BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sastra dan psikologi dapat bersimbiosis dalam perannya terhadap kehidupan karena keduanya memiliki fungsi dalam hidup manusia. Keduanya sama-sama berurusan dengan persoalan manusia sebagai mahluk individu dan makhluk sosial. Keduanya memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan telaah. Oleh karena itu, pendekatan psikologi dianggap penting penggunaanya dalam penelitian sastra (Endraswara dalam Minderop, 2010: 2). Ada tiga cara yang dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu : a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah para tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2003: 343). Dengan demikian, cara yang kedua tersebut akan menjadi titik tumpu dalam penelitian ini. Psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2010: 3). Psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah-masalah psikologis, namun secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Melalui pemahaman terhadap para tokoh misalnya, masyarakat dapat
1
2
memahami perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan psike (Minderop, 2010: 54). Pendekatan psikologi sastra bertolak dari asumsi bahwa karya sastra membahas tentang peristiwa kehidupan manusia sebagai salah satu bahasannya. Dalam sebuah karya sastra terkandung perilaku-perilaku manusia yang kompleks dan terwujud melalui karakter tokoh dalam ceritanya. Kompleksitas perilaku tersebut sangat beragam diantaranya konflik batin, konflik antar tokoh, dan sebagainya. Konflik-konflik yang muncul tersebut berakar dari aspek kejiwaan masing-masing tokohnya. Dengan demikian perilaku dan kejiwaan para tokoh akan saling mempengaruhi serta memiliki keterkaitan yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Problematika perilaku dan kejiwaan tersebut salah satunya dapat ditemukan pada cerpen Jigokuhen ini. Cerpen Jigokuhen karya Akutagawa Ryuunosuke berkisah tentang kehidupan Yoshihide, pelukis yang dikenal karena karya-karya, kesombongan dan berbagai perilakunya yang tak lazim. Yoshihide memiliki seorang anak perempuan semata wayang yang sangat ia sayangi. Yoshihide yang sangat menyayangi anaknya sebenarnya tidak rela jika ia menjadi pelayan istana di puri seorang pangeran besar. Pangeran besar adalah seorang yang berjiwa besar dan mulia. Ia tidak menyukai sikap Yoshihide yang angkuh, kikir, dan selalu menganggap konyol kebiasaan dan adat istiadat masyarakat. Suatu ketika pangeran besar memerintahkan Yoshihide untuk membuat sebuah lukisan neraka. Selama lima-enam bulan berikutnya Yoshihide disibukkan oleh perintah pangeran besar. Yoshihide yang tidak bisa melukis tanpa pernah melihat terlebih dahulu
3
obyek yang ingin dilukisnya, menjadikan para muridnya sebagi model. Ketika ingin melukis sosok manusia yang sedang terikat rantai, ia memerintahkan muridnya untuk telanjang dan mengikatnya dengan rantai tanpa memperdulikan muridnya yang kesakitan. Kemudian ketika ingin melukiskan sosok manusia yang sedang dipatuki oleh burung dalam lukisan nerakanya, ia membiarkan burung hantu peliharaannya yang sebesar kucing, mematuk-matuk muridnya tanpa ampun, kemudian seolah-olah kerasukan ia mulai menjilati kuasnya dan mulai melukis sketsa dari situasi yang mengerikan tersebut. Beberapa bulan kemudian, Yoshihide mulai kehabisan ide untuk melanjutkan lukisan nerakanya. Kemudian ia memutuskan untuk menggambar sebuah kereta yang berisikan seorang wanita bangsawan yang terbakar dan jatuh dari langit ditengah-tengah lukisannya. Namun karena ia belum pernah melihat secara langsung peristiwa seperti itu, akhirnya ia memohon kepada pangeran besar untuk membakar sebuah kereta dengan seorang wanita bangsawan di dalamnya untuk ia saksikan. Pangeran besar mengabulkan keinginannya, namun wanita bangsawan yang berada di dalam kereta tersebut tak lain adalah anak perempuannya sendiri. Ketika melihat anaknya dibakar hidup-hidup, Yoshihide sempat berlari ke arah kereta tersebut. Namun tiba-tiba ia merasa takjub oleh kobaran api yang membakar kereta serta anak perempuannya sendiri. Tanpa disangka-sangka ia malah melukis sketsa dari peristiwa mengerikan tersebut dan kemudian melukiskannya ditengah lukisan nerakanya. Sebulan setelah lukisan itu selesai, pangeran besar menerima lukisan neraka tersebut dengan perasaan takjub dan sedih. Beberapa saat kemudian, Yoshihide memutuskan untuk mengakhiri
