METODOLOGI KRITIK MATAN HADITS (Menelisik Metodologi Kritik Matan Ulama Hadits) Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc.
I. Mukaddimah Asumsi sebagian intelektual kontemporer yang menilai bahwa para ulama ahli hadits terdahulu tidak konsen terhadap kritik matan hadits menjadikan masalah ini perlu dikaji. Menurut mereka, ulama hadits klasik tidak banyak memerankan akal dalam mengkaji dan mengkritisi hadits-hadits Rasulullah Saw. Ahmad Amin dalam bukunya “Fajrul Islam” menulis: "Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah jarh dan ta`dîl yang tidak cukup untuk dijelaskan disini, akan tetapi sebenarnya mereka lebih banyak mementingkan kritik sanad dari pada kritik matan. Anda jarang sekali menemukan mereka mengkritisi suatu riwayat dari Rasulullah Saw bahwa riwayat itu tidak sesuai dengan keadaan pada pada masa beliau, bertentangan dengan realita sejarah, ungkapan yang terdapat dalam hadits tersebut adalah ungkapan filsafat yang tidak biasa diungkapan oleh Nabi, ungkapan tesebut mirip dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang terdapat dalam matan fikih..."1 Penilaian semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum mereka, para pegiat mazhab kalâmiyyah klasik, terutama sekte Muktazilah, pernah melontarkan penilaian serupa—bahkan lebih ekstrem—terhadap ulama Ulama Hadits yang telah menghabiskan umur mereka untuk membela Sunnah Rasulullah Saw. Tokoh-tokoh Muktazilah seperti Abu Hudzail Al-`Allâf, Al-Nazhzhâm, Al-Jâhizh dan lain-lain, rata-rata sangat membenci Ulama Ahlul Hadîts. Sebagian mereka bahkan mencela dan menuduh Shahabat Nabi Saw berdusta. Imam Ibnu Qutaibah di awal-awal kitabnya, Ta'wîl Mukhtalaf al-Hadîts, membantah satupersatu tudingan Al-Nazhzhâm yang tak segan-segan mencela Shahabat Nabi Saw, bahkan menuduh mereka berdusta, dengan alasan bahwa hadits-hadits yang mereka riwayatkan— menurut dia—tidak rasional.2 Kritik ala Muktazilah ini yang kemudian diwarisi dan dikembangkan oleh sebagian pengkaji hadits di Barat. Kritik terhadap matan hadits tanpa perlu mengkaji sanad dan hanya menggunakan pertimbangan opini pribadi semata. Padahal jika kritik-kritik mereka diteliti kembali, sebagian besar hanya asumsi yang di dasarkan pada asumsi dan menghasilkan kongklusi yang juga asumsi. Hanya orientasinya saja yang berbeda. Kaum Muktazilah mengkritik hadits untuk membela mazhab mereka, sehingga hanya menolak hadits-hadits yang tidak sesuai dengan pandangan mazhab mereka saja. Sementara sebagian Orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht mengkaji hadits dengan tujuan menebang pohon Islam dari pangkalnya. Kajian mereka tidak untuk menolak satu-dua hadits, tetapi menolak sebagian besar hadits—jika tidak ingin mengatakan seluruhnya—dengan menganggapnya
1
Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2004), 210 Beliau berkata: "Aku telah meneliti—semoga Allah meramahtimu—komentar-komentar Ahli Kalam, aku mendapatkan bahwa mereka sering berbicara atas nama Allah apa yang mereka tidak ketahui, mereka menghina orang (ulama hadits) dan hasil jerih payah mereka, seakan-akan melihat semut di seberang lautan (aib orang lain) dan tidak melihat gajah di pulupuk mata (aib sendiri). Mereka menuduh (berdusta) orang lain dalam hal periwayatan dan tidak pernah merasa aneh dengan pendapat mereka sendiri…." Lihat, Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalafil Hadîts, (Beirut: Al-Maktab alIslami, 1999), 61 2
-1-
sebagai hasil karya ulama belakangan dan bukan benar-benar sabda Rasulullah Saw.3 Sayangnya kajian hadits ala Orientalis ini oleh sebagian kaum muslim sangat digandrungi. Mereka ingin meilai keshahihahn sebuah hadits tanpa mementingkan sanadnya, tetapi berpatokan pada standar-standar nilai yang telah menjadi anutan mereka. Lihat saja misalnya apa yang dikatakan oleh Musdah Mulia—tokoh feminis Indonesia—dalam wawancaranya di situs JIL: "Dalam kritik matan misalnya, terdapat tiga kategori yang dipakai sebagai patokan kebenaran sebuah hadits. Pertama, apakah hadits itu tidak bertentangan dengan pesan moral Al-Quran seperti persamaan, keadilan dan kemanusiaan? Kedua, apakah matan hadits itu tak bertentangan dengan kenyataan sejarah (kritik sejarah, Red). Ketiga, apakah konten atau isi hadits itu tidak bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah. Kritik matan ini sangat penting juga artinya, bahkan terkadang jauh lebih penting dari kritik sanad sendiri."4 Ada juga yang mengklaim mendatangkan metode baru yang menurutnya belum dikenal oleh para ulama hadits terdahulu. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh tokoh Syiah Indonesia, Jalaludin Rakhmat, dalam wawancaranya dalam situs yang sama: "Secara singkat dan konvensional dalam ilmu hadits, kalau kita menguji keabsahan suatu hadits, maka kita dapat mengajukan dua kritik: kritik sanad (rawi/mata rantai pembawa hadits) dan kritik matan. Saya menawarkan satu lagi, yaitu: kritik historis, kita harus meneliti latar belakang politis orang yang membawakan hadits tersebut. Dalam sebuah seminar hadits di Yogyakarta, saya bahkan menyatakan dua kritik lagi: yakni selain kritik historis, juga ada kritik hermeneutik. Dalam kritik sanad saja, hadits tersebut lemah. Biasanya dalam ilmu hadits, kalau dilihat sanadnya saja sudah lemah, maka langsung dibuang. Tapi, kenyataannya, hadits itu tetap saja dipakai tanpa memperhatikan jalur periwayatannya."5 Melihat fenomena ini perlu kiranya kita mengkaji perkembangan kritik hadits yang diterapkan oleh ulama hadits terdahulu. Benarkah mereka tidak menggunakan pertimbangan rasio dalam mengkritisi matan hadits? Sejauh mana posisi akal dalam kritik matan hadits ini? Betulkah mereka tidak menggunakan kritik historis, atau kritik dengan metode hermeneutik misalnya? Bagaimanakah metode ulama hadits dalam mengkritisi sanad dan matan guna mengetahui status keshahihan, kedha`ifah atau kepalsuan hadits? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan coba dijawab oleh kajian sederhana. II. Defenisi Kritik Hadits Sebelum lebih jauh menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang hakikat studi kritik hadits dalam ulama haidts. Dalam tradisi ulama Islam, naqd (kritik) adalah tradisi aksiomatis yang tak bisa dipisahkan dari mereka, lebih-lebih 3
Prof. `Ali Musthofa Ya`qub mencatat: “Keduanya (Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht) memiliki tesis yang menyatakan bahwa hadits bukan sesuatu yang otentik dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang lahir pada abad I dan II hijri, yang kesemuanya merupakan bikinan ulama.” Beliau juga menulis: “Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki 'keunggulan' karena Schacht sampai pada kesimpulan 'meyakinkan' bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan 'meragukan' otentisitas hadits. Setelah Goldziher dan Schacht, kajian hadits memasuki periode Pasca-Goldziher.” `Ali Musthafa Ya`qub, dalam “Kajian Hadits di Kalangan Orientalis”, Kompilasi Kajian Hadits, disusun oleh Alif Fikri (Maktabah Jamalul Ulum, 2011), 15 4 http://islamlib.com/id/artikel/nabi-sulaiman-pun-iri-pada-ratu-bilqis/ 5 http://islamlib.com/id/artikel/perempuan-boleh-memegang-posisi-politik-apapun/
-2-
