3. METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemecahan Masalah
Pertumbuhan wilayah pesisir yang pesat baik mengenai pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan masalah ekonomi, dimana salah satunya adalah terjadinya konflik (Kay and Adler, 1999). Pada dasarnya yang menimbulkan terjadinya konflik adalah karena adanya ketidakseimbangan antara keingnan manusia untuk mendapatkan barang dan jasa. Dalam kasus ini akan dilihat salah satunya adalah faktor lahan, dimana lahan adalah '>xed asset" yang kualitasnya tetap dan tidak tepengaruh oleh harga yang tinggi maupun rendah. (Blair, 1991). Oleh karena itu, faktor lokasi lahan apakah dekat atau jauh dengan pusat-pusat kegiatan mempunyai nilai rente yang berbedabeda. Lokasi yang berdekatan dengan akses dan dekat dengan pusat pertumbuhan mempunyai nilai rente yang sangat mahal dibandingakan dengan lokasi dari yang jauh dari pusat pertumbuhan. Pertimbangan efisiensi dalam memilih lahan yang dekat dengan pusat pertumbuhan menjadi pilihan (preferensi) utarna, dimana pilihan tersebut didasarkan
kepada
penggunaan
sumberdaya
yang
dapat
mewujudkan
kesejahteraan yang maksimum dengan ongkos yang paling minimum, sehngga kegiatan memproduksi dan menggunakan barang dan jasa tidak terlalu dipengaruhi oleh biaya transport dan biaya input. Pokok permasalahannya adalah bahwa lahan pada wilayah kegiatan ini dengan sumberdaya alam perikanan yang melimpah serta banyaknya kegiatan budidaya baik di daratan maupun di perairan sangat rentan terhadap terjadinya pengaruh-pengaruh kegiatan manusia di wilayah pesisir itu sendiri. Kerentanan inilah yang membedakannya dengan wilayah daratan (inland), sehlngga kerentanan ini hams segera diatasi secepatnya. Kerentanan yang dimaksud berupa: (I) Terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi alubat mulai terjadinya kelangkaan sumberdaya perikanan;
(2) Tidak adanya kesamaan hak untuk setiap individu, masyarakat pemilik lahan, maupun masyarakat yang memanfaatkan lahan dengan status kepemilikan tidak jelas, sehingga terjadi penguasaan lahan yang illegal dan liar; (3) Terjadinya praktek-praktek monopoli oleh pemilik lahan yang merugikan
pihak lain, misalnya pemilik lahan dengan luasan tertentu mendirikan pabrik dan memproduksi barang monopoli yang pada akhirnya akan mematikan usaha masyarakat yang kapitalnya tidak memadai. (4) Menyediakan barang bersama (public goods) yang Qmanfaatkan hanya untuk segelintir golongan masyarakat; (5) Banyak sekali terjadi eksternalitas kegiatan ekonomi yang merugikan
masyarakat,
misalnya
memanfatkan
lahan
secara
maksimal
yang
keuntungannya diperoleh sendiri, sedang bahan pencemarnya dinikmati oleh masyarakat di sekitarnya. Tipologi konflik lahan di wilayah pesisir dibagi menjadi : (I) Konflik akibat batas-batas kepemilikan yang melibatkan konflik yang fundamental di antara pemilik lahan (individual, pemerintah dan masyarakat)
dan pengguna lahan yang illegal (Squatters) (Pfefer, 2002); (2) Konflik akibat efisiensi penggunaan lahan yang berkenaan dengan lokasi
lahan untuk pelbagai kegiatan yang sebenarnya dapat digunakan untuk kegiatan mencapai kesejahteraan tingkat maksimum, namun karena alokasinya tidak digunakan sebagaimana layaknya, akhirnya menimbulkan konflik. (Conning et al., 200 1) (3) Konflik akibat distribusi lahan yang tidak jelas peruntukannya dan
menyebabkan fungsi wilayah berubah, sehingga menyebabkan terjadi "aglomerasi" dan aglomerasi ini menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan distorsif. (Kay et ul., 1999). Untuk mengukur konflik sebenarnya sangat sulit karena konflik adalah sebuah konsep yang mengandung makna terjadinya perbedaan persepsi, adanya ketidaksetujuan sehingga pengukuran konflik dapat dilakukan melalui variabel ekonomi sebagai berikut :
( 1) Distributions of income (Disparitas). Distribusi pendapatan antara penduduk
