S
“Melawan Lupa” Sejarah
ejarah mencatat, Bojonegoro memiliki riwayat yang panjang sebelum menjadi daerah dengan status kabupaten. Mulai dari Kerajaan Jipang, lalu berubah menjadi Rajekwesi dan terakhir berganti nama menjadi Bojonegoro. Perubahan itu tentu disertai dengan dinamikanya masing-masing. Sejarah juga mencatat Bojonegoro memiliki berbagai kekayaan alam, yang di dalamnya ada manusia-manusia tangguh. Alam memberikan kontribusi besar dalam hal perubahan wajah daerah. Sejak dulu, Bojonegoro memiliki sungai Bengawan Solo yang menjadi jalur transportasi dan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Lalu, ada kayu jati yang mempunyai kualitas cukup bagus. Ditambah dengan sumber minyak mentah yang ada di perut bumi Bojonegoro. Kekayaan alam berupa jati misalnya, menjadikan masyarakat Bojonegoro dikenal ahli dalam membuat bangunan dari kayu. Pada masa kerajaan Jipang, warga Jipang dikenal dengan keahliannya membuat kapal dari kayu jati pilihan. Saat ini, jati masih menjadi primadona bisnis di Bojonegoro. Dan kita bias melihat geliat bisnis ini di kampung ukir jati Desa Sukorejo, Kecamatan Kota Bojonegoro. Sedang Bengawan Solo hingga sekarang masih menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Mulai penambangan pasir hingga sumber air untuk lahan pertanian. Dan satu lagi, Bojonegoro memiliki minyak cukup besar sejak dulu. Jejaknya masih terlihat di wilayah
Kecamatan Kedewan, Malo, dan Kasiman yang banyak terdapat sumber minyak mentah. Kini sumur minyak mentah dieksploitasi secara tradisional oleh warga yang tergabung dalam koperasi. Untuk sumber minyak Blok Cepu, tak perlu lagi kita bicarakan. Nah, dari dinamika Bojonegoro yang demikian panjang dan tak ada putusnya, maka edisi kali ini blokBojonegoro berusaha menghadirkan tali yang menyambungkan antara Bojonegoro masa lalu dan masa kini. Tentunya melalui laporan-laporan jurnalistik yang hadir untuk pembaca. Terkadang, banyak orang enggan menoleh ke belakang tentang daerahnya sendiri. Menoleh bukan berarti enggan atau takut pada masa depan. Tapi, menoleh masa lalu adalah sebagai sarana pendidikan masyarakat. Ketika Bojonegoro pernah menjadi raja dalam bidang kayu jati, dengan orang-orangnya yang tangguh, kenapa sekarang tidak bisa? Itu hanyalah satu pertanyaan saat kita menoleh masa lalu. Namun, bagaimanapun juga, laporan ini bukanlah sebuah penelitian yang mendalam. Kami menghadirkan bagaimana masyarakat pendatang dari Arab bisa bertahan di Bojonegoro, bagaimana Padangan menjadi kota tua, dan juga kami hadirkan wawancara tentang pemahaman sejarah Bojonegoro oleh warga Bojonegoro itu sendiri. Karena ternyata banyak warga Bojonegoro yang salah kaprah saat memahami sejarah daerahnya. Selamat menikmati pembaca yang budiman.[*]
MINU Walisong Gelar MABIT setahun kedepan lebih baik lagi,” tutur penanggung jawab kegiatan, Ahsanul Amilin. Sekitar pukul 21.00 WIB usai pembacaan berbagai macam doa ahir tahun dan awal tahun yang sudah disiapkan oleh pihak madrasah, siswasiswi beranjak keluar menuju lapangan membawa lampion dari bahan daur Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) Walisongo yang terletak di Sumberrejo, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro, mengadakan Malam Bina Insan dan Taqwa (MABIT) dalam rangka menyongsong Tahun Baru Hijriyah pada Jumat dan Sabtu tanggal 2425 Oktober 2014 di aula sekolah. Kegiatan berlangsung padat mulai dari salat berjamaah hingga pembacaan doa akhir tahun dan awal tahun. “Kami berharap dengan banyaknya ragam bacaan doa mampu menjadikan siswa-siswi kami selama
ulang. Sebelum diterbangkan, siswasiswi menuliskan harapannya pada secarik kertas dengan harapan semua doa yang telah dipanjatkan dikabulkan oleh Allah SWT. “Wah lampionku kok sudah padam,” tutur Zilla, salah satu siswa yang lampionnya padam karena tertiup angin kencang. “Wah, tinggi sekali. Semoga cita-citaku terkabul. Saya senang senaki bisa mengikuti kegiatan ini,“ sambung Huda yang lampionnya terbang tinggi. *Pengirim: Mariyanto Yanto
Redaksi menerima tulisan berupa artikel, opini dan karya tulis lainnya dengan panjang tulisan minimal 2 setengah halaman kertas A 4, font Time New Roman ukuran 12 spasi/single. tulisan bisa dikirim via email yang telah disediakan di atas. Juga bisa datang langsung ke kantor redaksi blokBojonegoro yang beralamatkan di Ruko Permata Jetak Jl. MT. Haryono No. 5A. Redaksi berhak mengedit kalimat tanpa me-ngubah maksud dan tujuan tulisan. Bagi tulisan yang dimuat, akan mendapatkan imbalan sepantasnya.
BERBAGAI tema yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, terus disajikan oleh redaksi Tabloid blokBojonegoro, seperti pada edisi bulan November 2014 mendatang. Redaksi mengupas mengenai keberadaan Angkutan Kota (Angkota) yang sekarang ini nasibnya merana. Dengan tema besar “Angkota Tak Lagi Jaya”, berbagai hal mengenai seluk belum Angkota disajikan secara berimbang. Mulai kondisi terkini, trayek yang tinggal di ujung jari, masyarakat mulai meninggalkan Angkota dan lain sebagainya. Pembaca yang budiman harus mengikuti, karena di balik Angkota banyak hajat hidup yang patut untuk dipertahankan. Untuk Fokus, keberadaan minyak dan gas bumi (Migas) tetap disajikan dari sisi-sisi lain. Belum lagi rubric UBiS, LifeStyle dan MixNews. Semoga saja, blokBojonegoro Media dengan produk media online www. blokBojonegoro.com dan Tabloid blokBojonegoro, tetap singgah lama di hati pembaca. Selamat menikmati.
Bojonegoro Tempo Doeloe
Di mana letak pusat kota tua di Bojonegoro? Pertanyaan itu memang sulit dijawab. Ada yang bilang di wilayah Bojonegoro Baureno dan Dander adalah pusat kota tua. Namun ada juga yang menyebut Padangan adalah pusat kota zaman dulu. Hal ini tak lepas dari minimnya penelusuran sejarah Bojonegoro. Di Padangan sendiri, saat ini masih banyak terlihat bangunan tua peninggalan masa lalu yang menjadi bukti geliat masyarakat tempo dulu. Kontributor: Nasruli Chusna, Nanang Fahrudin
D
alam buku The History of Java, karya Thomas Stamford Raffless, disebutkan beberapa daerah di wilayah Kerajaan Jipang yang dihuni penduduk dengan jumlah cukup banyak. Daerah (divisi) itu di antaranya Padangan (11.245 jiwa), Rajekwesi (10.838 jiwa), dan Bowerno (8.126 jiwa). Tiga daerah itu, bisa dipastikan berada di wilayah Bojonegoro saat ini. Padangan sebagai pusat kota diperkuat oleh buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa). Dalam buku yang disusun oleh Pemkab Bojonegoro itu menyebut pusat pengembangan agama Islam abad XVI pada masa kebesaran Demak untuk daerah Jipang adalah Padangan. Sebab kota Padangan merupakan ibukota kabupaten Jipang. Kyai Hasyim adalah penyebar Islam di Padangan. Kini, di Padangan masih banyak ditemukan bangunan-bangunan kuno. Salah satunya adalah bangunan tua dekat jembatan Banjarjo, Kecamatan Padangan. Sebagian masih difungsikan, sementara yang lain ditinggalkan tak terawat. Di pertigaan Kuncen terdapat langgar Menak Anggrung. Lalu sekitar 100 meter ke arah barat ada kantor pegadaian, kantor kecamatan, gapura masjid padangan, asrama polisi lama dan rumah pecinan yang bergaya eropa. Semua situs tersebut terletak sebelum, atau tepatnya sebelah timur perempatan Padangan. Beberapa situs itu belum termasuk kantor Polsek Padangan, yang masih berfungsi, serta rumah dinas Kapolsek lama. Di perempatan sendiri saat ini berjajar pertokoan, yang menjajakan makanan khas Bojonegoro, Ledre. Pemandangan langka juga akan didapat ketika
blokBojonegoro/Nasruli Nasuha
SALAH satu peninggalan masa lalu di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro yang masih utuh sampai sekarang ini
singgah di rumah pecinan di pinggir Bengawan Solo. Lokasinya tepat berada di samping kiri pembangunan jembatan Padangan-Kasiman. Sehingga tidak sulit untuk menemukannya. Selain itu rumah pecinan lain yang bisa ditemui terletak di tepi jalan raya. Di depan rumah yang dulunya difungsikan sebagai rumah sakit terebut, dibangun pagar besi setinggi 2 meter lebih. Berdasar informasi dari warga setempat, rumah tersebut dahulunya difungsikan sebagai rumah sakit. Namun kini difungsikan sebagai rumah burung walet. Pewarisnya sendiri saat ini tinggal di Solo dan hanya sesekali datang ketika panen sarang walet. “Dahulunya juga di situ banyak tinggal orang Tionghoa, makanya disebut rumah pecinan. Orang sini yang masih menangi, termasuk saya dulu bilangnya ya klinik. Karena rumah sakit padangan dulu berada di situ,” kata Kaswah, warga sekitar. Pria tiga anak tersebut tidak tahu banyak mengenai sejarah rumah pecinan itu. Menurutnya penghuninya dulu terkesan tertutup. Hanya saja ketika melihat kondisi bangunannya yang beraroma Tionghoa dan Eropa, ia menduga bangunan itu memang sudah berusia ratusan tahun. Pada teras depan tampak ornamen dengan motif teratai dan burung merak berhadap-hadapan. Sementara pada sisi lain, di atas teras terdapat patung bidadari yang merentang ke atas bangunan. “Kalau kita perhatikan dengan
seksama kondisi bangunannya memang perpaduan antara Tionghoa dan Eropa. Tanaman teratai dan burung merak merupakan motif yang dekat dengan peradaban Tionghoa. Sedangkan patung bidadari itu khas Eropa. Jadi memang benar-benar perpaduan,” ulas penulis beberapa buku sejarah Bojonegoro, JFX Hoery. Berdasar data yang dihimpun Hoery, bangunan tua itu milik keluarga Tan Kiang Long. Kawasan ini dikenal dengan sebutan Pecinan, karena di sekitarnya merupakan pemukinan China. Banyak bangunan-bangunan yang usianya sudah ratusan tahun. Bahkan generasi pewarisnya sekarang tidak ada yang mengetahui tahun berapa dibangunnya dan sampai sekarang masih berdiri kokoh. Bangunan tiga lantai yang sekarang menjadi rumah sarang burung ini, pernah dijadikan klinik atau rumah sakit mulai sekitar tahun 1950 sampai tahun 1980an, karena pemiliknya pindah ke Solo. Kemudian perawatan rumah diserahkan kepada keluarga Yap Ghie Tjong. Keberadaan klinik berpindah setelah Puskesmas Padangan didirikan. Setelah Yap Ghie Tjong meninggal, rumah tersebut dijadikan sarang burung walet dan bangunan tidak terawat lagi. Pewarisnya yang tinggal di Solo, hanya sekali-kali datang pada saat panen sarang burung. Hoery menambahkan sungguh sayang jika peninggalan-peninggalan penting di atas dibiarkan tak terawat. “Kalau kita sepakat bahwa ini
merupakan peninggalan berharga, semestinya ya harus dirawat. Sekarang masih ada, kita bisa melihatnya. Namun kalau sudah hilang pasti orang akan mengenang. Jaman dulu ada bangunan ini, jaman dulu ada bangunan itu. Lha ini mumpung bangunannya masih wujud seharusnya paling tidak ada perhatian,” ujarnya. Langgar Mbah Dullah Cerita menarik yang jarang terungkap saat membahas kota tua Padangan adalah langgar Mbah Dullah. Letaknya sekitar 1 kilometer ke arah selatan dari perempatan Padangan. Berseberangan dengan kantor pos, berdiri masjid Sirojul Hikmah. Lokasi langgar Mbah Dullah berjarak satu rumah dari masjid tersebut. Menurut cerita, langgar itu sudah ada sejak zaman Kolonial. Kondisi bangunannya pun tampak sangat usang, tiang dan penyangga gentengnya masih asli dari kayu. Cat warna putihnya kelihatan masih baru. Pendiri langgar tersebut, KH Abdullah, adalah salah satu pendakwah di Padangan ratusan tahun silam. Keturunannya masih hidup berdampingan di sekitar langgar itu. Namun tak ada satu pun keturunannya yang meneruskan perjuangan KH Abdullah dalam berdakwah. “Jadi kalau dirunut saya keturunannya. Mbah menurut riwayat keluarga kami, beliau pernah belajar ke KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama,” terang salah satu keturunan Mbah Dullah, Kaswah.[*]
Sebagai daerah perlintasan sungai Bengawan Solo, Kabupaten Bojonegoro menyimpan sejarah pe-radaban sungai. Dulu, Bengawan Solo menjadi menjadi jalur ekonomi sekaligus jalur peperangan kerajaan Jipang. Sisa-sisa peradaban sungai itu, kini masih terlihat di sejumlah tambangan (dermaga kecil) yang kini jadi tempat penyeberangan sungai.