dalam Ilmu Hadits ini. Bagi mereka, naqd adalah sebuah kewajiban dalam menerima dan meriwayatkan hadits kepada orang lain. Imam Muslim berkata: “Jika yang meriwayatkannya hadits itu bukan orang yang jujur dan amanah, kemudian orang yang mengetahui keadaan rawi tersebut tetap meriwayatkan hadits darinya tanpa menjelaskan keadaannya kepada orang lain yang tidak mengetahui keadaannya itu, maka ia telah berdosa dengan melakukan hal itu dan telah menipu kaum muslimin....”6 Dalam studi ilmu hadits, kritik ini dikenal dengan istilah naqdul hadîts. Secara etimologi, naqd berarti menyepuh logam dan memisahkannya dari kotorannya7, dan secara terminologi Ilmu Hadits didefiniskan sebagai: Upaya mengidentifikasi hadits-hadits shahih dari hadits-hadits yang dha`îf dan memberi penilaian baik atau buruk terhadap para rawi (sesuai kualitas masing-masing).8 Tentu saja dalam me-naqd ini melihat hadits dari kedua sisinya; yaitu sanad dan matannya. Kedua sisi ini ibarat dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka menilai keshahihan sebuah hadits. Dari sisi sanad, yang dikaji adalah masalah ittishâl as-sanad yaitu kesinambungan sanad, di mana tidak boleh ada keterputusan mata rantai sanad, dan `adâlat ar-ruwât yaitu kredibilitas rawi atau kualifikasi kesalihan dan kekuatan hafalannya. Sementara dari sisi matan, yang dikaji adalah masalah kebahasaannya, sabab wurûdnya, nâsikh dan mansûkhnya, kajian komparatif antar riwayat dan dengan Al-Quran, kemudian mendatangkan solusi jika terdapat pertentangan, menerangkan hukum dan hikmahnya.9 Selain itu, tradisi naqd ini bukan semata-mata demi memuaskan kecenderungan ilmiah atau keingintahuan semata, melainkan untuk tujuan-tujuan yang jauh lebih dalam dan lebih besar dari sekedar itu. Allah Swt telah menurunkan Kitab Suci-Nya dan mewakilkan kepada Nabi-Nya untuk memberi penjelasan dan keterangan terhdap Kitab Suci tersebut. Maka Nabi Saw melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya selama duapuluh tiga tahun, menjelaskan agama, menerangkan halal-haram, mengajarkan Sunnah, dsb. Pengetahuan tentang ajaran-ajaran tersebut tentu saja dengan mengetahui dan mempelajari sunnah-sunnah Nabi Saw yang shahih, dan hal ini tidak dapat dilakukan melainkan dengan mengkaji dan meneliti kulifikasi rawi-rawi yang meriwayatkan ajaran dan sunnah tersebut, untuk kemudian mengambil dan mengamalkan riwayat mereka yang jujur dan membuang riwayat para pendusta dan menerangkan prihal kedha`îfan dan kepalsuannya kepada umat.10 III. Peran Akal Dalam Kritik Hadits Sebagian orang mungkin mengira bahwa para ulama tidak banyak menggunakan akal dalam mengkritisi hadits. Padahal sebenarnya, setiap kajian terhadap teks apapun tidak bisa dilakukan tanpa memerankan fungsi akal. Hanya saja para ulama hadits, dalam mengkaji teks-teks hadits tidak berpatokan pada opini akal semata, tetapi meletakkan akal pada posisinya secara proporsional. Hal ini sangat logis, karena tidak mungkin seseorang hanya menggunakan opini akal dalam mengkaji otentisitas dan validitas sebuah teks. Mustahil seseorang menghukumi sebuah hadits sebagai hadits shahîh atau dha`îf hanya berdasarkan akal tanpa menempuh kajian sanad yang merupakan media penghantar matan hadits tersebut. 6
Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts Al-`Araby), 1/28 Abû Abdullah Muhammad bin Abû Bakr Al-Râzy, Mukhtâr Al-Shihâh, (Beirut: Al-Maktabah Al`Ashriyyah, 1999), hal. 317. 8 Mushthafâ Al-`A`zhami, Manhaj al-Naqd `Inda al-Muhadditsîn (Saudi Arabia: Maktabah Al-Kautsar, 1990), hal. 6 9 Ibid... 20-21. dan, Nûruddîn `Itr, Manhaj al-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), 342343 10 Mushthafâ Al-`A`zhami... 6 7
-3-
Sebab selogis dan sebaik apapun makna sebuah perkataan, tidak mungkin serta-merta perkataan tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah. Hal ini kerena berdasarkan karakternya, ilmu dapat diklasifikasikan ke dalam tiga corak: ilmu informatif, ilmu observatif dan ilmu rasional. Ilmu observatif yaitu pengetahuanpengetahuan yang diperoleh dari hasil observasi terhadap obyek. Model ilmu ini adalah ilmuilmu empiris atau sains, seperti Biologi, Kimia, Fisika dll. Tentunya, pisau analisa yang dominan dalam ilmu empiris ialah ketajaman indra dan keluasan observasi. Adapun Ilmu rasional adalah pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dari hasil olah pikir dan penalaran, seperti ilmu filsafat, ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Pisau analisa yang dominan dibutuhkan dalam ilmu ini ialah ketepatan logika dan ketelitian berfikir. Adapun Ilmu informatif adalah pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan berdasarkan informasi. Pisau analisa yang digunakan untuk membuktikan kesesuaian pengetahuan ini dengan realita adalah otoritas sumber dan validitas transmisi (keshahîhan periwayatan). Jika suatu informasi berasal dari sumber yang otoritatif maka prosentase kebenaran informasi tersebut akan tinggi. Demikian juga jika media yang menyampaikan berita tersebut dipercaya, maka prosentase kesesuaian informasi dengan realita akan tinggi pula. Walaupun demikian analisa rasio dan observasi menjadi penting untuk mengetahui kesesuaian sebuah informasi dengan realita yang ada. Terutama ketika berhadapan dengan informasi-informasi yang sumbernya tidak otoritatif atau atau diragukan kebenaran informasi yang berasal darinya. Ilmu hadits sejatinya termasuk ke dalam ilmu informatif ini. Hanya saja Nabi Saw adalah sumber informasi (wahyu) yang paling otoritatif bagi kaum Muslimin. Tidak ada informasi yang lebih valid dan akurat bagi umat Islam selain informasi yang berasal dari beliau. Segala sesuatu yang bersumber dari beliau adalah kebenaran sejati dan pasti. Jika otoritas sumber sudah tidak jadi masalah, maka tentu saja yang perlu dikritisi dan dikaji adalah media atau wasilah yang mengantarkan informasi dari beliau kepada kita, yaitu para rawi. Itulah sebabnya para ulama kemudian mengkaji rijâlul hadits (sanad/rawi) secara konprehensif dan proporsional. Hadits merupakan informasi yang harus benar-benar diketahui berasal dari sumbernya yaitu Rasulullah Saw, karena ia akan menjadi sumber dan dasar hukum agama. Sedangkan untuk mengetahui bahwa suatu informasi berasal dari sumber tertentu tidaklah cukup berpatokan dengan rasio dan observasi. Apalagi bahwa banyak hadits-hadits yang tidak mungkin diobservasi, seperti hadits-hadits seputar sam`iyyât. Yang paling dibutuhkan dalam hal ini adalah validitas transmisi hadits tersebut. Dalam hal ini, yang perlu dikaji tentunya adalah kejujuran (`adâlah) dan kecermatan hafalan/keakuratan tulisan (dhabth kitâb/dhabtu shadr) rawi hadits atau pembawa informasi tersebut. Dalam hal ini Allah Swt berfirman: ٌ بع )6( ٍَٛجُٕا قَْٕ ًيب ثِ َجَٓبنَ ٍخ فَزُصْ جِذُٕا َعهَٗ َيب فَ َع ْهزُ ْى ََب ِد ِيٛص ِ َُُُّٕا أَ ٌْ رَٛق ثَُِجَئ ٍ فَزَج ِ ٍََ آَ َيُُٕا إِ ٌْ َجب َء ُك ْى فَُّٚٓب انَّ ِزََٚب أٚ "Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurât: 6). Ayat yang mulia di atas menerangkan dengan jelas bahwa jika ada seorang fasik datang membawa sebuah berita maka hendaklah kita meneliti kebenaran berita itu dengan hati-hati. Tetapi penelitian terhadap berita itu sendiri dimulai dengan pengetahuan tentang sifat pembawa berita, apakah ia orang terpercaya atau fasik. Jika ia adalah orang yang jujur dan terpercaya maka beritanya dapat diterima, bagaimanapun kualitas kebenaran berita yang ia bawa. Namun jika ia adalah orang yang fasik, maka ayat di atas memerintahkan untuk selektif dan berhati-hati dalam menerima berita yang dibawakannya. Harus ada upaya tabayyun (kritisasi dan pembuktian) atas apa yang disampaikannya.
