RPKPS dan Hand Out ANTROPOLOGI EKOLOGI Kode/SKS: ISA 418/ 3 SKS
Dosen : DR. Zainal Arifin, M.Hum. Sidarta Pujiraharjo, S.Sos, M.Hum
Antropologi Ekologi
MATERI BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI
1. Sinopsis Mata Kuliah Pemahaman tentang proses pengaruh mempengaruhi antara manusia dengan lingkungannya (alam dan sosial) yang kemudian membentuk pola kehidupan ekosistem tersendiri dalam bentuk pola adaptasi, model perilaku, struktur sosialbudaya, konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam masyarakat. 2. Tujuan Perkuliahan Dari perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami proses hubungan antara manusia dan lingkungan dalam kajian Antropologi khususnya dan kajian ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Dari pemahaman tersebut mahasiswa kemudian diharapkan mampu memahami permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan berkenaan dengan konflik dan keserasian pola hubungan manusia dan lingkungannya. 3. Sistem Penilaian
Ujian Mid-Semester ……............ 25 % Ujian Semester …….................... 50 % Tugas Kelompok (Review) ......... 15 % Aktifitas (Partisipasi) ....………... 10 %
4. Program Rencana dan Kegiatan Pembelajaran (RPKPS) 1. Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) Mingguan Materi Topik Rincian Isi Materi Refernsi I Kontrak kuliah dan penjelasan Membuat kontrak kuliah RPKPS materi secara garis besar dan menjelaskan materi yang akan dibahas selama satu semester II Manusia, Kebudayaan dan Menjelaskan hubungan Ekosistem. antara manusia, kebuadayaan dan ekosistem III Ekosistem dan pola Menjelaskan tentang pola- Geertz, Clifford. Involusi Penggunaannya pola penggunaan ekologi Pertanian. Jakarta: yang dilakukan oleh Bhratara. 1976. manusia IV
Perubahan Ekosistem Krisis Lingkungan.
Zainal & Sidarta
dan Menjelaskan tentang Geertz, Clifford. Involusi bagaimana perubahan Pertanian. Jakarta: ekologi oleh manusia baik Bhratara. 1976. secara local maupunn 1
Antropologi Ekologi
V PPerspektif determinisme Pposibilisme
global dan Menjelaskan tentang Orlove, B.S. "Ecological konsepsi dan teori dalam Anthropology" dalam pemikiran Determinisme Annual Review of Anthropology. Vol (9) dan Posibilisme yang berkembang dalam 1980. hal. 235-273. Antropologi Ekologi.
VI
Perspektif Ekologi Budaya
Menjelaskan tentang Orlove, B.S. "Ecological konsepsi dan teori dalam Anthropology" dalam pemikiran Ekologi Budaya Annual Review of (Julian Steward) yang Anthropology. Vol (9) berkembang dalam 1980. hal. 235-273. Antropologi Ekologi.
VII
Perspektif Etno-Ekologi
Menjelaskan tentang Ahimsah-Putra, Heddy konsepsi dan teori dalam Shri. "Antropologi pemikiran Etno-Ekologi Ekologi" dalam yang berkembang dalam Masyarakat Indonesia Antropologi Ekologi. Jilid XX No.4. 1994. Ahimsah-Putra, Heddy Shri. "Air dan Sungai Ciliwung" dalam Prisma No. 1 Januarti 1997. Dove, Michael R. "Studi Kasus Tentang Sistem Perladangan Suku Kantu' di Kalimantan" dalam Prisma No.4. April 1981.
VIII IX
UJIAN MID SEMESTER Perspektif Ekologi Sistemik
X
Perspektif Transisi Ekologi
Zainal & Sidarta
Menjelaskan tentang konsepsi dan teori dalam pemikiran Ekologi Sistemik (mikro dan makro) yang berkembang dalam Antropologi Ekologi. Menjelaskan tentang Bennett, John W. The konsepsi dan teori dalam Ecological Transition: pemikiran Transisi Ekologi Cultural Anthropology (Ekologi Prosesual) yang and Human berkembang dalam Adaptation. Oxford: 2
Antropologi Ekologi
Antropologi Ekologi. XI
XII
XIII
Pergamon Press. 1976.
Metodologi yang Digunakan Menjelaskan tentang Winarto, Yunita T. 1999. dalam Kajian Antropologi bagaimana metodologi yang "Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan Ekologi. biasa dan bisa digunakan dalam mengkaji dalam Mengkaji Dinamika Budaya" permasalahan-permasalahan dalam kajian Antropologi dalam Antropologi Ekologi. Penggunaan Indonesia No.60 Th.XXIII. metodologi ini diasumsikan akan berbeda dalam aplikasinya sesuai dengan teori atau konsepsi pemikiran yang berkenbang dalam Antropologi Ekologi. AMDAL Menjelaskan tentang bagaimana menganalisis dampak lingkungan akibat dari program-program pembangunan yang terjadi dalam masyarakat CSR Menjelaskan tentang Kelly, E.F., 1976. The program Community Social Development and Use Responsibility (CSR) yang of The Adjective Rating dilakukan oleh setiap Scale: A Measure of perusahaan sebagai Attitude Toward tanggung jawab social Courses and Program. Syracuse: Syracuse University.
XIV
Diskusi hasil-hasil penelitian
XV
Kuliah Lapangan
XI Zainal & Sidarta
Memberikan pengenalan ANALISIS CSIS. tentang hasil-hasil penelitian Kebudayaan, Kearifan maupun buku buku yang Tradisional dan berkaitan dengan Pelestarian Antropologi Ekologi Lingkungan. Tahun XXIV, No.6 November-Desember 1995. Memberikan pelatihan tentang bagaimana melakukan penelitianpenelitian tentang lingkungan dalam masyarakat UJIAN AKHIR SEMESTER 3
Antropologi Ekologi
5. Bahan Bacaan 1. Ahimsah-Putra, Heddy Shri. "Antropologi Ekologi" dalam Masyarakat Indonesia Jilid XX No.4. 1994. 2. Ahimsah-Putra, Heddy Shri. "Air dan Sungai Ciliwung" dalam Prisma No. 1 Januarti 1997. 3. ANALISIS CSIS. Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. Tahun XXIV, No.6 November-Desember 1995. 4. Bennett, John W. The Ecological Transition: Cultural Anthropology and Human Adaptation. Oxford: Pergamon Press. 1976. 5. Deshmukh, Ian. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta : YOI. 6. Dove, Michael R. "Studi Kasus Tentang Sistem Perladangan Suku Kantu' di Kalimantan" dalam Prisma No.4. April 1981. 7. Geertz, Clifford. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara. 1976. 8. Orlove, B.S. "Ecological Anthropology" dalam Anthropology. Vol (9) 1980. hal. 235-273.
Annual Review of
9. Rambo, A.T. 1983. Conceptual Approaches to Human Ecology. HonoluluHawaii : East-West Environment and Policy Institute. 10. Resosoedarmo, S.; Kartawinata K.; dan Soegiarto A. 1992. Pengantar Ekologi. Bandung : Remaja Rosdakarya. 11. Rustijono, 1985. “Mengapa Petani Bugis Lebih Unggul di Sumatera Selatan” dalam Agro Ekonomika No.23 (XVI). 12. Semedi, Pujo. “Evolusi Tekhnologi Subsistensi” dalam Humaniora No. I tahun 1995, hal. 62-76. 13. Soerjani, M. & Rofic Ahmad & Rozy Munir. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press. 1987. 14. Steward, Julian H. Theory of Culture Change. The Methodology of Multilinear Evolution. Urbana: University of Illinois Press. 1976. 15. Sukadana, Adi A. 1983. Antropo-Ekologi. Surabaya : Airlangga University Press. 16. Thohir, Kaslan A. (ed). 1991 (1985). Butir-Butir Tata Lingkungan. Jakarta : Rineka Cipta. 17. Vayda, Andrew P & Bonnie J. McCay. "New Directions in Ecology and Ecological An-thropology" dalam Annual Review of Anthropology Vol.4/1975. 18. Winarto, Yunita T. 1999. "Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya" dalam Antropologi Indonesia No.60 Th.XXIII.
Zainal & Sidarta
4
Antropologi Ekologi
19. Winarto, Yunita T. 1999. "Pembangunan Pertanian: Pemasungan Kebebasan Petani" dalam Antropologi Indonesia No.59 Th.XXIII. 20. Davis, K., John, W.N., 1989. Organization and Management: A. Contingency Approach. New York: Prentice-Hill, Inc. 21. Fishbein, M., Icek, M.m, 1975. Belief, Attitutde, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Reseach. Massachusetts: AddisonWesley Publishing Company. 22. Horrochs, J.E., 1968. Assessment of Behavior. Columbus: Charles E. Merrill Publishers 23. Incorporated Grolier, 1986. The Grolier International Dictionary volume two. Dunbury: Connecticut 24. Jackson, J,H., 1976. Investigation behavior: Principles of Psychology. New York: Harper & Row Publisher. 25. Kelly, E.F., 1976. The Development and Use of The Adjective Rating Scale: A Measure of Attitude Toward Courses and Program. Syracuse: Syracuse University. 26. Krech, D., R.S. Crutchfield, E.L. Balalachey, 1962. Society. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.
Individual in
27. Mar’at, 1981. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. 28. NewComb, T.M., R.H. Turner, P.E. Converse, 1978. Social Psychology.diterjemahkan oleh Tim Fakultas Psikologi UI. Psikologi Sosial. Bandung: CV Diponegoro. 29. Terry, G.R., 1986. Principles of Management. Alaih bahasa Winardi Azaz-azam Managemen. Bandung: Alumni. 30. Thoha, M., 1986. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali. 31. Tuckman, B.W., 1972. Conducting Educational Research. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc ***********
Zainal & Sidarta
5
Antropologi Ekologi
Pertemuan 1 EKOLOGI DAN ANTROPOLOGI EKOLOGI Pertemuan ini mencoba membicarakan tentang Ekologi sebagai ilmu dan perebadaan kajiannya dengan Antropologi Ekologi. Untuk itu yang akan dibahas adalah : (1) apa saja yang menjadi topik kajian Ekologi (sebagai ilmu) dan apa saja yang menjadi topik kajian Antropologi Ekologi. (2) Apa yang secara mendasar membedakan antara kajian Ekologi dengan kajian Antropologi Ekologi Ekologi berasal dari kata oikos (rumah tangga) dan logos (ilmu). Berangkat dari asal kata ini, berarti ekologi adalah ilmu yang mempelajari suatu rumah tangga. Namun ilmu lain yang juga berakar dari kata oikos seperti ekonomi berarti juga diartikan sebagai ilmu tentang rumah tangga. Akan tetapi kedua ilmu ini memiliki perspektif atau pandangan yang berbeda tentang rumah tangga (oikos) tersebut. Ilmu Ekonomi lebih menekankan upaya mempelajari rumah tangga manusia dan tidak diarahkan mempelajari rumah tangga makhluk hidup lain. Namun kedua rumah tangga ini pada prinsipnya akan saling mengait sebagai bagian dari rumah tangga yang lebih besar yaitu rumah tangga alami. Sedikit berbeda dengan Ekologi sebagai sebuah ilmu, dimana fokus perhatian akan lebih diarahkan pada upaya mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan sesamanya dan dengan benda-benda mati di sekitarnya. Artinya manusia lebih dilihat sebagai bagian dari makhluk hidup dan makhluk mati yang ada di alam, dimana satu sama lainnya akhirnya membentuk saling keterkaitan satu sama lain dalam sebuah ekosistem. Berangkat dari konsep tersebut, maka sebenarnya Ekologi adalah sebuah ilmu yang maha luas, karena sebuah ekosistem lebih dilihat sebagai sebuah pola keterkaitan antara benda-benda dan makhluk yang ada di alam. Dalam perkembangannya, Ekologi sebagai sebuah ilmu mengalami perkembangan dan spesialisasi yang diharapkan akan lebih memudahkan dalam memahami pola hubungan dalam ekosistem tersebut. Untuk itu lalu muncul kajiankajian ekosistem yang hanya melihat sisi makhluk hidupnya saja, benda-benda mati saja. Bahkan dalam perkembangan keilmuan di kemudian hari, para ahli juga akhirnya lebih memfokuskan pada satu bidang kajian saja, seperti hanya mempelajari binatang saja, tumbuh-tumbuhan saja, dan kajian tentang manusia saja, benda-benda mati saja, bahkan dalam banyak hal akhirnya kajian tentang tumbuhan misalnya, akhirnya lebih difokuskan pada tumbuhan-tumbuhan tertentu, seperti kajian tentang tumbuhan obat, kajian tentang tumbuhan pangan, dan lain-lain. Kajian ekologi tentang manusia dan posisinya dalam ekosistem pun juga mengalami banyak perkembangan. Hal ini lebih disebabkan karena manusia sebagai makhluk hidup memiliki kemampuan mencipta, merubah dan memodifikasi eksosistem paling tinggi diantara makhluk hidup lainnya. Melihat begitu pentingnya posisi manusia dalam ekosistem ini akhirnya menarik para ahli untu mengembangkan kajian yang disebut dengan Ilmu Lingkungan. Dalam hal ini kajian Ilmu Lingkungan mencoba mempelajari dan memahami tempat dan peranan manusia diantara makhluk hidup dan komponen kehidupan lainnya. Dalam hal ini Ilmu Lingkungan lebih memposisikan dirinya sebagai kajian ekologi yang sifatnya terapan. Zainal & Sidarta
6
Antropologi Ekologi
Disisi lain, para ahli ekologi juga melihat bahwa aktifitas manusia berkenaan dengan lingkungannya, tidak sekedar sebuah aktifitas perorangan saja (individual), tetapi sebenarnya terbentuk dan tersusun dalam sebuah kerangka komunalnya. Pemahaman ini akhirnya juga menciptakan sebuah kajian ekologi yang disebut dengan Human Ecology (Ekologi Manusia). Kajian ini khusus mempelajari bagaimana faktor sosial-budaya manusia mempengaruhi antifitas mereka dalam berhubungan dengan makhluk hidup lainnya dan benda-benda mati yang ada dalam ekosistemnya secara umum. Kajian human ecology ini banyak didominasi oleh para ahli ekologi yang berlatar belakang pemikiran ilmu-ilmu sosial. Human ecology akhirnya juga terspesialisasi dalam berbagai kajian ilmu. Artinya masing-masing bidang dalam ilmu-ilmu sosial, mencoba memahami dan menganalisis hubungan manusia dengan ekosistemnya sesuai dengan dasar keilmuan mereka masing-masing. Sosiologi misalnya, mencoba memahami pola hubungan manusia dan ekosistem tersebut dalam tinjauan ilmu dan teori sosiologi yang lebih menekankan proses interaksi antara manusia dan kelompoknya. Hal yang sama juga terjadi dalam Antropologi, yang coba memahami pola hubungan manusia dengan ekosistem tersebut dalam tinjauan teori yang berkembang dan dikembangkan dalam Antropologi. Dalam kajian Antropologi, maka kajian ekologi (Antropologi Ekologi) lebih dikhususkan pada pola hubungan antara manusia dan lingkungan sebagai bentuk yang saling pengaruh mempengaruhi dengan aspek budaya. Artinya aspek budaya, lebih dilihat sebagai sesuatu yang melingkupi dan melatarbelakangi segala aktifitas manusia berkenaan dengan lingkungan tersebut. Dengan demikian, maka dalam Antropologi Ekologi ini maka pola hubungan manusia dengan lingkungan di kelompok masyarakat dan budaya tertentu, dianggap akan memiliki pola-pola khas yang “relatif” cukup bertahan lama. Budaya manusia dalam menghadapi dan memperlakukan alam, bisa tercermin dalam tradisi atau kebiasaa lokal, dalam sistem pengetahuannya (kearifan lokal), maupun dalam perilaku dan peralatan yang dipakai.
