitu tidak melebihi 5x105 CFU/g (BSN 2006c). Nilai log BPH daging ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 8. Data Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak semua bakteri pada ALT merupakan BPH karena tidak semua bakteri tersebut mampu menghasilkan hdc. Tabel 8 Log BPH daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi perlakuan Lama penyimpanan
0 hari 2 hari 7 hari
Lokasi daging Perut 4-5 1,11±0,0658 2,28±0,1219 4,40±0,0372
Ekor Suhu penyimpanan (°C) (-2)-1 4-5 (-2)-1 1,40±0,1462 1,32±0,0553 1,23±0,0853 2,20±0,0413 2,92±0,2843 1,85±0,1381 3,45±0,1434 4,26±0,0534 2,45±0,0493
Analisis ragam pada kepercayaan 95% diperoleh bahwa kombinasi perlakuan antara lokasi daging, suhu, dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah BPH. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena suhu rendah tidak dapat mendukung pertumbuhan bakteri. Bakteri pembentuk histamin (BPH) umumnya merupakan golongan bakteri Gram negatif jenis enterik mesofilik (Middlebrooks et al. 1988; Butler et al. 2010). Bakteri mesofilik memiliki rentang suhu hidup 20-45 ºC (Tiwari et al. 2009), sehingga suhu rendah yang diberikan kepada bakteri tersebut dapat menyebabkan hambatan terhadap proses metabolisme dan akhirnya menghambat pertumbuhan bakteri.
4.5 Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi BPH Tuna (Thunnus sp) Isolasi merupakan pemisahan mikroba tertentu dari populasi campuran. Proses isolasi dilakukan terhadap tiga koloni terpilih yang berwarna ungu atau biru pada media Niven didasarkan pada Niven et al. (1981), Kung et al. (2009),
35
dan Hwang et al. (2010). Koloni berwarna ungu kemudian digoreskan dengan metode gores kuadran pada media TSA hingga menghasilkan koloni tunggal. Karakterisasi bakteri bertujuan untuk mengetahui karakteristik tiap isolat yang dihasilkan dan memudahkan dalam pemilihan jenis API kit yang akan digunakan. Sebelum dilakukan uji karakterisasi, dilakukan terlebih dahulu analisis histamin yang dihasilkan bakteri. Isolat murni yang diperoleh ditumbuhkan dalam media TSBH, kemudian kadar histamin yang dihasilkan bakteri tersebut dianalisis. Analisis histamin isolat bakteri bertujuan untuk meyakinkan bahwa koloni yang dihasilkan merupakan koloni BPH karena tidak semua bakteri yang tumbuh pada Niven adalah penghasil histamin (Kim et al. 2002), hanya sebesar 33% (Hwang et al. 2010) dan 29,16% (Joshi & Bhoir 2011). Hasil analisis histamin isolat murni menunjukkan bahwa ketiga isolat menghasilkan histamin sebesar (i) 1,2077 ppm pada isolat 1; (ii) 1,2802 ppm pada isolat 2; dan (iii) 1,8617 ppm pada isolat 3. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa ketiga isolat tersebut menghasilkan enzim hdc. Selanjutnya, uji karakteristik bakteri dilakukan terhadap ketiga isolat yang telah dinyatakan positif penghasil histamin. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil pewarnaan Gram yang terlihat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa ketiga isolat merupakan bakteri Gram negatif dengan penampakan sel berwarna merah muda. Uji karakterisasi berikutnya pada ketiga isolat adalah pergerakan bakteri (motilitas), yang menunjukkan bahwa semua bakteri dari ketiga isolat bersifat non motil. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhannya yang tidak menyebar pada agar semisolid. Oleh karena itu, bakteri tersebut tidak memiliki flagela sebagai alat gerak (Pelczar dan Chan 2006). Oksidase merupakan enzim yang termasuk dalam sistem transpor elektron bakteri
aerob.