-4-
Dr. Mushthafa Al-A`zhami menjelaskan11 bahwa, secara fakta historis eksistensi nabi Muhammad Saw tidak mungkin diragukan, bahwa beliau pernah hidup di atas dunia ini. Sebagai manusia tentulah beliau makan, minum, tidur dan seterusnya. Jika ada sebuah riwayat bahwa nabi Muhammad Saw makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan, minum dengan tiga kali bernafas, berdoa dengan doa tertentu ketika tidur dan bangunnya, semua hal ini mungkin saja terjadi menurut akal dan mungkin juga tidak terjadi. Bisa saja beliau makan dan minum dengan tangan kirinya, minum dengan satu nafas, berdoa sebelum tidur bukan dengan doa yang kita ketahui sekarang, atau mungkin juga tidak berdoa. Menurut akal semua itu bisa saja terjadi, dan akal tidak mungkin bisa memastikan mana di antara semua perbuatan itu yang terjadi. Maka yang menguatkan kebenaran berita tentang perbuatan itu bukanlah akal, melainkan kejujuran orang yang menyampaikan berita. Maka tidak heran jika sebagian besar kitab Ulûmul Hadîts berbicara tentang hal ini. Dengan demikian, jelas bahwa kritik hadits hanya dengan menggunakan akal adalah upaya mencetak goal di luar gawang, alias kritik tidak logis dan tidak pada tempatnya. Imam Asy-Syâfi`i rahimahullah berkata: ش ٔرندٚم يٍ انذدذٛ انخبص انقهٙ إال ف،ّش ٔكزثّ إال ثصذق انًخجش ٔكزثُٚغزذل عهٗ أكضش صذق انذذٚ ٔال خبنادّ يدب ْدٕ أصجدذٚ كدٌٕ يضهدّ أٔ يدبٚ ٌجدٕص أٚ ذذس انًذذس يب الٚ ٌّ ثأٛغزذل عهٗ انصذق ٔانكزة فٚ ٌأ ُّٔأكضش دالالد ثبنصذق ي "Kebenaran dan kepalsuan kebanyakan hadits tidak bisa dibuktikan melainkan dengan mengetahui kejujuran atau kedustaan orang yang meriwayatkannya. Kecuali dalam beberapa hadits tertentu, kebenaran dan kepalsuannya dapat diketahui ketika seorang muhaddits meriwayatkan hadits yang tidak pantas disebut sebagai hadits (Rasulullah Saw), atau bertentangan dengan riwayat yang lebih tsâbit dan lebih mengandung kebenaran dari hadits itu."12 Syaikh Al-Mu`allimi Al-Yamâni, salah seorang pakar hadits kontemporer berkata: "Ulama hadits menggunakan akal mereka dalam empat tempat, ketika samâ', tahdîts, menghukumi rawi dan ketika menghukumi hadits." Kemudian beliau menjelaskan bahwa mereka yang kritis apabila mendengar hadits yang janggal dan jauh dari kriteria hadits shahih, mereka tidak mau menghafalnya, jika menghafalanya mereka tidak menyampaikannya, kalaupun harus menyampaikannya mereka menuturkannya dengan menjelaskan cacat matan dan rawinya.13 Jadi, ulama Hadits sama sekali tidak menafikan peran dan fungsi akal. Karena dengan akal mereka dapat memahami dan meriwayatkan semua hadits-hadits Rasulullah Saw. Dengan akal mereka bisa memilah dan memilih kualitas hadits, kemudian menghukuminya, menggolongkannya ke dalam pembagian-pembagian rumit yang tidak semua orang berilmu dan berwawasan mampu melakukannya. IV. Hubungan Antara Sanad dan Matan Telah dijelaskan di atas bahwa jika hadits benar bersumber dari Nabi maka itu adalah kebenaran sehingga yang perlu dikritisi adalah media yang mengantarkan informasi dari beliau kepada kita, yaitu para rawi. Ini artinya antara rawi (sanad) hadits dan matan terdapat keterkaitan yang sangat erat. Kevalidan dan keakuratan matan dapat dilacak dari sanadnya dan sebaliknya kredibilitas sanad (rawi) dapat diketahui dari matan hadits yang ia riwayatkan. Lebih jelasnya sebagai berikut: 11
Muhammad Mushthafa Al-A'zhami... 82 Imam Al-Syâfi'i, Al-Risâlah, ed. Ahmad Muhammad Syâkir, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, 2005), 414 13 Muhammad Mushthafa Al-A'zhami... 83 12
-5-
1. Umat Islam sepakat bahwa Rasulullah Saw tidak mungkin berkata atau melakukan kesalahan dalam menyampaikan ajaran agama, karena sabda beliau adalah wahyu, dan tindakan beliau tidak pernah lepas dari bimbingan Allah. Jika demikian, apabila terjadi prediksi kesalahan dalam matan hadits, maka ada dua kemungkinan yang terjadi: Pertama, kesalahan rawi dalam meriwayatkan matan, karena matan yang berasal dari Rasulullah Saw pastinya benar. Maka, untuk mengetahui kesalahan ini tentunya harus dilacak dari rawi itu sendiri, apakah ia seorang yang kredibel atau tidak, apakah ia memang pemalsu hadits atau bukan, apakah ia salah mendengarkan hadits, lupa, dst.. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa seseorang tidak akan mungkin bisa membenarkan atau menafikan nisbat suatu perkataan kepada Rasulullah Saw hanya dengan melihat makna perkataan itu. Harus ada jalur kongkret yang mengantar perkataan dari sumber kepada pendengar yang menjadi bahan kritik. Jika jalurnya terpercaya dari segi dhabth dan `adâlah, tentu perkataan yang sampai kepada pendengar juga valid dan akurat. Tetapi jika jalur tersebut tidak terpercaya, maka validitas penisbatan tersebut akan diragukan. Dalam ilmu hadits jalur ini tidak lain adalah sanad itu sendiri. Ketika suatu informasi bersumber dari Rasulullah Saw maka informasi itu pasti benar. Ketika informasi yang benar ini melewati jalur yang terpercaya, maka yang akan sampai kepada pendengar adalah informasi yang benar pula. Jika dikatakan bahwa jalurnya adalah manusia yang mungkin mengalami kesalahan atau lupa, maka dijawab bahwa kemungkinan itu jarang terjadi karena para rawi itu memiliki metodologi khusus yang dapat mendeteksi berbagai bentuk kesalahan dan kelupaan itu. Selain itu, rawi hadits juga sangat banyak sehingga mustahil mereka berkumpul untuk melakukan kesalahan atau lupa secara bersama-sama, apalagi tempattempat mereka berjauhan. Jika memang ada seorang yang salah atau lupa, yang lain bisa mengingatkan dan membenarkan. Sebab kebenaran tidak akan keluar dari lingkaran umat Islam. Itulah makna hadits bahwa umat Muhammad Saw tidak akan berkumpul dalam kesalahan. Para rawi juga memiliki catatan (dhabthu kitâb) untuk merekam riwayat yang benar, di samping hafalan mereka yang kuat (dhabthu shadr). Selain itu, ada Al-Quran yang tidak diragukan lagi keotentikannya, yang merupakan barometer dan standar kebenaran yang pasti. Kalaupun ada kesalahan, mesti akan dapat dilacak sumber kesalahan itu. Buktinya banyak hadits-hadits yang diketahui tingkat kedha'ifan, kepalsuan dan kesalahannya. Kalaupun tidak diketahui, Allah Swt tidak akan membebankan meminta pertanggungjawaban terhadap umat ini atas perkara yang mereka tidak ketahui. Allah juga menjamin umat ini tidak akan berkumul seluruhnya dalam kesalahan. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw.14 Kedua, kesalahan dalam memahami hadits. Kesalahan ini sering menyeret seseorang menolak hadits. Padahal kesalahan sebenarnya bukan terletak pada matan hadits, melainkan pada pemahaman terhadap matan hadits tersebut, sehingga ia tidak mampu memahami hadits secara komprehensif. Dengan demikian, tidak bisa seseorang yang tidak memiliki otoritas dalam kajian hadits mengklaim bahwa suatu hadits palsu atau dha`if hanya karena melihat maknanya yang tidak logis atau kontradiktif menurut dia sendiri. Karena bisa jadi hal itu terjadi karena sebab pemahamannya yang salah. Akan tetapi, makna yang terbukti kontradiktif secara ilmiah atau tidak logis, merupakan indikator yang menunjukkan bahwa sanadnya pasti bermasalah. Karena sekali lagi bahwa Rasulullah Saw tidak mugkin bersabda salah. Perlu digarisbawahi bahwa dha`îf-nya sanad tidak serta merta menjadikan dha`îf-nya matan. Sebab boleh jadi suatu matan dengan sanad yang dha`îf, diriwayatkan melalui sanad lain yang shahîh. Al-`Allâmah Jamâluddîn Al-Qâshimi berkata: “Barang siapa yang melihat 14
Rasulullah Saw bersabda: ( ال رجزًع عهٗ ضالنخٙ" )إٌ أيزSesungguhnya umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan." HR. Ibnu Mâjah, Abû Dâwûd dan At-Tirmidzi.
-6-
