Etnometodologi H. Garfinkel (Mohammad Fateh)
EPISTEMOLOGI HADIS: Melacak Sumber Otentitas Hadis Ahmad Atabik* Abstrak: Al-Qur’an dan Hadis mempunyai sisi historis yang berbeda. Sisi perbedaan inilah yang berimplikasi pada perbedaan dalam perkembangan ilmu-ilmu yang berafiliasi pada keduanya. Di antara perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya adalah dalam sampainya kepada generasi selanjutnya. al-Qur’an sebagai sumber pertama ajaran Islam –tidak diragukan lagi—sampai kepada generasi berikutnya dengan cara tasalsul atau tawâtur. Sedangkan Hadis kalau dirunut hanya sedikit yang bersifat tawâtur, dan yang mayoritas bisa dibilang sebagai Hadis âhâd. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menelusuri sisi ‘epistemologi’ Hadis. Bagaimana cara mengetahui Hadis yang sampai kepada kita? Tentunya, ini diperlukan suatu hal atau piranti yang dapat menjembatani atau menelusuri permasalahan, sumber awal atau masa silam di sekitar Nabi yang berada di luar jangkauan kita. Penulis memberikan beberapa tawaran untuk mengetahui masa lampau yang di luar jangkauan inderawi kita. Di antaranya adalah sistem isnâd atau sanad dan konsep tawâtur. Tentunya dengan adanya sanad dan kemutawâtiran akan memperjelas posisi teks atau sumber ajaran Islam itu benarbenar berasal dari Nabi sebagai penyampai risalah. Quran and Hadith have different historical side. This different implicates the differences of science development affiliated with them. One of them, that are very significant, is their link from the period of the prophet Mohammad to us. Quran as the first source of Islamic teaching –no doubt– comes to us by tasalsul or tawâtur (handed *. Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus.
211
212
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224
down from person to person for generations). Hadith, on the other hand, if it is examined carefully, has only little that is tawâtur, and most of them can be said as Hadith âhâd. In this paper, I will try to examine the epistemological side of Hadith. How to know its link from the Prophet to us? Certainly, a tool that is able to bridge and examine the problems around the first source or the Prophet period that is out of our coverage is needed. I give some suggestions to know it. Two of them are the isnâd or sanad system and the concept of tawâtur. The existence of sanad and its tawâtur, will, of course, clarify the position of the text or the source of Islamic teaching is really from the Prophet as a messenger. Kata Kunci: Epistemologi, Hadis, Isnâd, Mutawâtir dan Sejarah.
PENDAHULUAN Sunnah atau lebih dikenal dengan Hadis, sebagai fondasi kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an, mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan. Sejarah merekam bahwa gerakan Hadis baru muncul kira-kira seabad setelah Nabi Muhammad wafat. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Persaingan politik antarkelompok Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan juga ikut mewarnainya. Hingga akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian tersebut menghasilkan beberapa kitab besar (kitab Hadis) yang dianggap autentik. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, Hadis mempunyai kedudukan yang istimewa di kalangan umat Islam. Hal ini dikarenakan Hadis merupakan identitas konkrit atas perbuatan, perkataan, keputusan-keputusan dan sifat-sifat yang melekat pada Nabi. Tidak berhenti pada itu saja, bahkan yang menjadikan al-Qur’an dan Hadis sakral karena keduanya merupakan wahyu Muhammad Nabi Islam, hanya saja sumber redaksi yang membedakan keduanya, redaksi al-Qur’an bersumber dari Allah sedang redaksi Hadis bersumber dari diri Muhammad (Qardhawi, 2002: 34). Sebagai suatu yang berkedudukan sentral dalam ajaran Islam, sangatlah logis apabila perhatian dan konsentrasi umat Islam dalam studi al-Qur’an dan Hadis melebihi konsentrasi pada studi ilmu lain. Ini disebabkan karena alQur’an dan Hadis menjadi inspirasi sumber bagi segala ilmu keIslaman umat
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik)
213
