TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 DAN PPH FINAL MAKALAH Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Perpajakan (PJK)
Disusun Oleh:
1. Eva Ulfah Rahayu (1310247069) 2. Eka Risandy (1310247140) 3. Nastia Putri Pertiwi (1310247116) Dosen Pembimbing : Dr. Andreas, SE, MM, Ak, CPA, CA
Fakultas Ekonomi Jurusan Magister Akuntansi Universitas Riau
TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 DAN PPH FINAL
1. Pendahuluan Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan atas pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan kewajiban pajak untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan melaporkannya ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan. Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini, pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya besar. Berbeda dengan self assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajaknnya sendiri. Dalam praktiknya, masih saja kita temukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipungut. Sehingga ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh, maka konsekuensi yang harus dihadapinya adalah, wajib pajak tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/dipotong, ditambah dengan sanksi administrasi.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22 Tax Management Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungutan pajak di sekotr impor, yang berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari luar daerah pabean. Dalam hal impor, tariff PPh Pasal 22 bervariasi, dimana kalau mempunyai API tarifnya 2,5% dari nilai impor dan kalau tidak mempunyai API tarifnya 7,5% dari nilai impor. Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning, sehingga dalam melakukan impor, tax planner sering merekomendasikan impor dengan API. Akibatnya banyak orang yang memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API, dengan menggunakan API pengusaha yang seharusnya menggunakan tarif pajak 7,5% menjadi 2,5%. Hal ini dapat menghemat cash flow perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal
1
22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh badan (bila perusahaan dapat profit). Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah “hadling fee”, yakni jumlah fee yang harus dibayar berdasarkan perjanjian handling fee antara importir yang mempunyai API dengan pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini dapat dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak mempunyai API dengan “meminjam” bendera perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang impornya dengan kompensasi pemberian “hadling fee”. Bila benefitnya (5%) lebih besar dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% 2%), maka si pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat menghemat cash flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih bayar. Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati, karena masalah transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat menimbulkan masalah hukum dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau melanggar hukum. Bila hal ini terjadi, maka pihak yang harus bertanggung jawab adalah pihak perusahaan yang meminjamkan benderanya itu. Berbeda dengan pajak, masalah pajak dalam suatu aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek pajak atau tidak dan apakah kewajiban perpajakannya telah dilaksanakan secara benar sesuai ketentuan perpajakan, serta syarat formal dan material pembukuannya terpenuhi dalam arti semua transaksi harus mempunyai bukti pendukung yang sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas transaksinya. Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoicen dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak. Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
2
Pengecualian-pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22 Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax planner. Yang dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, adalah (a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; (b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Keuangan No. 08/PMK.03/2008. Contoh kasus: Suatu perusahaan, katakanlah PT A (BUMN), yang mempunyai fasilitas bebas impor barang (impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN) dan juga dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai. PT A mempunyai rekanan kontraktor yaitu PT B (kontraktor). Sebenarnya PT B ini juga mempunyai API tapi dia tidak memanfaatkan API nya sendiri, tapi menyuruh PT A menggunakan API-nya. Jadi segala sesuatu yang melaksanakan impor seolah-olah PT A, padahal dalam pelaksanaannya di lapangan yang mengeksekusi PT B. Hal ini dilakukan karena API dari PT B yang digunakan untuk mengeluarkan barang impor, akan terkena Bea Masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22 impor, karena PT B tidak memiliki fasilitas impor barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Jadi disini PT B dapat menghemat cash flow nya. Seandainya kontrak perjanjian antara PT A dengan PT B mensyaratkan PT B mengimpor barang dan harus melakukan pembayaran di muka atas biaya-biaya impor (dengan asumsi bebas impor duties: bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal 22 impor), maka bagi PT B (kontraktor) tekanan beban cash flow-nya sudah agak ringan. Dalam hal ini tax planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan tax manager PT A mengajukan permohonan tertulis kepada Dirjen Pajak untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan bea masuk, PPN impor dan PPh Pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan tersebut harus dibuat secara formal atas nama PT A, bukan atas nama PT B.