sebuah hadits dengan sanad dha`îf, maka hendaknya dia mengatakan hadits ini dha`îf dengan sanad ini. Tidak boleh ia mengatakan matannya dha`îf hanya karena sanad itu, karena ada kemungkinan matan tersebut juga diriwayatkan dengan sanad lain yang shahîh, kecuali jika ada seorang imam (dalam bidang hadits) yang mengatakan bahwa hadits ini tidak memiliki sanad yang shahîh, atau hadits ini sangat jelas kedha‟îfannya.”15 2. Metode yang sering digunakan oleh ulama hadits untuk mengetahui kredibilitas para rawi hadits adalah dengan menggunakan tanshîsh al-mu`addilîn (penilaian imam-imam ahli hadits yang terkenal tentang kredibilitas seorang rawi). Tetapi yang menjadi masalah adalah, rawi hadits sangat banyak dan tidak semua mendapat tanshîsh dari para ulama ahli hadits. Jika demikian, bagaimana cara para ulama hadits belakangan dapat mengetahui kredibilitas rawi-rawi yang belum di-tanshîsh? Cara yang mereka gunakan adalah dengan mengkaji matan yang diriwayatkan oleh rawi-rawi tersebut. Seringkali mereka men-jarh seorang rawi dan memasukkannya ke dalam golongan dhu'afâ' (rawi-rawi yang lemah) atau bahkan matrûkûn (rawi-rawi yang tertuduh memalsukan hadits), lantaran banyak meriwayatkan hadits syâdz dan gharîb yang bertentangan dengan riwayat-riwayat rawi yang tersohor dalam hal `adâlah dan dhabth. Imam Ibnu Shalâh berkata: "Dhabth (kecermatan dan keakuratan hafalan) seorang rawi dapat diketahui melalui komparasi riwayatnya dengan riwayat-riwayat para tsiqât yang tersohor dalam hal `adalah dan dhabth. Jika ditemukan riwayatnya banyak bersesuaian dengan mereka walaupun dari segi makna, atau kebanyakan riwayatnya besesuaian dan jarang terjadi selisih, maka ketika itu diketahui bahwa ia adalah seorang yang dhabth dan tsabt (kokoh hafalannya). Jika ternyata riwayatnya banyak berselisih dengan mereka, maka kita mengetahui bahwa ia tidak kredibel, maka tidak boleh ber-hujjah (berargumen/berdalil) dengan riwayatnya.16 Imam Muslim juga berkata: "Ciri-ciri kemungkaran yang terdapat dalam riwayat seorang muhaddits adalah apabila riwayatnya dikomparasikan dengan riwayat muhaddits lain dari ahli hafal yang lebih diakui, kemudian riwayatnya bertentangan atau tidak sesuai dengan riwayat mereka, dan kebanyakan riwayatnya seperti itu maka riwayatnya tertolak, tidak diterima dan tidak terpakai."17 Dengan demikian sanad sangat erat kaitannya dengan matan, karena justru dengan matan mereka mengetahui kredibilitas seorang rawi hadits. Hal ini juga membuktikan bahwa kritik matan menjadi dasar utama kritik sanad. Karena para imam kritikus hadits seperti Abdurrahman bin Mahdi, `Ali Al-Madîni, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma`în, Al-Bukhâri, Muslim, dll, mereka tidak hanya mengkritik rawi yang sezaman dengan mereka. Tetapi juga mengkritik rawi-rawi yang di atas mereka, atau yang sezaman dengan guru mereka atau guru dari guru mereka. Maka metode yang mereka gunakan adalah mengkomparasi riwayat rawirawi tersebut dengan riwayat yang sudah terbukti keshahîhannya. Jika seorang rawi terbukti memiliki banyak kesalahan, maka ia tergolong rawi yang dha`îf. 3. Perhatian para ulama terhadap sanad sebenarnya bukan untuk kepentiangan sanad itu sendiri, melainkan untuk maslahat matan. Usaha besar mereka dalam mengkritik sanad tujuannya tiada lain hanya untuk memastikan keabsahan atau ketidakabsahan matan yang diriwayatkan. Tanpa adanya keabsahan, suatu riwayat tidak akan diterima sebagai sebuah hadits walaupun matannya mengandung makna yang baik. Dalam definisi sanad sendiri, sanad hanyalah jalan menuju matan. Ketika sanad suatu hadits adalah orang-orang yang tsiqah dan tsabt tentunya keyakinan akan kebenaran hadits yang disampaikan akan lebih kuat. 15
Jamâluddîn Al-Qâshîmî, Qawa'id al-Tahdîs min Funûn Mushthalah al-Hadîts, (Kairo: Dâr al-`Aqidah, 2004), hal. 121 16 `Utsman bin Abdurrahman Ibnu Al-Shalâh, Al-Muqaddimah ...., (Beirut: Dâr Al-Kutub Al`Ilmiyyah, 2003), Nau' ke-23. 17 Shahîh Muslim... 49
-7-
Telah disinggung sebelumnya bahwa semenjak terjadinya fitnah pertiakaian di era Shahabat, muncul firqah-firqah munharifah (aliran-aliran yang menyeleweng dan menyempal dari manhaj Ahlussunnah wal Jamâ`ah). Masing-masing mengumbar nafsu dalam membela kepentingan mazhab, pemikiran, politik dan sebagainya. Fenomena ini tentunya sangat membahayakan eksistensi dan otentisitas Sunnah Nabawiyah, dikarenakan mereka berusaha mencari justifikasi terhadap pendapat mazhab mereka dengan cara menyelewengkan makna Al-Quran atau memalsukan hadits. Oleh karena itulah para ulama hadits di zaman itu sangat menekankan sifat amanah seorang rawi dalam meriwayatkan hadits. Mereka hanya menerima hadits hanya dari orang-orang yang terpercaya. Imam Muslim meriwayatkan dalam mukaddimah kitab Shahîh-nya, bahwa Ibnu Sirin berkata, "Mereka sebelumnya tidak mempertanyakan tentang sanad, namun ketika fitnah terjadi, mereka berkata: 'Sammû lanâ rijâlakum' (sebutkan nama-nama rijâl [sanad] kalian), kemudian mereka melihat hadits Ahlussunnah dan menerimanya, serta melihat hadits ahli bid'ah dan menolak hadits mereka.18 V. Metodologi Ulama Hadits Dalam Mengkritisi Matan Untuk mengetahui matan palsu para ulama telah merincikan secara mendetail ciri-ciri pemalsuan. Pembahasan tentang ciri-ciri ini dapat ditemukan dalam buku-buku Mushthalahul Hadits dalam pembahasan tentang al-wadha' fil hadîts atau pemalsuan hadits. Adapun untuk mengetahui kesalahan pada matan hadits karena hafalan yang lemah atau lupa, yang dapat mengakibatkan status hadits menjadi dha`îf, para ulama hadits melacaknya dengan mengkomparasi matan tersebut dengan matan-matan hadits lain, yang sudah terbukti keshaihannya. Dengan metode ini mereka meneliti setidaknya tiga kasus yang bisa timbul yaitu: mukhâlafah (perbedaan), tafarrud (kesendirian) dan idhthirâb (inkonsistensi). A. Mendeteksi Matan Palsu Untuk mendeteksi pemalsuan matan suatu hadits, para ulama mengkritisinya melalui indikator-indikator pemalsuan yang terdapat dalam sanad dan matannya (qarâ'inu hâlir rawi wal marwi). Mengkritisi qarînah (indikator) pemalsuan matan melalui sanad dilakukan misalnya dengan mengecek latar belakang intelektual dan kehidupan rawi. Hal ini karena pemalsuan hadits terkadang bersumber faktor tertentu dari pribadi rawi seperti, kebencian terhadap Islam dan umatnya, fanatik kesukuan, fanatik mazhab, atau karena mencari harta duniawi, ingin dekat dengan penguasa, rawi adalah seorang yang bermazhab Syiah Rafidhah dan haditsnya berbicara tentang keistimewaan Ahlul Bait, rawi adalah penganut mazhab sesat (ahli bid'ah), rawi adalah orang yang terkenal memalsukan hadits, rawi adalah orang yang terkenal sering berdusta dalam kehidupan sehari-hari walaupun tidak pernah diketahui ia pernah memalsukan hadits, dsb. Mereka mengkaji orang-perorang, mulai dari namanya, kunyah-nya (gelar berkata depan "Abu", seperti Abu Abdullah, Abu Muhammad dsb.), laqab-nya (panggilan), nasabnya, riwayat dan tarikh hidupnya, nama-nama yang mirip dan sama dengannya, dan lain sebagainya.19 Hal ini dapat dilihat di dalam Kutubur Rijâl (kitab-kitab yang khusus membahas rawi-rawi hadits), sehingga mereka bahkan dapat mengenal gaya periwayat setiap rawi. Al-Hâfiz Ibnu Rajab berkata: ش كم ٔادذ يُٓى نٓىٚش ٔيعشفزٓى ثبنشجبل ٔأدبدٚ دزاق انُقبد يٍ انذابظ نكضشح يًبسعزٓى نهذذ:قبعذح يًٓخ ش ثزنٚعهٌٕ األدبدٛش فالٌ فٚشجّ دذٚ ش فالٌ ٔالٚشجّ دذٚ شٚإًٌٓ أٌ ْزا انذذٚ فٓى خبص "Kaidah penting: para pakar kritikus hadits dari para huffâz (imam-imam 18
Shahîh Muslim...10 Lihat: Muqaddimah Ibnu Shalah, dalam pembahasan Nau' (sub judul) ke 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58 dan 59. 19
-8-
penghafal hadits) karena saking lamanya mereka bergelut mengkaji dan mandalami hadits, pengetahuannya yang luas tentang rawi-rawi beserta haditshadits tiap orang dari mereka, mereka mempunyai keahlian khusus sehingga dapat mengenal bahwa suatu hadits mirip hadits-hadits yang diriwayatkan si fulan atau tidak mirip, dengan itu mereka kemudian menetapkan cacat sebuah hadits."20 Untuk mendeteksi pemalsuan pada matan para ulama melakukannya dengan menelusuri qarâ'in (indikator-indikator) yang menunjukkan adanya pemalsuan pada sebuah matan. Metode inilah yang lebih banyak digunakan dalam mendeteksi pemalsuan atau kesalahan dalam hadits. Imam Ibnu Hajar menegaskan hal ini dalam kitabnya An-Nukat: "Mengetahui pemalsuan hadits melalui qarinah (indikator) yang terdapat dalam marwi (matan riwayat) lebih besar dari qarinah yang terdapat pada diri rawi."21 Bentuk-bentuk qarînah pemalsuan dalam matan ini antara lain: 1. Rakâkah (keburukan/kejanggalan) di dalam matan hadits, baik dari segi lafaz (rakâkah fillafzi) ataupun makna (rakakah filma`na).22 a. Rakâkah fillafzi adalah periwayatan hadits oleh rawi yang mengaku meriwayatkan dengan lafaz, bukan dengan makna, tapi kalimat yang ada dalam hadits itu tidak sejalan dengan kaidah dan gaya bahasa Arab (tidak fasih), katakata yang diungkapkan tidak pada tempatnya (tidak balîgh) seperti perkataan yang tidak sopan, istilah yang tidak dikenal pada zaman Nabi Saw. Rasulullah Saw adalah sayyidul fushahâ wal bulaghâ', (imam dalam hal kefashihan dan kemahiran berbahasa) hadits-hadits beliau memiliki cahaya yang dapat diketahui oleh pakar hadits. Rabî' bin Khaitsam (w. 61 H) salah seorang Tâbi`în berkata: م رُُ َكشُٛع َشف ٔظهًخ كظهًخ انهٚ ش ضٕءا كضٕء انُٓبسٚإٌ نهذذ Sesungguhnya hadits memiliki cahaya terang seperti terangnya siang hari, dapat dikenal, dan gelap seperti gelapnya malam, dapat diingkari.23 b. Adapun rakâkah filma`na, yakni makna yang bertentangan dengan akal sehat dan tidak bisa ditakwil sama sekali, seperti berita yang di dalamnya menggabungkan dua hal yang kontradiktif, penafian sang Pencipta, kekalnya materi dan sebagainya, karena tidak mungkin syariat mengajarkan sesuatu yang berentangan dengan akal sehat.24 Imam Ibnu Shalah berkata: "Beberapa hadits dipalsukan dan kepalsuannya terbukti dengan rakâkah pada lafaz dan maknanya."25 2. Kontardiksi yang jelas antara sebuah matan dengan nas-nas Al-Quran yang sudah qath`iy.26 Seperti hadits maudhu'27 yang menjelaskan tentang umur dunia bawasanya