Jejak Bandar Desa Tepi Bengawan Solo
Kontributor: Nasruli Chusna, Nanang Fahrudin
R
eporter blokBojonegoro mencoba mencari beberapa titik, yang diduga menjadi Bandar atau pelabuhan desa tepi Bengawan Solo. Di Desa Banjarjo RT 13, tepatnya di sebelah barat dan timur jembatan kaliketek, rumahrumah penduduk tampak serasi menghadap ke arah sungai. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa penduduk masa itu menempatkan sungai sebagai pusat. Petugas penyuluh budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro, Novi Bahrul Munib, menjelaskan bahwa jalur transportasi utama pada masa silam adalah sungai Bengawan Solo. Pasalnya jalur darat dahulu kala masih didominasi oleh hutan belantara. Sehingga masyarakat kurang memilih jalur darat untuk bepergian. “Dari namanya saja Bengawan Solo. Pada masa kerajaan HinduBudha disebut denga Wulayu, artinya jalan. Kemudian masa rajaraja disebut Bengawan Semanggi. Ada pula yang menyebut Bengawan Solo dengan nama Sigarada, maksudnya itu disigar sama Mpu Barada. Jadi banyak versi, banyak informasi. Dan semua itu menjadi data yang menarik untuk dipelajari,” jelas pria asal kota Kediri tersebut. Ia menambahkan keberadaan pelabuhan-pelabuhan desa di tepi Bengawan Solo diabadikan pada Prasasti Canggu (1280 caka). Pada prasasti itu disebutkan beberapa nama desa yang sebagaian masih bisa diidentifikasi, dan sebagian lagi sudah tidak bisa lagi. Contohnya nama pelabuhan Desa Sumbang. Sedangkan Terdapat dua nama Desa Sumbang di Kabupaten Bojonegoro yang berada di pinggir Bengawan Solo yaitu di Kecamatan Kota Bojonegoro dan Desa Sumbang Timun Kecamatan Trucuk. Namun dari data Peta Belanda tahun 1883, didapati bahwa nama asli Desa Sumbang yang berada di Kecamatan kota adalah Soemboeng. Oleh karena itu, Novi, cenderung menempatkan bekas desa pelabuhan kuno sumbang adalah Desa
ALIRAN Bengawan Solo sejak dulu menjadi jalur utama transportasi. Bahkan sempat ada dermaga di pinggir desa.
Sumbang Timun. “Apalagi jaraknya dengan pelabuhan berikutnya, Malo, masih masuk akal. Terutama ketika melihat perbandingan pelabuhanpelabuhan sebelumnya. Jadi jarak antara pelabuhan satu ke pelabuhan selanjutnya itu bisa diperkirakan begitu,” imbuhnya. Selain di Bojonegoro, pelabuhan-pelabuhan desa juga banyak terdapat di daerah yang dilintasi Bengawan Solo, yaitu pelabuhan Madantĕn di Desa Bedanten di Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Juga pelabuhan Sambo, Jerebeng, Pabulangan yang kini menjadi nama-nama desa yakni Desa Sambogunung, Desa Jrebeng, dan Desa Bulangan di Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Balawi menjadi Desa Blawi, Kecamatan Karangbinangun, Kabupaten Lamongan. Untuk pelabuhan desa Sumbang, Novi menguatkan asumsinya dengan melihat topografi Desa Sumbang Timun yang terletak dan dikelilingi bekas meander, aliran sungai, bengawan solo kuno, yang kini telah mati. Hal ini dapat terlihat jelas pada peta satelit yang menunjukkan relief bekas aliran bengawan kuno tersebut. Hanya saja untuk menemukan sisa peninggalan pelabuhan desa yang terletak di kecamatan Trucuk saat ini cukup sulit. Karena tak ada bukti fisik dan sumber yang bisa dijumpai. Satu-satunya petunjuk yang bisa ditemui berupa buku catatan agraria, yang tampak sangat kuno. “Kali ini buku tersebut masih disimpan. Di sana digambarkan peta yang juga menggambarkan dulunya desa Sumbang Timun dikelilingi oleh sungai kuno. Sebetulnya sangat sayang jika tidak dilakukan penelusuran lebih jauh. Di desa-desa sebelahnya seperti Kanten juga. Bahkan kita sempat mendatangi bekas sumber garam.
blokBojonegoro/Muharrom
blokBojonegoro/Nasruli Nasuha
MANUSKRIP kuno yang masih tersimpan di desa yang ada di Kecamatan Trucuk
Jadi bukan dari air laut, melainkan dari semut volkano yang bisa menciptakan rasa asin,” ujarnya. Bengawan Solo Menyempit Seorang penelusur situs-situs cagar budaya di Bojonegoro, Hary Nugroho memiliki data-data yang tak kalah menarik. Menurut dia Desa Banjarjo dan Padangan lebih terlihat sisa-sisa sebagai pelabuhan desa atau dermaga. Bagi Hary, tepian bengawan di Desa/Kecamatan Padangan menunjukkan hal yang sama dengan kondisi permukiman warga di sekitar jembatan kaliketek. Ia juga menerangkan bahwa di Bojonegoro dulunya merupakan jalur transportasi besar. “Buktinya ya beberapa perahu atau kapal yang belakangan juga ditemukan. Terutama kapal besi yang ada di Desa Ngraho, itu kan bukan kapal biasa. Kapal sebesar itu tak mungkin dapat berjalan jika arus sungai besar. Banyak juga temuan seperti piring, guci, dan uang kuno yang ditemukan di bawah aliran air. Bisa jadi karena adanya perang dan perampokan di jalur air, sehingga barang-barang tersebut jatuh,” jelas Hary. Menurut Hary jalur darat baru
mulai dibangun pada masa kolonial. Yaitu pada masa 1600-an Masehi. Apalagi setelah dibangunnya rel kereta api, jalur sungai mulai ditinggalkan. Masalah infrastruktur, katanya, menjadi faktor utama transformasi kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Selain itu masalah erosi yang menjadikan badan sungai bengawan solo makin menyempit dan kehidupan pun akhirnya bergeser. “Contoh paling sederhana begini, dulu waktu saya masih kecil, kira-kira tahun 50-an, lokasi pasar Kalitidu dan bengawan itu sangat dekat. Saya mengalami masamasa itu secara langsung. Namun coba perhatikan sekarang. Letak pasar dan bengawan sudah sekitar 1 kilometer. Ini kan tanda kalau makin hari bengawan itu makin sempit. Entah oleh sampah manusia, atau oleh fenomena alam,” terang pendiri museum 13 itu. Kini, Bengawan Solo menjadi jalur transportasi penyeberangan. Sedikit demi sedikit peradaban sungai mulai memudar, terlebih dengan munculnya jembatan di atas Bengawan Solo. Salah satunya jembatan di Kecamatan Malo yang tentu saja membuat perahu penyebarangan tinggal cerita saja. [*]
Laporan: Nasruli Chusna, Nanang Fahrudin
W
arga keturunan Arab di Bojonegoro bukanlah warga yang eksklusif. Karena mereka sudah melebur dengan warga lokal. Kini, mereka pun hidup saling berdampingan, melaksanakan berbagai aktivitas bersama. Mulai dari melaksanakan aktifitas jual beli, beribadah dan menempuh pendidikan. Di wilayah Kota Bojonegoro, lokasi yang banyak dihuni oleh warga keturunan Arab adalah sekitar masjid agung Darussalam, tepatnya sebelah barat alun-alun kota. Selain itu, warga keturunan Arab lainnya menyebar hingga ke pelosok-pelosok kampung. “Kalau dibilang kampung Arab mungkin belum, karena jumlahnya juga tidak banyak. Di sekitar Kauman dan Ledok (kecamatan Kota, red) sini cuma ada kira-kira delapan rumah,” terang seorang warga keturunan Arab, Wan Ayu. Pria yang tinggal di jalan Mastrip ini menambahkan, sekarang warga keturunan Arab banyak yang tinggal di desa. Seperti di kecamatan Dander dan Kecamatan Baureno. Bahkan sebagian menikah dengan warga sekitar sehingga keberadaannya sudah menyatu dengan masyarakat. Ia menuturkan bahwa tak hanya ke desa atau kecamatan di Bojonegoro, namun seperti masyarakat pada umumnya juga merantau ke kota lain, baik dalam maupun luar provinsi. Lalu bagaimana dengan panggilan “Wan” untuk warga keturunan Arab? Menurut Wan Ayu, sebutan Wan adalah pemberian masyarakat sendiri. Gelar tersebut bukanlah gelar kekaisaran atau marga, melainkan kependekan dari kata “Tuan” saja. Atau dalam bahasa Arab sering disebut juga dengan kalimat Sayid. Dan sayid sendiri merupakan sebutan bagi para keturunan Baginda Nabi Muhammad SAW. Sebagian kalangan menilai banyak para pendakwah dari negeri Arab yang dikira asli pribumi karena memang cara bermasyarakat sudah menyatu dengan warga lokal. Padahal itu adalah salah satu cara untuk menjalin kedekatan pada para sasaran dakwah. “Kalau di televisi ada artis yang terkenal dengan sebutan demikian itu misalnya Wan Abud. Cuma tidak tau dia merupakan keturunan Arab asli atau bukan. Yang penting kan itu jadi berkah buat dia,” katanya. Hal senada diungkapkan oleh warga Arab lain di Bojonegoro, Lutfi Al-Amudi. Sebutan ‘Wan’ memang familiar dengan keturunan Arab. Hanya saja ketika berbicara kontek Bojonegoro, sebutnya, rata-rata berasal dari Yaman. Hematnya mengatakan warga Arab di sini tak bisa lepas dari
KAMPUNG Arab, di tengah perkampungan warga di belakang Masjid Agung Darussalam, Kota Bojonegoro
blokBojonegoro/Parto Sasmito
Jejak “Kampung” Arab di Warga Lokal
Di Kabupaten Bojonegoro memang tidak ada kampung Arab sebagaimana daerahdaerah lain semisal Ampel di Surabaya. Namun, jejak-jejak warga keturunan Arab di Bojonegoro masih bisa ditemukan hingga saat ini. Warga keturunan Arab yang sudah turun temurun tinggal di Bojonegoro ini, memang tidak terpusat pada satu titik, melainkan berpencar. Tapi hingga kini mereka saling berkomunikasi dengan baik. kedatangan Sunan Bonang, yang sekarang makamnya berada di Kabupaten Tuban. Di mana letak geografisnya bersebelahan dengan Kabupaten Bojonegoro. Kedatangan bangsa Arab dari Yaman ke Indonesia, kata Lutfi, tak dapat dipungkiri karena wilayah Yaman yang kebanyakan berupa laut. Di mana jalur transportasi yang ditempuh kala itu adalah melalui samudra. Pria yang sempat menetap lama di Conbury, Thailand, itu menerangkan faktor ini juga yang menyebabkan ratarata warga keturunan Arab di Bojonegoro bermarga Bayaksuth dan ‘Alamudin. “Jadi Hadromaut itu sebutan untuk keturunan Arab, kebanyakan masih bernasab pada Rosulullah, sedangkan Bayaksuth dan ‘Alamudin itu marga asli dari Yaman. Sedangkan untuk saya pribadi dan keluarga bermarga ‘Alamudin. Saya sembilan bersaudara semuanya juga bergelar ‘Alamudin,” jelasnya. Alumni SMA Negeri 1 Bojonegoro itu mengaku lahir dan besar di Bojongoro. Oleh karenanya
Bojonegoro sungguh sangat lekat di hatinya. Meski sudah pernah merantau ke berbagai daerah, termasuk Jakarta dan Thailand, ia memilih untuk kembali ke bumi Rajekwesi. Berkumpul di Majlis Sedikitnya dua kali dalam setahun, Lutfi beserta warga keturunan Arab lain berkumpul dalam satu majlis. Biasanya, bertepatan dengan momen lebaran atau hari besar lain. Ajang silaturahim tersebut selalu diadakan karena sesuai dengan kultur Arab yang solidaritasnya sangat kuat. Ia mengatakan tak ada ritual atau prosesi khusus saat pertemuan tersebut. Namun sekadar jamuan biasa seperti makan dan minum bersama, dan sesekali diselingi menu khas Arab misal ‘isy (roti) dan fool (kacang). “Kalau dibilang ritual atau prosesi warga Arab sih tidak juga. Kami mengadakan forum pertemuan dengan tujuan mempererat tali silaturahim saja. Dengan demikian kan kita tidak lupa akan darah keturunan. Dan isinya ya seperti pesta gitu, yang penting
kan nilai silaturahimnya,” tutur lulusan teknis ITS tersebut. Pandangan khalayak yang sering mengatakan bahwa warga Arab sangat menjaga nilai keturunan atau nasab, tidak dibantah oleh Lutfi. Terutama saat akan memilih pasangan dalam pernikahan. Cuma dari pengamatannya hal tersebut saat ini tidak menjadi harga mati lagi. Buktinya, tidak sedikit warga keturunan Arab yang menikah dengan masyarakat lokal. Kaum muda warga keturunan Arab, menurut Lutfi banyak yang merantau. Ia mencontohkan dirinya sendiri dan beberapa koleganya yang suka merantau. Bagi mereka, merantau sudah menjadi hal yang sangat biasa. Namun baginya setelah pergi ke beberapa tempat, kerinduan akan tanah kelahiran memang tak dapat terhindarkan. “Kalau saya sendiri ya biasa saja merasakannya. Dulu waktu saya di sekolah atau di tempat lain kehidupan saya juga biasa saja. Seperti teman-teman. Tak ada hal yang paling istimewa,” pungkasnya. [*]
Keturunan Tionghoa di Bojonegoro
Barongsai, Leang-Leong, dan Ahli Perdagangan
Meski tak ada permukiman khusus yang dihuni oleh masyarakat keturunan Tionghoa, namun di Bojonegoro ada beberapa kawasan yang banyak dihuni warga keturunan Tionghoa. Mereka sudah turun temurun tinggal di Bojonegoro dan sudah menyatu dengan masyarakat sekitar. Laporan: Nasruli Chusna, Joel Joko, Nanang Fahrudin
blokBojonegoro/Muharrom
SALAH satu antraksi umat klenteng
P
erdagangan menjadi bidang yang paling banyak digeluti warga keturunan Tionghoa, diantaranya emas. Keahlian mereka dalam hal berdagang membuat masyarakat punya pemahaman bahwa jika ingin pandai berdagang, belajarlah dari orang Tionghoa. Di Bojonegoro, warga keturunan Tionghoa banyak tinggal di sekitar Jalan Hayam Wuruk, Jalan Rajawali dan Jalan Kelurahan Karang Pacar. Gelombang kedatangan ma-