Uji
oksidase
penting dilakukan
untuk
mengidentifikasi
Pseudomonas, Vibrio, Flavobacterium, dan sebagainya. Ketiga jenis bakteri tersebut bersifat oksidase positif, sedangkan anggota dari Enterobacteriaceae bersifat oksidase negatif (Tiwari et al. 2009). Selain itu, uji oksidase penting dilakukan untuk mengetahui jenis API kit yang digunakan untuk identifikasi. Hasil pengujian oksidase menunjukkan bahwa isolat 1 dan 2 bersifat oksidase positif, sedangkan isolat 3 bersifat oksidase negatif. Oksidase positif menandakan
36
bahwa bakteri menghasilkan energi melalui respirasi, sedangkan oksidase negatif menandakan bahwa bakteri menghasilkan energi melalui proses fermentasi. Tabel 9 Morfologi koloni dan morfologi sel bakteri Sifat isolat
1
Warna pada Niven Warna pada TSA Bentuk koloni
2 Morfologi koloni Ungu Ungu Kuning Kuning Tidak beraturan Tidak beraturan
Tepian Elevasi
3 Ungu Kuning Bulat
Berombak Berombak Cembung Cembung Morfologi sel Batang Batang Negatif Negatif Negatif Negatif
Bentuk sel Gram Motilitas
Isolat 1
Penuh Cembung Batang Negatif Negatif
Isolat 2
Isolat 3 Gambar 5 Bentuk sel dan hasil pewarnaan Gram isolat 1, 2, dan 3 Uji
katalase
bertujuan
mengetahui
kemampuan
mikroba
untuk
menghasilkan katalase. Katalase berperan sebagai pendegradasi H2O2 yang dihasilkan oleh oksidase. Selama respirasi, banyak mikroba menghasilkan H2O2 dan turunan oksigen reaktif lainnya, seperti superoksida. Akumulasi bahan
37
metabolit tersebut dapat bersifat racun, sehingga harus diinaktif secara enzimatis. Katalase mengubah H2O2 menjadi oksigen dan air (Tiwari et al. 2009). Berdasarkan uji katalase terhadap ketiga isolat, diketahui bahwa ketiga isolat tersebut bersifat katalase positif, maka isolat tersebut bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Identifikasi bakteri merupakan perbandingan antara sifat bakteri yang belum teridentifikasi dengan sifat bakteri sesuai dengan kunci identifikasi bakteri. Identifikasi bakteri dapat dilakukan secara konservatif melalui pengujian berbagai macam gula yang kemudian hasil reaksi gula tersebut dicocokkan dengan panduan buku manual untuk mencari genus dari isolat bakteri. Buku manual yang dapat digunakan adalah Bergey’s Manual. Selain itu, terdapat cara yang lebih mudah dan cepat untuk mengidentifikasi bakteri, yakni menggunakan kit, seperti analytical profile index (API). Analytical profile index (API) merupakan suatu sistem yang dapat menentukan reaksi isolat murni terhadap berbagai jenis media diagnosa yang dipilih secara hati-hati. Keuntungan penggunaan sistem tersebut adalah hanya membutuhkan sedikit media, tidak menggunakan banyak tempat dalam inkubator, dan memberikan makna yang efektif serta dapat dipercaya terhadap hasil identifikasi (Black 2004). Berdasarkan hasil uji oksidase dan pewarnaan Gram memperlihatkan bahwa jenis API yang digunakan dan berhasil mengidentifikasi ketiga isolat adalah API 20 NE untuk isolat 1 dan 2 serta API 20 E untuk isolat 3. API 20 NE digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Gram negatif, berbentuk batang, dan nonfermenter (Lampe & Reijden 1984), sedangkan API 20 E digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Enterobacteriaceae (Popovic et al. 2007). Hasil identifikasi bakteri isolat dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11. Software API kit yang berperan dalam membaca hasil menyatakan bahwa isolat 1 dan 2 adalah bakteri jenis Pseudomonas putida dengan persentase identifikasi berturut-turut 99,6% dan 99,7% atau dianggap sebagai very good identification, sedangkan isolat 3 adalah bakteri Raoultella ornithinolytica dengan persentase identifikasi sebesar 99,9% atau dianggap sebagai excellent identification.
38
Hasil ini sejalan dengan hasil uji histamin terhadap isolat, bahwa ketiga bakteri tersebut merupakan BPH. Kanki et al. (2002), Wauters et al. (2004), Kung et al. (2009), menyatakan bahwa Raoultella ornithinolytica adalah salah satu dari jenis Enterobacteriaceae yang berperan sebagai BPH. Demikian juga dengan Sato et al. (1994) yang menyatakan bahwa Pseudomonas putida juga merupakan BPH dan bakteri pendekomposisi histamin. Tabel 10 Hasil pembacaan API kit 20 NE Pengujian
Bahan aktif
NO3
Potassium nitrate
TRP
L-triptophane
GLU ADH URE ESC
D-glucose L-arginine Urea Esculin ferric citrate Gelatin
GEL PNPG GLU ARA MNE MAN NAG MAL GNT CAP ADI MLT CIT PAC
4-nitrophenyl-βDgalactophyranoside D-glucose L-arabinose D-mannose D-mannitol N-acetylglucosamine D-maltose Potassium gluconate Capric acid Adipic acid Malic acid Trisodium citrate Phenylacetic acid
Hasil (-) Tidak berubah warna Tidak berubah warna Biru Kuning Kuning Tidak berubah warna Tidak berubah warna Tidak berubah warna Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih
Isolat 1 (-) (+) √
Isolat 2 (-) (+) √
Jingga
√
√
Kuning Jingga Merah muda Hitam
√ √ √
√ √
Hitam
√
√
Kuning
√
√
(+) Merah tua
Keruh Keruh Keruh Keruh Keruh
Jernih Jernih
Keruh Keruh
Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih
Keruh Keruh Keruh Keruh Keruh
√ √
√
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√
√ √
√
√
√
√
√ √ √ √
√ √ √
39
Tabel 11 Hasil pembacaan API kit 20 E Pengujian ONPG
Bahan aktif
Hasil (-) Tidak berubah warna Kuning Kuning Kuning Kuning Tidak berubah warna Kuning Kuning Kuning Jernih
ADH LDC ODC CIT H2 S
2-nitrophenyl-βDgalactophyranoside L-arginine L-lysine L-ornithine Trisodium citrate Sodium thiosulfate
URE TDA IND VP
Urea L-tryptophane L-tryptophane Sodium pyruvate
GEL
Gelatin
GLU
D-glucose
Tidak berubah warna Biru
MAN INO SOR RHA SAC MEL AMY ARA
D-mannitol Inositol D-sorbitol L-rhamnose D-saccharose D-melibiose Amygdaline L-arabinose
Biru Biru Biru Biru Biru Biru Biru Biru
(+) Kuning Merah Oranye Merah Biru tua Hitam Merah muda Hitam Merah Jernih kemerahmudaan Hitam
Isolat 3 (-) (+) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kuning
√
Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning
√ √ √ √ √ √ √ √