4
hidupnya dengan cara menggantung dirinya dengan seutas tali yang dikaitkan pada balok kayu di dalam kamarnya. Berangkat dari tindakan bunuh diri tersebut, muncul sebuah pertanyaan besar mengenai bagaimana pergolakan jiwa yang terjadi pada Yoshihide hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Sebelum dilakukan penelitian mengenai apa yang mendorong tindakan bunuh diri tersebut, pertama – tama akan dilakukan penelitian mengenai struktur cerpen Jigokuhen. Analisis struktural ini bertujuan untuk memaparkan fungsi dan keterkaitan antar unsur hingga dapat diperoleh makna cerita secara utuh. Setelah dilakukan analisis struktural tersebut, selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap kejiwaan tokoh Yoshihide. Dipilihnya tokoh Yoshihide dalam penelitian ini, dikarenakan peran sentralnya dalam cerita. Sebagai tokoh utama yang digambarkan sangat terobsesi dengan lukisan hingga pada akhirnya melakukan tindakan bunuh diri, membuat penulis tertarik untuk meneliti menggunakan psikologi humanistik yang membahas mengenai aktualisasi diri serta motif dibalik perilaku manusia. Teori ini dirasa tepat untuk menganilis obsesi serta pergolakan jiwa tokoh Yoshihide dalam mencapai aktualisasi diri. Selain itu, teori ini juga mampu menjelaskan motif perilaku manusia berdasarkan teori hierarki kebutuhan, sehingga mampu mengidentifikasi motif yang melandasi tindakan bunuh diri Yoshihide.
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah unsur intrinsik serta keterkaitan antar unsur dalam cerpen dalam membangun totalitas makna dan motif apakah yang mendasari tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Yoshihide?
1.3 Tujuan Penelitian Dengan mengambil karya sastra Jigokuhen sebagai objek material dan teori Struktural dan psikologi Humanistik Abraham Maslow sebagai objek formal, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk mengetahui motif yang mendasari tindakan bunuh diri Yoshihide sehingga membantu pembaca untuk lebih memahami karya sastra Jigokuhen dari perspektif psikologi sastra, khusunya melalui Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah sebagai bentuk apresiasi terhadap karya sastra Jepang, khususnya karya cerita pendek Jigokuhen dan diharapkan dapat menambah wawasan pembaca terhadap kesusasteraan Jepang, khususnya terhadap karya-karya Akutagawa Ryuunosuke.
1.4 Tinjauan Pustaka Cerpen Jigokuhen telah digunakan sebagai objek penelitian oleh Ugi Purwanti, mahasiswi Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada, dalam skripsinya pada tahun 2003 yang berjudul ”Analisis Kepribadian Tokoh Utama Yoshihide
6
dalam Cerita Pendek Jigokuhen Karya Akutagawa Ryuunosuke.” Dalam skripsi ini dipaparkan bahwa Id dan Ego merupakan struktur kepribadian yang sangat mempengaruhi tokoh Yoshihide. Namun, pada akhirnya, Superego memberikan peringatan sekaligus nurani terhadap apa yang telah dilakukan oleh Yoshihide yaitu rasa penyesalan dan kesepian karena ketiadaan anak perempuan satusatunya dan menghantarkan Yoshihide kepada sebuah akhir perjalanan kehidupan yang buruk. Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, cerpen Jigokuhen telah digunakan sebagai obyek penelitian oleh Ugi Purwanti. Dalam deskripsi sebelumnya, penelitian tersebut menekankan pada struktur kepribadian tokoh dengan menggunakan teori Psikoanalisis Freud. Namun, penelitian terhadap motif dibalik tindakan bunuh diri tokoh Yoshihide, dengan perspektif Psikologi Humanistik Abraham Maslow belum pernah dilakukan. Teori psikologi Humanistik Abraham Maslow telah banyak digunakan sebagai objek formal, salah satunya pada skripsi mahasiswa sastra Jepang Universitas Gadjah Mada, oleh Fatma Noor Aini pada skripsinya ”Motif pembunuhan Kenji oleh Yayoi dalam novel AUTO karya Natsuo Kirino” pada tahun 2010. Dalam skripsi ini diungkapkan bahwa Yayoi, sang tokoh utama dalam novel, dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan baik ketika ia tinggal dengan ibunya, namun tidak demikian ketika ia telah menikah. Setelah menikah ia merasa kebutuhan-kebutuhannya terhambat sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap Kenji, suaminya. Setelah melakukan pembunuhan tersebut ia merasa kebutuhan dasarnya berupa kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang
7
dan penghargaan telah terpenuhi karena ia merasa sosok suami yang sebelumnya menjadi ancaman telah mati.