syarakat Thionghoa ke Indonesia, sudah terjadi sejak sebelum kolonialisme Belanda melanda Tahun 1602 Masehi. Arus perpindahan mereka dari tanah kelahiran, merupakan akibat dari konflik politik yang tak kunjung padam. Pertarungan ideologi komunis dan liberalis ternyata menyisakan luka yang berkepanjangan. Hal ini membuat mereka mencari harapan baru dengan hijrah ke tempat lain. Keterangan di atas disampaikan Dipo Sutrisno, seorang sesepuh warga keturunan Thionghoa yang tinggal di Kelurahan Karang Pacar, Kecamatan Kota Bojonegoro. Pria yang juga Ketua RT 16 Kelurahan Karang Pacar ini menuturkan, arus perpindahan warga Thionghoa terjadi dalam beberapa gelombang. Secara garis besar memang dapat dibagi menjadi dua gelombang yaitu sebelum dan sesudah datangnya kolonialisme Belanda. Dipo juga menjelaskan, menurut cerita yang diperolehnya dari keluarganya, masyarakat keturunan Tionghoa juga turut dalam perang Diponegoro. Dalam perang Jawa itu, tidak sedikit warga Tionghoa yang gugur dalam pertempuran. Pada masa itu Bojonegoro (Jipang) juga menjadi satu daerah yang diperebutkan oleh Pangeran Diponegoro dan Belanda. “Sebelum datangnya Belanda, ceritanya dulu yang datang cuma kaum laki-laki. Setelah itu pihak Belanda dengan berbagai cara dan bujuk rayu, menyuruh kami agar datang beserta istri. Dari sini muncul gelombang baru kedatangan warga Tionghoa ke sini. Gelombang inilah yang disebut dengan sin ke’, atau orang pribumi sini sering menyebutnya singkek. Yaitu keturunan asli warga Tionghoa, bukan pranowo atau campuran antara Chino dan Jowo,” terang bapak empat anak itu. Belanda punya andil besar mengkotak-kotakkan antara kampung arab, pecinan dan masyarakat pribumi di Bojonegoro. Tujuannya adalah agar mereka tidak bersatu menghimpun kekuatan untuk melawan Belanda. Kala itu
warga Tionghoa maupun Arab juga turut bahu-membahu melawan Belanda. Hingga korban yang gugur saat pertempuran sudah tak terhitung lagi. Hingga kini, tradisi yang masih dijaga dan selalu diperingati tiap tahunnya adalah tahun baru Imlek. Bahkan sejak pemerintahan presiden RI ke-5, Abdurrahman Wahid, Imlek telah menjadi hari libur nasional. Sehingga perayaan tiap tahunnya sungguh terasa, tak ubahnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada perayaan tahunan yang identik dengan warna merah itu, berbagai tradisi asal Tiongkok dilaksanakan. Salah satu tradisi itu adalah pertunjukkan barongsai dan leyangleyong. Selain itu juga banyak lampion dipasang di depan-depan rumah warga Tionghoa. Di momen ini nuansa peradaban Tionghoa sungguh terasa. “Yang pasti dinanti-nanti oleh anak-anak ya bagi-bagi angpao itu. Sebetulnya tradisi tersebut asli berasal dari sana. Cuma pada perkembangannya mengalami penyempitan, yang dapat jatah angpao biasanya yang masih memiliki hubungan keluarga seperti anak, cucu, dan ponakan-ponakan. Bahkan pada perayaan Idul Fitri sekarang juga demikian to,” paparnya. Kelenteng Jadi Tempat Berkumpul Setiap kali perayaan Imlek, warga keturunan Tionghoa di Bojonegoro selalu berkumpul di Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Hok Swie Bio. Di kelenteng inilah mereka sering berkumpul dalam berbagai acara. Dan untuk acara-acara tertentu, selalu di ditandai dengan atraksi barongsai. Salah satu kegiatan yang banyak menyedot banyak pengunjung, selain Imlek adalah pada waktu ulang tahun kelenteng, yakni pada bulan Maret. Setiap perayaan ini, sejak pagi hingga siang, kesibukan tampak dalam kelenteng. Pengurus kelenteng dan pengunjung yang ingin bersembahyang bersama tampak hilir mudik dalam menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan ibadah. Sedang, perayaan paling dinanti
oleh warga keturunan Tionghoa adalah hari raya Imlek. Pengurus Klenteng Hok Swie Bio Bojonegoro selalu sudah mulai mempersiapkan perayaan tahun baru, yang pada tahun 2014 tahun Imlek 2565 jatuh pada 31 Januari 2014, ratusan lampion berwarna merah dipasang. “Sekitar 100 buah lampion untuk menerangi jalan menuju klenteng dipasang,” ujar Ketua Pengurus Yayasan Tri Dharma Klenteng Hok Swi Bio Bojonegoro, Go Kian An waktu itu. Klenteng Hok Swie Bio yang beralamat di Jalan Jaksa Agung ini setiap tahun merayakan Imlek. Kini semakin cantik dengan didominasi warna merah yang khas dengan atribut Tionghoa. Pemasangan lampion menjadi kegiatan rutin. Kebetulan lampion yang dipasang baru datang dari Semarang. Keberadaan lampion tidak dapat dipisahkan dari tradisi perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Lampion menjadi semacam atribut budaya yang menandai peralihan tahun. Imlek kurang terasa meriah tanpa kehadiran lampion yang menghiasi sudut-sudut jalan, kelenteng, dan rumah-rumah warga. Bagi warga Tionghoa Imlek memiliki makna filosofis pengharapan, bahwa di tahun yang akan datang diwarnai dengan keberuntungan, rezeki, dan kebahagiaan. Lampion berdiameter 60 cm dipasang didalam sampai halaman klenteng. Libatkan Warga Lokal Salah satu ibadah di kelenteng yang mengikutsertakan warga lokal adalah Sembahyang Rebutan. Dalam acara ini, ratusan warga sekitar kelenteng (meski bukan keturunan Tionghoa) ikut berdesakan dan menaiki panggung setinggi satu meter tempat diletakkannya sesaji untuk berebut. Tidak hanya orang dewasa, banyak anak-anak dan perempuan ikut berdesak-desakan agar mendapatkan aneka sesaji. Seorang warga, Pipit (45) menuturkan pengalamannya ikut dalam acara Sembahyang Rebutan pada Agustus lalu dan ia senang.[*]
banyak sumur tua, dan di Lapangan Tua Cepu, totalnya ada sekitar 400 sumur lebih. Selain dikelola sendiri, Pertamina EP juga menggandeng mitra Koperasi Unit Desa (KUD) untuk sumur-sumur yang sudah tidak diusahakan karena kurang ekonomis.
TAMBANG minyak di Kecamatan Kedewan, terutama di Desa Wonocolo sudah ada turun temurun dan diwariskan oleh leluhur
blokBojonegoro/Muharrom
“Lantung” Jadi Simbol Perlawanan Rakyat
Sejarah minyak di Lapangan Tua sekitar Kecamatan Kedewan dan Malo, tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan tempo dulu. Karena, dua kali penjajah Belanda dan Jepang mengoyak ketentraman warga. Secara turun temurun, tokoh setempat mengenal cerita dari nenek moyang.
S
Laporan: Parto Sasmito, Muhamad Fatoni, Nanang Fahrudin
ejarah mencatat, keberadaan minyak atau sumber energi menjadi daya tarik tersendiri bagi penjajah. Baik Belanda maupun Jepang. Namun, dari cerita rakyat setempat, jika “lantung” begitu warga menyebut minyak mentah sudah ada jauh sebelumnya. Tetapi, sumber di lapangan cukup minim dan salah satunya tersisa Mbah Sabari, warga RT 07/RW 03, Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Bojonegoro. Selain di Wonocolo, sumber lantung juga terdapat di wilayah Gebangan, Desa Hargomulyo dan Desa Beji. Ketika masa penjajahan berlangsung, Belanda yang menuju ke wilayah Cepu sempat singgah di sekitar Wonocolo. Tidak melalui darat, melainkan menggunakan jalur Bengawan Solo yang berada di sekitar Kecamatan Kasiman sebagai transportasi. “Saya hanya mendapat cerita dari kakek-buyut mengenai lantung di Wonocolo. Namanya saja lantung, jelas disini sudah ada sebelum penjajah,” terang Mbah Sabari kepada blokBojonegoro. Dari sumber sejarah dan literasi
yang digali, lantung pertama diketahui ditengarai sebelum 1870. Tetapi, secara arsip terdata saat berbagai pemindahan kekuasaan, kekayaan minyak di Lapangan Cepu (Bojonegoro/Jawa TimurBlora/Jawa Tengah) ditemukan oleh Adrian Stoop, ahli pertambangan Pemerintah Hindia Belanda, sekitar tahun 1880. Penjajah saat itu mendirikan perusahaan minyak Dordstche Petroleum Maatschapij (DPM) guna mengerjakan ladang minyak di Cepu tahun 1888. Konsesi minyak di Lapangan Cepu ini bernama Panolan dan sumur Ledok-1 dibor bulan Juli 1893. Setelah itu awal tahun 1900an DPM menemukan rembesanrembesan minyak di Nglobo, Semanggi, Kawengan dan Wonocolo, Kabupaten Bojonegoro. Tahun 1911 pengelolaan Lapangan Cepu beralih ke Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM). Selama 31 tahun, BPM menguasai pengelolaan minyak Cepu dan tercatat sebagai pengelola terlama sepanjang sejarah. Kegiatan BPM berakhir setelah Jepang menduduki Nus-
antara pada tahun 1941-1945 dan BPM mengambail alih lagi pada tahun 1945-1948. Memasuki era kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mewarisi 136 sumur minyak di Lapangan Cepu. Sebanyak 129 di antaranya berada di wilayah Kawengan dan mulai tahun 1948 hingga sekarang pengelolaan lapangan minyak Cepu beralih tangan delapan kali. Mulai dari Perusahaan Tambang Minyak Nasional RI (1948-1958), Administrasi Sumber Minyak, Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia, PN Permigan (1958-1965), Pusdik Migas (19661978), Pusat Pengembangan Tenaga Perminyakan dan Gas Bumi (PPTMGB/1978-1984) hingga PPT Migas (1984-1988). Mulai tahun 1988, pengelolaan lapangan minyak Cepu, diluar Blok Cepu, khususnya sumur tua di WKP Ledok, Semanggi, Nglobo dan WKP Kawengan dikelola oleh Pertamina. Tepatnya PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (Pertamina EP) Region Jawa Field Cepu. Sampai saat ini, proses pengelolaan juga masih berlangsung di
Lawan Penjajah “Nek enek wong sak jagat yen nduwe lentung, yo kuwi mung WonocoloHargomulyo. Mergo kabeh wes wek’e Londo (Kalau ada orang se-dunia memiliki lantung atau minyak mentah, hanya orang WonocoloHargomulyo. Karena, semua sudah dimiliki Belanda/orang asing).” Petikan kata-kata di atas itu masih sangat diingat oleh Mbah Sabari. Ia memperkirakan jika umurnya di atas 83-an tahun. Namun, dari segi kualitas ingatan, bapak dengan 10 anak tersebut masih cukup kuat. Bahkan, ia bisa bercerita berjam-jam mengenai ikhwal lantung dan perjuangan rakyat Wonocolo melawan penjajah. Mbah Sabari semasa baru berumah tangga, sering mengantar mertua, Weni Harjo dan Lurah Wonocolo ketika itu, Sukiban, berangkat ke Kawedanan Padangan. Di catatannya buku harian yang dimiliki, tepatnya 10 April 1958, sejarah mempertahankan hak pengelolaan sumur-sumur di Lapangan Tua dimulai. Sebab, ada empat orang dari wilayah Cepu, masing-masing Kasilan, Wiji Kasiyan, Sriyono dan Mutohir, yang ingin merebut hak pengelolaan dari warga. “Perundingan dilakukan beberapa kali, tetapi masih tidak membuahkan hasil di Kawedanan Padangan. Akhirnya sampai di Pemkab Bojonegoro,” katanya dengan logat Bahasa Jawa kental. Hingga tahun 1989, melalui Bupati Raden Soejitno (sesuai dengan data di buku sejarah Kabupaten Bojonegoro tahun 1988) dan Wakil Bupati Probo Hadi Kusumo, terjadi kesepakatan dan dibuatkan Surat Keterangan (SK) mengenai pengelolaan minyak tua diserahkan kepada warga. Sebab, Weni Harjo dan Sukiban membentuk Persatuan Rakjat Desa Hargomuljo-Wonotjolo “Sumber Redjeki”. “Kebetulan, kordinator lapangan mertua saya, Mbah Weni. Kemanapun ia pergi dan melakukan perundingan, baik ke Padangan atau kabupaten, pasti saya yang mengantarnya,” jelas kakek dari 22 cucu tersebut. Saat banyak orang mempertanyakan sejarah pengelolaan minyak tua disini, dirinya siap menjawab dengan sebenar-benarnya dan bukti bisa dicek ke lapangan. “Seangkatan saya sudah pada meninggal semuanya, melawan penjajah dari tanah minyak sudah turuntemurun,” katanya. [*]
Wawancara Eksklusif
Lebih Percaya Legenda daripada Sejarah
BOJONEGORO tengah mengalami masa salah kaprah. Beberapa hal terkait sejarah dan asal mula Kota Ledre kurang dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Bahkan, tak jarang masyarakat lebih bangga dengan segala hal yang berbau mitos, se-perti Angling Dharma. Padahal, Bojonegoro memiliki sejarahnya yang harus dipahami oleh masyarakatnya, terutama generasi muda. Sebuah upaya penelusuran atas sejarah Bojonegoro, bagaimana pun bentuknya patut diberi acungan jempol. Wacana mengakrabkan sejarah lokal kepada anak-anak perlu mendapat perhatian agar sejarah akan selalu dipahami, bukan dilupakan. Berikut petikan waw-
ancara reporter blokBojonegoro (bB) Nasruli Chusna dengan JFX. Hoery (JH), seorang budayawan yang sejak lama konsen di wilayah sejarah lokal Bojonegoro. Ia cukup disegani di lingkung pegiat budaya dan sejarah. bB: Di mana sih letak kota tua Bojonegoro itu? JH: Bisa dibilang secara kasarnya ya nggak ada. Mengenai Kecamatan Padangan yang diwacanakan menjadi kota tua Bojonegoro mungkin karena di sini (Padangan, red) masih ada beberapa bangunan tua, yang disinyalir merupakan peninggalan Belanda. Padahal data terperinci dan akurat tentang bangunan-bangunan itu hingga sekarang belum terurai. bB: Kalau bukan di Padangan, lalu dimana lagi? JH: Semestinya kalau bagi saya nggak cuma di Padangan. Karena masih banyak temuantemuan cagar budaya lain di Bojonegoro, seperti di Kecamatan Baureno. Keputusan menjadikan Padangan sebagai kota tua Bojonegoro sendiri agaknya kurang tepat, karena kalau merunut sejarah wilayah kekuasaan Jipang tak hanya Bojonegoro, melainkan sampai Cepu (Blora). Desa Jipang sendiri hingga sekarang masih ada di Kecamatan Cepu. bB: Tugas siapa