******* Pertemuan 2 MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN EKOSISTEM Pertemuan ini mencoba membicarakan tentang asumsi-asumsi dasar dalam Antropologi Ekologi. Untuk itu maka dalam pertemuan ini mencoba membahas pola hubungan dan keterkaitan hubungan timbal balik antara manusia sebagai makhluk sosial-budaya dengan kebudayaan dan lingkungan alam dan sosial (ekosistem) yang ditempatinya. A. Manusia dan Kebudayaan Manusia dalam kehidupannya cenderung mengembangkan kehidupannya berdasarkan hasil pengetahuan dan pengalamannya secara bersama dalam kelompokkelompok sosialnya. Artinya manusia tidak bisa hidup sendiri dan cenderung akan selalu melakukan sharing (berbagi bersama) dengan manusia yang lain. Proses sharing ini lalu diserap sebagai pengetahuan individual lewat proses belajar yang dilakukannya. Apabila hasil dari proses sharing ini terus menerus disosilisasikan dan Zainal & Sidarta
7
Antropologi Ekologi
dimantapklan akhirnya relatif membentuk pemahaman yang sama tentang sesuatu, relatif memiliki kesamaan pola pengetahuan, bahkan dalam banyak hal relatif memiliki artefak atau material yang sama. Kesamaan antara individu satu dengan individu lainnya inilah yang kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing manusia anggota kelompok tersebut. Dalam banyak literatur, sesuatu yang terpola atau sesuatu yang telah menjadi kebiasaan ini kemudian disebut dengan istilah budaya atau kebudayaan. Ini artinya sesuatu yang disebut dengan budaya apabila hal-hal yang dimiliki manusia tersebut sifatnya : sudah menjadi milik bersama dengan orang lain yang ada di kelompoknya. Masalahnya, konsep bersama dalam hal ini kecenderungannya akan dilihat secara berbeda oleh masing-masing ahli. Sesuatu itu didapat lewat proses belajar dan tidak didapat secara biologis atau genitas. Artinya, budaya sifatnya harus dipelajari dan tidak bisa diturunkan begitu saja dari generasi sebelumnya. Akal manusia akan selalu memproses pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar ini, sehingga budaya cenderung akan mengalami modifikasi dan perubahan, baik sifatnya lambat (evolusi) maupun cepat (revolusi). Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, terpola dan jadi milik bersama inilah yang kemudian disebut dengan BUDAYA atau KEBUDAYAAN (culture). Jadi secara umum kebudayaan adalah segala sesuatu yang dijadikan milik bersama yang sifatnya sudah terpola atau menjadi kebiasaan bersama. Disini KEBUDAYAAN memiliki sifat-sifat antara lain : Pemilik kebudayaan tidak terbatas pada jumlah atau kuantitas manusianya, kebudayaan tidak dibatasi wilayah administratif, dan terkadang tidak dibatasi waktu. Ujud kebudayaan bisa sifatnya material (benda-benda) yang dibuat dan dimiliki manusia, bisa berbentuk perilaku dengan segala aktifitasnya, dan juga bisa berbentuk pengetahuan (kognitif) manusianya. Sifat kebudayaan bisa sifatnya dinamis (aktif) atau selalu berubah sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, karena budaya adalah alat bagi manusia untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan yang dihadapi, sehingga budaya akan bersifat aktif. Budaya bisa juga bersifat statis (pasif), atau cenderung lambat berubah, karena budaya adalah alat pemelihara dan pelestari kehidupan manusia dalam membentengi terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang mereka hadapi, sehingga manusia pemiliknya berusaha untuk tidak terbawa arus perubahan. Kebudayaan cenderung dijadikan PEDOMAN bagi manusianya untuk berperilaku dan berinteraksi. Untuk itu kebudayaan sendiri sebenarnya mengandung nilai-nilai, norma-norma, cognitive system, dan simbolsimbol bersama. Seiring dengan perkembangan ilmu itu sendiri, maka dalam Antropologi konsepsi tentang budaya juga mengalami perkembangan. A.L.Kroeber dan C.Kluckhohn bahkan mensinyalir sudah lebih 160 konsep tentang kebudayaan yang dikembangkan Zainal & Sidarta
8
Antropologi Ekologi
para ahli. Dari sebanyak konsep budaya yang berkembang dalam Antropologi tersebut, dalam tulisan ini akan coba disarikan kedalam 3 kelompok pemikiran. 1. Konsep Kebudayaan dari Aliran Pemikiran Klasik Dalam pemikiran klasik ini, budaya lebih banyak dilihat sebagai sesuatu yang sifatnya menyeluruh (holistik). Artinya, segala sesuatu yang melekat dan ada dalam diri manusia dilihat sebagai aspek budaya. Secara epistemologi., pemikiran seperti ini didasari oleh aliran pemikiran positivisme yang memandang Antropologi sebagai ilmu yang tidak jauh berbeda dengan ilmu alam (natural science). Beberapa pendekatan dalam antropologi yang mendasari pemikirannya seperti ini terlihat dalam teori evolusionisme, struktural-fungsional, dan materialisme-budaya (Arifin, 1999). Masing-masing teori memiliki variasi tersendiri tentang konsep budaya, tetapi satu sama lainnya memiliki persamaan, dimana aliran pemikiran klasik ini memandang budaya pada level sistem sosialnya. Artinya, kebudayaan lebih dilihat sebagai “tindakan-tindakan terpola” yang dimiliki secara bersama dalam kelompok sosialnya. Dalam Antropologi, konsep budaya seperti ini misalnya dapat dilihat dalam konsep E.B. Tylor (1871) yang melihat budaya sebagai kompleksitas yang mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain-lain berupa kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Konsep yang relatif sama juga terlihat misalnya dalam pemikiran Ralp Linton (1945) dimana budaya adalah keseluruhan cara hidup dari masyarakat itu sendiri, yang menurut Ember & Ember (1981) meliputi cara-cara beraktifitas, kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas. Dalam pemikiran yang relatif sama Brown (1952) melihat budaya sebagai suatu proses yang diperoleh melalui hubungan dengan orang lain atau melalui benda-benda seperti buku, atau karya seni, pengetahuan, kemahiran, kepercayaan, rasa dan sentimen. Di Indonesia, salah seorang pakar Antropologi yaitu Koentjaraningrat (1987) lalu mencoba menyadur berbagai konsep budaya tersebut menjadi sebuah konsep yang melihat budaya sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia lewat proses belajar. Lewat konsep budaya seperti tersebut diatas, berarti kebudayaan berujud pada segala sesuatu yang melekat dan dilakoni oleh manusia sebagai proses belajar. Budaya bisa berujud, pengetahuan, mate rial, perilaku, nilai-nilai, norma-norma, simbol-simbol dan lain-lain. Secara universal, Koentjaraningrat melihat ujud budaya tersebut menjadi 7 bagian yaitu (1) bahasa, (2) pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) tekhnologi, (5) sistem ekonomi, (6) religi, dan (7) kesenian. Masalahnya, kebudayaan seperti ini akhirnya terjebak dalam pemikiran bahwa setiap individu yang berasal dari budaya yang sama akan memiliki ide, perilaku dan hasil karya bersama. Dalam kenyataannya, justru sering terjadi pengelompokan khas dalam masyarakat tersebut bahkan antara individu satu dengan yang lain sering terlihat memiliki ide, perilaku dan hasil karya yang berbeda. 2. Konsep Kebudayaan dari Aliran Kognitif Zainal & Sidarta
9
Antropologi Ekologi
Pandangan kebudayaan sebagai sistem ide, secara umum berangkat dari pandangan fenomenologis yaitu salah satu aliran pemikiran filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husseel. Menurut Husseel, fenomena bukanlah kesatuan yang sesungguhnya (no substantial unity), dan juga tidak bersifat kausalitas (no causality). Fenomena adalah sesuatu yang sudah ada dalam persepsi dan kesadaran individu yang sadar tentang sesuatu hal (benda, situasi, dan lain-lain). Perbedaan perspektif dalam melihat sebuah fenomena ini, menyebabkan cara pandang tentang sebuah kebudayaan juga berbeda. Kalau dalam pemikiran positivisme, kebudayaan lebih ditekankan pada sistem sosial (social system), maka kebudayaan dalam perspektif pemikiran fenomenologis, kebudayaan lebih ditekankan pada sistem ide, sehingga sistem ide atau gagasan inilah yang mengendalikan perilaku manusia di dalam sistem sosialnya. Kesatuan sistem ide yang menaungi dan mempedomani manusia dalam bertindak dan berprilaku inilah yang kemudian dianggap sebagai sistem budaya (cultural system), sementara sistem sosial (social system) dan hasil karya berbentuk material (artefact system) lebih dilihat sebagai hasil dari kebudayaan. Kebudayaan dalam pandangan ini berarti adalah sebagai sistem aturan (Frake, 1964), pola-pola bagi kelakuan (Keesing and Keesing, 1971) dan “alat” untuk menafsirkan fenomena yang dihadapinya, sebagaimana dijelaskan oleh Goodenough bahwa ... culture is not a material phenomenon; it does not consist of things, people, behavior, or emotions. Culture is rather an organization of these things. it is the form of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them (Keesing: 1981). Sistem pengetahuan sebagai sebuah kebudayaan adalah milik bersama, yang dikomunikasikan pada setiap individu lewat proses belajar, baik lewat pengalaman, interaksi sosial maupun interaksi simbolis. Luasnya cakupan sebuah kebudayaan, dengan demikian tidak akan mampu diserap secara keseluruhan oleh individu-individu pemilik kebudayaan tersebut. Perbedaan psikologis, pola asuh, interaksi yang dilakukan, dan tingkat kemampuan dalam menyerap pengetahuan pada setiap individunya, membuat pengetahuan yang dimiliki setiap individu akan perbedaan. Perbedaan ini berimplikasi pada model-model pengetahuan yang dimiliki seseorang tidak secara keseluruhan akan dijadikan pedoman atau pegangan, tetapi dalam penggunaannya biasanya hanya berpedoman pada salah satu atau sejumlah model saja. Pemilihan model-model pengetahuan sebagai pedoman dalam bertindak ini secara selektif disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi. Modelmodel pengetahuan tertentu yang dimiliki oleh masing-masing individu pemilik kebudayaan tersebut sering disebut sebagai pengetahuan budaya. Beberapa konsep kebudayaan yang menempatkan kebudayaan sebagai sistem ide selain Goodenough di atas, diantaranya juga terlihat dalam konsep kebudayaan Spradley, Suparlan, dan Budhisantoso berikut. Menurut Spadley (1979: 5), kebudayaan refer to the acquired kenowledge that people use to interpret experience and generate social behavior. Dalam pemikiran yang relatif sama, Parsudi Suparlan (1982: 8) melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan terwujudnya kelakuan. Zainal & Sidarta
10
Antropologi Ekologi
Hal yang sama juga dilihat oleh Budhisantoso (1987: 232), dimana menurutnya, kebudayaan disamping sebagai sistem pengetahuan, juga memuat sistem nilai dan keyakinan. Menurut Budhisantoso, kebudayaan adalah sistem nilai, gagasan dan keyakinan yang mendominasi cara pendukungnya melihat, memahami, dan memilah-milah gejala yang dilihatnya dan merencanakan serta menentukan sikap dan perbuatan selanjutnya. Kebudayaan sebagai pendorong dominasi pola tingkah laku anggota masyarakat pendukungnya dapat pula diartikan sebagai “pengenal” yang membedakan kelompok sosial yang satu terhadap lainnya, walaupun dalam kenyataannya tidak sesederhana anggapan sedemikian. 3. Konsep Kebudayaan dari Aliran Interpretatif Dalam Antropologi, kajian interpretatif (tafsiriah) tampak paling menonjol dalam Antropologi Simbolik, dan Antropologi Post-modernisme. Pandangan ahli antropologi tentang simbol pada dasarnya bisa ditelusuri dari aliran pemikiran hermenutik yang sedikit banyak sangat mempengaruhinya. Prinsip utamanya adalah bahwa fenomena sosial-budaya adalah sebagai sebuah teks yang dapat dibaca (Ricoeur, 1979; Tylor, 1987), dan tujuan telaahnya adalah untuk “membaca dan memahami” (understanding) fenomena sosial-budaya, bukan hanya sekedar “menjelaskan” (explaining). Oleh karena itu dalam kajiannya lebih menekankan pada usaha untuk mengungkap makna-makna dari berbagai fenomena simbolik dalam masyarakat, entah itu berupa perilaku, benda-benda ataupun pengetahuan atau ide-ide masyarakat. Berangkat dari pandangan di atas, maka konsepsi tentang budaya sedikit berbeda dengan pemikiran sebelumnya. Dalam pemikiran antropologi klasik, budaya ada dalam social system berujud perilaku dan tindakan terpola, dan dalam antropologi kognitif, kebudayaan ada dalam level ideasional, sementara dalam pemikiran para ahli penganut aliran interpretatif, kebudayaan terbentuk sebagai sebuah proses timbal balik antara sistem tindakan, sistem artefak atau material dan sistem ideasional. Jadi kebudayaan tidak berada dalam diri manusia, tetapi hanya ada diantara manusia-manusia anggota kelompok sosialnya. Dalam hal ini, manusia selalu berusaha menciptakan simbol-simbol dalam pola interaksinya, sekaligus juga mampu merubah dan memodifikasi simbol-simbol tersebut. Oleh sebab itu, kebudayaan yang berkembang diantara individu-individu lebih berujud seperti sebuah teks yang dipakai sebagai panduan, pedoman dalam memahami tindak-tindakan manusia-manusia lain tersebut. Dalam Antropologi, tokoh-tokoh yang cukup menonjol dalam penggunaan aliran pemikiran interpretatif (simbolik) ini adalah Clifford Geertz dan Victor Turner. Dalam kerangka pemikiran Geertz (1992), kebudayaan lebih dilihat sebagai……pola-pola makna yang diwariskan secara historis yang terujud sebagai simbol-simbol……yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikapnya terhadap kehidupan. Dalam konteks ini, Geertz (1992) melihat simbol sebagai an object / act / quality / or relation which serves as vehicle for a conception. Jadi simbol pada prinsipnya mempunyai sifat ganda, yang tidak hanya menyatakan sesuatu tetapi juga menyembunyikan sesuatu (revealing and concealing). Sedikit berbeda dengan Zainal & Sidarta
11
Antropologi Ekologi
Turner lewat tulisannya The Forest of Symbol (1970) yang melihat simbol bukanlah sebagai wahana atau “teks” untuk membaca kebudayaan, tetapi simbol lebih dilihat sebagai pelaksana (operators) dalam proses sosial yang secara esensial kemudian menghasilkan transformasi sosial (Ortner, 1984). Jadi menurut Turner, simbol itu sendirilah yang sebenarnya kebudayaan, sehingga membaca dan menginterpretasi simbol-simbol berarti membaca dan menginterpretasi kebudayaan itu sendiri. B. Pola Hubungan Manusia dan Ekosistemnya Manusia secara jasamaniah tidak dikaruniai oleh Tuhan perlengkapanperlengkapan khusus pada organ-organ tubuhnya seperti binatang pada umumnya, sehingga dalam beraktifitas dan menghadapi kondisi dan situasi lingkungan, manusia memiliki keterbatasan apabila dia ingin mengandalkan organ tubuhnya. Monyet dikaruniai tangan dan kaki yang dirancang khusus sehingga bisa meloncat dari satu pohon ke pohon yang lain, sementara manusia tidak memilikinya. Cumi-cumi dikaruniai senjata berupa tinta untuk menghindarkan dirinya dari serangan musuh, manusia tidak memilikinya. Satu-satunya kemampuan khusus yang dimiliki manusia yang berbeda dengan makhluk lainnya adalah akal yang relatif sempurna. Akal manusia ini akan selalu mengalami perkembangan apabila selalu digunakan dalam proses belajarnya tentang sesuatu dalam lingkungan hidupnya. Semakin kompleks kondisi lingkungan yang dihadapi dan semakin menantang kondisi lingkungan yang dihadapi, maka kemampuan akal manusia relatif akan semakin berkembang. Artinya kompleksnya kondisi lingkungan yang dihadapi manusia kota, relatif akan semakin memacu kemampuan akal manusia untuk lebih berkembang dibandingkan dengan manusia desa yang relatif kondisi lingkungannya tidaklah kompleks. Para ahli paleoanthropologi membuktikan hal ini lewat perkembangan kapasitas otak manusia dimana pada manusia Pethecanthropus Erectus kapasitas otaknya hanyalah 900 cc, sementara kapasitas otak manusia pada tahun 1970-an adalah 1500 cc. Sementara gorilla --- dianggap binatang cerdas --- hanya memiliki kapasitas 600 cc. Manusia lewat akalnya mencoba mengembangkan dan mendapatkan pengetahuan yang diterimanya. Artinya lewat kemampuan akal masing-masing individu, kondisi lingkungan yang dihadapi disekitarnya akan coba diserap dan dicerna menjadi pengetahuan. Dalam hal ini, lingkungan bisa dibedakan atas 3 bagian yaitu (1) Lingkungan Alam yaitu satuan elemen-elemen biologi, geografi, fisik-kimia yang secara ekologi saling mempengaruhi sehingga membentuk sistem alam. (2) Lingkungan Sosial yaitu sistem aturan-aturan yang digunakan manusia dalam berkehidupan di masyarakat atau kelompoknya, serta (3) Lingkungan Binaan yaitu satuan hasil buatan dan rekayasa manusia dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat. Lewat pengetahuan inilah manusia mencoba mengatasi dan menaklukkan atau mempengaruhi lingkungannya. Pembuatan rumah iglo pada suku-bangsa Eskimo misalnya adalah salah satu cara manusia untuk menaklukkan cuaca yang sangat dingin di antartika. Hal yang sama juga terjadi di masyarakat Afrika, dimana untuk menaklukkan cuaca yang panas adalah dengan membuat rumah-rumah dari tanahtanah liat. Lewat akalnya juga manusia membentuk pola-pola pertahanan diri agar Zainal & Sidarta
12
Antropologi Ekologi
tidak terlalu kuat dipengaruhi dan didesakan lingkungannya. Artinya, manusia dengan akal yang dimiliki mencoba menciptakan dan mengembangkan strategi adaptasi sesuai dengan kondisi dan perubahan lingkungan yang dihadapinya. Pengembangan perahu bercadik di masyarakat Trobrian adalah salah satu strategi agar mampu melaut dimasa-masa ombak ganas.