1.5 Landasan Teori Teori yang akan digunakan untuk menganalisis cerpen Jigokuhen adalah teori Struktural dan teori Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Teori Struktural digunakan untuk memahami unsur-unsur intrinsik dalam cerpen serta keterkaitan antar unsurnya dalam membangun totalitas makna. Teori Psikologi Humanistik Abraham Maslow digunakan untuk memahami bagaimana proses pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhannya serta pengaruhnya terhadap tindakan bunuh diri tokoh Yoshihide. 1.5.1 Teori Struktural Sebelum dilakukan penelitian terhadap aspek psikologis tokoh, akan dilakukan penelitian terhadap unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen terlebih dahulu. Aspek-aspek intrinsik yang membangun karya sastra tersebut, meliputi: tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, hubungan harmonis antar aspek (Semi, 1993: 67). Analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai (Nurgiyantoro, 1995: 37). Robert Stanton dalam buku terjemahannya yang berjudul Teori Fiksi menyatakan bahwa karya sastra memiliki unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya sebagai sesuatu yang saling berhubungan dan
8
membentuk satu kesatuan makna (Stanton, 2007: 20-71). Terkait dengan unsurunsur intrinsik dalam karya sastra, Robert Stanton membagi unsur-unsur fiksi menjadi tiga unsur utama, yaitu tema (theme), fakta (facts), dan sarana cerita (literary devices). Fakta cerita (facts) dalam sebuah karya sastra meliputi alur (plot), karakter (tokoh cerita), dan latar (setting). Kemudian, sarana cerita (literary devices) meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi. Selanjutnya, tema (theme) merupakan sesuatu yang menjadi dasar cerita. Berdasarkan hal tersebut, aspek struktural yang digunakan dalam penelitian ini adalah tema dan fakta cerita (terdiri dari alur, karakter dan latar). Aspek-aspek tersebut digunakan karena dapat membantu secara langsung dalam menganalisis kepribadian tokoh Yoshihide. Berikut adalah bagan yang menjelaskan keterkaian antar unsur intrinsik dalam cerita. Gambar 1 Hubungan Antar Unsur dalam Cerita
9
1.5.1.1 Tema Menurut Stanton tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Cara efektif untuk mengenali tema sebuah karya fiksi adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Kedua hal ini berhubungan sangat erat dan konflik utama biasanya mengandung sesuatu yang sangat berguna jika benar-benar dirunut (Stanton, 2007: 42). Tema dapat digolongkan menjadi beberapa kategori tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Tema dapat dikategorikan menjadi tema mayor dan tema minor yang digolongkan berdasarkan tingkat keutamaan. Tema mayor merupakan makna yang menjadi pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya tersebut. Tema minor merupakan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita, sehingga dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian ataupun makna tambahan (Nurgiyantoro, 1995: 83). Proses identifikasi tema dari sebuah cerita tidak dapat dilakukan hanya dengan membaca sepintas suatu karya. Selama proses membaca perlu dilakukan pengamatan pada setiap detail-detailnya, karena dalam setiap detail mengandung aspek-aspek yang mendukung tema cerita. Makna inti dari sebuah cerita umumnya sangat erat kaitannya dengan peristiwa dan problematika yang ditampilkan, sehingga dengan memfokuskan pada kedua aspek tersebut dapat membantu dalam menemukan tema cerita.
10
1.5.1.2 Fakta Cerita Alur, penokohan dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Ketiganya berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita yang apabila dirangkum dinamakan sebagai ’struktur faktual’ atau ’tingkatan faktual’ cerita (Stanton, 2007: 22). a) Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang biasanya terbatas pada peristiwa yang terhubung secara klausal saja. Peristiwa klausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubahan dalam dirinya (Stanton, 2007: 26). Sama halnya dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum sendiri; alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007: 28). -
Konflik Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ’konflik’ dan ’klimaks’.
Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ’konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan
11
lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ’konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal, maupun keduanya (Stanton, 2007: 31-32). Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang diluar dirinya, baik dengan lingkungan alam maupun lingkungan manusia. Dengan demikian, konflik eksternal dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik (physical conflict) dan konflik sosial (social conflict). Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Misalnya, konflik yang terjadi akibat bencana banjir, gunung meletus, dan sebagainya. Sebaliknya, konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia (Nurgiyantoro, 1995: 124). Konflik internal (atau: konflik kejiwaan) adalah konflik yang terjadi di dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau tokoh-tokoh) cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri, ia lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapanharapan, atau masalah-masalah lainnnya (Nurgiyantoro, 1995: 124). Konflik internal maupun eksternal dapat berfungsi sebagai konflik utama maupun konflik tambahan (sub-konflik). Sebuah cerita mungkin mengandung lebih dari satu konflik, tetapi hanya konflik utamalah yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam alur dan dengan bantuan konflik tambahan yang mendukung dan mempertegas konflik utama (Stanton, 2007: 31-32).
12
-
Klimaks Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending
tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler. Klimaks utama tersebut acap sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaksnya sendiri. Akan tetapi, memilih satu tentu tidak akan ada ruginya karena pilihan tersebut masih dapat merangkum struktur cerita secara menyeluruh (Stanton, 2007: 32). b) Tokoh dan Penokohan (Karakter) Menurut Robert Stanton, penggunaan istilah ’karakter’ (character) dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton, 2007: 33). Dalam kesusasteraan Indonesia, istilah ”tokoh” berarti pelaku cerita, menunjuk pada orangnya, sedangkan penokohan merupakan sifat dan sikap para tokoh yang menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995: 165). Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu karakter utama, yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut. Alasan seorang karakter untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan motivasi. Motivasi spesifik
13
seorang karakter adalah alasan atas reaksi spontan, yang mungkin juga tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu. Motivasi dasar adalah suatu aspek umum dari suatu karakter atau hasrat dan maksud yang memandu sang karakter dalam melewati keseluruhan cerita. Arah yang dituju oleh motivasi dasar adalah arah tempat seluruh motivasi spesifik bermuara (Stanton, 2007: 33). Selanjutnya, untuk meneliti tokoh dan penokohan ini digunakan metode karakterisasi. Metode karakterisasi digunakan agar
dapat ditelusuri secara
komprehensif apa yang menjadi latar belakang timbulnya masalah-masalah psikologis tokoh, serta dapat pula dipahami proses dan akibat dari kondisi-kondisi yang mendorong pencerminan konsep-konsep psikologi pada tokoh (Minderop, 2010: 98). Metode karakterisasi dapat dilakukan dengan metode langsung dan metode tidak langsung, metode karakterisasi melalui sudut pandang, melalui telaah arus kesadaran, dan melalui gaya bahasa (Minderop, 2005: 3). Dalam cerpen ini, penulis menggunakan metode telling untuk menggambarkan karakter-karakter tokoh dalam cerita. Metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Biasanya metode ini digunakan oleh para penulis fiksi jaman dahulu-bukan fiksi modern. Melalui metode ini keikutsertaan pengarang dalam menyajikan perwatakan tokoh sangat terasa sehingga para pembaca mengilhami dan menghayati perwatakan tokoh berdasarkan tuturan pengarang (Minderop, 2005: 11). Metode ini mencakup: Karakterisasi
Melalui
Penggunaan
Nama
Tokoh,
Karakterisasi
Melalui
14
Penampilan Tokoh, dan Karakterisasi Melalui Tuturan Pengarang (Minderop, 2005:8). c) Latar Latar atau setting memiliki pengertian sebagai tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial di mana terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh pengarang (Nurgiyantoro, 1995: 216). Unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu: latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Selain itu, ia akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh. Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 1995: 227-234).
1.5.2 Teori Psikologi Humanistik Abraham Maslow Teori Psikologi Humanistik merupakan salah satu dari tiga teori yang paling berpengaruh dalam ilmu psikologi yang meneliti tingkah laku manusia.
