Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
PERSOALAN OTENTITAS HADIS (Bantahan Para Ulama terhadap Pemikiran Ignaz Goldziher) Zainuddin Prodi Akhwalus Syaksiyah STIS Miftahul Ulum Lumajang
[email protected] Abstract The explanation in this paper parse Ignaz Goldziher thought, because thought Goldziher as a pioneer study of hadith in the West. In general, the attitude of the orientalists in the study of hadith among orientalis in addressing Hadith affected by Ignaz Goldziher thought, especially in criticizing Imam Bukhari. In fact, he made this criticism as his doctoral dissertation in the title. one opinion he spend is time ranges distances from SAW Rasulallah future opportunities for leaders of various streams to make the hadith with the aim of strengthening their flow. In fact, no flow, both theoretically and practically, which did not confirm his opinion with the traditions that seems genuine in the field of Aqeedah, Fiqh, or politics. Goldziher The arguments used to prove the authenticity of the hadith of the Prophet is based on a history relating to the case of writing traditions performed by Ibn Shihab al-Zuhri. Keywords : Otentical Hadist, Perspective Ignaz Goldziher Abstrak Penjelasan dalam tulisan ini mengurai pemikiran Ignaz Goldziher, sebab pemikiran Goldziher sebagai pioner studi hadist di Barat. Secara umum, sikap para orientalis dalam kajian hadist di kalangan orientalis dalam menyikapi Hadits yang terpengaruh oleh pemikiran Ignaz Goldziher, terutama dalam mengkritik Imam Bukhari. Bahkan ia jadikan kritik ini sebagai disertasi dalam meraih gelar doktornya. Di antara pemikarannya adalah Rentang waktu dan jarak yang jauh dari masa Rasulallah SAW membuka peluang bagi para tokoh berbagai aliran untuk membuat hadits dengan tujuan memperkuat aliran mereka. Bahkan, tidak ada satupun aliran, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, yang tidak mengukuhkan pendapatnya dengan hadis-hadis yang tampaknya asli dalam bidang aqidah, fiqih, atau politik. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan 265
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri.. Kata kunci : Otentitas Hadist, Perspektif Ignaz Goldziher Pendahuluan Studi para pengkaji Islam dari dunia barat tentang dunia timur yang populer dikenal dengan orientalisme merupakan aktifitas yang telah berlangsung lama. Diantara tokoh orientalis yang dianggap paling menonjol karya dan pemikirannya dalam studi hadis adalah Ignaz Goldziher, yang dalam perjalananya banyak memberikan inspirasi kepada orientalis lainnya seperti Joseph Schacht dan G.H.A Juynboll. Dalam kancah dunia orientalis, Ignaz Goldziher sendiri dianggap sebagai tokoh besar orientalis yang banyak memberikan pengaruh terhadap studi Keislaman utamanya studi hadis. Dengan menggggunakan metode filologis serta kritik historis, pemikiran dan pandangannya tentang hadis terekam dalam beberapa karyanya, khususnya Muslim Studies, memicu lahirnya beragam reaksi baik berupa apresiasi maupun disapresiasi. Ignaz secara tegas meragukan otentisitas hadis yang notabene merupakan sumber hukum kedua ajaran Islam. Sekilas Mengenai Ignaz Goldziher Ignaz Goldziher (selanjutnya hanya disebut dengan Goldziher) dilahirkan pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hungaria dari sebuah keluarga Yahudi terpandang dan memiliki pengaruh.1 Goldziher terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia 5 tahun, dia mampu membaca teks Bibel dalam bahasa Ibrani. Pendidikannya dimulai dari Universitas Budapest, Hungaria, kemudian dilanjutkan di Berlin pada tahun 1869. hanya satu tahun disana, ia pindah ke Leipzig University, Jerman. Di bawah asuhan Flesser, salah satu guru besar orientalisme di universitas tersebut, Goldziher kemudian memperoleh gelar dokotral tingkat pertama tahun 1870 dengan risalah “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi abad tengah” pada usia 19 tahun. 2 Setelah sempat ditunjuk menjadi asisten profesor di Universitas Budapest tahun 1872, Goldziher melanjutkan studinya di 1
A. Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), h. 19. 2 Abdurrahman Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyrikin, terj. Ensiklopedi Orientalis, Amroeni Drajat (Yogyakarta: LkiS, 2003) h. 128-129.