Manusia Dengan pengetahuannya lingkungan Trial and error
Extra somatic tools
Terpola menjadi Budaya
Akibat adalah pengaruh dan mempengaruhi antara manusia dan lingkungannya, maka kondisi lingkungan masyarakat lingkungan akan mengalami perubahan-perubahan yang berarti. Mengandalkan kemampuan organ tubuh saja, tidaklah mungkin. Untuk itu manusia mencoba mengembangkan peralatan dan caracara (extra somatic tools) untuk mengatasi keterbatasan organ tubuh tersebut. Pada awalnya, extra somatic tools ini tidak saja terbentuk akibat pengalaman yang tidak terduga, tetapi juga terbentuk akibat adanya keinginan manusia untuk terus mencoba walaupun gagal (trial and error). Aspek trial and error ini bisa saja terjadi karena adanya keinginan untuk terus berkembang, tetapi juga bisa terjadi karena adanya kungkungan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, misalnya nilai-nilai agama dan mitos-mitos yang berkembamng dan dikembangkan. Extra somatic tools yang dikembangkan dan dipakai untuk mengatasi keterbatas-an organ tubuh manusia tersebut bisa berbentuk tekhnologi yang digunakan untuk menambah kekuatan organ tubuh atau untuk menambah kepercayaan diri dan pristise pemiliknya, tetapi juga bisa berupa pengetahuan dalam upaya untuk terus mencari kebenaran. Akan tetapi disisi lain, akibat perkembangan extra somatic tools yang dikembangkan dan berkembang dalam kehidupan manusia akhirnya juga mempengaruhi kondisi lingkungan dan organ-organ tubuh manusia itu sendiri. Perubahan bentuk gigi yang dahulunya besar-besar dan kuat, akhirnya sekarang menjadi lebih kecil dan rapuh, dipercayai karena semakin lunaknya makanan yang dikonsumsi oleh manusia. Penciptakan mesin akhirnya merubah kondisi lingkungan alamnya semakin kritis. Penggunaan zat-zat kimia membuat semakin rentannya manusia dengan berbagai penyakit, disamping juga akhirnya merubah iklim dan cuaca disekitarnya. Zainal & Sidarta
13
Antropologi Ekologi
Apabila extra somatic tools ini dirasakan tidak bermanfaat oleh manusianya, maka tekhnologi dan cara-cara tersebut akan dihilangkan atau hilang dengan sendirinya, namun apabila hal tersebut dirasakan dapat membantu dalam aktifitas kehidupannya, maka extra somatic tools tersebut akhirnya disosialisasikan dan dibiasakan, sehingga akhirnya menjadi barang-barang atau hal-hal yang terpola dan menjadi budaya. Dalam perkembangan kemudian, sesuatu yang sudah terpola ini, seiring dengan perubahan kondisi lingkungan dan perkembangan sosial-budaya manusia itu sendiri akhirnya juga akan mengalami perubahan dengan dilakukan kembali penciptaan extra somatic tools yang baru. ********* Pertemuan 3 EKOSISTEM DAN POLA PENGGUNAANNYA Pertemuan ini mencoba membicarakan tentang bagaimana lingkungan alam dan sosial (ekosistem) ikut mempengaruhi pola dan struktur sosial-budaya masyarakat disekitarnya, dan bagaimana manusia (masyarakat) juga ikut mempengaruhi ekosistem tersebut lewat penggunaan dan eksploitasi yang dilakukan manusia (masyarakatnya). Yang dimaksud dengan Ekosistem (ecological system) adalah tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur atau elemen lingkungan hidup yang saling pengaruh mempengaruhi. Salah satu elemen dalam lingkungan hidup tersebut adalah manusia dengan segala aktifitasnya. Manusia sebagai salah satu elemen dalam ekosistem --- dengan kemampuan akalnya --- cenderung sangat dominan sekali dalam menentukan bentuk ekosistem itu sendiri. Dalam hal ini Pola penggunaan ekosistem tersebut sangat dipengaruhi sekali oleh : (1) kualitas dan kuantitas manusianya, (2) Sistem Pengelolaan (Tekhnologi dan kebijakan) Kualitas disini sangat berkaitan dengan pola pemahaman manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya, sedangkan kuantitas berkaitan dengan jumlah dan populasi manusia tu sendiri dalam ekosistem tersebut. Dengan bertambahnya populasi dan melalui pemahaman yang dimilikinya, maka disatu sisi, manusia selalu terus berusaha menaklukkan dan memodifikasi lingkungan yang dihadapi sehingga aktifitas kehidupan dapat terus dilanjutkan. Namun disini lain, perubahan kondisi yang terjadi baik dari aspek manusia maupun dari aspek lingkungannya, akhirnya membuat manusia terus berusaha menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan yang dihadapi tersebut. Upaya penyesuaian diri dilakukan oleh manusia ini, dalam konsep ekologi tentang manusia, akhirnya memunculkan konsep adjustment dan adaptation. Konsep adjustment lebih ditekankan pada upaya penyesuaian diri secara fisik-biologis, sebagaimana sering terjadi dalam kehidupan makhluk hidup diluar manusia. Perbedaan antara binatang beruang di daerah kutub (beriklim dingin) yang memiliki bulu yang lebih tebal dari beruang yang ada di daerah tropis, lebih dilihat sebagai suatu cara penyesuaian diri terhadap kondisi lingkungan yang dihadapi. Pada diri manusia, aspek penyesuaian diri seperti ini juga sering terjadi. Manusia di daerah Zainal & Sidarta
14
Antropologi Ekologi
panas ketika hidup di daerah dingin, lama kelamaan tubuhnya secara fisik-biologis akan mampu menyesuaian diri dengan sendirinya. Sedikit berbeda dengan konsep adaptation yang lebih menekankan pada upaya penyesuaian diri secara budaya. Artinya terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang dihadapi manusia tidak selalu akan merubah kondisi fisik-biologius dirinya, akan tetapi justru lebih banyak berupa penyesuaian diri terhadap cara dan perilaku yang bersumber dari hasil pemahamannya terhadap kondisi lingkungan itu sendiri. Manusia yang tinggal di daerah dingin cenderung akan menyesuaikan dirinya dengan cara memakai pakaian-pakaian tebal, sementara manusia di daerah tropis lebih banyak mengembangkan jenis pakaian-pakaian yang tipis. Dalam banyak aspek kehidupan, upaya penyesuaian diri ini (adaptation) lebih banyak diujudkan dengan cara mengembangkan tekhnologi yang ada. Akan tetapi, kemampuan manusia menyesuaikan diri ini memiliki batas toleransi yang terbatas dengan lingkungannya. Hal ini dikarenakan, manusia pada prinsipnya memiliki strategi hidup yang selalu memperhatikan batas daya dukung lingkungan. Artinya, apabila populasi manusia sudah mendekati batas daya dukung lingkungan, maka akan terjadi perubahan laju kehidupan karena pengaruh kelentingan lingkungan (environment resistance). Ini misalnya ditandai dengan kemampuan manusia yang hanya mampu melahirkan anak satu orang setiap kali kelahirnya, dan batas antar kelahian yang panjang. Artinya secara biologis, pada prinsipnya manusia tidak akan membawa permasalahan yang berarti dengan lingkungannya, karena dia hanya merawat anak satu orang, sehingga krisis lingkungan, pencemaran, eksploitasi dsb bisa ditekan sedemikian rupa. Namun manusia bukanlah makhluk biologis saja, tetapi manusia juga sebagai makhluk psikis, sosial dan simbolik yang terkait dengan rasa, status dan simbol-simbol pristise antar sesamanya. Ini misalnya ditunjukkan bahwa manusia tidak hanya sekedar butuh makan, tapi makan yang bergengsi. Manusia tidak sekedar butuh rumah berlindung, tapi rumah yang bergengsi. Menurut Bennett (1976), ini sangat terkait dengan semakin dipisahkannya oleh manusia antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Kebutuhan (needs) terkait dengan upaya pemenuhan hidup yang secara langsung terkait dengan aktifitas hidup sehari-hari, seperti pemenuhan akan lapar dan haus, perlindungan diri, kesehatan, dan lain-lain. Sementara keinginan (wants) lebih terkait pada kebutuhan yang sifatnya tidak langsung, tapi lebih sebagai kebutuhan yang sifatnya simbolik, seperti kebutuhan akan mobil lebih dari satu, kebutuhan akan rumah tempat berlindung yang megah, kebutuhan akan pakaian yang hanya sekedar pajangan, dan lain-lain. Posisi manusia yang cenderung semakin memisahkan antara needs dan wants ini membuat manusia akhirnya menjadi makhluk yang “lapar”dan selalu berusaha mengeksploitasi dan memanipulasi kondisi lingkungannya. Manusia akhirnya menjadi makhluk produsen namun sekaligus juga sebagai konsumen dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut. Kebutuhan yang sifatnya primer (pokok) seperti makan, skunder seperti pakaian, rumah dan pendidikan, akhirnya tidak sekedar sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi, tetapi menciptakan keinginan yang harus dipenuhi (menjadi kebutuhan tersier atau luks). Makanan sebagai kebutuhan pokok tidak sekedar sebagai kebutuhan karena lapar, tetapi akhirnya menjadi kebutuhan karena simbol kemewahan dan pristise. Zainal & Sidarta
15
Antropologi Ekologi
Berangkat dari upaya pemenuhan kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) yang tidak seimbang dan cenderung berlebihan tersebut, akhirnya membuat kehidupan manusia akhirnya dipenuhi oleh limbah hasil konsumsinya. Penciptaan dan penggunaan tekhnolgi yang berlebihan sebagai upaya manusia untuk lebih mempercepat pemenuhan needs, wants dan mengatasi limbah konsumsi disatu sisi juga akhirnya menciptakan limbah tersendiri. Pola kehidupan seperti ini akhirnya melahirnya dan menambah penumpukan limbah dalam kehidupan manusia yang tidak saja dalam bentuk limbah konsumsi tetapi akhirnya juga berbentuk industri. Sistem penguasaan dan pengolahan lingkungan seperti ini akhirnya membawa akibat pada kehidupan manusia. Disatu sisi memunculkan akibat langsung (effect) dalam kehidupan manusianya dan disi lain juga membawa akibat terusan (impact). Akibat langsung (effect) dalam artinya bahwa sistem pengelolaan dan tekhnologi yang diterapkan secara langsung akan membawa akibat pada kehidupan manusia itu sendiri. Operasional pabrik misalnya akan membawa effect dengan adanya limbah pabrik. Operasional mesin dan mobil berbahan bakar akan berpengaruh menciptakan asap, dan lain-lain. Sementara pengaruh dalam bentuk akibat terusan impact artinya bahwa akibat (effect) dari sistem pengelolaan dan tekhnologi tersebut sekaligus akan mebawa akibat lanjutan yang disebut dengan impact. Adanya limbah sebagai effect dari operasional pabrik ternyata juga membawa akibat lain atau lanjutan berupa pencemaran lingkungan berupa bau, rusaknya ekosistem sekitar tempat pembuangan limbah. Asap sebagai effect dari penggunaan dan operasional mobil dan mesin berbahan bakar juga akan membawa akibat lanjutan berupa polusi udara, dan lainlain. Munculnya berbagai permasalahan yang dihadapi manusia berkenaan dengan lingkungan ini, disatu sisi justru membuat manusia semakin berlomba menciptakan tekhnologi terbaru, yang tanpa disadari akan semakin memperparah kondisi lingkungan itu sendiri. Manusia akhirnya akan semakin mengeksploitasi lingkungannya dan semakin menempatkan dirinya terpisah dari aspek-aspek lingkungan sebagai kesatuan ekosistem, dimana pada awalnya pola hubungan antara manusia dengan lingkungannya bersifat imanen akhirnya cenderung menjadi transenden. ******* Pertemuan 4 PERUBAHAN EKOSISTEM DAN KRISIS LINGKUNGAN Pertemuan ini mencoba membicarakan tentang bagaimana pola pengaruhmempengaruhi antara manusia (masyarakat) dengan lingkungan alam dan sosial (ekosistem) yang cenderung mengalami perubahan. Artinya bagaimana perubahan ekosistem akan ikut mempengaruhi pola adaptasi manusia (masyarakat) dan sebaliknya bagaimana terjadinya perubahan struktur sosial-budaya masyarakat relatif juga akan mempengaruhi ekosistem yang ada di sekitarnya. Sesuai dengan konsep ekososistem, sebagai sebuah tatanan kesatuan lingkungan secara utuh, maka antara elemen satu dengan elemen yang lain yang ada Zainal & Sidarta
16
Antropologi Ekologi
dalam ekosistem tersebut akan saling memfungsikan dirinya agar bisa bertahan (survive. Namun disi lain, dia juga harus memfungsikan dirinya untuk elemen-elemen lain agar keseimbangan bisa terbentuk, sehingga proses saling mendukung, saling memberi dan menerima (reciprocity) demi kelangsungan hidup masing-masingnya berjalan baik. Pola ekosistem seperti ini akhirnya membuat masing-masing elemen lingkungan hidup kemampuan untuk memperbaiki diri (lahir, mati, menghidupkan, mematikan) dalam tatanan ekosistem yang ada. Areal tropis yang awalnya gundul, akibat kondisi tertentu (iklim, jenis tanah, hewan, dll) akhirnya memunculkan jenis tumbuhan tertentu -----akan mengundang binatang tertentu ------ melahirkan hutan baru. Areal tropis yang telah menjadi rimba dengan keragaman flora dan faunanya, akibat kondisi tertentu akhirnya memunculkan predator (pemusnah) yang memakan flora dan fauna yang ada serta memunculkan decomposer (perompak) seperti cacing, bakteri, virus, jamur, ragi dll. Areal tropis yang sekarang sudah jadi rimba, akhirnya tidak mampu menerima keragaman dan tekanan elemen-elemen yang semakin beragam dan semakin besar. Akhirnya, tanah menjadi longsor karena beban sudah terlalu tinggi, pohon di lapisan bawah (bahkan batu) mulai melapuk akibat tekanan kelembaban yang terlalu tinggi. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya pola hubungan antara elemen-elemen di dalam lingkungan tidak akan menimbulkan permasalahan apabila masing-masing elemen tetap memposisikan dirinya sebagai elemen alamiah dalam ekosistem. Permasalahan mulai muncul ketika manusia (dengan keterbatasan organ dan extra somatic tools yang ada) tidak lagi menempatkan dirinya sebagai elemen alamiah dari ekosistemnya. Pada awalnya manusia memiliki pandangan yang imanen dan holistik terhadap lingkungannya, yang kemudia berubah menjadi pandangan yang transenden. Pandangan yang imanen dan holistik artinya dimana manusia walaupun memiliki garis batas yang jelas antara dirinya dengan makhluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan serta elemen lingkungan yang lain), namun tetap merasa ada hubungan fungsional antara dirinya dengan elemen lingkungan yang lain dalam satu kesatuan ekosistem. Dengan demikian, manusia secara sadar memang menempatkan dirinya berbeda dengan elemen lain dalam ekosistem, tetapi sekaligus juga menyadari bahwa antara elemen-elemen lain dalam eksosietm tersebut, manusia menempatkan dirinya sebagai bagian, sehingga pola hubungan fungsional antar elemen ekosistem tetap terjaga secara baik. Akibat pola pandangan demikian, maka manusia akan selaku berusaha untuk tetap menjaga keseimbangan ekosistem tersebut, pola eksploitasi berlebihan akan dapat ditekan. Hal iani dilakukan karena sangat terkait dengan pandangan masyarakat bahwa apabila lingkungan (ekosistem) mengalami perubahan berarti akibat eksploitasi berlebihan, maka keseimbangan diri dan kehidupannya sebagai sistem sosial juga akan terganggu. Dalam banyak masyarakat, sifat pandangan imanen ini banyak didukung oleh nilai-nilai sosial-budaya yang dikembangkan dalam sistem kepercayaan masyarakatnya.
Zainal & Sidarta
17
Antropologi Ekologi
Pandangan yang transenden artinya dimana manusia mengambil jarak dari ekosistemnya, sehingga manusia merasa dirinya tidak sebagai bagian dari ekosistem tersebut. Disini manusia merasa bahwa kelangsungan hidupnya tidak tergantung dari keseimbangan ekosistem, tetapi sistem biofisik lebih dianggap sebagai sumberdaya yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan sistem sosial. Apabila ekosistem satu tidak mampu lagi memenuhi tuntutan dirinya, maka manusia tersebut akan pindah ke ekosistem lainnya dengan tujuan dan pandangan yang sama. Disini arus penyerapan energi, materi dan informasi lebih besar dilakukan sistem sosial terhadap sistem biofisik dari pada penyerapan yang dilakukan oleh sistem biofisik ke sistem sosial. Akibatnya eksploitasi terhadap lingkungan menjadi sangat tinggi, sehingga sangat mempercepat kerusakan dan krisis lingkungan alamnya. Pola pandangan seperti sering terjadi pada kelompok masyarakat modern dimana rasionalitas dan diferensiasi sangat dipentingkan, sehingga masing-masing kelompok terus berusaha memacu diri dengan cara mnengesploitasi lingkungannya.
