4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Kondisi Nyata Penerapan Kebijakan Maritim Nasional Indonesia Terkait dengan Penerapan Strategi MCS
4.1.1
Penerapan sistem monitoring control Departemen Kelautan dan Perikanan
surveillance
(MCS)
pada
Sistem pengawasan yang diterapkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan adalah monitoring, control dan surveillance dengan ruang lingkup pengawasan meliputi seluruh usaha perikanan, baik bidang penangkapan, pengangkutan dan pembudidayaan ikan. Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab. Arti tanggung jawab pengelolaan sangat luas, mencakup tanggung jawab menjaga kelestarian sumberdaya dan ekosistemnya dalam kerangka penegakan hukum di bidang perikanan dan kelautan. Penerapan sistem MCS oleh DKP pada saat ini belum sepenuhnya efektif, karena banyak kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Ada tiga hal yang merupakan akar kendala dalam penerapan MCS, antara lain penataan perijinan, yang merupakan cikal bakal terjadinya suatu pelanggaran. Kendala yang kedua adalah pengawasan di lapangan. Pengawasan di lapangan memerlukan armada dan sarana yang cukup tangguh. Sedangkan pada kondisi riilnya, terdapat keterbatasan sarana dan prasarana serta fasilitas pengawasan di daerah, belum optimalnya kewenangan pengawasan, belum berkembangnya lembaga pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di daerah, dan kurangnya tenaga pengawas perikanan. Kendala yang ketiga adalah dari sisi penegakan hukum. Penegakan hukum sangat terkait dengan peraturan perundangundangan. Sedangkan Undang-Undang Perikanan No. 9 Tahun 1985 tidak berbicara soal kelembagaan pengawasan maupun kewenangan. Komponen monitoring, control, and surveillance system (MCS) Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan saat ini adalah : Pengendalian Perizinan, kapal patroli, alat komunikasi (ALKOM), Vessel Monitoring System
45
(VMS), Pesawat Patroli Udara, Radar Pantai, Sistem Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS), Computerized Data Base (CDB), Pengawas Perikanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Log Book Perikanan dan radar satelit. Komponen-komponen tersebut merupakan bagian kebijakan DKP dalam penerapan MCS yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan. (1) Penerapan komponen MCS Departemen Kelautan dan Perikanan Penerapan Komponen MCS Departemen Kelautan dan Perikanan adalah sebagai berikut : 1)
Pengendalian Perizinan Izin Usaha Perikanan (IUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI), Surat Izin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI), sticker barcode dan tanda lunas pembayaran pungutan perikanan (PHP) merupakan suatu kesatuan perizinan usaha perikanan yang melekat di setiap kapal perikanan dan harus selalu berada di atas kapal perikanan. Apabila di atas setiap kapal tidak ditemukan SPI/SIKPI asli, maka dapat dianggap bahwa kapal perikanan tersebut me lakukan kegiatan tanpa izin. Pemeriksaan keabsahan dan kelengkapan dokumen-dokumen tersebut dilakukan secermat mungkin, meliputi keaslian dokumen (tidak palsu), masa berlaku izin, serta kesesuaian antara IUP dan SPI/SIKPI. Apabila dalam pemeriksaan ditemuk an pelanggaran, maka dianggap melakukan tindak pidana perikanan serta pidana umum (apabila ditemukan izinnya adalah palsu), dan dilakukan proses pemberkasan perkara lebih lanjut. Bagi perahu/kapal yang menurut peraturan perundang-undangan tidak diwajibkan untuk memiliki izin, perlu juga dibuat sistem pendataanya, yakni dengan dilakukan pencatatan. Bagi perahu/kapal yang sudah tercatat diberikan bukti tertullis yang sekaligus dapat dianggap sebagai dokumen perizinan. Jika perahu/kapal yang kecil tapi jumlahnya cukup banyak, maka akan berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang akan dilakukan. Hambatan dari komponen pengendalian perizinan ini adalah masih banyak terjadinya pemalsuan dokumen Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang belum terungkap, modusnya adalah beredarnya dokumen palsu dan dijual kepada pemilik kapal serta
46
banyaknya izin yang dikeluarkan bukan oleh pejabat berwenang, misalnya kapal ukuran di atas 30 GT dikeluarkan dengan dokumen di bawah 30 GT sehingga SPI cukup oleh Dinas Perikanan di daerah. Hambatan seperti ini harus segera diatasi dengan penertiban dan penyempurnaan perizinan. Hasil usaha DKP dalam operasi terpadu pemberantasan illegal fishing terkait dengan penertiban perizinan adalah pencabutan 155 izin kapal eks asing berbendera Indonesia bermasalah karena tidak dapat melengkapi dokumen kapal, terutama deletion certificate (DC) sebagai bukti bahwa kapal tersebut telah dihapuskan statusnya dari negara asal. Hasil usaha DKP dalam operasi terpadu pemberantasan illegal fishing terkait dengan penyempurnaan perizinan adalah tempat proses perizinan pada satu ruang di Lantai VIII DKP dengan waktu pelayanan 7 hari kerja agar tidak terjadi penerbitan surat izin penangkapan di luar kewenangan DKP. 2)
Kapal Patroli/Pengawas Kapal pengawas merupakan asset pengawasan yang sangat penting sebagai
sarana untuk patroli di laut. Kapal pengawas berguna untuk keperluan pengamatan, pemantauan maupun operasi. P2SDKP memprogramkan pengadaan kapal patroli sebanyak 89 unit untuk meliput wilayah pengawasan di seluruh Indonesia. Sampai saat ini telah dibangun 14 unit kapal pengawas dengan ukuran 36 m (2 unit); 28.5 m (8 unit), dan 18 m (2 unit) yang ditempatkan pada pelabuhan seperti pada Tabel 5. Kapal patroli atau kapal pengawas ini ditempatkan pada posisi yang strategis, di pelabuhan-pelabuhan utama yang menjadi satuan dan stasiun pengawas di seluruh wilayah Indonesia. Dengan kapal pengawas diharapkan pengawasan dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) maupun represif (penindakan).
47
Tabel 5 Penempatan kapal pengawas P2SDKP No.
Kapal Pengawas
Pangkalan
Daerah Operasi
1
KP. Barracuda 01
Ketapang - Kalbar
Perairan Ketapang, P. Pelapis
2
KP. Barracuda 02
Tanjung Pandan – Babel
Perairan Bangka Belitung
3
KP. Hiu 001
Bungus - Sumbar
Perairan Padang, Bengkulu, Selat Melawai, Kepulauan Mentawai, Pulau Nias, Sibolga, Pasaman, Pulau Tello
4
KP. Hiu 002
Bitung-Sulut
Laut Maluku, Laut Sulawesi
5
KP. Hiu 003
PPS Jakarta
Kepulauan Seribu, Selat Sunda, Laut Jawa, BangkaBelitung, Perairan Kalsel, Pontianak, Ketapang
6
KP. Hiu 004
Kupang-NTT
Larantuka, Laut Flores, perairan NTT, Laut Bali, Sumbawa
7
KP. Hiu 005
Merauke-Papua
Merauke, laut Arafura
8
KP. Hiu 006
Belawan-Sumut
Perairan Selat Malaka, Natuna, Sabang, Selat Karimata
9
KP. Hiu 007
Tarakan-Kaltim
Perairan Tarakan, Nunukan, Bulungan, Laut Sulawesi, Selat Makasar
10
KP. Hiu 008
Sorong-Papua Barat Perairan Indonesia Timur
11
KP. Todak 01
Kendari-Sultra
Teluk Kendari, Selat Sewowoni, Laut Maluku
12
KP. Todak 02
Gorontalo
Teluk Tomini
13
Hiu Macan 01
PPS Jakarta
Kepulauan Seribu, Selat Sunda, Laut Jawa, BangkaBelitung, Perairan Kalsel, Pontianak, Ketapang
14
Hiu Macan 02
PPN Tual
Laut Banda, Arafura, Seram, Kepulauan Aru, dan Tanimbar
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2005)
48
Sampai dengan tahun 2003, telah cukup banyak tangkapan yang dilakukan oleh kapal pengawas Hiu, baik kapal asing maupun Indonesia. Penangkapanpenangkapan ini telah juga sampai ke pengadilan. Dari seluruh kapal yang ditangkap, sebagian bebas, namun ada juga yang berhasil dirampas untuk negara. 3)
Pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) Vessel monitoring system (VMS) merupakan salah satu sarana MCS milik
DKP yang dilengkapi dengan alat elektronik transmitter (pemancar). Sesuai dengan ketentuan yang ada, sejak tahun 2003 diwajibkan bagi seluruh kapal perikanan dengan izin pusat untuk memasang transmitter (VMS) di kapal tersebut. Fungsi dari pemasangan transmitter VMS adalah untuk memantau pergerakan kapal perikanan yang telah memperoleh izin sehingga dapat diketahui apakah kapal tersebut beroperasi pada daerah penangkapan yang telah diberikan atau tidak. Program pemasangan vessel monitoring system (VMS) belum seperti yang diharapkan. Kegiatan yang termasuk implementasi dari program penanganan illegal fishing tersebut belum optimal karena kurang mendapat respon dari para pemilik kapal penangkap ikan, yang merupakan sasaran utama pemasangan VMS, yang saat ini baru terpasang penambahan transmitter sebanyak 1.339 unit dari kapasitas 3.055 unit sehingga masih tersisa 1.716 unit. Dari jumlah yang terpasang tersebut dapat diperinci sebagai berikut : (1) untuk kapal ikan asing baik penangkap maupun pengangkut sebanyak 594 unit dari kapasitas 841 unit sehingga tersisa 247 unit, (2) kapal pengangkut Indonesia dari 464 unit kapasitas, baru terpasang 142 unit, sementara sisanya masih 322 unit, (3) kapal ikan Indonesia dari kapasitas 559 unit terpasang 182 unit dan 377 unit belum terpasang, sementara kapal ikan Indonesia dengan bobot lebih dari 100 GT baru terpasang 421 unit dari 1.191 unit, sedangkan sisanya 770 unit belum terpasang. Beberapa alasan penolakan dari pemilik kapal antara lain takut akan adanya pembebanan terhadap pemasangan transmitter di kapalnya, mengharapkan kejelasan manfaat program dalam jangka pendek, pemilik kapal kurang merasakan manfaat VMS, menganggap VMS pada tahap awal hanya bermanfaat pada sisi pemerintah dalam mengawasi kapal perikanan, takut adanya pungutan lagi dalam program VMS
49
karena di daerah sudah banyak pungutan dan masih berkeberatan bila kegiatan kapalnya diawasi. Penolakan tidak saja dilakukan oleh pihak pemilik kapal / perusahaan, namun juga dilakukan oleh pihak pelabuhan. Adapun alasan dari pihak pelabuhan karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipikul yaitu belum maksimalnya
pihak
pelabuhan
dalam menggunakan
kewenangannya
untuk
melaksanakan Keputusan Menteri nomor 29 tahun 2003, termasuk melaksanakan ancamannya. Untuk mengatasi penolakan-penolakan di atas, DKP memiliki strategi mulai dari yang lunak dan menguntungkan kedua belah pihak, sampai dengan menggunakan kekuatan hukum atau peraturan perundangan, berikut sanksinya. Strategi yang lunak dan menguntungkan kedua belah pihak antara lain tidak adanya pembebanan bagi Kapal Ikan Indonesia (KII) sementara untuk Kapal Ikan Asing (KIA) akan ada pembebanan. Namun setelah keluarnya Peraturan Pemerintah, tidak ada lagi pungutan biaya oleh pengawas perikanan dalam pemasangan transmitter, dan akan ada website bagi pengusaha. Untuk menjaga keseimbangan, maka akan digunakan juga strategi yang cukup keras dan mengikat yaitu dengan kekuatan hukum/perundang-undangan. Kekuatan hukum yang digunakan yaitu Keputusan Menteri nomor 29 tahun 2003 tanggal 12 Agustus 2003 dan surat penugasan dari Dirjen Perikanan Tangkap dan Dirjen P2SDKP kepada Kepala Pelabuhan/Dinas. Sedangkan ancaman/sanksi yang diberikan jika tidak dilakukan pemasangan transmitter yaitu diberlakukannya penahanan LLO dan proses perijinan. Evaluasi dari hasil tingkat pemasangan transmitter terhadap jumlah kapal yang berpangkalan menunjukkan bahwa pelabuhan yang dinilai masih rendah tingkat pemasangannya adalah pelabuhan Merauke (0,37%), pelabuhan Muara Baru (1,33%), dan pelabuhan Bitung (6,37%). Sementara itu pelabuhan Kendari, Ambon, Tual, Sorong dan Benoa dinilai baik produktivitas pemasangannya. Penilaian pemasangan transmitter di perusahaan pemilik armada kapal juga dilakukan dengan memperbandingkan jumlah transmitter yang terpasang dengan jumlah armada kapal yang dimiliki, hasilnya masih sangat memprihatinkan (0,7%).
50
4)
Penerapan sistem pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS) Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat atau dikenal dengan SISWASMAS
adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan secara bertanggung jawab. SISWASMAS bekerja dengan cara sederhana dimana apabila masyarakat menjumpai dugaan adanya tindak pidana perikanan oleh kapal-kapal penangkap ikan asing/Indonesia karena melanggar wilayah, atau penggunaan alat tangkap yang dilarang atau yang melakukan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka akan dilaporkan kepada petugas pengawas perikanan atau PPNS atau aparat (TNI-AL dan POLRI) terdekat, yang selanjutnya aparat akan melakukan tindakan seperti pengejaran atau penangkapan. SISWASMAS dikembangkan melalui perluasan jaringan, pemberdayaan dan penggerakan kepada kelompok-kelompok masyarakat pengawas. Pembentukan kelompok SISWASMAS sangat mendukung dalam pengawasan. Di Nusa Tenggara Timur, kelompok pengawas ini telah banyak membantu dalam mengawal kawasan terhadap kerusakan-kerusakan terumbu karang yang disebabkan potasium. Melalui pelibatan masyarakat diharapkan pengawasan akan menjadi lebih efektif dan dapat menjangkau ke seluruh wilayah Indonesia. SISWASMAS telah dikembangkan sejak tahun 2001 dan sampai saat ini telah terbentuk 409 kelompok masyarakat pengawas yang tersebar di 26 provinsi seperti dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Penempatan Pokwasmas di seluruh Indonesia No .
Provinsi
Jumlah Pokwasmas
1
Jawa Barat
8
2
Jawa Tengah
29
3
Jawa Timur
10
4
DKI Jakarta
1
5
DI Yogyakarta
3
6
Banten
26
51
Table 6 Lanjutan 7
Bali
3
8
Nusa Tenggara Barat
38
9
Nusa Tenggara Timur
5
10
Nanggroe Aceh Darussalam
42
11
Sumatera Utara
4
12
Sumatera Barat
106
13
Riau
2
14
Lampung
8
15
Bengkulu
1
16
Bangka Belitung
4
17
Kalimantan Selatan
36
18
Kalimantan Barat
1
19
Sulawesi Utara
6
20
Gorontalo
4
21
Sulawesi Tenggara
39
22
Sulawesi Selatan
6
23
Maluku Utara
6
24
Papua
1
25
Jambi
8
26
Sumatera Selatan
12
Jumlah
409
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2005)
52
5)
Pengawas perikanan dan PPNS Sumber Daya Manusia (SDM) pengawasan merupakan motor penggerak
sarana pengawasan lainnya. Jumlah Pengawas Perikanan sebagai aparat fungsional pengawasan, seharusnya tersebar di beberapa pelabuhan perikanan dan Dinas Perikanan, serta diharapkan dapat berkoordinasi dengan instansi terkait. Hingga saat ini belum di semua pusat kegiatan perikanan ditempatkan Pengawas Perikanan. Untuk memberdayakan Pengawas Perikanan dalam menangani tindak pidana perikanan, maka Pengawas Perikanan sebagian telah dididik dan berstatus sebagai PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Perikanan. Jumlah PPNS Perikanan sampai tahun 2003 adalah sebanyak 536 orang dengan rincian di DKP Pusat 45 orang, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten/Kota sebanyak 388 orang, dan di pelabuhan Perikanan sebanyak 103 orang. Jumlah Pengawas Perikanan dan PPNS Perikanan di atas ini masih jauh dari mampu untuk melakukan pengawasan di laut Indonesia. Oleh karenanya perlu penambahan jumlah dengan target sekitar 120 orang PPNS dalam setahun dan ditingkatkan kemampuannya sesuai kebutuhan. Jika target jumlah sumberdaya manusia pengawasan dapat tercapai, maka struktur organisasi yang ingin dibentuk adalah 10 satuan pengawas, 40 stasiun pengawasan dan 500 pos pengawas. 6)
Alat komunikasi (Alkom) Alat komunikasi merupakan sarana komunikasi yang tak kalah pentingnya.
Alat komunikasi berfungsi untuk melaporkan kegiatan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya
kelautan
dan
perikanan
dari
Pengawas
Perikanan
ataupun
POKMASWAS kepada aparat terkait di Jakarta, yang segera disampaikan ke TNI Angkatan Laut untuk ditindak lanjuti. Alat komunikasi juga berfungsi sebagai sarana koordinasi antar POKMASWAS yang ada di seluruh Indonesia.
Alat
ini
sangat
efektif untuk memberikan informasi dan berkomunikasi, sehingga akan terus dikembangkan ke pelabuhan-pelabuhan perikanan. Alat komunikasi ini berupa radio komunikasi yang dipasang di tiap pelabuhan, sehingga tiap pelabuhan dapat berkomunikasi langsung dengan pusat pengendalian di Ditjen P2SDKP Jakarta. Alkom ini dilengkapi dengan linier amplifier, modem, dan guy tower sehingga mampu memberikan daya pancar yang
53
cukup luas serta mampu menjangkau pelabuhan-pelabuhan yang cukup jauh sekalipun. Ditjen P2SDKP memprogramkan pemasangan alat komunikasi di setiap pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan. Sampai dengan tahun 2004 telah dibangun 50 unit alat komunikasi yang tersebar di 21 provinsi. Di setiap lokasi yang terpasang alat komunikasi, ditugaskan 2 orang operator alat komunikasi yang sudah diberi pelatihan. 7)
CDB (COMPUTERIZED DATA BASE) CDB merupakan sistem informasi berbasis komputer. Di pelabuhan-
pelabuhan utama dipasang CDB yang on line dengan Pusat Pengawasan (Ditjen P2SDKP, Jakarta), sehingga informasi yang terjadi di masing- masing pelabuhan dapat segera dikirim ke pusat melalui jaringan yang sudah on line. Dengan demikian maka akan diperoleh data dan informasi yang cepat, akurat dan terkini. Informasi yang dikirim dapat berupa data-data hasil- hasil penangkapan ikan di pelabuhanpelabuhan dan informasi lainnya. CDB diprogramkan untuk ditempatkan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan tipe A, B, dan C secara selektif. Sampai saat ini telah dibangun CDB pada 15 pelabuhan seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Penyebaran Computerized Data Base di Indonesia No.
2000
2001
2002
1
Pusat
PPP Kupang, NTT
PPS Cilacap, Jateng
2
Pusat
PPP Tarakan, Kaltim
PPN Ternate, Maluku Utara
3
Pusat
PPP Lampulo, NAD
PPS Belawan, Sumut
4
Pusat (Server)
PPN Pelabuhan Ratu, Jabar
5
Pusat (Server)
PPS Cilacap, Jateng
6
PPP Sorong, IJB
7
PPN Ternate, Maluku Utara
8
PPN Tg. Pandan, Babel
9
PPN Bungus, Sumbar
54
Table 7 Lanjutan 10
PPN Belawan, Sumut
11
PPS Kendari, Sultera
12
PPN Pekalongan, Jateng
13
PPN Kejawanan, Jabar
14
PPP Manado, Sulut
15
PPS Nizam Zachman, Jakarta Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2005)
8)
Radar Satelit Radar satelit merupakan sarana pemantauan yang menggunakan teknologi
tinggi. Dalam pengadaan sarana ini, Ditjen P2SDKP bekerjasama dengan Badan Riset Departeme n Kelautan dan Perikanan. Radar satelit ini adalah Satelit Kanada (Canadian Space Agency) yang disewa dengan nilai 800 juta $ per tahun. Satelit ini terbang di perairan Arafuru, 3 kali seminggu guna mendeteksi situasi di perairan tersebut. Dengan radar tersebut dapat terpantau kapal-kapal yang sedang beroperasi di bawahnya. Dengan teknologi ini, didapat suatu informasi yang sangat berharga bagi kepentingan pengawasan. Untuk selanjutnya dapat dilakukan pengecekan langsung ke lapangan dengan menggunakan pesawat terbang ataupun kapal. 9)
Penerapan Log Book Perikanan (LBP) dan Lembar Laik Operasional (LLO) LBP dan LLO sebagai alat kontrol untuk mengetahui hasil penangkapan pada
wilayah
penangkapan
tertentu,
sehingga
akan
dapat
diketahui
total
hasil
penangkapan. LBP dan LLO diwajibkan untuk diisi oleh kapal-kapal perikanan di tiap pelabuhan pada saat kapal tersebut berlabuh dan siap berlayar. Setiap kedatangan kapal perikanan di pelabuhan, sebelum kapal membongkar atau memuat ikan hasil tangkapan atau ikan yang diangkut, nahkoda wajib menyerahkan formulir A Log Book Perikanan dan dokumen perizinan usaha perikanan (IUP, APIA, SPI, SIKPI) kepada Pengawas Perikanan, untuk dilakukan pemeriksaan terhadap jenis, jumlah dan ukuran ikan yang ditangkap/diangkut,
55
kelengkapan dan keabsahan dokumen perizinan maupun spesifikasi teknis kapal perikanan, dan alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan yang digunakan. Pada saat kapal perikanan akan berangkat untuk melakukan penangkapan atau pengangkutan ikan, harus memperoleh LLO (Lembar Laik Operasional) dan formulir A Log Book perikanan dari Pengawas Perikanan. LLO harus berada di atas kapal, dan tembusannya digunakan sebagai persyaratan memperoleh SIB (Surat Izin Berlayar). Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan ini adalah kapal ditunda keberangkatan dan diberikan sanksi administrasi berupa peringatan/teguran tertulis, yang bisa ditindak lanjuti dengan pencabutan izin usaha. Log Book sangat penting, karena kita dapat menganalisa lokasi kapal ditangkap, apa jenisnya, berapa bahan bakar yang habis digunakan, berapa lama berlayar dan sebagainya. Penerapan log book ini belum disadari oleh para nelayan karena belum memahami betul kegunaannya, sehingga belum menerapkannya secara benar. Untuk Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Log Book sangat bermanfaat, khususnya untuk ” stock assessment”. 10)
Pesawat Patroli Udara/Maritime Surveillance Aircraft (MSA) dan Radar Pantai MSA dan Radar Pantai sebagai penunjang fungsional MCS saat ini sedang
dikaji dan akan dikembangkan di tahun mendatang. Dengan luas wilayah, jangkauan dan kompleksitas pengawasan maka diperlukan sejumlah 10 MSA dan radar pantai yang dapat meliput seluruh wilayah perairan Indonesia. (2)
Kerjasama pelaksanaan pengawasan antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan instansi terkait. Aparat dari instansi terkait yang juga diperlukan untuk mendukung
operasional pengawasan meliputi : TNI AL, TNI AU, POLAIR, Adpel Pelabuhan, Petugas Bea dan Cukai. TNI AL, TNI AU dan POLAIR adalah aparat penegak hukum yang bertindak menghentikan, memeriksa, mengejar dan menangkap kapal yang melakukan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang untuk selanjutnya dilakukan proses penyidikan dan proses hukum lebih lanjut. Aparat penegak hukum ini mendapat laporan pelanggaran dari pengawas perikanan atau kelompok masyarakat yang berperan dalam pelaksanaan pengawasan.