Islam di segala zaman yang bisa ditelusuri oleh sejarah hingga ke sumber aslinya. Di situlah ada kesinambungan antara nabi sebagai pembawa risalah sumber asli dan generasi-generasi selanjutnya. Konsep berkesinambungan dalam Islam inilah yang disebut tawâtur. Walaupun demikian, antara al-Qur’an dan Hadis mempunyai sisi historis yang berbeda. Sisi perbedaan inilah yang berimplikasi pada perbedaan dalam perkembangan ilmu-ilmu yang berafiliasi pada keduanya. Di antara perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya adalah dalam sampainya kepada generasi selanjutnya. al-Qur’an sebagai sumber pertama ajaran Islam–tidak diragukan lagi—sampai kepada generasi berikutnya dengan cara tasalsul atau tawâtur. Sedangkan Hadis kalau dirunut hanya sedikit yang bersifat tawâtur, dan yang mayoritas bisa dibilang sebagai Hadis âhâd (Qardhawi, 2002: 35). Berangkat dari view point di atas, tulisan ini akan mencoba menelusuri sisi ‘epistemologi’ Hadis. Hal ini dengan menjawab pertanyaan; Bagaimana cara mengetahui Hadis yang sampai kepada kita? Tentunya, ini diperlukan suatu hal atau piranti yang dapat menjembatani atau menelusuri permasalahan, sumber awal atau masa silam di sekitar Nabi yang berada di luar jangkauan kita. Penelusuran ini dirasa sangat urgen guna mengetahui sisi otentisitas sumber ajaran Islam itu sendiri. Di samping itu perlu adanya pembumian niliai-nilai yang terkandung dalam Hadis-hadis Nabi yang membentuk berbagai corak kehidupan dalam kultur komunitas masyarakat muslim secara umum dari masa-ke masa hingga sekarang ini. PEMBAHASAN A. Pengertian Epistemologi Hadis Sejauh ini belum banyak karya pemikiran yang membahas tentang Hadis dengan berbagai macam prespektifnya yang secara langsung membahas tentang ‘epistemologi Hadis’. Kemungkinan hal ini disebabkan karena kurangnya akademisi atau pemikir yang secara langsung berkecimpung dalam bidang kajian Hadis beserta ilmu yang berkenaan dengannya termasuk epistemologi Hadis. Padahal menurut hemat penulis ‘epistemologi Hadis’ sangat dibutuhkan untuk mengetahui kebenaran sejarah masa silam. Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang mempelajari batasbatas pengetahuan yang mencoba untuk digunakan sebagai alat penghubung
214
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224
masa silam. Kata ‘epistemologi’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu, pikiran, percakapan). Jadi epistemologi berarti ilmu, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan (Hafni, 1999: 19). Pokok persoalan dari kajian epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas jangkauan pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah; apakah pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan? (Rapar, 2002: 38). Dengan kata lain, epistemologi berarti “studi atau teori tentang pengetahuan” (the study or theory of knowledge). Namun, dalam diskursus filsafat, epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal usul, struktur, metodemetode, dan kebenaran pengetahuan. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa epistemologi adalah cabang dari filsafat yang secara khusus membahas “teori tentang pengetahuan”. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Maka, ketika seseorang mengatakan bahwa ia mengetahui sesuatu, berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Lebih jelasnya bahwa pengetahuan itu dibagi menjadi tiga. Pertama, pengetahuan biasa. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah (Rapar, 2002: 38). Kedua, pengetahuan ilmiah. Adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenarannya. Ketiga, pengetahuan filsafati. Yang terakhir ini, diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan kritis dan penafsiran (Rapar, 2002: 38). Pada awalnya, pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth) pengetahuan. Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (rasionalism), indera (empiricism), atau intuisi. Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan apakah “kebenaran” pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi atau praktis-pragmatis. Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik)
215
pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetauan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan. Sedangkan epistemologi dalam filsafat Islam sebagaimana diterangkan S.I. Poeradisastra, sebagaimana dikutip Miska Muhammad Amin, berjalan dari tingkat-tingkat: 1) contemplation (perenungan) tentang sunatullah sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur’an, 2) sensation (penginderaan), 3) perception (pencerapan), 4) representation (penyajian), 5) concept (konsep), 6) judgment (pertimbangan) dan reasoning (penalaran). Dikatakannya, epistemologi di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia (anthropocentric) yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri (antonomours) dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah (theocentric), sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia