Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 4 No. 1, Juni 2015
Pengaruh Penerapan Peraturan Pemerintah No. 46 Tentang PPH Final Terhadap Pajak Penghasilan Dan Profit PT.X Lulu Setiawati, Josephine Kurniawati Tjahjono Program Studi Akuntansi Universtitas Pelita Harapan Surabaya Surabaya, Indonesia
[email protected] [email protected] Abstrak - Sumber pendapatan negara terbesar diperoleh dari pajak. Pajak sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan peningkatan pendapatan negara menjadi sesuatu hal yang sangat penting dampaknya bagi dunia usaha. Penerapan PP 46 yang ditetapkan per Juli 2013 sedikit menjadi polemik dikarenakan kejelasan dan kesiapan infrastruktur pelaksanaannya yang masih belum jelas. PP 46 adalah aturan perpajakan yang dibebankan kepada UMKM. Penelitian ini adalah studi kasus yang dilakukan disalah satu perusahaan yang ada di Surabaya. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan tarif pajak lama lebih menguntungkan bagi wajib pajak dibandingkan tarif yang baru. Kata kunci: Pph 29, PP 46, UKM
A. PENDAHULUAN Pajak sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan peningkatan pendapatan negara menjadi sesuatu hal yang sangat penting dampaknya bagi dunia usaha. Kontradiksi kepentingan pemerintah dan dunia usaha terhadap pajak menjadi hal yang sering diperdebatkan, di sisi pemerintah pajak adalah sumber penghasilan bagi negara, sedangkan di sisi yang lain badan usaha akan merasa terbebani dengan adanya tarif pajak, perubahan peningkatan tarif pajak dan perubahan aturan-aturan perpajakan lainnya yang dampaknya adalah peningkatan jumlah pajak yang disetorkan pada pemerintah, yang artinya peningkatan biaya bagi badan usaha. Wacana penerapan Peraturan Pemerintah No.46 (PP 46) sejak dari tahun 2012 penuh dengan perdebatan khususnya bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menjadi tujuan atau sasaran peraturan baru ini, karena tarip baru sebesar satu persen dari omzet penjualan dirasakan berat bagi mereka yang baru memulai usaha dan masih harus banyak ditopang dengan tunjangan dan bantuan secara keuangan. Pendapatan mereka bahkan sering kali belum dapat menutup beban operasionalnya sehingga menjadikannya semakin berat. Di sisi yang lain perencana kebijakan berpikir tarip satu persen final telah memperhitungkan persentase laba bersih setelah memperhitungkan beban operasional secara rata-rata dari penghasilan di dunia usaha.
Maksud dan tujuan penerapan peraturan yang baru dengan menerapkan pajak final adalah untuk memudahkan pengendalian pendapatan negara melalui pemantauan omzet tiap badan usaha dan akan sangat bermanfaat bagi petugas pajak khususnya bagi badan usaha berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) penerbit faktur pajak, yakni pajak penghasilan satu persen dari total omzet adalah sama dengan 10% dari Pajak Pertambahan Nilai disetor. Selain pengendalian penerimaan negara yang lebih terjaga, peningkatan pendapatan negara dapat dilakukan melalui pengurangan pelaporan NIHIL, meminimisasi kecurangan karena tanpa memperhitungkan beban operasional, mengabaikan status merugi badan usaha, dan bahkan peniadaaan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) khususnya bagi toko dengan omzet miliaran rupiah yang selama ini menggunakan norma perhitungan, sehingga peraturan baru ini dengan tidak adanya faktor pengurang tersebut tidak dimungkinkan untuk NIHIL. Penerapan PP 46 yang ditetapkan per Juli 2013 sedikit menjadi polemik dikarenakan kejelasan dan kesiapan infrastruktur pelaksanaannya yang masih belum jelas. Selain penerapannya yang tiba-tiba masih ada banyak pertanyaan dibenak para praktisi perpajakan begitu juga dengan para staff akuntansi perusahaan tentang bagaimana pelaporan detail laporan keuangan khususnya pelaporan laporan keuangan 2013 yang harus memisahkan laporan kinerja laba rugi perusahaan periode Januari-Juni 2013 dan
11
Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 4 No. 1, Juni 2015 periode Juli-Agustus 2013. Sosialisasi yang kurang jelas dan luas tentang aturan perpajakan yang baru inilah yang menjadi dasar penelitian ini untuk dilakukan. Peneltian ini akan melihat sejauh mana pengaruh dari kebijakan PP 46 terhadap perubahan beban pajak, dan laba operasional bersih perusahaan.
B. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak Pengertian pajak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang terutama oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari kutipan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pajak dan peraturannya bersifat sepihak karena memaksa bagi setiap wajib pajak untuk menerimanya, bahkan dalam proses lahirnya undang-undang para wajib pajak tidak dilibatkan, bahkan imbalan dari pembayaran oleh wajib pajak tidak dirasakan langsung secara pribadi ataupun per perusahaan namun dirasakan dalam bentuk manfaat fasilitas umum dan lain-lain yang memberikan efek kemakmuran bagi masyarakat. Jadi peraturan diperuntukkan bagi para subjek pajak baik yang mengerti ataupun tidak mengerti, sehingga perlu bagi para pelaku bisnis khususnya pribadi ataupun usaha kelas menengah untuk ikut serta aktif dalam setiap program sosialisasi ataupun melakukan update pengetahuan lewat berbagai media. Pajak mempunyai fungsi seperti yang dikemukakan oleh Waluyo (2010), yaitu: fungsi penerimaan (budgeter), yakni pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah dan fungsi mengatur (regulerend), yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Menurut Waluyo dan Ilyas (2000) dalam Purnamasari (2011) sistem perpajakan dapat disebut juga sebagai cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh WP sehingga dapat mengalir ke dalam kas Negara, terdiri dari: 1. Official Assessment System yakni sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang 2. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar 3. Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib pajak
Rumusan Penelitian Kurangnya kesiapan dari pemerintah untuk mensosialisasikan dan memperkenalkan peraturan perpajakan no. 46 yang baru tersebut dan ketidaktahuan pengusaha terhadap peraturan perpajakan yang baru dan efek beban pajak tersebut terhadap pendapatan badan usaha maka penelitian ini akan mengukur bagaimanakah dampak dari penerapan PP 46 terhadap perubahan beban pajak dan besarnya profit PT. X pada laporan keuangan tahun 2013dan proyeksi laporan keuangan berikutnya? Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada PT. X dengan melakukan pembahasan dan ulasan atas dampak penerapan PP 46 pada hanya pada perubahan besaran profit laporan keuangan tahun 2013 dan proyeksinya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk membahas seberapa besar perhitungan perubahan profit pada laporan keuangan PT. X tahun 2013 dan proyeksinya. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharpakan dapat diperoleh manfaat baik secara empiris dan teoritis. 1.
2.
Manfaat Teoritis a. Memahami penerapan peraturan PP No. 46 dengan lebih jelas b. Memberikan ide penelitian selanjutnya terhadap perubahan peraturan pajak pada umumnya dan PP No. 46 pada khususnya baik yang bersifat kualitatif ataupun kuantitatif. Manfaat Praktis a. Mengerti perhitungan dan mengetahui tarip efektif pajak dengan menghitung rasio jumlah pajak terutang terhadap total penjualan bersih b. Memberikan inspirasi untuk perencanaan pajak dengan lebih baik
12
Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 4 No. 1, Juni 2015 1. Peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,2. Memberitahukan kepada Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. 3. Wajib untuk menyelenggarakan pencatatan, diperbolehkan untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto.
B. Subjek Pajak Subjek yang harus menjalankan kewajiban perpajakannya disebut dengan Wajib Pajak (WP). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, WP didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atas pemotong pajak tertentu. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 36 Tahun 2008 pasal 2 ayat (3a) WP orang pribadi merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Wajib pajak badan adalah sekumpuan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, baik yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik dan lainnya. WP dapat berupa Badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyelenggrakan pembukuan, dan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha maupun pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan penyetoran pajaknya dengan menggunakan sistem norma perhitungan. Setiap WP harus menyelenggarakan pembukuan data atau member informasi yang dapat disajikan tentang jumlah penghasilannya.