56
Kerjasama operasi Ditjen P2SDKP dengan TNI Angkatan Laut dan pihak Kepolisian tidak hanya melihat kondisi lapangan, namun sekaligus menangkap para pelanggar yang didapat pada saat operasi. Berbeda dengan kerjasama operasi dengan TNI Angkatan Laut, kerjasama operasi dengan TNI Angkatan Udara hanya untuk melihat kondisi lapangan dari atas yang mampu menunjukkan kasus-kasus pelanggaran kapal. Kerjasama Ditjen P2SDKP dengan Petugas Bea dan Cukai adalah dalam inspeksi dan patroli pengawasan kegiatan ekspor impor agar kegiatan tersebut tidak merugikan negara Indonesia, justru harus memberikan keuntungan untuk negara. 4.1.2 Kebijakan pengawasan kelautan oleh TNI Angkatan Laut Perkembangan situasi nasional, regional maupun global dengan aktivitas dan volume kegiatan di laut atau yang melewati laut semakin meningkat dan cenderung menimbulkan berbagai bentuk tindak pidana, maka kegiatan penyidikan di laut sebagai subsistem upaya penegakan hukum di laut memerlukan kekuatan yang prima, sarana/prasarana yang memadai termasuk sumberdaya manusia yang handal. TNI AL merupakan salah satu badan kelautan yang mempunyai tanggung jawab untuk mengamankan laut dan segenap sumber kekayaan alam di dalamnya. Dalam rangka mengamankan kepentingan nasional, kepercayaan yang diberikan kepada TNI AL untuk upaya penegakan hukum di laut, dituangkan dalam berbagai bentuk perundang- undangan yang dengan jelas menunjuk TNI AL untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pentaatan terhadap ketentuan dalam UndangUndang tersebut serta penyidikan tindak pidana tertentu di laut. Penegakan hukum di laut secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan negara atau aparatnya berdasarkan kedaulatan negara dan atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk menjamin agar supaya peraturan hukum yang berlaku di laut
baik aturan
hukum nasional maupun internasional, ditaati oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara sebagai subyek hukum, sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum di wilayah laut. Secara universal TNI AL mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasai oleh kenyataan bahwa laut merupakan wahana kegiatan TNI Angkatan Laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka
57
menegakkan hukum di laut, melindungi sumberdaya dan kekayaan laut nasional, memelihara keamanan dan ketertiban di laut (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001). Legalitas kewenangan Perwira TNI AL untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut diatur dalam berbadai perundang-undangan, mulai dari produk hukum zaman pemerintahan Hindia Belanda, produk hukum nasional hingga konvensi hukum (laut) internasional UNCLOS 1982. Kewenangan sebagai penyidik terdapat dalam pasal perundang-undangan dan masih berlaku sebagai hukum positif dan dilaksanakan serta diterima dalam praktek proses peradilan di Indonesia (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001). Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui perundang-undangan nasional secara yuridis formal memberikan kewenangan penegakan hukum bagi kapal perang terhadap segala bentuk kejahatan yang dilakukan di dan lewat laut, terutama kejahatan yang bersifat internasional. Di samping itu dala m peraturan perundang- undangan nasional juga memberikan kewenangan kepada perwira TNI AL untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 1995). Undang-undang tentang kelautan zaman pemerintahan Belanda yang masih berlaku yaitu Pasal 13 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie/TZMKO) 1939 yang menyatakan bahwa untuk memelihara dan mengawasi pentaatan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ditugaskan kepada Komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandankomandan Kapal Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari Angkatan Laut. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 memberikan
kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal perang dan kapal
pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut, dimana hal ini dapat dilihat pada beberapa pasal antara lain pasal 107, 110, pasal 111 dan pasal 224 UNCLOS 1982 (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001). Menurut Dinas Pembinaan Hukum TNI AL (2001), dengan adanya pengumuman pemerintah tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, maka dikeluarkan/ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
58
Eksklusif Indonesia. Dalam rangka pengawasan dan pentaatan terhadap ketentuanketentua n dalam Undang-Undang maka upaya penegakan hukum diatur dalam pasal 14 ayat (1) yang memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983. Aparat yang telah ditunjuk ini juga berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang dinyatakan pada Pasal 31 ayat (1). Dalam bidang pembinaan konservasi sumberdaya alam
hayati
dan
ekosistemnya, wewenang penyidik TNI AL tidak berkurang meskipun dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, pada Pasal 39 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan penyidik dilakukan oleh Kepolisian Negara RI, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Penyidik TNI AL mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana, memeriksa tanda pengenal, melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti, serta membuat dan menangani berita acara (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001). Kewenangan penyidikan TNI AL dalam bidang pelayaran ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 pasal 99 ayat (1) yang menjelaskan bahwa selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran dan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran. Penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan, melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi dan orang yang diduga melakukan tindak pidana pelayaran, melakukan penggeledahan atau penyegelan (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001).
59
Wewenang penyidik TNI AL terutama dalam hal pertahanan negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi dan informasi akan sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman yang bersifat multi dimensial terhadap kedaulatan negara antara lain berupa terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut dan perusakan lingkungan. Untuk menanga ni persoalan tersebut perlu diterapkan hukum internasional dan perangkat hukum nasional. Peranan TNI dalam melaksanakan kebijakan pertahanan negara bertugas mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dalam melakukan pengawasan dan pendeteksian pada daerah – daerah atau sektor–sektor patroli, pelaksanaan operasi dimulai dengan berdasarkan pada informasi awal dan informasi lanjutan yang didapat dari luar maupun dari unsur sendiri. Pengawasan dan deteksi dapat dilakukan oleh satu unsur secara mandiri atau secara gabungan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas operasi. Informasi dapat diperoleh dari Analisa Daerah Operasi (ADO), informasi intelijen dari komando atas, atau instansi lain, laporan dari masyarakat nelayan/pantai, dari kapal-kapal sipil atau dari pengintaian patroli udara. Dalam melakukan deteksi, peralatan yang digunakan antara lain: (1) Radar, sonar (2) Electronic Support Measure (ESM), (3) Pengawas visual. Selain menggunakan peralatan, juga diperlukan data intelijen untuk mendukung proses pengenalan sasaran, yang menyangkut tentang daerah rawan tindak pidana, sasaran yang sedang dicari dan lain- lain. Penilaian sasaran dilaksanakan dengan mengkorelasikan data-data yang didapat dari hasil pengenalan sasaran dengan data/informasi intelijen yang ada untuk mendapatkan konfirmasi dan selanjutnya menentukan tindakan yang akan diambil, antara lain berupa (1) mencatat posisi dan tanggal waktu deteksi sasaran, (2) sasaran diabaikan/ditinggalkan apabila tidak ada kecurigaan, atau (3) diadakan penghentian dan pemeriksaan, dan (4) dalam hal memerlukan informasi tambahan, dapat meminta kepada komando atas. Apabila
60
bukti yang diserahkan oleh Komandan KRI dirasa masih belum cukup, maka pangkalan dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut. Bila terdapat bukti-bukti yang kuat maka akan diteruskan ke proses penyidikan (Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001). Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna menemukan tersangka. Tindakan yang dilakukan antara lain penggeledahan kapal, pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka dan penahanan. Bila tidak terdapat cukup bukti maka akan dilakukan proses penghentian penyidikan. Kewenangan Perwira TNI AL sebagai penyidik tindak pidana di laut merupakan bagian dari sistem penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum di laut tidak mungkin diwujudkan dan ditangani oleh satu instansi tanpa keterlibatan instansi yang berwenang lainnya. Oleh karena itu sistem penegakan hukum di laut ke depan seharusnya dibangun dengan prinsip mensinergikan semua potensi kekuatan nasional yang ada. 4.1.3 Direktorat Gamat Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan. Tugas Direktorat Gamat adalah melaksanakan kebijakan, bimbingan teknis dan evaluasi (UU dalam lingkup Ditjen Hubla, instansi lain dan konvensi internasional) di bidang pengamanan, patroli, penanggulangan musibah, dan pencemaran, tertib perairan dan pelabuhan, serta sarana penjagaan dan penyelamatan (Keputusan Menteri No. 24 tahun 2001). UU yang dilaksanakan : UU No.21 tahun 1992 tentang Pelayaran, PP No. 7 tahun 2001 tentang Pengawasan, PP No.82 tahun 2000 tentang Angkutan di Perairan, Solas 74 yang diratifikasi dengan Keppres No. 65 tahun 1980, Keputusan Menteri Perhubungan, Keputusan Dirjen Hubla, dan aturan yang lainnya. Jumlah kapal yang dapat beroperasi untuk operasi di laut sebanyak 3 kapal. Untuk kegiatan Bakorkamla, umumnya 2 kapal yang dipergunakan (DMI, 2006) 4.1.4 Dit. Polairud Mabes Polri. Tugas Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara adalah membina fungsi kepolisian perairan dan udara dalam lingkungan Polri, menyelenggarakan fungsi
61
kepolisian perairan dan udara Polri dalam rangka mendukung tugas pelaksanaan pada tingkat kewilayahan. Jumlah kapal yang dapat beroperasi untuk operasi di laut sebanyak 273 kapal, dengan norma 1/3 perawatan, 1/3 standby dan 1/3 operasi. Kelas A (50 GT) sebanyak 9 kapal, kelas B (28 – 33 GT) sebanyak 14 kapal dan sisanya kelas C (DMI, 2006). 4.1.5
Ditjen Bea dan Cukai Tugas yang diemban adalah :
(1)
Cukai
(2)
Kepabeanan : 1)
melakukan pengawasan lalu lintas barang ekspor- impor
2)
melakukan pengawasan pemasukan barang larangan dan pembatasan
3)
memungut bea masuk dalam rangka impor
4)
memberikan fasilitas perdagangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan ekspor
Unsur yang dimiliki sebanyak 37 kapal, 29 kapal yang beroperasi di Tanjung Balai Karimun, 3 kapal di Jakarta dan 5 kapal di Pantoloan. Sampai saat ini kapal yang stand by sebanyak 19 kapal, dalam perbaikan12 kapal, dan yang beroperasi di selat Malaka sebanyak 3 kapal, di selat Makassar sebanyak 2 kapal dan di Tanjung Priok tersedia 1 kapal (DMI, 2006) 4.2
Penerapan MCS di Beberapa Negara
4.2.1
Malaysia Malaysia mempunyai manajemen perikanan yang sangat lengkap dan
mempunyai kontrol yang kuat terhadap legislasi, lisensi, identifikasi kapal, mengembangkan prosedur inspeksi di laut dan pelabuhan, termasuk inspeksi peralatan. Malaysia juga menerapkan perjanjian internasional dengan membuat dan memperbaharui peraturan undang-undang perikanan. Sistem MCS dan mekanisme antar lembaga di Malaysia merupakan yang paling maju di wilayah Asia Tenggara dan dapat menjadi model bagi negara lainnya.
62
Malaysia membentuk lembaga penjaga pantai yang baru, yang mengambil alih tanggung jawab dan aset dari badan pelaksana yang ada. Lembaga ini menyarankan pengembangan program baru, karena hampir tidak ada armada pelaksana yang tepat untuk berpatroli di luar wilayah ZEE. Kapal patroli yang modern memerlukan biaya yang mahal dalam hal pengadaan dan pengoperasiannya, namun demikian, biaya yang hilang karena pencurian, kerusakan sumberdaya alam, kehilangan pajak, dan kekerasan atau pencurian di laut jauh lebih besar daripada biaya pengadaan (Flewwelling 2001). 4.2.2
Philipina Philipina memiliki manajemen perikanan yang responsif dan berkelanjutan
serta mempunyai sistem MCS dan semua peralatan yang siap untuk dikembangkan dan diakui, serta mempunyai tenaga yang terlatih. Pada dasarnya, manajemen dan sistem MCS Philipina cukup bagus, tetapi implementasi sistemnya tidak jelas, tidak mempunyai perjanjian kerjasama internasional yang diakui dan disetujui oleh pemerintah. Secara politik, manajemen perikanan yang berkelanjutan belum merupakan suatu prioritas bagi pemerintah, begitu juga oleh Departemen Perikanan dan Sumberdaya Air, yang seharusnya aktif membentuk mekanisme kerja sama antar lembaga yang memberi perhatian terhadap perikanan komersil dan perikanan asing yang ilegal. Philipina mempunyai program yang sangat progresif dalam membangun kesadaran publik dengan metode partisipasi untuk pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Philipina mempunyai semua komponen untuk menjadi model di Asia, tetapi kontinuitas dan keinginan politik tidak tampak di dalam sistemnya (Flewwelling 2001). 4.2.3
Maladewa Menurut Flewwelling (2001), Maladewa mempunyai teknik yang progresif
untuk sistem MCS (VMS plus citra satelit), meskipun sistemnya tidak sepenuhnya berfungsi karena dalam implementasinya membutuhkan pendanaan, penempatan operator terlatih, dan memerlukan mekanisme kerjasama antar lembaga (Pabean, Penjaga Pantai, Turisme, Departemen Perdagangan dan Industri, dan Departemen Manajemen Atol). Kelemahan lainnya adalah dalam pelatihan MCS dan inspeksi di laut yang dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan tidak menjadi prioritas utama.
63
Instrumen perundang-undangan juga memerlukan pembaharuan, selain itu juga diperlukan peningkatan perhatian terhadap standar keamanan di laut karena semakin banyaknya armada perikanan nasional yang mempunyai kapal besar dengan kemampuan berlayar sampai berhari-hari. Pengembangan peralatan keamanan diperlukan untuk meminimalkan kegiatan pencarian dan penyelamatan (SAR). Maladewa sangat mendukung sepenuhnya kerjasama regional untuk manajemen berkelanjutan dan aktivitas MCS karena beberapa hal yaitu: (1)
Tergantung pada tingginya stok perpindahan ikan
(2)
Kurangnya alternatif pilihan kerja selain sektor perikanan dan turisme
(3)
Adanya tekanan terhadap armada asing di wilayah perbatasan ZEE dan kapal asing berlisensi yang melakukan penangkapan ikan di dalam wilayah ZEE.
4.2.4. Thailand Thailand dikenal memiliki nelayan yang cukup dihargai di wilayah sekitarnya, sehingga banyak perusahaan perikanan Malaysia yang lebih suka mempekerjakan nelayan Thailand sebagai awak kapal mereka. Oleh karena itu Thailand berusaha untuk mengimplementasikan konsep kerjasama internasional di bidang perikanan. Thailand juga telah mempertimbangkan untuk mengembangkan infrastruktur MCS perikanannya, karena itu diperlukan perencanaan manajemen perikanan yang lebih pro aktif dan revisi terhadap beberapa peraturan undang-undang. Komitmen pemerintah terhadap penerapan MCS dan manajemen perikanan yang berkelanjutan cukup tinggi. The National Development Plan
menetapkan
prioritas yang tinggi terhadap pelayaran di luar ZEE, dan mengharapkan 1,8 juta ton ikan per tahun yang dihasilkan oleh armada perikanan di luar wilayah ZEE Thailand. Dalam melakukan pengawasan, Thailand menerapkan mekanisme kontrol bendera negara terhadap usaha perikanan Thailand yang menangkap ikan di luar wilayah ZEE (Flewwelling 2001). 4.2.5
India India mempunyai Penjaga Pantai yang sangat komprehensif dan kompeten
untuk mendukung sistem MCS di perairan laut dalam dan kontrol perbatasan terhadap
64
usaha perikanan asing. Area pantai dikontrol dan diregulasi oleh pemerintah. Tugas pengawasan ini cukup sulit karena terdapat hampir 9 juta nelayan, sekitar 2,4 juta yang bekerja full time di sekitar wilayah laut India. India belum mempunyai mekanisme undang-undang untuk mengontrol kapal perikanan India di luar laut territorial. Penerapan MCS India difokuskan terhadap kekerasan yang terjadi di dalam wilayah ZEE dan penyelesaian konflik dengan negara lain. Oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya koordinasi antar pemerintah dan antar lembaga, mekanisme kontrol dan perencanaan yang lebih pro aktif. Selain itu juga dibutuhkan suatu pelatihan MCS bagi pegawai pemerintah untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya manajemen perikanan yang
bertanggung jawab dan
berkelanjutan. Selain itu juga perlu dilakukan perubahan terhadap izin penangkapan ikan sehingga tidak melakukan usaha penangkapan ikan secara berlebihan, karena dari hasil riset terindikasi bahwa area pantai saat ini telah overfished. Dalam mekanisme antar lembaga pertimbangan ilmiah tidak selalu menjadi bagian dalam pengambilan keputusan, sehingga hal ini menjadi salah satu kelemahan dalam pengembangan manajemen sumberdaya kelautan yang berkelanjutan (Flewwelling 2001). 4.2.6
Bangladesh dan Myanmar Bangladesh dan Myanmar memiliki manajemen perikanan proaktif yang
relatif kecil, tetapi keduanya mempunyai mekanisme pengawasan yang ketat di pelabuhan terhadap kapal yang masuk dan meninggalkan pelabuhan mereka. Kemampuan kelautan keduanya sangat terbatas sehingga pelatihan MCS sangat diperlukan.
Kekurangan infrastruktur dari manajemen perikanan dan kurangnya
sumberdaya manusia yang terlatih juga merupakan faktor pembatas. Perhatian departemen secara internal terhadap hal ini cukup tinggi, tetapi sektor ini bukan merupakan prioritas utama pemerintah. Bangladesh mempunyai data dan informasi dari proyek Bay of Bengal yang dapat digunakan dalam menangani perikanan pesisir mereka. Myanmar memerlukan bantuan dalam perencanaan, infrastruktur, pembaharuan undang-undang yang berhubungan dengan perjanjian dan aktivitas internasional, penerapanan manajemen
65
perikanan yang berkelanjutan, dan peningkatan prioritas pemerintah dan kesadaran masyarakat terhadap sektor perikanan dan kelautan (Flewwelling 2001). 4.2.7
Kamboja Kamboja masih dalam tahap perbaikan setelah adanya konflik internal di
negaranya. Dalam bidang perikanan, pengelolaannya hampir secara total ditujukan terhadap perikanan darat di Sungai Mekong dan wilayah Tonle Sap. Terdapat kontrol yang sangat ketat terhadap skema manajemen perikanan daratnya, tapi hanya memberikan keuntungan bagi beberapa industri tertentu sedangkan nelayan lainnya secara umum hanya mendapatkan keunt ungan yang kecil. Hal ini terjadi karena pelelangan jatah perikanan dan sistem lisensi yang sangat mahal. Kamboja mempunyai pantai yang sangat terbatas dan mengabaikan perhatiannya terhadap pengelolaan perikanan lepas pantai dan kemampuan MCS. Perencanaan manajemen proaktif untuk memaksimalkan keuntungan terhadap nelayan, peningkatan manajemen dan pelatihan MCS, peningkatan kesadaran nelayan dan masyarakat, edukasi, dan perbaikan infrastruktur diperlukan untuk membantu pemulihan Kamboja setelah beberapa tahun berada dalam konflik internal (Flewwelling 2001). 4.2.8
Srilangka Srilangka mempunyai keterbatasan dalam memberikan perhatian yang
sungguh-sungguh terhadap wilayah pantainya karena masih berada di bawah konflik internal dengan Tamil, sehingga pemerintah mempunyai kesulitan mengontrol armadanya dalam wilayah lautnya. Adanya reorganisasi baru dari Departemen Perikanan akan memperkuat organisasi. Menurut Flewwelling (2001), di Srilangka terdapat suatu pendekatan inovatif melalui suatu komite the Special Area Management (SAMs) dalam membangun mekanisme antar lembaga, yang memusatkan perhatiannya terhadap pantai dan laguna secara umum dan dapat dijadikan contoh bagi negara lainnya. Komite ini melakukan pendekatan yang sangat holistik berdasarkan pada kebutuhan semua sektor, termasuk pengembangan prioritas terhadap perikanan. Srilangka juga membuat peraturan undang- undang baru yang memungkinkan untuk dikaji ulang dan direvisi. Otoritas terhadap kerjasama usaha the Board of Investment (BOI)
66
memungkinkan kapal internasional melakukan pendaratan ikan- ikan di pelabuhan Srilangka sehingga dapat memberikan sedikit keuntungan untuk Srilangka. Selain itu juga dikembangkan usaha untuk mengimplementasikan VMS terhadap kapal BOI, dan semua kapal yang melakukan pelayaran di laut dalam dan menerapkan mekanisme kontrol bendera negara. Hal lainnya yang mendapat perhatian dalam pengelolaan perikanan adalah faktor keamanan terhadap kapal-kapal besar yang berlayar di laut dalam. Kerjasama regional untuk pengelolaan perikanan dan MCS juga mendapat perhatian Srilangka karena keberadaan armada kapal mereka yang melakukan interaksi dengan armada perikanan negara lain. 4.2.9
Vietnam Vietnam merupakan negara dengan sektor perikanan yang besar yang
pengaruhnya semakin meningkat. Usaha yang sunguh-sungguh dibuat untuk meningkatkan kemampuan armada perikanannya, tetapi kemampuan manajemen pemerintah dan mekanisme kontrol tidak terlihat pengembangannya pada laju yang sama. Manajemen perikanan Vietnam dan kemampuan MCS difokuskan pada area pantai/pesisir dengan monitor terhadap laut dalam yang jauh dari pantai, terutama terhadap perbatasan wilayah tetapi belum untuk tujuan manajemen berkelanjutan. Oleh karena itu Vietnam harus memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pelatihan teknik MCS dan manajemen berkelanjutan dengan adanya dukungan perundang-undangan (Flewwelling 2001). 4.2.10 Namibia Menurut Steele (2000), Namibia merupakan salah satu negara penghasil ikan yang produktivitasnya cukup besar di dunia. Hal ini merupakan hasil dari sistem Benguela yang mutakhir yang dimiliki oleh Departemen Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (the Ministry of Fisheries and Marine Resources /MFMR). Misi departemen ini adalah untuk memperkuat posisi Namibia sebagai negara yang maju di bidang produksi perikanan dan mempunyai tujuan memberikan kontribusi dalam peningkatan ekonomi negara, bidang sosial dan konservasi.
67
Tujuan utama dari MFMR adalah : (1)
Mengembangkan
dan
mengoptimalkan
regulasi
perundang-undangan
sumberdaya kelautan untuk konservasi ekosistem kelautan yang berkelanjutan. (2)
Membuat lingkungan yang kondusif bagi industri perikanan sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari sumberdaya kelautan secara lebih optimal.
(3)
Mengembangkan kepentingan Namibia di sektor perikanan internasional.
(4)
Memberikan pelayanan secara responsif dan profesional.
(5)
Melakukan pelayanan secara efektif dan efisien di sektor keuangan.
(6)
Secara kontinyu melakukan investasi dalam pengembangan sumberdaya manusia. Departemen ini memiliki tiga direktorat yaitu direktorat manajemen
sumberdaya yang berhubungan dengan aktivitas penelitian, direktorat operasional yang berhubungan dengan administrasi dan operasional dan direktorat kebijakan, perencanaan dan ekonomi. MFMR dibentuk sejak tahun 1990, dan saat ini dipertimbangkan sebagai suatu model manajemen perikanan yang mendukung sektor industri perikanan sehingga dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam peningkatan perekonomian negara. Di MFMR, Direktorat Operasional bertanggung jawab untuk pelaksanaan MCS (monitoring, control dan surveillance). Dalam implementasinya, untuk mengontrol setiap kegiatan yang berada dalam wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE), di Namibia terdapat suatu program yang terintegrasi untuk inspeksi dan patroli di laut, di pelabuhan dan di udara secara berkelanjutan ya ng memenuhi hukum perikanan Namibia. Sejak kemerdekaannya, Namibia telah menetapkan tiga strategi utama dalam kebijakan bidang perikanan, yaitu: (1)
Stock rebuilding (pembangunan kembali cadangan sumberdaya), yakni membangun kembali cadangan sumberdaya yang telah terkuras oleh usaha penangkapan ikan yang berlebihan sebelum masa kemerdekaan;
68
(2)
Namibianisasi (nasionalisasi bidang usaha perikanan Namibia) untuk mengganti dan memperbaiki dominasi asing di bidang perikanan sebelum masa kemerdekaan, melalui usaha integrasi sektor usaha perikanan itu ke dalam perekonomian dan masyarakat Namibia, sehingga peluang kerja dan penghasilan yang dapat diperoleh dari pembangunan kembali cadangan sumberdaya itu dapat dinikmati oleh masyarakat Namibia itu sendiri.