kecamatan dengan pendapatan para squatters akan memperlihatkan adanya ketidakadilan penentuan harga dalam mekanisme proses tukar-menukar (Todaro, 1984; Arief, 1979) (2) Social justice yang berkenaan dengan kemudahan akses untuk mereka yang terpinggirkan, dukungan secara kelembagaan baik formal maupun non formal, keterlibatan pihak lain untuk menangani konflik. (Fraiser, 1999) dan Social Systems yang berarti hubungan ketergantungan antara ekonomi dan faktorfaktor non ekonomi. Faktor non ekonomi akan mencakup sikap, pekerjaan dan kewenangan, struktur birokrasi swasta dan pemerintah serta struktur administrasi, pola agama dan kepercayaan, sistem kepemilikan, kewenangan dan
integritas
tenaga-tenaga
pemerintah,
tingkat
partisipasi
dalam
pengambilan keputusan dan fleksibilitas ekonomi dan klas sosial. (3) Ukuran Kebutuhan Spasial (Spatial Demand) merupakan lokasi para penjual
dimana dari harga akan diketahui bahwa apabila harga lebih rendah dibandingkan dengan lokasi lain berarti kebutuhan terhadap barang sangat besar dan pembeli akan membeli dan radius pasar akan lebih besar. (Hoover et al., 1985). (4) Market Imperfection (pasar tidak berjalan kompetitif) yang disebabkan karena : (a) asimetri informasi (Warneryd, 2000); (b) hak kepemilikan tidak jelas (Deininer, 2000) dan eksternalitas (McEachern, 2000). Namun berdasarkan pengumpulan data primer dilapangan, variabel ekonomi yang akan diukur terkait dengan benefia dan cost yang diperoleh Squatter dan pemilik lahan. Dengan demikian konflik mempunyai perbedaan besaran, perbedaan persepsi stakeholder dan senantiasa konflik dapat menaik dan menurun. Stakeholder yang berperan dalam konflik meliputi : (1) Pemerintah daerah : Pemda Kodya Jakarta Utara mengingnkan bahwa rencana tata ruang wilayah khususnya di wilayah pesisir ditaati oleh semua pihak
agar
keberlanjutan
lingkungan dapat
terus
menerus
dijaga
kelestariannya. Di samping itu pemda menginginkan agar insentif ekonomi
yang diberikan pada wilayah pesisir dapat mendorong kegiatan ekonomi yang benvawasan lingkungan. (2) Pemilik lahan : yang sudah secara legal memilih batas-batas kepemilikan ingin agar kepemilikannya aman tidak terganggu dan dapat menikmati akses di lingkungan sekitarnya dengan mudah. (3) Squatters :Menempati lahan pesisir secara ilegal dan bemsaha senantiasa melakukan "claim" bahwa lahan yang ditempati tersebut aman dari gangguan dan ingin adanya pengakuan. (4) Masyarakat pada umumnya : ingin agar wilayah pesisir dapat tertata secara baik, memiliki nuansa pemandangan yang mempunyai nilai keindahan, dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. (5) Developer : berkepentingan untuk melakukan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan para stakeholder di wilayah pesisir. (6) Lingkungan wilayah pesisir : hams dikelola sesuai dengan daya dukung dan
proses asimilasinya agar dapat dicegah terjadinya degradasi lingkungan. Resolusi konflik penggunaan lahan di wilayah pesisir bertujuan untuk meningkatkan kembali perturnbuhan ekonomi wilayah yang meliputi: (1) efisiensi ekonomi; (2) pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs); (3) peningkatan azas keadilan; (4) pemeliharaan lingkungan; (5) penegakan hukum. Resolusi konflik tersebut hams didasarkan kepada komunikasi yang baik antar pelbagai sektor dengan masing-masing dapat memposisikan diri dalam konteks "internal solution". Hasil resolusi konflik digunakan untuk menyelesaikan dampak konflik lahan yang terjadi sehngga sebab-sebab konflik dapat dikendalikan. 3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir pantai utara Jakarta menyangkut masalah pemanfaatan lahan oleh Squatters di lahan-lahan illegal meliputi: bantaran sungai, lahan milik PT. Kereta Api, lahan kosong milik perseorangan, tanah ulayat, bantaran waduk. 3.3 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2002 hingga Oktober 2002. sedang penulisan sampai dengan bulan Pebruari 2003.