20
Ibnu Rajab Al-Hanbali, Syarh `Ilal al-Tirmidzi, (Riyâdh: Maktabah al-Manâr), 861 Ibnu Hajar Al-Asqalâni, Al-Nukat `Alâ Kitâb Ibni al-Shalâh, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah), 360 22 Al-Sakhâwi, Fath al-Mugîts bi Syarhi Alfiyati al-Suyûthi, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 2003), 1/331 23 Ibid. 24 Ibid.... 332 25 Ibnu Al-Shalâh... 161 26 Al-Sakhâwi...332 27 Hadits Maudhû` sejatinya bukan hadits karena jelas palsu. Tetapi penggunaan istilah "hadits" di sini dilihat dari maknanya secara bahasa atau arti umumnya sebagai "sesuatu yang disandarkan" (terlepas valid tidaknya penyandaran itu). Lihat: `Ali Al-Qâri, Al-Mashnu‟ fi Ma‟rifati al-Hadîts al-Maudhû` (Beirut: Maktabah Al-Mathbû‟ât Al-Islamiyyah, 2005), 13-14. Atau disebut hadits karena mirip hadits 21
-9-
umurnya 7000 tahun. Padahal Al-Quran dengan tegas menjelaskan bahwa tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Allah berfirman: "Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: 'Kapankah terjadinya?' Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia." (QS. AlA'râf: 187). Menurut ilmu pengetahuan modern pun umur bumi sudah jutaan tahun. Belum lagi dibandingkan dengan umur alam semesta seluruhnya. Contoh lain adalah hadits yang berbunyi: ئ يٍ َغهّ إنٗ عجعخ آثبء انجُخٛذخم ٔنذ انضَب ٔال شٚ ال "Anak zina tidak akan masuk surga sampai tujuh turunan."28 Hadits di atas jelas bertentangan dengan firman Allah Swt.: ٖاص َسحٌ ِٔ ْص َس أُ ْخ َش ِ َٔ َٔ َال ر َِض ُس "Seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain." (QS. Al-An'am: 164) Seperti juga hadits: 3. Kontradiksi kontras antara sebuah matan dengan sunnah-sunnah yang mutawatir dan shahih, serta konsensus (ijma') shahabat, tanpa dapat di-jama' (dikompromikan maknanya) atau ditarjih antara keduanya. Imam Ibnu Al-Qayyim menegaskan hal ini: "Hadits yang bertentangan dengan sunnah sharîhah (terbukti keshahîhannya), setiap hadits yang berisi kerusakan, kezaliman, celaan, memuji kebatilan, mencela kebenaran, atau yang sejenisnya maka Rasulullah Saw terbebas dari hal itu. Misalnya hadits tentang pujian terhadap orang yang bernama Muhammad dan Ahmad, bahwa siapa saja yang di beri nama dengannya tidak akan masuk neraka. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan apa yang telah diketahui dari agama beliau Saw. Bahwa neraka tidak dapat dihindarkan dari seseorang hanya lantaran nama atau gelar, karena keselamatan darinya hanya dengan iman dan amal shalih."29 Contoh lain adalah hadits yang berbunyi: ...جهٕ انجصشٚ ٍانُظش إنٗ انٕجّ انذغ "Memandang wajah yang tampan/cantik akan mencerahkan pandangan..."30 Orang yang mendengar hadits ini tentu akan kaget, sebab bagaimana mungkin Rasulullah Saw menyeru umatnya kepada nafsu syahwat yang tidak etis dan merusak. Apalagi bahwa kata mencerahkan pandangan dengan melihat kepada wajah yang tampan/cantik belum terbukti secara medis. 4. Riwayat yang bertentangan dengan logika, realita, atau bertentangan dengan keduanya. Seperti riwayat: إٌ هللا عض ٔجم خهق اناشط فأجشاْب فعشقذ فخهق َاغّ يُٓب "Sesungguhnya Allah Swt menciptakan kuda, melarikannya sampai berkeringat, dan kemudian menciptakan Diri-nya dari keringat itu." Mengomentari hadits palsu ini imam Ibnul Jauzi berkata, "Hadits ini tidak diragukan lagi kepalsuannya, tidak mungkin seorang muslim melakukannya, karena merupakan dalam hal memiliki sanad dan matan, atau karena orang yang memalsukannya menyebutnya sebagai hadits. Lihat: catatan kaki no. 3, Ibnu Al-Shalâh... 49 28 Ibnu Al-Jauzi, Kitab al-Maudhû`ât, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-`Ilmiyyah, 1995), 2/301 29 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Naqd al-Manqûl,(Beirut: Dâr Al-Nasyr, 1990), 48 30 Ibnu Al-Jauzi, 1/112
- 11 -
kepalsuan yang paling buruk, karena hal ini jelas mustahil karena Khaliq tidak mencipta Diri-Nya sendiri.31 ٍٛذ عجعب ٔصهّذ عُذ انًقبو سكعزُٛخ َٕح طبفذ ثبنجٛإٌ عا "Sesungguhnya perahu nabi Nuh berputar di ka'bah tujuh kali putaran, kemudian sholat di Maqam Ibrahim dua rekaat."32 Contoh yang lain adalah: انجبرَجبٌ شابء يٍ كم داء Terong adalah obat segala macam penyakit Mengomentari hadits ini imam Ibnul Qayyim berkata: "Semoga Allah memburukkan pemalsu hadits ini, karena hal ini kalau diucapkan oleh dokter kawakan niscaya akan ditertawakan orang banyak, kalau dimakan oleh orang sakit demam malah meperparah sakitnya, demikian juga dengan banyak penyakit lainnya..."33 5. Bertentangan dengan realita sejarah, seperti hadits yang menjelaskan bahwa memberi keringanan bagi penduduk Yahudi khaibar untuk tidak membayar jizyah, dengan persaksian Sa`ad bin Mu`âdz dan Muawiyah bin Abi Sufyan, padahal realita sejarah mengabarkan bahwa jizyah belum diketahui apalagi disyariatkan pada tahun penaklukan benteng Khaibar, karena ayat yang menyariatkan Jizyah turun setelah perang Tabûk. Sa`ad bin Mu`âdz juga telah wafat sebelumnya, ketika perang Khandak dan Muawiyah sendiri masuk Islam setelah Fathu Makkah. Oleh karena itu para ulama menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu.34 Contoh lain misalnya, hadits Anas bin Malik tentang hammâm (pemandian air panas): دشٛ ب أَظ إًَدب دشّيدذ دخدٕل انذًدبو ثٚ :ّ يئضس فًًٓذ أٌ أكهًّ فقبلٛذ سعٕل هللا جبنغب ٔعهٚدخهذ انذًبو فشأ يئضس يٍ أجم ْزا "Aku memasuki hammâm, tiba-tiba aku melihat Rasulullah Saw sedang mengenakan kain. Kemudian aku hendak mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi beliau lebih dahulu berkata: 'Wahai Anas, karena sebab inilah aku melarang masuk hammâm tanpa menggenakan kain'."35 Hadits ini bertentangan dengan realita pada zaman nabi bahwa beliau belum pernah masuk hammâm, karena pada zaman beliau belum dikenal adanya hammâm. Apalagi kamar mandi umum yang bisa dimasuki oleh siapa saja. 6. Berisikan perkara remeh yang tidak layak bersumber dari cahaya kenabian. Seperti riwayat-riwayat berikut: ّبٍٛ َجٛقذط انعذط عهٗ نغبٌ عجع "Kesucian biji adas berdasarkan atas ucapan tujuh puluh nabi."36 ٖٔقٗ ٔعذِٔ عذٚق صذٚقٗ ٔصذٚض صذٛ األثٚانذ "Ayam jantan putih adalah Shahabatku, dan Shahabat bagi Shahabatku, musuhnya adalah musuhku."37 31
Ibid...105 Ibid...100 33 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Al-Manâr al-Munîf fî al- Shahîh wa al-Dha'îf, ed. Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimy, (Riyadh: Dâr Al-'Âshimah, 1996), 39 34 Ibid... 52 35 Ibnu Al-Jauzi... 2/8 36 Ibid... 197 37 Ibid... 208 32
- 11 -