kepada kehendak Allah (Amin, 1979: 132). Epistemologi Hadis bertolak dari “teks” yang identik dengan khabar sebagai otoritas (sulthah), yaitu warisan pemikiran yang ditransmisikan oleh para sahabat dari Nabi Muhammad SAW. Sebagai karakter distingtif yang membedakan dari epistemologi secara umum, problematika yang mendasar dari epistemologi Hadis bukanlah problematika benar-salah secara logik, melainkan problematika “kemungkinan sahih” (al-shih?h?ah?) dan “status palsu” (al-wadh’). Hal itu karena Hadis sebagai otoritas referensial terkait dengan problematika antara “ungkapan” (lafazh) dan “makna” (ma’na). Oleh karena itu, epistemologi Hadis menunjukkan keterkaitan antara khabar di satu sisi dan sumber-sumber pengetahuan di sisi yang lain. Secara epistemologis, khabar diklasifikasikan kepada dua: pertama, khabar yang meniscayakan pengetahuan langsung (dharûry). Ada dua karakteristik yang menjadi tolak ukurnya: (1) orang-orang yang mentransmisikannya harus memberitakan apa yang diketahui secara pasti; dan (2) jumlah orang yang mentransmisikan harus lebih dari empat orang dan didasarkan pada wahyu (simâ’) dan persyaratan persaksian (syahâdah) dan proses ini terjadi secara tawâtur (berulang-ulang) dan pengulangan itu sendiri membentuk apa yang disebut sebagai “keteraturan peristiwa-peristiwa” (itththarâd al-hawâdîts). Di samping itu isi berita itu berdasarkan dari sesuatu yang telah menjadi tradisi. Khabar ini kebenarannya diketahui dengan inferensi (istidlâl). Tipe ini diklasifikasikan kepada tiga hal: (1) khabar yang sumbernya diyakini tidak
216
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224
mungkin berdusta, yaitu khabar al-Qur’an dan Sunnah; (2) khabar yang dinyatakan benar (tashdîq) oleh seseorang yang diketahui memiliki kredibilitas yang cukup atau tidak mungkin berdusta; (3) khabar yang harus disertai kondisi-kondisi khususnya (ah?wâl) untuk kualifikasi sebagai khabar yang benar. Kedua, tipe khabar yang disampaikan oleh seseorang (khabar al-wâhid, khabar ahad) yang diketahui melalui persepsi dan disampaikan kepada beberapa orang sesudahnya. Berbeda dengan khabar mutawatir yang dianggap meniscayakan pengetahuan langsung (dharûri), khabar perorangan belum memenuhi kriteria korespondensi dan afektivitas. Karena itu, khabar perorangan secara epistemologis belum mancapai tingkat pengetahuan, meskipun dianggap valid dari segi fikih (‘ibadah) karena statusnya zhann atau ghalabat al-zhann (Silaturrahmah, 2006: 48). Di dalam kajian epistemologi secara umum, terdapat beberapa teori kesahihan atau kebenaran pengetahuan, antara lain teori kesahihan koherensi (pernyataan suatu pengetahuan), teori kebenaran korespondensi (saling bersesuaian), teori kebenaran pragmatis, teori kebenaran semantik dan teori kebenaran logikal berlebihan (Silaturrahmah, 2006: 42-43). Tapi nampaknya dari kelima teori kebenaran ini hanya dua teori (koherensi dan korespodensi) yang relevan diterapkan dalam wacana kajian Hadis dikarenakan kedua teori ini kemungkinan dapat diimplementasikan dalam bidang kajian sejarah. Teoriteori kebenaran ini diharapkan dapat diterapkan dalam menilai status epistemik laporan Hadis (sejarah masa silam). Lebih lanjut, apabila epistemologi sebagai teori ilmu pengetahuan dikaitkan dengan Hadis yang nota benenya sebagai produk sejarah dari laporan masa silam, maka pengetahuan atau persoalan yang dikembangkan adalah bagaimana cara mengetahui masa silam itu? Apa mungkin kita mengetahui masa silam yang jauh dari pengamatan inderawi kita?. Olehnya, upaya untuk mengetahui masa silam ini diharapkan bisa tercapai dengan membuat rumusan yang telah digariskan oleh epistemologi itu sendiri. Di antaranya membuat rumusan kriteria dengan menerapkan metode-metode ilmiah dan teori kebenaran yang selanjutnya dikaitkan dengan ilmu Hadis. Dengan metode yang merupakan ciri dari pengetahuan ilmiah ini maka penelusuran kebenaran masa silam ini akan tercapai. Berangkat dari sini, penulis menawarkan beberapa metode yang kiranya bisa diterapkan ketika hendak mengetahui secara persis masa silam itu, diantaranya dengan mengetahui sejarah Hadis (masa silam), teori
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik)
217