266
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
Wina dan Lieden. Ia kemudian ditugaskan untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan timur dan menetap selama setahun di Kairo, Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo, Ignaz sempat bertukar kajian di universitas Al-Azhar dan belajar pada Syaikh Thahir al-Jazairi, Palestina dan sempat belajar di Mesr (al-Azhar).3 Sepulang dari al-Azhar dia diangkat sebagai guru besar di Universitas Budapest.4 Selanjutnya Goldziher pernah diangkat sebagai pemimpin universitas Budapest. Di sini, ia sangat menekankan kajian peradaban Arab, khususnya Islam. Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit. Sejak saat itu dia hampir tidak pernah kembali ke negerinya, kecuali menghadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar di universitas asing yang mengundangnya. Goldziher Meninggal pada 13 Nopember 1921 di Budapest.5 Karya-karyanya Goldziher banyak menerbitkan sejumlah besar risalah, artikel review dan esai yang berkontribusi pada koleksi Hungaria Academy. Sebagian besar karya-karya ilmiah itu masih dianggap relevan. Selain karya-karya ilmiah itu, Goldziher menyimpan catatan yang relatif pribadi refleksinya, catatan perjalanan dan catatan harian. Karya-karya tulisannya yang membahas masalah keislaman banyak dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis. Bahkan sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Karya yang paling berpengaruh adalah Muhammadanische Studien, dan menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat. 6
3
Abdurrahman Badawi, op.cit., h. 129. Umi Sumbullah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 169. 5 ibid, h. 130 6 Buku ini aslinya berbahasa Jerman dengan judul Muhammedanische Studien, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh C.R. Barber S.M. Stern dengan judul Muslim Studies dan diterbitkan pertama kali tahun 1971 oleh George Allen dan Unwin LTD, London. Lihat Dadi Nurhaedi, Perkembangan Studi di Kalangan Orientalis, Jurnal Essensia, UIN Yogyakarta Vol. 4No. 2 tahun 2003, h. 177 dalam Akhmad Supriadi, Studi Al-Quran Dan Hadis Orientalis (Studi atas Pandangan Ignaz Goldziher tentang Al-Quran dan Hadis) http://pondasamarkand.blogspot.com/2013/04/studi-al-quran-dan-hadis-orientalis.html diakses tanggal 2 mei 2013 . 4
267
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
Golziher telah banyak menghasilkan banyak karya dalam berbagai bidang, baik akidah, fikih, tafsir, hadis, maupun sastra. Hasil karya kreatifnya diantaranya : 1. Muhammedanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid, 1889-1890) 2. Vorlesungen Uber den Islam (Introduction to Islamic Theology and Law) 3. Muslim Studies 4. Methology Among The Hebrews And Its Historical Development 5. On The History of Grammar Among The Arabs 6. Zahiris: Their Doctrine and Their History, a Contribution diterbitkan pada tahun 1884. 7. Short History of Classical Arabic Literature 8. Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam) 9. Etudes Sur La Tradition Islamique, dan karya-karya tulis lainnya. 10. Die Riechtungen der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam Islam, Leiden,1920) Pengaruh Pemikiran Otentitas Hadis Goldziher terhadap Diskursus Studi Hadis Pemikiran Goldziher ternyata berdampak sangat luas terhadap seluruh kajian-kajian tentnag Islam. Pengaruhnya bukan saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalangan pemikir muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya Fajrul Islam juga meragukan beberapa hadis akibat teori Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah ia juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi Goldziher.7 Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda. Di Indonesia, ada salah satu doktor di bidang Hadits yang terpengaruh oleh pemikiran seperti ini, terutama dalam mengkritik Imam Bukhari. Bahkan ia jadikan kritik ini sebagai disertasi dalam meraih gelar doktornya. Adalah Dr. Muhibbin Noor, seorang doktor di bidang Hadits lulusan UIN Sunan Kalijaga yang menulis buku Kritik Keshahihan Hadits Imam Bukhari, Telaah Kritis Atas Kitab al7
Ali Mustafa Yaqub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992),h.29-30.
268
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
Jami’ al-Shahih, yang menyatakan bahwa di dalam kitab al-Jami’ alShahih terdapat Hadits-hadits yang dhaif, palsu dan bertentangan dengan Al-Qur-an.8 Otentitas Hadis Menurut Ignaz Goldziher Kritik keaslian hadis Diskursus tentang otentisitas hadis merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial karena perbedaan dengan alQur’an yang telah mendapatkan garansi. Sebagaimana firman Allah Swt dalam ayatnya yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”9 Secara normatif-teologis, hadis tidak mendapatkan garansi keterpeliharaan dari Allah. Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan hadis. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadis pertama kali) dengan karyanya Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern (1856) dan Sir William Munir dengan karyanya Life of Mahomet, namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian seputar eksistensi dan validitas hadis.10 Menurut Azami, Ignaz Goldziher adalah sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis dengan bukunya Muhammadanische Studies. Goldziher mengatakan: ”bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.11 Adnin Armas, Ignaz Goldziher Orientalis Penolak Kebenaran Hadits, AlMujtama edisi 11 Th1/9 Rabiul Awwal 1430H dalam http://ndalndol.blogspot.com/2012/05/ignaz-goldziher.html diakses tanggal 2 mei 2013 9 QS. al-Hijr (15) : 9. 10 Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971), h. 181. 11 Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits dimata Orientalist, http://fai-unismamalang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html diakses tanggal 2 mei 2013 8
269
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
Asal Mula Kritik Goldziher terhadap otentitas hadis Sebenarnya Goldziher sendiri bukanlah orang pertama yang menggugat satus hadis dalam Islam. Alois Sprenger12 disinyalir sebagai orang yang pertama kali mempersoalkan status hadis, dilanjutkan kemudian oleh William Muir13 yang kemudian dipatenkan serta digaungkan secara kuat oleh Goldziher. 14 A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee.15 Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits perlu kita cermati mengenai apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien. Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadis dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul. 16 Argumentasi Goldziher tentang kritik otentitas hadis 12 Menurut Sprenger, hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita bohong tetapi menarik). Lihat Syamsuddin Arif, Gugatan Oeientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya di Dunia Islam, dalam Jurnal Al-Insan, No. 02 vol. I, 2005, h.10. dalam Akhmad Supriadi, Studi Al-Quran…. 13 Muir misalnya menyatakan bahwa nama Nabi Muhammad sengaja sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Menurutnya pula, dari 4000 hadis yang dianggap sahih oleh Bukhari, paling tidak separuhnya harus ditolak. Lihat ibid. 14 Syamsuddin Arif, op.cit.,h.10. 15 Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. (Bandung: Benang Merah Press, 2004),h. 88 16 terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna. Muhammadanische Studies dianggap ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat.