(3)
Empowerment (pemberdayaan) untuk menjamin berlangsungnya peran serta masyarakat Namibia itu dalam sektor perikanan yang di masa awal kemerdekaan dalam kondisi yang lemah, sehingga tidak berkembang dengan baik. Juga untuk menjamin berlangsungnya partisipasi yang meningkat dan seimbang di sektor ini oleh masyarakat Namibia dengan berbagai latar belakang (keahlian maupun kemampuan). Institusi atau lembaga pusat untuk mengimplementasikan semua strategi ini
adalah Kementerian Perikanan dan Sumberdaya Kelautan. Lembaga ini harus membangun semua aspek dan program penelitian sampai pengawasan, yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur dasar dari administrasi perikanan. Juga menata kerangka kerja legal maupun perangkat peraturan lainnya untuk mengatur sektor perikana n. Pemerintah Namibia sangat memperhatikan dan memberikan prioritas yang tinggi terhadap kebijakan dan usaha untuk menghentikan kasus over-fishing (penangkapan ikan secara berlebihan). Dalam hal ini telah disusun dan ditetapkan sebuah sistim tentang Total Allowable Catches (TACs, total tangkapan yang diperkenankan) bagi semua cadangan sumberdaya ikan yang utama. Dengan sistim ini dapat dilakukan reduksi/pengurangan tangkapan dibandingkan dengan periode sebelum kemerdekaan yang penangkapan ikan ketika itu relatif tidak terkontrol sama sekali. Dengan demikian, kondisi cadangan sumberdaya dapat mulai dipulihkan kembali dengan cepat. Dengan sistem ini dapat pula ditingkatkan kapasitas TAC itu sendiri dan hasil total tangkapan meningkat secara signifikan dari 408.000 metrik ton pada tahun 1990, menjadi 789.000 metrik ton pada 1993. Keberhasilan manajemen perikanan didukung oleh adanya riset ilmiah, yang berada di bawah wewenang Direktorat Manajemen Sumberdaya yang melakukan
69
penelitian di bidang kelautan dan perikanan. Bagi industri perikanan modern keputusan dibuat berdasarkan pada pengetahuan tentang stok ikan untuk menjamin keberlangsungan usaha. Di Namibia, kemampuan untuk menghasilkan data meningkat cukup besar sejak departemen bersifat independen. Analisis dan survei yang sistematis dilakukan untuk mendapatkan data yang diperlukan sebagai dasar dalam melakukan pertimbangan dan saran dalam manajemen. Program yang digunakan untuk memonitor lingkungan kelautan adalah dengan menggunakan citra satelit dan laporan di bidang kelautan yang terbaru. Untuk mengembangkan kemampuan staf departemen dalam melakukan pemantauan dan pengawasan dilakukan berbagai usaha seperti pelatihan, seminar, dan lain sebagainya untuk meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan data yang akan diperlukan sebagai bahan dalam berbagai pertimbangan manajemen di departemen. (1)
Kerangka kerja regulasi dan hukum Beberapa hal utama dalam pembentukan dan penetapan kerangka kerja hukum
dan peraturan ini : 1) Pada tahun 1990 oleh Majelis (Badan Legislatif) Nasional telah diloloskan sebuah “Territorial Sea and Exclusive Economic Act” (Akta Teritorial Laut dan Ekonomi Eksklusif) sebagai ketetapan perundang- undangan yang baru dari Majelis (Badan Legislatif) Nasional Namibia itu, dan memberi hak kedaulatan atas sumberdaya kelautan di perairan Namibia. 2) Penyebar-luasan peraturan tentang Perikanan Laut pada tahun 1993 yang menjelaskan secara rinci tentang ketentuan-ketentuan di dalam Akta Perikanan Laut yang baru itu. 3) Pada tahun 1996, Majelis Nasional Namibia mengadopsi sebuah White Paper lain tentang Kebijakan Perikanan di darat (laut pedalaman), yang menekankan tentang urgensinya keterlibatan masyarakat dalam manajemen perikanan tersebut.
70
4) Penyiapan sebuah rancangan Undang-Undang tentang Perikanan Laut Dalam untuk mengimplementasikan White Paper, setelah konsultasi (dengar pendapat) yang luas dengan masyarakat yang terlibat dan terkait. 5) Persiapan sebuah rancangan yang baru tentang Akta Perikanan Laut yang mempertimbangkan penyusunan hukum internasional yang baru, ya ng berkaitan dengan bidang perikanan, terutama tentang tanggung-jawab negara untuk mengontrol usaha perikanan dan kapal ikan yang dipergunakan di laut bebas. 6) Namibia menerima Compliance Agreement (kesepakatan tentang pemenuhan ketentuan) FAO dan Namibia juga melakukan ratifikasi kesepakatan tentang cadangan sumberdaya perikanan PBB; dan dalam kedua kasus itu, Namibia termasuk kelompok negara pertama di dunia yang mengambil langkahlangkah ini. Keberhasilan manajemen perikanan didukung oleh adanya riset ilmiah, yang berada di bawah wewenang Direktorat Manajemen Sumberdaya yang melakukan penelitian di bidang kelautan dan perikanan. Analisa dan survei yang sistematis dilakukan untuk mendapatkan data yang diperlukan sebagai dasar dalam melakukan pertimbangan dan saran dalam manajemen. Program yang digunakan untuk memonitor lingkungan kelautan adalah dengan menggunakan citra satelit dan laporan di bidang kelautan yang terbaru. Direktorat Operasi bertanggung-jawab untuk melakukan pemantauan, kontrol dan pengawasan. Pengalaman di dunia, terutama dalam implementasi ZEE telah menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat dikenakan hukum dalam jurisdiksi pemerintah, jika tidak ada kontrol di kawasan ZEE. Dalam hal ini, selama periode tahun 1990-1991, pemerintah Namibia telah bertindak cepat dalam menghadapi para pelanggar hukum dari operasi kapal-kapal asing itu. Meskipun masih terdapat beberapa pelanggaran, namun tindakan hukum yang tegas merupakan hal yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya operasi penangkapan ikan ilegal yang dilakukan secara sistematis.
71
(2)
Kerjasama Internasional Secara regional, untuk sektor perikanan Namibia melakukan kerjasama
dengan negara tetangga yang bergabung dalam the Southern African Development Community (SADC) yang terdiri dari enam negara pantai yaitu Angola, Mauritus, Mozambiq, Namibia, Afrika Selatan dan Tanzania. SADC ini berada di bawah koordinasi Namibia. MFMR membantu dengan membuat suatu unit yang bertugas memberikan pedoman formulasi, evaluasi, manajemen dan implementasi untuk kebijakan spesifik, program dan proyek pengembangan di sektor sumberdaya perikanan dan kelautan. Unit tersebut mengkoordinasikan program pelatihan dan konsultasi berdasarkan perkiraan kebutuhan wilayah, yang berhubungan dengan MCS dan pengembangan sistem informasi (Steele, 2000). 4.2.11 Mozambique Menurut Kelleher (2002), di Mozambique yang bertanggungjawab terhadap monitoring, kontrol dan pemberdayaan di bidang perikanan adalah the Ministry of Fisheries (MP). Ada lima sub bagian dari MP yang berperan dalam aktivitas MCS, seperti dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Peranan sub bagian the Ministry of Fisheries (MP) dalam aktivitas MCS
Entity
Peranan
Comment
Direktorat administrasi perikanan (DAP/DNAP)
Lisensi perikanan, legislasi, proteksi, monitoring quota dan penangkapan ikan, observer dan inspeksi. Lisensi/kontrol industri perikanan. Melakukan hubungan dengan Departemen Hukum
Terdapat di semua propinsi melalui the Provincial Fisheries Administration Service (SPAPs). Administrasi bertindak sebagai lembaga di beberapa lokasi, yang menilai pajak dari berbagai izin beroperasi.
Direktorat Ekonomi (DE)
Manajemen ekonomi dan monitoring
Bertanggung jawab dalam administrasi dan sistem informasi statistik.
Direktorat Inspeksi Perikanan (DIP)
Inspeksi kualitas ikan dan laboratorium. Berhubungan dengan ekspor ikan.
Berhubungan dengan direktorat peternakan.
72
Table 8 Lanjutan Lembaga pengembangan perikanan skala kecil (IDPPE)
Mengembangkan aturan yang lebih berpengaruh terhadap proses manajemen kerjasama
Melakukan kerjasama dengan SPAPs
Institut Riset Perikanan
Memberikan saran tentang stok perikanan laut. Menerima dan menginterprestasikan data penangkapan yang diterima dari kapal
Peranannya terbatas dalam MCS.
Perencanaan sektor perikanan (Plano Economico e Social, PES) merupakan bagian
dari
rencana
lima
tahunan
pemerintah,
yang
mempunyai
tugas
merestrukturisasi dan menyusun institusi MP pada tingkat pusat dan daerah sebagai berikut: (1) Implementasi sistem VMS (2) Pengembangan perencanaan dan monitoring investasi (3) Peningkatan lisensi perikanan dan biaya lainnya. (4) Mengembangkan komite co-management (5) Memperkuat dukungan organisasi dan sistem informasi terhadap perikanan skala kecil. Perencanaan pengembangan untuk MCS meliputi: (1) Revisi dan pengembangan legislasi (hukum dan regulasi) (2) Peningkatan modal sumberdaya manusia SPAPs (DPAPs) dan kapasitas operasionalnya. (3) Memperkenalkan prosedur auditing internal. Dalam melakukan pengawasan dibutuhkan kemampuan patroli maritim (kapal patroli) di laut dan di udara. Beberapa kapal dibutuhkan dalam hal sebagai berikut: (1) Pengawasan dan kontrol sumberdaya kelautan (2) Proteksi
73
(3) Penelitian dan penyelamatan (4) Logistik untuk mendukung situasi darurat (5) Memerangi polusi laut dari kapal (6) Mendukung keimigrasian Tujuan pengawasan kelautan di Mozambiq ue adalah memproteksi perikanan tuna dan udang, mengontrol perbatasan di Utara dan Selatan, pencarian dan penyelamatan di laut dan memerangi polusi di laut. Pengawasan udara membantu operasional kapal patroli sehingga menjadi lebih efisien. Kontrol pelabuhan juga dilakukan secara terus menerus. Kapal patroli dengan tipe yang berbeda digunakan untuk keperluan yang berbeda di pantai dan di laut dalam sesuai dengan karakteristik geografis perikanan. Penggunaan radar juga dapat ditambahkan sebagai peralatan yang dapat membantu memudahkan pengawasan. Kapal patroli pantai dibutuhkan sehubungan dengan strategi regulasi dan operasional perikanan. Regulasi difokuskan pada kontrol aktivitas perikanan sehingga kebutuhan terhadap kapal patroli di laut merupakan hal yang sangat vital. Karena biaya pengadaan kapal cukup mahal, maka Mozambique berusaha menggunakan sistem sewa sebelum melakukan investasi untuk pengadaan kapal patroli pantai. Departemen mengoperasikan
Kelautan
kapal
patroli
Mozambique besar
dan
tidak
mempunyai
memerlukan
kemampuan
dukungan
untuk
mengoperasikan kapal patroli kecil dengan bantuan dari angkatan lautnya. Untuk patroli pantai dibutuhkan kapal patroli cepat yang ditempatkan secara strategis di sepanjang pantai khususnya di daerah perbatasan. Untuk melengkapi pengawasan di pesisir laut juga diperlukan patroli udara dengan menggunakan pesawat yang diperoleh dengan sistem sewa. Kontrol pelabuhan yang dioperasikan secara manual cukup efektif dari segi biaya. Kontrol pra-pelayaran juga membantu untuk kegiatan inspeksi di pelabuhan. Mozambique juga tidak mempunyai radar pantai (kecuali radar pelabuhan), sehingga dibutuhkan pemasangan radar dengan kisaran 50-80 mil laut yang meliputi perbatasan dari utara dan selatan.
74
4.2.12 Northwest Africa Menurut Steele (2000), The Subregional Fisheries of Northwest Africa (SRFC) dibentuk dengan suatu konvensi pada tahun 1985 dan terdiri dari enam negara (Cape Verde, Gambia, Guinea-Bissau, Mauritania, Senegal) ditambah dengan Sierra Leone. Komisi ini bertanggung jawab terhadap sejumlah protokol dan keselarasan dengan legislasi. Selain itu juga memasang peralatan untuk kerjasama dalam aktivitas pengawasan di udara dan di laut di antara negara-negara tersebut, meskipun terdapat kekurangan dari segi pembiayaan, sehingga mengurangi efektivitas kegiatan. FAO, melalui kantornya di Dakar, memiliki fungsi memperkuat SRFC sehingga lebih memiliki otoritas dan dirasakan kehadirannya oleh negaranegara anggota. Selat benua meliputi 100 mil laut garis pantai di barat daya, yang berkembang ke tempat lain di pantai barat selain Namibia. Garis pantai masing- masing negara mempunyai panjang yang bervariasi dari 70 kilometer (Gambia) sampai 718 kilometer (Senegal). Panjangnya garis pantai dan selat berpengaruh terhadap keperluan pengawasan. Mekanisme pengawasan dilakukan dengan memberikan lisensi kepada kapalkapal dengan pembatasan peralatan untuk zona di luar pantai dan zona dengan tipe dan spesies ikan tertentu. Legislasi secara regional merupakan hasil dari proyek bantuan FAO, pra- lisensi inspeksi pelabuhan dilakukan oleh beberapa negara dan penandaan kapal oleh FAO dengan sinyal panggilan. Transhipping juga dimonitor, meskipun kurang efektif karena kurangnya pengawasan di laut. Fokus utama adalah penyediaan dan pembiayaan pengawasan di air dan udara untuk perikanan. Terdapat tiga pesawat yang ditempatkan di Cape Verde, Senegal dan Mauritania. Selain itu juga terdapat beberapa kapal patroli di sub wilayah, yang dioperasikan oleh berbagai negara. Penilaian pengawasan air dan udara sebagai suatu mekanisme kontrol berhadapan dengan illegal fishing. Untuk masa mendatang perlu dilakukan hal- hal yang meliputi: penguatan SRFC sebagai suatu organisasi; penyelesaian masalah terhadap interaksi dan konflik diantara pekerja dan nelayan di industri perikanan;
75
usaha yang serius dan terus menerus mengatasi illegal trawler fishing yang tidak berlisensi. 4.2.13 Afrika Selatan Menurut Steele (2000), Afrika Selatan mempunyai potensi perikanan tiram yang cukup besar, sehingga pada tahun 1994 terjadi usaha pencarian tiram di sepanjang pantai barat daya Afrika Selatan. Dengan adanya masa transisi demokrasi, nelayan lokal ikut mengklaim produk tersebut karena selama rezim apartheid mereka tidak memiliki akses terhadap produk perikanan terutama tiram, sehingga hal ini menimbulkan konflik di antara nelayan ilegal, usaha perikanan komersial yang berlisensi dan polisi. Hal ini terjadi karena tingginya nilai tiram di pasaran internasional. Marine and Coastal Management (MCM) yang mempunyai kapasitas di bidang kelautan tidak memiliki kemampuan dalam menghadapi permasalahan baik terhadap kekuatan lokal maupun jaringan kriminal internasional. Dalam menghadapi peningkatan kerusakan sumberdaya alam dan pelanggaran hukum di wilayah tersebut, dibuat kebijakan usaha kerjasama yang dikenal dengan “operasi Neptuna”. Dalam implementasinya bekerja sama dengan”the South African Police Servive” (SAPS) dan MCM yang dibantu oleh lembaga- lembaga lainnya. Fokus Operasi Neptuna adalah terhadap perikanan ilegal di sepanjang wilayah barat daya Cape Town. Terdapat dua tujuan utama yaitu: (1) mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap stock abalon dengan meningkatkan kemampuan penegakan hukum untuk mencegah perikanan ilegal, (2) mengawasi dengan ketat perikanan ilegal dengan melakukan usaha intelijen, melakukan penahanan dan penyitaan terhadap kapal ilegal yang ditangkap. Operasi ini juga bertujuan untuk mengurangi kejadian kriminal secara umum di wilayah tersebut. Operasi Neptuna dilakukan oleh personel kepolisian dan perikanan dengan bantuan tambaha n dari Angkatan Laut dan organisasi yang berbasis lokal (seperti tenaga pemberdayaan otoritas lokal dan organisasi berbasis komunitas, Sea Watch). Personel dari area lainnya di Afrika Selatan juga turut membantu untuk mencegah perikanan ilegal. Sektor yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda terhadap
76
efektivitas Operasi Neptuna. Meskipun, sama-sama melihat beberapa hal yang positif dari operasi tersebut, yang meliputi: (1) Meningkatnya koordinasi dan kerjasama di antara lembaga – lembaga yang berpengaruh (khususnya MCM dan SAPS) dan kerjasama dengan komunitas lainnya seperti Sea Watch dan the Nature Conservation Department sebagai otoritas lokal. (2) Berkurangnya kriminalitas di wilayah tersebut. (3) Meningkatnya rasa keamanan bagi komunitas lokal dan berkembangnya rasa saling percaya di antara nelayan dan SAPS. (4) Memperkuat penangkalan terhadap perikanan ilegal. Sejumlah aspek negatif juga teridentifikasi dari operasi ini, yang meliputi halhal sebagai berikut: (1) Jangka waktu operasi tidak begitu lama (6 bulan), sehingga diperlukan penambahan waktu dengan Operasi Neptuna II. (2) Berkurangnya supply produk, sehingga produk terbatas berkembang di pasar gelap. (3) Pengenaan denda yang tidak cukup oleh pengadilan. (4) Tidak cukupnya pelatihan bagi personel Operasi Neptuna untuk mengidentifikasi spesies ikan tertentu (5) Tidak cukupnya biaya (6) Tidak cukupnya bantuan terhadap masyarakat lokal sehingga mereka dapat mengembangkan koordinasi. Operasi Neptune cukup berhasil dalam melakukan penegakan hukum di wilayah perairan Afrika Selatan. Operasi ini dapat menjadi lebih optimal dalam melakukan pencegahan terhadap illegal fishing jika: (1) Diimplementasikan dalam jangka waktu panjang (2) Bekerja sama dengan infrastruktur lokal
77
(3) Mempunyai program yang serius untuk mengembangkan akses terhadap hak komunitas lokal dalam pengelolaan sumberdaya kelautan 4.2.14 Argentina Manajemen perikanan Argentina didasarkan pada pembatasan kuota terhadap spesies tertentu, yaitu spesies hake dan mackarel. Armada nasional memiliki 731 kapal, dengan kapal pekerja perikanan pantai sebanyak 310, 133 ice trawlers, 288 armada kapal pengolahan produk. Sistem monitoring di Argentina masih mengalami kegagalan dalam mengawasi overfishing terhadap spesies tertentu. Hal ini disebabkan karena kurangnya sumberdaya manusia yang terlatih dan peralatannya, tidak tepatnya perhitungan dalam manajemen keuangan, kurangnya transparansi dan konsistensi dalam manajemen dan praktek MCS (lisensi, operasional, pinalti, dan lain lain), kurangnya kredibilitas yang terlihat dalam industri perikanan, dan yang lebih penting lagi adalah kurangnya keinginan politik dan pengetahuan yang merupakan hal yang penting dalam manajemen perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Hal ini sangat disayangkan, karena Argentina menjadi salah satu negara yang dirugikan karena adanya kesalahan dalam strategi negosiasi dengan kekuatan ekonomi yang lebih besar yang tidak mempunyai perhatian yang sama terhadap konservasi, sehingga negara terpaksa mengakomodasi berkembangnya overkapitalisme dalam industri perikanan. Perjanjian ini juga mengizinkan keberadaan kapal asing
dan
peralatannya di perairan Argentina yang dapat mempercepat kepunahan industri perikanan hake (Flewwelling 2003). Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Argentina menutup industri perikanan hake sampai ada skema manajemen yang tepat, meskipun tindakan ini sangat tidak populer di kalangan nelayan. Keefektifan biaya sistem VMS dikaji ulang. Rencana lainnya adalah mendukung MCS yang meliputi: (1)
Legislasi
(2)
Penguatan institusional dan transparansi
(3)
Pelatihan untuk penyidik pelabuhan, inspektur dan observer
(4)
Pengembangan program observer dan umpan baliknya bagi industri
(5)
MONPESAT VMS jika biaya mencukupi
78
(6)
Pengembangan koleksi data dan dihubungkan dengan propinsi
(7)
Dukungan Angkatan Laut dan Coast Guard.
Pertimbangan lainnya ya ng berhubungan dengan MCS meliputi: (1)
Manajemen ITQ dan keputusan untuk mengimplementasikannya dengan dukungan legal yang tepat, infrastruktur data, peralatan dan personel yang ditujukan untuk ITQ.
(2)
Adanya Memorandum of Agreement yang dihubungkan dengan propinsi pantai yang dapat menjamin usaha kerjasama untuk lisensi, informasi dan aktivitas MCS yang mendukung sistem ITQ.