3.4 Perolehan Data
Perolehan data penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengambilan sample dengan teknik wawancara langsung serta pengisian kuesioner dengan Squatter. Lokasi Squatter yang dijadikan sample tersebar di 1 1 (sebelas) kelurahan yang terletak di pantai utara Jakarta Utara. Distribusi lokasi Squatter dan jumlah sample yang diambil per lokasi disajikan pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3
Distribusi Lokasi dan Jumlah Pengambilan Sampel Squatter
No.
Lokasi
-
1
Kamal Muara
I
Kampung Baru
Kapuk Muara Bantaran Kali Angke, RT 0 1105 Pluit
Bantaran Kali Angke, Sampung Pantai Indah Kapuk
Pluit
Kampung Pengasinan, Muara Angke
Penjaringan
Gedung Pompa, Waduk Pluit
Ancol
Jml. Sampel
IKampung Walang
Tanjung Priuk Kampung Pela-pela, Stasiun Tg. Priok Tugu Selatan
Tanah Merah
Kalibaru
Bantaran Kali Banglio
Cilincing
Kampung Sawah
Marunda
Kampung Bumbu Kuning
30
I
30
1
30
Informasi yang digali dari data primer ini mencakup luas bangunan dan luas tanah yang ditempati Squatter, fisik bangunan, status tanah, mata pencaharian, jenis konflik yang timbul, nilai lahan dan nilai sewa per meter persegi di lokasi Squatter. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi yang terkait di pemerintah Kodya Jakarta Utara dan meliputi data kependudukan, data pertanahan, data perekonomian, perencanaan wilayah dan informasi mengenai Trantib dan Linrnas. Selengkapnya data sekunder disajikan dalam bentuk tabel dan masuk dalam Lampiran 1.
3.5 Teknik dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan di dalam penelitian ini dilakukan secara deterministic yaitu dengan menggunakan "Nash Bargaining Solution" (Rasmusen, 1989) sebagai berikut : Tujuan Nash adalah untuk meletakkan axioma bahwa karakteristik persetujuan antara 2 kelompok atau stakeholder akan membuat antisipasi. Pada model Nash 2 pemain dapat mempunyai perbedaan kepentingan kalau mereka tidak segera melakukan suatu persetujuan dan fungsi utilitas (kepentingan) dapat nonlinear. Pada Gambar 6 di bawah ini menggambarkan secara lebih jelas kepentingan yang berbeda antara Pemilik Lahan dan Squatter. Kepentingan Squatter pada garis utilitas adalah bagaimana memaksimumkan kepentingannya dengan mengeksploitasi lahan secara berlebihan. Sementara Pemilik
Lahan juga
memanfaatkan
berusaha
lahannya. Dalam
memaksimalkan kaitan tersebut,
kepentingannya maka
dalam
masing-masing
kepentingan baik kepentingan Squatter maupun kepentingan Pemilik Lahan saling memaksimumkan kepentingannya, sementara ada solusi bagaimana kepentingan Squatter dapat dipenuhi dan bagaimana kepentingan Pemilik Lahan juga dimaksimumkan. Untuk itu perlu ada pengorbanan dari masing-masing pihak. Pihak Pemilik Lahan mencoba untuk menurunkan "objective"nya, sementara pihak Squatter akan juga mencoba memaksimumkan "0bjective"nya sesuai kemampauan Squatter. Dalam kaitan tersebut perlu ada keseimbangan yang mengacu kepada keseimbangan kepentingan.