untuk mengurai sejarah itu? JH: Siapa lagi kalau bukan pemerintah. Dalam hal ini ya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Karena selama ini informasi yang beredar di masyarakat kan simpang-siur. Banyak versi. Dan kita butuh satu tempat pasti, yang dapat kita jadikan sebagai rujukan. Meski ada komunitas yang bergerak mengumpulkan data-data ini, namun Disbudpar-lah yang paling berpotensi dan berwenang. bB: Nama Bojonegoro sendiri, apa maknanya? JH: Berdasarkan legendanya ada yang bilang seperti ini, Bojonegoro itu berasal dari kata bejono yang artinya kerbau. Dimana waktu itu Bupati yang berkuasa bernama Raden Tumenggung (R.T) Joyonegoro. Jadi Bojonegoro itu artinya kerbaunya Joyonegoro. Riwayat lain mengatakan bahwa Bojonegoro berasal dari dua kata yakni bojo dan negoro. Bojo maksudnya bersenang-senang, berarti Bojonegoro itu negara yang bersenang-senang. Di mana kala itu R.T. Joyonegoro, Bupati Rajekwesi, sedang merayakan kemenangan atas pemberontakan R. Sosrodilogo. jadi bisa dibilang juga Bojonegoro itu pestanya R. T. Joyonegoro. bB: Lalu dimana letak kerajaan Rajekwesi itu? JH: Di Ngumpakdalem. Karena usai merayakan kemenangan atas berbagai pemberontokan, Joyonegoro memindahkan pemerintahan Rajekwesi ke Bojonegoro yang sekarang. Sekaligus mengubah namanya menjadi Bojonegoro. bB: Tentang Angling Dharma dan Malawapati? JH: Itu kan legenda. Jadi salah besar jika menghubungkan sejarah Bojonegoro dengan cerita tentang kerajaan Malawapati dan Angling Dharma. Dalam ceritanya pun disebutkan tak pernah sekalipun Angling Dharma berkuasa di Bojonegoro atau disebut Malawapati itu. Malahan dalam cerita yang pernah berkuasa itu anaknya, yakni Angling Kusuma. Di daerah lain seperti Banten malah lebih parah, karena ada prosesi upacara kejawennya lengkap. Di Banjarnegara, Jawa
Tengah, juga demikian. Ini kan mesti kita pertanyakan, masa kita mengacu atau berpijak pada cerita legenda, bukan fakta. bB: Itukah alasan menentang Malawapati sebagai nama Pendopo Pemkab? JH: Tentu saja saya sangat menentangnya. Satu sisi karena nama tersebut tidak mempunyai filosofi yang jelas. Saya malah lebih sepakat dengan nama yang dulu, Griya Dharma Praja yang berarti rumah para abdi negara. Dengan begitu kan filosofinya jelas dan sangat tepat. Karena di sanalah tempat para abdi Negara berkumpul. Ada pengalaman menarik. Satu ketika ada dua orang datang kemari, kalau tidak salah mereka mengaku beralamat di Jalan Gajah Mada Bojonegoro. Mereka datang dengan membawa sebilah keris. Katanya keris tersebut merupakan peninggalan dari Prabu Angling Dharma. Sementara saya dibilang masih keturunan Angling Dharma. Pada akhirnya mereka meminta saya memiliki keris itu dengan membayar sejumlah mahar. Dari sini kan jelas apa motifnya, intinya mereka mau jualan. Kalau Angling Dharma dari Bojonegoro, saya sendiri kan bukan asli Bojonegoro. Oleh karena itu harus ada pelurusan di sana-sini terkait hal ini. bB: Mulai dari mana meluruskannya? JH: Pertama-tama tentu dimulai dari diri sendiri. Sudah jadi rahasia umum bahwa kepercayaan terhadap mitos masih sangat tinggi. Makanya kebanyakan masyarakat kita lebih bangga dengan legenda Angling Dharma daripada uraian sejarahnya. Bisa kita tes, orang sini lebih hafal cerita Angling Dharma atau kerajaan rajekwesi. bB: Lalu, bagaimana kita bisa memahami sejarah Bojonegoro? JH: Sebagai masyarakat modern semestinya kita lebih percaya sejarahnya. Bukan cerita legendanya, betul ndak? Dengan memahami sejarah kita bisa tahu asal muasal kita. Dengan hanya percaya legenda kita cuma dapat cerita. Tak ubahnya seperti menonton film atau sinetron, gunanya hanya untuk mendapatkan hiburan. [*]
Program Pertamina EP Asset 4 Field Cepu
Berdayakan Masyarakat dengan Kripik Buah
Tanaman buah di sekitar rumah bisa memberi manfaat besar bagi masyarakat. Seperti yang dilakukan warga Desa Banyuurip, Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban yang memanfaatkan buah-buahan menjadi Kripik Buah. Setiap hari, mereka mampu memproduksi 25 kilogram - 30 kilogram untuk dipasarkan ke Pertamina dan ke kecamatan. Laporan: Parto Sasmito
Kripik yang selama ini banyak dijumpai di pasaran rata-rata adalah kripik pisang ataupun kripik singkong dan ketela. Namun, warga Senori memiliki aneka kripik. Seperti kripik pepaya, kripik melon, kripik salak, dan kripik nangka. Aneka kripik buah tersebut bisa didapatkan di Di Desa Banyuurip,
Kecamatan Senori. Ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Srikandi seteiap harinya memproduksi kripik dari beraneka macam buah. Ketua KUB Srikandi, Supriyati menjelaskan awal mula produksi kripik tersebut dimulai sekitar tahun 2013 silam. Saat itu, warga mendapatkan pelatihan pembuatan kripik dan pendampingan administrasi dari Pertamina EP Asset
4 Field Cepu. “Kalau bapak-bapaknya tentang biogas, ibu-ibu mengajukan untuk pembuatan kripik buah. Setelah pelatihan selama satu minggu, kita langsung produksi sampai saat ini,” ungkapnya. Jumlah anggota dalam KUB Srikandi ada 20 orang, namun hanya 12 orang yang fokus mengerjakan produksi kripik di desa tersebut. Sedangkan sisanya menangani bidang yang lain. Nah, sebanyak 12 anggota yang terdiri dari ibu-ibu itu bergantian memproduksi kripik di rumah khusus produksi. Rumah itu direhab atas bantuan Pertamina EP Asset 4 Field Cepu. Di rumah produksi itulah, warga mampu memproduksi 25 kg hingga 30 kg setiap harinya. “Kelompoknya kita bagi. Setiap hari 3 orang yang bekerja di sana, mulai pukul 08.00 WIB hingga 15.00 WIB,” jelas wanita yang biasa disapa Bu Pri ini. Memang, produksi kripik tidak bisa dipastikan jenisnya. Karena setiap hari kripik buah yang diproduksi berbeda-beda, tergantung dari buah apa yang disetorkan oleh masyarakat sekitar. Misalkan pada saat musim buah pepaya, maka produksi juga kripik pepaya, begitu juga dengan buah-buah yang lain. Harga beli bahan pun bebedabeda tergantung dari musimnya. Seperti pepaya, biasanya dari KUB membeli dengan harga Rp 12.000 per kilogramnya, kalau sedang musimnya satu buah bisa Rp5.000 dengan berat 3 kg. Begitu juga dengan buah nangka, pernah sampai Rp50.000 per kilogramnya. “Adanya buah apa, ya itu yang kita produksi,” tegasnya. Namun produksi kripik tidak hanya berbahan buah saja, karena ada juga kripik dengan bahan tape. Bahkan jika tidak ada buah, produksi dengan tape menjadi alternatif andalan yang dilakukan. Selain harga belinya murah karena rata-rata di desa tersebut penghasil tanaman singkong dan ketela, keuntungan yang didapatkan juga besar. Menurut Supriyati, pernah suatu kali dengan membeli satu rinjing tape seharga Rp80.000, setelah jadi kripik bisa laku den-
gan mendapat keuntungan hingga Rp200.000. Keuntungan besar itu dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, untuk pembuatan kripik buah sendiri tergolong cukup mudah. Yakni buah-buahan yang dijadikan bahan dikupas terlebih dahulu kulitnya, khusus buah pepaya serabut halus di dalamnya juga dibersihkan dan dicuci, kemudian diiris-iris sesuai dengan ukuran, dan direndam dengan minyak. “Kripik buah ini alami tanpa pewarna, pemanis buatan atau juga pengawet, karena langsung dari buahnya tanpa ada bahan tambah apapun,” terang ibu tiga anak ini. Selesai divakum (direndam), kemudian bahan kripik disiler atau disaring agar minyak turun. Setelah kering, kripik langsung dikemas agar tidak memes, karena ada pengalaman, pernah dialami oleh wanita yang tinggal di RT 1 RW 3, ketika kripik tidak segera dikemas, dalam proses produksi merugi sampai Rp 70.000 karena memes. Modal dari Pesanan Permodalan dalam usaha produksi kripik yang dikerjakan oleh KUB Srikandi awalnya dari pesanan oleh Pertamina EP Asset 4 Field Cepu. Untuk keperluan acara dibayarkan lebih oleh Pertamina. Dari pembelian itulah uang terus diputar. Selain itu terkadang juga meminjam modal dengan pihak yang lain, karena permasalahan yang terjadi ketika proses produksi membutuhkan minyak, sedangkan kripik yang dititipkan di toko belum habis, mau tak mau kadang mereka juga memakai uang pribadi untuk mengatasinya. Meskipun terkadang ada kesulitan dalam permodalan, namun ke depan mereka komitmen untuk lebih mandiri dengan mengandalkan iuran bersama untuk kepentingan produksi. “Sempat ditawarkan pinjaman modal dari Pertamina, tapi kita sadar kita tidak mau selalu tergantung, untuk itu ke depan kita akan adakan iuran bersama agar lebih baik dan maju lagi,” jelas Supriyati. [*]
Batik Jonegoro di Indonesia Eksistensi Batik Jonegoro tidak hanya dikenal oleh masyarakat Bojonegoro saja, namun sudah merambah ke kancah nasional. Bahkan yang membanggakan, salah satu motif Batik Jonegoro digunakan baju resmi Konferensi Anak Indonesia (KAI) pada 27 Oktober 2014. Laporan: Joel Joko, Nidhomatum, MR
K
etua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bojonegoro, Mahfudhoh Suyoto mengtakan, dari 14 motif batik yang menjadi hasil karya pengrajin Bojonegoro akan dijadikan pakaian resmi KAI di Jakarta. Istri Bupati Suyoto ini pun mengaku bangga luar biasa. “Meskipun Batik Jonegoro terbilang baru jika dibandingkan batikbatik yang sudah memasyarakat, namun mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pakaian resmi Konferensi Anak Indonesia,” ungkapnya senang. Harapan terbesar Pemerintah adalah dengan ajang nasional ini maka Batik Jonegoro akan semakin mendapatkan perhatian dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia bahkan kalangan internasional. Sepertinya tidak ada kata sia-sia terkait ide pembuatan batik ini. Sejak dikenalkan beberapa tahun lalu, batik mendapatkan perhatian dari semua kalangan, mulai
pelajar, pegawai baik negeri dan swasta, serta masyarakat umum. “Perkembangan batik menunjukkan usaha yang semakin prospektif. Kini unit usaha kerajinan batik tersebar hampir di seluruh wilayah Bojonegoro,” sambungnya. Tidak saja batik, industri turunan dengan motif batik juga mengalami perkembangan yang menjanjikan. Seperti usaha sablon Jonegaran, kerajinan dan lain sebagainya. Keberadaan industri batik ini selain menyerap tenaga kerja juga memberikan kontribusi lain, yakni meningkatnya pendapatan dan perekonomian khususnya kaum wanita Bukan hanya batik yang terlibat langsung di ajak tahunan tersebut, Mahfudhoh Suyoto terpilih menjadi pembicara pada KAI 2014 yang diselenggarakan di Wisma Makara Universitas Indonesia, Jakarta. “Semua peserta KAI menggunakan Batik Jonegoro, saya ikut bangga,” ujar Kabag Humas dan Protokol Pemkab Bojonegoro,
blokBojonegoro/M. Yazid
PENGRAJIN bati tengan menunjukkan salah satu motif Batik Jonegoroan
Hari Kristianto. Ditambahkan Hari, anak-anak perserta kongres antusias bertanya dengan lugu tapi penuh syarat kepada Bu Yoto, panggilan akrab Mahfudhoh. Untuk diketahui KAI tahun 2014 yang pada tahun ini mengangkat tema “Aksi Kecil Hidup Bersih “ diikuti oleh 36 peserta delegasi yang merupakan perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia. Batik Jonegoro sengaja dipilih sebagai pakaian resmi dalam KAI karena sekar jati adalah simbol tekad kuat, pengorbanan dan ke-
berhasilan melakukan perubahan menuju perilaku sanitasi yang baik. Perkembangan Batik Jonegoroan menunjukkan tren yang positif, seiring waktu kini motif berkembang menjadi 14 motif di antaranya mengusung tema tentang potensi agro Bojonegoro seperti tanaman Belimbing, Salak, Mangga, Pisang dan Rosela. Ditambahkan, batik ini menjadi warisan budaya yang memiliki nilai estetika tinggi yang merupakan mahakarya yang diwariskan oleh generasi terdahulu. [*]
Joint Operating Body Pertamina East Java (JOB P-PEJ)
Libatkan Ribuan Warga, Gelar Simulasi Bencana
PEJABAT dari berbagai instansi foto bersama sebelum kegiatan simulasi berlangsung (kiri). Di sebelah kanan proses pemadaman berlangsung ketika simulasi dimulai.
Kegiatan industri minyak dan gas bumi (migas) sangat berpotensi pada kegagalan teknologi industri. Dampaknya bisa merugikan warga dan lingkungan sekitar proyek. Guna mengantisipasi hal itu, Joint Operating Body Pertamina East Java (JOB P-PEJ) menggelar simulasi bencana agar semua pihak selalu siaga bencana. Laporan: M.Yazid/Parto Sasmito
Bekerjasama dengan Komandan Distrik Militer (Kodim) 0813 Bojonegoro, operator minyak dan gas bumi (migas) Lapangan Sumur Sukowati, JOB P-PEJ menggelar simulasi bencana kegagalan teknologi dengan melibatkan 1.051 warga sekitar. Komandan Kodim 0813 Bojonegoro, Letkol ARH Sjahrir Rijadi yang ikut memimpin simulasi mengatakan, para peserta terdiri dari sebanyak 71 orang Kodim, 71 personil Polres Bojonegoro dan 25 orang berasal dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Bojonegoro. “Juga 17 orang dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan lima orang dari masing-masing kecamatan. Yakni Kecamatan Kota dan Kapas,” ungkapnya. Simulasi diawali apel pasukan Satlak di halaman Stadion Letjen H. Soedirman Bojonegoro.