Sedangkan tarip pajak untuk badan usaha mengalami perubahan beberapa kali, mulai dari tarip progresif berlapis sampai yang terbaru adalah tarip tahun 2010 adalah single rate yakni sebesar 12.5% dari laba fiskal untuk omzet sampai dengan Rp. 4,8 milyar dan 25% dari laba fiskal untuk omzet diatas Rp. 4.8 ilyar. Tarip ini sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan besar dengan omzet diatas Rp. 4,8 milyar dengan tingkat laba bersih fiskal sebelum pajak yang pada umunya menembus sampai lapis ketiga untuk tarip 30%. Perubahan tarip diatas menjadi perenungan bagi badan usaha kecil dengan omzet dibawah Rp. 4,8 milyar yang laba bersih fiskal sebelum pajak dikenai tarip lapis pertama (2008) yang hanya 10%. Pertimbangan direktorat jendral pajak untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendorong kepatuhan wajib pajak adalah dengan menggunakan berbagai cara untuk badan usaha yang sulit untuk dipantau, baik melalui cara peningkatan atau penurunan tarip, memaksa penjualan dengan faktur pajak dengan meniadakan faktur pajak sederhana bahkan sampai menerbitkan peraturan baru PP 46, sekalipun langkah tersebut harus menjadi sesuatu yang menyulitkan UKM dan badan usaha – badan usaha level menengah sampai kecil. D. Peraturan Pemerintah No. 46 (PP 46) Dalam materi sosialisasi penerapan PP 46 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Sawahan (KPP Sawahan) dijelaskan secara detail seperti keseluruhan artikel berikut bahwa tujuan penetapan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menerapkan pajak penghasilan (PPh) final seperti PPh Pasal 4 ayat (2) huruf e dalam Undang-Undang (UU) PPh adalah untuk cara menghitung PPh yang lebih sederhana dibandingkan dengan menggunakan UU PPh secara umum. Penjelasan diatas dapat diterjemahkan sebagai proses penyederhanaan bagi WP hanya menghitung dan membayar pajak berdasarkan peredaran bruto (omzet). Demikian dalam pasal 17 ayat (7) UU PPh yang menjelaskan pada intinya penerbitan PP 46 tahun 2013 ditujukan terutama untuk kesederhanaan dan pemerataan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
C. Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh 29) Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan untuk objek pajak penghasilan yang diperoleh oleh subjek pajak baik pribadi atapun badan usaha. Pajak penghasilan PPh 29 dihitung dari penghasilan fiskal bersih sebelum pajak setahun dan kemudian dikalikan dengan tarip pajak. Penggunaan perhitungan pajak dengan sistem norma bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi WP orang pribadi yang menjalankan usaha maupun pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu untuk menghitung penghasilan netonya. Syarat WP orang pribadi yang diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma perhitungan penghasilan neto diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan:
13
Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 4 No. 1, Juni 2015 Objek pajak PP 46 adalah Apa yang dikenai pajak berdasarkan penghasilan dari usaha seperti usaha dagang, industri, dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon, semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya dan lainlain, yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak. Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet) dan bersifat final. Yang bukan objek pajak berdasarkan PP 46 tahun 2013 adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, seperti misalnya: dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara, dan sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013 dan penghasilan dari usaha dagang dan jasa yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2)), seperti misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas, dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah. Non tax subject PP 46 adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau jasa yang tidak memiliki lokasi permanen atau menggunakan sarana yang dapat dibongkar pasang dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum misalnya pedagang keliling, pedagang asongan, warung tenda di area kaki-lima, dan sejenisnya.
operasional perusahaan sebagai dampak penerapanan peraturan pajak baru ini PP 46, baik pada tahun berjalan 2013 dengan proyeksi sampai ahkir tahun dan dampak pada tahun berikutnya dengan proyeksi berdasar data tahun-tahun sebelumnya. Laporan keuangan tahunan 2013 akan memberikan gambaran yang tidak penuh atas penerapan PP 46, karena penerapan peraturan ini yang hanya setengah tahun dan untuk mendapat gambaran yang penuh atas penerapan peraturan baru ini dapat dilakukan pembahasan pada tahun berikutnya dimana penerapan peraturan ini diaplikasikan secara penuh dalam satu tahun buku.
B. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan data primer yang didapat langsung dari objek penelitian baik melalui wawancara langsung, data-data laporan keuangan tahun 2013 dan data-data internal perusahaan 3 tahun terahkir. D. HASIL PENELITIAN Tingkat laba operasional perusahaan yang dalam hal ini adalah PT. X secara rata-rata dalam tiga tahun terahkir adalah berkisar 4-5%, dan dengan koreksi fiskal positif rata-rata sebesar 6% dari penjualan bersih menjadikan laba fiskal sebesar 10%.