Setelah menilai kondisi geografis, demografis, ekonomi dan politik untuk sistem MCS, maka negara harus mempertimbangkan bagaimana sistem MCS dapat diimplementasikan. Hal ini mempengaruhi desain sistem MCS yang tepat. Pertimbangannya harus meliputi sistem biaya yang efisien dan efektif untuk lembaga; kerangka kerja legal yang diperlukan dan dapat diterima oleh nelayan; koordinasi antara lembaga dan departemen; pelatihan, infrastruktur, mekanisme organisasi yang mendukung; dan sumberdaya keuangan. 4.2.15 Australia Australia seperti umumnya negara lainnya memiliki kesiagaan dalam menghadapi sejumlah masalah di bidang kelautan yang muncul dari berbagai sumber. Usaha ini dikonsentrasikan pada pencegahan kapal asing yang memasuki zona perikanan Australia (Australian Fishing Zone/AFZ), kapal asing yang melakukan kegiatan perikanan akan dideteksi dan ditahan. Rata-rata setiap tahun dilakukan penangkapan terhadap 100 kapal asing yang melakukan kegiatan ilegal di dalam wilayah AFZ, meskipun jumlahnya tidak cukup signifikan karena luasnya wilayah laut Australia (terbesar ketiga di dunia) yang perlu pemantauan yang lebih efektif dan dengan keterbatasan sumberdaya yang dapat melakukan pemantauan. Dalam penerapan MCS, di Australia terdapat the Australian Fisheries Management Authority (AFMA). AFMA mengembangkan penilaian resiko dan rancangan kepatuhan untuk pengelolaan setiap usaha perikanan dan selanjutnya bertindak sebagai suatu badan koordinasi yang menggunakan penggabungan aset di
79
antara semua negara bagian (termasuk bidang pertahanan) untuk melaksanakan MCS (Flewwelling 2003). Ketentuan MCS yang diterapkan terhadap para nelayan domestik Australia, hanya bertumpu pada penggunaan teknologi dan dengan melakukan auditing (pemeriksaan) silang atas hasil tangkapan dan dokumentasi pendaratan dengan informasi yang diberikan secara elektronik. Dalam usaha perikanan yang dikelola dengan mempergunakan kontrol output, maka para nelayan diminta untuk memberikan “laporan sebelum pendaratan” kepada AFMA melalui telepon, radio ataupun Inmarsat C. Laporan ini juga ditransmisikan kepada pager (penyeranta) yang dimiliki para pejabat berwenang di bidang perikanan atau melalui telepon mobile-nya (dengan mempergunakan layanan SMS) untuk menginformasikan kepada para pejabat AFMA tentang waktu dan tanggal kedatangan kapal di pelabuhan dan waktu bongkar muat maupun hasil tangkapan yang diperkirakan berdasarkan spesies utamanya. Para nelayan juga diminta untuk melengkapi laporan harian atau keberangkatan kapal dengan logbooks, dengan memperkirakan hasil tangkapan berdasarkan pada spesiesnya. Ketika kembali ke pelabuhan, maka Catch Disposal Record (CDR, catatan tentang hasil tangkapan yang telah selesai) dilengkapi, sebelum ikan-ikan dipindahkan ke tempat lain. Petugas penerima ikan yang pertama kemudian melakukan verifikasi bobot hasil tangkapan berdasarkan pada spesiesnya masingmasing. Saat ini AFMA mencoba mempergunakan timbangan elektronik di dok kapal untuk memverifikasi hasil tangkapan yang didaratkan pada saat bongkar muat. Pengembangan teknologi ini dimaksudkan untuk menjamin pemantauan dengan biaya yang efektif secara waktu, dan mendorong adanya integrasi dengan rantai pemasaran. Para pejabat bidang perikanan melakukan pemeriksaan terhadap kapal secara acak di laut dan di pelabuhan untuk menjamin kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan bidang perikanan, juga agar sesuai dengan ketentuan manajemen yang telah ditetapkan. Selain itu pada beberapa bidang perikanan besar di Australia, juga diterapkan Vessel Monitoring System (VMS). Teknologi VMS digunakan dengan tujuan untuk melakukan pengawasan aset melalui udara dan laut
80
untuk menjamin dipatuhinya peraturan, VMS bertindak secara signifikan untuk mencegah operasi ilegal yang terjadi di laut (Flewwelling 2003). 4.2.16 Kanada Menurut Steele (2000), di Kanada the Federal Department of Fisheries and Ocean (DFO) dipercaya oleh Parlemen Kanada untuk menangani semua hal yang berhubungan dengan hukum kelautan. Penanganan perikanan, didelegasikan sebagian kepada pemerintah propinsi. DFO tetap bertanggung jawab terhadap pengelolaan perikanan di laut Pasifik, Atlantik, Artik, perairan darat untuk empat propinsi Atlantik dan sungai ikan salmon di British Columbia. DFO program Conservation and Conservation menjamin penerapan dari rencana perikanan, regulasi dan legislasi. Hal ini memerlukan pendekatan MCS yang terintegrasi dan pengembangan sekitar 600 tenaga perikanan untuk patroli darat, laut dan udara, observer sektor swasta yang mencakup semua kapal industri perikanan, monitoring dockside dan pengendalian monitoring elektronik terhadap aktivitas kapal ikan. DFO mengoperasikan armada patroli kapal pada setiap pantai dan melakukan inspeksi di laut. Penyewaan pesawat udara juga digunakan untuk memonitor armada perikanan. Pengawasan laut dan udara juga dilakukan oleh the Department of National Defence (DFO). Kanada menyebarkan sektor swasta, observer kontrak, pada semua kapal perikanan asing dan lokal di perairan Kanada untuk mendapatkan informasi ilmiah dan menyediakan informasi untuk melakukan monitoring. Mereka dilatih untuk mendeteksi dan melaporkan
adanya gangguan seperti dumping,
perikanan di area tertutup, penangkapan yang tidak dilaporkan, dan penggunaan peralatan ilegal. Cakupan observer bervariasi tergantung pada resiko konservasi dan prioritas manajemen. Mereka memverifikasi jumlah produksi dan spesies ikan untuk data scientific dan pengawasan kuota. Data ini kemudian di-cross-check dengan melakukan inspeksi secara acak oleh pegawai perikanan. Biaya observer di laut dibagi antara departemen dan industri perikanan. Biaya monitoring dockside dibayar oleh industri perikanan. Program konservasi dan proteksi secara signifikan melakukan reorientasi. Sebagai contoh, sejumlah kapal patroli besar dirubah menjadi program kapal kecil
81
sehingga dapat beroperasi secara lebih efisien oleh tenaga perikanan. Penghematan biaya karena pengurangan kapal besar diinvestasikan kembali untuk teknologi surveillance dan pembelian peralatan yang baru. Investasi yang signifikan juga dilakukan
untuk
menghasilkan
pelaksanaan
sistem
data
yang
baru
dan
mengintegrasikannya dengan semua sistem yang telah ada, dengan tujuan untuk memberikan informasi bagi tenaga perikanan yang lebih akurat dan tepat pada waktunya. 4.2.17 Amerika Ukuran zona ekonomi eksklusif (ZEE) Amerika merupakan yang terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 100.000 kapal perikanan komersial. Manajemen perikanan dibagi antara pemerintah federal dan pemerintah pusat. Setiap pemerintahan bertanggung jawab terhadap zona sejauh 3 mil laut. The National Marine Fisheries Service (NMFS) dibawah the National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melakukan monitoring dan menempatkan personel multi lembaga untuk aset MCS seperti patroli laut dan udara. The United States Coast Guard (USCG) merupakan lembaga kunci yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan multi tugas di laut dan wilayah ZEE. Amerika Serikat mengembangkan sistem nasional yang terintegrasi sehingga semua usaha perikanan dapat diarahkan untuk keperluan VMS yang dipusatkan untuk analisis, perencanaan dan operasional (Flewwelling 2003). 4.2.18 Inggris Council Regulation (EC) No. 850/98 berisi aturan teknis mengenai konservasi sumberdaya perikanan di Inggris, yang meliputi hal- hal sebagai berikut: (1) Ukuran minimum ikan yang boleh ditangkap untuk spesies tertentu. (2) Penentuan ukuran pukat ikan dan kombinasi penggunaannya. (3) Batasan terhadap penggunaan peralatan penangkapan ikan tertentu. (4) Penentuan area terbatas yang tertutup untuk kegiatan penangkapan ikan. Setiap bulan Desember the Council of European Fisheries Ministers melakukan pertemuan untuk memberikan saran ilmiah mengenai pentingnya menangani stok perikanan dan pembatasan penangkapan ikan. Negosiasi ini juga
82
dilakukan dengan negara-negara di luar Uni Eropa. Hal yang lebih penting bagi Inggris adalah melakukan perjanjian kerjasama dengan
Norwegia dalam hal
konservasi stok ikan. Regulasi ini diperbaharui setiap tahun dengan melakukan penyusunan kuota terhadap stok perikanan tertentu, dan menerapkan standar pengukuran yang tepat dalam melakukan pengawasan (Flewwelling 2003). Dalam Council Regulation (EEC) No. 2847/93 diatur sistem kontrol untuk monitoring konservasi dan manajemen stok perikanan, usaha perikanan, dan pemasaran. Semua aktivitas kontrol dilakukan oleh lembaga Headquarters di Edinburg, yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan terhadap kemampuan penerapan pemberdayaan aset dengan melakukan koordinasi informasi dan penyebaran sumberdaya dengan cara terintegrasi efektif. Informasi dikumpulkan, dianalisa dan disaring oleh HQ sebelum disebarkan kepada petugas kapal patroli dan kantor perikanan di sekitar pantai. The Scottish Fisheries Monitoring Centre ditempatkan di Ruang Operasi di lembaga Headquarters. Pengawasan dilakukan dengan menggunakan sistem monitoring satelit. Gambar satelit dapat dikirimkan ke kapal di laut dengan menggunakan e-mail yang menyediakan informasi mengenai aktivitas perikanan. Kantor perikanan yang terdapat di pantai juga menyediakan informasi bagi kapal yang mendekati pelabuhan dan yang berlayar di sekitar daerah yang dizinkan untuk penangkapan. Arah prioritas penegakan hukum adalah mencegah terjadinya pelanggaran terhadap aturan hukum perikanan yang telah ditetapkan dan prioritas manajemen perikanan, yang meliputi: (1) Proteksi terhadap sistem manajemen kuota, pengawasan pelanggaran area penangkapan, kesalahan dalam pencatatan spesies yang ditangkap dan pendaratan ikan yang tidak benar, (2) Regulasi teknik konservasi memerlukan pengecekan terhadap beberapa hal seperti alat penangkapan/jaring yang dipergunakan, ukuran ikan yang ditangkap dan area perikanan tertutup untuk tujuan konservasi. (3) Mencegah penangkapan ikan salmon ilegal.
83
Sejak 1 Januari 2000, kapal ikan dengan ukuran lebih dari 24 meter perlu melaporkan posisi mereka secara regular pada Fisheries Monitoring Centres (FMCs) yang beroperasi dengan menggunakan bendera negara. UK FMCs berlokasi di Edinburgh, London dan Belfast yang beroperasi penuh dan menjalin hubungan dengan negara anggota. Sinyal yang diterima dari kapal ikan yang beroperasi di perairan Skotlandia dianalisa dan dinilai oleh Operasional HQ. Sinyal ini berguna untuk penyebaran aset di udara, di laut dan di sekitar pantai sehingga pengawasan dapat dilakukan secara lebih efisien dan efektif. Dengan adanya informasi ini dapat dijamin kepatuhan terhadap regulasi perikanan. Di atas semua ini adalah meningkatkan kesadaran sejumlah pelaku perikanan bahwa pengembangan teknologi baru menjadi bagian penting yang berperan dalam konservasi sumberdaya perikanan, dan mereka juga percaya bahwa dalam jangka panjang industri perikanan akan menjadi bagian yang penting dalam penanganan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan (Flewwelling 2003). (1)
Surveillance Lembaga HQ mempunya i dua Cessna Caravan F11 406 dengan tujuan utama
adalah: 1) Melakukan operasi intelijen terhadap aktivitas perikanan untuk membentuk kerjasama yang lebih terintegrasi. 2) Membantu dalam mendeteksi aktivitas perikanan yang tidak dilaporkan. 3) Memaksimalkan jumlah kontrak jam penerbangan untuk surveillance. Kemampuan surveillance meliputi 30.000 mil2 per hari yang memberikan informasi yang berharga bagi proses pengadilan yang berhubungan dengan kasus kapal perikanan yang tidak melaporkan area penangkapan ikan. Selain pesawat udara juga terdapat empat kapal patroli yang disebar di daerah perikanan utama dengan batas 200 mil dan di perairan di sekitar Skotlandia, dan dua kapal patroli pantai dengan batasan 12 mil di dalam perairan teritorial.
84
(2)
Monitoring Aktivitas monitoring dilakukan oleh The Agency’s Sea Fisheries Inspectorate.
Tujuan operasionalnya adalah mendukung legislasi dan prioritas manajemen perikanan untuk mencegah dan mendeteksi aktivitas ilegal dengan melakukan: 1) Memperlihatkan eksistensi kehadiran mereka di sekitar pantai. 2) Memonitor pendaratan ikan di pasar utama 3) Mengecek dokumentasi 4) Berhubungan dengan operasional kapal patroli Salah satu tugas yang utama adalah verifikasi keakuratan data pendaratan dengan cross check logbooks secara rutin dan melakukan cek fisik secara random (Flewwelling 2003). 4.3
Coast Guard Berbagai Negara Sejarah pembentukan Coast Guard pertama kali berkembang di Amerika
Serikat. Pemikiran tentang Coast Guard berkembang dengan cepat dan diadopsi oleh banyak negara. Model Coast Guard Amerika bukanlah model yang absolut karena banyak negara menerapkan model yang berbeda tetapi dengan substansi tujuan yang sama (Markas Besar TNI AL 2005). 4.3.1
Amerika Serikat Coast Guard merupakan instansi maritim tertua di dunia yang bermula di
Amerika Serikat. Bentuk US Coast Guard
telah mengalami beberapa kali
transformasi sejak pembentukannya yang pertama. Makna transformasi US Coast Guard
secara substansial adalah suatu wujud optimalisasi aspek birokrasi dan
operasional dalam penegakan keamanan dan hukum di laut. Kondisi US Coast Guard setelah mengalami beberapa kali transformasi adalah: (1)
Merupakan instansi pemerintah yang bersifat otonom dengan memiliki berbagai sarana serta Alat Utama dan Sistem Senjata (Alutsita) sendiri yang meliputi berbagai jenis kapal patroli, helikopter dan fasilitas pangkalan.
85
(2)
Merupakan instansi yang memiliki kualifikasi unit paramiliter dengan US Navy berperan aktif selaku supervisor. US Coast Guard selalu dipimpin oleh perwira dari US Navy berpangkat Laksamana Muda.
(3)
Kewenangan (role) yang dilaksanakan adalah : 1) Maritim Law Enforcement 2) Search and Rescue (SAR) at sea 3) Marine Environmental Pollution Response 4) The Maintenance of Intercoastal and offshore 5) Aids To Navigation (ATON).
4.3.2
Perancis Centre Regional Operationnel de Surveillance et Sauvetage (CROSS) sebagai
French Coast Guard merupakan : (1)
Instansi pemerintah yang bersifat otonom dengan memiliki berbagai sarana sendiri.
(2)
CROSS merupakan instansi sipil murni
(3)
CROSS memiliki kewenangan dalam hal: 1) Recherche et sauvetage maritime atau SAR at sea. 2) Surveillance de la navigation maritime atau Aids To Navigation (ATON). 3) Surveillance des pollution atau Marine Environmental Pollution Response. 4) Surveillance des peches maritime atau Fishery Protection. 5) Radiodiffusion des informations liees a la securite de la navigation atau Bureau of Navigation. Selain CROSS terdapat La Societe Nationale de Sauvetage en Mer (SNSM)
yang merupakan instansi pemerintah yang dibentuk tahun 1967, yang hanya bertugas
86
untuk “saving lives at sea around the French coast”. La Marine National (Angkatan Laut Perancis) memiliki kewenangan dalam melaksanakan maritim law enforcement. 4.3.3
Kanada Canadian Coast Guard (CCG) mengalami beberapa kali perubahan
departemen pembina akibat gesekan kepentingan birokrasi antar departemen di Kanada. Sejak 4 April 2005, instansi ini direorganisasi menjadi “special operating agency” yang dikendalikan langsung oleh sebuah commissioner dan bersifat otonom. Secara struktural tetap berada di bawah Departement of Fisheries and Ocean (DFO), namun DFO hanya berfungsi sebagai penyalur finansial, tanpa kewenangan kendali operasional. Kondisi saat ini merupakan transisi bagi CCG karena Parliamentary Committee mengusulkan agar CCG berada di bawah pembinaan Department of Transportation (DOT). Arah pembentukan CCG selanjutnya akan mengikuti model US Coast Guard, yang merupakan unit paramiliter. Oleh sebab itu berbagai sarana yang dimiliki telah dilengkapi dengan kesenjataan untuk siap melaksanakan tugastugas maritime security. Tugas yang dilaksanakan adalah: (1) Maritime Security (2) Search And Rescue (SAR) di laut (3) Panduan Navigasi (4) Pemecah es dan misi suplai ulang masyarakat terpencil di Kanada Utara 4.3.4
Inggris Model Coast Guard di Inggris adalah Her Majesty’s Coast Guard (HM Coast
Guard) yang dibentuk tahun 1809 atas inisiatif Royal Navy dan diawaki oleh personel Angkatan Laut Inggris dan difokuskan untuk “anti-smuggling” dan “ preventive water guard”. Pada saat pembentukannya, HM Coast Guard masih merupakan instansi yang otonom dengan memiliki sarana dan alutsita sendiri. Dalam perjalanannya, HM Coast Guard mengalami transformasi yang justru terjadi penyusutan kewenangan. Kondisi saat ini adalah :
87
(1) HM Coast Guard berkedudukan di darat dan hanya menangani masalah “rescue” di laut. Instansi ini tidak bersifat otonom karena tidak memiliki sarana operasional. Laporan kecelakaan (distress message) atas permintaan bantuan pertolongan di laut yang diterima, diteruskan ke instansi pelaksana di lapangan yang terdekat dengan lokasi kejadian. HM Coast Guard hanya berperan sebagai koordinator atau penghubung saja. (2) Berbagai institusi/instansi pelaksana lapangan yang berkaitan dengan aksi “penyelamatan” adalah merupakan instansi link-up dan dideklarasikan sebagai fasilitas HM Coast Guard. Kecuali Royal Navy, sebagian besar instansi link-up HM Coast Guard merupakan instansi non-government yang bekerja secara sukarela berdasarkan dedikasi terhadap kemanusiaan, diantaranya Royal National Lifeboat Institution (RNLI) yang terdapat di setiap daerah, semua rumah sakit, Ambulance Service, Surf Life Saving Club (SLSC), Irish Air Corps (IAC) dan lain- lain. RNLI memiliki sarana 323 lifeboat dengan personel sukarela dan untuk kebutuhan helikopter penolong disediakan oleh Royal Navy dan Irish Air Corps. (3) Fungsi Maritime law Enforcement dilaksanakan oleh Royal Navy (Angkatan Laut Inggris) yang mengemban peran polisionil negara di laut. 4.3.5
Jerman German Koordinierungsverbund Kustenwache (GKK) sebagai German
Federal Coast Guard mengadopsi model US Coast Guard, dengan kondisi sebagai berikut: (1) GKK merupakan instansi pemerintah yang bersifat otonom dengan memiliki berbagai sarana dan Alutsita sendiri meliputi berbagai jenis kapal patroli, helikopter dan fasilitas pangkalan. (2) Merupakan instansi pemerintah yang memiliki kualifikasi unit paramiliter. (3) Tugas yang dilaksanakan adalah: 1) Penjaga perbatasan. GKK sebagai penyidik awal, selanjutnya diserahkan ke penyidik lanjutan Federal Border Guard (Bundesgrenzschutz).
88
2) Pengawas lingkungan. GKK sebagai penyidik awal, selanjutnya diserahkan ke penyidik lanjutan Federal Waterways and Shipping Administration. 3) Shipping safety. GKK sebagai penyidik awal, selanjutnya diserahkan ke penyidik lanjutan Federal Waterways and Shipping Administration. 4) Pengawas perikanan. GKK sebagai penyidik awal, selanjutnya diserahkan ke penyidik lanjutan Federal Institute of Agriculture and Food. 5) Petugas Bea Cukai. GKK sebagai penyidik awal, selanjutnya diserahkan ke penyidik lanjutan Federal Ministry of Finance. 4.3.6
India Cikal bakal Coast Guard dibentuk tahun 1974 dengan mengadopsi model
British Coast Guard, dengan tugas melindungi dan mengamankan sepanjang garis pantai India. Dalam perjalanannya, model ini sulit diaplikasikan, sehingga diubah mengikuti model US Coast Guard. Pada 1 Februari 1978, perubahan bentuk tersebut diresmikan menjadi Indian Coast Guard (ICG) dengan kondisi: (1) ICG merupakan instansi pemerintah yang bersifat otonom dengan memiliki berbagai sarana dan Alutsita sendiri, meliputi berbagai jenis kapal patroli, hovercraft, hydrofoil, helikopter dan fasilitas pangkalan. (2) ICG merupakan instansi yang memiliki kualifikasi unit paramiliter dimana Indian Navy berperan aktif selaku supervisor. (3) Peran yang dilaksanakan ICG adalah: 1) Proteksi kelautan 2) Proteksi kekayaan lepas pantai seperti minyak, ikan dan mineral. 3) Assist Mariners in distress 4) Safeguard life and property di laut 5) Penegakan hukum di laut dalam hal penyelundupan, narkotika, dan pelayaran. 6) Mendukung Angkatan Laut India dalam masa perang.
89
4.3.7
Australia Pada tahun 1937 Australia mendirikan The Royal Volunteer Coastal Patrol
(RVCP) dengan mengadopsi model British Coast Guard dan diikuti dengan organisasi volunteer lainnya yaitu The Australian Volunteer Coast Guard (AVCG) pada tahun 1961. Kedua organisasi non-government ini didedikasikan sebagai Search And Rescue Service di laut. Selain itu terdapat Coastwatch Division di bawah The Australian Custom dan The Police Service. Dengan terjadinya berbagai tindak kekerasan di laut dan isu global mengenai terorisme, parlemen Australia khususnya dari Partai Buruh Australia telah mengusulkan agar dibentuk Australian Coast Guard yang mengadopsi model US Coast Guard. Australian Coast Guard akan menangani maritime law enforcement termasuk berbagai ancaman kekerasan di laut dengan kualifikasi unit paramiliter. Fungsi maritime law enforcement saat ini dilaksanakan oleh The Royal Australian Navy dan nantinya akan diperkuat oleh Australian Coast Guard. 4.3.8
Kewenangan Coast Guard Kewenangan yang dilaksanakan Coast Guard berbagai negara berbeda-beda,
tetapi satu hal yang tidak berbeda adalah bahwa Coast Guard tidak melaksanakan penegakan kedaulatan negara di laut (enforcing and protecting maritime sovereignty) karena hal tersebut merupakan tugas dan kewenangan Angkatan Laut. Bentuk Coast Guard role secara global dari berbagai negara dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perbandingan kewenangan Coast Guard berbagai negara Role (wewenang)
Amerika Perancis
Maritime law enforcement
X
Search and rescue (SAR) at sea
X
X
Marine environmental pollution response
X
X
Kanada Inggris
Jerman India Australia X
X
X* X
X
90
Tabel 9 Lanjutan The maintenance of intercoastal and offshore
X
Aids to gation
X
navi-
X
X
X
Border protection
X
Shipping safety
X
Assist mariners in distress
X
Custom
X X
Safeguard life and property at sea
X
Fishery protection
X
X
Protect offshore wealth such as oil, fish and minerals Assist Navy in times of war such as harbour defence, port security, naval counter intelligence and coastal patrol.
X X
X
X
X
Ket. * baru diusulkan oleh parlemen Australia Sumber: Tentara Nasional Indonesia (2005). Tidak semua negara yang memiliki pantai mempunyai Coast Guard, bahkan jumlah negara yang tidak memilikinya jauh lebih besar. Hal ini disebabkan karena tidak ada satupun produk hukum internasional yang memberi penekanan bahwa suatu negara pemilik laut harus memiliki Coast Guard, serta tidak ada sanksi internasional
91
dalam bentuk apapun bila tidak memilikinya. Yang menjadi hal mendasar adalah seberapa optimal suatu negara dapat menyelenggarakan penegakan keamanan dan hukum di perairan yurisdiksinya dengan atau tanpa Coast Guard, karena secara nyata keberadaan Coast Guard sangat besar pengaruhnya dalam mewujudkan penegakan keamanan dan hukum di laut. Secara substansial terdapat tiga model Coast Guard di dunia, yaitu : (1) Model US Coast Guard 1) US Coast Guard merupakan instansi maritim yang bersifat otonom dengan kepemilikan berbagai pangkalan, sarana dan Alutsita sendiri. 2) US Coast Guard
merupakan instansi maritim dengan kualifikasi unit
paramiliter, yaitu personel dengan status warga negara sipil, namun dilatih dan diorganisir dengan cara-cara militer serta kepadanya diterapkan kultur militer dan disiplin militer yang melekat. Kemampuan paramiliter disiapkan untuk: (i) Memiliki kemampuan penanganan masalah penegakan keamanan laut seperti Angkatan Laut dan penegakan hukum di laut (maritime law enforcement) seperti Polisi. (ii) Kekuatan pengganda selaku komponen cadangan kekuatan maritim nasional yang siap digunakan untuk harbour defence, port security, naval counter intelligence and coastal patrol di masa perang. 3) Keberadaan Coast Guard
mengeliminir berbagai instansi maritim
departemen teknis seperti Bea Cukai, Imigrasi, Perikanan, dan lain- lain. Institusi/instansi maritim yang melaut hanya US Navy, US Coast Guard dan Police Marine. (2) Model British Coast Guard 1) HM Coast Guard
merupakan instansi maritim yang hanya bersifat
administratif, tidak memiliki Alutsita sendiri sehingga sangat bergantung pada institusi/instansi pelaksana lapangan yang merupakan link up-nya.
92
2) Substansi dari model ini adalah unity of effort dimana HM Coast Guard hanya bertindak sebagai koordinator dan penghubung. Prasyarat bagi suksesnya British Coast Guard Model adalah koordinasi yang baik dan ditunjang dengan spirit komitmen nasional yang tinggi terhadap bidang tugas dan kemanusiaan, partisipasi masyarakat dan organisasi non pemerintah. Sebagian besar instansi link-up HM Coast Guard
merupakan
instansi non-government dengan status volunteer. Oleh sebab itu, model ini sulit diaplikasikan di negara-negara berkembang, bahkan Kanada, Australia dan India sebagai negara yang cukup maju, mengalami kesulitan dalam mengadopsi model ini dan berubah mengikuti US Coast Guard Model. (3) Model French Coast Guard Centre Regional Operationnel de Surveillance et Sauvetage (CROSS) sebagai model French Coast Guard; merupakan perpaduan antara US Coast Guard model dan British Coast Guard model dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1)
CROSS merupakan instansi maritim pemerintah yang bersifat otonom dengan kepemilikan berbagai pangkalan, sarana dan Alutsita sendiri.
2)
CROSS tidak memiliki kewenangan pada maritime law enforcement.
3)
CROSS bukan unit paramiliter.