270
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
Pandangan-pandangan Goldziher tentang As-Sunnah adalah sebagai berikut: 1. Ia berpendapat bahwa sebagian besar hadits merupakan hasil perkembangan Islam di bidang politik dan sosial. 2. Ia berpendapat bahwa para sahabat dan tabi’in berperan dalam pemalsuan hadits. 3. Rentang waktu dan jarak yang jauh dari masa Rasulallah SAW membuka peluang bagi para tokoh berbagai aliran untuk membuat hadits dengan tujuan memperkuat aliran mereka. Bahkan, tidak ada satupun aliran, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, yang tidak mengukuhkan pendapatnya dengan hadis-hadis yang tampaknya asli dalam bidang aqidah, fiqih, atau politik. 4. Sudut pandang para kritikus dari kalangan umat Islam berbeda dengan sudut pandang para kritikus asing (nonmuslim) yang tidak menerima kebenaran banyak hadits yang diakui benar oleh umat Islam. 5. Ia menggambarkan enam kitab hadits sebagai himpunan berbagai macam hadits yang tercecer, yang oleh para penghimpunnya dinilai sebagai hadits shahih. 17 Beberapa argumentasi atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut: a. Pemakaian istilah ‘hadis’ Kata hadis didefinisikan oleh para ulama dengan makna yang berbeda. Setidaknya ada dua golongan ulama yang mendefinisikan kata ini dengan makna yang berbeda. Pertama, para ulama yang mengartikan kata ini sebagai suatu komunikasi atau pembicaraan. 18 Kedua, para ulama mendefinisikan kata hadis sebagai sabagai suatu yang baru (jadid), yang dekat (qarib), warta (khabar)19 atau kaun al-
17 Ajaj Al-Khatib, Hadits Nabi sebelum dibukukan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) h. 299-301 18 Hal ini sebagaimana didefinisikan oleh Shubhi Shalih – dengan mengutip tinjauan Abdul Baqa’ – bahwa hadis adalah isim dari tahdits yang berarti pembicaraan. Shubhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 21. Arti ‘pembicaraan’ ini telah dikenal oleh masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah sejak mereka menyatakan “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits (buah pembicaraan). Sebagaimana dikutip oleh Shubhi Shalih, Al-Farra telah memahami arti ini ketika berpendapat bahwa mufrad kata ahadit sadalah uhudutsah (buah pembicaraan). Lalu kata ahadits itu dijadikan jamak dari kata hadis. Shubhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, h. 21-22. 19 Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustakan Rizki Putra, 1999), h. 1.
271
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
Syai ba’da in lam yakun (adanya sesuatu setelah tidak adanya),20 yang merupakan naqli dari qadim.21 Posisi Goldziher, pada konteks ini, berada di posisi keduanya, walaupun nanti ada perbedaan. Pertama-tama Goldziher menguraikan makna hadis secara terminologis yang ia sebut sebagai sebuah kisah, komunikasi, yang tidak hanya berlaku diantara orangorang yang menyebut kehidupan agama sebagai hadis, tetapi yang dimaksud adalah infromasi historis, baik itu yang bersifat secular atau keagamaan, baik itu terjadi pada waktu yang telah lalu ataupun pada masa tertentu. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa pada konteks sebuah legenda dan dongeng, kata ‘hadis’ juga diaplikasikan untuk subjek sebuah cerita. Oleh sebab itu pernyataan ‘menjadi suatu hadis’ adalah menjadi contoh yang akan selalu diceritakan oleh generasi kemudian. 22 Goldziher nampak ingin memperluas wilayah komunikasi dan cakupan hadis atau mengembalikan makna itu pada ma’na wadl’iyyah-nya. Goldziher mencari akar kata hadis sendiri dan tidak ingin terlebih dahulu menghubungkannya dengan aspek keagamaan. Maka tak salah jika Goldziher mengatakan bahwa hadis sudah mengalami pergeseran konteks makna kata. 23 Goldziher juga menyinggung kata ahdatsa. Menurutnya kata ini adalah istilah yang biasa dipakai pada periode awal Islam untuk memperkenalkan sebuah inovasi yang tidak didasari kebiasaan masa lalu, yaitu masa patriarkhi. Dia menyandarkan pendapat ini pada riwayat ‘Aisyah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Man ahdatsa fi amrina hadza ma laysa minhu fahuwa riddun”. Maka dia pun menganggap bahwa pernyataan syarr al-Umur muhdatsatuha adalah
20 Musahadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam (Semarang: IAIN Walisongo Press, 2000), h. 30. 21 Al-Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Mashadir, tth), juz. 2, h. 131. Adapun yang dimaksudkan dengan baru adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan yang qadim adalah Kitab Allah. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Hajr al-‘Asqalani bahwa yang dimaksud dengan hadis menurut pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw, dan hal itu seakanakan dimaksudkan sebagai bandingan al-Qur’an yang qadim. 22 Aramdhan Kodrat Permana 2012. Term Sunnah Dan Hadis Dalam Pandangan Ignaz Goldziher. http://santrientrepreneur.blogspot.com/2012/01/termsunnah-dan-hadis-dalam-pandangan.html diakses tanggal 2 mei 2013 lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studies, , edited by S. M. Stern and translated from German by C. R. Barber and S. M. Stern. Pp. 378. (London, Allen and Unwin, 1971), h. 18. 23 ibid
272
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
merupakan sebuah inovasi atau dengan kata lain bid’ah yang memang dilarang dalam koridor Islam. 24 Pernyataan ini dipertegas oleh Goldziher bahwa sinonim dari kata al-Bid’ah adalah muhdats atau hadath, yang menurutnya para ulama Islam adalah sesuatu yang dipraktekan yang tidak mempunyai relevansi dengan zaman dulu, yang dalam agama, dimaksudkan sebagai perilaku yang tidak dilakukan pada masa nabi, selama inovasi itu tidak memiliki dasar keagamaan. 25 Dalam hal ini Goldziher melakukan suatu perbedaan yang jelas, yaitu bagaimana ia membedakan kata hadis yang berasal dari kata hadatha dengan kata yang merupakan keturunan dari kata ahdatsa.Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru dan telah terjadi dalam diskursus wacana Islam, tetap hanya sebagai ‘fakta’ bahwa ternyata kata muhdats itu mempunyai arti yang saling bertolak belakang dengan sunnah secara definitif. Padahal kata hadis itu dalam pandangan ulama Islam disamakan dengan sunnah. Artinya bahwa kata hadis disatu sisi ditarik pada ‘urf isti’mal yang positif dan dan muhdats atau ahdatha pada wilayah yang negatif. Fakta bahwa hadis disandarkan secara positif oleh umat Islam lebih lanjut oleh Goldziher ditekankan ketika membahas hadis secara terminologis, bahwa kata hadis yang dipakai oleh umat Islam sebagai otoritas keberagamaan umat Islam yang tertinggi dikontraskan dengan kitab Allah, yang merupakan ‘hadis’ paling indah dan sempurna.26 Disisi lain Goldziher pun mengamini bahwa istilah ini diucapkan oleh Nabi sendiri, sebagaimana terdapat dalam suatu riwayat ketika Nabi ditanya oleh Abu Hurairah. Abu Hurairah menanyakan kepada Rasulullah tentang siapa orang yang paling berbahagia pada hari kiamat. Rasululullah menjawab, “Saya telah mengharapkan, Abu Hurairah, bahwa engkaulah orang yang pertama menanyakan pada saya tentang pembicaraan (hadits) ini, selama mengamati bagaimana keinginanmu untuk bertanya tentang hadits." Goldizher disisi lain percaya bahwa hadis-hadis ini (yang dibawa pada daerah-daerah yang ditaklukan) adalah sesuatu yang bersangkutan dengan keagamaan dan praktek yang sah dan dikembangkan dibawah bimbingan Nabi serta dihormati sebagai suatu norma untuk dunia Islam secara keseluruhan.27 Namun, pada 24
Ibid, lihat goldziher, op.cit., hal 28 Ibid, lihat goldziher, op.cit., hal 34 26 Pernyataan hadis yang paling sempurna dan indah ini oleh Subhi Shalih diteliti ternyata banyak kitab Sunan yang mengungkapkan hal seperti itu, “Khair alHadits Kitabullah wa khair al-Huda huda Muhammad”. 27 Goldziher, op.cit.,, h. 18 25
273
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
proses hadis, dia mengatakan bahwa pengetahuan yang paling dekat dengan banyaknya hadis membawanya pada sikap (dengan hatihati) skpetis daripada sikap percaya atau optimis kepada bahanbahan yang dibawa dan dikompilasikan secara hati-hati. Maka wajar apabila Goldziher mengatakan bahwa ia tidak mungkin seoptimis atau sepercaya Dozy ketika berbicara tentang hadis, walaupun ia secara sadar mengetahui sejauh mana perkembangan hadis ini sebagai sebuah hasil dari perkembangan keagamaan, sejarah dan sosial Islam selama satu sampai dua abad. 28 Pada titik inilah skeptisisme Goldziher melihat fakta adanya berbagai proses yang lama dan dengan munculnya hadis yang banyak, ia mulai bersikap ragu-ragu terhadap keotentikan hadis. Yang pada akhirnya, ia menyimpulkan bahwa hadis bukan sebuah dokumen sejarah masa pertumbuhan Islam, namun ia hanyalah sebuah refleksi dari sebuah kecenderungan yang muncul di sebuah komunitas selama perkembangan Islam. 29 Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan: “Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah ‘memaksa’ kami untuk menulis beberapa ‘hadis’”
Pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.30 Metode penelitian hadis yang lemah Ignaz Goldziher mengatakan bahwa penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. 31 Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dll. Goldziher menyatakan bahwa redaksi 28
Goldziher, op.cit.,, h. 19. Ibid 30 Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist... 31 Ali Mustafa yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) h.15 29
274
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadis dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadis disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.32 Ada beberapa alasan yang menyebabkan Goldziher meragukan kesahihan hadis Nabi: Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilahistilah isnad yang lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, adanya hadis-hadis yang kontradiktif satu sama lain. Ketiga, perkembangan hadis secara massal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak termuat dalam koleksi hadis yang lebih awal. Keempat, para sahabat kecil lebih banyak mengetahui Nabi, dalam arti mereka lebih banyak meriwayatkan hadis daripada sahabat besar. Semua ini menjadi bukti bagi Goldziher bahwa telah terjadi pemalsuan hadis dalam skala besar. Menurutnya, untuk memahami dan menetapkan kesahihan hadis, tidak hanya disandarkan pada analisis sanad, lebih jauh untuk menggambarkan sampai sejauh mana hubungan teks hadis dengan kondisi eksternal atau latar belakang kondisi sosial politik saat hadis tersebut muncul. 33 Dengan kata lain hadis menurut Goldziher merupakan alat untuk menjaga hegemoni kepentingan kelompok, politik mapun keagamaan, bukan sebagai alat untuk mengetahui perilaku Nabi yang sesungguhnya. 34 Dalam hali ini, Goldziher menyontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari, dimana menurutnya Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan, sehingga setelah adanya kritik matan yang dilakukan oleh Goldziher, hadis tersebut dinyatakan palsu. Untuk menguatkan argumentasinya, Goldziher memberikan sebuah contoh dimana ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang karena khawatir orang-orang Syam yang 32
ibid, h. 187-188 Sebenarnya dalam tradisi ulum al-hadis sendiri telah dikenal istilah kritik matan (naqd al-mtn) dimana kriteria otentisitas hadis dirumuskan harus memenuhi empat (4) syarat yakni pertamadiriwayatkan dengan transmisi yang bersambung(ittishal al-sanad); kedua para musnid itu sendiri adalah orang-orang yang kredibel dan kuat ingatannya, ketiga materi atau matan hadis tidak kontradiktif dengan Al-Quran dan Hadis lain yang sandnya lebih unggul kualitasnya, serta keempat tidak mengandung kecacatan. Hanya saja kritik matan yang diusung oleh Goldziher dan versi ulama hadis memiliki perbedaan dimana kritik Matan versi Goldziher lebih menitikberatkan kepada aspek kritik historis, sehingga tentu saja tidak menemukan titik temu diantara keduanya.Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik…h. 13. 34 Abdurrahman Badawi, op.cit., h. 131. 33
275
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
pergi haji ke Makkah akan melakukan ba’iat setia kepada rivalnya Abdullah bin Zubair, ia kemudian berusaha agar orang-orang tersebut dapat melakukan haji di Qubbah al-Sakhra di Yerussalem sebagai ganti dari dari pergi haji ke Makkah. Selanjutnya untuk tujuan politis tersebut ia mempercayakan ahli hadis al-Zuhri untuk membuat suatu hadis yang bersambung kepada Nabi saw dan mengedarkannya ke masyarakat. Peristiwa inilah yang menurut Goldziher melatarbelakangi munculnya hadis Nabi yang berbunyi,