Tampak juga lima peserta dari Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo), 15 peserta dari Dinas Perhubungan (Dishub), 12 orang sopir umum Dishub, 14 orang dari. Palang Merah Indonesia (PMI), 14 orang dari Dinas Kesehatan (Dinkes), 30 tim internal JOB P-PEJ, 5 orang dari Badan Lingkungan Hidup (BLH), dan masing-masing enam orang dari Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial (Disnakertransos) dan Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpolinmas). Dalam simulasi bencana tersebut juga melibatkan masyarakat Desa Ngampel, Campurejo dan Sambiroto, di mana desa-desa tersebut masuk dalam ring di Well Pad A dan Pad B Sukowati. Peserta dari masing-masing desa tersebut sejumlah 250 orang. “Total keseluruhan peserta adalah 1.501 orang,” terang Sjahrir. Bertempat di Well Pad B yang menjadi lokasi latihan, kegiatan meliputi simulasi kebocoran gas di Pad A dan Pad B Lapangan Sukowati, serta proses mengamankan dan mengevakuasi warga dari lokasi bencana. Letkol ARH Sjahrir Rijadi mengatakan bahwa salah satu bencana yang muncul dari aktivitas pengelolaan migas adalah munculnya gas Hidrogren Sulfida (H2S), yakni gas racun yang bisa melumpuhkan sistem pernafasan dan dapat membunuh hanya dalam hitungan menit. Gas ini berbahaya karena
tidak mempuyai warna sehingga sulit terdeteksi oleh mata. Untuk mengetahui gas H2S, membutuhkan sebuah detektor dan sensor, tetapi gas ini mempuyai bau busuk sepert telur busuk. “Jika nanti muncul gas H2S, satlak harus bisa mengamankan dan merelokasi masyarakat dengan cepat,” sambungnya. Kegiatan simulasi bencana sendiri dpusatkan di tiga titik sesuai wilayah operasi JOB P-PEJ. Tepaynya di sekitar Lapangan Sukowati, yakni Desa Ngampel, Sambiroto dan Campurejo. Simulasi ini merupakan penanggulangan di lokasi, di mana tim-tim satlak membantu masyarakat membuat dapur umum untuk warga pengungsi. “Tujuannya melatih dan meningkatkan kemampuan satlak, apabila ada kejadian bisa dengan sigap bekerja. Bagi masyarakat bisa melatih diri mereka, yakni apabila terjadi bencana mereka sudah paham dan tidak bingung,” jelas Sjahrir. Di lokasi lapangan Sukowati yang dikelola JOB P-PEJ memang tidak ada bencana menonjol. Namun, meski begitu, sebagai langkah antisipasi perlu dilakukan simulasi agar selalu Siaga Bencana. Bagikan Masker pada Guru dan Siswa Siaga bencana tidak berakhir di hari itu saja. Melainkan selalu diterapkan pada hari-hari kapanpun. Diantaranya, pada sekitar
blokBojonegoro/M. Yazid
dua minggu setelah simulasi, bau menyengat tercium dari sekitar lokasi Pad B Lapangan Sumur Sukowati yang dikeluhkan warga sekitar, khususnya siswa siswi dan guru SDN Ngampel. Akibatnya pihak sekolah memulangkan siswa lebih awal karena takut kalau ada yang pingsan. Waktu itu, Field Manager JOB P-PEJ, Junizar H Dipodiwirjo langsung memberi respon dan menjelaskan bahwa bau menyengat tersebut berasal dari rangkaian well test SKW 28 yang baru dibor. Lalu dilakukan pelepasan sumbatan di formasi yang menyebabkan minyak tidak mau keluar dengan injeksi gas nitrogren tekanan tinggi, yang kemudian dilepas ke flare. “Bau menyengat dipastikan bukan gas beracun, karena sudah dicek dengan gas detector,” ungkapnya. Junizar menambahkan, di flare tidak ada api karena gas nitrogren yang keluar (non flamable). Kemungkinan bau menyengat tersebut berasal dari campuran air dan garam yang sudah lama ada di sumur sedalam lebih dari 7.000 feet. “Uji sumur ini jelas bukan pertama kali dilakukan JOB PPEJ. Warga pun sudah paham dengan kegiatan uji kandungan potensi Migas yang menjadi salah satu sumber Dana Bagi Hasil bagi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan sumber penting pendapatan negara atau APBN. Kita telah sering sosialisasi ke warga,” tambahnya.[*]
Pertamina EP Cepu (PEPC)
Droping Air untuk Warga Musim kemarau yang melanda wilayah Bojonegoro menjadi bencana tahunan, karena berdampak pada kekeringan di sejumlah wilayah. Pertamina EP Cepu (PEPC), sebagai operator lapangan gas JambaranTiung Biru (J-TB) punya langkah tersendiri untuk membantu warga yang kekeringan. Yakni melakukan dropping air bersih kepada masyarakat di wilayah operasinya. Laporan: Parto Sasmito
Musim kemarau tahun ini lebih lama dari pada sebelumnya. Hingga Oktober lalu, hujan belum turun mengguyur wilayah Kabupaten Bojonegoro, sehingga kekeringan melanda sebagian besar wilayah penghasil minyak, tak terkecuali di desa-desa yang berada di wilayah operasi Pertamina EP Cepu (PEPC) di sekitar lapangan gas Jambaran - Tiung Biru (J-TB). Salah satu desa tersebut adalah Desa Kuniran, Kecamatan Purwosari. Akibat kekeringan, banyak warga yang mengeluh karena kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Sumur warga yang menjadi sumber air bersih banyak mengering. Untuk mencukupi kebutu-
han air, banyak warga yang terpaksa dengan berat mengambil air dari sumber yang berjarak ratusan meter dari pemukiman, yakni di sumur yang berada di pinggir jalan raya Purwosari-Tambakrejo. Di sana, mereka mengambil air dengan menggunakan drum dan jeriken yang diangkut dengan motor. Salah satu warga Kuniran, Dami mengatakan sejak dua bulan terakhir ini, ia dan warga lainnya, kesulitan mendapat air bersih guna memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak, mencuci dan minum. Sumur sedalam 15 meter yang ada di samping rumahnya juga telah mengering. “Saat kemarau, warga sini menjadi langganan kekeringan,” ujarnya lirih. Dami menambahkan, untuk bisa mendapatkan air, ia terpaksa mengambil air di sumber mata air bor yang ada di dekat jalan raya jurusan ke lapangan sumur TBR. Setiap pagi dan sore, ia bersama warga lain berbondong-bondinh mengambil air denhgan memikul jerikan atau drum bekas untuk menampung air. Lokasi mata air itu berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya. “Biasanya atau sebelum ini warga setempat mengambil air sesuai kebutuhan. Kalau saya sendiri bisa lima sampai enam jeriken setiap hari. Karena juga untuk minum sapi,” ungkapnya sermbari menunggu antrian warga yang lain
blokBojonegoro/Muhamad Fatoni
WARGA antre air yang disuplai PT Pertamina EP Cepu. Foto bawah, nenek-nenek ikut ambil air
sedang menimba air Selain krisis air untuk kebutuhan sehari-hari, kekeringan juga mengakibatkan warga untuk bercocok tanam. Lahan sawah warga kini juga dibiarkan tak tergarap.”Rata-rata sawah di sini tadah hujan, hanya ditanami saat musim hujan saja,” imbuhnya. Warga Kuniran lain, Patmin juga menuturkan hal yang tak jauh beda. Menurut dia, sumur gali miliknya sumbernya mongering. Setiap hari ia harus mengambil air dari sumber dengan jarak ratusan meter dari rumahnya. Air itu dibawanya menggunakan jerikan dan diangkut menggunakan sepeda ontel. “Setiap hari saya hanya mengambil empat jeriken, karena kebutuhan tidak terlalu banyak,” ucapnya sembari mengangkut air yang diletakkan ke rombong sepeda. Kondisi kekeringan yang berlangsung pada musim kemarau tahun ini cukup parah. Karena, di tahun sebelumnya sumber air tidak mengering seratus persen. “Tahun lalu sumur gali yang
disedot dengan penyedot air, kalau tahun ini malah tidak keluar airnya sedikitpun,” tandasnya. Dengan adanya keluhan dari masyarakat di Desa Kuniran tersebut, mendorong pihak PEPC untuk memberikan bantuan air bersih guna mengatasi permasalahan air bagi warga untuk mencukupi kebutuhan air setiap harinya. Koordinator pembagian air bersih di Desa Kuniran, Condro Lukito mengatakan dalam 2 hari - 3 hari sekali, mobil pengangkut air dengan kapasitas 5.000 liter datang ke desa tersebut. “Biasanya kita datang, masyarakat menyambut dengan jeriken yang mereka bawa untuk mengangkut air,” ujar Condro. Selain di Desa Kuniran, bantuan air bersih juga diberikan di Desa Kalisumber, Kecamatan Tambakrejo. Perangkat desa, Kasmijan, kekeringan juga melanda sebagian besar wilayah di desa tersebut. Sumur bor milik warga tidak bisa mengeluarkan air. “Di rumah saya pakai pompa listrik setengah jam nyala belum penuh,” jelas suami Kades Kalisumber itu.[*]
DAERAH YANG DISUPLAI AIR BERSIH PT PERTAMINA EP CEPU (PEPC) DESA
DUSUN
KECAMATAN
JUMLAH
Bandungrejo
Ngasem
Ngasem
5 tangki
Kali Glonggong
Ngasem
Gayam
5 tangki
Sumurpandan
Gayam
Gayam
4 tangki
Rt. 7, 8 Rw. 2
Kuniran
Purwosari
4 tangki
PEGIAT literasi yang tergabung di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di sekitar wilayah Blok Cepu tengah foto bersama
blokBojonegoro/Parto Sasmito
ExxonMobil Cepu Limited
Dorong Masyarakat Gemar Membaca dengan TBM
Tiga desa di Kecamatan Gayam, yakni Desa Begadon, Mojodelik dan Gayam saat ini tengah menggeliat dengan gerakan membaca. Gerakan itu dimulai dengan rintisan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang menjadi salah satu PKPO ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) di bidang pendidikan. Laporan: Parto Sasmito
Terik matahari di desa Begadon siang itu terasa sangat panas. Tak heran jika aktivitas luar rumah di desa yang terletak di Kecamatan Gayam tersebut tampak sepi. Namun ada yang berbeda di sebuah rumah di RT 10/RW 2 Desa Begadon. Rumah sekaligus Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera itu ramai dengan berbagai aktivitas. Di dalam ruangan utama, terdapat rak dan buku-buku. Anakanak berkumpul membaca buku yang ada di rak tersebut. Di ruangan yang lain, ada juga anak-anak sekolah dasar sedang mengikuti bimbingan belajar. Di sudut terpisah, ada beberapa remaja yang serius membaca novel. Selain membaca buku, warga yang mengunjungi TBM bisa mengakses internet melalui jaringan
nirkabel (Wi-fi). “Selain buku, fasilitas Wi-Fi juga kami pasang agar memudahkan pengunjung mengakses informasi melalui internet,” ujar Ketua Pengelola TBM Lentera Begadon, Rofiah Nur Aidah. Dia menuturkan, sebelum program rintisan TBM ini didirikan, memang sudah ada buku-buku, namun masih terbatas jumlahnya. Selain itu, kesadaran masyarakat akan membaca juga masih kurang. “Anak-anak lebih suka bermain dan menonton televisi daripada membaca, buku masih dianggap mahal bagi kebanyakan orang, dan perpustakaan jauh dari rumah,” papar wanita yang biasa disapa Bu Rofi ini. Kini ada Program Pengembangan Model Rintisan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang dilaksanakan ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). Koleksi buku di tempatnya pun bertambah banyak dan lebih variatif. “Dan mulai banyak pengunjung yang memanfaatkan fasilitas di sini,” imbuh Rofi. TBM Lentera juga menjadi tempat kegiatan belajar untuk siswa dan juga guru-guru desa setempat. Kedepannya, Rofi merencanakan untuk mengembangkan kantin di TBM yang dipimpinnya. “Saya berharap, dengan begini, lebih banyak warga yang tertarik untuk membaca di sini,” katanya. Berbagai kegiatan dan fasilitas
yang ada di TBM tersebut memang terus dikembangkan agar masyarakat lebih tertarik untuk berkunjung. Rofi yakin, secara tidak langsung hal tersebut akan meningkatkan minat baca masyarakat. “Kami berharap TBM ini bisa menjadi tempat yang menarik sebagai sumber belajar inspiratif bagi anak-anak dan masyarakat. Selain itu, gemar membaca juga bisa menjadi budaya di masyarakat,” ungkapnya. Gerakan Membaca Dalam melaksanakan Program Pengembangan Model Rintisan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), EMCL bermitra dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Society Education Centre (SEC). LSM asal Bojonegoro ini berkoordinasi dengan Pemerintah Bojonegoro dalam memberdayakan masyarakat agar gemar membaca. Tahun ini, program yang telah disetujui SKK Migas dan didukung oleh PEPC dan BKS ini dilaksanakan di empat TBM di Desa Gayam, satu TBM di Desa Mojodelik, dan satu di Desa Begadon. “Pendampingan sudah dimulai sejak awal tahun 2014 ini,” ujar ketua SEC, Edi Purwanto. Program diawali dengan mengundang perangkat desa, karang taruna, dan para guru di desa masing-masing desa. Mereka diajak untuk terlibat aktif dalam diskusi kelompok pengembangan TBM
di masing-masing desa. Diskusi membahas potensi desa, kehidupan sosial, dan buku-buku apa saja yang nantinya dibutuhkan masyarakat. Selain itu juga membahas tentang kegiatan apa saja yang bisa disinergikan dengan kegiatan yang ada di TBM masingmasing desa. Untuk peningkatan kemampuan pengelola TBM, pada awal Juli lalu telah dilakukan pelatihan dengan nara sumber pustakawan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Heri Abi Burachman Hakim. Selain itu, para pengelola juga diasah kemampuan menulisnya dengan diikutsertakannya mereka pada pelatihan menulis dan kemampuan jurnalistik, awal bulan lalu. Sementara itu Field Public and Government Affairs Manager EMCL, Rexy Mawardijaya menegaskan bahwa program ini merupakan bagian dari komitmen EMCL dalam mendukung peningkatan kualitas pendidikan di masyarakat. “Buku adalah jendela dunia, dan dengan membaca, wawasan akan semakin terbuka,” ungkapnya. Berawal dari pendidikan yang berkualitas, akan menciptakan generasi yang cemerlang dan hebat. “Dan tentunya, menjalankan operasi yang aman, efisien dan bertanggung jawab,” pungkas Rexy. [*]
SAPI untuk hewan kurban diberikan oleh operator Lapangan Tiung Biru, PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu kepada warga sekitar
blokBojonegoro/dok
Pertamina EP Asset 4 Field Cepu
Hewan Kurban untuk Warga Sekitar TBR spesial bagi Pertamina EP Asset 4 Field Cepu. Pada hari besar Islam itu, Pertamina EP Asset 4 Field Cepu memberikan beberapa ekor sapi sebagai hewan kurban kepada masyarakat di wilayah operasi lapangan minyak dan gas bumi (migas) Tiung Biru. Yakni warga Desa Kalisumber, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro; warga Dusun Tapen, Desa Sidoharjo, Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban; dan warga Kelurahan Mangkang Kulon, Kota Semarang. Hari Raya Idul Adha 1435 H yang jatuh pada tanggal 5 Oktober 2014, menjadi momentum untuk berbagi. Laporan: Parto Sasmito
Di lapangan migas Tiung Biru (TBR), wilayah operasi Pertamina EP Asset 4 Field Cepu di Desa Kalisumber, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, bantuan hewan kurban diberikan kepada panitia penyembelihan pada satu hari menjelang hari raya Idul Adha. Kasmijan, Koordinator pelaksanaan penyembelihan hewan kurban menjelaskan pemberian bantuan sapi dari Pertamina tersebut disaksikan juga oleh para kyai di desa setempat yang sekaligus didaulat menjadi panitia. “Saya minta para kyai untuk menjadi panitia, karena mereka tahu bagaimana yang terbaik,” ujar Kasmijan yang juga suami dari Kepala Desa Kalisumber. Pada hari raya Idul Adha tahun ini, Desa Kalisumber mendapat bantuan satu ekor sapi dari Pertamina EP Asset 4 Field Cepu dan satu ekor sapi dari Pertamina pusat, dan satu ekor kambing dari donatur.