Umumnya pembina Coast Guard negara–negara di dunia adalah Department of Transportation (DOT) dan Department of Marine Service, karena keduanya merupakan instansi maritim yang dapat memfokuskan diri pada domain operasional di laut. Selain itu kedua instansi tersebut juga lebih memahami perlakuan di laut, terutama yang menyangkut hukum laut internasional, hukum internasional lainnya dan hukum nasional yang berkaitan dengan laut (Markas Besar TNIAL 2005). 4.4
Perbandingan MCS di antara beberapa negara Kemampuan manajemen perikanan di antara berbagai negara sangat
bervariasi. Hanya Malaysia dan Thailand yang mempunyai armada kapal dan peralatan sendiri untuk pelaksanaan MCS di bidang perikanan, sedangkan Indonesia baru mulai membangun sistem MCS perikanannya. Kamboja dan Myanmar mempunyai beberapa kapal patroli yang kecil dan tua. Hampir semua negara
93
tergantung pada armada kapal Angkatan Laut dan Penjaga Pantai dalam menerapkan hukum kelautan. 4.4.1 Legislasi Setiap negara berusaha secara sungguh-sungguh menerapkan hukum kelautan negaranya untuk perikanan di dalam wilayah teritorialnya. Masing- masing negara berusaha menyusun dan memperbaharui aturan perundang- undangan dengan bantuan dari badan dunia seperti yang dilakukan oleh FAO terhadap Malaysia, Indonesia dan Thailand. Prioritas bantuan juga perlu diberikan kepada negara- negara yang secara langsung sedang mengamandemen undang- undang perikanannya, seperti Maladewa, Philipina, dan Srilangka, dan selanjutnya merestrukturisasi Departemen Perikanan yang baru. Bangladesh, India, Myanmar dan Vietnam juga memerlukan bantuan legislasi dalam memperbaharui hukum sumberdaya kelautannya. 4.4.2 Lisensi, dan Identifikasi Kapal Pengelolaan sistem lisensi dan identifikasi kapal masing- masing negara bervariasi, yang dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Lisensi dan identifikasi kapal di berbagai negara
Lisensi
Penandaan
Negara Akses terbuka (Y/N)
Bangladesh
Kamboja
Akses terbuka
Satu lembaga lisensi
Lisensi nasional/ propinsi
Multi agensi Wilayah nasional
Akses terbuka Multi agensi untuk kapal, akses terbatas untuk perikanan darat
Pemerintah nasional untuk kapal kecil
Perikatan asing/ joint venture
kapal
Tidak ada Lengkap kapal dengan asing otoritas lainnya Tidak ada Otoritas kapal lainnya asing tidak dipaksakan
94
Tabel 10 Lanjutan India
Akses terbuka di Multi agensi Pemerinbawah otoritas netah nasiogara nal untuk kapal asing/JV di luar 12 mil laut, tapi tidak ada domestik
Tidak ada kapal asing, joint venture diizinkan
Otoritas perikanan dan lainnya.
Indonesia Akses regulasi untuk Multi agensi beberapa area, umumnya tidak ada regulasi di area lain dengan akses terbuka
Nasional dan bergeser ke propinsi dan distrik dengan hukum otonomi
Tidak ada Otoritas kapal a- lain sing, joint venture dan dua bendera negara diizinkan.
Malaysia Akses terbatas
Lisensi perikanan dan identifikasi kapal
Nasional untuk kapal besar dan dilisensi kembali oleh negara
Tidak ada kapal asing, tapi ABK asing diizinkan sampai 90%
FAO, sistem terbaik di Asia dengan sertifikat ISO 9000.
Malade-
Multi agen- Nasional si, Trade and Industry (MTI) untuk asing,
Kapal asing diizinkan di bawah lisensi
AsingFAO, lokalotoritas lain, desain perikanan dengan kode
wa
Akses terbatas untuk kapal asing, akses terbuka untuk kapal lokal
Myanmar Terbatas secara hukum
Multi agensi Nasional Tidak ada Kode untuk ka- kapal warna/ pal besar, asing otoritas dilisensi pelabuh lagi oleh an daerah, daerah untuk kapal kecil
95
Tabel 10 Lanjutan Philipina
Akses terbatas seca- Multi agenra hukum tapi tidak si, otoritas diterapkan maritim dan perikanan
Nasional untuk kapal besar, lisensi regional, kodya untuk kapal kecil < 3GT
Tidak ada kapal asing, joint venture diizinkan
Agensi lain, otoritas kelautan
Srilangka
Akses terbuka un- Multi agentuk domestik, ter- si, perikanbatas untuk BOI an, otoritas pelabuhan ikan
Nasional untuk kapal besar, propinsi untuk kapal kecil.
Tidak ada kapal asing, BOI kapal asing diizinkan untuk pendaratan di Srilangka
Perikanan distrik, dan sejumlah kode
Thailand
Akses terbuka kecu- Multi agensi Nasional ali peralatan berge- pelabuhan rak dan perikanan
Vietnam
Akses terbuka
Tidak ada Pelabuhkapal an regisasing trasi / propinsi
Multi agensi Nasional> Tidak ada ID 75hp, kapal propinsi propinsi < asing 75hp
Sumber: Flewwelling (2001) Umumnya negara masih memiliki sistem manajemen perikanan “akses terbuka” dan beberapa negara memiliki kemampuan hukum untuk menerapkan akses terbatas. Sistem identifikasi kapal sangat bervariasi, termasuk penerapan sistem FAO yang digunakan di Maladewa terhadap kapal asing. Malaysia menerapkan suatu sistem modifikasi dengan penambahan kode warna, penandaan zona dan tipe kapal untuk memudahkan identifikasi di laut dan di udara. Sistem identifikasi kapal dan lisensi Malaysia sangat rinci dan diyakini sebagai model sistem untuk wilayah regional tersebut. Malaysia mendapatkan ISO 9000 untuk sistem tersebut pada tahun 2000.
96
4.4.3 Mekanisme antar lembaga Tabel 11 Mekanisme antar lembaga dalam pelaksanaan MCS di berbagai negara
Negara
Mekanisme antar lembaga
Bangladesh
Tidak ada pada saat ini, memerlukan enam lembaga yang berpengaruh
Kamboja
12 lembaga yang berpengaruh plus propinsi, tidak ada kemampuan antar lembaga yang formal.
India
Coast Guard untuk pelatihan, tapi tidak ada penelitian manajemen, tidak ada pendekatan oleh pemerintah secara konsisten
Indonesia
Revival National Maritime Council (DKN)
Malaysia
Maritime Enforcement Coordinating Committe (MSCC) untuk perikanan, polisi laut dan Angkatan Laut yang lebih efektif dengan adanya otoritas langsung untuk penyebaran sumberdaya antar lembaga untuk wilayah perikanan yang menjadi prioritas. Dapat menjadi model untuk MCS
Maladewa
High Level Inter-Ministerial Policy Committe, tapi tidak ada koordinasi operasi antar lembaga yang formal.
Myanmar
Koordinasi inspeksi untuk kedatangan di pelabuhan secara formal, tapi tidak ada mekanisme lain untuk kerjasama operasi.
Philipina
High Level Policy Committe, tidak ada mekanisme operasi antar lembaga yang formal
Srilangka
Special Area Management (SAMs) Committe, suatu model partisipatori untuk manajemen wilayah pantai
Thailand
High Level Policy Committe untuk kebijakan dan restorasi laut Thailand, tidak ada mekanisme operasi antar lembaga yang formal
Vietnam
10 lembaga yang berpengaruh, tidak ada mekanisme operasi antar lembaga yang formal
Sumber: Flewwelling (2001)
97
Dua contoh paling baik dalam penerapan MCS yang berhubungan dengan mekanisme antar lembaga adalah MECC di Malaysia untuk pengoperasian MCS antar lembaga dan SAMs di Srilangka untuk komunitas pesisir dan manajemen area. Hal ini selanjutnya dapat dipertimbangkan sebagai suatu model bagi negara lainnya. 4.4.4
Sistem Data Umumnya sistem data masih manual dan tidak terdapat sistem verifikasi data.
Malaysia mempunyai sistem manajemen data yang terkomputerisasi. Philipina berusaha memperbaharui sistemnya dan diharapkan mempunyai sistem kerja yang sesuai dengan kebutuhan manajemen untuk kebutuhan nasional dan daerah. Indonesia sedang mengembangkan sistem manajemen data dan lisensi yang terkomputerisasi secara nasional dan kemudian didelegasikan ke tingkat daerah kabupaten dan propinsi. Maladewa mempunyai sistem data yang terkomputerisasi berdasarkan pada laporan penangkapan ikan dengan cross-check terhadap laporan pendaratan kapal, tetapi tidak meliputi semua wilayah di negara tersebut. Maladewa juga mempunyai persyaratan regulasi untuk semua kapal asing dengan melakukan pelaporan di pelabuhan, meskipun instrumen ini cukup efektif tetapi tidak didayagunakan. India mempunyai sistem nasional untuk mengontrol usaha kerjasama asing/armada kapal sewa dengan laporan harian, tetapi sistem data perikanan untuk armada nasionalnya sangat lemah.
Kamboja mempunyai sistem manual yang diperbaharui dan
dikomputerisasi oleh proyek Danish (Flewwelling 2001). 4.4.5
Persyaratan operasional Hanya Malaysia dan Thailand yang mempunyai armada pengawas perikanan
sendiri yang memiliki kemampuan pengawasan di wilayah pesisir dan di laut dalam. Armada patroli Malaysia (diperkirakan sekitar 60 kapal dengan penyewaan pengawasan udara) meliputi taman laut, area perbatasan dan gangguan asing. Armada Thailand (diperkirakan 100 kapal dengan pengawasan udara paruh waktu) meliputi perbatasan dan keseluruhan area secara umum. Negara lainnya mempercayakan hampir seluruhnya pada polisi laut mereka, penjaga pantai atau angkatan la ut untuk patroli perikanan dan hal ini hanya mencakup pengawasan perbatasan. Di beberapa negara, hampir tidak ada
monitoring dan penyidikan terhadap armada domestik
kecuali Philipina yang mengaktifkan program “bantay dagat atau save the seas” yang
98
dibuat di tingkat daerah untuk pemberdayaan sektor kelautan pesisir dan perikanan. Indonesia melalui COREMAP mempunyai keinginan untuk mengembangkan kemampuan MCS pesisir dengan menggunakan kapal-kapal, personel berbasis darat dan radar pantai untuk cakupan wilayah lokal (Flewwelling 2001). Tidak ada negara yang mempunyai laporan inspeksi dan pendaratan yang lengkap, mengadakan inspeksi peralatan perikanan, mengadakan inspeksi pelabuhan, atau perkiraan penangkapan ikan yang di-cross-check dengan logbooks atau laporan penangkapan. Hal ini merupakan aktivitas yang kritis dalam pelaksanaan MCS untuk mengembangkan sistem manajemen data. 4.4.6
Vessel Monitoring System Penggunaan jalur satelit/sistem monitoring kapal (VMS) dan citra satelit
merupakan dua teknologi baru yang dapat digunakan lebih efektif untuk MCS perikanan. VMS merupakan instrumen yang dapat mengawasi kapal yang berlisensi, tetapi tidak dapat berfungsi terhadap kapal yang tidak berlisensi. VMS dengan peralatan lain, seperti citra satelit dapat memberikan foto semua kapal dan kemudian mengidentifikasi kapal-kapal yang tidak mempunyai transponder, dan karenanya dapat diidentifikasikan dan memungkinkan untuk diperiksa. Sistem ini masih dalam tahap percobaan tetapi diharapkan dapat memberikan pengetahuan untuk operasional MCS selanjutnya. Indonesia secara aktif mencoba beberapa sistem VMS dan sedapat mungkin mengimplementasikannya untuk semua kapal dalam waktu dekat. Malaysia mempunyai sistem pilot yang menjajaki sekitar 25 masalah perkapalan. Legislasi untuk MCS masih belum berperan dalam Hukum Perikanan Malaysia. Srilangka dengan VMS berusaha memonitor kapal-kapal Board of Investment (BOI) yang melakukan bongkar muat di pelabuhan mereka. Maladewa mempunyai sistem elektronik MCS dan memiliki VMS serta citra satelit, tetapi sistem ini tidak bekerja efektif karena kurangnya pendanaan untuk pengoperasian peralatan secara terus menerus dan kurangnya sumberdaya manusia yang terlatih.
99
4.4.7
Monitoring, Control and Surveillance Capability Penilaian komparatif dari kemampuan MCS masing- masing negara dapat
dilihat pada Tabel 12. Menurut Flewwelling (2001), penilaian ini bersifat subjektif, dengan dasar penilaian sebagai berikut: (1) Bila tidak ada sistem, atau terdapat satu sistem tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam pelaksanaan MCS, diberi nilai (1) (2) Bila terdapat
sebagian,
tetapi
sistem
tersebut
tidak
mampu
dalam
pelaksanaannya, diberi nilai (2), (3) Jika terdapat sistem yang mempunyai tingkat kemampuan yang benar-benar baik, tetapi masih memerlukan sedikit penambahan, diberi nilai (3). Tabel 12 . Penilaian komparatif kemampuan MCS masing- masing negara. Kemampuan Bang Kam India Indo Malay Mala Myan Phili Sri Thai Viet MCS ladesh boja nesia sia dewa mar pina langka land nam Legislasi24
2
2
2
2
3
2
2
2
2
1
2
Lisensi25
2
1
2
2
3
126
2
2
227
1
2
Kapasitas di 1 laut 28
1
2
1
3
3
1
2
1
3
2
Pengawasan perikanan dari udara
1
1
2
1
2
2
1
1
1
3
1
Identifikasi kapal29
1
1
2
2
3
3
2
2
2
2
2
Koordinasi antar lembaga
1
1
2
2
2
2
2
1
2
1
1
Prosedur pelabuhan dan inspeksi30
1
2
3
1
3
2
2
2
1
3
2
Pelatihan MCS31
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
100
Tabel 12 Lanjutan Program observer
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Perencanaan 1 sistem data perikanan dan MCS32
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
Laporan pendaratan kapal
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
Laporan perpindahan kapal
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
Penggunaan VMS33
1
1
1
1
2
2
1
1
1
1
1
Total
16
16
22
18
29
24
19
19
18
21
19
Sumber: Flewwelling (2001) Keterangan: 24. Semua instrumen legislasi membutuhkan pembaharuan dalam prinsip dan perjanjian kerja sama internasional yang meliputi Code of Conduct for Responsible Fisheries, UN Fish Stock Agreement, FAO Compliance Agreement, dan lain-lain. 25. Semua sistem manajemen bersifat open access dan tidak mempunyai lisensi atau register sehingga informasi data dan laporan penangkapan tidak lengkap. 26. Maladewa membutuhkan lisensi untuk semua kapal asing dan registrasi untuk semua kapal perikanan nasional. Insentif bagi nelayan yang melakukan registrasi kapal (bebas biaya) adalah berupa keuntungan dengan adanya pembebasan biaya terhadap transportasi dan biaya pelabuhan jika mereka menangkap ikan lebih dari 120 hari per tahun. 27. Sistem lisensi Srilangka diterapkan terhadap kapal ikan yang berada di dalam wilayah pengawasan pemerintah. Lisensi dibuat oleh pemerintah propinsi terhadap kapal kecil. Lisensi untuk kapal besar, joint venture atau BOI dilakukan secara manual oleh Departemen Perikanan. 28. Tidak ada negara, kecuali Malaysia dan Thailand yang mempunyai kemampuan inspeksi sehingga tugas pengawasan diserahkan kepada Angkatan Laut. 29. Tidak ada negara yang menggunakan panduan FAO untuk identifikasi dan penandaan kapal, kecuali Maladewa yang melakukan identifikasi terhadap kapal asing dan Malaysia yang mengembangkan sistem FAO untuk lisensi dan identifikasi kapal. Umumnya banyak negara tidak melakukan penandaan khusus terhadap usaha perikanannya (kecuali Malaysia, Maladewa dan Vietnam) dan hanya menggunakan sistem yang dikembangkan oleh lembaga maritim. 30. Beberapa negara tidak mempunyai kemampuan inspeksi di laut dan hanya menggunakan inspeksi di pelabuhan, seperti Myanmar dan Bangladesh, dan tidak ada negara yang menerapkan prosedur laporan inspeksi formal. 31. Umumnya negara mempunyai lembaga kursus formal dan on the job training untuk standarisasi operasional MCS.
101
32. Data perikanan umumnya tidak akurat karena tidak ada verifikasi atau cross check. 33. VMS merupakan instrumen yang potensial untuk pengawasan kapal, baik nasional maupun armada kapal asing. Banyak negara yang masih mendapatkan kesulitan dalam pengadaannya karena biaya yang cukup mahal. Malaysia sedang mengembangkan kemampuannya untuk pengadaan VMS, Maladewa mempunyai VMS dan citra satelit, Srilangka mulai mempertimbangkan penggunaan VMS untuk kapal BOI, dan Indonesia sedang melakukan uji coba sistem VMS. Pada lingkup regional, VMS dapat menjadi sarana untuk berbagi informasi di antara berbagai negara dalam melakukan pengawasan dan pengelolaan usaha perikanan.
Kemampuan MCS Malaysia merupakan yang paling maju di antara semua negara di wilayah Asia Tenggara dan dapat dijadikan contoh bagi negara lainnya. Pengalihan otoritas dan usaha peningkatkan kesadaran pada komunitas pemerintah dan nelayan untuk manajemen yang berbasiskan komunitas terlihat sangat baik di Philipina. Kesadaran dan informasi, edukasi dan penerapan teknik komunikasi di Philipina juga dapat membantu dalam pengembangan aktivitas MCS. Zona The Special Area Management (SAMs) antar lembaga di Srilangka juga dapat menjadi contoh yang progressif untuk pengelolaan berbasis partisipasi masyarakat ya ng dapat membantu pengembangan aktivitas MCS. VMS dan citra satelit di Maladewa jika dapat berfungsi dengan tepat dapat menjadi contoh di wilayah tersebut untuk teknologi yang tepat dalam memonitor perikanan dan setiap waktu dapat membagi informasi di antara berbagai lembaga. Instrumen legislasi baru yang ditempatkan di Thailand, Malaysia dan Indonesia dapat membantu negara lainnya di wilayah tersebut dalam melakukan kerjasama nasional dan internasional sesuai dengan the Code of Conduct for Responsible Fisheries (Flewwelling 2001). Usaha dengan inisiatif yang positif secara terus menerus, bersamaan dengan tambahan bantuan untuk pelatihan manajemen sumberdaya kelautan dan bantuan dalam manajemen dan mekanisme kerjasama MCS secara luas dapat mengurangi sumber konflik dan mengembangkan manajemen yang berkelanjutan untuk wilayah tersebut. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa Malaysia, Maladewa dan India menempati rangking 1-3 untuk penilaian aktivitas MCS (legislasi, lisensi, identifikasi kapal, kapasitas di laut, dan prosedur inspeksi). Program pelatihan baru, program observasi, koleksi data dan VMS masih belum merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan
102
MCS di berbagai negara (Flewwelling 2001). Dari Tabel 12 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) Banyak negara pada umumnya membutuhkan beberapa hal yaitu: 1) Aktivitas perencanaan manajemen perikanan secara regular dan proaktif. 2) Mekanisme kerjasama antar lembaga yang lebih kuat untuk penyelesaian konflik dan memberikan prioritas untuk lisensi, inspeksi, pengumpulan data dan pelaksanaan MCS lainnya. 3) Infrastruktur. 4) Peningkatan prioritas pemerintah untuk manajemen sektor kelautan dan perikanan. (2)
Semua negara memerlukan review dan pembaharuan instrumen perundang-
undangan yang berhubungan dengan perikanan, yang berhubungan dengan perjanjian internasional dan prinsip pengelolaan perikanan dari the Code of Conduct for Responsible Fisheries, yang meliputi: 1) Wilayah geografis. 2) Sanksi administrasi. Otoritas untuk area manajemen khusus (taman laut). 3) VMS dan teknologi MCS lainnya, seperti citra satelit. 4) Identifikasi kapal 5) Kontrol akses 6) Perubahan instrumen undang-undang untuk menangani berbagai kegiatan yang berkembang seperti penggunaan bahan berbahaya dan eksplosif, perikanan ilegal, dan lain- lain. 7) Sistem data dan lisensi 8) Prosedur inspeksi kapal dan identifikasi sumberdaya perikanan. (3)
Semua negara memerlukan pelatihan yang meliputi subjek-subjek berikut: 1) Manajemen pantai dan perikanan 2) Sistem verifikasi dan pengumpulan data
103
3) Operasional dan perencanaan MCS untuk mendukung perencanaan manajemen dan implementasinya, 4) Teknologi MCS yang tepat dan tersedia. (4) Pertumbuhan dan perkembangan armada setiap negara yang begitu cepat sehingga menjadi lebih mobile, memerlukan pemenuhan persyaratan keamanan di laut untuk mengurangi resiko kecelakaan di laut. (5) Penilaian studi perikanan. 4.5
Perbandingan MCS Antar Negara dan Posisi Indonesia Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini telah berhasil
mengidentifikasi secara singkat lebih dari 20 negara di dunia yang menerapkan MCS. Negara- negara tersebut adalah Malaysia, Philipina, Thailand, Maladewa, India, Bangladesh, Myanmar, Kamboja, Srilangka, Vietnam, Australia, Kanada, Argentina, USA, Jepang, Namibia, Afrika Selatan, negara-negara Afrika Barat Laut (Northwest Africa), Mozambiq dan negara- negara Afrika Bagian Selatan (South African Regional Countries), Inggris dan Norwegia.
Penilaian komparatif dari kemampuan MCS
masing- masing negara dilakukan dengan dasar penilaian sebagai berikut: (1) Bila tidak ada sistem, atau terdapat satu sistem tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam pelaksanaan MCS, diberi nilai (1) (2) Bila terdapat sebagian, tetapi sistem tersebut tidak mampu dalam pelaksanaannya, diberi nilai (2), (3) Jika terdapat sistem yang mempunyai tingkat kemampuan yang baik, tetapi masih memerlukan penambahan, diberi nilai (3). (4) Jika terdapat sistem yang mempunyai tingkat kemampuan yang benar-benar baik, sekalipun masih memerlukan sedikit penambahan, diberi nilai (4). Dalam penelitian ini komponen MCS dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Landasan Operasional MCS dan Pelaksanaan MCS. Hasil analisis perbandingan landasan operasional MCS berbagai negara di dunia dapat dilihat pada Tabel 13.
104
Tabel 13 Hasil Analisis Perbandingan Landasan Operasional MCS Berbagai Negara di Dunia
Aspek Landasan Operasional MCS yang Dievaluasi
Program Observer
Penggunaan VMS
1
1
2
11
1.57
1
2
1
1
9
1.29
2
2
3
2
2
15
2.14
2
3
2
2
3
3
17
2.43
3
3
3
2
3
3
3
20
2.86
Maladewa
1
2
3
2
2
1
2
13
1.86
7
Myanmar
2
2
2
2
2
1
1
12
1.71
8
Philipina
2
2
2
1
2
1
2
12
1.71
9
Sri Lanka
2
2
2
2
2
1
1
12
1.71
10
Thailand
1
1
2
1
3
2
2
12
1.71
Lisensi Legislasi
Identifikasi Kapal
Prosedur Koordinasi Inspeksi Antar dan Lembaga Boarding
No
Negara
1
Bangladesh
2
2
2
1
2
Kamboja
1
2
1
3
India
2
2
4
Indonesia
2
5
Malaysia
6
Jumlah
Rata2
105
Tabel 13 Lanjutan 11
Vietnam
2
2
2
1
2
1
1
11
1.57
12
Inggris
4
4
4
4
4
3
4
27
3.86
13
Argentina
3
2
2
3
3
3
4
20
2.86
14
Perancis
3
3
3
4
3
3
4
23
3.29
15
USA
3
4
4
4
3
4
4
26
3.71
16
Australia
3
3
3
4
3
3
4
23
3.29
17
Kanada
3
3
3
4
3
4
4
24
3.43
18
Jepang
3
3
4
4
4
4
4
26
3.71
19
Namibia
2
2
2
3
3
3
3
18
2.57
20
Norwegia
3
3
3
2
3
3
4
21
3.00
21
Mozambiq
2
2
2
3
2
2
3
16
2.29
22
South Africa
2
2
3
2
2
3
3
17
2.43
23
Northwest Africa
2
2
3
2
2
2
3
16
2.29
24
SARDC
2
2
3
2
2
3
3
17
2.43
106
Table 13 Lanjutan Jumlah Rata2
55
57
63
58
61
57
67
418
59.71
2.29
2.38
2.63
2.42
2.54
2.38
2.79
17.42
2.49
Sumber :
Flewwelling (2003) dan FAO 2003 dan FAO 2004 (diolah)
Catatan :
Flewwelling (2003) hanya mengevaluasi untuk negara-negara Asia Selatan (11 Negara); Evaluasi untuk negara lainnya (13 negara) berdasarkan hasil penelitian FAO dan dilakukan evaluasi skoring oleh penulis berdasarkan hasil wawancara.