Pengajuan SKB PPh Pasal 22 Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena:
3
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal. b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan. c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum kapan permohonan SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok, yaitu: 1. PPh Pasal 22 Impor Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah: 1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API): Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif pajak sebesar 0,5% dari nilai impor. Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API tetap dikenai 2,5% dari nilai impor. 2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor. 3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22 impor. WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan. Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidka digunakan untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh fibal, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.
2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5 % dari
4
harga beli yang dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oelh Ditjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal dari APBN/D. PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor oleh pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut (penjual).
3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain Rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha lain akan diperlihatkan dalam Tabel dibawah ini: Tabel IV – 1 Objek PPh Pasal 22 No
Obejek Pajak
1.
Pembelian Barang Dalam Negeri a. Pembelian Barang oleh Bedaharawan, BUMN/D dan Badan-Badan tertentu. b. Pembelian Bahan-Bahan berupa hasil Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan untuk Keperluan Industri dan Ekspor dari Pedagang Pengumpul. Impor Barang a. Importir mempunyai API b. Importir tidak mempunyai API c. Pemenang Hasil Lelang Impor yang Tidak Dikuasai Penjualan Hasil Produksi Tertentu di Dalam Negeri a. Industri Semen b. Industri Kertas c. Industri Baja d. Industri Otomotif
2.
3.
e. Bahan Bakar Minyak dan Gas 4.
Premium Solar Premix/Super TT Minyak Tanah Pelumas
Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah
Tarif
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
1,5%
Harga Pembelian
0,25%
Harga Pembelian
2,5% 7,5%
Nilai Impor Nilai Impor
7,5%
Nilai Lelang
0,25% 0,10% 0,30% 0,45% SPBU Swastanisasi 0,3% 0,3% 0,3% -
DPP PPN DPP PPN DPP PPN DPP PPN
5%
5
Penjualan Penjualan Penjualan Penjualan Penjualan Penjualan Harga Jual Tidak Termasuk PPN & PPnBM
Sifat
Dasar Hukum
KEP-401/01 KEP-69/95 KEP-01/96 KEP-32/95 KEP-417/01 Final Final Final Final Final Final
4. PPh Pasal atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Barang yang tergolong sangat mewah sebagaimana dimaksud adalah: a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 miliar. b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 miliar. c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga peralihannya lebih dari Rp 10 miliar dan luar bangunan lebih dari 500 m2. d. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10 miliar dan atau luas bangunan lebih dari 400 m2. e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya denga harga jual lebih dari Rp 5 miliar dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
3. Pajak Penghasilan Pasal 23 Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh Pasal 23, di mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan pihak memberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Solusinya: 1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp 72 juta Di groos up 100/90 x Rp 72 juta = Rp 80 juta Pajak yang harus dibayarkan Rp 80 juta – Rp 72 juta = Rp 8 juta Rp 8 juta ini boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan dividen. 2. Apabila Perusahaan pemilik proyek membayar sendiri PPh Pasal 23 Tanpa di gross up 10% x Rp 72 juta = Rp 7,2 juta Pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. 6
Agar biaya sewa bangunan dapat dibiayakan, termasuk pajaknya (deductible), maka kontrak perjanjian tersebut harus diuabh dulu, termasuk mengubah invoice, faktur pajak, dan dokumen lain yang mengakomidir pemotongan pajak PPh Pasal 23 atas transaksi pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di groos up sebesar Rp 80 juta, dan setelah itu pemilik gedung memotong PPh Pasal 4 (2) final 10% x Rp 80 juta = Rp 8 juta, dan menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi.
Pengenaan Pajak Atas Deviden UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh Perseroan dalam negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak termasuk objek pajak PPh Badan dengan syarat bahwa (1) deviden berasal dari laba yang ditahan dan (2) Kepemilikan saham Perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar deviden (operating company). Akibatnya banyak para pemegang saham orang pribadi membuat PT yang tidak mempunyai kegiatan apa-apa, sehingga operating company yang membayar deviden ke PT tanpa dikenai pajak. Mereka mengubah portofolio investasi menjadi investasi atas nama perusahaan dengan kepemilikan saham minimal 25% dari jumlah modal yan disetor agar deviden yang mereka terima tidak kena pemotongan PPh Pasal 23. Akhirnya Pemerintah merivisi pasal 4 ayat 3 (f), dengan menambahkan, Perseroan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham sebagaimana disebut di dalam UU PPh No. 17 Tahun 2000. Terakhir, dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang muali berlaku awal 2009, dijelaskan bahwa, untuk syarat memiliki usaha aktif bagi WP yang menerima inter-corporate dividend, dihapus. Dengan demikian tax planning mesti diubah kembali. Apabila kepemilikan saham kurang 25%, merger merupakan cara untuk mencukupi kekurangan dana yang harus di investasikan ke operating company.