KEBIJAKAN PENAN
Transfer of ownership A
Penurunan kualitas Lingkungan
Batas Ke jelas
Kumuh
R E S 0 L
r
L A H A N
u Perubahan lahan dari fungsional ke non fungsional
LAHAN
v
V
+ PEMANFAATAN LAHAN
SQUATTER
I
S I
K + 0 'P0 T N I F M L A I L K
I
DIPERTAHANKAN
DIPINDAHKAN
ITAMBAHKAN
. GAMS
Gambar 6 Kerangka Pendekatan Resolusi Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir
M I N I M A S I K 0 N F L I K
Gambar 8 "Nash Bargaining Game"
Pada Gambar 8 tersebut diatas dinyatakan bahwa ketidakpersetujuan titik -
-
-
(1= ([I,, ( l b ) "Nash bargaining solution"
[J* = (U*, U* ) Adalah
fungsi dari
u dan X. Solusi dari ketidakpersetujuan adalah mencapai solusi dengan Pareto Optimal, sehlngga kedua pemain dapat mencapai tujuan yang Qkehendaki secara bersama. Dalam persamaan matematik adalah sebagai berikut:
~ P IL Keuntungan Pemilik Lahan
nsq
I
Keuntungan Squatter
PL
I
Fungsi Reaksi
IS0 Profit
SQ Gambar 9 Nash Equilibrium
Implementasi dari Gambar 9 dalam penelitian ini untuk memperjelas kawasan yang perlu dipertahankan dalam rangka menunjang kawasan yang benvawasan lingkungan. Kawasan yang masuk dalam area win-win merupakan kawasan yang perlu dipertahankan dan hanya memerlukan intervensi pemerintah untuk memperbaiki kawasan tersebut. Sedangkan kawasan yang akan masuk dalam kategori Lose-win maka intervensi pemerintah h m s kuat dan kawasan ini tidak perlu ada kompromi. Pemerintah h m s berbuat dan menegakkan aturan,
kalau tidak mau kawasan tersebut mengalami degradasi lingkungan. Sedang kawasan yang masuk dalam kategori lose-lose adalah merupakan kawasan yang sulit untuk ditertibkan. Apapun upaya pemerintah daerah untuk menerbitkan kawasan yang masuk kategori ini tidak terlalu banyak memberi manfaat yang optimal.
settlement no conflict zone
/
non use value
--
I
Waktu
Gambar 10 Zone konflik dan non konflik Garnbar 10 Q atas menunjukkan bahwa ada suatu kawasan yang dapat dinegosiasikan untuk dibuat kawasan budidaya yaitu antara kawasan konservasi yang tidak boleh ada sama sekali kegiatan, dibandingkan dengan kawasan pemukiman yang sangat dinamik, dimana mobilitas penduduk dari dan tempat tujuan untuk mencari penghidupan sangat dinamik. Untuk
memformulasikan
Optimasi
konflik
pemanfaatkan
lahan
dirumuskan dengan mengacu kepada fungsi tujuan (objective function). Dasar untuk melakukan maksimisasi pemanfaatan lahan kawasan pesisir ini mengacu kepada Fauzi (2000) sesuai yang dilakukan oleh Bell dan Cruz-Trinidad (1996) mengenai opsi manajemen hutan mangrove di Equador. Dalam studi Bell dan Cruz-Trinidad tersebut dihltung aspek keuntungan dan biaya baik secara ekonomi maupun secara ekologis terhadap dua strategi yang dihadapi pemerintah Equador yakni: (a) konversi mangrove dan (b) Eksploitasi yang lestari. Tujuan yang ingin dicapai dari studi mereka adalah bagaimana memperoleh net benefit yang maksimurn (Total Economic Value) dengan kendala ketersediaan lahan, tenaga kerja, ketersediaan benur clan permintaan terhadap produk (demand).