107
Sedangkan hasil perbandingan pelaksanaan MCS berbagai negara di dunia dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Hasil Perbandingan Pelaksanaan MCS Berbagai Negara di Dunia
Aspek Pelaksanaan MCS Yang Dievaluasi
No
Negara
Kapasitas
Laporan
Laporan
Pengawasan
Diklat
Perencanaan Data
di Laut
Boarding
Movement
Udara
MCS
dan MCS
Jumlah
Rata2
1
Bangladesh
1
1
1
1
2
2
8
1.33
2
Kamboja
1
1
1
1
2
1
7
1.17
3
India
3
2
1
2
2
2
12
2.00
4
Indonesia
2
2
2
2
3
3
14
2.33
5
Malaysia
3
3
2
3
2
3
16
2.67
6
Maladewa
3
2
2
2
2
1
12
2.00
7
Myanmar
1
1
1
1
2
1
7
1.17
8
Philipina
2
1
1
1
2
2
9
1.50
108
Tabel 14 Lanjutan 9
Sri Lanka
2
1
1
1
2
1
8
1.33
10
Thailand
3
2
2
3
2
2
14
2.33
11
Vietnam
2
1
1
1
2
1
8
1.33
12
Inggris
3
4
3
4
4
4
22
3.67
13
Argentina
3
4
3
2
4
3
19
3.17
14
Perancis
4
3
3
3
4
4
21
3.50
15
USA
3
3
3
4
4
4
21
3.50
16
Australia
3
3
3
3
4
4
20
3.33
17
Kanada
4
3
3
4
4
4
22
3.67
18
Jepang
3
3
3
3
4
4
20
3.33
19
Namibia
2
3
3
2
3
3
16
2.67
20
Nourwegia
3
3
3
2
3
4
18
3.00
21
Mozambiq
2
2
2
2
3
2
13
2.17
22
South Africa
2
2
2
2
3
2
13
2.17
23
NW Africa
2
2
2
2
2
2
12
2.00
109
Tabel 14 Lanjutan 24
SARDC
2
2
2
2
2
2
12
2.00
Jumlah
59
54
50
53
67
61
344
57.33
2.46
2.25
2.08
2.21
2.79
2.54
14.33
2.39
Rata2 Sumber :
Flewwelling (2003) dan FAO 2003 dan FAO 2004 (diolah)
Catatan :
Flewwelling (2003) hanya mengevaluasi untuk negara-negara Asia Selatan (11 Negara); Evaluasi untuk negara lainnya (13 negara) berdasarkan hasil penelitian FAO dan dilakukan evaluasi skoring oleh penulis berdasarkan hasil wawancara.
110
Hasil analisis perbandingan landasan operasional dan pelaksanaan MCS Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 1. Posisi Indonesia Diantara 24 Negara Yang Menerapkan MCS
4,00 Ingris 3,75
IV
III
3,50
Landasan Operasional MCS
3,25
Jepang
Australia
3,00
Malaysia
USA Kanada Perancis
Norwegia Argentina
2,75 Namibia 2,50
SADC
II
2,00
1,50
Indonesia
NW Africa
2,25
1,75
South Africa
Srilanka Philippina Myanmar Bangladesh; Vietnam Kamboja
I
Mozambiq
India
Maladewa Thailand
1,25 1,00 1,00
1,25
1,50
1,75
2,00
2,25
2,50
2,75
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
Pelaksanaan MCS
Gambar 9 Landasan operasional dan Pelaksanaan MCS Indonesia Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa posisi Indonesia berada pada posisi Kuadran II, bersama-sama dengan Thailand, India dan Maladewa. Negaranegara yang berada pada Kuadran IV diantaranya adalah Malaysia Australia, Kanada, Namibia, Norwegia, Argentina, Perancis, Jepang, Amerika Serikat dan Inggris. Malaysia, Thailand dan Australia adalah tiga negara yang berbatasan dengan Indonesia.
Keunggulan Malaysia dibandingkan Indonesia adalah Malaysia telah
mengikuti standarisasi sertifikasi ISO 9000 dan mempunyai armada perikanan sendiri yang meliputi kemampuan pengawasan di wilayah pesisir dan di laut dalam. Armada patroli Malaysia (diperkirakan lebih dari 60 kapal dengan penyewaan pengawasan udara) meliputi taman laut, area perbatasan dan gangguan asing. Mengamati posisi Indonesia sesuai Gambar 9 dan perbandingan dengan Malaysia, Thailand dan Australia sebagai negara terdekat , maka berdasarkan analisis perbandingan ini, strategi yang diterapkan oleh Indonesia adalah meningkatkan kinerja operasional sehingga memperoleh sertifikat internasional seperti yang dilakukan oleh Malaysia dan membangun kinerja operasional sehingga mampu mengimbangi negara-negara lain. Dalam hal khusus, disamping perlunya otoritas penuh berada di suatu Instansi, Indonesia perlu memiliki Coast Guard seperti di
111
Kanada, Malaysia, Amerika Serikat dan beberapa negara lain yang merupakan semi militer. Flewwelling et al (2003)
menyatakan bahwa efektivitas operasi MCS
perikanan dapat ditingkatkan apabila institusi tunggal berperan memimpin aktivitas tersebut. Hal ini akan secara signifikan mereduksi lintasan komunikasi untuk command and control dari komponen monitoring dan surveillance, sehingga lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan manajemen. MCS yang efektif membutuhkan mekanisme kontrol antar institusi yang kuat, sehingga institusi lain yang terkait harus berperan aktif untuk mendukungnya. 4.6
Analisis Faktor Kunci yang Mempengaruhi MCS Faktor kunci sistem MCS Nasional Indonesia diidentifikasi berdasarkan
analisis expert judgment. Didapatkan 18 faktor kunci dengan 144 komponen faktor, yang selanjutnya dapat ditentukan tingkat kinerja dan tingkat kepentingannya dalam sistem MCS. Hasil perhitungan faktor- faktor yang mempengaruhi MCS Indonesia dapat dilihat pada Tabel 15. Hasil analisis tertuang seperti dalam Tabel 16. Tabel 15 Hasil Perhitungan faktor-faktor yang mempengaruhi MCS Indonesia Responden ASPEK MCS
A
B
C
D
E
Rata tal rata
ToF
G
H
1
Lisensi
1.78 3,44 2,18 2,23 3,05 3,05 1,81 2,38 2,67 5 2,55
2
Legislasi
2,88 3,00 1,59 1,59 2,88 1,82 2,00 2,29 523 2,19
3
Koordinasi Antar Lembaga 2,55 2,09 1,00 2,15 2,55 1,66 2,09 2,00 203 1,94
4
Pelatihan MCS
2,45 2,21 1,19 1,19 2,45 1,68 2,00 2,00 126 1,83
5
Prosedur Inspeksi dan Boarding
2,45 2,00 1,54 1,93 2,36 1,68 2,00 2,21 256 2,00
6
Program Observer
2,29 2,00 1,20 1,60 2,13 1,62 1,74 1,87
7
Sistem perencanaan data dan MCS
3,14 2,00 1,00 1,67 2,63 1,41 1,56 1,90 116 1,81
8
Pembagian wewenang pusat dan daerah
2,06 2,10 1,41 2,54 2,03 1,62 2,10 1,83 198 1,94
98 1,77
112
Tabel 15 Lanjutan 9
Kapasitas di laut
1,82 1,41 1,00 1,70 1,70 1,12 1,78 1,59
24 1,48
10 Pengawasan udara
2,06 1,68 1,49 1,09 1,80 1,54 1,54 1,62
39 1,58
11 Identifikasi kapal
2,59 1,88 1,00 2,51 1,96 1,26 1,85 1,59
88 1,75
12 Laporan boarding
2,45 2,00 1,00 1,59 1,91 1,41 1,78 1,78
67 1,69
13 Laporan movement
2,54 2,02 1,24 2,06 2,19 1,66 1,98 1,84 173 1,90
14 Penggunaan VMS
2,59 2,08 1,33 2,62 2,10 1,55 1,88 1,83 211 1,95
Pengawasan Pantai (coast guard) dan Kelompok 15 Pengawasan Masyarakat 3,17 2,29 1,00 1,51 2,83 1,91 1,91 2,14 242 1,99 16 Penyidik Perikanan PPNS 2,52 2,00 1,00 1,77 2,38 1,64 1,81 1,81 114 1,81 17 Alat komunikasi (Alkom)
2,25 2,10 1,00 1,65 2,14 1,68 1,83 1,83
18 Radar dan satelit
2,54 2,10 1,00 1,19 2,45 1,68 1,93 2,00 101 1,78
Rata-rata
94 1,76
2,51 2,04 1,20 1,78 2,28 1,59 1,89 1,92 144 1,86
Tabel 16 Total dan rata-rata Kinerja dan Kepentingan berdasarkan Faktor Kunci MCS Nasional
Kinerja No
Faktor Kunci
1 Lisensi (IZIN)
Total
Kepentingan
Rata-Rata
Total
Rata-Rata
1.785
2.55
362
2.09
2 Legislasi (UUPP)
523
2.19
1.246
2.44
Koordinasi antar lembaga 3 (COORD)
203
1.94
3.668
2.79
4 Pelatihan MCS (DIKLAT)
126
1.83
6.539
3.00
Prosedur inspeksi dan boarding 5 (INSBRD)
256
2.00
3.389
2.76
113
Table16 Lanjutan 6 Program observer (OBSRV)
98
1.77
6.458
2.99
Sistem perencanaan data dan MCS 7 (PLNCDB)
116
1.81
4.561
2.87
Pembagian wewenang pusat dan 8 daerah (CENTOTM)
198
1.94
7.943
3.07
9 Kapasitas di laut (SEACAP)
24
1.48
16.602
3.37
10 Pengawasan udara (AIRSURV)
39
1.58
10.978
3.20
11 Identifikasi kapal (VESSID)
88
1.75
5.383
2.93
12 Laporan boarding (BRDREP)
67
1.69
9.157
3.13
13 Laporan movement (MOVE)
173
1.90
5.335
2.92
14 Penggunaan VMS (VMSUSE)
211
1.95
4.077
2.83
Pengawasan pantai (coast guard) 15 dan POKWASMAS (PMW/CG)
242
1.99
2.057
2.60
16 Penyidik perikanan PPNS (SIDIK)
114
1.81
6.536
3.00
17 Alat komunikasi (ALKOM)
94
1.76
7.177
3.03
18 Radar dan Satelit (RADSAT)
101
1.78
6.035
2.97
4.459
34
107.504
52
144
1.86
4.635
2.87
Jumlah Rata-rata
Dari analisis data-data di atas, didapatkan bahwa faktor kunci MCS nasional yang berada di atas nilai rata-rata dalam hal kinerja hanyalah faktor lisensi, sedangkan dalam hal kepentingannya faktor lisensi ini masih berada di bawah nilai rata-rata, hal ini menunjukkan bahwa stakeholders telah melaksanakan lisensi ini namun masih hanya sebatas prosedural. Dalam hal kepentingannya, faktor kunci MCS pada umumnya telah berada di atas nilai rata-rata, kecuali faktor kunci legislasi dan lisensi. Hal ini menunjukkan pula bahwa masih perlu pembenahan dalam hal legislasi MCS di Indonesia.
114
Tingkat kepentingan MCS di Indonesia tertera dalam Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10 terlihat bahwa hampir semua faktor- faktor MCS mempunyai tingkat kepentingan di atas garis median (>2,5), kecuali untuk dua faktor yaitu UUPP (legislasi) dan perizinan. Namun, dari segi kinerja, faktor perizinan memiliki kinerja pelaksanaan MCS yang lebih baik (>2,5) dibandingkan dengan faktor lainnya, hal ini
Tingkat Kepentingan
menunjukkan pula bahwa pelaksanaan faktor perizinan masih bersifat prosedural. 4,00 3,90 3,80 3,70 3,60 3,50 3,40 3,30 3,20 3,10 3,00 2,90 2,80 2,70 2,60 2,50 2,40 2,30 2,20 2,10 2,00 1,90 1,80 1,70 1,60 1,50 1,40 1,30 1,20 1,10 1,00
SEACAP AIRSURV
BRDREP INSBRD CENTOTM ALKOM SIDIK MOVE OBSV RADSAT VMSUSE VESSID PLNCBD COORD INSBRD PWM/CG UUPP
IZIN
1,00 1,10 1,20 1,30 1,40 1,50 1,60 1,70 1,80 1,90 2,00 2,10 2,20 2,30 2,40 2,50 2,60 2,70 2,80 2,90 3,00 3,10 3,20 3,30 3,40 3,50 3,60 3,70 3,80 3,90 4,00
Kinerja Pelaksanaan
Gambar 10. Tingkat kepentingan faktor-faktor kunci MCS
Faktor-faktor kunci MCS yang mempengaruhi kinerja MCS dan tingkat kepentingan MCS nasional dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17
1
Identifikasi faktor kunci yang mempengaruhi kinerja dan tingkat kepentingan MCS Indonesia
Aspek Lisensi atau Perizinan
No Identifikasi faktor 1
Pengurusan perizinan usaha perikanan
2
Pemalsuan perizinan
115
Tabel 17 Lanjutan 3
Penataan perizinan oleh pemerintah daerah
4
Pengawasan perizinan yang melekat di setiap kapal dan yang selalu berada di kapal
5
Luasan cakupan usaha perizinan (keaslian dokumen, masa berlaku izin, dan lain- lain)
6
Sistem pencatatan, pendataan dan pengawasan perizinan kapal
7
Pemalsuan dokumen Surat Penangkapan Ikan (SPI)
8
Kelengkapan dokumen yang dimiliki pengusaha/nelayan
9
Proses perizinan satu atap
10
Kejelasan dan ketegasan pembagian wewenang dan operasional perizinan pusat dan daerah
2
Aspek Legislasi atau Peraturan Pemerintah
No Identifikasi faktor 1
Konflik perbatasan wilayah dengan negara tetangga ( UU belum jelas)
2
Perundangan dan peraturan daerah yang memadai sebagai landasan pelaksanaan MCS
3
UU perikanan mengenai kelembagaan pengawasan maupun kewenangan
4
Sinkronisasi antara UU Perikanan dengan UU lainnya
5
Pemahaman mengenai UU Perikanan dan UU lainnya
6
Sinkronisasi UU, peraturan antara pusat dan daerah
7
Pelaksanaan UU dan peraturan yang ada
8
Penyebarluasan atau penjelasan dan pengumuman mengenai peraturan
3
Aspek Pelatihan SDM
No Identifikasi fakor 1
Sumberdaya manusia yang memahami sistem MCS
2
Lembaga khusus di daerah atau nasional yang menangani pengembangan SDM bidang MCS
116
Tabel 17 Lanjutan 3
MCS mencakup multi aspek sehingga diperlukan aneksasi sistem yang sudah ada
4
Kemampuan trainer nasional yang terakreditasi secara internasional dalam semua bidang MCS
4
Aspek Koordinasi Antar Lembaga
No
Lembaga yang dapat melakukan koordinasi terhadap semua unsur yang berperan dalam penerapan MCS
1
Kesamaan persepsi di antara berbagai lembaga mengenai pelaksanaan MCS
2
Jumlah lembaga terkait sangat banyak, membutuhkan sistem kelembagaan dan pembagian tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab terpadu
3
Jumlah lembaga yang banyak membutuhkan jangka waktu yang tidak singkat untuk setiap kegiatan operasional dan koordinasi
4
Luasnya cakupan kegiatan pelaksanaan MCS memerlukan koordinasi segala lini
5
Laporan dengan jumlah lembaga yang banyak membutuhkan sistem informasi dan manajemen terpadu, efektif dan efisien
6
Inspeksi dan patroli pengawasan membutuhkan kelembagaan khusus di bidang hukum, penyidikan, pengawasan patroli dan ekspor impor agar tidak merugikan negara
7
Penegakan hukum di laut tidak mungkin diwujudkan oleh satu instansi tanpa keterlibatan instansi yang berwenang lainnya
8
Sistem penegakan hukum di laut seharusnya dibangun dengan prinsip mensinergikan semua potensi kekuatan nasional yang ada
5
Aspek Prosedur Inspeksi dan Boarding
No Identifikasi faktor 1
Kemampuan inspeksi di la ut
2
Infrastruktur, sarana dan prasarana
3
Jumlah pengawas dan penerapan Log Book Perikanan (LBP) dan Lembar Laik Operasi (LLO)
117
Tabel 17 Lanjutan 4
Kemampuan SDM pengawas LBP dan LLO yang masih perlu ditingkatkan
5
Pemahaman nelayan/pemilik perahu mengenai pentingnya penerapan LBP dan LLO
6
Kesadaran nelayan/pengusaha untuk menerapkan LBP dan LLO
7
Kemampuan petugas untuk inspeksi di kapal atau di laut
8
Karakteristik perizinan usaha perikanan yang melekat di setiap kapal perikanan dan harus selalu berada di kapal membutuhkan inspeksi di darat dan di laut.
6
Aspek Pelaksanaan Program observer/Penyidik Perikanan PPNS dan TNI AL
No Identifikasi faktor 1
Terbatasnya sarana, prasarana dan SDM dalam pelaksanaan penyidikan pelanggaran kelautan
2
Penyalahgunaan wewenang oleh aparat yang melakukan penyidikan terhadap pelanggaran di laut
3
Sistem pengawasan yang perlu melibatkan peran aktif masyarakat
4
Sistem pengawasan yang perlu melibatkan peran aktif masyarakat jumlahnya masih terbatas belum di semua pusat kegiatan perikanan telah ditetapkan pengawasan perikanan
5
Belum semua zona konservasi, pesisir dan pulau-pulau kecil mempunyai pengawas
6
Kapasitas SDM pengawas yang ada masih perlu ditingkatkan
7
Inspeksi, patroli, penyidik dan pengawasan membutuhkan kelembagaan khusus menyangkut bidang hukum, penyidikan, pengawasan patroli dan ekspor- impor agar kegiatan tersebut tidak merugikan negara
8
Penegakan hukum di laut tidak mungkin diwujudkan dan ditangani oleh satu instansi tanpa keterlibatan instansi yang berwenang lainnya dan harus dibangun dengan prinsip mensinergikan semua potensi kekuatan nasional yang ada
9
Karakteristik perikanan dan kelautan yang memerlukan program observer di darat dan di laut
118
Tabel 17 Lanjutan 7
Aspek Sistem Perencanaan dan Pendataan Sektor Perikanan dan Kelautan
No Identifikasi faktor 1
Verifikasi data dan keakuratan data yang ada pada saat ini
2
Pembaharuan data tidak dilakukan secara terus menerus
3
Belum semua wilayah memiliki sistem komputerisasi
4
Aksesbilitas informasi dan tekno logi
5
Jumlah lembaga yang terkait sangat banyak membutuhkan sistem kelembagaan dan pembagian tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab terpadu
6
Jumlah lembaga yang banyak membutuhkan jangka waktu yang tidak singkat untuk setiap kegiatan operasional dan koordinasi
7
Luasnya cakupan kegiatan pelaksanaan MCS memerlukan koordinasi segala lini
8
Pelaporan dengan jumlah lembaga yang banyak membutuhkan sistem informasi dan manajemen terpadu, efektif dan efisien
9
Program komputerisasi data base masih terbatas pada pelabuhan tertentu
10
Jumlah operator komputer masih kurang dan kemampuannya masih terbatas
11
Sistem kelembagaan, sarana dan prasarana CDB
12
Pemahaman pihak pelabuhan dalam pelaksanaan Kepmen No. 29 / 2003
13
Penolakan pihak pelabuhan karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipikul dan melaksanakan ancamannya
8
Aspek pembagian wewenang pusat dan daerah
No
Identifikasi faktor
1
Kemampuan dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab
2
Keterbatasan penataan perijinan, yang merupakan cikal bakal terjadinya suatu pelanggaran
3
Kurangnya armada sarana dan prasarana pengawasan yang tangguh di lapangan
4
Masih terbatasnya sarana dan prasarana serta fasilitas pengawasan di daerah
119
Tabel 17 Lanjutan 5
Belum optimalnya kewenangan pengawasan sumberdaya perikanan dan kelautan di daerah
6
Belum berkembangnya lembaga pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan daerah
7
Kurangnya tenaga pengawas perikanan
8
Kejelasan dan ketegasan pembagian wewenang dan operasional perijinan pusat daerah yang belum sepenuhnya ditindak lanjuti pejabat berwenang daerah
9
Aspek kapasitas di laut
No
Identifikasi faktor
1
Jumlah kapal patroli pengawas baru pada kawasan strategi penangkapan ikan
2
Penempatan kapal pengawas pendukung di luar kawasan strategis terutama di daerah pesisir, pulau-pulau kecil, kawasan konservasi dan daerah perbatasan
3
Penempatan kapal patroli terbatas di daerah strategis, di pelabuhan utama, sulit mencapai wilayah terpencil dan perbatasan
4
Umumnya pengawasan dilakukan oleh TNI AL, tenaga pengawas DKP masih terbatas
5
Infrastruktur sarana dan prasarana surveillance
6
Pengelolaan dan konservasi sumberdaya laut (pencemaran laut dan penggunaan alat penangkapan ikan yang merusak lingkungan laut)
10
Aspek pengawasan melalui udara
No
Identifikasi faktor
1
Jangkauan pengawasan MSA dan radar pantai
2
Jumlah radar pantai Maritime Surveillance Aircraft (MSA)
3
Biaya investasi dan operasi MSA dan radar pantai
4
Jumlah SDM dalam bidang operasi MSA dan radar pantai
5
Kapasitas kelembagaan MSA dan radar pantai
120
Tabel 17 Lanjutan 6
Sarana dan prasarana pengawasan
7
Biaya pengadaan pesawat dan radar pantai
8
Kerjasama dengan TNI AU untuk melihat kondisi perairan darat atas untuk mendeteksi pelanggaran
11
Aspek identifikasi terhadap kapal
No
Identifikasi faktor
1
Keterbatasan dalam pelaksanaan pemasangan identitas kapal
2
Rendahnya respon atau minat pemilik kapal penangkap ikan untuk pemasangan VMS
3
Ketakutan pengusaha transmitter di kapalnya
4
Pengusaha menganggap dalam jangka pendek pemasangan transmitter tidak ada manfaatnya
5
Pengusaha takut adanya tambahan pungutan lagi apabila ada pendaftaran identifikasi alat
6
Pengusaha keberatan apabila kegiatan kapalnya diawasi
7
Penolakan pihak pelabuhan untuk identifikasi kapal karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipikul dan melaksanakan ancamannya
8
Tingkat pemasangan transmitter terhadap jumlah kapal yang berpangkalan masih belum merata untuk setiap pelabuhan
9
Lemahnya sistem identifikasi perahu/kapal yang menurut peraturan perundangundangan tidak diwajibkan untuk memiliki ijin, padahal jumlahnya besar
12
Aspek laporan boarding
No
Identifikasi faktor
1
Jumlah pengawas dalam penerapan LBP dan LLO
2
Kemampuan SDM pengawas LBP dan LLO yang masih perlu ditingkatkan
akan
adanya
pembebanan
terhadap
pemasangan
121
Tabel 17 Lanjutan 3
Pemahaman nelayan/ pemilik perahu mengenai pentingnya penerapan LBP dan LLO
4
Kesadaran nelayan dan pengusaha untuk menerapkan LBP dan LLO secara benar
5
Pelaksanaan kewenangan pelabuhan belum maksimal, termasuk dalam pelaksanaan ancaman pelanggaran
6
Penggunaan Log Book belum diterapkan secara benar oleh nelayan
13
Aspek aktivitas Pokwasmas dan Coast Guard
No
Identifikasi faktor
1
Belum adanya pasukan pengawas pantai di Indonesia
2
Jumlah pantai yang perlu dijaga dan diawasi sangat luas dan dalam
3
Pengawasan pantai mengandalkan sistem pengawasan kelompok masyarakat
4
Sistem pengawasan yang perlu melibatkan peran aktif masyarakat belum merata untuk seluruh wilayah
5
Sistem pengawasan yang perlu melibatkan peran aktif masyarakat jumlahnya masih terbatas
6
Sistem komunikasi dan koordinasi antar kelompok pengawas masyarakat antar lokasi atau wilayah belum terpadu
14
Aspek Laporan Movement dan Pergerakan
No
Identifikasi faktor
1
Masih terbatasnya jumlah alat alkom (hanya di pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan) dan tidak merata
2
Alat komunikasi hanya fokus untuk pengawasan perikanan, belum mencakup aspek lainnya
3
Perlunya penambahan jumlah operator alkom dan perlunya peningkatan kapasitas SDM alkom
4
Mahalnya sarana pengawasan penggunaan radar satelit untuk pemantauan
122
Tabel 17 Lanjutan 5
Kesadaran pengusaha/ pemilik kapal untuk memberikan laporan movement secara benar
6
Keterbatasan dalam pelaksanaan pemasangan transmitter kapal
7
Ketakutan pengusaha akan adanya pembebanan terhadap pemasangan transmitter di kapalnya
8
Pengusaha menganggap dalam jangka pendek pemasangan transmitter tidak ada manfaatnya
9
Pengusaha takut adanya tambahan pungutan lagi apabila ada pendaftaran identifikasi kapal
10
Pengusaha keberatan apabila kegiatan kapalnya diawasi
11
Penolakan pihak pelabuhan identifikasi kapal karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipikul dan melaksanakan ancamannya
12
Tingkat pemasangan transmitter terhadap jumlah kapal yang berpangkalan masih belum merata untuk setiap pelabuhan
15
Aspek penggunaan VMS
No
Identifikasi faktor
1
Keterbatasan dalam pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS)
2
Respon atau minat dari para pemilik kapal penangkap ikan untuk pemasangan VMS
3
Ketakutan pengusaha akan adanya pembebanan terhadap pemasangan VMS di alatnya, karena biaya pemasangan VMS mahal
4
Pengusaha menganggap dalam jangka pendek pemasangan transmitter untuk VMS tidak ada manfaatnya
5
Penilaian pengusaha terhadap VMS hanya bermanfaat dari sisi pemerintah dalam mengawasi kapal perikanan
6
Pengusaha takut adanya tambahan pungutan lagi di VMS karena di daerah sudah banyak pungutan
7
Pengusaha keberatan apabila kegiatan kapalnya diawasi melalui VMS
123
Tabel 17 La njutan 8
Penolakan pihak pelabuhan dengan VMS karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipikul dan melaksanakan ancamannya
9
Tingkat pemasangan VMS terhadap jumlah kapal yang berpangkalan masih belum merata untuk setiap pelabuhan
10
Belum ada koordinasi dengan pihak luar negeri menyangkut VMS, sehingga sering muncul masalah dengan kapal perikanan asing dan kapal berbendera asing
16
Aspek penyidik perikanan dan PPNS
No
Identifikasi faktor
1
Belum di semua pusat kegiatan perikanan telah ditempatkan dan belum semua zona konservasi, pesisir, dan pulau-pulau kecil mempunyai pengawas
2
Kapasitas SDM pengawas yang masih perlu ditingkatkan
3
Pelaporan dengan jumlah lembaga yang banyak membutuhkan sistem informasi dan manajemen terpadu efektif dan efisien
4
Inspeksi dan patroli pengawasan membutuhkan kelembagaan khusus menyangkut bidang hukum, penyidikan, pengawasan, patroli dan ekspor impor agar kegiatan tersebut tidak merugikan negara Indonesia
17
Aspek penggunaan alat komunikasi
No
Identifikasi faktor
1
Masih terbatasnya jumlah alkom (hanya di pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan) sehingga belum merata untuk seluruh wilayah Indonesia
2
Alat komunikasi hanya fokus untuk pengawasan perikanan belum mencakup aspek lainnya
3
Perlunya penambahan jumlah operator alkom dan peningkatan kapasitas SDM alkom
4
Perlunya peningkatan kapasitas SDM alkom
5
Pelaporan dengan jumlah lembaga yang banyak membutuhkan sistem informasi dan manajemen yang terpadu efektif dan efisien
124
Tabel 17 Lanjutan 6
Inspeksi dan patroli pengawasan membutuhkan kelembagaan khusus menyangkut bidang hukum, penyidikan, pengawasan, patroli dan ekspor impor agar kegiatan tersebut tidak merugikan negara
18
Aspek penggunaan Radar dan Satelit
No
Identifikasi faktor
1
Mahalnya sarana pengawasan, penggunaan radar satelit untuk pemantauan
2
Pengawasan dengan penggunaan radar satelit yang ada sekarang baru tiga kali seminggu, seharusnya setiap hari
3
Daerah operasi radar satelit yang ada baru pada laut Arafuru
4
Terbatasnya jumlah radar pantai
5
Terbatasnya jangkauan pengawasan radar pantai
6
Mahalnya biaya investasi dan operasi radar pantai
7
Kurangnya jumlah SDM dalam bidang operasi radar pantai
8
Lemahnya kapasitas kelembagaan radar pantai
4.7. Analisis SWOT Berdasarkan hasil analisis lingkungan dari penerapan MCS di Indonesia dapat diidentifikasikan beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor yang memberikan kekuatan (strength) dan faktor yang memberikan kelemahan (weakness). Sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor yang memberikan peluang (opportunities) dan faktor yang memberikan ancaman (threats). Perhitungan faktor MCS dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19. Sedangkan hasil analisis faktor strategis MCS dapat dilihat pada Tabel 20 dan Tabel 21.