Energi, materi dan informasi
Sistem Sosial
Sistem Biofisik
Energi, materi dan informasi ********
******** Pertemuan 5 PERSPEKTIF TEORI DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI EKOLOGI (1) PEMIKIRAN DETERMINISME DAN POSIBILISME
A. Determinisme Determinisme dalam antropologi ekologi adalah suatu pendekatan yang berangkat dari asumsi bahwa lingkungan alam sangat kuat mempengaruhi bentuk suatu budaya masyarakat. Artinya perkembangan pola kehidupan suatu masyarakat dalam bentuk kebudayaan dipandang sebagai pengaruh yang dimunculkan oleh lingkungan alamnya. Lingkungan alam yang ditekankan disini bisa berbentuk iklim, cuaca, musim, tipografi daerah dan lain-lain. Pola pemikiran seperti ini muncul dari Zainal & Sidarta
18
Antropologi Ekologi
para penganut gagasan-gagasan Darwin, penalaran deduktif, dan hubungan sebab akibat linear yang sederhana di akhir abad ke 19 dan awal-awal abad ke 20. Dalam pandangan pemikiran kelompok determinisme lingkungan, sebuah masyarakat dan budaya berkembang lebih karena tekanan kondisi lingkungan yang dihadapinya. Negara-negara beriklim 4 musim seperti Eropa misalnya, akan membuat masyarakatnya sangat berat untuk melalukan adaptasi, khususnya ketika terjadi pergantian dari satu musim ke musim lainnya. Namun tekanan kondisi lingkungan tersebut sebaliknya membuat masyarakatnya sangat kreatif agar bisa menaklukkan beratnya kondisi lingkungan tersebut, apabila kreatifitas hilang maka mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Berbeda dengan masyarakat tropis yang hanya mengalami 2 musim, dengan ketersediaan sumberdaya alam yang banyak dan bervariasi, membuat masyarakatnya menjadi pemalas dan kurang kreatifitas. Pandangan-pandangan determinisem seperti ini paling murni dianut dan disebarluaskan oleh ahli geografi Huntington dan Carlson yang mencoba memperlihatkan bagaimana pengaruh dominan iklim dan cuaca pada sejarah umat manusia. Namun pola pemikiran seperti ini lalu mendapat banyak perlawanan, diantaranya dari Fewkes (1896) yang mencoba menunjukkan bahwa lingkungan tidak bisa dianggap sebagai kata kunci dalam pola hubungan manusia dan lingkungan alamnya lewat kasus ritual di masyarakat Tusayan yang begitu plastis dan tidak terikat dengan kondisi lingkungannya. Artinya disini menurut Fewke sebenarnya ada unsurunsur lain didalam ritual itu sendiri yang akhirnya menimbulkan sebab-sebab lain yang perlu penelusuran lebih jauh. Bantahan Fewke diatas terlihat bahwa pola pemikiran determinisme kelihatannya terlalu menyerhanakan bahwa sebua masyarakat dengan segala bentuk perkembangannya lebih diakibatkan oleh pola lingkungan alam yang dimilikinya, tanpa membuka peluang bahwa manusia dan masyarakat punya peranan aktif untuk membentuk dan mensiasati kondisi lingkungan yang dihadapinya. Pada banyak kasus, misalnya bahwa ternyata tidak selalu lingkungan yang gersang akan membuat masyarakatnya akan menjadi keras dan kasar. Sebaliknya tidak semua lingkungan yang subur akan membuat masyarakatnya menjadi pemalas. Topografi
Iklim
Bentuk Budaya
Geografi
Sumberdaya Alam
Zainal & Sidarta
19
Antropologi Ekologi
B. Posibilisme Posibilisme adalah suatu pendekatan yang melihat bahwa antara lingkungan dan kebudayaan akan saling pengaruh mempengaruhi. Artinya pada kondisi tertentu, lingkungan sangat dominan mempengaruhi bentuk kebudayaan suatu masyarakat, dan pada kondisi lainnya justru kebudayaan yang sangat dominan mempengaruhi bentuk suatu lingkungan. Contoh : Alam Jepang yang selalu gempa membuat masyarakatnya menjadi tertantang untuk maju dan kreatif, sebaliknya budaya Jepang yang kreatif membuat lingkungan alam (gempa) bisa dikendalikan dan dikuasai, sehingga cenderung terjadi eksploitasi besar-besaran. Ini menunjukkan bahwa bentuk sebuah masyarakat dan budayanya tidak selalu dominan dipengaruhi oleh faktor lingkungan alam saja, tetapi banyak faktorfaktor lain yang ikut mempengaruhi. Artinya, kecenderungan pengaruh lingkungan alam mungkin hanya dalam kasus daerah-daerah tertentu, tetapi di daerah-daerah lain mungkin faktor lain yang lebih mempengaruhi kondisi lingkungan tersebut. Salah satu faktor lain yang sangat dominan mempengaruhi kondisi masyarakat dan lingkungan tersebut, dalam pandangan posibilisme adalah faktor budaya, atau secara lebih khusus nilai-nilai dan ciri-ciri budaya tertentu. Misalnya, pandangan bahwa masyarakat pantai lebih banyak menjadi penganut agama Islam, karena pola penyebaran agama Islam cenderung melalui pantai. Sebaliknya masyarakat pedalaman lebih banyak menganut ajaran agama Hindu-Budha-Katolik, karena pola penyebaran agama-agama tersebut memang lebih banyak dilakukan di daerah pedalaman. Namun menurut penganut posibilisme, lalu mengapa Minangkabau (pedalaman) justru beragama Islam, dan mengapa pula Batak (pedalaman) justru dominan menganut agama Katolik. Sebaliknya mengapa banyak kepulauan-kepulauan di Indonesia seperti Mentawai, Ambon, Nusa Tenggara justru dominan beragama Katholik. Pola pemikiran seperti ini sebenarnya sudah mulai dimunculkan sejak pemikiran determinisme diserang dan dipertanyakan banyak ahli. Tulisan Fewke dianggap sebagai pemicu awal terbentuknya pola pemikiran posibilisme. “Adanya sebab-sebab lain” yang diutarakan oleh Fewke disini, lalu coba dijelaskan bahwa “ada sesuatu“ yang menjembatani pola hubungan manusia dan lingkungannya tersebut yaitu kebudayaan. Artinya sifat-sifat budaya yang dikembangkan oleh suatu masyarakat di suatu areal tertentu sangat menentukan bentuk pola hubungan manusia dan lingkungannya tersebut.
Cultural Traits Zainal & Sidarta
20
Environmental Screen
Antropologi Ekologi
Cultural Traits
Pandangan seperti di atas coba digambarkan oleh Forde (1934) dimana masyarakat di kawasan yang kondisi lingkungannya relatif sama justru sering memperlihatkan perbedaan besar dalam hasil kebudayaannya. Untuk itu maka sebenarnya antara lingkungan alam dan kegiatan manusia sebenarnya ada unsur tengah yaitu nilai-nilai yang spesifik yaitu suatu kumpulan pengetahuan dan keyakinan atau pola-pola kebudayaan. Permasalahannya, hubungan antara manusia dan lingkungan pada hakekatnya kompleks sehingga tidak bisa disederhanakan begitu saja seperti digambarkan Forde. Artinya tidak semua aspek-aspek budaya tersebut ikut mempengaruhi pola hubungan tersebut, sehingga disini ada aspek budaya dominan dan justru juga ada aspek budaya yang peranannya justru sangat kecil. Untuk itu maka sebenarnya yang perlu ditelusuri adalah aspek-aspek budaya mana yang domian mempengaruhi pola hubungan tersebut. ******* Pertemuan 6 (2) PERSPEKTIF PEMIKIRAN EKOLOGI BUDAYA
Ekologi Budaya adalah suatu pendekatan yang mencoba memahami pola hubungan manusia dan lingkungan secara spesifik. Artinya bahwa pola hubungan manusia dan lingkungan sebenarnya dijembati oleh aspek-aspek budaya spesifik sesuai dengan bentuk budaya dan kondisi lingkungan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Dalam banyak masyarakat, secara universal, aspek-aspek budaya yang dominan mempengaruhi pola hubungan tersebut adalah tekhnologi, organisasi sosial, dan pola-pola demografi. Aspek-aspek budaya spesifik atau dominan inilah yang sering disebut dengan istilah cultural core (inti budaya). Sementara aspekaspek budaya yang relatif tidak dominan mempengaruhi pola hubungan tersebut dianggap tidak sebagai inti budaya (non-core). Tekhnologi dianggap sebagai core yang universal, karena perkembangan masyarakat lebih dilihat dalam aspek tekhnologi yang dipakai. Artinya, kemampuan menciptakan, memiliki dan menguasai tekhnologi tertentu, akan membuat perkembangan masyarakat menjadi sangat maju. Sebaliknya masyarakat yang hanya memiliki tekhnologi sederhana dan relatif tidak berkembang, dianggap akan menciptaka masyarakat yang juga menjadi sederhana. Begitu juga dengan organisasi sosial, dianggap sebagai core yang universal karena manusia pada prinsipnya tidak bisa hidup sendiri (manusia sebagai makhluk sosial), sehingga bentuk sebuah Zainal & Sidarta
21
Antropologi Ekologi
organisasi sosial dianggap sangat dominan mempengaruhi perkembangan masyarakat dan budayanya. Hal yang sama juga dilihat pada pola-pola demografi, yang dianggap core karena pergerakan demografi (mati, lahir dan migrasi) dianggap akan ikut mempengaruhi bentuk masyarakat dan budayanya. Artinya pola-pola demografi yang sangat rendah atau sangat tinggi relatif akan sangat mempengaruhi bentuk masyarakat dan budayanya, sebaliknya pola demografi yang stabil akan menciptakan perkembangan masyarakat yang dinamis. Munculnya pola pemikiran seperti ini terbentuk seiring dengan dikembangkannya pemikiran holistik dan popularitas timbal balik fungsional antara ciri-ciri budaya. Salah satu sumbangan terpenting dari pemikiran ini adalah dari tulisan Julian Steward The Theory of Culture Change (1955) yang mengasumsikan bahwa kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial tertentu memiliki potensi positif dan kreatif melalui proses-proses kultural. Oleh sebab itu menurut Steward, penelitian harus memfokuskan pada upaya menemukan dan menganalisis apa yang disebutnya dengan cultural core yang dianggap sangat berpengaruh dalam proses interaksi manusia dan lingkungan tersebut.
..... F disiko masukkan skema ekologi budaya tu yo ...
Secara khusus Steward berusaha menemukan apakah penyesuaian diri manusia di berbagai masyarakat pada lingkungannya memerlukan bentuk-bentuk perilaku tertentu, ataukah penyesuaian diri tersebut berbentuk luwes atau masih memberikan ruang dan kemungkinan pada berbagai pola perilaku lain yang mungkin diwujudkan. Disini Steward membedakan antara dua pola penyesuaian diri pada masyarakat yaitu adaptation dan adjustment, dimana Adaptasi lebih pada perilaku aktif manusia dalam menghadapi tantangan lingkungan, sementara pada konsep penyesuaian diri, manusia terlihat lebih pasif. Adapun langkah-langkahnya : (1) identifikasi unsur budaya mana yang dominan mempengaruhi pola hubungan manusia dan lingkungan tersebut, (2) mencari inti budaya mana yang dominan mempengaruhi pola hubungan tersebut, (3) mendalami bagaimana pola pengaruh mempengaruhi antara lingkungan dan manusia melalui inti budaya tersebut. Walaupun demikian ada paradoksal dalam pendekatan ekologi budaya Steward ini, antara teori dan operasionalnya di lapangan. Penekanan penelitian yang harus dilakukan spesifik pada tingkat tertentu cenderung akan mengekang peluang tingkatan lainnya. Artinya, pada tingkatan dan kondisi masyarakat tertentu, tidak selalu pola hubungan manusia dan lingkungan disebabkan oleh cultural core seperti digambarkan oleh Steward, tetapi berkemungkinan bisa juga disebabkan oleh noncore. Artinya ada kesan bahwa ekologi budaya terlalu menyempitkan fokus analisis sehingga faktor (unsur) lain dianggap tidak mempengaruhi pola hubungan tersebut. Misalnya, faktor agama (religi) yang dianggap non-core tapi ternyata dominan Zainal & Sidarta
22
Antropologi Ekologi
mempengaruhi atau sangat mempengaruhi pola hubungan tersebut, tetapi cenderung diabaikan oleh ekologi budaya. *******
Zainal & Sidarta
23
Antropologi Ekologi
Pertemuan 7 (3) PERSPEKTIF PEMIKIRAN ETNO-EKOLOGI
Perspektif ini berangkat dari paradigma etnosains yang menempatkan kognitif sebagai dasar utama dalam pembentukan prilaku manusianya. Dalam konteks etnoekologi berarti menempatkan lingkungan efektif (lingkungan yang terujud di lapangan) yang berbeda pada prinsipnya akan diinterpretasi dan dimaknai kembali secara berbeda oleh masyarakat yang berbeda. Akibatnya maka prilaku yang diujudkan terhadap lingkungan yang sama tersebut juga akhirnya berbeda antar masyarakatnya. Dalam kerangka pemikiran etnoekologi, perbedaan cara memandang yang akhirnya menghasilkan prilaku yang berbeda inilah yang mendasari kenapa pola hubungan antara manusia dan lingkungannya sering dianggap tidak sesuai oleh sekelompok pemilik budaya tertentu. Cara pandang yang mengatakan bahwa sistem perladangan lokal adalah merusak hutan adalah contoh kasus dimana cara pandang seperti ini lebih dilihat oleh oleh kelompok di luar peladang (outsider) dan tidak menempatkan pandangan dari pemilik budaya itu sendiri (insider). Akibatnya pola hubungan manusia dan lingkungan tersebut cenderung digeneralisir oleh kelompokkelompok kepentingan di luar pemilik budaya lokal. Perlunya memahami secara mendalam pola-pola sosial-budaya masyarakat lokal (insider) akhirnya menjadi penting. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa perilaku pada prinsipnya mudah mengalami perubahan, setiap perilaku pada prinsipnya bisa dimanipulasi oleh setiap pelakunya. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap pola dari setiap tindakan serta pola yang mengatur tindakan akhirnya menjadi penting dilakukan. Pola-pola seperti ini secara konseptual disebut dengan “pola dari” (pattern for) dan “pola bagi” (pattern of). Pola dari atau disebut juga pola aktual atau model dari yang mengacu pada pola-pola perilaku yang dikeluarkan seseorang, sementara pola bagi atau disebut juga pola ideal atau model bagi mengacu pada pola-pola yang mengatur mengapa perilaku seseorang sedemikian rupa. Upaya dalam menggambarkan pola-pola ini hanya bisa dilakukan apabila kita bisa “masuk dalam pemikiran” masyarakat pemilik budaya tersebut. Dalam banyak kajian ini biasanya dilakukan dengan cara berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakatnya sehingga gambaran tentang aktifitas, mengapa mereka beraktifitas demikian, kapan dan dimana mereka berartifitas dengan mudah tertangkap oleh outsider (yang kemudian menjadi insider). Melalui partisipasi seperti ini, lalu kita mencoba merumuskan kelogisan “mengapa” masyarakat dalam berhubungan dengan lingkungan tercipta sedemikian rupa. Artinya melalui gambaran yang diamati dan diwawancarai, kita akan berusaha untuk merumuskan pola-pola tetap yang dikembangkan masyarakat. Tujuannya tidak lain agar pola dasar yang “sebenarnya” bisa dimunculkan, karena dalam pandangan etnoekologi, variasi tindakan antar anggota masyarakat yang sama sangat memungkinkan akan terjadi, tetapi walaupun bervariasi sebenarnya ada pola tetap, yaitu pola-pola kognitif yang ada dibalik aktifitas tersebut, dan inilah yang coba diungkap. Namun penggambaran terhadap bentuk pola-pola tersebut saja tidak cukup, tetapi juga harus menggambarkan hubungan antara bagian-bagian yang terpola tersebut. Menurut Peacock ada dua bentuk memformulasikan pola-pola, yaitu dengan Zainal & Sidarta
24
Antropologi Ekologi
cara menemukan pola-pola fungsional, atau dengan cara menemukan pola-pola logis. Pola-pola fungsional menyatakan hubungan kerja antara elemen-elemen kehidupan kelompok, sedangkan pola-pola logis menyatakan hubungan-hubungan simbolik. Berangkat dari pemikiran inilah maka dalam menganalisis dilakukan dengan cara : (1) menemukan sistem klasifikasi lokal, (2) mendeskripsikan makna dari masing-masing klasifikasi, (3) memformulasikan pola hubungan antara klasifikasi yang ada dengan tindakan yang diujudkan. Oleh sebab itu, maka cara analisis haruslah dilakukan dengan cara pendekatan emik yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada bagaimana masyarakat memandang dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya secara apa adanya. Namun karena cara pandang masyarakat cenderung belumlah tersistematis dalam kerangka ilmu si peneliti, maka pendekatan emik juga harus diiringi dengan pendekatan etik yaitu cara analisis dengan menggunakan konsep-konsep dan teori yang dikembangkan dalam keilmuan si peneliti. Namun pendekatan etik ini sebaiknya dilakukan setelah pendekatan emik dilakukan. ******* Pertemuan 8 (4) PERSPEKTIF PEMIKIRAN EKOLOGI SISTEMIK
Persepektif ekosistemik berangkat dari kerangka teori tentang ekosistem (sistem ekologi). Menurut Geertz, ekosistem adalah sistem yang berfungsi dan berinteraksi yang didalamnya memuat satu atau lebih organisme dengan lingkungan efektifnya, dan manusia dalam konteks ini ditempatkan sebagai salah satu organisme. Jadi aktivitas manusia, transaksi biologis dan proses fisika-kimiawi ditempatkan dalam satu analisis secara bersamaan dan holistik. Secara umum perspektif ini dapat dibagi kedalam dua pemikiran yaitu Ekosistem Budaya atau disebut juga dengan Ekosistemik Mikro yang terlihat dalam tulisan Geertz, dan Ekologi Neo-fungsional yang disebut juga dengan Ekosistemik Makro yang diwakili oleh Rappaport, Vayda dan Rambo. Ekologi Budaya (Mikro) lebih menekankan pada ekosistem yang terpilih (dominan) sebagai bahan yang penting untuk dikaji, sementara Ekologi Neo-fungsional (Makro) menekankan bahwa semua elemen ekosistem dianggap semuanya penting, sekecil apapun peran yang dimainkan oleh elemen tersebut dalam ekosistemnya. A. Ekosistem Budaya (Ekosistemik Mikro) Ekosistem budaya berangkat dari pemikiran Ekologi Budaya yang dikemukakan oleh Julian Stewart. Masalahnya pendekatan ekologi budaya yang ditawarkan oleh Steward cenderung membatasi aspek ekologi yang mempengaruhi pembentukan budaya manusia. Dengan konsep cultural core nya seolah-olah lebih mementingkan bagaimana manusia dengan kebudayaannya mengekploitasi dan menggunakan lingkungan dalam kehidupan. Padahal dalam kasus yang digambarkan Steward sendiri justru sifatnya timbal balik. Misalnya pada lingkungan dimana binatang buruan berjumlah banyak dan sifatnya mobil, maka menurut Steward akan menghasilkan masyarakat berburu Zainal & Sidarta