Laporan Laba Rugi Fiskal PT. X Tahun 2011-2013 Deskripsi 2011 2012 Penjualan Bersih 1,429,083,080 1,530,983,880 Hrg Pokok Penjualan (1,206,584,074) (1,292,619,577) Laba Kotor 222,499,006 238,364,303 Biaya Operasional (164,241,460) (186,296,116) Laba Bersih 58,257,547 52,068,187 Koreksi Fiskal Positif 81,865,448 87,702,865 Laba Fiskal 140,122,994 139,771,052
C. METODE PENELITIAN A. Gambaran Umum PT. X PT. X adalah sebuah badan usaha menengah kecil dengan total omset dibawah Rp. 4,8 milyar yang bergerak dibidang produksi office equipment (peralatan kantor) dengan sistem mass production dan job-order, dengan produk utama adalah filing cabinet. PT. X sebagai PKP melakukan kewajiban pelaporan perpajakan dengan pelaporan SPT Massa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Surat Setoran Pajak Penghasilan Pasal 25. Sedangkan sebagai pemungut penghasilan karyawan dan lengkap dengan kewajiban pelaporan SPT Massa Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk karyawan juga dilakukan sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan. PT. X mewakili dari sekian banyak badan usaha yang memiliki omzet dibawah Rp. 4,8 milyar per tahun, merupakan sasaran kebijakan PP 46, merasakan dampak dari penerapan PP 46 khususnya terhadap peningkatan beban pajak dan arus kas operasional badan usaha. PT. X mencoba melakukan review sampai sejauh mana peningkatan beban pajak dan pengurangan laba bersih
2013 1,620,983,080 (1,368,606,483) 252,376,597 (186,296,116) 66,080,481 92,858,496 158,938,977
Sumber: Laporan Internal PT. X thn 2013, diolah
Data diatas menunjukkan bahwa dengan laba fiskal sebesar 10% dari penjualan bersih jika dihitung dengan tarip pajak penghasilan badan usaha tahun 2012 yakni sebesar 12.5 % dari laba bersih kena pajak (laba fiskal) maka tarip pajak penghasilan dari total penjualan bersih (tarip pajak efektif) adalah berkisar 1.15%-1.25%. Sehingga dapat dikatakan penerapan PP No. 46 sebagai pelaksanaan aplikasi pajak penghailan final 1% dari omzet penjualan untuk perusahaan dengan total omzet dibawah Rp. 4.8 milyar adalah lebih baik, karena menghasilkan tarip pajak efektif dari total omzet yakni 1 persen yang tarip itu adalah lebih
14
Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 4 No. 1, Juni 2015 rendah dari tarip pajak efektif sebelumnya yakni 1.15%-1.25%.
Seperti diketahui bersama sebagian perusahaan menggunakan pembukuan dengan maksud untuk membesarkan beban baik sebagai bentuk tax avoidance ataupun tax evasion, bahkan sampai sebagian besar usaha kecil melakukan pelaporan laba kena pajak sebesar kurang lebih 5% dari omzet, sehingga dapat dipahami mereka merasakan peningkatan tarip pajak. Disisi lain dasar pemikiran fiskus dengan penerapan peraturan baru ini adalah menjaring lebih banyak wajib pajak dan menghindarkan setoran NIHIL dengan menurunkan tarip 1% dari omzet dengan asumsi laba kena pajak untuk kegiatan bisnis reasonable untuk 10% dari total penjualan bersih. Strategi fiskus dalam penerapan peraturan PP No. 46 untuk menjaring lebih banyak wajib pajak dan menggiring pebisnis menjadi pengusaha kena pajak (PKP), karena sebagian bisnis unit banyak yang mendaftarkan diri menjadi PKP demi dapat menjalankan kegiatan bisnis dengan kapasitas mengeluarkan faktur pajak sekalipun omzet penjualan kurang dari Rp. 4.8 milyar akan efektif meningkatkan pendapatan negara dan memaksa pebisnis menjalankan kewajiban perpajakan mereka dengan lebih jujur dan tertib. Sarana pengendalian pajak penghasilan sekarang menjadi 10% dari data pajak pertambahan nilai (PPN) keluaran dan meringankan kerja fiskus untuk melakukan tax audit karena sifat pajak yang final. Namun yang perlu digarisbawahi adalah pelaksanaan yang terasa memaksakan keadaan pada Juli 2013 yakni sesaat sebelum hari raya Idul Fitri tahun lalu dan minimnya sosialisai tentang latar belakang dan contoh perhitungan yang riel mengakibatkan pelaksanaan peraturan baru ini kurang efektif baik dari sisi wajib pajak bahkan fiskus dan account representative di kantor pelayanan pajak setempat.