Suasana meriah tampak saat warga selesai menjalankan sholat ied, dan panitia mempersiapkan peralatan untuk menyembelih hewan kurban. Lokasi dipilih di samping rumah kepala desa. Warga berbondongbondong ikut datang ke rumah kepala desa. Ada yang ingin menyaksikan dan ada juga yang ikut membantu melumpuhkan sapi agar bisa lebih mudah disembelih. Dari pelaksanann penyembelihan hewan kurban ini, tercermin budaya gotong royong warga. Mereka membagi tugas untuk mempercepat pendistribusian hewan kurban. Setelah sapi disembelih, ada warga yang bertugas menguliti, ada juga yang memotong daging. Selain itu ada juga yang membersihkan bagian dalam tubuh sapi, memotong daging kecil-kecil, menimbang dan membungkus, lalu mendistribusikan ke masyarakat sesuai dengan nama-nama
yang sudah ditentukan. Untuk sistem pembagian daging kurban, Kasmijan menyerahkan kepada kyai langgar (musala) agar membagi kepada warga sekitar musala untuk mempermudah pendistribusian. “Daging hanya diberikan kepada setiap rumah atau keluarga yang tergolong kurang mampu,” terang Kasmijan. Di Desa Kalisumber sendiri terdiri dari tiga dusun, yakni Kalipang, Jambe dan Kalikrikil. Dari 18 RT yang ada di desa tersebut, diakuinya tidak semua mendapatkan daging. Karena banyaknya warga di sana, tidak akan memungkinkan kalau semua mendapat bagian. Kalaupun dapat hasilnya juga tidak akan memuaskan. “Daging kita bagi menjadi 600 bungkus lebih, per bungkus ratarata beratnya sekitar 20 ons atau lebih. Kalau semua dapat malah tidak tampak hasilnya,” ujar pria yang tinggal di Dusun Kalipang ini. Untuk mengatasi hal tersebut, pihak panitia berjanji dan telah mengatur untuk tahun berikutnya, pembagian kurban akan dimulai dari warga yang belum menadapatkan jatah, agar pembagiannya juga adil, dan semua bisa merasakan manfaatnya. Sementara itu, di Dusun Tapen, Desa Sidoharjo Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban pembagian daging kurban dari bantuan hewan kurban berupa sapi oleh Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, khusus diperuntukkan di dusun tersebut. Kepala Desa Sidoharjo, Suyanto menjelaskan bahwa desa tersebut tahun lalu juga telah menerima bantuan yang sama dari pengelola sumur minyak yang ada di dusun tersebut. Namun bantuan itu diberikan untuk dusun lain, karena memang pembagiannya setiap tahun untuk dusun-dusun yang berbeda. “Untuk tahun ini diberikan di Dusun Tapen,” ungkapnya. Di Dusun Tapen sendiri terdapat 6 RT. Untuk pembagiannya diberikan tiap rumah atau keluarga yang perekonomiaannya kurang mampu. “Satu ekor sapi tersebut dibagi menjadi 300 bungkus dan satu bungkus rata-raya lebih dari 1 kilogram,” terang pria yang biasa disapa Yanto ini. Dengan bantuan sapi kurban dari Pertamina EP Asset 4 Field Cepu ini, diakui oleh Yanto cukup membantu warga Sidoharjo, khususnya Dusun Tapen. Karena tidak semua orang di desa tersebut mampu dan bisa berkurban sapi setiap tahunnya. “Kami berharap bantuan tersebut selalu ada setiap tahunnya. Karena ekonomi warga di sini rata-rata masih di bawah standar. Jadi jarang yang ada yang mampu untuk berkurban,” pungkasnya.[*]
Pelaksana proyek EPC 1 Banyuurip, PT Tripata Engineers and Constructors terus berupaya memberikan program kesehatan kepada masyarakat yang ada di sekitar proyek Minyak dan Gas Bumi (Migas). Sejak 29 September 2012 hingga Oktober 2014, program Tipatra Peduli Kesehatan Balita dan Manula terus diberikan untuk desadesa yang ada di Kecamatan Gayam dan sekitarnya.
Charity Clinic 2014 PT Tripatra
Peduli Kesehatan ke Balita dan Manula
Laporan: M. Fatoni / Parto Sasmito
Sedikit susah menemukan rumah Kepala Desa Ngraho, Kecamatan Gayam, Samat. Dari jalan raya harus memasuki gang untuk sampai di rumah yang berada di pemukiman warga di Dusun Bulu, desa setempat. Rumah itu sederhana, mempunyai tiga buah pintu yang terbuka lebar. Hampir keseluruhan dinding rumah terbuat dari papan, sementara lantai di dalam rumah dari cor. Di depan rumah terpampang banner putih, dengan ukuran panjang 2 meter dan lebar 1 meter, bertuliskan Tripatra Peduli Kesehatan Balita dan Manula, Charity Clinic 2014 Banyuurip Project EPC 1-Production Processing Facilities. Tampak, warga begitu ramai berdatangan dan berjubel, terutama ibu-ibu yang menggendong anak. Selain itu juga orang lanjut usia (manula). Mereka antre mendaftar untuk mengikuti layanan kesehatan yang diberikan oleh PT Tripata. Kepala Desa Ngraho, Samat menjelaskan, bahwa di rumahnya tersebut sedang berlangsung program layanan kesehatan yang diselenggarakan PT Tripatra. Kepala desa yang baru menjabat di tahun 2014 ini mengaku baru pertama kali di masa kepemimpinannya program itu dilaksanakan. Namun sebelum dirinya menjadi kepala desa, program itu sudah diberikan sampai 4 kali sejak tahun 2012 dulu. Program tersebut diberikan bergantian di setiap dusun di desanya. Dari tiga dusun yang ada di Desa Ngraho, yakni Dusun Bulu, Dusun Bringan dan Dusun Ngraho, program tersebut baru pertama kali dilaksanakan di Dusun Bulu. “Total sudah 5 kali diberikan di Desa Ngraho ini, namun di dusun ini baru pertama kali,” ungkapnya. Adapun tempat pelaksanaan program dari dulu sudah terbiasa di rumah perangkat-perangkat desa di setiap dusun. Hal tersebut dikarenakan memang sasarannya untuk satu dusun. Selain itu
ANGGOTA medis tengah memeriksa salah satu lansia atau manula saat pengobatan gratis yang dilakukan PT Tripatra
juga untuk lebih mengakrabkan antara perangkat desa dan masyarakat. “Kalau di balai desa itu program untuk satu desa. Dan justru kurang banyak peminatnya,” papar pria 41 tahun tersebut. Penyelenggaraan di Dusun Bulu itu, Samat mengatakan, tidak menutup kemungkinan warga dari dusun lain juga ada yang datang untuk ikut memanfaatkannya. Karena informasi dari orang ke orang dengan istilah getok tular bisa mengundang warga lain untuk datang. “Karena program ini sangat bermanfaat untuk masyarakat, banyak yang ingin mendaptakan layanan. Kami berharap program seperti ini terus berlanjut dan sering diberikan di desa,” kata pria asal Kecamatan Purwosari ini. Sementara itu, di rumah rumah Kades, seorang bapak yang sudah lanjut usia tampak berbincang-bincang dengan dua orang
petugas di tempat pendaftaran. Sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan, lansia tersebut diperiksa tekanan darahnya dan dicatat keluhan yang sedang dialaminya. Usai dari tempat pendaftaran, Kiswadi, begitulah ia biasa disapa, warga Dusun Bulu RT 3 Rw 1, Desa Ngraho, mengaku mengidap sakit asam urat dan kakinya seperti lumpuh. Meskipun bisa berjalan, namun kedua kakinya sering terasa pegal dan linu. “Penyakit ini sudah lama, dan sering diperiksakan. Namun belum juga sembuh,” ungkapnya kepada dokter. Selain Kiswadi, ada seorang ibu yang menggendong anak masih bayi dan di sampingnya terdapat anak perempuan digandeng. Siti Aminah datang mengikuti pengobatan gratis PT Tripatra untuk memeriksakan anak yang berusia 9 bulan. “Yang kecil ini 4 hari batuk
blokBojonegoro/Tim Infotorial
dan pilek. Kalau kakaknya saya mintakan vitamin karena susah makannya,” ujar warga asal Dusun Bringan itu. Sementara itu, Socio Economi Spv PT Tripatra, Edi Purwanto yang mendampingi program di lapangan mengatakan, bahwa Tripatra Peduli Kesehatan Balita dan Manula berlangsung di 12 desa yang ada di Kecamatan Gayam secara bergantian. Setiap dua Minggu satu kali digilir dari dusun ke dusun. “Layanan kesehatan biasanya diberikan pada hari Sabtu, mulai pukul 08.00 WIB dan berlangsung sampai pukul 13.00 WIB. Setiap kali layanan, rata-rata minimal ada 90 warga yang datang untuk berobat,” tegas Edi. Kegiatan ini akan terus dilaksanakan oleh perusahaan selama proses di lapangan masih ada. Semoga bermanfaat untuk warga sekitar.[*]
Belajar Sejarah, Museum Rajekwesi Keliling Sekolah
Museum Rajekwesi menjadi ikon Bojonegoro. Selama ini fungsi museum belum tergarap secara maksimal. Namun, tahun depan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro telah menyiapkan strategi untuk mengoptimalkan fungsi edukatif museum. Salah satunya adalah melalui kerjasama dengan sekolah dalam rangka pengembangan wawasan siswa pada mata pelajaran sejarah. Laporan: Parto Sasmito
Di Bojonegoro, sejak lama ditemukan benda-benda cagar budaya. Mulai tulang manusia purba, binatang purba, hingga perahu kuno. Namun keberadaannya masih belum presentatif jika dibandingkan dengan minat masyarakat untuk melihat dan belajar sejarah dengan berkunjung ke Museum Rajekwesi Bojonegoro. Saat ini, lokasi Museum Rajekwesi yang diharapkan bisa menampung benda cagar budaya tersebut. Karena museum belum punya gedung tetap, dan ruangannya cukup sempit. Selain itu, tata cara penataan benda di ruang museum belum maksimal. Kepala Bidang Pengembangan dan Pelestarian Budaya Disbudpar, Suyanto menjelaskan dengan melihat fakta tersebut, pihaknya tengah mempersiapkan program yang akan dilaksanakan pada tahun 2015 nanti. “Kita programkan tahun 2015 kita jemput bola dengan membawa benda-benda cagar budaya tersebut untuk dipamerkan ke sekolah-sekolah,” ujar Suyanto. Pria yang biasa disapa Yanto menambahkan, rencananya program tersebut akan dilaksanakan tiga bulan sekali dengan dibagi menjadi tiga wilayah, dari timur, kota dan barat. Untuk penempatan bisa di salah satu tempat selama tiga hari dengan dipasang tenda. “Sasaran kita adalah komunitas, misalkan kita tempatkan di salah satu sekolah di Sumberrejo, selama tiga hari di sana siswa dari SD, SMP, SMA, mahasiswa dan juga masyarakat umum bisa berkunjung dan belajar sejarah benda-benda cagar budaya di Bojonegoro,” papar Yanto. Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari di satu tempat tersebut, akan diisi dengan seminar, pameran cagar budaya, juga permainan-permaian edukatif. Diharapkan akan tercipta tempat pembelajaran bagi siswa tentang sejarah dan cagar budaya di Kabupaten Bojonegoro yang representatif. Selain itu, juga menjadi sarana untuk mengkomunikasikan fungsi pembelajaran, pendidikan, serta sebagai salah satu alternatif hiburan bagi siswa dalam melihat dan mendokumentasikan akan Museum Rajekwesi Bojonegoro untuk wawasan dalam mata pela-
jaran sejarah. Dengan belajar di “museum keliling”, siswa bisa tahu tentang sejarah Bojonegoro. Seperti ditemukannya fosil ikan laut di Temayang, pasti ada hubungannya dengan sumber daya alam berupa minyak di Bojonegoro. “Dan fosil laut itu ditemukan di di sini, satusatunya di Indonesia,” kata Suyanto. Disbudpar juga akan menyiapkan pembuatan buku panduan koleksi benda cagar budaya Museum Rajekwesi. Dengan kunjungan dalam rangka presentasi dan seminar nantinya bisa memberikan manfaat menambah pengetahuan tentang sejarah benda-benda cagar budaya di Bojonegoro. Manfaat lain juga diharapkan mampu menumbuhkan rasa bangga akan peninggalan sejarah dan keberadaan budaya Bojonegoro, serta sebagai media pembelajaran aktif dalam kegiatan pengembangan dan pelestarian budaya di bumi Rajekwesi ini. “Kita sudah mempersiapkan semua untuk pelaksanaannya nanti. Kita juga sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan. Selain itu juga mendapat dukungan dari Komisi C DPRD Bojonegoro,” tegas Yanto. Secara garis besar, kegiatan kunjungan ke sekolah untuk mempresentasikan benda cagar budaya Museum Rajekwesi, seminar dan pembuatan buku panduan tentang museum tersebut mempunyai beberapa pokok kegiatan, yakni mencanangkan visi menjadikan Kabupaten Bojonegoro sebagai daerah tujuan wisata, kemudian melaksanakan misi diantaranya adalah penggalian, dan pengembangan serta pelestarian cagar budaya daerah. Tujuan lain, jelas Yanto, juga dilakukan untuk menanamkan rasa dan wujud pemikiran serta perilaku bagi kelangsungan kehidupan manusia yang penting. Artinya bagi pemahaman generasi mendatang akan sejarah, ilmu pengetahuan dan keanekaragaman kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat. “Kita tengah berupaya mengoptimalkan keberadaan Museum Rajekwesi dengan promosi sebagai di dunia pendidikan” terangnya. [*]
Suyanto (Disbudpar Bojonegoro)
Air yang Begitu Berharga Laporan: M. Yazid, Muhamad Fatoni, Joel Joko
Saat musim penghujan, air begitu melimpah di Kabupaten Bojonegoro. Namun, saat musim kemarau tiba antara bulan Agustus sampai Oktober, Kota Ledre, sebutan lain Bojonegoro, begitu kering. ampir setiap ta- Bahkan, beberapa kecamatan sampai harus meminta droping air hun, warga Dusun Kalitengah, Desa bersih setiap hari. Begitu berharganya air, sehingga untuk mandi, Donan, Kecamatan Purwo- warga harus rela memendam keinginan rutin itu.