25
Antropologi Ekologi
dengan kelompok besar (gotong royong), sementara apabila binatang buruan gerombolannya kecil dan tidak begitu mobil maka akan melahirkan masyarakat berburu dengan kelompok-kelompok kecil. Dari kasus tersebut, sebenarnya bukan karena budaya masyarakatnya yang berbeda (inti budayanya berbeda) tetapi justru lingkungan efektifnya yang mempengaruhi pembentukan kelompok masyarakat seperti itu. Berangkat dari hal itu, maka menurut Geertz usaha untuk menjelaskan pola hubungan antara lingkungan dan manusia (masyarakat), maka analisisnya harus timbal balik, maka ia juga harus menganalisis unsur-unsur lingkungan mana yang juga relevan mempengaruhi pola hubungan tersebut (natural core). Jadi sifatnya adalah analisis ekosistem dimana manusia adalah salah satu dari elemen ekosistem tersebut. Pemikiran akan perlunya natural core ini juga digunakan oleh Geertz agar dalam pengambaran dan analisis ekosistem, peneliti tidak terjebak dalam rangkaian relasi (hubungan) yang tidak terhingga. Dengan demikian maka ekosistem dalam gambaran Geertz adalah suatu sistem dimana variabel-variabel budaya, biologis, fisika-kimiawi yang sudah dipilih memang betul-betul saling berkaitan. Jadi mirip dengan ekologi-budaya Steward, tetapi penggambarannya berupa relasi antara cultural and natural core. Masalahnya karena lingkungan efektif sifatnya pasif, maka aktifitas pembentukan dan perubahan lingkungan tersebut lebih banyak diaktifkan oleh campur tangan manusia itu sendiri, sehingga adaptasi manusia terhadap lingkungan menyebabkan perubahan lingkungan dikemudian yang sekaligus perubahan elemen lingkungan akan merubahan elemen lingkungan yang lain yang pada akhirnya juga berdampak pada perubahan pola adaptasi manusia. Itulah mengapa cara analisis Geertz ini lebih dikenal dengan istilah EKOSISTEM BUDAYA, karena campur tangan manusia lewat budayanya sangat mempengaruhi pola ekosistem yang ada. Cara analisisnya : (1) Memperhatikan sifat-sifat perembesan dari suatu elemen sistem terhadap elemen sistem yang lain dalam ekologi. Disini tidak sekedar menemukan hubungan antara “kebudayaan dan lingkungan” saja, tetapi memungkinkan hubungan antara kebudayaan dengan kebudayaan, antara kebudayaan dengan lingkungan atau antara lingkungan dengan lingkungan dalam suatu sistem tersebut. (2) Menganalis secara holistik pola hubungan antar elemen secara keseluruhan sehingga ditemukan bagaimana pola hubungan yang terjadi dalam ekosistem tersebut. Dengan kata lain, penggambaran ekosistem budaya pada prinsipnya bicara tentang struktur sistem (elemen-elemen dan keterkaitan antar elemen), keseimbangan (homestatis) dan perubahan sistem (proses adaptasi geografis dan kebudayaan). Geertz dalam Involusi Pertanian (1976) mencoba menggambarkan bahwa … ladang pada prinsipnya adalah suatu sistem dimana hutan alami dirubah menjadi hutan yang diusahakan sehingga dapat dinikamti hasilnya. Jadi ladang pada prinsipnya bukanlah “tanah pertanian” yang sebenarnya tetapi hutan tropis miniatur. Ini secara budaya mempengaruhi masyarakat yang akhirnya lebih mobil (berpindahpindah), penduduknya relatif sedikit, dan peradaban relatif sederhana, dan peternakan kurang dikembangkan. Sebaliknya pola kehidupan masyarakat seperti ini mempengaruhi bagaimana lingkungan diolah dan dimanfaatkan berupa tidak dieksploitasinya lingkungan secara besar-besaran tetapi justru dilakukan secara berpindah-pindah. Zainal & Sidarta
26
Antropologi Ekologi
Sementara sawah lebih bersifat merubah struktur alam itu sendiri dari hutan tropis menjadi sebuah “kolam besar”, dari jenis biologis (tanaman dan binatang) yang beragam menjadi jenis biologis (tanaman dan binatang) tanaman tunggal. Pola seperti ini berdampak besar dalam kehidupan umat manusia dimana manusianya menjadi lebih diam (menetap), juml;ah penduduk mulai menumpuk di satu areal (dekat areal sawah), peradaban menjadi lebih berkembang, pekerjaan pendukung mulai dikembangkan (peternakan, kerajinan, dll) yang kemudian melahirkan revolusi industri. Sebaliknya budaya seperti ini membuat lingkungan semakin dieksploitasi secara besar-besaran, berupaya meninggalkan ketergantungan pada lingkungan alam, dan sebagainya. B. Ekologi Neo-Fungsional (Ekosistemik Makro) Seperti juga halnya Geertz, persepektif neo-fungsional ini juga berangkat dari pemikiran tentang ekosistem. Tetapi kalau Geertz melihat ekosistem yang terpilih (natural core), maka neo-fungsonal lebih melihat ekosistem secara lebih secara menyeluruh (semua dianggap core). Dalam konteks sosial, “menyeluruh” berarti unit analisisnya lebih pada populasi (manusia sebagai bagian dari organisme lainnya), bukan pada satuan sosial (masyarakat). Asumsi dasarnya, bahwa gejala sosio-kultural mempunyai fungsi adaptif terhadap lingkungan dimana faktor-faktor lingkungan (efektif) telah dimanipulasi melalui cara-cara tertentu khususnya lewat mata pencaharian. Akan tetapi walaupun ada eksploitasi dan manipulasi, tetapi pada prinsipnya lingkungan tetap dikondisikan agar tidak melampaui daya dukung lingkungan. Ada dua konsep penting dalam pendekatan ini yaitu : (1) FUNGSIONAL yang memfokuskan analisisnya pada penjelasan tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh suatu ekosistem untuk selalu dalam kondisi stabil, (2) PROSESUAL yang memfokuskan pada pada kaitan antara lingkungan dengan munculnya suatu pola adaptasi tertentu dalam sistem budaya, sehingga sifatnya dinamis (terjadi perubahan terus menerus pola adaptasi sesuai dengan perubahan lingkungan). Dengan demikian konsep penting dalam ekologi neo-fungsional adalah homeostatis (keseimbangan). Artinya manusia akan selalu berusaha agar lingkungan selalu bisa mendukung aktifitas kehidupannya (daya dukung lingkungan) secara terus menerus. Sehingga aktifitas manusia diusahakan agar tidak melampauai daya dukung tersebut. Terjadinya perubahan lingkungan akan selalu diusahakan dengan perubahan pola adaptasinya sehingga lingkungan dengan demikian terus menrrus diciptakan stabil. Cara analisis ekologi neo-fungsional tidak jauh berbeda dengan analisis mikro, akan tetapi lebih rumit karena semua elemen yang terdapat dalam ekosistem dianalisis secara menyeluruh dan holistik (semuanya dianggap core), sehingga terkadang sulit untuk menemukan batas akhir dari suatu analisis (istilah Geertz analisis “relasi tak terhingga”). Penggambaran seperti ini (neo-fungsional) ini pernah dilakukan oleh Rappaport ketika menganalisa upacara kaiko pada masyarakat Tsembaga di Papua Nugini. Upacara kaiko adalah upacara pengorbanan babi sebagai implikasi dari perdamaian (genjatan senjata) yang harus mereka lakukan. Dalam upacara ini juga dilakukan penanaman sejenis tanaman keramat yaitu rumbin. Sampai batas tertentu, Zainal & Sidarta
27
Antropologi Ekologi
apabila rumbin dicabut oleh masing-masing lawan, maka masa perdamaian dianggap berakhir dan ini menandai awal suatu peperangan kembali. Dalam analisis ini Rappaport menunjukkan bahwa upacara kaiko berimplikasi tidak saja pada sistem sosial masyarakatnya, tetapi juga umpan baliknya (positif maupun negatif) terhadap keseimbangan lingkungan (homeostatis) yang kemudian melahirkan pola adaptasi baru. Disamping itu juga digambarkan bagiaman upacara kaiko tersebut sangat terpengaruh oleh musim, cuaca, dan kondisi lingkungan lainnya termasuk jumlah ternak babi yang mereka miliki serta jumlah binatang buruan lainnya di hutan. Dengan kata lain, aktifitas manusia pada prinsipnya memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungan efektifnya, dan disini peneliti tidak bisa menentukan bahwa salah satu elemen dianggap core dan elemen yang lain dianggap non-core, karena dalam kondisi sosial dan lingkungan tertentu serta dalam pola adaptasi tertentu, elemen-elemen yang dianggap sangat mempengaruhi bisa berubah dan awalnya core berkemungkinan bisa menjadi non-core dikemudian hari. ****** Pertemuan 9 (5) PERSPEKTIF PEMIKIRAN TRANSISI EKOLOGI (EKOLOGI PROSESUAL)
Dalam perspektif Ekologi Sistemik sebelumnya telah disinggung tentang konsep Prosesual yaitu analisis yang memfokuskan pada pada kaitan antara lingkungan dengan munculnya suatu pola adaptasi tertentu dalam sistem budaya, sehingga sifatnya dinamis (terjadi perubahan terus menerus pola adaptasi sesuai dengan perubahan lingkungan). Dalam konteks ini, dinamis lebih dilihat sebagai proses timbal balik dimana perubahan lingkungan berarti akan merubah pola adaptasi, sehingga lingkungan akhirnya tetap seimbang (homeostatis). Pandangan tentang adaptasi seperti ini lalu mendapat kritik dari Bennett (1976) karena pada banyak kasus, adaptasi yang dilakukan manusia justru sering berakibat semakin parahnya lingkungan yang mereka hadapi. Pandangan ini menunjukan bahwa adaptasi sebenarnya adalah suatu proses tindakan umum yang didasari oleh dimensi-dimensi sebagai antisipasi psikologis (tinjauan ke masa depan, pemaknaan, ruang dan waktu). Hal inilah yang menyebabkan tidak selalu adaptasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok itu berhasil menjaga keseimbangan, karena adaptasi yang baik bagi individu belum tentu baik bagi kelompok dan lingkungannya, atau sebaliknya (Bennett, 1980: 249). Pandangan seperti ini sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran tentang semakin mengglobalnya budaya suatu masyarakat, sehingga sangat mempengaruhi peran dan fungsi individu sebagai anggota suatu masyarakat. Dalam hal ini individu tidak lagi dilihat secara penuh menjadi “terikat” dengan sosialnya, tetapi lebih dilihat individu yang “bebas” meujudkan tindakan dan menginterpretasi kondisi yang dihadapi. Kebudayaan akhirnya sangat dinamis karena lebih dilihat sebagai suatu hasil konsensus atau kesepakatan bersama antar individu dalam kelompoknya. Jadi dalam tahapan individu, maka setiap orang memiliki kebebasan terhadap lingkungannya Zainal & Sidarta
28
Antropologi Ekologi
dalam upaya memuaskan keinginan (wants) dan kebutuhannya (needs). Namun sebagai anggota kelompoknya, agar tetap “diakui” secara sosial, maka setiap individu harus bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang dianggap “pantas secara budaya”. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka, tugas antropolog bukan melihat pada apa yang terjadi atau apa yang dimiliki oleh masyarakat, tetapi lebih melihat pada mekanisme dan proses yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam hal ini yaitu melihat rangkaian dan keterkaitan antar peritiwa yang terjadi, bukan melihat suatu peristiwa belaka, karena peristiwa tidak menunjukkan arti apa-apa tanpa membacanya lewat rangkaian dengan peristiwa-peristiwa lainnya. Dengan kata lain yang dibaca adalah struktur dari rangkaian atau hubungan antar peristiwa tentang suatu gejala yang ada. Untuk membaca struktur peristiwa tersebut, maka keragaman, konsensus atau kesepakatan, kontinuitas menjadi hal-hal penting untuk dipelajari. Keragaman dipahami untuk membaca rangkaian dan keterkaitan dari suatu peristiwa, karena dengan keragaman diasumsikan dinamika masyarakat bisa dikembangkan. Konsensus dipahami dalam konteks pengambilan keputusan untuk “tidak melakukan” atau “mau melakukan” sesuatu, mereproduksi konsep-konsep baru sesuai dengan keinginan (want) dan kebutuhan (needs) setiap individu anggotanya. Bennett akhirnya memunculkan dua konsep penting dalam analisis prosesual tersebut, yaitu konsep “mengatasi” (coping) dan “strategi” (strategies). Pada tahapan individu manusia akan selalau berusaha menyesuaikan diri dengan situasi lingkungannya agar bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan (needs) atau diinginkannya (wants). Di sini kita berhadapan dengan konsep “mengatasi” dan “strategi” pada tahapan individual. Pandangan ini menempatkan bahwa antara individu satu dengan individu lainnya akan memiliki variasi pola adaptasi. Variasi ini disebabkan oleh sistem pengetahuan yang dimiliki setiap individu membuatnya memiliki kebebasan untuk menaklukkan, memanipulasi, atau mengubah lingkungan yang dihadapi. Pola penyesuaian ini walaupun bervariasi, tetapi sebenarnya hanya the rule of the game yang ditemui pada kebudayaan sebagai “sistem kompetisi” (Keesing, 1981). Untuk itu maka secara sosial, setiap tindakan individu harus “pantas secara budaya” yang mana hal ini dilakukan lewat suatu konsensus atau kesepakatan. Dalam kajian prosesual ini akhirnya fokus analisis tidak lagi pada kelompokkelompok besar seperti etnisitas, karena batas-batas etnisitas dianggap sudah mulai kabur, namun unit analisis lebih ditekankan pada individu (aktor) pelaku dengan segala tindakan yang dilakukan, untuk kemudian diperbandingkan dengan individu yang lain. Hasil perbandingan inilah yang kemudian akan ditemukan bagaimana dinamika dalam kelompok tersebut, bagaimana individu menginterpretasi dan mengambil suatu keputusan dengan membaca tindakan dan kondisi lingkungan di sekitarnya, lalu melakukan konsensus-konsensus (bersama) untuk mengatasi keterbatasan individu-individunya. Dalam analisis seperti ini ada dua model yang diperkenalkan yaitu : (1) Model mikro-ekonomi (seperti juga Geertz) tetapi penekanannya seperti model perencanaan yang dilakukan dalam ekonomi dengan metode SWOT (Strength atau kekuatan, Weakness atau kelemahan, Opportunity atau kesempatan, dan ……. Artinya setiap individu mencoba membaca peluang dengan mempertimbangkan SWOT tersebut sebelum mengambil keputusan tertentu. (2) Model kognitif yang mencoba menggambarkan proses psikologis dalam pengambilan keputusan, alternatif-alternatif Zainal & Sidarta
29
Antropologi Ekologi
keputusan dan sebagainya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang cenderung sifatnya sosial, berupa interpretasi, pemaknaan, dan pertimbanganpertimbangan sosial tertentu untuk kemudian memilih keputusan tertentu. ******* Pertemuan 10 METODOLOGI YANG DIGUNAKAN DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI EKOLOGI1
A. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Dalam banyak literatur yang berkembang dalam Ilmu Sosial dan Budaya (Humaniora) yang ditulis atau diterjemahkan oleh para ahli metodologi Indonesia, pembica-raan tentang metodologi penelitian lebih banyak ditekankan pada dua paradigma besar yaitu kualitatif dan kuantitatif. Ini jelas terlihat dari judul buku-buku metodologi yang dipakai2. Hanya sedikit sekali, pembicaraan dan literatur yang mencoba mengu-pas metodologi secara spesifik sesuai dengan fokus kajian, dan inipun banyak dalam bentuk artikel atau ulasan kecil yang diselipkan dalam tulisan dari sebuah hasil penelitian. Menurut Suparlan (1997: 95-96), landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif dalam ilmu sosial ada-lah filsafat positivisme yang pertama dikembangkan oleh Emile Durkheim (1964) yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan manusia mewujudkan adanya gejala-gejala sosial yang disebut sebagai fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial ini harus dipelajari secara objektif yaitu dengan memandangnya sebagai benda. Caranya adalah dengan mengobservasi atau mengamati suatu fakta sosial untuk melihat kecenderungannya, yang dilakukan dengan cara menghubungkannya dengan fakta-fakta sosial lainnya sebagai suatu representasi kolektif, sehingga kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial yang diamati tersebut dapat diidentifikasi. Sementara pendekatan kualitatif mempunyai landasan yang mengacu pada pemikiran Max Weber (1947) yang menyatakan bahwa pokok sebuah penelitian bukanlah pada gejala-gejala sosial sebagai bentuk-bentuknya atau nilai-nilainya yang substansial, tetapi pada makna-makna yang terdapat dibalik dari tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Karena itu, metode utamanya adalah verstehen atau pemahaman. Caranya disini seorang peneliti harus dapat menempatkan dirinya dalam peranannya sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami dari para pelaku yang ditelitinya untuk dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997). Oleh sebab itu maka data-data 1
. Disadur dari Tulisan Zainal Arifin, 2000. “Paradigma Kualitatif dalam Antropologi: Sebuah Perbincangan Awal” dalam Jurnal Antropologi tahun II No.4. 2 . Hasil pengamatan sepintas dari penggunaan dan perbincangan metodologi yang dipakai oleh para dosen dan mahasiswa di Universitas Andalas, maka buku-buku yang umum dipakai seperti Buku metodologi dari Koentjaraningrat (1983), Maleong (1994), Faisal (1989); dan beberapa buku lain yang lebih menekankan pada perbedaan kualitatif dan kuantitatif sebagai metodologi.