125
Tabel 18 Analisis faktor internal MCS Total Attractiveness
Code
Bobot
Rating Total
Attractiveness Score
1 Tingginya kesadaran akan penegakan hukum di laut
S1
0,0533
3,2377 0,1726
4
0,690567336
1
2 Adanya kerjasama internasional dalam penerapan MCS
S2
0,0475
3,2377 0,1538
4
0,615225555
2
3 Memerangi IUU fishing menjadi fokus kebijakan
S3
0,0533
2,7495 0,1466
4
0,586423335
3
4 Kuat dasar hukum penerapan MCS
S4
0,0475
2,8845 0,1370
4
0,548103658
4
Inovasi teknologi dan pengembangan infrastruktur yang berjalan 5 baik
S5
0,0508
3,5636 0,1811
2
0,362242297
8
6 Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang besar
S6
0,0453
2,7495 0,1245
4
0,497985222
5
7 Pengalaman Sishankamrata dapat dijadikan pelajaran berharga
S7
0,0533
3,6342 0,1938
2
0,387567813
7
MCS berpotensi untuk diterapkan secara gabungan antara teknologi 8 canggih dan tradisi
S8
0,0498
3,2377 0,1614
2
0,322721198
9
9 Telah ada satu lembaga yang ditunjuk sebagai pelaksana MCS
S9
0,0533
2,7495 0,1466
3
0,439817502
6
0,4542
1,4174
0,0377
2,8845 0,1088
No Faktor Internal
Jumlah S 10 Jumlah SDM MCS secara keseluruhan masih terbatas
W1
Score
Rank
4,4507 4
0,435030162
9
126
Tabel 18 Lanjutan 11 Fokus MCS masih kapal besar dan asing
W2
0,0475
2,9417 0,1397
4
0,558969512
2
12 Lemahnya kapasitas kelembagaan dan ekonomi biaya tinggi
W3
0,0370
2,7495 0,1017
4
0,406603231
10
13 Mahalnya biaya investasi dan operasional MCS
W4
0,0432
3,1748 0,1370
4
0,548103658
3
14 Luasnya wilayah laut Indonesia dan banyaknya pulau terpencil
W5
0,0377
3,3968 0,1281
4
0,51228797
4
15 Lemahnya sistem pendanaan (tidak kontinyu dan jangka panjang)
W6
0,0377
2,8845 0,1088
4
0,435030162
8
16 Jumlah POKWASMAS terbatas dan tidak adanya Coast Guard
W7
0,0444
3,3019 0,1466
4
0,586423335
1
17 Masih lemahnya sistem Pendataan dan Komputerisasi data
W8
0,0432
3,0262 0,1306
2
0,261221899
12
18 Sarana dan prasarana MCS yang masih terbatas
W9
0,0377
3,0862 0,1164
4
0,46544451
7
Masih lemannya penyuluhan, advokasi, mediasi dan penyebaran 19 informasi
W10
0,0403
3,0862 0,1245
3
0,373488917
11
20 Lemahnya koordinasi antar lembaga
W11
0,0444
3,6342 0,1614
3
0,484081798
6
21 Sistem diklat MCS belum ada
W12
0,0475
3,4641 0,1646
3
0,493678454
5
22 Iklim investasi yang masih belum kondusif
W13
0,0475
2,9417 0,1397
1
0,139742378
13
Jumlah W
0,5458
1,7077
5,7001
Total Faktor Internal
1,0000
3,1252
10,1508
127
Tabel 19 Analisis faktor eksternal MCS Total Attractive- Attractiveness
No Faktor Eksternal
Code Bobot Rating
Total ness Score
Score
Rank
1 Adanya dukungan internasional dalam penerapan MCS
O1 0,0530 3,0862 0,1634
4
0,653785806
2
2 Political will pemerintah pusat dan daerah yang semakin kuat
O2 0,0594 3,3019 0,1963
4
0,785155535
1
3 Adanya dukungan sektor terkait terutama TNI, POLRI dan Dephub
O3 0,0441 3,2377 0,1428
4
0,571134508
6
4 Perjanjian internasional bidang kelautan dan perikanan
O4 0,0463 3,0862 0,1428
4
0,571134508
7
5 Besarnya potensi sumberdaya kelautan dan perikanan
O5 0,0463 3,2377 0,1498
4
0,599185816
3
6 Perkembangan IPTEK untuk menduk ung MCS
O6 0,0495 2,9417 0,1456
4
0,582456937
4
7 Tingginya respon masyarakat dalam penerapan MCS
O7 0,0463 3,0862 0,1428
4
0,571134508
8
8 Potensi SDM yang besar dalam penerapan MCS
O8 0,0472 2,8845 0,1361
4
0,544396442
9
9 Kuatnya tradisi kelautan dan perikanan
O9 0,0472 3,0862 0,1456
4
0,582456937
5
Jumlah O
0,4392
1,3652
5,4608
10 Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara
T1 0,0594 2,5698 0,1528
2
0,305532173
7
11 Adanya celah UU dan peraturan yang dapat dimanfaatkan pengusaha
T2 0,0472 2,5698 0,1213
3
0,36375157
4
128
Tabel 19 Lanjutan 12 Sistem perijinan yang belum berjalan dengan baik
T3 0,0472 3,0862 0,1456
4
0,582456937
1
13 Lembaga yang berkepentingan sangat banyak tetapi miskin fungsi
T4 0,0505 3,3968 0,1715
2
0,342948269
5
14 Pemberantasan KKN yang tidak tuntas dengan cepat
T5 0,0530 2,9417 0,1558
3
0,467383771
3
15 Kenaikan BBM, TDL dan Telkom
T6 0,0556 2,8845 0,1603
1
0,160269202
9
16 Masalah kewenangan antar lembaga dan antar pusat dan daerah
T7 0,0495 2,9417 0,1456
2
0,291228468
8
17 Banyaknya pajak dan pungutan di bidang kelautan dan perikanan
T8 0,0472 3,2377 0,1528
1
0,152766086 10
18 Inflasi tinggi dan lemahnya nilai tukar Rupiah
T9 0,0495 2,9417 0,1456
1
0,145614234 11
19 Ego sektor dan konflik kepentingan yang sulit diselesaikan
T10 0,0556 2,8845 0,1603
2
0,320538405
6
20 Oknum tak bertanggung jawab yang masih sulit diberantas
T11 0,0463 2,9417 0,1361
4
0,544396442
2
Jumlah T
0,5608
1,6475
3,6769
Total Faktor Eksternal
1,0000
3,0127
9,1377
129
Tabel 20 Hasil analisis faktor strategis internal MCS di Indonesia Total skor
Rank
Pengalaman sishankamrata dapat dijadikan pelajaran 1 berharga
0,1938
1
Inovasi teknologi dan pengembangan infrastruktur yang 2 berjalan baik
0,1811
2
3 Tingginya kesadaran akan penegakan hukum di laut
0,1726
3
MCS berpotensi untuk diterapkan secara gabungan antara 4 teknologi canggih dan tradisi
0,1614
4
5 Adanya kerjasama internasional dalam penerapan MCS
0,1538
5
Telah ada satu lembaga yang ditunjuk sebagai pelaksana 6 MCS
0,1466
6
7 Memerangi IUU fishing menjadi fokus kebijakan
0,1466
7
8 Kuat dasar hukum penerapan MCS
0,1370
8
9 Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang besar
0,1245
9
No Faktor Internal
Jumlah S (Strength)
1,4174
10 Sistem diklat MCS belum ada
0,1646
1
11 Lemahnya koordinasi antar lembaga
0,1614
2
Jumlah POKWASMAS terbatas dan tidak adanya coast 12 guard
0,1466
3
13 Fokus MCS masih kapal besar dan asing
0,1397
4
14 Iklim investasi yang masih belum kondusif
0,1397
5
15 Mahalnya biaya investasi dan operasional MCS
0,1370
6
16 Masih lemahnya sistem pendataan dan komputerisasi data
0,1306
7
17 Masih lemahnya penyuluhan, advokasi, mediasi dan penyebaran informasi
0,1245
8
130
Tabel 20 Lanjutan Luasnya wilayah laut Indonesia dan banyaknya pulau 18 terpencil
0,1281
9
19 Sarana dan prasarana MCS yang masih terbatas
0,1164
10
Lemahnya sistem pendanaan program (tidak kontinyu dan 20 jangka panjang)
0,1088
11
21 Jumlah SDM MCS secara keseluruhan masih terbatas
0,1088
12
22 Lemahnya kapasitas kelembagaan dan ekonomi biaya tinggi
0,1017
13
Jumlah W (Weakness)
1,7077
Total Faktor Internal
3,1252
Tabel 21 Hasil analisis faktor strategis eksternal MCS di Indonesia
No Faktor Eksternal
Total skor
Rank
Political will Pemeritah Pusat dan Daerah yang semakin 1 kuat
0,1963
1
2 Adanya dukungan internasional dalam penerapan MCS
0,1634
2
3 Besarnya potensi sumberdaya kelautan dan perikanan
0,1498
3
4 Perkembangan iptek untuk mendukung MCS
0,1456
4
5 Kuatnya tradisi kelautan dan perikanan
0,1456
5
Adanya dukungan sektor terkait terutama TNI, POLRI dan 6 DEPHUB
0,1428
6
7 Perjanjian internasional bidang kelautan dan perikanan
0,1428
7
8 Tingginya respon masyarakat dalam penerapan MCS
0,1428
8
9 Potensi SDM yang besar dalam penerapan MCS
0,1361
9
Jumlah O (Opportunities)
1,3652
131
Tabel 21 Lanjutan Lembaga yang berkepentingan sangat banyak tetapi miskin 10 fungsi
0,1715
1
11 Ego sektor dan konflik kepentingan yang sulit diselesaikan
0,1603
2
12 Kenaikan BBM, TDL dan Telkom
0,1603
3
13 Pemberantasan KKN yang tidak tuntas dengan cepat
0,1558
4
Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar 14 negara
0,1528
5
Banyaknya pajak dan pungutan di bidang kelautan dan 15 perikanan
0,1528
6
16 Sistem perijinan yang belum berjalan dengan baik
0,1456
7
17 Inflasi tinggi dan lemahnya nilai tukar rupiah
0,1456
8
Masalah kewenangan antar lembaga dan antar pusat dan 18 daerah
0,1456
9
19 Oknum tak bertanggung jawab yang masih sulit diberantas
0,1361
10
Adanya celah UU dan peraturan yang dapat dimanfaatkan 20 pengusaha
0,1213
11
Jumlah T (Threats)
1,6475
Total Faktor Eksternal
3,0127
Dari hasil analisis faktor strategis internal MCS dapat diketahui bahwa pengalaman sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) merupakan faktor kekuatan yang mempunyai peranan cukup besar dalam penerapan MCS di Indonesia.
Pengembangan inovasi teknologi dan pengembangan
infrastruktur yang baik didukung oleh tingginya kesadaran terhadap penegakan kekuatan hukum di laut. Faktor lain yang merupakan kekuatan dalam penerapan MCS adalah potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang besar dan kuatnya dasar hukum penerapan MCS. Kondisi ini dipandang sebagai faktor kekuatan dalam penerapan MCS di Indonesia.
132
Kelemahan dalam penerapan MCS Indonesia terutama terkait dengan lemahnya koordinasi antar lembaga. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kapasitas kelembagaan yang berkaitan dengan iklim investasi dan operasional MCS yang tidak kondusif dan menimbulkan sistem ekonomi biaya tinggi. Belum adanya sistem diklat MCS merupakan salah satu faktor dalam pengembangan sumberdaya manusia terutama yang menyangkut mutu dan jumlahnya yang masih relatif kurang bila dibandingkan dengan luas wilayah laut Indonesia. Selain itu terbatasnya sarana dan prasarana MCS dan lemahnya sistem pendanaan program MCS menyebabkan pelaksanaan program MCS sulit dilaksanakan secara kontinyu. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 21 terlihat bahwa adanya political will yang semakin kuat dari pemerintah pusat dan daerah terhadap pelaksanaan MCS dengan skor 0,1963 merupakan peluang bagi pengembangan MCS di Indonesia. Hal ini juga didukung oleh komitmen dari dunia internasional (0,1634) karena besarnya potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia (0,1498). Namun demikian, banyaknya lembaga yang berkepentingan di bidang kelautan tetapi kurang berfungsi dengan nilai skor 0,1715 dapat menjadi ancaman yang besar bagi pelaksanaan MCS Indonesia, sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintah pusat dan daerah. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah yang berhubungan dengan faktor ekonomi seperti inflasi, kenaikan BBM, pajak dan berbagai pungutan serta sistem perizinan yang belum berjalan dengan baik. Diagram SWOT pengembangan MCS nasional dapat dilihat pada Gambar 11.
133
Peluang (O)
2 III
I + 1,3652 1
Kelemahan (W) 2
1.7077
Kekuatan (S) 1.4174
+1
1 +
2
1 + 1,6475 2
IV
II
Ancaman (T) Gambar 11. Diagram SWOT Kekuatan internal (1,471) seharusnya dapat memanfaatkan peluang (1,3652), tetapi tidak dapat mengatasi ancaman eksternal (1, 6475). Kelemahan internal (1,7077), menyebabkan organisasi tidak dapat mengatasi ancaman eksternal (1,75). Kondisi ini mencerminkan kelemahan pelaksanaan MCS Indonesia, untuk itu diperlukan strategi pengembangan MCS kelautan yang didukung oleh kebijakan dan komitmen yang kuat dari pemerintah. 4.7.1 Analisis matriks SWOT Analisis matriks SWOT menghasilkan beberapa strategi untuk pengembangan MCS. Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 12.
134
INTERNAL
Strength – S
Weakness – W
S1. Pengalaman sishankamrata dapat dijadikan pengalaman berharga
W1. Sistem diklat MCS belum ada
S2. Inovasi teknologi dan pengembangan infrastruktur yang berjalan baik S3. Tingginya kesadaran akan penegakan hukum di laut S4. MCS berpotensi untuk diterapkan secara gabungan antara teknologi canggih dan tradisi S5. Adanya kerjasama internasional dalam penerapan MCS S6. Telah ada satu lembaga yang ditunjuk sebagai pelaksana MCS
EKSTERNAL
S7.Memerangi IUU Fishingsebagai fokus kebijakan S8. Kuatnya dasar hukum penerapan MCS S9. Potensi sumberdaya kelautan dan perik anan yang besar
W2. Lemahnya koordinasi antar lembaga W3.Jumlah POKWASMAS terbatas dan tidak ada Coast Guard W4. Fokus MCS masih kapal besar dan asing W5. Iklim investasi yang belum kondusif W6. Mahalnya biaya investasi dan operasional MCS W7. Masih lemahnya sistem pendataan dan komputerisasi data W8. Masih lemahnya penyuluhan, advokasi, mediasi, dan penyebaran informasi W9. Luasnya wilayah laut Indonesia dan banyaknya pulau terpencil W10. Sarana dan prasarana MCS yang masih terbatas W11. Lemahnya sistem pendanaan program (tidak kontinyu dan jangka panjang) W12. Jumlah SDM MCS secara keseluruhan masih terbatas W13. Lemahnya kapasitas kelembagaan dan ekonomi biaya tinggi
Opportunities – O
Strategi S – O
O1. Political willpemerintah pusat dan daerah yang semakin kuat
1.
Mengembangkan kerjasama internasional dalam penerapan MCS kelautan
2.
Mengembangkan sistem MCS kelautan dan perikanan secara terintegrasi
3.
Tetap menjalankan MCS sektoral dengan arahan kebijakan berupa keterpaduan yang sinergis dan saling tukar informasi
O2. Adanya dukungan internasional dalam penerapan MCS O3. Besarnya potensi sumberdaya kelautan dan perikanan O4. Perkembangan IPTEK untuk mendukung MCS O5. Kuatnya tradisi kelautan dan perikanan O6. Dukungan sektor terkait terutama TNI, POLRI dan Dephub O7. Perjanjian internasional bidang kelautan dan perikanan
Strategi W – O 1.
Meningkatkan kualitas SDM kelautan dan perikanan dan membentuk Coast Guard Indonesia
2.
Memperkuat sistem kelembagaan pelaksanaan MCS kelautan
dalam
3.
Meningkatkan kinerja operasional sehingga mendapatkan sertifikat internasional
MCS secara
4.
Mengembangkan kerjasama internasional untuk memperkuat pelaksanaan operasional sistem MCS di bidang teknologi, SDM dan finansial
O8. Tingginya respon masyarakat dalam penerapan MCS O9. Potensi SDM yang besar dalam penerapan MCS
Threats – T T1. Lembaga yang berkepentingan sangat banyak tapi miskin fungsi T2. Ego sektor dan konflik kepentingan sulit diselesaikan
Strategi S – T
Strategi W – T
1.
Mengintegrasikan kelembagaan yang ada
2.
Memp erkuat good governance dalam penerapan MCS
Menjalankan MCS kelautan dengan kondisi yang ada pada saat ini.
3.