isnâd dan periwayatan (sebagai konsep penghubung dari generasi pertama ke generasi selanjutnya) dan tawâtur (kebersinambungan masa silam). B. Sejarah Hadis; Sebagai Jembatan Mengetahui Masa Silam Sebelum melangkah pada pembahasan epistemologi Hadis, tentang hal apa saja yang menjembatani Hadis-hadis itu bisa sampai kepada kita, alangkah baiknya kita sedikit akan menelusuri sejarah Hadis dan perkembangannya dari masa kemasa. Hal ini dianggap urgen karena Hadis sebagai laporan masa silam mesti berkaitan erat dengan sejarah. Sebab Hadis sendiri merupakan produk sejarah. Walaupun keduanya berbeda dari segi bentuknya. Sejarah merupakan suatu pendapat yang hasil rekonstruksi dari orang yang tidak sezaman mengenai suatu bagian masa silam berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dengan kata lain sejarah adalah suatu pernyataan umum (general statement) tentang masa lalu. Sebaliknya Hadis adalah sebuah pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu dari masa silam. Dengan kata lain Hadis bukan rekonstruksi, melainkan laporan sezaman secara apa adanya (Anwar, 2003: 104-119). Uraian sejarah Hadis dirasa penting untuk menjembatani dan menghubungkan kita kepada sumbernya yaitu Nabi sendiri sebagai pengemban risalah ilahi. Sejak wahwu pertama dan kedua diturunkan kepada Muhammad, beliau resmi didaulat menjadi Nabi sekaligus rasul sebagai menyampai (muballigh) dari risalah yang diembannya. Dengan adanya perintah tablîgh sebagai cara berdakwah maka itu menandai adanya fase pertama terjadinya Hadis. Karena permulaan terjadinya Hadis seiring-bersamaan dengan awal turunnya wahyu. Bisa dikatakan bahwa usia Hadis sama dengan usia al-Qur’an sendiri (Waryono, 2002: 9). Pertanyaannya kemudian, bagaimana metode Nabi dalam menyampaikan Hadisnya? Menurut Muhammad Mustafa Azamy, metode-metode Nabi yang dipakai dalam mengajarkan sunnah dan Hadisnya, dapat dipetakan menjadi tiga kelompok (1). Pengajaran secara verbal atau lisan. Dalam hal ini rasul berkedudukan juga sebagai guru. Untuk memudahkan menghafal dan memahami, Nabi biasanya mengulang-ulangi inti masalah sampai tiga kali. Setelah itu ganti Nabi mendengar uraian sahabat yang telah diterima dari beliau. (2) Pengajaran secara tertulis. Cara yang dipakai adalah dengan mengirimkan surat-surat kepada para raja, penguasa, komandan tentara dan
218
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224
gubernur muslim. Surat-surat tersebut banyak yang merangkum masalahmasalah hukum yang berkaitan dengan zakat, pajak dan bentuk ibadah lainnya. (3). Pengajaran sunnah atau Hadis Nabi dengan cara demonstrasi praktis. Bagaimana Nabi mencontohkan cara-cara berwudlu, shalat, puasa haji. Cara lain yang ditempuh dengan memberikan pelajaran praktis pada sahabat di setiap perjalanan kehidupan Nabi (Azami, 1996: 27-28). Ketiga metode di ataslah yang dianggap pas diterapkankan Nabi dalam penyampai Hadis untuk supaya disampaikan juga kepada generasi selanjutnya. Dalam perjalanan selanjutnya Hadis-hadis Nabi telah menyebar luas pada diri para sahabat. Walaupun demikian Hadis-hadis tersebut masih otentik sehingga tidak diperlukan adanya penelitian atau pemeriksaan terhadap keraguan atas keabsahannya, sehingga cenderung tidak ada masalah terhadap agama bahkan Hadis itu sendiri. Kalaupun terdapat masalah-masalah yang bersinggungan erat pada agama, maka para sahabat langsung bersegera menanyakan kepada Nabi. Oleh karenanya, pada masa Nabi, pada awal mulanya beliau melarang menulis Hadis karena mengutamakan pada konsentrasi al-Qur’an. Hanya saja sebagian sahabat atas nama pribadi dan secara diam-diam mencatat Hadishadis tersebut bahkan menghafalnya. Maka bermuncullah teks-teks (shahâ‘if) (Waryono, 2002: 11) nama-nama dari pengumpulnya. Di antara sahabat yang mencatat naskah atau teks Hadis adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash yang shahîfah-nya dinamakan “al-shâdiqah” dinamakan tersebut karena Abdullah bin Amr bin al-Ash mendapatkan hadits yang ia catat langsung dari Nabi saw setelah diberi lisensi penulisan. Shahîfah inilah salah satu shahîfah yang ditulis pada masa Nabi. Shahîfah lain yang tak kalah monumental adalah al-shahîfah alshahîhah, karena merupakan kumpulan-kumpulan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dan disampaikan kepada salah satu muridnya yang seorang tabi’in bernama Hammam bin al-Munabbih. Shah?îfah ini menduduki posisi yang termulia karena merupakan kumpulan Hadîts yang sudah tertib pengumpulannya. Oleh sebab itu banyak para ulama setelahnya merangkum shahîfah-nya tersebut dalam karangan-karangannya seperti Imam Ibn Hanbal memuat seluruh shahîfah tersebut dalam kitab musnadnya dalam juz kedua. Begitu juga shahîfah ini dimuat dalam musnadnya al-Imam Abdurrozzaq alShan’ani dan juga banyak dinukil oleh Imam Bukhari dalam bab yang berbeda (Khotib, 1999: 355-357).