حدددي عمدددال اق دددي لزهيدددا حددد حدددا جميعددد عددد احددد عيي ة ل عمال حي سفي ن ع اقزهاي ع سعيي ع أح هاياة يبلغ حه اق ب صلى هللا عليده لسدل ال تشدي اقاحد ل ال قدددى دددة مسددد جي مسددد يي هددد ا لمسددد ي اقمددداا لمسددد ي األ صددددى لحددددي أحددددر حنددددا حدددد أحدددد دددديبة حددددي عبددددي األعلى ع معماع اقزهاي حه ا اإلس د غيا أنه د ل تشدي 35ة مس جي اقاح ل قى “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” 36
Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.37 Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan alZuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid alAqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an.38 35
HR. Al-Bukhari no. 1139 Ignaz Goldziher, op.cit.,, h. 44-45. 37 Ibid., 38 Ibid., 36
276
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
Goldziher juga mengkritik Ibnu Abbas, informasi-informasi yang merujuk kepadanya (Ibnu Abbas) dinilai akan banyak sekali memberikan pengaruh dan pujian dalam hal uraian untuk memahami Alqur’an. Padahal usia Ibnu Abbas ketika Rasulullah wafat tidak lebih dari 10-13 tahun.39 Artinya, keraguan Goldziher karena Ibnu Abbas yang pada waktu itu masih kecil, mungkin saja dia termasuk anak yang tidak diperhitungkan. b. Masalah Kodifikasi Hadis Melalui karyanya yang monumental, Goldziher mengatakan bahwa kaum Muslimin klasik telah beranggapan bahwa hadis adalah ajaran lisan yang penulisannya dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an. Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan untuk melegitimasi suatu kepentingan dengan beragama motivasi baik politik, kegamaan, ekonomi dan lain-lain, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi. 40 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadis yang membolehkan penulisan (proses pengkodifikasian) sebenarnya lebih banyak dari pada pelarangan hadis yang lebih mengandalkan pada hafalan. Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan adanya penulisan hadis melalui periwayatan Abu Hurairah “Tidak ada seorangpun yang hafal lebih banyak hadis selain aku, Namun Abdullah Bin ‘Ash telah menuliskannya sedangkan aku tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin Anas pernah mengajar murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para pendengar menghafalnya dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannya. Di samping itu, masih banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis oleh Goldziher untuk menguatkan data tentang penulisan hadis ini.41 Pergulatan pemikiran (gazhw al-fikr) yang berkisar pada wilayah boleh tidaknya penulisan hadis, merangsang Goldziher untuk berkomentar, bahwasanya pelarangan itu merupakan akibat yang dibiaskan dari prasangka-prasangka yang muncul kemudian. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kamu menulis dariku kecuali al-Qur’an, dan barang siapa menuliskannya hendaknya 39
Ignaz Goldziher, op.cit., h. 89-90. M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 3. 41 Ignaz Goldziher, op.cit., h. 183. 40
277
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
dia menghapuskannya.”42 Selain itu juga karena kekhawatiran akan menyakralkan tulisan, sehingga kata Goldziher, mereka lebih cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan, sebagaimana yang dilakukan oleh agama-agama terdahulu (baca: Yahudi) yang mengabaikan ungkapan Tuhan tetapi justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.43 Nampaknya Goldziher sengaja mengutip banyak bukti periwayatan yang melegitimasi pelarangan ataupun pembolehan penulisan hadis. Terlepas apakah periwayatan-periwayatan tersebut mutawatir atau tidak, namun harus diakui bahwa orientalis, khususnya Goldziher, sangat hebat dalam menelusuri data-data yang telah ada berikut data-data historis yang juga mendukung pelarangan penulisan hadis, yaitu: pada abad ke-3 H. (masa Imam Bukhori dan Muslim), Abu Ali al-Basri sangat memuji orang yang menghapal dan mengutuk orang yang menulis, karena menulis buku tidak akan bebas dari bahaya api, bahaya tikus, bahaya air dan bahaya pencuri yang akan mengambilnya. Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abu Sa’ad Abdul Rahman Bin Dost pada abad ke-4 H. Kemudian pada abad ke-6, penulisan hadis ini direkomendasikan oleh sejarawan terkemuka dari Damaskus, yaitu Abu al-Qosim Ibnu Asakir yang wafat pada tahun 521 H.44 Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt, beranggapan bahwa tradisi penulisan hadis sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama.45 Dan pengadopsian dari gagasan yahudi itu juga mendapat dukungan dari sebagian kaum Muslimin sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang telah ada. Menurut Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa terlepas dari kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti yang menunjukkan bahwa Muhammad SAW mencatat riwayat-riwayat 42
ibid, h. 183-184. ibid, h. 186. 44 ibid. 45 Ignaz Goldziher, op.cit.,, h. 186. 43
278
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
selain Al-Quran serta tidak ada bukti bahwa penulisan hadis itu sudah terjadi sejak awal Islam.46 Hadis Sebagai Refleksi Doktrinal Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik bukan merupakan laporan yang otentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampirhampir tidak mungkin untuk menyaring sedemikian banyak materi hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.47 Menurut Goldziher, bahwa para peawi hadis meriwayatkan hadisnya dengan mengatasnamakan Muhammad, padahal Muhammad sendiri tidak mengatakan itu. Selain itu juga, Goldziher juga menegaskan bahwa hadis itu palsu karena diriwayatkan untuk kepentingan politis dan ideologis dari kaum muslimin yang sudah terpecah-pecah. Bagi Goldziher, hadis Nabi bukanlah representasi kelahiran Islam, tetapi merupakan refleksi atas tendensi-tendensi masa awal perkembangan masyarakat. Dengan kata lain, hadis adalah tradisi masyarakat Arab. Goldziher menilai bahwa hadis bukanlah sumber terpercaya bagi masa awal-awal Islam, namun hanya menjadi sumber yang sangat bernilai bagi dogma dan konflik. Skeptisisme (keraguan) Goldziher ini kemudian diadopsi oleh Leone Caetani dan Henri Lammens dengan menyatakan bahwa hampir semua riwayat tentang kehidupan Nabi adalah meragukan. 48 Bantahan Ulama Muslim mengenai Pemikiran Otentitas Hadis Goldziher 1. Sanggahan mengenai Hadis Zuhdi Goldziher memebrikan sebuah contoh dimana ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang karena khawatir orang-orang Syam yang pergi haji ke Makkah akan melakuakn ba’iat setia kepada rivalnya Abdullah bin Zubair, ia kemudian berusaha agar orangorang tersebut dapat melakukan haji di Qubbah al-Sakhra di Yerussalem sebagai ganti dari dari pergi haji ke Makkah. Selanjutnya untuk tujuan politis tersebut ia mempercayakan ahli hadis al-Zuhri untuk membuat suatu hadis yang bersambung kepada Nabi dan mengedarkannya ke masyarakat. Peristiwa inilah yang menurut 46