Perubahan Tarif PPh Pasal 23 UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal 23 yang semula 15% menjadi: 1. 15% dari peredaran bruto atas deviden, bunga, royalty, hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya.
7
2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.
Pengajuan SKB PPh Pasal 23 Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang sama berlaku juga pada PPh Pasal 23. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan. PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam negeri dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong PPh Pasal 23/26 1. Badan Pemerintah. 2. Subjek pajak badan dalam negeri. 3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri. 4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunuk DJP, yaitu: Akuntan, arsitek, dokter, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan yang melakukan pekerjaan bebas. Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan pembukuan.
Subjek Pajak PPh Pasal 23/26 1. Wajib Pajak Dalam Negeri. 2. Bentuk Usaha Tetap. 3. Wajib pajak luar negeri.
Objek Pajak PPh Pasal 23/26 Adalah penghasilan yang berasal dari: 1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi. 2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan. 3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
8
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23 a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi: 1. Deviden; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/D, koperasi, dengan syarat kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dan deviden tersebut diambil dari laba ditahan. 2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. 3. Royalty. 4. Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan meneteri keuangan. c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final. d. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Penggunaan Metode Groos Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23 Yang Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja (Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali: a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk deviden. b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak.
Pajak penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan perlakuan perpajakan sebagai berikut:
9
Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan, sesuai dengan ketentuan perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali deviden yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (groos up) pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Contoh: PT ABC membayar bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000 yang sesuai dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tariff pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar Pengenaan PPh Paasl 26 =
x Rp 100.000.000 = Rp 125.000.000
PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp 125.000.000 = Rp 25.000.000
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC adalah Rp 125.000.000 (= Rp 100.000.000 + Rp 25.000.000).
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 23 Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan terperinci per transaksi) dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku pengeluaran/pembelian/penjualan yang memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebagian maupun keseluruhan). Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23 yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena: 1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 23 yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
10
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak. 3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 23.
Contoh: Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23: - Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, berdasarkan penjumlahan transaksi dari keseluruhan objek PPh Pasal 23 - Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23
Rp 400.000.000 Rp 200.000.000 Rp 200.000.000
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui. Wajib pajak akan dikenakan bunga @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan apabila ada kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar/setor.
4. Pajak Penghasilan Pasal 26 PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23, bedanya, PPh Pasal 26 untuk dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri. Kalau PPh 26 ini rate nya 20%, ada tax treaty. Kalau tax treaty nilai efektifnya 10%, tapi bisa juga 5% dan bisa juga 0%.
Pasal 26 ayat (1) d Imbalan sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan Kegiatan 1. Bila ada Tax Treaty a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu): tidak ada BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN. Syarat: agar pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty, WPLN harus dapat menunjukkan atau memberikan Certificate of Residence Tax Payer (CRT) atau Certificate of Domicile (COD) dari Competent Authority di Negara bersangkutan.
11
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu): ada BUT, maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oelh WPLN bersangkutan, yang berupa: Corporate Tax (tarif PPh Pasal 17) atau Branch Profit Tax (tarif PPh Pasal 26).
2. Bila Tidak Ada Tax Treaty a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu): tidak ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak: basis bruto dan tarif tunggal 20%. b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu): ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak: basis neto dan tarif tunggal 20%.
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26 PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan PPh Pasal 26 tersebut adalah: 1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan WPLN yang berupa: a. Bunga, deviden, royalty, sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta. b. Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT, kecuali ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat: 1) Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri. 2) Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama 1 tahun sejak perusahaan tersebut didirikan. 3) Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut. 4) Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali paling singkat dalam jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan tersebut telah berproduksi komersial. (Lihat PMK No. 257/PMK.03/2008) 12
2. Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final atas penghasilan WPLN berupa: a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia (20% x 25% x harga jual). b. Premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri: 1) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri oleh tertanggung (20% x 50% jumlah premi). 2) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia (20% x 10% x jumlah premi). 3) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN, oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia (20% x 5% x jumlah premi).