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik)
219
Pelarangan penulisan Hadis sendiri kalau disimpulkan tidaklah merupakan suatu yang kontinyu dan paten, bahkan, sebaliknya terkesan diperbolehkan pada masa-masa selanjutnya. Beberapa alasan mengapa gerakan penulisan Hadis dilarang, di antaranya; (1) agar konsentrasi sahabat terhadap al-Qur’an tidak pecah, (2) untuk menjaga keotentikan al-Qur’an dan (3) al-Qur’an merupakan prioritas utama yang disampaikan Nabi, sedang Hadis hanya merupakan “side effect” dari tugas utama beliau (Waryono, 2002: 14). Periode selanjutnya, paska wafatnya rasul, mulailah terjadi permasalahan pada umat Islam yang berimplikasi juga pada ajaran agama terutama sumber ajarannya yaitu Hadis. Adanya permasalahan-permasalahan baru yang tidak terdapat pada masa Nabi muncul hingga menyulitkan sahabat menetapkan standar dari hukum yang berlaku. Ijtihad-ijihad barulah dipakai untuk mensoving problem-problem tersebut. Puncak dari semua permasalahan muncul adalah ketika terjadi pembunuhan atas Utsman (fitnah kubrâ). Perpecahan antar umat meluas, hal ini berimplikasi pada Hadis sebagai sumber agama. Setiap sekte berkepentingan dan bertendensi pada sektenya. Maka diambillah kebijakan sebagai sikap hati-hati dengan meletakkan sistem sanad sebagai rangkaian dari kaedah-kaedah untuk mengukur validitas Hadis. Sikap ini diambil untuk meminimalisir beredarnya Hadis-hadis palsu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Pada tahap akhir dari perjalanan Hadis adalah adanya upaya ulama untuk memperketat “pencomotan” Hadis-hadis dalam kitab. Maka diletakkanlah kaedah-kaedah paten yang dirumuskan untuk dapat mengukur kualitas Hadis dari sahih atau tidaknya Hadis. Adalah al-Bukhari dan Muslim orang yang meletakkan pengambilan Hadis-hadis sahih saja. Sedangkan ulama’-ulama’ lain yang tergabung dalam penyusun al-kutub as-sittah, seperti al-Tirmizi menambah adanya kriteria “Hadis hasan”. Selanjutnya kitab-kitab Hadis (alkutub as-sittah) telah menyebar luas seantero jagad raya dijadikan sebagai salah satu sumber landasan hukum Islam hingga sampai pada kita sekarang ini. C. Konsep Isnad dan Periwayatan Terlepas dari kontradiksi kapan mulai diterapkannya sistem isnâd (Schacht, 1959: 36-37 dan 163) dalam dunia Islam, tidak disangkal lagi bahwa
220
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224
kumpulan atas rangkaian beberapa orang yang disebut rawi sehingga membentuk suatu sistem sanad adalah salah satu media yang mampu menjembatani kita untuk mengetahui masa lampau. Sebagai suatu jembatan yang dapat menghubungkan pada masa lampau kiranya isnad dipandang perlu dijadikan sebagai salah satu kaedah tetap atau cara yang efektif untuk menentukan dan mendeteksi Hadis-hadis, apakah benar-benar berasal dari Nabi atau tidak. Maka oleh Ibnu al-Mubarak sistem sanad ini merupakan bagian dari agama Islam. Sanad juga sebagai sistem pembeda antara agama Islam dan lainnya. Masuknya sistem sanad dan periwayatan Hadis, berimplikasi pada munculnya ilmu-ilmu baru yang difungsikan sebagai media penilaian dan pengkritikan atas orang-orang yang meriwayatkan Hadis, hingga Hadis tersebut dapat diketahui kriterianya. Ilmu tersebut adalah “ilm al-jarh wa al-ta’dîl” atau ilmu kritik terhadap perawiperawi Hadis (Azami, 1994: 531). Di sisi lain, pengetahuan terhadap masa lampau akan semakin luas jangkauannya apabila generasi yang menelusurinya semakin jauh menapak waktu. Hal ini mengimbas pada