ibid, h. 182. Ahmad Supriyadi, Studi al-Quran dan ….. 48 Umi Sumbullah, op.cit., op.cit., h. 170. 47
279
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
Goldziher melatarbelakngi munculnya hadis Nabi yang berbunyi, “ La Tasyuddu al-rihala ila tsalasati masajida, masjidi hadza wa al-masjid al-haram wa al-masjid al-aqsha..”49 Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan (73-86 H/694-707 M) penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (64-73 H/685-694 M) (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam. Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu. 50 Pendapat Goldziher di atas disanggah oleh M.M. Al-A’zami. Melalui pendekatan historis dengan merujuk kepada kitabkitab tarikh, Al-A’zami membantah pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ahli-ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun kelahiran al-Zuhri antara tahun 50 H sampai 58 H. Ia juga tidak pernah betemu dengan Abdul Malik bin. Marwan sebelum tahun 81 H. Disisi lain, pada tahun 67 H, Palestina berada di luar kekuasaan Abdul malik b. Marwan, sedangkan orang-orang bani Umayyah pada tahun 68 H berada di Makkah dalam musim Haji. dari data-data tersebut, menurut A’zami, dapat disimpulkan bahwa Abdul Malik bin. Marwan tidak mungkin mempunyai pikiran utnuk 49 50
280
Ignaz Goldziher, op.cit., h. 44-45. M. M. Azami, op.cit., h. 608-613
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
membangun Qubbah al-sakhra’, sebagai pengganti Ka’bah, kecuali sesudah tahun 68 H. Sumber-sumber sejarah sendiri justru menunjukkan bahwa pembangunan Qubbah al-Sakhra’ baru dimulai pada tahun 69 H. Pada saat itu juga al-Zuhri baru berumur antara 10 samapai 18 tahun, sehingga tidak logis apabila seorang remaja sudah populer di luar komunitasnya sendiri.51 Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadits, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadits saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah.52 Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hadis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadishadis Nabi yang pada saat itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku.53 Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. 54 2. Sanggahan bahwa hadis adalah refleksi doktrinal
51
Ibid h. 609-610. ibid 53 Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits dimata Orientalist... 54 M. M. Azami, op.cit., h. 608-613 52
281
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. 55 Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah,ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.56 Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.57 Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di alQuds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. 55
Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits dimata Orientalist... Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blo g&id=36&Itemid=57 diakses tanggal 2 mei 2013 57 Ibid 56
282
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan. 58 3. Sanggahan terhadap masalah kodifikasi hadis Goldziher mengatakan bahwa hadis hanya sedikit sekali yang terpelihara, karena hadits diturunkan secara lisan dari generasi umat selama abad pertama Hijriyyah. Ini dikarenakan kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan bahwa hadis dipelihara dengan cara disampaikan dari generasi ke generasi, hingga sampai pada permulaan abad II Hijriyyah, ketika ibn Syihab al-Zuhri mulai menuliskan hadits. M. M. Azami membuktikan dalam karyanya, bahwa Hadits diturunkan tidak hanya dengan cara lisan belaka. Ia menunjang pembuktian ini dengan menerbitkan tiga buah corpus hadis yang dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail Ibn Abi Shalih, Ubaidillah ibn Umar, dan Ali Al-Yaman Al-Hakam, yang kesemuanya berasal dari Abad pertama hijriyyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa hadits mudah dipalsukan dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang otentik dan buatan, menjadi tidak terbukti lagi. Penelitian atas istilah-istilah yang digunakan dalam referensi hadis menunjukkan, bahwa berita yang menyatakan Ibn Shihab Al-Zuhri adalah orang pertama yang menuliskan hadis pada permulaan abad II Hijriyyah (awwalu man dawwana al-Ilma) mengandung arti lain daripada yang diduga dan diterima secara umum selama ini. Azami membuktikan, bahwa al-Zuhri adalah pengumpul (compiler) belaka dari semua koleksi naskah-naskah hadis yang telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya.59 Pemikiran goldziher lainnya adalah seringkali ia tidak melakukan penelitian (checking) ulang yang mendalam atas bahanbahan kesejarahan yang mereka pakai dalam pembuktian, sehingga terjadi bahwa bahan-bahan tersebut sebenarnya justru melemahkan argumentasi mereka sendiri.60 Seperti kesalahan Goldziher yang menyatakan bahwa hadishadis yang berkenaan dengan larangan dan anjuran penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini telah dibuat-buat oleh
58
ibid Badri Khaeruman. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. (Bandung: PT Rosdakarya, 2004) h. 253 60 Ibid. h. 246-248 59
283
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk mendukung pendapatnya masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah: Hadis tentang larangan menulis sabda Nabi Muhammad Saw dari Abu Sa‘id al-Khudry:
ا اقمييث (رلا...ُآن فا ْليا ْم ُمه ع ِِّ ا اب ا ع ِِّ ال ام ْ اكت ا ال ت ا ْنتُبُرا ا... ِ غي اْا ْاققُ ْا
) مسل
"Jangan kalian tulis ucapan-ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur'an, hendaknya ia menghapusnya!" Hadits tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
)اقمييث (رلا اقشيخ ن...ٍ ا
ا ْكتُبُرا ِأل ا ِح...