H
sari, Kabupaten Bojonegoro, mengalami kesulitan air sebagai kebutuhan sehari-hari. Namun tidak separah pada bulan September hingga awal Oktober 2014. Untuk mencukupi kebutuhan, masyarakat terpaksa mengambil air dari luar dusun yang berjarak hingga beberapa kilometer. Warga yang hidup di dusun terpencil dan berbatasan dengan Kecamatan Tambakrejo itu merasakan sulitnya hidup. Sumur bor di sekitar rumah telah mampet. Hampir milik seluruh warga desa. Agar tetap bisa mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari, seperti masak, minum, mandi, menyuci dan minum ternak, warga mengambil air menggunakan drum dengan cara dipikul dari luar dusun yang jaraknya jauh. Salah satu warga, Lasimin mengatakan, ia kesulitan mendapatkan air bersih sejak beberapa bulan terakhir. Bahkan, bisa jadi hingga November mendatang masih tetap serupa kondisinya. “Salah satunya cara untuk tetap mendapat air dengan mengambil air dusun tetangga menggunakan drum dan dipikul,” katanya. Sebagian besar, sumur di Dusun Kalitengah dibor dengan kedalaman 15 meter lebih. Bahkan, sampai ada yang 25 meter. Namun, tetap bisa mengeluarkan sumber air. Karena terdesak, warga merelakan berjalan cukup jauh untuk mencari sungai yang bisa dilubangi untuk mendapatkan air. Dengan melalui pematang sawah dan beriring dengan warga lain, Lasimin menyusuri jalan berliku. “Sehari beberapa kali bolak-balik untuk ngangsu (mengambil) air. Tujuan kami yang terpenting mendapat untuk minum dan kebutuhan lain,” tegas warga lain, Satimah kepada blokBojonegoro. Ditanya mengenai droping air dari Pemkab Bojonegoro, ia menjelaskan, bantuan air bersih dari Pemkab
WARGA antre di sungai yang telah dilobangi agar bisa terisi rembesan air
diberikan setiap seminggu atau dua minggu sekali. Karena bergilir, jelas jumlahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan warga. “Bahkan untuk bulan ini saja warga belum mendapatkan kiriman air bersih,” imbuhnya. Selain itu desa di kecamatan lain juga mengalami hal serupa. Seperti di Desa Kaliombo, Kecamatan Purwosari, Desa Kolong, Kecamatan Ngasem, Desa Hargomulyo, Kecamatan
Kedewan, Desa Butoh, Kecamatan Kedungadem dan Desa Kedungrejo, Kecamatan Malo. Juga terdapat puluhan desa lain yang mengharapkan dikirim bantuan air dengan tanki. “Sudah sekitar sebulan ini, sumur tidak keluar air lagi. Warga telah krisis air bersih,” kata Suyowo, warga Desa Bakulan, Kecamatan Temayang. Warga yang mayoritas mengandalkan air dari su-
blokBojonegoro/M. Yazid
mur timba peninggalan turun-temurun harus mengambil dari wilayah tetangga. Bahkan, jika ingin mengambil air warga dikenakan biaya sekitar Rp15.000 setiap bulannya. Bukan hanya itu saja, agar tetap bisa memakai, maka digilir antar dusun. “Kalau sudah kemarau, kami tidak bisa berbuat apaapa. Sebab, disini pernah dibor untuk membuat sumur, baru kedalaman 9 meter su-
dah keluar lumpur. Sehingga tidak dapat dilanjutkan,” imbuh warga lain, Yono. Darurat Kekeringan Kekeringan di Kabupaten Bojonegoro yang terus meluas membuat Bupati Bojonegoro, Suyoto menyebar surat instruksi darurat bencana kekeringan. Mendapat laying dari orang nomor satu di Kota Ledre, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) segera meneruskan untuk mengirim bantuan air bersih. BPBD melayani semua permintaan dari masyarakat, walaupun hanya melalui telepon. Sumber verifikasi yang diinginkan, pemberi kabar atau warga yang meminta air bisa bertanggungjawab. Kepala BPBD Kabupaten Bojonegoro, Amir Sahid menyatakan, kekurangan air bersih diperkirakan masih akan terus terjadi hingga akhir Oktober dan November. “Sedangkan hujan diperkirakan baru akan turun pada Desember mendatang,” ujarnya. Amir menegaskan, baru ada 16 kecamatan dan 43 desa yang dilanda kekeringan. Bila dibanding tahun kemarin, ada 18 kecamatan tersebar di 64 desa, jumlah tersebut akan bisa terus bertambah hingga musim penghujan datang nantinya. Oleh karena itu, BPBD bersama Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial (Disnakertransos) siap menyalurkan bantuan air bersih untuk minum dan masak. “Kini sedikitnya ada lima truk tangki air bersih berukuran 5.000 liter yang hilir mudik menyalurkan bantuan ke daerah yang mengalami krisis. Tidak hanya di sekitaran kecamatan, namun hingga pelosok pedesaan,” imbuhnya. Namun, ada laporan dari masyarakat empat kecamatan lain cukup berpotensi dan belum masuk semuanya. Data sebelumnya, 16 kecamatan yang kekeringan antara lain Kecamatan Dander, Kedungadem, Kepohbaru, Sugihwaras, Temayang, Bubulan, Ngasem, Ngambon, Kasiman, Kapas, Sumberrejo, Ngraho, Kedewan, Tambakrejo, Trucuk, Malo, Purwosari dan Kecamatan Kota Bojonegoro. [*]
1.000 embung atau tampungan air yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, baru terealisasi sekitar 300-an hingga semester akhir tahun 2014. Yang membuat geleng-geleng kepala, ratusan embung tersebut kering saat musim kemarau dan tidak menyimpan air. Laporan: Riska Irdiyana, M. Yazid, Muhamad Fatoni, Joel Joko
D
ari total 266 embung yang dibangun hingga sekitar September, hanya tiga titik yang masih menampung air dan bisa dimanfaatkan warga sekitar. Diantaranya di Desa Bondol, Kecamatan Ngambon, Desa Ngampal, Kecamatan Sumberrejo dan di daerah Kecamatan Sugihwaras. “Untuk embung yang masih ada airnya ini biasanya karena ada sumber airnya,” kata Kabid Sarana Prasarana, Dinas Pengairan Pemkab
Embung “Nangis” Tanpa Air Mata
blokBojonegoro/Maratus Sofifah
PEMBANGUNAN embung tengah dikebut saat memasuki bulan kemarau
Bojoonegoro, Retno Wulandari. Rata-rata embung yang ada di Bojonegoro ini diakui Retno dalam kondisi kering. Di tahun 2014, total dicanangkan embung sebayak 53 lokasi, diantaranya di Kecamatan Sumberrejo, Kedungadem, Kepohbaru,
Sugihwaras dan Temayang. Sedangkan untuk pembangunannya menggunakan sistem swakelola. “Pembangunan 40 embung dibantu dengan 9 alat berat yang kami miliki,” imbuhnya. Sedangkan 13 sisanya dibangun oleh pihak ketiga. Pemilihan pengerjaan oleh
kontraktor karena keterbatasan alat dan tenaga. Saat ini, imbuh Retno, sudah ada sembilan embung yang sedang dibangun. Sementara empat embung masuk PAK. Sementara itu, jauh-jauh hari Bupati Bojonegoro, Suyoto, cukup percaya diri jika embung akan bisa men-
gatasi kekeringan. Menurutnya, kekeringan akibat kemarau di Bojonegoro akan bisa dikurangi dengan embung. “Embung tersebut juga menjadi peluang bagi masyarakat yang menanam padi maupun palawija saat musim kemarau,” imbuhnya. Namun yang terjadi, kondisinya pecah-pecah ketika memasuki musim kering. Sejauh ini, instalasi pendukung untuk suplai ke embung hanya dari hujan. Sedangkan, dari beberapa anak sungai kebanyakan terbuang percuma ke arah utara memasuki Bengawan Solo. “Sistem jaringan ini yang perlu ditata. Apalagi, di lapangan juga banyak embung yang belum tergarap dengan baik,” terang Wakil Ketua Komisi D DPRD Bojonegoro, Zainuri. Hal senada dikatakan Ketua Komisi D, Didik Tri Setyo Purnomo. Diterangkan, jika ada informasi embung di Desa Karangdinoyo, Kecamatan Sumberrejo, pintu air sebelah barat tampak ambro dan anggul terkikis. [*]
Tepi Bengawan Juga Kekeringan
Jika dipikir mudah, saat Bengawan Solo masih ada airnya, maka warga di bantaran tidak akan kekeringan. Tetapi, kondisi tersebut ternyata tidak berlaku saat kemarau tahun 2014. Masyarakat di tepi sungai terpanjang di Pulau Jawa itu juga merasakan sulitnya sekadar mencari air untuk minum. Laporan: Maratus Sofifah, Riska Irdiyana, M. Yazid, Muhamad Fatoni
“KALAU untuk mandi, kita pakai air Bengawan Solo masih bisa. Namun, untuk minum dan memasak, itu yang sulit,” kata Anis, salah satu warga di Desa Cangaan, Kecamatan Kanor. Saat seperti ini, maka langkah yang tepat dengan mencari sumur milik tetangga yang masih bisa keluar. Terutama sumur timba zaman dulu. Jika sudah tidak ada, maka terpaksa membeli air. “Sudah sering, tetapi ini yang paling parah,” lanjutnya. Tidak hanya di Kecamatan Kanor saja, di Dusun Korgan, Desa Purwosari juga sama. Desa tepat di bantaran bengawan itu juga kesulitan air. Abdul Khoiron, salah satu warga mengatakan, sejak dua Minggu ini sumur pompa miliknya mulai mengering. Padahal, lokasi sumur pompa itu hanya berjarak sekitar 200 meter dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebelumnya, imbuh Khoiron, sumur yang disedot menggunakan mesin pompa listrik itu tidak pernah tersendat sekalipun. Hanya saja saat kemarau kondisi airnya kurang jernih. “Biasanya Cuma warna saja, tetapi kali ini malah tidak keluar sama sekali,” sambungnya. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, ia membeli ratusan meter pipa saluran air untuk diambilkan dari lokasi sumur bor milik warga setempat. Namun, kata dia, sebetulnya sumur milik warga itu juga kurang efektif dan belum bisa menghasilkan air yang maksimal. “Ya karena rata-rata debit air di lokasi sumur tak normal dan mongering,” tambah pria yang juga pedagang sayuran di Pasar Tobo, Desa/Kecamatan Purwosari itu. Senada, Siti Asmonah,
warga Desa Ngraho, Kecamatan Gayam, mengakui jika lokasi di tepi bengawan tidak menjamin untuk lepas dari kekeringan. Sejak beberapa hari terakhir sumber air yang berada di sumur bor sedalam 12 meter tersebut mampet. Sehingga sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Walaupun ada ya tidak mencukupi. Sehingga, ia mencoba dengan membeli atau mencari dari sumur tetangga,” terangnya. Di ujung barat Bojonegoro, tepatnya Desa Dengok, Kecamatan Padangan, kondisinya tidak berbeda. Salah seorang warga, Jumali mengaku sudah sulit mencari sumur yang kondisinya normal. Walaupun begitu, warna air sudah tidak sejernih sebelumnya. Sumur Kota yang Merana Kekeringan yang melanda wilayah Kabupaten Bojonegoro menyebabkan masyarakat mulai kesulitan air bersih. Bukan hanya di sebelah selatan yang termasuk dataran tinggi, di tepi Bengawan Solo juga sama. Bahkan, di jantung Kota Bojonegoro, warga yang masih banyak menggantungkan dari sumur bor, bernasib sama. Sejumlah warga perumahan di wilayah kota dalam tiga minggu terakhir harus bersusah payah mencari air bersih. Karena sumur bor milik mereka mengering. Tidak sedikit yang membeli air galon untuk mandi, karena kebetulan tidak berlangganan PDAM. Cicik, warga Gang Kusnandar, Kelurahan Karangpacar, Kecamatan Kota menuturkan, sejak tiga pekan lalu, sumurnya hanya bisa disedot saat malam hari. “Kalau malam mati lampu, saya terpaksa minta air ke
tetangga. Karena sumur harus dipompa,” kata Cicik. Setiap malam dia dan anak-anaknya bergantian menandon air untuk esok hari. Kekeringan sumber air tanah juga dirasakan Edi Subeno, warga Desa Mulyoagung. Setiap pagi air PDAM di tempatnya kecil. Selain itu sumur sudah kering dan sulit keluar air. “Untuk sementara saya ngungsi ke rumah orang tua jika ingin mandi. Karena sumur bor di rumah sudah tidak ada airnya,” ujarnya. Edi mengeluhkan perbedaan sumber air pam di tempatnya dengan mertuanya yang jauh lebih bening dan lancar. Kondisi seperti ini selalu terjadi setiap musim kemarau. Hingga saat ini, dia masih menggunakan air tanah karena air pam ditempatnya keruh. Sementara itu, Lilik warga Desa Sukorejo mengeluhkan listrik ditempatnya sering padam. Akibatnya air pam ikut mampet, bahkan kalau keluar itupun sangat kecil. Pemadaman seringkali tidak disertai pemberitahuan sehingga warga tidak siap menandon air. Ramai-Ramai Ulurkan Tangan Kekeringan yang melanda sebagaian besar wilayah Kabupaten Bojonegoro membuat banyak pihak ramairamai melakukan droping air untuk membantu. Salah satunya Lembaga Penanggulangan Bencana dan perubahan Iklim (LPBI) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bojonegoro. “Musim kemarau ini disini belum pernah mendapatkan bantuan air bersih, tapi kalau bantuan infrastruktur sudah. Kami senang temanteman NU turun langsung,” ujar salah seorang warga setempat saat mengantre
blokBojonegoro/Muhamad Fatoni
BERSAMA anak sambil membawa tempat air dari tanah
menunggu giliran mendapat air. Ketua LPBI NU Cabang Bojonegoro, Rohmad Maulana mengatakan, melihat kekeringan yang melanda dibeberapa daerah di Kabupaten Bojonegoro, membuat LPBI NU memberikan bantuan air bersih sesuai permintaan masyarakat. Pasalnya kekeringan yang cukup panjang, menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap kebutuhan air. “Pendistribusian air bersih ini sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang terdampak bencana kekeringan. Berdasarkan
permintaan dari Kepala Desa Jampet, NU Bojonegoro melalui LPBI NU mendistribuaikan air bersih,” jelasnya. Direncanakan pendistribusian sekitar 8.000 liter air akan dilakukan dua kali. Agar bantuan tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang terkena bencana. Meskipun Desa Jampet, Kecamatan Ngasem, berada di wilayah Migas tidak membuat wilayah tersebut merasa terbantu saat musim kemarau. “Yang jelas kami juga ingin membantu masyarakat,” terangnya. [*]