Zainal & Sidarta
30
Antropologi Ekologi
yang dihasilkan dalam pendekatan kualitatif lebih banyak berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jadi lebih diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (Maleong, 1994). Dari gambaran di atas terlihat bahwa dasar perbedaan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif terletak pada jenis data yang ingin dipahami. Pada kuantitatif, jenis data yang dikumpulkan berupa angka-angka untuk diukur, sementara kuali-tatif mencari makna dari suatu gejala. Perbedaan jenis data ini akhirnya berimplikasi pada metode yang dilakukan dalam penelitian, alat pengumpul data dan cara menganalisis data. Berangkat dari jenis data yang dicari, maka dalam kuantitatif alat pengumpulan data dan analisis lebih bertumpu pada statistik. Berbeda dengan kualitatif yang lebih mengandalkan alat pengumpulan data dan analisisnya pada diri pribadi penelitian itu sendiri berupa observasi partisipasi (verstehen). Secara umum, menurut Brannen (1997) ada tiga hal utama yang sering diperbandingan antara dua pendekatan ini. (1) Pendekatan kuantitatif menyisihkan dan menentukan variabel serta kategorikategori ubahan yang secara bersama-sama terkait dengan bingkai hipotesis yang ada sebelum penelitian dilakukan untuk kemudian diuji terhadap data. Jadi sifatnya adalah sebagai sarana atau alat analisis. Sementara pendekatan kualitatif mulai mendefenisikan konsep-konsep yang sangat umum yang karena kemajuankemajuan dalam pengumpulan data konsep ini bisa dirubah kemudian. Jadi sifatnya lebih sebagai produk atau hasil penelitian. (2) Dalam pendekatan kuantitatif, instrumen penelitian adalah alat tekhnologis yang telah ditentukan sebelumnya dan tertata dengan baik sehingga tidak banyak peluang bagi fleksibalitas, masukan imajinatif dan refleksitas. Sementara dalam pendekatan kualitatif, peneliti harus dan secara langsung menggunakan dirinya sebagai intrumen, yang selalu mengikuti asumsi-asumsi kultural sekaligus mengikuti data. (3) Berkenaan dengan pertanyaan generalisasi dan ekstrapolasi. Dalam pendekatan kuantitatif persoalannya seberapa jauh temuan-temuan data dapat digeneralisasikan pada populasi umum atau populasi induk. Akhirnya dalam pemilihan sampel diperlukan kecermatan sehingga tidak ada bias yang terbawa ke dalam sam-pel tersebut dengan menggunakan teori probabilitas. Sementara dalam pendekatan kualitatif, perhatiannya berkisar pada replikasi temuan-temuan dalam kasus-kasus yang serupa. Masalah keterwakilan sampel dan kegeneralisasian temuan-temuan tidaklah menonjol ketimbang masalah pe-nentuan hubungan teoritis dalam masing-masing kasus. Selanjutnya Brannen menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif tidak selalu berarti menguji hipotesis, tetapi tujuannya seringkali pula bersifat deskriptif. (Brannen, 1997: 15). Masalah perbedaan antara kualitatif dan kuantitatif sebenarnya bukan pada induksi atau deduksi, tetapi induksi enumeratif atau induksi analitik. Kuantitatif menggunakan induksi enumeratif atau memberikan abstraksi dengan generalisasi, sedangkan kualitatif menggunakan induksi analitik yaitu menggeneralisasi dengan abstraksi (Brannen, 1997: 14). B. Penggunaan Paradigma Kualitatif untuk Kajian Antropologi Ekologi Menurut Bogdan dan Biklen, ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian atau inkuiri (inquiry) naturalistik atau Zainal & Sidarta
31
Antropologi Ekologi
alamiah, etnografi, interaksionisme simbolik, perspektif ke dalam, etnometodologi, the Chicago School, fenomenologis, studi kasus, interpretif, ekologis, dan deskriptif (Maleong, 1994: 2). Istilah-istilah ini memiliki persamaan karena tujuan akhirnya adalah memahami makna-makna yang ada di balik tindakan-tindakan manusia tersebut. Walaupun demikian, pendekatan ini sama satu sama lainnya, yang membedakan berbeda hanyalah level abstraksinya, foci-nya, dan keluarannya (Moerse, 1994: 220). Ini menunjukkan bahwa pendekatan kualitatif sebenarnya adalah sebuah paradigma yang besar yang didalamnya memuat banyak pende-katan sesuai dengan fokus kajian dari penelitian yang dilakukan. Paradigma yang dimaksud disini adalah suatu perangkat kepercayaan, nilai-nilai, suatu pandangan tentang dunia sekitar, yang mengarahkan sebuah penelitian (Nasution, 1992: 2). Jadi sebuah paradigma lebih dilihat seba-gai tingkat dalam melihat dan memperlakukan permasalahan yang dikaji, serta menganalisis data yang telah dikumpulkan (Suparlan, 1997: 94). Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari kebudayaan, menempatkan paradigma kualitatif sebagai sebuah metodologi "unggulan". Permasalahannya dalam banyak kajian, penerapan paradigma ini berkembang ke dalam berbagai cara sesuai dengan fokus kajian dan analisis yang dilakukan, sehingga satu sama lainnya terlihat sedikit berbeda. Disini kualitatif akhirnya lebih sebagai paradigma yang menaungi beberapa metode sesuai dengan fokus kajian atau level analisisnya tadi. Menurut Denzin (1994: 2) Pendekatan kualitatif ini terselenggara (beroperasi) dalam suatu sejarah yang kompleks yang dilihat dalam lima peristiwa historis. Kelima peristiwa itu secara simultan beroperasi sampai sekarang, yaitu (1) masa tradisional (1900-1950), (2) masa modernist atau masa keemasan (1950-1970), (3) aliran/gaya (genre) kekaburan (blurred) (1970-1986), (4) krisis representasi (1986-1990), (5) posmodern atau masa kekinian (1990-sampai sekarang). Dalam pendekatan kualitatif pertanyaan penelitian lebih banyak berbentuk : (1) apa, siapa, dimana dan kapan yang lebih menuntut jawaban mengenai identitas. (2) pertanyaan bagaimana lebih menuntut jawaban mengenai proses. (3) tetapi yang terpenting adalah pertanyaan mengapa yang menuntut jawaban mengenai hakekat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau konsep-konsep (Suparlan, 1997: 99). Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, maka kualitatif menempatkan individu si peneliti sebagai instrumen utama dalam me-ngumpulkan dan menganalisis data. Dengan demikian maka selayaknya seorang peneliti menempatkan dirinya sebagai insider (orang dalam) bukan sebagai outsider (orang luar). Artinya, untuk menangkap apa, bagaimana dan mengapa, maka si peneliti harus masuk dan bergabung dengan masyarakat subjek peneliti-annya. Cara ini dianggap efektif untuk lebih mengetahui makna-makna yang ada di balik perilaku, pikiran, motif-motif dan penciptaan yang dila-kukan manusia dan masyarakatnya. Berangkat dari pemikiran bah-wa si peneliti adalah bagian dari insider, maka dalam penelitiannya, antropolog lebih banyak menggunakan informan sebagai sumber informasi datanya disamping melakukan observasi partisipasi. Menurut Webster’s New Cllegiate Dictionary, informan adalah seorang penduduk lokal yang diminta untuk menuturkan kembali kata-kata, ungkapan (phrases), dan kalimat dengan bahasa atau dialeknya sendiri sebagai mo-del untuk meniru dan sebagai sumber informasi (Spradley, 1979: 25). Jadi disini, seorang informan adalah guru bagi peneliti untuk menjelaskan bagaimana fenomena dan kondisi masyarakat yang ditemui. Zainal & Sidarta
32
Antropologi Ekologi
Koentjaraningrat mencoba membedakan antara informan kunci (pangkal) dengan informan biasa. Informan kunci adalah orang yang mempunyai pengetahuan luas mengenai berbagai sektor dalam masyarakat, dan ahli tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin kita ketahui (Koentjaraningrat, 1983: 130). Di-samping itu, seorang peneliti kualitatif juga bisa mendapatkan informasi melalui observasi partisipasi dengan cara melakukan pengamat-an terlibat di lapangan penelitiannya. “partisipasi” atau “terlibat” disini tidak jauh kaitannya dengan upaya mene-mukan kondisi riel yang dihadapi masyarakatnya. Jadi sambil berperan serta, si peneliti melakukan se-buah pengamatan. Walaupun secara umum, pendekatan kualitatif seperti diuraikan diatas sering menjadi simbol metodologi utama dalam penelitian antro-pologi, tetapi sebenarnya dalam operasionalnya akan sangat dipengaruhi oleh fokus kajian dan level analisis yang akan dilakukan. Berangkat dari pemikiran tersebut, berikut ini akan coba dilihat beberapa cara penerapan pendekatan kualitatif yang sering dipakai oleh para ahli antropologi berdasarkan fokus kajian dan level analisisnya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa fokus kajian dalam antropologi adalah bertumpu pada aspek perilaku, pemikiran (kognitif), artefak (hasil karya), dan motiv-motiv (psikis). Akan tetapi berikut ini hanya akan dijelaskan bagaimana penelitian kualitatif diterapkan dalam mengkaji aspek perilaku dan meng-kaji aspek pemikiran (kognitif). 1. Paradigma Kualitatif dalam Mengkaji Perilaku Yang dimaksud dengan perilaku disini adalah tindakan-tindakan nyata yang dimunculkan oleh manusia secara sadar yang dijadikan menjadi milik dirinya lewat proses belajar. Koentjaraningrat menyebutnya seba-gai “tingkah laku” (action) yang dibedakannya dengan “kelakuan” (beha-vior) untuk menyebut tindakan yang telah terencana dalam gen manusianya tanpa didapat melalui proses belajar, seperti tindakan refleks, naluri, dan tindakan membabi-buta (Koentjaraningrat, 1987: 139). Perilaku-perilaku manusia ini juga menjadi kajian dari para ahli Sosiologi. Tertapi kajiannya lebih menekankan pada "bentuk hubung-an dan interaksi" yang dilakukan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Dengan demikian Sosiologi tidak bisa mengkaji perilaku seseorang yang tersesat sendirian di tengah hutan yang tak bertuan, karena penekanannya pada hubungan atau interaksinya dengan manusia lain. Berbeda dengan Antropologi, penekanan kajiannya lebih pada "bentuk perilaku" manusia itu sendiri dalam berhubungan dan berinteraksi. Jadi Antropologi bisa mengkaji perilaku seseorang yang tersesat sendirian di gunung, karena penekanannya adalah bentuk perilaku manusia itu sendiri sebagai hasil proses belajar manusia tersebut dengan manusia lain sebelumnya da-lam masyarakat. Kedekatan fokus kajian Antro-pologi dengan kajian Sosiologi inilah yang menempatkan Antropologi oleh beberapa para ahli dilihat sebagai bagian atau sama dengan kajian Sosiologi. Frazer misalnya, mengatakan bahwa Antropologi (sosial) sebenarnya adalah cabang sosiologi yang mengkaji masyarakat "primitif" (Brown, 1952, 2), dimana penekanan kajiannya adalah pada "struktur sosial" atau network of actually existing relations (Brown: 1952, 190). Un-tuk itu, maka kajian tentang perbedaan dan persamaan "perilaku", secara umum dalam Antropologi masuk dalam kelompok kajian Antropologi Sosial. Zainal & Sidarta
33
Antropologi Ekologi
Pemahaman akan perilaku sebagai bahan kajian membuat para ahli antropologi terkadang menempatkan perilaku-perilaku ini sebagai sebuah kebudayaan. Dalam hal ini kebudayaan dilihat sebagai sesuatu yang nyata (konkrit) dan kecenderungannya bisa diukur dan digeneralisir. Sumber pemikiran ini banyak dilihat berasal dari pemikiran yang melihat Antropologi tersebut sebagai bagian dari ilmu alam (natural science). Disini perilaku dilihat berasal dari individu yang rasional yang diatur oleh hukum atau yang menyerupai hukum, sehingga perilakunya dapat dipelajari dan diamati karena diatur oleh sebab-sebab eksternal yang menghasilkan hasil yang sama. Secara epistemologi, pemahaman seperti ini sering disebut sebagai pemi-kiran positivism yang banyak ditemukan pada para ahli antopologi pada awal perkembangannya. Mengikuti Denzin (1994: 2) masa ini disebutnya sebagai pada masa tradisional (1900-1950), dan Irianto (1997: 49) memandang jalan pemikiran seperti ini sangat terlihat pada evolusionis-me, fungsionalisme, struktural-fungsional, dan materialisme-budaya3. Pandangan bahwa perilaku sebagai sesuatu yang real, oleh banyak ahli kemudian ditempatkan pada level sistem sosial (social system) (Irianto, 1997: 53). Dalam hal ini, para ahli antropologi mencoba mema-hami bagaimana dan mengapa perilaku manusia atau kelompok masyarakat muncul seperti itu. Disini yang akan dilihat adalah "tindakan-tindakan terpola" yang dimiliki oleh manusia secara bersama dalam kelompok atau masyarakatnya. Tindakan-tindakan terpola ini terbentuk sebagai produk pola hubungan manusia dengan lingkungannya (alam maupun sosial). Perilaku atau tindakan terpola ini didapat melalui proses belajar dan hasil dari proses belajar ini kemudian dipahami akan mempenga-ruhi sistem gagasan atau ide, perilaku-perilaku dan benda-benda materi yang diciptakan oleh individu sebagai anggota masyarakatnya. Karena sifatnya terpola, lama kelamaan hal ini secara eksternal kemudian "memaksa" individu atau masyarakatnya untuk berperilaku sesuai dengan perilaku terpola tersebut. Secara metodologis, upaya untuk memahami perilaku terpola ini sering dilakukan dengan meniru model ilmu alam (natural sciences) dimana fenomenafenomena yang tampak tersebut (perilaku-perilaku) diperlakukan sebagai sebuah organisme yang selalu berhubungan dengan organisme lainnya. Pemahaman terhadap hubungan-hubungan antar elemen ini kemudian digeneralisir agar ditemukan hukumhukumnya atau ditemukan pola-polanya. Upaya mengeneralisir dalam Antropologi umumnya dilakukan lewat metode perbandingan lintas budaya (cross cultural comparison) dengan menggunakan data etnografi yang terhimpun secara sistematis dalam HRAF (Human Relations Area Files) (Ahimsa-Putra: 1994, 5). HRAF sebagai cara untuk menggambarkan (description) perilaku-perilaku yang tampak untuk kemudian ditemukan pola-polanya, dilakukan agar bisa digeneralisir dan diperbandingkan dengan kebudayaan lain. Untuk menggambarkan perilaku tersebut, maka metode yang lebih diandalkan adalah pengamatan terlibat (observasi partisipasi) yang kemudian dibantu dengan wawancara. Jadi observasi partisipasi lebih difokuskan karena untuk melihat pola-pola perilaku dan hubungannya satu sama lain, tidak bisa dilakukan tanpa keterlibatan si peneliti lewat sebuah 3
. Sulistyowati Irianto (1997), sebenarnya juga memasukkan pendekatan strukturalisme (Levi-Straus) dan Antropologi Psikologi sebagai bagian dari aliran pemikiran positivisme. Tetapi menurut saya Strukturalisme Levi-Strauss memiliki pola pemikiran yang sedikit berbeda. Sementara Antropologi Psikologi lebih dilihat sebagai fokus kajian dan bukan sebagai aliran pemikiran.