semakin banyaknya rangkaian rawi yang bercabang pula. Akan tetapi pengetahuan terhadap masa lampau itu bisa dikatakan sama dengan pengalaman empiris indrawi kita apabila pelapor atau rangkaian sanadnya itu telah benar-benar dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Maka harus diletakkan syarat-syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang rawi yaitu berakal cakap, adil dan Islam (Shalih, 2000: 144). Upaya lain yang bisa ditawarkan untuk merekonstrusi masa lalu adalah dengan membuat suatu opini tentative (dzannî). Ini bahkan bisa berlaku juga terhadap laporan-laporan sekitar diri Nabi saw. sendiri yang merupakan sumber ajaran dan sumber hukum Islam. Tetapi sebaliknya, para ahli usul fikih dan para fuqaha’ juga menyadari bahwa merelatifikasi sejarah masa silam secara universal adalah suatu tindakan kebodohan, dan dari sudut pandang agama bisa dikategorikan sebagai pengingkaran terhadap wahwu yang nota benenya merupakan suatu peristiwa masa lampau. Oleh karena itu, menurut para ahli usul fikih, pastilah ada sesuatu bagian dari masa lalu itu dan— barangkali merupakan inti sejarahnya—yang dapat kita ketahui secara pasti. Atas dasar itu para ahli usul fikih membedakan pengetahuan tentang masa lalu menjadi pengetahuan yang bersifat pasti (qat’î) dan pengetahuan yang bersifat dugaan atau tentative (dzannî) (Anwar, 2003: 109).
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik)
221
Sedangkan mengenai fungsi teori kebenaran dalam epistemologi Hadis adalah mengaitkannya dengan pentingnya keberadaan sanad sebagai penghubung generasi ke generasi. Para perawi yang terpercaya (tsiqah) yang membentuk sanad akan menjadikan suatu Hadis itu shahih atau benar adanya. Jadi teori korespondensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila sesuai dengan fakta. Fakta dari keberadaan sanad karena terpercayanya para rawi inilah yang menyebabkan bahwa keberadaan Hadis atau sejarah masa silam itu benar. Sedangkan teori koheren akan penting ketika menetapkan protap-protap (prosedur tetap) kebenaran suatu pernyataan. Prosedur tetap ini akan diberlakukan untuk mengecek atau mengidentifikasi kebenaran itu. D. Konsep Mutawâtir dan Âhâd Para ahli ilmu Hadis membagi Hadis dari segi sampainya atau jumlah rawinya menjadi tiga macam; yaitu mutawâtir, âhâd dan masyhûr. Namun, ulama usul fikih membaginya menjadi dua kategori saja; yaitu laporan mutawâtir dan laporan âhâd. Terlepas dari perbedaan tersebut pembagian ini menghasilkan suatu konsep yang berbeda. Laporan mutawâtir adalah Hadis yang diriwayatkan, sepanjang tiga generasi pertama umat Islam, melalui banyak jalur dan secara logis tidak memungkinkan untuk bersekongkol dalam kebohongan. Sebagian ahli Hadis menetapkan standart pemenuhan rawi, minimal tujuh orang, ada yang menentukan sampai empat puluh bahkan ada yang tujuh puluh. Sehingga sangatlah sedikit Hadis yang sampai kepada kita masuk ke dalam kategori mutawâtir. Sedang ahad adalah Hadis yang diriwayatkan selama masa tiga generasi pertama oleh satu sampai empat orang perawi saja dan tidak mencapai derajat mutawâtir. Pemahaman mutawâtir ini secara epistemologi berfaedah sekaligus menimbulkan ilmu pasti (yufîdu al-‘ilm al-yaqînî), sedangkan metode penukilan riwayat lainnya tidak menimbulkan ilmu pasti hanya saja menimbukan keraguan (dzan). Mengingkari ketawâturan al-Qur’an dan Hadis-hadis tertentu secara historis berimplikasi pada penolakan terhadap kenabian itu sendiri. Kalau laporan âhâd hanya menimbulkan dzann, maka âhâd bukanlah laporan yang diriwayatkan melalui satu jalur akan tetapi bisa juga bisa