Air Bersih Sulit di Desa Migas Pantas memang Pemkab Bojonegoro menetapkan kemarau 2014 sebagai darurat bencana kekeringan. Sebab, banyak masyarakat mengeluh kurang air bersih. Termasuk juga di sekitar industry Minyak dan Gas Bumi (Migas). Laporan: Muhamad Fatoni, Riska Irdiyana
S
ebagian besar masyarakat yang berada di wilayah barat Kabupaten Bojonegoro mulai mengeluh sulitnya mendapatkan air bersih. Salah satunya dialami oleh warga Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, Bojonegoro. Bukan itu saja, desa lain hampir serupa, seperti Bonorejo, Brabowan, Gayam, Katur dan Ringintunggal. Jika ingin memenuhi kebutuhan air sehari-hari, warga di sekitar Lapangan Migas Banyuurip, Blok Cepu itu harus memutar otak. Walaupun tidak semuanya, tetapi kebanyakan mengaku bingung. Berbagai cara di-
tempuh, termasuk mencari sumber yang jaraknya beberapa kilometer dari tempat tinggalnya. Sementara itu keberadaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di desa setempat pun tak cukup membantu masyarakat. Selain sering tersendat, kondisi air yang berwarna kuning dan keruh membuat masyarakat geleng-geleng kepala. “Sehingga untuk kebutuhan minum dan memasak, warga ring 1 Blok Cepu ini rela membeli air galon isi ulang,” kata salah seorang warga Mojodelik, Jayah. Menurutnya, beberapa tahun belakangan ini, warga Desa Mojodelik sebenarnya sedikit terbantu dengan PDAM. Namun, saat kema-
rau juga tetap sulit. Karena sistem yang dipakai hitungan jam, maka harus rela bergiliran dengan warga lain. “Kami pernah menggali tanah hingga di atas 20 meter, tetapi tidak bisa mengeluarkan air,” sambungnya. Warga lain, Yatwi mengatakan, menikmati air saat kemarau memang benarbenar mahal. Sebab, ia harus membayar dua atau bahkan tiga kali lipat dibanding sebelumnya. Karena air yang mengalir minim, sehingga jam yang dipakai berhitung membengkak. Serupa dialami warga Dusun Kali Glonggong, Desa/Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro. Mereka prihatin walaupun
berada sangat dekat dengan Lapangan Banyuurip. Letak Dusun Kali Glonggong bersebelahan dengan proyek Waduk Air (Water Basin) untuk mencukupi puncak produksi Blok Cepu 165.000 barel per hari (BPH) Blok Cepu yang dioperatori ExxomMobil Cepu Limited (EMCL). Kondisi daerah sekitar tampak gersang. Tanahnya kering kerontang, merekah dan tandus. Puluhan hektare lahan persawahan milik warga setempat juga dibiarkan tak tergarap. Ketua Rukun Tetangga (RT) 30 Dusun Kali Glonggong, Tangkis mengatakan, setiap tahun dusun tersebut dilanda kekeringan yang parah. Dampaknya, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Bukan hanya di Blok Cepu saja. Sekitar Lapangan Tiung Biru yang dioperatori oleh PT Pertamina EP Asset
4 Field Cepu juga serupa. Menurut Sukijan (60) warga Desa Kuniran, setiap kali memasuki musim kemarau, warga sering mengalami kesulitan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Beberapa warga memilih memasang mesin penyedot air dan menanam pipa dengan kedalaman sekitar lebih dari 15 meter. “Hampir semua warga memasang mesin penyedot air itu untuk mendapatkan air. Sebab, air di sumur gali dan sendang sudah lebih dulu menyusut dan kering,” ujarnya. Kondisi di Desa Kali Sumber, Kecamatan Tambakrejo, juga tidak berbeda jauh. Warga mencari air ke lokasi yang masih mengucur, walaupun tidak maksimal. Seperti di desa tetangga dengan menempuh perjalanan jauh dan medan yang lumayan sulit. [*]
Jual Emas untuk Beli Kambing Kurban Berbagai cara dilakukan warga di Kabupaten Bojonegoro untuk turut serta berkurban di Hari Raya Idul Adha. Salah satunya dengan cara menjual perhiasan dan uang yang didapat untuk membeli kambing. Laporan: Dita Afuzal Ulya
S
aat Hari Raya Idhul Adha, semakin banyak orang yang menjual emas untuk berbagai kebutuhan. Salah satu alasan menambah biaya pembelian hewan kurban yang mencapai Rp3 juta untuk satu ekor kambing. Salah satu penjual emas, Khoiriyati, 40, asal Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro mengatakan, jika sudah lama ia berinvestasi emas. Kali ini dirinya ingin munjual, karena bertepatan dengan banyak keperluan. Diantaranya membantu suami yang ingin membeli hewan kurban. “Akhir September lalu suami mengutarakan niatnya membeli kambing. Saat Idul Adha seperti ini harga benar-benar melambung,” kata Yati, panggilan akrabnya kepada blokBojonegoro. Oleh karena itu, ia memilih untuk menjual emas yang sudah lima tahun dimiliki. Apalagi harga jual juga tidak seberapa jatuh. “Kambing sekarang harganya bisa menembus Rp3 juta/ekor,” lanjutnya. Hal senada diterangkan Siti Ulfia, warga Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban. Ia menjual gelang 10 gram yang dimiliki untuk ditabung. Selain itu juga dipakai menambah kekurangan pembelian sapi kurban. Sebab, masih mem-
blokBojonegoro/Dita Afuzal Ulya
TRANSAKSI emas di salah satu toko yang ada di Kota Bojonegoro bertambah marak karena kebutuhan masyarakat yang meningkat
butuhkan anggaran sekitar Rp3,5 juta. “Harga sapi yang sedang sekitar Rp17 juta, dan kekurangannya saya jualkan gelang ini,” sambung Siti. Sementara itu, pemilik toko emas di Kota Bojonegoro, Hariyanto membenarkan kalau beberapa waktu belakangan ini tokonya dibanjiri masyarakat yang menjual emas. Mulai dari kalung, gelang tangan ataupun gelang kaki. Menurutnya, uang dari hasil
jual emas akan digunakan untuk membeli hewan kurban. Penjualan investasi emas kali ini meningkat hingga 50 persen dari sebelumnya. Apalagi, Hari Raya Idul Adha menjadi pemicunya. “Rata-rata mereka mengatakan untuk tambahan beli kambing atau sapi. Mereka rata-rata berasal dari Kecamatan Dander, Temayang, Kapas ataupun Kecamatan Soko, Tuban,” terang pria keturunan Tionghoa tersebut. Senada, pemilik toko emas di
Pasar Tradisional Kota Bojonegoro, Erni menegaskan, masyarakat yang menjual emas sudah meningkat sejak seminggu terakhir di bulan September 2014. Biasanya emas yang dijual adalah jenis emas muda yang masih memiliki harga cukup tinggi. “Dari seminggu kemarin, orang dari desa banyak yang jual, katanya buat beli kambing. sudah biasa jika Idul Adha seperti ini penjualan emas sedikit meningkat,” ungkapnya. [*]
Bojonegoro: Antara Menak Anggrung, Rel Bengkong, dan Gajah Bolong JUDUL tulisan ini hanyalah pertimbangan efek musikalitas saja dengan akhiran ‘ng’. Pemilihan ketiga nama itu dimaksudkan untuk mewakili wilayahnya masing-masing. Jadi tidak bermaksud mengeksplorasi terlalu dalam, karena fokus maupun locusnya ialah Bojonegoro secara makro. Kelanjutan judul diaatas boleh disambung dengan kalimat ini; ‘’Bojonegoro: Antara Kaliketek, Jetak, dan Jawik’’ juga dengan akhiran sama ‘k’. Wilayah Bojonegoro membentang dari barat (Menak Anggrung) sampai timur (Gajah Bolong) dan dari utara (jembatan kaliketek sebagai ikonnya) hingga ke selatan (Desa Jawik-Tambakrejo), koq bukan Atas Angin atau Klino-Sekar yang lebih selatan dari Jawik?. Nah, begitulah judul itu hanya biar enak terdengar saja. Namun semua nama tempat tersebut -sithik-akeh- punya pertalian sejarah dengan kabupaten ini. Dimulai dari ujung barat, Menak Anggrung, untuk mewakili wilayah barat Bojonegoro. Menak Anggrung, Padangan, dan Jipang, adalah nama-nama beken yang sudah sering disebut-sebut dalam buku sejarah melebihi tempat lain. Dan wilayah tengah atau perkotaan diwakili dengan Rel Bengkong (rel bengkok, rel belok) adalah lintasan rel Kereta Api jurusan Bojonegoro-Jatirogo yang melintasi jalan raya A Yani, dulu dikenal sebagai kawasan remangremang. Yang termasuk Kawasan Rel Bengkong adalah dari ujung Jalan A.Yani Desa Sukorejo di selatan hingga ke ujung utara bertemu di Jalan Pemuda masuk Desa Ngrowo sekitar dua kilometer di ujung utara. Sejak tahun 1998 kereta api jurusan Jatirogo - Bojonegoro sudah tidak difungsikan lagi oleh pihak PT KAI. Dan lahan bekas jalur rel yang menghubungkan Bojonegoro-Jatirogo saat ini menjadi pemukiman warga yakni di wilayah Jalan Pondok Pinang, Desa Sukorejo, Kabupaten Bojonegoro. Dan banyak terdapat bangunan sekolah, pesantren, pertokoan, kantor, maupun kontrakan hingga ke utara. Sementara, bekas rel yang sudah tidak dipakai su-
dah tidak ada. Termasuk yang berada di jembatan Kaliketek yang melintas di atas Sungai Bengawan Solo. Bahkan jembatan yang berada di atas Sungai Bengawan Solo itu kini hanya tersisa rangka bajanya saja yang mengangkangi sungai terpanjang pulau Jawa itu. Jembatan dengan panjang 111 meter itu kira-kira dibangun pada tahun 1914 bersamaan dengan dibangunnya jalur kereta api lintas utara Jawa. Untuk Bojonegoro Timur, dipilih Gajah Bolong sebagai ikonnya. Gajah Bolong, menurut penuturan Moh. Imam, seorang Guru Agama setempat, adalah nama sebuah patung gajah yang berada di depan rumah milik keluarga almarhum Haji Jono yang berada di desa Baureno, bolong (lubang) karena terkena peluru nyasar dari tentara Belanda. Bojonegoro Masa Silam Bojonegoro, dulu pernah bernama Rajekwesi, dan Jipang yang dilalui aliran sungai Bengawan Solo, mulai Jipangulu (dusun di Desa Ngelo Kecamatan Margomulyo, boleh jadi akronim dari Jipang bagian hulu), hingga desa Kalisari Baureno sebagai hilirnya, sudah menjadi daerah penting. Bahkan jauh sebelum itu, pada masa pra sejarah, Bojonegoro sudah didatangi oleh manusia purba modern, para peneliti menyebutnya orang Kalang berdasarkan temuan artefak dan kuburan kuno. Mereka telah musnah. Jejak mereka tidak dapat diketahui kecuali hanya terdapat dalam catatan buku sejarah. Jika bukan tempat penting dan besar tentu fosil manusia purba modern tersebut tidak
ditemukan di Kedewan Bojonegoro. Tempat besar dan penting tidak akan bisa lepas dari kepentingan orang besar dan penting, mulai masa kejayaan kerajaan Hindu daerah ini sudah terdeteksi oleh negara adidaya Majapahit, lalu masuk wilayah kerajaan DemakMataram, dikuasai negara kolonialis Belanda, terakhir sebelum Indonesia merdeka menjadi medan laga pertempuran Jepang-Belanda-dan para pejuang kemerdekaan. Daerah besar dan penting biasanya ditandai dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Bojonegoro dianugerahi Tuhan mulai kecukupan air melimpah dari sungai-sungainya yang mengular bercabang-cabang mengalirkan air ke penjuru desa ditambah cadangan air hujan dan resapan hutan, suburnya tanah pertanian, moda transportasi yang bagus baik perairan maupun daratan, Bengawan Solo telah membentuk ekonomi sosial budayanya sendiri. Lihat misalnya desa-desa yang dulu menjadi penyangga utama perekonomian dan transportasi perairan, Luwihaji-Ngraho tempat pertemuan tiga wilayah orangorang Jipangulu-Kradenan Blora dan Ngraho, Cepu dan Padangan sebagai pusat pemerintahan tentu menjadi pusat peradaban yang sangat ramai dan makmur saat itu. Ada Tambangan Tembeling dan Malo sebagai pusat genteng, gerabah, kemudian Banjarsari yang berdekatan dengan ibukota pemerintahan setelah Rajekwesi yang berpusat di selatan dipindah dan berubah nama menjadi Bojonegoro. Pelem dulu adalah kawedanan saat ini hanyalah dusun di desa
Mulyorejo-Balen, dan saat ini masih terasa pelosok oleh anak-anak generasi milenium dari desa Sukorejo atau dari Kelurahan Sumbang misalnya. Bahkan di Pelem terdapat mushola berusia ratusan tahun dan tercatat dalam katalog Balitbang Kementerian Agama sebagai tempat peribadatan yang perlu dilestarikan. Tengok juga, Siwalan Soko yang berdekatan dengan Simo dan Pelem, dan agak ke timur dekat ada Cangaan Kanor, hingga timur jauh ada Babat. Dari desa-desa pesisir Bengawan Solo yang saya sebutkan di atas melahirkan pedagang-pedagang ulet dan tangguh yang menguasai satu atau dua los (bidak) lebih di pasar Cepu, Pasar Padangan, Pasar Tobo, Pasar Kota Bojonegoro, Pasar Sumberrejo, Pasar Rengel Tuban dan Pasar Babat Lamongan. Maka tak heran jika rata-rata konglomerat-konglomerat lokal sekarang ini mereka mempunyai pertalian darah dengan pedagang-pedagang ulet dan tangguh dari orang-orang desa tadi. Begitupun dengan alur ilmu pengetahuan agama, masingmasing pesantren ada pertalian sebab nasab maupun pernikahan. Yang lebih dulu tersentuh teknologi dan peradaban, akan lebih maju masyarakatnya, namun betulkah kemajuan teknologi dan peradaban berbanding lurus dengan kemakmuran dan kesejahteraan. Mayoritas penduduk yang hidup di sekitar Cepu, Padangan, Tobo, Banjarsari, Simo, Pelem, Cangaan, dan Babat lebih makmur daripada daerah yang jauh dari peradaban, dan biasanya daerah tersebut belum tersirat dalam buku sejarah. Bojonegoro: 2030 APBD tahun 2030 mencapai Rp14,271 triliun lebih (dengan asumsi tiap lima tahun bertambah 4 triliun dari dana bagi hasil migas) telah disahkan dalam rapat paripurna penutup Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro. Dirgahayu Bojonegoroku! *Penulis Bekerja di Kantor Kemenag Bojonegoro.