Zainal & Sidarta
34
Antropologi Ekologi
pengamatan cermat. Menurut Suparlan (1997: 101), pengamatan dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan ini biasanya akan didiskusikan dan didalami oleh si pe-neliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui makna atau pola-pola yang terdapat di balik gejala-gejala tersebut (Suparlan, 1997: 101). Wawancara sebagai alat pendukung dalam pe-nelitian jenis ini bisa berbentuk wawancara berpedoman atau wawan-cara dengan kuesioner, tetapi tetap harus menghindari penggunaan wawancara berbentuk formal. Dengan cara ini diharapkan pola-pola perilaku yang dipahami akan lebih terlihat secara baik. Dalam antropologi, cara-cara penelitian seperti ini banyak terlihat dalam penelitian berbentuk survei. Cara penelitian seperti ini akhirnya menempatkan si peneliti le-bih sebagai outsider (orang luar) yang mencoba memahami sebuah masyarakat. 2. Paradigma Kualitatif dalam Mengkaji Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan yang saya di-maksudkan disini adalah apa yang sering disebut oleh beberapa ahli antropologi dengan kognitif, pemikir-an, ide-ide, atau gagasan-gagasan yang dimiliki oleh setiap individu yang berfungsi sebagai alat memahami, menginterpretasi, atau model-model yang dipakai seseorang untuk bertindak. Jadi secara biologis, kognitif ada dalam kepala seseorang, tetapi sebagai alat pemahaman, dia ti-dak bersifat genetis, tetapi lebih bersifat budaya yaitu didapat, disosialisasikan, dan dikembangkan lewat proses belajar. Dalam antropologi, kajian tentang aspek kognitif atau sistem pengetahuan ini tidak dipahami sebagai milik individu, tetapi sebagai milik komunal. Sistem pengetahuan komunal inilah yang kemudian sering disebut sebagai kebudayaan (Suparlan, 1980: 238). Sebagai milik bersama, maka sistem pengetahuan ini kemudian dikomunikasikan pada setiap individu lewat proses belajar, baik lewat pengalaman, interaksi sosial maupun interaksi simbolis. Kare-na luasnya sistem pengetahuan (kebudayaan) yang berkembang dalam masyarakat, maka setiap individu kecenderungannya tidak akan mampu menyerap secara keseluruhan, tetapi hanya sebahagian saja yang bisa diserap. Hal ini dikarenakan perbedaan psikologis, pola asuh, interaksi yang dilakukan dan tingkat intelektual setiap individu memang berbeda. Pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu pemilik kebudayaan tersebut sering disebut sebagai pengetahuan budaya. Munculnya pandangan bahwa sistem pengetahuan adalah bahagian penting dalam kehidupan manusia dan kelompoknya, berangkat dari aliran pemikiran filsafat fenomenologis yang dipelopori oleh Edmund Husseel. Menurut Husseel, fenomena bukanlah kesatuan yang sesungguhnya (no substantial unity), dan juga tidak bersifat kausalitas (no causality). Fenomena adalah sesuatu yang sudah ada dalam persepsi dan kesadaran individu yang sadar tentang sesuatu hal (benda, situasi, dan lain-lain). Berangkat dari asumsi tersebut, maka dalam antropologi berkembang suatu pemikiran bahwa : (1) pengetahuan atau ide terdapat dalam bahasa, atau dengan kata lain, pengetahuan tersimpan dalam bahasa. (2) Bahwa perilaku manusia sedikit banyak diatur atau dikendalikan oleh pengetahuan (dimana juga terkandung berbagai nilainilai dan norma-norma). (3) kenyataan yang sebenarnya pada dasarnya tidak ada, yang ada hanyalah kenyataan-kenyataan yang telah diinterpretasi, yang telah dipahami Zainal & Sidarta
35
Antropologi Ekologi
lewat cara-cara tertentu lewat sudut pandang tertentu atau lewat kerangka berpikir tertentu pula. Perbedaan perspektif dalam melihat fenomena ini, juga menyebabkan perbedaan cara dalam memahami fenomena tersebut di lapangan. Artinya secara metodologis, maka cara memanfaatkan metode kualitatif juga akan berbeda. Kalau dalam positivisme, yang riel itu adalah fenomena yang nyata seperti perilaku, menolak yang namanya metafisik, level analisisnya lebih ditekankan pada sistem sosial (social system), maka dalam kajian sistem pengetahuan, fenomena ditempatkan sebagai sesuatu yang telah diinterpretasi, dan dengan demikian level analisisnya lebih ditekankan pada sistem pengetahuan (cultural system). Artinya, sistem pengetahuan (cultural system) itulah sebenarnya yang mengendalikan perilaku manusia dalam sistem sosialnya (social system). Mengikuti Keesing (1981: 44-45), maka sistem pengetahuan ini disebutnya sebagai “pola bagi” (pattern for) atau pola-pola pengetahuan yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi terpola (pattern of). Berangkat dari pemikiran ini, maka tugas antropolog bukanlah melihat “pola dari” (pattern of) atau pola-pola peri-laku yang tampak tetapi sebenarnya melihat apa yang menyebabkan perilaku manusia itu terpola sedemikian rupa (pattern for). Cara yang ditempuh oleh para antropolog dengan demikian tidak lagi mengandalkan HRAF seperti yang dilakukan Morgan sebelumnya, karena cara ini dipandang mengandung banyak kelemahan dan dilihat sangat menghambat studi perbandingan itu sendiri. Goodenough seperti dikutip Ahimsa-Putra (1985: 105), mengemukakan ada tiga masalah pokok dalam metode HRAF yaitu : (1) Munculnya ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi itu sendiri. (2) Menyangkut sifat data itu sendiri. Artinya seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat di-perbandingkan, atau seberapa jauh data tersebut bisa dikatakan melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda. (3) Menyangkut soal klarifikasi. Agar dapat diperbandingkan biasanya diadakan pengklarifikasian terlebih dahulu dan disini diperlukan kreteria lagi yang rupanya antara para ahli antropologi sendiri juga terdapat perbedaan. Berpijak dari kelemahan itu, maka para ahli antropologi berpaling ke kajiankajian linguistik khususnya kajian fonologi. Dalam fonologi dike-nal adanya konsep fonemik dan fonetik. Fonemik adalah kajian yang lebih menekan pengucapan langsung dari masyarakat pemilik bahasa. Jadi disini seorang ahli bahasa akan mencatat ujaran bahasa sebagaimana dikemukakan dan dibunyikan oleh penutur bahasa itu sendiri. Akan tetapi seorang ahli bahasa juga harus melakukan pendekatan fonetik dimana dalam upaya menyebarkanluaskan penemuannya, dia juga harus menggunakan bahasa penelitian yang baku, yaitu dengan menggunakan simbol-simbol bahasa yang telah ada yang umum dilakukan dikalangan ahli bahasa. Dalam antropologi, pendekatan fonemik dalam penelitian bahasa kemudian dikenal dengan sebutan pendekatan emik. Disini yang harus dilakukan antropolog adalah mencatat apa yang dikatakan dan diceritakan langsung dari pemilik kebudayaan tersebut tanpa memasukkan interpretasi si antropolog itu sendiri. Sedangkan pendekatan fonetik menjadi pendekatan etik, dimana si peneliti harus menterjemahkan sedemikian rupa informasi yang didapatnya di lapangan --- tanpa memanipulasi informasi dari pemilik kebudayaan --- sesuai dengan konsep-konsep yang telah Zainal & Sidarta
36
Antropologi Ekologi
dimiliki dalam antropologi. Apabila konsep-konsep baku tidak dimiliki, maka disini si antropolog harus melahirkan atau mengubah konsep yang telah ada. Karena yang ingin dicari oleh si antropolog adalah sistem pengetahuan yang sifatnya abstrak, maka dalam melakukan penelitian perilaku dan material yang tampak tidak diperlakukan sebagai fokus utama, tetapi menjadi alat untuk membaca sistem pengetahuan individu dan kelompoknya. Untuk mendapatkan data kualitatif seperti ini, antropolog harus hidup dan tinggal dalam masyarakat, mengamati fenomena yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Setelah mengetahui fenomena yang berkembang, maka tugas selanjutnya --- tugas pokok --- adalah menemukan apa yang melatar belakangi fenomena seperti ini bisa terjadi. Apa yang melatar belakangi itu adalah sistem pengetahuan komunalnya. Menemukan sistem pengetahuan komunal ini, dengan demikian tidak bisa mengandalkan observasi partisipasi saja, tetapi yang terpenting adalah melakukan wawancara mendalam. Artinya alat pengumpulan data adalah dengan wawancara mendalam dan kemudian dibantu dengan melakukan observasi partisipasi. Observasi disini akan membantu si peneliti untuk menemukan dan memahami fenomena apa yang muncul dengan sistem pengetahuan komunal yang sedang berkembang. Adapun wawancara yang dipakai disini adalah wawancara yang sifatnya mendalam, bukan menggunakan kuesioner seperti dalam penelitian survey. Mendalam berarti mendengarkan, mencatat dan memahami secara seksama dan detail apa yang dikatakan oleh si pemberi informasi. Wawancara mendalam juga menempatkan si peneliti bukan se-bagai seorang yang mengintrogasi, yang mengejar data lewat pertanya-an-pertanyaan beruntun. Tetapi wawancara yang dilakukan bersifat informal, agar tetap menjaga spontanitas ungkapan yang diberikan oleh informan kita. Oleh sebab itu, maka cara yang umum dilakukan adalah dengan mendengar dan berbicara sebagaimana penduduk lakukan da-lam kesehariannya, dan dalam suatu kesempatan tertentu barulah menyelipkan pertanyaan karena dirodong oleh rasa ingin tahunya. Penempatan wawancara mendalam dalam penelitian jenis ini berangkat dari pemikiran bahwa data-data yang dicari adalah data-data lisan dan spontan, karena dari data-data lisan atau bahasa itulah tertuang bagaimana pengetahuan budaya seseorang. Artinya, seperti apa yang dikatakan Tyler (1969: 3), bahwa setiap masyarakat mempunyai suatu sistem yang unik untuk mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material. Dengan demikian, tipe penelitian ini tidak saja menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi, tetapi yang terpenting adalah memahami apa yang ada dibalik fenomena tersebut atau apa yang mengorganisir pembentukan fenomena tersebut. Walaupun kita bukan mencari sistem pengetahuan individual, tetapi di lapangan tetap menempatkan individu sebagai sumber informasi utama. Individu sebagai sumber informan disini diposisikan sebagai ba-gian atau wakil dari komunitasnya. Artinya seorang individu (informan) sesungguhnya secara sosialbudaya telah mentransformasikan dirinya kedalam suatu tahap kode-kode budaya (cultural code) sehingga menjadi-kan individu tersebut sebagai jelmaan kelompok atau komunitasnya (Dahlan, 1986: 42). Jadi karena yang dimiliki individu adalah pengetahuan budaya bukan pengetahuan komunal (kebudayaan), bukan berarti kita tidak akan menemukan pengetahuan komunal tersebut. Memang disadari bahwa variasi pengetahuan budaya yang dimiliki setiap individu membuatnya memiliki kebebasan untuk menaklukkan, memanipulasi atau mengubah lingkungan yang Zainal & Sidarta
37
Antropologi Ekologi
dihadapinya. Namun kebebasan ini walaupun bervariasi, sebenarnya ha-nyalah rule of the game yang ditemui pada kebudayaan sebagai "sistem kompetisi" (Keesing, 1981: 58). Artinya, pada tahapan individual, setiap orang akan memiliki kebebasan, tetapi secara sosial, individu tadi akan diakui sebagai anggota kelompok-nya apabila dia bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang dianggap pantas secara budaya. Dengan demikian pengetahuan budaya pada setiap individu pada hakekatnya adalah perpanjangan sistem pengetahuan (kebudayaan) yang dimiliki kelompok atau masyarakatnya. Dalam antropologi, cara-cara penelitian seperti ini banyak terlihat dalam penelitian berbentuk etnosains atau berkembang dalam penelitian antropologi kognitif. Disini si peneliti betul-betul menempatkan dirinya sebagai insider (orang dalam) yang mengikuti dan bergaul sepenuhnya dengan penduduk pemilik kebudayaan tersebut. Dibalik itu semua, ketika si peneliti keluar dari interaksi keseharian dengan penduduk setempat, maka dia juga dituntut untuk mampu menempatkan dirinya sebagai seorang peneliti (outsider), tetapi outsider disini lebih ditekankan pada cara pandangnya terhadap data yang dimiliki, bukan pada penempatan dirinya dengan penduduk pe-milik data tadi. Cara seperti ini dianggap efektif dalam menemukan data, karena spontanitas yang diharapkan akan betul-betul terjaga dengan baik. C. Penggunaan Paradigma Kualitatif untuk Kajian AMDAL AMDAL adalah singkat dari Analisis Menganai Dampak Lingkungan. Analisis ini dilakukan untuk mengukur dampak yang terjadi terhadap lingkungan sebagai akibat dari aktifitas proyek pembangunan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Sehingga akibat yang dimunculkan diperkirakan akan sangat mempengaruhi terjadinya perubahan mendasar dari ekosistem itu sendiri. AMDAL secara umum terbagi atas 3 (tiga) yaitu : (1) ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan) yaitu kajian atau analisis terhadap dampak lingkungan yang terjadi akibat kegiatan proyek yang diperkirakan “sangat besar” dan “sangat luas” mempengaruhi perubahan lingkungan nantinya. Oleh sebab itu proyek pembangunan yang menggunakan zat-zat kimia pembunuh masal organisme lingkungan (manusia, hewan dan tumbuhan) diharuskan melakukan kajian ANDAL ini. (2) PKL (Pola Pengelolaan Lingkungan) yaitu kajian Amdal yang biasanya dilakukan terhadap proyek kegiatan yang dampaknya relatif “tidak terlalu besar” dan “tidak terlalu luas”, (3) PPL (Pola Pemantauan Lingkungan) yaitu kajian Amdal yang dilakukan terhadap proyek-proyek yang telah berjalan, sehingga perlu dianalisis cara mereka melakukan pemantauan dampak yang terjadi. Kajian PPL ini juga dilakukan pada proyek yang akan terjadi, biasanya analisisnya digandengkan secara bersama-sama dengan ANDAL atau dengan PKL.
…. Tanyo balik jo darta, batua indak pembagian AMDAL diateh tu … ambo lah lupo-lopu ingek …. AMDAL dilakukan secara multidisipliner (berbagai ilmu terkait) dan salah satunya sangat diperlukan peranan ahli ilmu social untuk melakukan analisis dampaknya aktifitas tersebut khususnya dampaknya terhadap masyarakat disekitar Zainal & Sidarta
38
Antropologi Ekologi
tapak ptoyek kegiatan yang dilakukan. Dampak akibat kegiatan tersebut, bisa berbentuk dampak ekonomi, dampak social, dampak kesehatan, dan juga dampak terhadap tradisi dan budaya secara umum yang selama berkembang dan dikembangkan dalam masyarakat. Dalam menganalisis dampak proyek kegiatan terhadap lingkungan, kita tidak saja haris menggambarkan dampak-dampak negatif kegiatan terhadap masyarakatnya, tetapi juga harus menggambarkan dampak-dampak positif yang akan diterima oleh masyarakat dengan adanya proyek kegiatan tersebut. Melalui dampak-positif dan negatif inilah, lalu kita mencoba menganalisis pola dampak timbal balik yang akan terjadi antara kegiatan proyek dengan masyarakat. Artinya kalau proyek kegiatan tersebut berdampak negatif pada masyarakat, diasumsikan juga akan berdampak negatif pada proyek kegiatan di kemudian hari, sebaliknya apabila berdampak positif, pada masyarakat, maka dampaknya juga akan positif pada proyek dikemudian hari. Analisis inilah yang kemudian dirumuskan oleh peneliti AMDAL apa yang haris dilalukan dan dikelolah oleh proyek untuk menekan dampak negatif dan memperbesar dampak positif, siapa yang harus bertanggung jawab untuk mengelolah dampak tersebut, dan siapa pula yang harus memantau kegaiatan pengelolaannya. Setiap ilmu yang terkait dalam analisis ini, secara bersama-sama merumuskan analisis tersebut, karena keterkaitan dampak satu sama lain akan memungkinkan terjadi. Namun ada pandangan bahwa pengukuran dampak penting yang terkait dengan komponen sosial sering dianggap mudah, sehingga para ahli non sosial merasa bisa melakukannya. Jika dicermati sebenarnya mengukur komponen sosial jauh lebih sulit dibandingkan dengan komponen lingkungan lainnya. Sampai saat ini baku mutu besaran dampak sosial belum terumuskan, sehingga penentuan dampak pentingnya belum mempunyai dasar yang sama. Di samping itu, kondisi sosial pada suatu daerah relatif berbeda dengan daerah lain, karena pengaruh kultur sehingga menuntut peneliti untuk membuat instrumen dan pendekatan yang berbeda. Komponen sosial merupakan komponen yang terkena dampak langsung dan tidak langsung. Seluruh dampak yang akan timbul akibat keberadaan suatu proyek akan bermuara pada komponen sosial. Guna menekan ketidakpastian tingkat kepentingan dan besaran dampak, perlu dilakukan usaha untuk mengkuantifikasi dampak tersebut. Melalui pengukuran dalam bentuk kuantitatif, maka pijakan para Amdalis dalam mengkaji dampak sosial relatif akan sama. Dengan demikian rentangan perbedaan bisa ditekan dan kepastian dapat ditingkatkan. Komponen sosial yang sering menggunakan pengukuran kuantitatif di antaranya: pendapatan, demografi, kesehatan. Sedangkan persepsi, sikap, dan partisipasi masyarakat yang bisa dikuantifikasikan, belum banyak diterapkan dalam studi AMDAL. Pengukuran yang sudah condong ke arah kuantitatifpun, banyak yang belum menerapkan teknik pengukuran dengan betul. 1. Menekan Ketidakpastian Dampak Sosial Pengukuran sesuatu yang bersifat kuantitatif, relatif mempunyai kepastian yang lebih baik daripada yang bersifat kualitatif. Usaha yang mengarah pada pengukuran komponen sosial agar bersifat kuantitatif perlu didukung dan dicermati dengan baik. Tanpa pencematan yang baik, akan memunculkan suatu alat ukur (instrumen) yang tidak jeli sehingga hasil ukurnya tidak tepat/akurat, lebih-lebih pada Zainal & Sidarta
39
Antropologi Ekologi
komponen yang menyentuk hal-hal pribadi atau yang bersifat rahasia. Pembahasan di bawah memfokus pada pengukuran komponen sosial yang telah berkembang secara kuantitatif. Adapun komponen sosial yang tidak dapat dikuantifikasikan tidak dibahas. a. Pengukuran Pendapatan Pada dasarnya pendapatan masyarakat dapat berbentuk barang (benda) dan dapat pula berbentuk uang. Barang-barang hasil pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, serta pertambangan bisa dalam bentuk natura. Meskipun demikian barang tersebut dapat diuangkan atau dijadikan uang. Dengan ukuran uang, maka peneliti dapat melakukan perbandingan dengan upah minimum daerah. Dengan demikian peneliti dengan mudah mengambil simpulan tentang tinggi, sedang dan rendahnya pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat bukan sesuatu yang mudah diungkap, karena bagi bangsa Indonesia pendapatan termasuk sesuatu yang dirahasiakan. Oleh karenanya pengukurannya perlu hati-hati dan tidak bisa dengan mengajukan pertanyaan langsung ke masalah pendapatannya. Dalam kenyataan, pengukuran pendapatan banyak yang tidak memperhatikan kaidah pengukurannya. Contoh yang sering dilakukan (perlu disempurnakan) 1, Penghasilan keluarga per bulan: a. Pekerjaan pokok Suami b. Pekerjaan pokok Istri c. Pekerjaan sampingan keluarga d. Pendapatan anggota keluarga lain Jumlah 2. Pengeluaran per bulan: a. Makan b. Minum c. Rumah tangga d. Pendidikan e. Sosial Jumlah
: Rp ......................... : Rp. ....................... : Rp. ...................... : Rp. ....................... : Rp. ....................... : Rp. ...................... : Rp. ..................... : Rp. ..................... : Rp........................ : Rp. ...................... : Rp. ......................