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan kawasan pesisir khususnya terhadap para squatters adalah: (a) bagaimana merurnuskan kebijakan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir dengan atau tidak mempertahankan para squatters serta; (b) bagaimana pemanfaatan lahan di kawasan pesisir tersebut lestari. Untuk itu dalam menghitung Total Economic Value (TEV) perlu membagi benefit dan cost dari potensi manfaat lahan dikawasan pesisir oleh para squatters. Krutila (1967) dalam Fauzi (2000) menerangkan bahwa konsep TEV atau nilai ekonomi total bagi setiap individu atas sumber daya alam dan lingkungan. TEV ini pada dasarnya sama dengan manfaat bersih (net benefit) yang diperoleh dari sumber daya alam. Di dalam konsep ini, nilai yang Qkonsumsi oleh seorang individu dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama yaitu: use value (nilai kegunaan) dan non-use vdue. Komponen use value dapat Qartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam, dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan seperti menikrnati pemandangan. Nilai tersebut termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya: ikan, kerang yang biasa dijual maupun untuk konsumsi langsung. Use value ini Qklasifikasikan menjadi direct use value (nilai kegunaan langsung yang merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya seperti: penangkapan ikan baik secara komersial maupun nonkomersial. Sedangkan nilai kegunaan tidak langsung merujuk kepada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang Qhasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan seperti: pengendalian banjir, penertiban kawasan. Komponen non-use value adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Nun-use value ini sulit diukur (less tangible) karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan dibandingkan dengan pemanfaatan langsung. Kategori nonuse value ini dibagi kedalam sub-class yaitu: Existence Value, Bequest Value dan Option Value. Existence Value (nilai keberadaan) adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ini sering juga disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsic dari sumberdaya alam.
Bequest Value (nilai pewarisan) adalah nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (Bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang. Option Value adalah nilai pemeliharan sumberdaya, sehingga pilihan untuk memanfaatkannya (option) masih tersedia untuk masa yang akan datang. Option value ini mengandung ketidakpastian. Optimasi pemanfaatan lahan pesisir untuk minimisasi konflik:
max V
x xb x a
{XabAj
Aj
* PXabAj Cab)
dengan kendala:
dimana: a
=
tipe pengguna
X
=
output dari sumberdaya (manfaat)
b
=
tipe industri
P
=
price
Aj
=
area dimana ahfitas lahan terjadi
C
=
cost (biaya)
Lj
=
luasan
N
=
jumlah populasi
Notasi di atas dapat diterangkan dengan sederhana sebagai maksimum total keuntungan (total net benefit) &mana X*P adalah penerimaan total, X*C adalah biaya.
3.6 Skenario Modelling Tahapan yang Qperlukan untuk menyusun model analisis konflik pemanfaatan lahan wilayah pesisir dengan studi kasus Pantai Utara Jakarta dilakukan dalam 3 (tiga) tahap: ( 1) Prosedur pemetaan kawasan yang memiliki: (a) Kawasan kelurahan mana saja
yang lkategorikan efisien dan tidak efisien. (b) Menggambarkan batas produksi lahan yang efisien (land Rent Frontier) yaitu dengan membuat hubungan antara input dan output. Gambar berikut ini menunjukan hubungan antara input dan output pada lahan yang mempunyai batas produksi efisiensi tinggi. (c) Setelah mengetahui Land Rent Frontier kemudian dihitung Nilai "Rent Optimal" untuk masing-masing kawasan.
output frontier
Input
Gambar 11 Land Rent Frontier
(2) Untuk menyusun Nash Equilibrium dipergunakan persamaan sebagai berikut:
dimana: XS
=
Keuntungan yang diperoleh squatter
xs
=
Keuntungan yang diperoleh Pemilik Lahan
Po h,
=
economic revenue
wL-rL
=
upah dikurangi nilai rente lahan
GI
=
Biaya Produksi
danO<8< 1
Gambar 12 Model Nash Equilibirum Squatter & Pemilik lahan
(3) Implementasi
Resolusi
konflik
mempergunakan
GAMS.
Didalam
operasionalisasinya kelurahan sampling perlu dibuat "Coding"
untuk
rnemudahkan
dalam
identifikasi
parameter
yang
dipergunakan. Di
membangun dan merumuskan operasionalisasi model dibuat beberapa skenario untuk melihat sampai seberapa jauh hasil operasional model GAMS mampu me"running7' pelbagai parameter yang diperlukan. Untuk itu asumsiasumsi yang dipergunakan hams dinyatakan secara jelas. Hasil Models akan dibuat matriks untuk dapat menggambarkan sampai seberapa jauh model dapat merespon optimasi pemanfaatan lahan.