7. Pahala-pahala yang besar sekali untuk amalan yang ringan, seperti hadits: "Barang siapa yang melakukan shalat dhuha sekian.. sekian.. rakaat, maka ia akan mendapat pahal sebanyak pahala 70 nabi." Mengomentari hadits ini Ibnu al-Qayyim berkata: "Sepertinya pendusta yang buruk ini tidak tahu bahwa kalaupun seseorang melakukan shalat sepanjang umur nabi Nuh, ia tidak akan dapat menyamai pahala seorang nabi pun."38 Masih banyak lagi ciri-ciri yang tak mungkin disebutkan semuanya di sini. Namun yang perlu diperhatikan adalah, ciri-ciri di atas digunakan sebagai pemicu pertama untuk mengkritisi sebuah matan hadits. Artinya bahwa ciri-ciri tersebut tidak bisa dijadikan faktor baku dimana siapa saja yang menemukannya dalam sebuah riwayat lantas berhak menghukuminya sebagai hadits palsu. Sebab, pengetahuan seseorang tentang ciri-ciri hadits palsu di atas sangat relatif. Tidak semua pakar bahasa Arab dapat menghukumi bahwa suatu kata atau kalimat tidak sejalan dengan kaidah bahasa Arab. Bisa saja seorang menilai bahwa hadits ini bertentangan dengan kaidah bahasa Arab padahal ia sendiri yang kurang pengetahuannya tentang kaidah dan kosa-kata bahasa Arab. Terkadang bukan isi haditsnya yang tidak logis, tetapi pemahaman terhadap hadits itulah yang tidak benar. Apalagi bahwa terdapat banyak hadits-hadits yang memang tergolong sam`iyyât, yang dalam hal ini akal tidak bisa menjadi hakim, karena hal-hal tersebut tidak diketahui kecuali melalui informasi yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. B. Mendeteksi Matan Dha`îf Adapun metode menelusuri kesalahan dalam matan disebabkan hafalan rawi yang buruk, lemah, salah atau lupa adalah dengan cara mengkomparasi matan tersebut dengan matan hadits lain yang sudah terbukti keshaihannya. Dalam proses komparasi matan ini, jika mereka menemukan matan suatu hadits mengandung: mukhâlafah (perbedaan), tafarrud (kesendirian/ganjil), idhthirâb (inkonsistensi), qalb (terbalik), gharâbah (aneh), tahrîf (distorsi), dan sebagainya, maka mereka akan mengkaji lebih lanjut hadits tersebut dari sisi sanadnya, karena cacat-cacat dalam matan tersebut tidak akan terlepas dari cacat dalam sanadnya. Setelah itu terbukti cacatnya, baru kemudian menghukuminya sebagai hadits dha`îf. Dalam kasus mukhâlafah misalnya, para ulama menjadikan bentuk-bentuk mukhâlafah ini sebagai rukun utama dalam menganalisa otentisitas hadits, dan bahkan kajian tentang mukhalafah inilah yang menjadi inti pembahasan dalam studi tentang 'ilalul hadîts (cabang ilmu hadits paling rumit yang berbicara tentang cacat hadits-hadits yang secara zahir tidak terlihat). Imam Ibnu Hajar berkata: بٌ االخزالفٛقخ عهٗ ثٛم فٗ انذقٛفًذاس انزعه "Poros utama dalam pembahasan tentang cacat hadits adalah menerangkan pertentanganpertentangan." 39 Di antara bentuk mukhâlafah ialah: suatu matan yang bertentangan dengan matan lain yang lebih kuat dan shahîh. Hadits seperti disebut dengan hadits syâdz, yaitu hadits yang diriwayatkan seorang rawi, sementara hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi yang derajat kredibelitasnya lebih kuat. Menjelaskan hal ini Imam An-Nawâwi berkata: "Apabila dengan tafarrud-nya seorang rawi menyelisihi rawi yang lebih dhabith, maka ia adalah syâdz yang tertolak, tetapi jika tidak berselisih (masih sejalan) sedang ia adalah seorang yang dhabith dan tsiqah maka haditsnya shahîh. Jika derajat tsiqah-nya 38
Ibnu Al-Qayyim, Al-Manâr Al-Munîf... 39 Ibnu Hajar Al-Asqalâni, Al-Nukat `alâ Kitâb Ibn Al-Shalâh, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Islâmiyyah, 2004), 290 39
- 12 -
sedang-sedang dan tidak terlalu jauh dari standar kredibilitas, maka ia adalah hasan. Tetapi jika ia jauh—dari standar kredibilitas—maka ia adalah syâdz, munkar, dan mardûd."40 Fenomena ini banyak terjadi dalam kritik yang dilakukan ulama terhadap hadits. Sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qais Abdurrahman bin Tsarwan, dari Hudzail bin Syurahbîl, dari Shahabat Al-Mughîrah bin Syu`bah berkata: ٍّٛ ٔعهى ٔيغخ عهٗ انجٕسثٛ صهٗ هللا عهٙرٕضأ انُج "Nabi Saw berwudhu dengan mengusap air pada jaurabain (kaos kaki)." Sebagian besar ulama Jarh wa Ta'dîl mengkritik hadits ini, diantaranya imam Muslim bin Hajjâj, beliau berkata: "Abu Qais Al-Audi dan Huzail bin Syurahbîl tidak mampu mengemban hal ini—[tidak mampu melawan riwayat lain yang lebih kuat]—karena bertentangan dengan pakar-pakar hadits yang meriwayatkan hadits ini dari Mughirah. Mereka meriwayatkan, 'mengusap khuffain [bukan jaurabain])'."41 Maksud Imam Muslim adalah bahwa riwayat yang mengatakan, "jaurabain" tidak shahîh. Alasan kritik beliau ini adalah bahwa hadits Abu Qais ini janggal, bertentangan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama-ulama besar yang meriwayatkan bahwa hadits dari Al-Mughîrah itu bukan mengatakan "jaurabain" tetapi "khuffain". Mengomentari hadits ini imam Abu Dawud berkata, "Abdurrahman bin Mahdi tidak mau berhadits dengan hadits ini karena riwayat hadits yang dikenal dari AlMughirah, dari Nabi Saw adalah mash `alal khuffain."42 Yang juga termasuk dalam masalah mukhâlafah ini adalah matan yang bertentangan dengan pendapat atau perbuatan yang masyhur dari rawi matan itu sendiri. Ulama hadits menjadikan mukhâlafah ini berpengaruh pada kredibilitas rawi. Sebagai contoh adalah hadits yang disebut oleh Imam Muslim dari Umar bin Abdullah bin Abi Khats'am, dari Yahya bin Abi Katsîr, dari Abu Salamah, dari Abi Hurairah ra: "ٍٓٛبنٛبو ٔنٚ ٔنهًغبفش صالصخ أ،هخٕٛو ٔنٚ ىٛ "نهًق:ٍ؟ قبلٛب سعٕل هللا يب انطٕٓس ثبنخاٚ :أٌ سجالً قبل “Seorang laki-laki bertanya: „Wahai Rasulullah, bagaimana bersuci dengan khuffain?‟ Beliau menjawab: „Bagi yang bermukim sehari semalam, dan bagi musafir tiga hari tiga malam‟.” 43 Mengomentari hadits ini Imam Muslim berkata: "Riwayat tentang mash (mengusap khuffain dalam berwudhu) dari Abu Hurairah ini tidak mahfûzh (dikenal), karena Abu Hurairah tidak pernah meriwayatkan dari Nabi Saw hadits tentang mash ini. Justru riwayat yang berasal dari beliau adalah mengingkari hukum mash `alal khuffain."44 Melihat hadits di atas jelas bahwa Abu Hurairah ra tidak mengetahui hadits tentang mash `alal khuffain ini. Maka orang yang meriwayatkkan hadits ini dari beliau tentu telah melakukan kesalahan, baik karena lupa atau disengaja. Oleh karena itu, ulama hadits senior men-dha`îfkan Umar bin Abdullah bin Abi Khats'am, karena meriwayatkan hadits-hadits munkar. Dalam kasus idhthirâb; hadits mudhtharib menurut para ulama, hadits yang matannya diriwayatkan secara berbeda-beda oleh para rawi, sebagian rawi meriwayatkan dengan redaksi tertentu dan rawi lain meriwayatkan dengan redaksi lain, atau diriwayatkan oleh seorang rawi dalam suatu waktu dengan resaksi tertentu dan dalam kesempatan lain dengan redaksi lain (yang menyebabkan makna saling bertentangan) dan tidak mungkin ditarjih.45 Hadits yang mengandung idhthirâb ini dihukumi sebagai hadits dha`îf, karena dhabth (kecermatan dan keakuratan hafalan) adalah syarat hadits shahîh dan hasan, sehingga ketika 40
Jalâluddîn Al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawâwy, (Kairo: Dâr Al-Bayân Al-`Araby, 2004), 189, 41 http://www.ahlalhdeeth.com/vb/archive/index.php/t-302.html 42 Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2001), 40 43 Imam Muslim bin Al-Hajjâj, Kitabut Tamyîz, (Riyâdh, Maktabah Al-kautsar, 1990). .. 209. Kitab ini dicetak satu buku dengan buku Manhaj al-Naqd `Inda al-Muhadditsîn, karya Dr. Musthafa A`zami) 44 Ibid. 45 Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Wasîth fî 'Ulûmi Mushthalahil Hadîts, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 2006), 322
- 13 -
terjadi idhthirâb dalam suatu matan hadits, maka akan menyebabkannya menjadi dha`îf.46 Idhthirâb ini juga sangat berpengaruh pada penilaian tentang kredibilitas rawi. Abu Hâtim Ar-Râzi pernah ditanya oleh putranya karena tidak mau ber-hujjah atau menerima riwayat beberapa rawi. Beliau menjawab: ضٓى اضطشاثبً يب شئذٚ أدبدٙ رشٖ ف، ٌٕ هطٛذاظٌٕ فٚ ذذصٌٕ ثًب الٛذاظٌٕ فٚ كبَٕا قٕيب ً ال "Mereka bukanlah ahli hafal, meriwayatkan hadits yang tidak mereka hafal sehingga mereka salah kaprah, engkau melihat hadits mereka sangat kontradiktif antara satu dengan yang lain."47 Al-Khathîb Al-Baghdâdi berkata: ، يزُددّ يددٍ االضددطشاةٙخددش عدداليزّ فددٜذددّ عهددٗ اٛ ٔرشج،ٍٍٛ انًزعبسضددٚددخ أدددذ انخجددشٕٕٚجددت رقٚ فًًددب انُاظ عاليخ يدبٙضعف فٚٔ ،ٕ٘قٚ خش؛ ألٌ انظٍ ثصذخ يب عهى يزُّ يٍ االضطشاةٜ اٙٔدصٕل رن ف ٌ ٔأجدذس أ،ّ اضدطشاثٙؤد٘ إنٗ اخزالف يعُٗ انخجش فٕٓ آكذ ٔأظٓش فدٚ ً ٔإٌ كبٌ اخزالفب،ُّاخزهف ناع يز ٔإٌ كدبٌ اخدزالف انهادع،شٚش نادع انذدذٛٛ رٙش انزغبْم فٛ أٔ كض،ّم انضجظ نًب عًعٛاب ً قهّٛ ضعٚٔكٌٕ ساٚ "...ِٕجت اخزالف يعُبٚ ال [[