15
Teori Psikoanalisis Sigmun Freud dianggap sebagai mahzab pertama yang merintis penelitian terhadap penyakit mental, serta pengaruh ketidak sadaran terhadap tingkah laku manusia. Teori Behaviorisme disebut-sebut sebagai mahzab kedua yang dipelopori oleh John B. Watson. Teori ini berpusat pada penelitian yang menganggap tingkah laku manusia tidak dipengaruhi oleh dorongandorongan dalam diri manusia layaknya Freudianisme, namun dipengaruhi oleh lingkungannya. Tidak seperti Freudianisme yang cenderung meneliti manusia yang memiliki penyakit mental dan Behaviorisme yang menggunakan binatang sebagai obyek penelitiannya, Abraham Maslow memusatkan penelitiannya pada jiwa-jiwa manusia yang sehat dan mengaktualisasikan dirinya. Humanisme menegaskan adanya keseluruhan kapasitas martabat dan nilai kemanusiaan untuk menyatakan diri (self-realization). Humanisme menentang pesimisme
dan
keputusasaan
pandangan
psikoanalitik
dan
konsep
kehidupan ”robot” pandangan behaviorisme. Humanisme yakin bahwa manusia memiliki di dalam dirinya potensi untuk berkembang sehat dan kreatif, dan jika ia mau menerima tanggung jawab untuk hidupnya sendiri, ia akan menyadari potensinya dan mengatasi tekanan-tekanan sosial disekitarnya (Alwisol, 2009: 199). Abraham Maslow menyusun teori motivasi manusia, dimana variasi terhadap kebutuhan manusia tersusun secara hierarki atau bertingkat. Kebutuhan tersebut tersusun dari yang paling kuat sampai yang paling lemah dan tersusun dalam satu tingkatan. Kebutuhan yang terletak paling bawah, menuntut untuk
16
dipenuhi sebelum muncul kebutuhan-kebutuhan ditingkat berikutnya, seperti terlihat pada bagan dibawah ini.
Gambar 2 Hierarki Kebutuhan menurut Abraham Maslow
Adapun penjabaran dari bagan hierarki kebutuhan Abraham Maslow diatas adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan
fisiologis
merupakan
kebutuhan
manusia
untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makan, minum, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan lain-lain (Maslow via Goble, 1987: 71). Umumnya kebutuhan fisiologis bersifat homoestatik (yaitu usaha untuk menjaga keseimbangan unsur-unsur fisik) seperti makan, minum, gula, garam, protein, serta kebutuhan untuk istirahat dan seks. Kebutuhan fisiologis ini sangat kuat, dalam keadaan absolut (kelaparan dan kehausan) semua kebutuhan lain ditinggalkan dan ia akan mencurahkan semua kemampuannya untuk memenuhi
17
kebutuhan ini. Bisa jadi kebutuhan fisiologis harus dipuaskan oleh pemuas yang seharusnya (misal orang yang kehausan harus minum atau dia mati); tetapi ada juga kebutuhan yang dapat dipuaskan dengan pemuas yang lain (misalnya ia minum atau merokok untuk menghilangkan rasa lapar). Bahkan bisa terjadi pemuas fisiologis itu dipakai untuk memuaskan kebutuhan jenjang yang lebih tinggi, misalnya orang yang tidak terpuaskan cintanya, merasa kurang puas secara fisiologis sehingga terus-menerus makan untuk memuaskannya (Alwisol, 2009:204). 2. Kebutuhan Akan Rasa Aman (Safety) Segera setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, muncul kebutuhan lain yang menurut Maslow disebut sebagai kebutuhan akan rasa aman. Jika kebutuhan fisiologis adalah pertahanan hidup jangka pendek, kebutuhan akan rasa aman merupakan pertahanan hidup jangka panjang (Alwisol, 2009: 204). Kebutuhan ini telah muncul sejak bayi, dalam bentuk menangis dan berteriak ketakutan karena perlakuan yang kasar atau karena perlakuan yang dirasa sebagai sumber bahaya. Sedangkan pada masa dewasa kebutuhan terhadap rasa aman berwujud dalam berbagai bentuk, misalnya kebutuhan pekerjaan dan gaji yang mantap, praktek beragama dan keyakinan filsafat tertentu yang membantu ia untuk senantia merasa selamat semasa hidup dan sesudah mati Menurut Maslow, gejala neurotik obsesif-kompulsif banyak dilatar belakangi oleh kegagalan memenuhi kebutuhan ini (Alwisol, 2009: 205).