…Tuliskanlah untuk Abu Syah!... Menurut Goldziher, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits. Al-Azhamy menjawab kritikan ini dengan pernyataannya bahwa jika melihat daftar nama orang-orang yang menentang dan memperbolehkan penulisan hadis, akan diketahui bahwa tuduhan tersebut tidak benar sama sekali. Sebab, orang yang terkenal keras dalam menentang penulisan hadis seperti Ubaidah dan Ibn Sirin adalah termasuk kelompok muhaddits. Sedangkan orang yang memperbolehkan dan mendorong penulisan hadis seperti Hammad Ibn Abu Sulaiman, al-Zuhri, al-A‘masy, Abu Hanifah, al-Tsaury, dan Malik adalah termasuk ahl al-ra'y.61 Selain sanggahan diatas, di bawah ini juga terdapat sanggahan lain dari Siti Mahmudah; 62 Pertama, sejak awal munculnya Islam, Nabi Muhammad Saw memegang hak prerogatif keagamaan setelah Allah Swt, terbukti dengan dijadikannya beliau sebagai tempat rujukan dari masalah-masalah yang muncul di kalangan para sahabat dengan berbagai sabda dan perbuatannya, yaitu hadith. Dengan begitu, walaupun penulisan dan pengkodifikasian hadith baru dilakukan jauh dari kehidupan Nabi Muhammad Saw, bukan berarti autentisitas dan validitas hadith menjadi suatu yang diragukan, karena ulama belakangan berupaya 61
M. M. Azami, op.cit., h. 121-122 Siti Mahmudah Noorhayatie, Hadith Di Mata Orientalis (Studi Kritis Atas Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith), http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/14/hadith-di-mata-orientalis-studikritis-atas-pemikiran-ignaz-goldziher-tentang-penulisan-hadith/ diakses tanggal 2 mei 2013 62
284
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
secara serius dalam melakukan verifikasi, terbukti dengan banyak karya yang memuat kritik, baik dari segi sanad maupun matannya sebagai upaya membentengi hadith-hadith palsu. Pada pertengahan abad kedua, perhatian ulama lebih banyak tercurahkan pada penghimpunan hadits-hadits Nabi di luar fatwa sahabat dan tabi’in dalam bentuk musnad. Adapun kitab pertama adalah karya Abu Daud alThayalisi dan musnad Ahmad bin Hanbal. Penyusunan ini terus berlanjut dengan tersusunnya kitab “Kutub al-Sittah,” sementara pada generasi berikutnya lebih bersifat menjarah dan men-ta’dil kitab-kitab yang telah ada.63
Meskipun hadis pada mulanya disampaikan secara lisan, namun ada sebagian perawi yang mulai menuliskannya. Selanjutnya penghimpunan hadis bertujuan agar tidak merusak teks yang telah diterimanya dari para ahli yang telah diakui periwayatanya, dan penghimpunan ini mencerminkan kata-kata aslinya. Bahasanya langsung, dialogis, aktif repetitif, dan memakai ungkapan yang tegas. Literatur hadith merupakan contoh prosa terbaik dari prosa Arab di masa awal Islam. Sebab itulah, maka pelarangan penulisan hadith sebagaimana yang dipaparkan oleh Ignaz Goldziher di atas bukanlah karena mengadopsi aturan-aturan agama-agama terdahulu. Argumen ini sangatlah tidak representatif dan terkesan sangat mengada-ada. Pelarangan penulisan di sini karena adanya kekhawatiran apabila hadith bercampur dengan al-Qur’an, sebab berdasarkan historisitasnya, biasanya jika para sahabat mendengar ta’wil ayat lalu mereka menuliskannya ke dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. 64 Goldziher juga mengakui bahwa para sahabat telah menyimpan dan merekam kata-kata dan perbuatan Nabi dalam Shahifah. Namun, Goldziher tetap berpendapat bahwa shahifashahifah tersebut dalah temuan yang dikarang oleh generasi belakangan, dengan tujuan untuk memberikan legitimasi bagi shahifah-shahifah yang muncul belakangan versus mereka yang menentang penulisan hadis. M. M. Azami telah memaparkan secara rinci tentang bukti adanya tradisi tulis-menulis pada masa awal Islam. Menurutnya, beberapa sahabat yang telah melakukan tradisi penulisan hadith, misalnya Ummu al-Mu’minin Aisyah, Abdullah bin 63
Shubhi Shalih, op.cit.,, h. 47. Pemaparan Azami tentang tradisi tulis-menulis pada masa awal Islam ini, bisa dilihat dalam M.M. Azami, Op. Cit., h. 132. 64
285
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
Abbas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin al-’Asy, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.65 Namun kesadaran umum kaum muslimin untuk menulis ini baru mencuat ke permukaan setelah terinpirasi oleh kebijaksanaan Umar bin Abdul Aziz, yang pada periode inilah, pentingnya penulisan hadith Nabi Muhammad Saw baru terasa. Fenomena ini juga diperkuat oleh statemen orientalis lainnya, seperti Fuad Seizgin yang telah memberi ulasan tentang problem autentisitas hadith. Menurutnya, di samping tradisi oral hadith, sebenarnya juga telah terjadi tradisi tulis hadith pada zaman Nabi Muhammad, kendatipun para sahabat sangat kuat hapalannya.66 Komentar dan Analisis Pemakalis Sebagai seorang awam dan pemula dalam masalah kritik hadis, pemakalis mencoba melakukan analisis dan memberikan komentar dengan mengamati dan mencermati secara obyektif dan independen mengenai argumen goldziher lalu membandingkannya dengan bantahan para ulama. Tentu saja komentar dan analisis pemakalis tidak dapat dianggap sebagai pendapat ilmiah, namun mungkin saja dapat menambah khazanah mengenai diskursus otentitas hadis. 1. Beberapa referensi bahkan sangat kasar dalam mengkritik goldziher dan menganggap goldziher sebagai zionis yang mencoba meruntuhkan kesucian hadis dan menghancurkan iman muslim. Menurut pemakalis, sebagai seorang islamolog/orientalis, goldziher memang –dalam beberapa statement-nya terlihat kurang obyektif dan terkesan kurang menyeluruh dalam memahami ajaran Islam, kurang santun dalam memberikan statement dan memaparkan penjelasannya dengan kalimat propaganda. Pemakalis mencoba membandingkan goldziher dengan islamolog lain, semisal Annemarie Schimel atau Karen Amstrong. Dibandingkan Schimmel dan Amstrong, Goldziher memang berada di zona ‘kiri’ dan nampak kurang obyektif.