"Di antara indikator yang menguatkan salah satu di antara dua matan hadits ialah kebebasan salah satunya dari idhthirâb sementara yang lain tidak. Karena pengetahuan tentang keshahîhan matan hadits yang tidak mengandung idhthirab tentu lebih kuat, sementara yang mengandung idhthirâb akan terasa lebih lemah. Apabila terjadi perbedaan (redaksi) yang menimbulkan kontradiksi makna hadits maka hal ini tentu lebih jelas idhthirab-nya dan sangat pantas rawinya adalah seorang yang dha`if dan tidak dhâbith terhadap riwayatnya, atau ia terlalu gampang mengubah-ubah lafaz hadits meskipun tidak mesti perubahan lafaz mengakibatkan perubahan makna."48 Demikianlah bahwa para pakar hadits dapat mendeteksi ke-dha`îfan matan hadits dengan melihat kasus-kasus seperti tafarrud, qalb, gharâbah, tahrîf dan lain sebagainya. Kasus mukhâlafah dan idhthirâb di atas semoga cukup menjadi contoh. VI. Jawaban Atas Kritik Terhadap Ulama Hadits Inti kritik historis yang ditawarkan oleh Jalaluddin Rahmat, yaitu: “...Meneliti latar belakang politis orang yang membawakan hadits tersebut”, kritik semacam ini dalam tradisi ilmu hadits bukan hal baru. Para ulama memiliki kaidah-kaidah yang sangat detail dalam mengkritisi sanad dan matan. Meneliti latar belakang “pembawa hadits” (rawi) adalah kajian primer dan mendasar dalam studi Hadits, bahkan tak berlebihan dikatakan bahwa ilmu Jarh wat Ta‟dîl adalah kajian terhadap rawi dari segala aspek, seperti latar belakang kehidupannya, ilmunya, siapa gurunya, siapa muridnya, apa mazhab dan pemikirannya, di mana tempat tinggalnya, dsb.. Bukankah ini adalah kajian historis terhadap rawi pembawa hadits tersebut?! Lebih konkretnya, lihatlah bagaimana para Ulama Hadits telah menetapkan berbagai kriteria dalam kajian al-wadh`u fil hadîts (pemalsuan hadits). Bagaimana mereka menilai pribadi rawi apakah ia seorang yang apriori terhadap Islam dan umatnya, fanatik suku, fanatik mazhab, tamak terhadap harta duniawi, ingin dekat dengan penguasa, rawi bermazhab Rafidhah dan haditsnya berbicara tentang keistimewaan Ahlul Bait, rawi adalah ahli bid'ah dan sebagainya. Asumsi bahwa para ulama tidak melakukan kritik matan hadits dari segi kecocokan suatu riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi Saw dengan kondisi di masa beliau hidup, jelas tidak tidak benar. Para ulama misalnya, menolak hadits tentang hammâm, dengan alasan bahwa di zaman nabi tidak dikenal ada hammâm. Demikian juga tudingan bahwa para ulama 46
Ibid... 323 http://www.ahlalhdeeth.com/vb/archive/index.php/t-36930.html 48 Al-Khathîb Al-Bagdâdi, Al-Kifâyah fî `Ilmi ar-Riwâyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah), 2/434 47
- 14 -
tidak melakukan kritik sejarah, karena, misalnya, hadits palsu tentang pembebasan kaum Yahudi Khaibar dari jizyah ditolak oleh ulama dengan alasan tidak sesuai dengan realita sejarah. Tudingan bahwa para ulama tidak melihat matan hadits apakah ia termasuk istilah filsafat yang tidak dikenal di zaman nabi, juga tidak benar, karena di antara ciri-ciri hadits palsu adalah rakâkatul lafz, di mana penggunaan istilah-istilah filsafat termasuk ke dalam hal ini, sebab Nabi Saw tidak pernah menggunakannya. Kritik apakah suatu hadits sesuai dengan kaidah fikih atau bukan, untuk digunakan menolak hadits tidaklah tepat, karena bukan hadits yang mengikuti fikih, tetapi fikihlah yang mengikuti hadits, sebab kaidah-kaidah fikih justru digali dari nas-nas Al-Quran dan hadits. Tetapi kalau yang ia maksud dengan pernyataan "hadits sesuai dengan kaidah fikih..." adalah fanatisme terhadap suatu mazhab fikih yang membuat seseorang buta dari kebenaran, maka fenomena ini memang ada, dan hal ini juga yang ditetapkan oleh ulama hadits sebagai ciri pemalsuan hadits. Contoh hadits palsu karena panatisme mazhab fikih ini adalah: اخ ْدٕ عدشاطُٛقبل نّ أثٕ دٚ كٌٕ فٗ أيزٗ سجمٚٔ ظٛظ أضش عهٗ أيزٗ يٍ إثهٚقبل نّ يذًذ ثٍ إدسٚ كٌٕ فٗ أيزٗ سجمٚ ٗأيزٗ ْٕ عشاط أيز "Akan ada di umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris, ia lebih berbahaya bagi uamatku dari pada Iblis, dan akan ada di umatku seorang yang bernama Abu Hanifah, dialah pelita umatku, dialah pelita umatku."49 Imam Ibnul Jauzi mengomentari hadits di atas: “Ini adalah hadits palsu, semoga Allah melaknat orang yang memalsukannya, laknat ini tidak akan terelakkan dari dua orang yaitu Ma'mun dan Juwaibiri.”50 Dan bahkan bukan hanya mazhab fikih, tetapi banyak juga hadits palsu dalam masalah akidah, hadits-hadits yang dipalsukan guna mendukung sekte-sekte tertentu yang bersebrangan dengan mazhab Alussunnah wal Jamâ`ah. Faktor fanatisme terhadap suatu mazhab memang seringkali mendorong seseorang untuk memalsukan hadits demi menjustifikasi ajaran mazhabnya. Para ulama hadits sepakat menolak hadits-hadits yang datang dari Syiah Rafidhah dalam masalah fadhilah ahlul bait (keutamaan-keutamaan keluarga Nabi Saw). Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwain, ia berkata: أصدالة انشجدبل صدىٙ عبو صى خهق هللا آدو فبَقهجُب فٙخهق هللا آدو ثأناٚ ٌٍ انعشػ قجم أًٛٚ ٍ يٍ َٕس ٔكُب عٙخهقذ أَب ٔعه بٛ عهٙ صهت عجذ انًطهت صى شق أعًبءَب يٍ اعًّ فبهلل يذًٕد ٔأَب يذًذ ٔهللا األعهٗ ٔعهٙجعهُب ف "Aku dan `Ali diciptakan dari nûr, kami berada di sebelah kanan 'Arsy dua ribu tahun sebelum Allah menciptakan Adam, kemudian Allah menciptakan Adam dan memindahkan kami di sulbi-sulbi para lelaki, kemudian Dia menjadikan kami di sulbi Abdul Muththalib kemudian mengambil nama kami dari nama-Nya; Allah adalah Mahmud (Mahaterpuji) dan aku Muhammad (yang terpuji), Allah adalah Al-A'la (Mahatinggi) dan `Ali adalah 'aliy (yang tinggi kedudukannya)."51 Mengomentari hadits di atas Imam Ibnul Jauzi berkata: "Hadits ini dipalsukan oleh Ja'far bin Ahmad, ia adalah seorang Râfidhi (penganut Syiah Râfidhah) yang gemar memalsukan hadits.52 Selain itu, ada juga kajian seputar Asbâb Wurûdil Hadits juga menjadi salah satu cabang Ilmu Hadits yang mengkaji masalah peristiwa atau fenomena yang menyebabkan Rasulullah menyabdakan suatu hadits tertentu. Tidak jauh beda dengan ilmu Asbâbun Nuzûl dalam kajian Ulûmul Quran. Tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa tujuan ilmu ini adalah untuk lebih mendalami makna dan kandungan sebuah hadits, dan bukan menjadikan asbâb wurudnya sebagai dasar hukum. Karena telah dimaklumi bahwa dalam kajian Ushul Fiqh dan 49
Ibnu Al-Jauzi...354 Ibid. 51 Ibid... 254 52 Ibid. 50
- 15 -
Ulumul Quran, "Al-`Ibratu bi`umûmil lafzi lâ bikhushûshis sabab", yakni yang menjadi standar hukum adalah makna nas (Al-Quran atau Hadits), bukan peristiwa-peristiwa tertentu yang menjadi sebab turunnya ayat Al-Quran atau keluarnya Hadits. Adapun usulan kritik Hermeneutika untuk mengkaji hadits, hal ini juga tidak tepat, sebab Hermeneutika hanya berbicara tentang metodologi penafsiran dan tidak sama sekali berbicara tentang ilmu riwayat. Drs. Hafiz Abdurrahman mencatat: "Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh hermeneutika. Dengan ilmu ini, autentisitas AlQuran dan Hadits bisa dibuktikan. Dengan ilmu ini, riwayat Âhâd dan Mutawatir bisa diuji; dan dengannya, mana mushaf yang bisa disebut Al-Quran dan tidak, bisa dibuktikan. Dengannya, historitas tanzîl, atau asbâbun nuzûl—dan juga asbâbul wurûd—bisa dianalisis. Begitu juga, periodisasi tanzîl, atau Makki dan Madani, bisa dirumuskan dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan, bahwa pembukuan Al-Quran itu karena perintah Allah, bukan karena faktor sosial atau politik. Pengetahuan tersebut kemudian disistematiskan oleh para ulama dalam kajian „Ulûmul Qur‟ân.53 Kritik Hadits apakah ia sesuai atau dengan nilai-nilai Al-Quran adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh Ulama Hadits. Kontardiksi yang jelas antara sebuah matan hadits dengan nas-nas Al-Quran, kontradiksi kontras antara sebuah matan dengan sunnah mutawatir dan shahih, serta konsensus shahabat yang qath`i, tanpa bisa dikompromikan atau ditarjih, riwayat yang bertentangan dengan logika, fakta sejarah, dan sebagainya, semua itu merupakan indikator-indikator yang tidak bisa diabaikan oleh ulama hadits dalam mengkritisi riwayat. Begitu juga dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran akhlak yang dibawa Rasulullah Saw. Imam Ibnul Qayyim berkata: "Hadits-hadits yang bertentangan dengan sunnah yang telah terbukti keshahîhannya, setiap hadits yang berisi kerusakan, kezaliman, celaan, memuji kebatilan, mencela kebenaran, atau yang sejenisnya maka Rasulullah Saw terbebas dari hal itu." Tentang mengkritisi hadits berdasarkan nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan sebagainya, sebenarnya yang perlu dikritisi dan dipertegas di sini adalah apa yang dimaksud dengan nilai-nilai universal tersebut? Apa standar yang digunakan dalam mendefinisikan nilai-nilai universal tersebut? Apakah memang definisi itu yang dimaksudkan oleh Al-Quran dan Sunnah Rasulullah? Apakah ide-ide nyeleneh seperti ide tentang homoseksual merupakan fenomena yang wajar dan tidak terlarang, sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah? Begitu juga penentangan terhadap poligami yang jelas-jelas dibolehkan dalam Al-Quran, pendapat bahwa perempuan punya hak mencerai sebagaimana laki-laki, kaum laki-laki juga