222
RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224
dikategorikan sebagai laporan mutawatir yang tidak memenuhi salah satu syarat sekalipun telah diriwayatkan oleh lebih dari satu jalur (Hanafi, tt: 240). Dari banyaknya jalur yang ditempuh, maka sumber laporan tersebut berefek pada kepastian kebenaran isinya. Jadi, pengetahuan kebenaran isi ataupun pernyataan peristiwa masa silam bisa dikatakan sebagai pengetahuan terhadap masa silam itu sendiri. Dengan kata lain, ketika seseorang mengetahui kebenaran pernyataan (laporan) bahwa Nabi mengerjakan salat dzuhur empat raka’at berarti orang itu mengetahui bahwa beliau salat dzuhur empat raka’at. Jadi pengetahuan tentang laporan bawa Nabi salat dzuhur empat rakaat adalah benar. Singkatnya, pengetahuan tentang suatu peristiwa masa lampau diperoleh dari pengetauan tentang kebenaran laporan (pernyataan) tentang peristiwa tersebut (Anwar, 2003: 110). Jadi dengan adanya laporan mutawatir kita juga seakan-akan mengetahui persis peristiwa masa silam yang telah hilang yang merupakan pengetahuan yang berada diluar jangkauan inderawi kita. KESIMPULAN Beberapa cacatan singkat di atas kiranya memberikan suatu pengertian bahwa epistemologi sebagai suatu kajian filsafat dapat dihubungkan dengan Hadis untuk dijadikan jembatan menuju masa lampau. Dalam hal ini penulis memberikan beberapa tawaran untuk mengetahui masa lampau yang di luar jangkauan inderawi kita. Di antaranya adalah sistem isnâd atau sanad. Tentunya dengan adanya sanad akan memperjelas posisi teks atau sumber ajaran Islam itu benar-benar berasal dari Nabi penyampai risalah. Demikian juga laporan yang bersifat mutawâtir meyakinkan umat Islam bahwa teksteks tersebut juga sampai kepada kita melalui jalur yang banyak hingga validitas data atau teks-teks tersebut tidak dimungkinkan adanya konspirasi untuk berbohong. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Syamsul, Kontribusi Ahli-Ahli Usul Fikih Dalam Pengembangan Studi Hadis, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 5, No. 1 Januari 2003 Azami, Muhammad Mustafa, Al-, Metodologi Kritik Hadis, penerjemah A. Yamin, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996 ————, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik)
223
Hafani, Abdul Mun’im, Al-, Mausû’ah al-Falsafah wa al-Falâsifah, jilid pertama, Kairo, Maktabah Madbuli, 1999. Hanafi, Hasan, Min al-’Aqîdah ilâ as-Tsauroh, jilid ketiga tentang ‘anNubuwwah wa al-Mu’âd’ kenabian dan konsep eskatologi. Kairo: Maktabah Madbuli, tt. Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford University, 1959. Khotib, Muhammad Ajjaj, Al-, As-Sunnah qobla at-Tadwîn, Cairo: maktabah wahbah, 1999. Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta: Kelompok Studi Filsafat Yogyakarta, 1979). Qardhawi, Yusuf, Al-, Kaifa Nata’âmal ma’a As-Sunnah An-Nabawiyyah, Kairo: Dar As-Syuruq, 2002 Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, cet. 6, 2002. Silaturrahmah, Wahyuni, Epistemologi Hadis, Sunni dan Syi’ah, Yogyakarta: Tesis UIN Yogyakarta, 2006. Sholih, Subhi, Al-, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim pustaka firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Waryono, Abdul Ghofur, Epistemologi Ilmu Hadis, dalam ‘Wacana Studi Hadis Kontemporer’, Fazlur Rahman dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002