65
Ibid., h. 31-32. Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadith menurut Perspektif Muhammad Mustafa Azami,” dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 56. 66
286
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
2. Terlepas dari pendapat mana yang paling valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah antara goldziher dan ulama, masalah hadis riwayat Zuhri nampaknya menempatkan argument goldziher di pihak yang kalah. Secara historis, pada masa khalifah abdul malik bin Marwan daerah Palestina, dan daerah utara lainnya belumlah menjadi wilayah dinasti Umayyah. Maka sangat tidak mungkin jika seorang khalifah menyuruh anak belasan tahun menghasut orang-orang dengan hadis palsu untuk mengarahkan tempat ibdaha baru yang bahkan di luar jangkauannya. Sekilas terkesan Goldziher berusaha mengusik kredibilitas Imam Bukhari dengan hadis palsu 3. Hadis tersebut, sebagaimana terdapata di Shahih Bukhari, tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di alQuds (Yurussalem), seperti argument Goldziher. Hadis tersebut menceritakan tentang isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha. Manurut hemat pemakalis, adalah wajar jika al-Aqsha diistimewakan, mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Dan peristiwa isro’ mi’roj yang menempatkan masjid aqsha menjadi masjid istimewa. Serta sebagai penghormatan terhadap situs peninggalan nabi terdahulu. 4. Namun demikian, meskipun Ignaz Goldziher adalah orientalis yang dianggap skeptis tentang keotentikan hadis yang tentu saja sangat berseberangan dan kontradiktif terhadap apa yang diyakini oleh umat Islam, Goldziher telah ikut serta dalam menyumbangkan pemikiran-pemikiran, sehingga kajian terhadap hadits tidak statis. Hal ini terbukti ketika ada banyak respon, baik yang positif ataupun negatif terhadap pemikiran-pemikirannya, melalui karya-karya yang sangat bermanfaat terhadap kajian hadis dimasa selanjutnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pandangan-pandangan yang telah dipaparkan di atas, tampak bahwa Goldziher memiliki sikap kritis terhadap otentisitas hadis Nabi dengan berbagai argumentasi yang ia ajukan. Menurut Goldziher hadis sebagai corpus yang berisikan perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW jika dilihat dari sejarah 287
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
perkembangannya kerap berbaur dengan berbagai kepentingan terutama politik. Menurut goldziher, secara ilmiah akan sulit diterima bahwa suatu hadis adalah otentik dan orisinil dari Nabi SAW, mengingat rentang waktu yang lama antara wafatnya nabi dengan masa kodifikasi hadis. DAFTAR PUSTAKA Akifahadi, Labib Syauqi Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&vi ew=category&layout=blog&id=36&Itemid=57 Al-Khatib, Ajaj. 1999. Hadits Nabi sebelum dibukukan. Jakarta: Gema Insani Press. Al-Mandzur. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Mashadir Armas, Adnin Ignaz Goldziher Orientalis Penolak Kebenaran Hadits, Al-Mujtama edisi 11 Th1/9 Rabiul Awwal 1430H dalam http://ndal-ndol.blogspot.com/2012/05/ignazgoldziher.html Asfiyak, Khoirul. Otentisitas Hadits dimata Orientalist. http://faiunisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-dimata-orientalist_10.html Ash Shiddieqy, Hasbi. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustakan Rizki Putra. Badawi, Abdurrahman. 2003. Mawsu’ah al-Mustasyrikin, terj. Ensiklopedi Orientalis, Amroeni Drajat. Yogyakarta: LkiS. Buchari, A. Mannan. 2006. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Amzah. Darmalaksana, Wahyudin. 2004. Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. Bandung: Benang Merah Press. Goldziher, Ignaz. 1971. Muslim Studies. London, Allen and Unwin. Ham, Musahadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam. Semarang: IAIN Walisongo Press. Khaeruman, Badri. 2004. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: PT Rosdakarya. M.M. Azami. 2000. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaqub. Jakarta: Pustaka Firdaus. Rahman, Fazlur. Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
288
Zainuddin, Persolan Otentitas Hadist Perspektif Ignas Goldziher
Noorhayatie, Siti Mahmudah. Hadith Di Mata Orientalis (Studi Kritis Atas Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith), http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/14/hadith -di-mata-orientalis-studi-kritis-atas-pemikiran-ignazgoldziher-tentang-penulisan-hadith/ Permana, Aramdhan Kodrat 2012. Term Sunnah Dan Hadis Dalam Pandangan Ignaz Goldziher. http://santrientrepreneur.blogspot.com/2012/01/termsunnah-dan-hadis-dalam-pandangan.html Shalih, Shubhi. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis terj. Tim Pustaka Firdaus.Jakarta: Pustaka Firdaus. Sumbullah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. Yaqub, Ali Mustafa. 2004. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. ________________. 1992. Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.
289
Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 2 Februari 2016
290