Penggunaan Metode Groos Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang Ditanggung oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja (Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 tahun 2000)
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali: a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi termasuk deviden. b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak.
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 26 dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 26, jumlah penghasilan bruto dalam SPT Masa PPh pasal 26 dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci per transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26. Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 26 yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena: 1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 26 yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
13
2. Jumlah PPh Pasal 26 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak. 3. Jumlah PPh Pasal 26 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 26.
5. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) Final Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tariff 0,1%. Final ini secara prinsip selalu meringankan. Bunga obligasi dan Surat Utang Negara dikenai PPh Final tetapi tarif pajak bunganya tetap sebesar 15% bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT, dan tarif 15% diberlakukan bagi bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.
Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pasal 4 Ayat (2) Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang Negara. Berbeda dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah; bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara gradual dikenai PPh Pasal 4 (2) Final sebagai berikut: 1. 0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010. 2. 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013. 3. 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Tax planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tariff bunga di atas, dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan obligasi yang dipasarkan di bursa efek.
Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2) Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah. Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya (dianggap selesai/rampung) Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh pihak lain tidak dapat dikreditkan 14
Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai PPh final tidak dapat dikurangkan.
Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2): 1.
Bunga
dan
diskonto
obligasi
yang
diperdagangkan
dan
atau
dilaporkan
perdagangannya di bursa efek. 2.
Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham yang diperdagangkan di bursa efek.
3.
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI.
4.
Penghasilan berupa hadiah atas undian.
5.
Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan.
6.
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
7.
Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.
8.
Deviden yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
9.
Bunga dan atau diskonto obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN).
10. Bunga Simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi.
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 4 Ayat (2), jumlah penghasilan bruto dalam SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci per transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2). Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena: 1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 4 ayat 2 (Final) yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja. 2. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak. 3. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 4 ayat 2 (Final).
15
6. PPh Pasal 15 Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (NPK) atau deem profit, yang meliputi: 1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari peredaran bruto dan bersifat tidak final. 2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari peredaran bruto bersifat final. 3. PPh Final Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri, tarif pajaknya 2,64% dari peredaran bruto bersifat final. 4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia, tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat final. 5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran minyak dan gas bumi, tarifnya 15% dari peredaran bruto, bersifat tidak final.
7. Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final Beberapa hal kruasial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final: 1. Masalah Pembuatan Kontrak Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok yang harus diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal bakal terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait. Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja), atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak. Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka PPh Pasal 23/26 hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa catering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa dan nilai material, maka PPh Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.
2. Konflik Dalam Withholding Tax Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut withholding tax, maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya ini sebaik-baiknya. Konflik dalam withholding tax akan terjadi jika penerima penghasilan 16
tidak bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak yang akan dipotong. Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan membayarkan sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan gross up maka pajak yang terutang boleh dibiayakan, kecuali deviden dan PPh Final. Gross up sebaiknya dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain yang terkait agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa.
3. Rekonsiliasi Objek Withholding Tax Dengan Laporan Keuangan Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau pemungut (withholder) perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian perpajakan (tax control) untuk memastikan bahwa seluruh objek withholding tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya. Caranya adalah dengan rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh yang terdapat dalam laporan keuangan komersial. Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek withholding tax dapat langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun yang di dalamnya hanya terdapat sebagian saja yang merupakan objek withholding tax, maka perlu dilakukan pemisahan antara yang objek dan yang bukan objek withholding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat rincian objek withholding tax dikaitkan dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek, masa perolehan, dan nomor serta tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.
4. Klausul Kontrak Dengan WPLN Di samping harus mengatur klausul perpajakn secara jelas dan rinci, khusus kontrak dengan pihak Wajib Pajak Luar Negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain: Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat pada ketentuan tax treaty atau tidak. 17
Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di Negara treaty partner, perlu diperhatikan agar WPLN memberikan CRT (certificate of residence) kepada perusahaan sebelum dilakukan pembayaran atau penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan WPLN tersebut.
8. Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 25 Orang Pribadi Sesuai Per-Menkeu No. 255/PMK.03/2008, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut. Sedangkan untuk wajib pajak masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiscal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.
18