barus memiliki iddah seperti perempuan, dan sebagainya? Pemikiran-pemikiran inilah yang justru harus lebih dikaji dan dikritisi terlebih dahulu. Bukan justru membuang hadits demi membela pemikiran-pemikiran tersebut. Adapun kritik apakah konten sebuah hadits tidak bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah, maka perlu ditegaskan bahwa kaum muslimin tidak anti terhadap sains dan teknologi. Dalam sains dikenal istilah fakta ilmiah yang merupakan realitas tak terbantahkan, dan teori ilmiah yang masih bersifat prediksi. Maka jika suatu penemuan modern adalah fakta, maka pasti ia tidak akan bertentangan dengan nas-nas Al-Quran dan Sunnah tsabitah. Karena tidak mungkin Al-Quran atau hadits menyampaikan informasi yang bertentangan dengan realitas. Tetapi jika penemuan tersebut sebatas teori ilmiah yang bersifat tidak pasti dan belum tentu benar, maka menolak hadits shahîh dengan teori tersebut tidaklah tepat. Teori-teori sains banyak yang masih bersifat prediksi dan asumsi. Betapa banyak teori yang masuk tong sampah karena disepak oleh teori baru yang lebih meyakinkan. Suatu teori dengan mudah tumbang seiring perkembangan ilmu pengetahuan. Kaum Muslimin tentu tidak boleh mengabaikan sains modern, hanya saja mengkritisi hadits dengan teori sains modern adalah 53
http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2215_0_1_0_C
- 16 -
kritik tidak pada tempatnya. VII. Penutup Dari pembahasan di atas, dapat disimpukan bahwa metodologi kritik sanad adalah bagian dari kritik matan yang tidak bisa dipisahkan, karena upaya para ulama dalam mengkaji sanad tidak lain untuk membuktikan otentisitas dan validitas matan hadits. Shahîh atau dha`îfnya sebuah hadits harus dikaji melalui penelitian terhadap sanad dan matan sekaligus, dilakukan secara bersamaan. Menghukumi hadits hanya berdasarkan akal semata tidak bisa diterima, karena kebenaran makna suatu perkataan tidak serta-merta membuktikan bahwa perkataan itu adalah hadits Nabi Saw. Membuktikan kebenaran informasi apapun tak cukup hanya dengan asumsi atau opini akal semata. Keakuratan berita harus dilacak dari sumbernya langsung, kecuali jika peristiwa itu telah mutawatir. Jika informasi itu berupa peristiwa maka harus dibuktikan dengan mendatangi tempat peristiwa itu berlangsung, dan jika berbentuk riwayat haruslah dilacak dari orang-orang yang meriwayatkannya. Mereka yang meriwayatkan hadits ini haruslah orang yang tsiqah, karena jika ia seorang pedusta maka kebenaran riwayatnya diragukan. Walaupun memang seseorang tidak mungkin selamanya berbohong dalam hidupnya, namun ulama hadits tetap menolak riwayat mereka demi menjaga otentisitas hadits Rasulullah Saw. Jangankan terbukti berbohong, sekedar tertuduh berbohong dalam kehidupan sehari-hari saja, walaupun belum terbukti ia pernah berbohong dalam menyampaikan hadits, riwayatnya tetap ditolak. Bahkan orang yang mengaku sudah bertaubat dari berbohong dan ia memang terbukti bertaubat, riwayatanya tetap tidak diterima menurut mayoritas ulama hadits. Selain itu, rawi yang memiliki kebiasaan buruk yang mencemari murû'ah (kepribadian dan akhlak mulia) seperti suka kencing berdiri, makan berjalan dan lain-lain, riwayat mereka juga tidak akan diterima. Pembuktian keakuratan riwayat secara empiris telah dilakukan oleh para ulama hadits terdahulu. Dan justru itulah kesibukan utama mereka. Apa artinya mereka melakukan perjalanan bermil-mil menempuh gurun pasir yang membakar, musim dingin yang menusuk tulang, tanpa menggunakan alat-alat transportasi secanggih sekarang, kalau bukan untuk membuktikan kebenaran periwayatan hadits yang mereka dengar dan pahami oleh akal mereka. Dengan hanya berbekal keikhlasan mereka melakukan rihlah fî thalabil hadîts (pengembaraan mencari hadits), hanya untuk bertemu dengan rawi sebuah riwayat demi memastikan bahwa riwayat itu benar-benar berasal darinya dan mengetahui apakah rawi hadits itu terpercaya atau tidak. Kalau bukan karena keikhlasan dan mengharap ridha Allah, serta untuk menjaga kemurnian agama yang dibawa Rasulullah Saw ini, mereka tidak akan mau bersusah payah melakukan pekerjaan yang sangat berat ini. Apalagi mereka juga tidak mendapatkan keuntungan materi duniawi di balik semua itu. Bahkan ulama besar hadits seperti imam Ahmad, Ishâq dan Abu Hâtim tidak menerima riwayat orang yang mencari nafkah dengan tahdîts (aktifitas menyampaikan hadîts). Imam An-Nawai berkata: "Orang yang mengambil upah dengan tahdîts tidak diterima riwayatnya menurut Ahmad, Ishâq dan Abû Hâtim, tetapi diterima menurut Abu Na`îm `Ali bin Abdul Aziz dan yang lainnya sebagai keringanan"54 Demi membawa risalah Islam ini, mereka rela berkorban nyawa, harta, tenaga, pikiran, umur dan segala yang mereka miliki. Para ulama hadits tidak hanya meriwayatkan hadits, tetapi juga memahaminya secara mendalam. Hal ini karena beberapa faktor antara lain, kedekatan mereka dengan zaman Nabi Saw, sehingga pemahaman mereka tentang Islam masih orisinil dan belum terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing, penguasaan mereka yang mendalam tentang kaidah dan gaya 54
Al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarhi Taqrîb Al-Nawawi, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004), 291
- 17 -
bahasa Arab, kemuliaan akhlak dan ketakwaan yang mendatangkan nûr ilahi yang membimbing mereka kepada kebenaran, dan lain sebagainya. Semua ilmu hadits dengan berbagai cabangnya, demikian juga ilmu-ilmu Syariat lainnya, yang kita warisi sekarang ini tidak lain adalah bukti kongkrit bahwa mereka menggunakan rasio dalam meriwayatkan hadits. Pelajar ilmu-ilmu syariat dan terutama pelajar ilmu hadits akan mengetahui bahwa semua hasil karya itu membuktikan kedalaman pemahaman, ketajaman pemikiran dan kehatihatian mereka dalam menerima riwayat hadits. Dan tidak pernah ditemukan di dunia ini kriteria penerimaan berita yang sangat ketat dan selektif seperti kriteria dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama ahli hadits dalam menerima riwayat. Wallahu a'lâ wa a'lam.
Referensi: `Itr, Nûruddîn, Manhaj al-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997) Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad, Al-Wasîth fî 'Ulûmi Mushthalah al-Hadîts, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 2006) Al-`A`zhami, Mushthafâ, Manhaj al-Naqd `Inda al-Muhadditsîn (Saudi Arabia: Maktabah Al-Kautsar, 1990) Al-Asqalâni, Ibnu Hajar, Al-Nukat `Alâ Kitâb Ibni al-Shalâh, (Beirut: Dar al-Kutub al`Ilmiyyah) Al-Bagdâdi, Al-Khathîb, Al-Kifâyah fî `Ilmi ar-Riwâyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah) Al-Hanbali, Ibnu Rajab, Syarh `Ilal al-Tirmidzi, (Riyâdh: Maktabah Al-Manâr) Al-Qâri, `Ali, Al-Mashnu` fi Ma`rifati al-Hadîts al-Maudhû` (Beirut: Maktabah Al-Mathbû‟ât Al-Islamiyyah, 2005) Al-Qâshîmî, Jamâluddîn, Qawa`id al-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts, (Kairo: Dâr al-`Aqidah, 2004) Al-Sakhâwi, Fathul Mugîts bi Syarhi Alfiyatisy Suyûthi, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah, 2003) Al-Suyûthi, Jalâluddîn, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawâwy, (Kairo: Dâr Al-Bayân Al`Araby, 2004) Amin, Ahmad, Fajrul Islam, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2004) Ar-Râzy, Muhammad bin Abû Bakr, Mukhtâr al-Shihâh, (Beirut: Al-Maktabah Al`Ashriyyah, 1999) Fikri Alif, dalam “Kajian Hadits di Kalangan Orientalis”, Kompilasi Kajian Hadits, (Maktabah Jamalul Ulum, 2011) http://islamlib.com http://swaramuslim.net http://www.ahlalhdeeth.com Ibnu Al-Jauzi, Kitab al-Maudhû`ât, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-`Ilmiyyah, 1995), 2/301 Ibnu Al-Shalâh, Al-Muqaddimah (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003) Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Al-Manâr al-Munîf fî al- Shahîh wa al-Dha'îf, ed. Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimy, (Riyadh: Dâr Al-'Âshimah, 1996) ____________, Naqd al-Manqûl,(Beirut: Dâr Al-Nasyr, 1990), 48 Ibnu Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalaf al-Hadîts, (Beirut: Al-Maktab al-Islâmi, 1999) Imam Al-Syâfi'i, Al-Risâlah, ed. Ahmad Muhammad Syâkir, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, 2005) Imam Muslim, Kitabut Tamyîz, (Riyâdh, Maktabah Al-kautsar, 1990) ____________, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts Al-`Araby) Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2001)
- 18 -