Pengukuran pendapatan seperti pada contoh di atas sangat rentan, karena jawaban responden relatif tidak akan objektif. Ada dua pendekatan dalam pengukuran pendapatan keluarga yaitu dari sudut pendapatan dan dari sudut pengeluaran. Pengukuran dengan pendekatan pendapatan banyak tidak digunakan karena responden relatif lebih tertutup tentang penghasilannya, baik yang formal maupun yang tidak formal (pendapatan sampingan). Dengan demikian pengukuran pendapatan yang sering digunakan dengan pendekatan pengeluaran. Dalam hal ini BPS telah mengembangkan instrumen mengukur pendapatan dengan pendekatan pengeluaran, yang memungkinkan dapat kita rujuk (terlampir). b. Pengukuran Persepsi.
Zainal & Sidarta
40
Antropologi Ekologi
Persepsi dalam kamus Grolier Incorporated (1986) merupakan: 1) suatu proses, tindakan, atau keseluruhan penerimaan, 2) akibat atau penerimaan suatu produk, 3) tanda, intuisi ataupun pengetahuan seseorang yang dicapai melalui penerimaan. Jakson (1976) mengartikan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Thoha (1986), Persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan maupun lewat penciuman. Berdasar pengertian dari beberapa ahli dapat ditarik suatu simpulan tentang pengertian persepsi sebagai suatu proses kognisi yang terjadi akibat adanya penginderaan terhadap suatu objek yang memunculkan suatu kesan, makna, perasaan serta reaksi terhadap objek tersebut. Berdasar simpulan di atas dapat dirumuskan indikator persepsi yaitu pemahaman terhadap objek, penerimaan terhadap objek, menilai dan mereaksi atas objek yang menjadi sasaran. Berdasar inikator tersebut dapat dijabarkan diskriptor (komponen) dari masing-masing indikator. Daftar pertanyaan atau pernyataan dikembangkan berdasar pada diskriptor. Satu diskriptor dapat dijaring dengan beberapa pertanyaan atau pernyataan. Pertanyaan atau pernyataan yang dilontarkan umumnya diikuti dengan obsi jawaban yang berbentuk skala. Dalam konteks ini Likers (1932) telah mengembangkan dengan 5 (lima ) obsi yang berentangan dari sangat setuju sampai dengan sangat tidak setuju. Thurstone & Ghave (1929) memperpanjang rentangan obsi jawaban menjadi 7 (tujuh), 9 (sembilan) bahkan jika mungkin 11 (sebelas). Semakin banyak obsi semakin jeli dalam pengukuran, namun menyulitkan responden yang daya tangkapnya rendah terhadap pertanyaan atau pernyataan. Pola obsi yang sering digunakan di Indonesia adalah yang dikembangkan Likers. Mencermati orang Indonesia kurang berani dalam mengemukakan pendapat, maka kecenderungan memilih obsi netral sangat besar. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pengembangan obsi dijadikan genap yaitu sangat setuju (ss), setuju (s), tidak setuju (ts), sangat tidak setuju (sts).Teknik penilaian berentang dari 4, 3, 2, 1 untuk setiap item pertanyaan atau pernyataan. Untuk pernyataan atau pertanyaan positif, obsi sangat setuju memperoleh angka 4 dan obsi sangat tidak setuju mendapat skor 1. Pensekoran pernyataan atau pertanyaan yang negatif berkebalikan dengan yang positif. Obsi sangat setuju memperoleh sekor 1 sedangkan obsi sangat tidak setuju memperoleh sekor 4. Nilai persepsi merupakan penjumlahan nilai masing-masing item. Pengukuran seperti ini dapat diklasifikasikan sebagai data berskala interval (Tuckman, 1972). Dengan demikian teknik pengukuran tersebut kuat dan dapat dianalisis dengan statistik parametrik (Irianto, 2004). Contoh pengukuran persepsi terlampir. c. Pengukuran Sikap Sikap merupakan kesiapan mental seseorang untuk melakukan suatu reaksi terhadap suatu objek yang telah dihayati sebelumnya. Horrocks, 1968 mendefinisikan sikap sebagai suatu ekspresi perasaan atau suatu reaksi individu terhadap individu lain, benda maupun situasi yang dinyatakan dalam kata maupun kecenderungan berbuat. Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962 medifinisikan sikap sebagai suatu Zainal & Sidarta
41
Antropologi Ekologi
sistem yang terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu kognitif, perasaan dan kecenderungan bertindak. Komponen kognitif menyangkut kepercayaan seseorang terhadap baik buruknya suatu objek. Komponen perasaan menyangkut masalah emosi yaitu apakah objek yang diamati itu menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Sedangkan komponen kecenderungan bertindak meliputi semua kesediaan untuk bertingkah laku. Fishbein & Ajzen, 1975 menyatakan bahwa sikap adalah kognisi, afeksi serta konasi atau tingkah laku. Dari beberbagai pendapat di atas dapat ditarik simpulan bahwa sikap seseorang merupakan rentangan perasaan seseorang terhadap suatu objek, yang didahului oleh adanya informasi guna pembentukan kognisi, dan afeksi yang mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan (belief), serta tingkah laku yang akan dikerjakan. Sikap terdiri dari 3 (tiga) indikator penting yaitu kognisi, afeksi dan kecenderungan bertindak. Sikap dapat terbentuk melalui tahapan perhatian, pengertian, dan penerimaan (Mar’at, 1981). Dalam pengukuran sikap Syracuse University telah mengembangkan instrumen sikap dalam bentuk skala Likert dengan komponen: 1. practical value, 2. emotional appeal, 3, dullness (apathy), 4. interest value, 5. difficulty. Komponen pertama dan kedua masing-masing diukur dengan 6 item penyataan. Komponen ketiga dengan 4 item, komponen keempat dengan 5 item dan komponen kelima dengan 3 item. Dengan demikian pengukuran sikap cukup dengan 24 item pernyataan. d. Pengukuran Partisipasi Partisipasi menurut Terry, 1986 adalah turut sertanya seseorang secara mental maupun emosional dalam memberikan sumbangan pada proses pembuatan keputusan terutama mengenai persoalan dimana ada keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan itu melaksanakan tanggung jawab untuk melakukan hal tersebut. Komaruddin, 1985 mengemukakan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan bawahan dalam pengambilan keputusan dengan rasa tanggung jawab penuh atas pelaksanaan pekerjaan, serta menganggap dirinya sebagai salah seorang anggota dari kolektivitas yang besar. Davis & Newstrom, 1989 menyatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental, fisik, dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang dapat mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuamn kelompok dan berbagai tanggung jawab dalam mencapai tujuan. Berdasar beberapa pendapat para ahli di atas dapat ditarik beberapa komponen penting dari partisipasi adalah adanya keterlibatan mental, emosional dan fisik. Keterlibatan mental dan emosional merupakan komponen psikologis. Sedangkan keterlibatan fisik hanyalah merupakan cerminan dari keterlibatan mental dan emosional. Dengan demikian partisipasi yang kental dengan psikologi dapat diukur dengan alat ukur yang menghasilkan data kuantitatif. 2. Contoh Instrumen Pertanyaan dalam Analisis Dampak Sosial A. Contoh Instrumen Sikap a. Practical Value 1. Keberadaan proyek berfaedah dalam meningkatkan kebahagiaan masyarakat Zainal & Sidarta
42
Antropologi Ekologi
2.
3.
4.
5.
6.
SS S TS STS 4 3 2 1 Masyarakat perlu mendukung keberadaan proyek SS S TS STS 4 3 2 1 Anjuran mendukung adanya proyek tidak perlu dijalankan oleh setiap warga SS S TS STS 1 2 3 4 Ada proyek maupun tidak ada proyek kehidupan masyarakat akan sama saja SS S TS STS 1 2 3 4 Hidup seperti saat ini lebih tenang dibanding dengan adanya proyek SS S TS STS 1 2 3 4 Pengangguran di wilayah ini akan terserap sebagai tenaga kerja bila ada proyek SS S TS STS 4 3 2 1
b. Emotional Appeal 1. Sosialisasi keberadaan proyek kepada masyarakat tidak perlu dilanjutkan SS S TS STS 1 2 3 4 2. Semangat hidup saya biasa saja waktu mendengan akan ada proyek di wilayah ini SS S TS STS 1 2 3 4 3. Keberadaan proyek bisa melunturkan rasa kekeluargaan yang telah ada SS S TS STS 1 2 3 4 4. Kehidupan keluarga dapat lebih baik setelah proyek berjalan SS S TS STS 4 3 2 1 5. Keberadaan proyek perlu diterima warga dengan senang hati SS S TS STS 4 3 2 1 6. Jika proyek itu jadi, maka hidup masyarakat sekitarnya lebih tenang SS S TS STS 4 3 2 1 c. Dullness (Apathy) 1. Sosialisasi adanya proyek yang terus menerus sangat membosankan SS S TS STS 1 2 3 4 2. Ajakan untuk mendukung keberadaan proyek merupakan usaha yang membuang- buang waktu saja SS S TS STS 1 2 3 4 Zainal & Sidarta
43
Antropologi Ekologi
3.
Pola kehidupan masyarakat seperti sekarang sangat tepat dijadikan alasan adanya proyek SS S TS STS 4 3 2 1 4. Keberadaan proyek ada kaitannya dengan kebahagiaan hidup masyarakat sini SS S TS STS 4 3 2 1
d. Interest Value 1. Keberadaan proyek perlu disosialisasikan karena menyangkut dengan peningkatan kehidupan masyarakat SS S TS STS 4 3 2 1 2. Pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan adanya proyek sangat menarik untuk dibicarakan SS S TS STS 4 3 2 1 3. Bergabung dengan proyek tidak membawa keuntungan bagi masyarakat SS S TS STS 1 2 3 4 4. Ajakan untuk mendukung keberadaan proyek adalah ajakan yang benar SS S TS STS 4 3 2 1 5. Suatu keluarga yang tidak mau bergabung dengan proyek adalah keluarga yang hanya memikirkan diri sendiri SS S TS STS 1 2 3 4 e. Difficulty 1. Menentang keberadaan proyek merupakan tindakan mempersulit diri sendiri SS S TS STS 1 2 3 4 2. Anjuran untuk mendukung keberadaan proyek dibutuhkan oleh masyarakat SS S TS STS 4 3 2 1 3. Keberadaan proyek akan mengangkat perekonomian masyarakat sekitarnya SS S TS STS 4 3 2 1 B. Contoh instrumen Persepsi Kesehatan 1. Membuang sampah pada tempatnya merupakan upaya pemeliharaan kesehatan SS S TS STS 4 3 2 1 2. Sampah yang berserakan tidak ada kaitanya dengan kesehatan SS S TS STS 1 2 3 4 Zainal & Sidarta
44
Antropologi Ekologi
3. Sampah rumah tangga dapat berguna bagi tanaman SS S TS STS 4 3 2 1 4. Rumah yang sehat adalah yang tertutup rapat sehingga angin malam tidak dapat masuk SS S TS STS 1 2 3 4 5. Halaman rumah perlu disemen supaya bersih SS S TS STS 1 2 3 4 6. Sinar matahari perlu masuk ke setiap kamar SS S TS STS 4 3 2 1 7. Pohon pelindung di halaman perlu ditebang agar halaman bersih SS S TS STS 1 2 3 4 8. Sampah padat rumah tangga perlu dipisah antara yang basah dan yang kering SS S TS STS 4 3 2 1 9. Sampah rumah tangga yang kering sebaiknya dibakar di bak sampah SS S TS STS 1 2 3 4 10. Mengubur sampah dapaur di halaman lebih baik daripada membuang di bak sampah SS S TS STS 4 3 2 1 11. Air dari kamar mandi dan cucian sebaiknya tidak dibuang di selokan SS S TS STS 4 3 2 1 12. Makan dengan pola sehat perlu dilakukan oleh setiap masyarakat SS S TS STS 4 3 2 1 13. Di dalam rumah perlu diberi banyak tanaman SS S TS STS 1 2 3 4 14. Sumur perlu ditutup agar tidak kemasukan bibit penyakit SS S TS STS 1 2 3 4 15. Membersihkan rumah dan halaman perlu dilakukan setiap hari SS S TS STS 4 3 2 1 16. Menghangatkan makanan berualang kali merupakan tindakan yang tidak baik untuk kesehatan SS S TS STS 4 3 2 1 17. Sayur dan buah tidak perlu harus ada dalam menu makanan setiap hari Zainal & Sidarta
45
Antropologi Ekologi
SS S TS STS 1 2 3 4 18. Membersihkan lingkungan rumah merupakan tanggung jawab anggota rumah walaupun sudah membayar uang kebersihan SS S TS STS 4 3 2 1 19. Sisa minyak goreng sebaiknya dikumpulkan dan dipakai kembali untuk menggoreng SS S TS STS 1 2 3 4 20. Kamar tidur harus dijaga agar tidak lembab SS S TS STS 4 3 2 1 21. Olah raga hanya diperlukan oleh orang yang sehat SS S TS STS 1 2 3 4 22. Tidur di siang hari perlu dilakukan oleh setiap orang SS S TS STS 1 2 3 4 23. Mandi dan mencuci di kamar mandi rumah lebih baik daripada di sungai SS S TS STS 4 3 2 1 24. Santai walau sejenak diperlukan oleh setiap orang SS S TS STS 4 3 2 1
Pertemuan 11 – 15 PEMBAHASAN DAN DISKUSI TENTANG HASIL-HASIL PENELITIAN DENGAN MENGGUNAKAN PERSPEKTIF PEMIKIRAN DALAM ANTROPOLOGI EKOLOGI Beberapa hasil penelitian dan tulisan yang menggunakan cara pandang Antropologi Ekologi yang ditawarkan pada semester ini antara lain adalah : Evolusi Tekhnologi Subsistensi (Pudjo Semedi) Sistem Perladangan Masyarakat Suku Kuntu Kalimanta Selatan (Michael Dove) Sungai dan Air Ciliwung (Heddy Shri Ahimsah-Putra) Adaptasi Lingkungan dan Perkembangan Kebudayaan di Talaud (Fadjar Ibnu Thufail) Pembangunan Pertanian: Pemasungan Kebebasan Petani (Yunita T. Winarto).
Zainal & Sidarta
46
Antropologi Ekologi
Untuk diskusi artikel ini, copy saja artikelnya dan masukkan saja apa adanya .... terus terang bahan-bahan ambo dak ado di jogja, driver hardisk ambo dulu dak bisa diinstall ka lap paling top ambo tu do ...... tapi kalo ado persiapan dan cadangan F jo Darta untuk 5 tulisan yang bisa mewakili 5 pendekatan diateh tadi, ancak bana Mohon maaf mungkin indak maksimal ... tapi sebagai pengantar, ambo kiro lah cukup isinyo untuk jadi buku pegangan perkuliahan. ambo kini sedang terfokus jo proposal .... sulit bana bapikia bolak-balik antaro lareh jo ekologi, ..... karena gara-gara mamikian dualisme bantuaknyo proposal ambo pun lah dualisme lo kini, bolak-balik indak tantu juo arahnyo kama .... lah paniang sambia galak-galak ketek 3 datuak ambo tu jadinyo. He he he, sorry bana yo F. *****
Zainal & Sidarta
47