18
3. Kebutuhan Akan Rasa Memiliki dan Cinta (Belonging and Love) Sesudah kebutuhan fisiologi dan keamanan relatif terpuaskan, kebutuhan dimiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial dan cinta menjadi tujuan yang dominan. Orang sangat peka tehadap kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan, dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta. Kebutuhan dimiliki ini akan terus penting sepanjang hidup (Alwisol, 2009: 205). Kebutuhan akan cinta meliputi cinta yang memberi dan menerima. Manusia akan mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada umumnya. Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan ini menjadi penyebab hampir semua bentuk psikopatologi (Maslow via Goble, 1987: 74-75). 4. Kebutuhan Akan Harga Diri (Self Esteem) Manakala kebutuhan dimiliki dan memiliki relatif terpuaskan, akan timbul kebutuhan lain yang menuntut untuk dipenuhi, yakni kebutuhan akan harga diri. Harga diri menurut jenisnya terbagi menjadi dua, yaitu: - Menghargai diri sendiri (self respect), meliputi: kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Manusia membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri bahwa dirinya berharga, mampu menguasai tugas dan tantangan hidup. - Mendapat penghargaan dari orang lain (respect from others), meliputi: prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan apresiasi. Manusia membutuhkan pengetahuan bahwa dirinya dikenal dan dinilai baik oleh orang lain (Alwisol, 2009: 206).
19
Pemenuhan kebutuhan akan harga diri membawa perasaan percaya pada diri sendiri, nilai, kekuatan, kapabilitas dan kelaikan, perasaan dibutuhkan dan bermanfaat bagi dunia. Sebaliknya, ketidak mampuan dalam pemenuhan kebutuhan ini menimbulkan perasaan rendah diri, lemah dan tak berdaya (Maslow, 1993: 56). 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri Empat kebutuhan yang telah dipaparkan sebelumnya merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai kebutuhan meta atau kebutuhan berkembang, yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan berkembang yang menjadikan seseorang memiliki rasa ingin berkembang, ingin bertranformasi lebih berwarna. Aktualisasi diri merupakan keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri, untuk menyadari potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dapat ia lakukan, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensi dirinya (Alwisol, 2009: 206). Bentuk khusus dari kebutuhan ini berbeda bagi masing-masing individu. Pada orang yang satu kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk menjadi ibu yang ideal, pada orang lain dapat berupa keinginan untuk menjadi atlet, dan pada yang lainnya terungkap pada waktu melukis atau menemukan hal-hal baru. Pada tingkat inilah terletak perbedaan-perbedaan individu terbesar (Maslow, 1993: 57).
20
1.6 Metode Penelitian Metode penelitian yang akan dilakukan terdiri dari dua, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data. Dalam pengumpulan data, pertama-tama penulis menentukan obyek material penelitian, yaitu cerpen Jigokuhen karya Akutagawa Ryuunosuke. Kemudian dilakukan penerjemahan teks asli kedalam bahasa Indonesia untuk memudahkan proses pemilihan data penelitian. Kedua, mencari dan mengumpulkan data-data terkait penelitian berupa referensi buku mengenai teori sastra, teori psikologi humanistik Abraham Maslow, serta referensi melalui media internet yang terkait dengan obyek penelitian. Kemudian setelah data-data dianggap lengkap dan telah dilakukan penerjemahan, dilakukan proses analisis dengan menerapkan metode analisis deskriptif. Dalam proses analisis, pertama-tama penulis membaca hasil terjemahan dan membuat ringkasan cerita. Selanjutnya dilakukan analisis unsurunsur intrinsik dalam cerita dan mencari keterkaitan antar unsurnya. Setelah dilakukan analisis unsur intrinsik, dalam tahapan kedua, dilakukan analisis terhadap tokoh menggunakan teori Humanistik Abraham Maslow. Teori Psikologi Humanistik digunakan untuk memahami bagaimana proses pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhan tokoh utama sehingga motif tindakan bunuh diri yang dilakukannya dapat diketahui.
21
1.7 Sistematika Penulisan Penulisan laporan penelitian ini dibagi kedalam empat bab. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua merupakan analisis struktural yang membahas tema, fakta cerita berupa penokohan dan latar serta keterkaitan antar unsur. Bab tiga berupa pembahasan mengenai pemenuhuan kebutuhan-kebutuhan tokoh serta analisis terhadap motif tindakan bunuh diri tokoh Yoshihide. Bab empat merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian. Selain itu, terdapat pula lampiran meliputi sinopsis cerpen.