Membuat sebuah kebijakan integral yang komprehensif dalam penanganan MCS
T3. Kenaikan BBM, TDL dan Telkom T4. Pemberantasan KKN yang tidak tuntas dengan cepat T5. Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut T6. Banyaknya pajak dan pungutan di bidang kelautan dan perikanan T7. Sistem perizinan yang belum berjalan dengan baik T8. Inflasi tinggi dan lemahnya nilai tukar rupiah T9. Masalah kewenangan antar lembaga dan antar pusat dan daerah T10. Adanya oknum tak bertanggung jawab yang masih sulit diberantas T11. Celah legislasi dapat dimanfaatkan pengusaha
Gambar 12. Perumusan strategi MCS dengan matriks SWOT
135
(1)
Strategi S – O Kolom strategi S – O adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk
mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Beberapa strategi yang dapat digunakan berhubungan dengan strategi ini adalah : 1)
Mengembangkan kerjasama internasional dalam penerapan MCS
kelautan dan perikanan. Pada saat ini pelaksanaan sistem MCS kelautan dan perikanan berada di bawah koordinasi Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan banyak lembaga lainnya. Pengembangan sistem MCS dapat dilakukan dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah serta dukungan yang besar dari dunia internasional. Komitmen dari pemerintah dapat diterapkan dalam bentuk pembaharuan kebijakan dan perundang-undangan di bidang kelautan, kemudahan pelaksanaan operasional yang menyangkut perizinan, pengembangan SDM dan teknologi dan lain sebagainya serta dukungan finansial untuk pengembangan sarana dan prasarana. Dukungan dari pihak internasional dapat berupa pengembangan sistem MCS berupa pelatihan SDM, sarana dan prasarana, teknologi dan finansial. 2)
Mengembangkan sistem MCS kelautan dan perikanan secara terintegrasi. Sistem MCS terintegrasi dapat dikembangkan dengan menetapkan
pelaksanaan MCS di bawah satu lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan koordinasi dengan instansi lainnya yang berhubungan. Dengan adanya dukungan yang kuat dari pihak TNI AL yang memiliki pengalaman dan kemampuan kapasitas di laut, maka MCS berpotensi untuk dikembangkan secara terintegrasi. Hal ini dapat diperkuat dengan tingginya kesadaran akan pengawasan dan penegakan hukum di laut dan kuatnya tradisi masyarakat di bidang kelautan dan perikanan. 3)
Tetap menjalankan MCS sektoral dengan arahan kebijakan berupa
keterpaduan yang sinergis dan saling tukar informasi
136
Penerapan MCS yang selama ini dilakukan oleh masing- masing sektor dapat dikembangkan menjadi sebuah sistem keterpaduan dengan membuat suatu kebijakan yang sinergis. Dalam pelaksanaannya masing- masing sektor dapat saling berbagi informasi terutama yang berhubunga n pengawasan di laut. (2)
Strategi W – O Strategi W – O adalah strategi untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah: 1)
Meningkatkan kualitas SDM kelautan dan perikanan dan membentuk
Coast Guard Indonesia. Indonesia mempunyai potensi sumberdaya manusia yang sangat besar meskipun secara keseluruhan jumlah SDM kelautan masih sangat terbatas dengan kualitas yang relatif rendah. Kondisi ini dapat ditingkatkan dengan adanya kebijakan dari pemerintah untuk pengembangan SDM kelautan dan dukungan dari pihak internasional dengan membentuk sistem pelatihan MCS kelautan dan pengembangan teknologi, serta pembinaan dalam membentuk Coast Guard Indonesia. 2)
Memperkuat sistem kelembagaan dalam pelaksanaan MCS kelautan
Meskipun Departemen Kelautan dan Perikanan telah dibentuk dan mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan MCS di Indonesia, namun masih banyak lembaga-lembaga lainnya yang memiliki wewenang yang tumpang tindih dan kurang berfungsi dengan sinkronisasi yang baik. Akibatnya sulit melakukan koordinasi dalam pelaksanaan di lapangan. Dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah dan masing- masing lembaga di bidang kelautan, serta perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kelautan maka kelembagaan sistem MCS yang solid dapat diwujudkan. 3)
Meningkatkan
kinerja
operasional
MCS
sehingga
mendapatkan
pengakuan secara internasional Kinerja operasional MCS Indonesia masih setara dengan negara berkembang lainnya karena masih lemahnya kemampuan MCS, baik dalam
137
kualitas sumberdaya manusia, kapasitas kelembagaan, kapasitas di laut, teknologi dan lain sebagainya. Dengan adanya political will dari pemerintah pusat dan dukungan dari pihak internasional serta dari berbagai sektor terkait dan peran serta masyarakat, diharapkan kinerja MCS Indonesia dapat setara dengan negara maju dan mendapat pengakuan secara internasional. 4)
Mengembangkan kerjasama internasional untuk memperkuat pelaksanaan
operasional sistem MCS di bidang teknologi, SDM dan finansial. Berbagai kelemahan dalam penerapan MCS secara operasional di Indonesia seperti mahalnya biaya investasi dan operasional MCS, lemahnya sistem pendataan dan komputerisasi data, penyuluhan dan penyebaran informasi, serta terbatasnya sarana dan prasarana MCS dapat diatasi dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada, diantaranya berupa kerjasama internasional. (3)
Strategi S – T Strategi S – T merupakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk
menghindari ancaman-ancaman yang ada. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah: 1) Mengintegrasikan kelembagaan yang ada Banyaknya lembaga yang berkepentingan dalam penerapan MCS tapi belum menjalankan sesuai dengan fungsinya, dapat menjadi ancaman bagi pelaksanaan MCS. Tapi dengan adanya landasan yang kuat untuk pelaksanaan MCS dan tingginya kesadaran hukum di laut serta telah adanya satu lembaga yang ditunjuk sebagai pelaksana MCS maka berbagai kelembagaan yang ada dapat diintegrasikan dalam pelaksanaan MCS. 2) Memperkuat good governance dalam penerapan MCS Dengan memperkuat good governance maka berbagai ancaman seperti konflik antar lembaga, lemahnya peraturan dan berbagai masalah ekonomi dapat diminimalisir untuk penerapan MCS. 3) Membuat sebuah kebijakan integral yang komprehensif dalam penanganan MCS
138
Untuk mengatasi berbagai ancaman pelaksanaan MCS baik dari sektor kelembagaan, keuangan, pelanggaran perundang-undangan dan lain sebagainya perlu dibuat suatu strategi berupa kebijakan yang integral yang mencakup keseluruhan aspek pelaksanaan MCS. Dengan adanya kebijakan yang komprehensif, diharapkan pelaksanaan MCS dapat lebih ditingkatkan menjadi lebih baik. 4.7.2
Prioritas strategi Dengan menggunakan matriks QSPM pengembangan MCS kelautan dan
perikanan dapat diperoleh urutan prioritas strategi yaitu: (1) Strategi 2: Mengembangkan sistem MCS kelautan dan perikanan secara terintegrasi. (2) Strategi 10: Membuat sebuah kebijakan integral yang komprehensif dalam penanganan MCS (3) Strategi 1: Mengembangkan kerjasama internasional dalam penerapan MCS kelautan dan perikanan (4) Strategi 9: Memperkuat good governance dalam penerapan MCS (5) Strategi 7: Mengembangkan kerjasama internasional untuk memperkuat pelaksanaan operasional sistem MCS di bidang teknologi, SDM dan finansial (6) Strategi 6: Meningkatkan kinerja operasional MCS sehingga mendapatkan pengakuan secara internasional (7) Strategi 5: Memperkuat sistem kelembagaan dalam pelaksanaan MCS kelautan (8) Strategi 8: Mengintegrasikan kelembagaan yang ada (9) Strategi 3: Tetap menjalankan MCS sektoral dengan arahan kebijakan berupa keterpaduan yang sinergis dan saling tukar informasi (10)Strategi 4: Meningkatkan kualitas SDM kelautan dan perikanan dan membentuk Coast Guard Indonesia.
139
Dari 10 strategi di atas, beberapa strategi yang hampir sama digabungkan. Sehingga strategi di atas menjadi 7 strategi operasional. Strategi-strategi atau kebijakankebijakan tersebut adalah : (1) Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi (2) Mengembangkan kebijakan integral yang komprehensif dalam penanganan MCS (3) Memperkuat
good
governance
dengan
mengembangkan
peraturan
perundangan yang mendukung pelaksanaan MCS (4) Mengembangkan kerjasama internasional untuk memperkuat pelaksanaan operasional. (5) Meningkatkan
kinerja
operasional
MCS
agar
mendapat
pengakuan
internasional. (6) Memperkuat sistem kelembagaan pelaksanaan MCS (7) Meningkatkan kualitas SDM kelautan dan perikanan untuk membentuk coast guard Indonesia. 4.8
Skenario Strategi Proses analisis tingkat kepentingan faktor- faktor peubah yang sangat
berpengaruh terhadap sistem yang dikaji, menggunakan concensus evaluation approach. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan matriks QSPM diperoleh 7 alternatif strategi. Penggunaan metode analisis prospektif memungkinkan prediksi kejadian di masa depan, sehingga dapat disusun alternatif skenario untuk pencapaia n tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan pendapat pakar, prediksi kejadian di masa depan untuk kurun waktu 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 22.
140
Tabel 22. Skenario prospektif sistem MCS Indonesia Faktor Peubah
Skenario 1A
Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi
Kebijakan MCS
Good governance
Sistem semakin lemah karena pelaksanaan secara sektoral
2B
Kurang mendukung karena tidak berpihak pada pengembangan MCS kelautan dan perikanan
Tidak efektif pelaksanaa nnya
3A
3B
Semakin buruk karena pelaksanaan berbagai peraturan kurang efektif
Semakin berkembang karena ada bantuan dari dunia internasional 5A
Kinerja operasional
Menurun karena terbatasnya sarana dan prasarana
6A Sistem kelembagaan
Semakin kuat karena adanya keterpaduan yang sinergis dalam pelaksanaan MCS 7A
Kualitas SDM
Tetap
2A
4A Kerjasama internasional
1B
Meningkat dengan adanya berbagai sistem pelatihan MCS
Tetap
1C Sistem MCS semakin kuat
2C Tetap
2D Mendukung dengan memudahkan berbagai fasilitas
3C Semakin baik dengan adanya berbagai peraturan perundangan
4B Tetap
5B Tetap
5C Meningkat dengan adanya pengembangan teknologi dan informasi
5D Kinerja MCS mendapat pengakuan secara internasional
6B Tetap
7B Tetap
141
Berdasarkan alternatif kejadian pada masing- masing faktor, responden pakar menyusun alternatif skenario yang mungkin terjadi dalam kurun waktu 10 tahun kaitannya dengan penyusunan dasar rekomendasi yang harus dilakukan. Tabel 23 Alternatif skenario yang mungkin terjadi terhadap pengembangan MCS kelautan dan perikanan No
Skenario
Uraian Keadaan
1
Sangat Optimistik
1C-2D-3C-4A-5D-6A-7A
2
Cukup optimistik
1C-2B-3C-4B-5C-6B-7A
3
Optimistik dengan syarat pengembangan kebijakan pemerintah
1C-2D-3C-4A-5C-6A-7A
4
Optimistik dengan syarat pengembangan perundang- undangan
1C-2D-3C-4A-5C-6B-7A
5
Optimistik dengan syarat peningkatan kinerja MCS
1C-2C-3B-4A-5D-6A-7A
6
Pesimistik
1A-2B- 3B-4B- 5A-6B-7B
Berdasarkan responden pakar, skenario yang terpilih adalah skenario 3 yaitu optimistik dengan syarat adanya pengembangan kebijakan pemerintah. Keadaan skenario dapat dilihat pada Tabel 24, Tabel 25, Tabel 26, Tabel 27, Tabel 28 dan Tabel 29. (1)
Skenario sangat optimistik
Tabel 24 Skenario sangat optimistik Skenario 1 : 1C-2D-3C-4A-5D-6A-7A Faktor peubah
Keadaan
Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi
1C? sistem MCS semakin kuat
Kebijakan MCS
2D? mendukung dengan memudahkan berbagai fasilitas
Good governance
3C? semakin baik dengan adanya berbagai peraturan perundangan
Kerjasama internasional
4A? semakin berkembang karena ada bantuan dari dunia internasional
Kinerja operasional
5D? Kinerja MCS mendapat pengakuan secara internasio nal
.
142
Tabel 24 Lanjutan Sistem kelembagaan
6A? semakin kuat karena adanya keterpaduan yang sinergis dalam pengembangan MCS
Kualitas SDM
7A? meningkat dengan adanya berbagai sistem pelatihan MCS
Skenario ini dianggap ideal, karena didukung oleh semua faktor untuk pengembangan sistem MCS kelautan dan perikanan yaitu sistem MCS yang terintegrasi, adanya kebijakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan, kerjasama internasional, kinerja operasional, sistem kelembagaan dan SDM yang berkualitas. (2)
Skenario cukup optimistik
Tabel 25 Skenario cukup optimistik Skenario 2 : 1C-2B-3C-4B-5C-6A-7A Faktor peubah
Keadaan
Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi
1C? sistem MCS semakin kuat
Kebijakan MCS
2B? tidak efektif pelaksanaannya
Good governance
3C? semakin baik dengan adanya berbagai peraturan perundangan
Kerjasama internasional
4B? tetap
Kinerja operasional
5C? meningkat dengan adanya penge mbangan teknologi dan informasi
Sistem kelembagaan
6A? semakin kuat karena adanya keterpaduan yang sinergis dalam pengembangan MCS
Kualitas SDM
7A? meningkat dengan adanya berbagai sistem pelatihan MCS
Faktor peubah dari skenario ini adalah pengembangan sistem MCS secara terintegrasi, good governance, kinerja operasional, sistem kelembagaan dan kualitas SDM. Kendalanya tidak efektifnya kebijakan MCS.
143
(3)
Skenario optimistik dengan syarat adanya kebijakan pemerintah
Tabel 26 Skenario optimistik dengan syarat adanya kebijakan pemerintah Skenario 3 : 1C-2D-3C-4A-5C-6A-7A Faktor peubah
Keadaan
Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi
1C? sistem MCS semakin kuat
Kebijakan MCS
2D? mendukung dengan memudahkan berbagai fasilitas
Good governance
3C? semakin baik dengan adanya berbagai peraturan perundangan
Kerjasama internasional
4A? semakin berkembang karena ada bantuan dari dunia internasional 5C? meningkat dengan adanya pengembangan teknologi dan informasi
Kinerja operasional
6A? semakin kuat karena adanya keterpaduan yang sinergis dalam pengembangan MCS
Sistem kelembagaan Kualitas SDM
7A? meningkat dengan adanya berbagai sistem pelatihan MCS
Faktor peubah dari skenario ini adalah sistem MCS yang terintegrasi, kebijakan MCS, good governance, kerjasama internasional, kinerja operasional, sistem kelembagaan dan kualitas SDM. Namun untuk faktor kinerja belum dimungkinkan mendapat pengakuan secara internasional. (4)
Skenario optimistik dengan syarat pengembangan perundang-undangan
Tabel 27 Skenario optimistik dengan syarat pengembangan perundang- undangan
Skenario 4 : 1C-2D-3C-4A-5C-6B-7A Faktor peubah
Keadaan
Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi
1C? sistem MCS semakin kuat
Kebijakan MCS
2D? mendukung dengan memudahkan berbagai fasilitas
Good governance
3C? semakin baik dengan adanya berbagai peraturan perundangan
144
Tabel 27 Lanjutan Kerjasama internasional
4A? semakin berkembang karena ada bantuan dari dunia internasional
Kinerja operasional
5C? meningkat dengan adanya pengembangan teknologi dan informasi
Sistem kelembagaan
6B? tetap 7A? meningkat dengan adanya berbagai sistem pelatihan MCS
Kualitas SDM
Faktor peubah dari skenario ini adalah sistem MCS yang terintegrasi, kebijakan MCS, good governance, kerjasama internasional, kinerja operasional dan kualitas SDM, sedangkan kendalanya adalah keadaan sistem kelembagaan yang tetap seperti keadaan sebelumnya. (5)
Optimistik dengan syarat peningkatan kinerja MCS
Tabel 28 Skenario optimistik dengan syarat peningkatan kinerja MCS Skenario 5 : 1C-2C-3B-4A-5D-6A-7A Faktor peubah
Keadaan
Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi
1C? sistem MCS semakin kuat
Kebijakan MCS
2C? tetap
Good governance
3B? tetap
Kerjasama internasional
4A? semakin berkembang karena ada bantuan dari dunia internasional
Kinerja operasional
5D? Kinerja MCS mendapat pengakuan secara internasional
Sistem kelembagaan
6A? Semakin kuat karena adanya keterpaduan yang sinergis dalam pelaksanaannya
Kualitas SDM
7A? meningkat dengan adanya berbagai sistem pelatihan MCS
Faktor peubah dari skenario ini adalah sistem MCS yang terintegrasi, kerjasama internasional yang semakin berkembang, kinerja operasional mendapat pengakuan secara internasional, sistem kelembagaan semakin kua t dan peningkatan kualitas SDM. Kendalanya adalah pada kebijakan pemerintah dan peraturan perundangan yang belum diperbaharui.
145
(6)
Pesimistik
Tabel 29 Skenario pesimistik Skenario 6 : 1A-2B-3B-4B-5A-6B-7B Faktor peubah
Keadaan
Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi
1B? tetap
Kebijakan MCS
2B? tidak efektif pelaksanaannya
Good governance
3B? tetap
Kerjasama internasional
4B? tetap
Kinerja operasional
5A? Menurun karena terbatasnya sarana dan prasarana
Sistem kelembagaan
6B? tetap
Kualitas SDM
7B? tetap
Faktor peubah dari skenario ini adalah sistem MCS yang tetap seperti sekarang, good governance dan kerjasama internasional ya ng sama seperti sebelumnya, sistem kelembagaan dan kualitas SDM yang tetap seperti sekarang. Sedangkan kebijakan pemerintah tidak efektif pelaksanaannya dan kinerja operasional menurun karena keterbatasan sarana dan prasarana. Berdasarkan enam skenario yang terbentuk, maka stakeholder menetapkan skenario yang paling realistik direkomendasikan untuk dioperasionalkan dalam 10 tahun yang akan datang. Hasil pendapat pakar untuk pemilihan skenario dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Hasil pendapat pakar untuk pemilihan skenario No Skenario
Persentase
1 Sangat optimistik
13,33%
2 Cukup optimistik
20,00%
Optimistik dengan syarat pengembangan kebijakan 3 pemerintah
26,67%
146
Tabel 30 Lanjutan Optimistik dengan syarat pengembangan 4 perindang-undangan
23,33%
5 Optimistik dengan syarat peningkatan kinerja
10,00%
6 Pesimistik
6,67%
Total
100%
Dari pendapat pakar, diperoleh hasil bahwa skenario yang paling realistik dan direkomendasikan untuk dioperasionalkan dalam 10 tahun yang akan datang adalah skenario optimistik dengan syarat adanya kebijakan pemerintah terhadap MCS kelautan dan perikanan. Sistem MCS di Indonesia perlu dilaksanakan secara terintegrasi dengan good governance dan didukung kebijakan pemerintah dengan peraturan perundangan serta kualitas SDM yang mendukung peningkatan kinerja pelaksanaan MCS. 4.9
Desain Model Konseptual MCS Nasional Indonesia. Desain model konseptual MCS Nasional dalam pembangunan kelautan
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 13. Sesuai hasil penelitian, dalam pelaksanaan MCS di Indonesia perlu dikembangkan perampingan instansi pelaksana agar terintegrasinya pelaksanaan kegiatan MCS dan tidak terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan kegiatan. Untuk mensinkronisasikan pelaksanaan pengawasan penegakan hukum di laut, yang selama ini dilaksanakan dengan melibatkan berbagai instansi yang terkait, yang memiliki kewenangan sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang, pemerintah telah membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang semula dibentuk
melalui Surat Keputusan bersama empat Menteri (Menteri
Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan dan Jaksa Agung RI) Nomor Kep/B/45/XII/tahun 1972, SK.901/M/tahun 1972, Keputusan /770/MK/III/12/1972, Js 8 /72/1, Kep/No
147
085/J.a./12/1972 tanggal 19 Desember 1972 dan yang sekarang telah diperbaharui sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005. Posisi MCS Kuadran II Indonesia (landasan Operasional
Tingkat Tingkat Kepentingan kepentingan Faktor Kunci yang tinggi, hanya prosedur perizinan yang memiliki kinerja baik
rendah dan pelaksanaan MCS rendah)
Pengembangan Tahap 1 Melengkapi landasan operasional
Pengembangan Tahap 1 Meningkatkan Kinerja
Hasil analisis SWOT Strenght : 1.4147 FI 3.1252 Weaknesses : 1.7077 Opportunities : 13652 FE 3.0127 Threats : 1.6475
MODEL KONSEPTUAL MCS 7 Strategi
6 Skenario
Skenario 3 1C-2D-3C-4A-5C -6A-7A
Interpretasi dan tupoksi
Gambar 13 Desain model konseptual MCS Nasional Indonesia
148
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tersebut, Bakorkamla mengemban fungsi : (2)
perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang keamanan laut.
(3)
koordinasi kegiatan dan pelaksanaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia
(4)
pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut secara terpadu. (Dewan Maritim Indonesia, 2006) Organisasi Bakorkamla ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan yang beranggotakan Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Kepala Badan Intelijen Negara serta Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005) Struktur organisasi Bakorkamla secara konseptual cukup baik, namun dalam pelaksanaan kegiatan sebagai suatu “badan koordinasi” tidak akan cukup efektif dan solid, karena masing- masing instansi masih berjalan sendiri-sendiri. Dalam upaya terintegrasinya kegiatan dan perlu adanya perampingan kelembagaan pelaksana MCS, dipandang perlu dilakukan peleburan berbagai unsurunsur pelaksana MCS dari berbagai instansi seperti Ditjen P2SDKP, Satpolair, armada PLP, armada Bea Cukai, aparat Imigrasi, dan lain- lain ke dalam suatu wadah Sea and Coast Guard Indonesia. TNI AL tidak dilibatkan di dalam peleburan Sea and Coast Guard Indonesia, karena secara global Coast Guard tidak
melaksanakan
penegakan kedaulatan negara di laut (enforcing and protecting maritime sovereignty) dan hal tersebut merupakan military task yang menjadi tugas dan kewenangan TNI Angkatan Laut selaku armed force. Disamping itu Sea and Coast Guard yang di dalamnya terdapat unsur militer akan menyulitkan beberapa negara yang akan
149
memberi bantuan, karena undang- undang atau sistem yang berlaku melarang mereka untuk memberikan bantuan militer kepada militer di negara lain. Dari hasil penyederhanaan berbagai maritime agency di Indonesia, berikut pelimpahan kewenangan pengawasan lapangannya ke Sea and Coast Guard Indonesia, maka Sea and Coast Guard Indonesia ini mengemban fungsi : (1) Kepolisian perairan untuk menegakkan hukum di laut. (2) Kepabeanan (3) Bantuan navigasi dan keamanan pelayaran (4) Proteksi perikanan (5) Pengawasan pencemaran laut (6) SAR ( Search and Rescue ) di laut (7) Membantu tugas TNI AL dalam masa perang seperti pertahanan dan keamanan pelabuhan, kontra intelijen dan patroli perairan pantai. Sesuai hasil penelitian, dalam pelaksanaan MCS di Indonesia perlu dikembangkan perampingan instansi pelaksana agar terintegrasinya kegiatan MCS dan tidak terjadinya pemborosan serta tumpang tindihnya pelaksanaan kegiatan. Perlu adanya peleburan instansi- instansi pelaksana MCS kelautan yang non militer ke dalam
Sea
and
Coast
Guard
Indonesia.
Selanjutnya
Bakorkamla
akan
mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan MCS kelautan dari unsur militer (khususnya TNI AL) dan Sea and Coast Guard Indonesia. Konsep Sea and Coast Guard Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14.
150
BAKORKAMLA
DKP
P2SDKP
DEPARTEMEN PERHUBUNGAN
TNI
TNI AL
KPLP
POLRI
TNI AU
DEPARTEMEN KEUANGAN
SATPOL AIR
BEA CUKAI
DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAM
IMIGRASI
SEA & COAST GUARD
Gambar 14 Konsep Sea and Coast Guard Indonesia Pada hakekatnya sistem MCS dapat diterapkan di segala bidang pembangunan kelautan Indonesia. Penerapan sistem MCS dalam bidang perikanan tangkap, dalam pelaksanaan kegiatannya terdiri dari komponen-komponen : a. monitoring, yang berkaitan dengan hubungan fisik dengan sumberdaya alam dan lingkungannya,
dilaksanakan oleh unsur-unsur dari Ditjen
Perikanan Tangkap DKP dan pihak-pihak lain yang terkait yang meliputi stok sumberdaya perikanan dan habitat perikanan, b. control, yang berkaitan dengan hubungan administrasi dengan sumberdaya alam dan lingkungannya, dilaksanakan oleh unsur-unsur dari Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, serta pihakpihak lain yang terkait yang meliputi unsur legislasi dan peraturan perundangannya, c. surveillance,
yang
berkaitan
dengan
hubungan
geografis
dengan
sumberdaya alam dan lingkungannya, dilaksanakan oleh unsur-unsur dari
151
Ditjen P2SDKP, TNI AL, Satpolair dan pihak-pihak lain yang terkait yang meliputi unsur penegakan hukum perikanan.
152