Perhitungan Rasio Tarip Pajak Efektif PT. X Tahun 2011-2013 Deskripsi 2011 2012 2013 Penjualan Bersih 1,429,083,080 1,530,983,880 1,620,983,080 Laba Fiskal 140,122,994 139,771,052 158,938,977 Pajak Penghasilan 17,515,374 17,471,381 19,867,372 Tarip Pajak Efektif 1.23% 1.14% 1.23% Sumber: Laporan Internal PT. X thn 2013, diolah
Sedangkan perhitungan untuk tarip pajak atas laba kena pajak atau taxable income (net profit tax) tahun 2013 menghasilkan tarip pajak efektif yakni presentasi dari penjualan sebesar 1.08%, dimana hasil ini lebih rendah dari tarip pajak efektif rata-rata 1.15%-1.25%. Tarip pajak yang lebih rendah ini disebabkan adanya perhitungan dengan menggunakan dua tarip atau dua sistem, yakni tarip lama 12.5% dari laba untuk semester pertama dan tarip 1% dari omzet untuk semester kedua. Berikut akan diproyeksikan beberapa kemungkinan tingkat net profit pajak untuk memberikan gambaran sebenarnya tentang sampai pada tingkat laba kena pajak berapa persen dari penjualan lebih menguntungkan dengan tarip pajak baru 1% final dari omzet. Berikut proyeksi perhitungan tarip pajak efektif dengan berbagai rasio laba kena pajak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dengan taxable income 10% tarip pajak baru turun sekitar 0.15-0.25%. Lalu mengapakah banyak kontroversi dan ketidakpuasan masyarakat para pelaku bisnis baik UKM ataupun bentuk usaha apapun dengan omzet dibawah Rp. 4.8 milyar yang terposting diberbagai media cetak, media elektronik ataupun di beberapa blog di berbagai situs, atas penerapan PP No. 46 yang dianggap memberatkan. Sebenarnya seperti diketahui bahwa banyak bisnis yang masih menggunakan norma perhitungan ataupun bisnis dengan skala kecil ataupun UKM yang membuat laporan pembukuan memiliki net profit fiskal tidak lebih dari 5%, khususnya UKM merupakan unit industri kecil yang baru berdiri dengan segudang permasalahan kesulitan pembiayaan, pemasaran, teknologi ataupun sumber daya manusia akan mendapat tambahan beban dengan tarip 1% final dari omzet penjualan bersih. Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa untuk laba kena pajak dengan presentase 5% dari total penjualan bersih terjadi peningkatan tarip pajak efektif dari penjualan sebesar 0.42%. Sehingga dapat disimpulkan untuk badan usaha dengan laba kena pajak dibawah 5% lebih menguntungkan dengan tarip lama.
Proyeksi Laporan Laba Rugi dengan tingkat Laba Bersih 8% Penjualan Bersih 100% 1,620,983,080 549,202,928 Hrg Pokok Penjualan -84% (1,368,606,483) (463,695,579) Laba Kotor 16% 252,376,597 85,507,349 Biaya Operasional -8% (129,678,646) (43,936,234) Laba Fiskal 8% 122,697,950 41,571,115 Pajak tarip 2012 0.95% 15,337,244 5,196,389 Pajak tarip 2013 0.98% 15,914,191 5,196,389 Pajak tarip 2014 1.00% 16,209,831 5,492,029 Proyeksi Laporan Laba Rugi dengan tingkat Laba Bersih 7% Penjualan Bersih 100% 1,620,983,080 549,202,928 Hrg Pokok Penjualan -84% (1,368,606,483) (463,695,579) Laba Kotor 16% 252,376,597 85,507,349 Biaya Operasional -9% (145,888,477) (49,428,264) Laba Fiskal 7% 106,488,120 36,079,085 Pajak tarip 2012 0.82% 13,311,015 4,509,886 Pajak tarip 2013 0.94% 15,227,687 4,509,886 Pajak tarip 2014 1.00% 16,209,831 5,492,029 Proyeksi Laporan Laba Rugi dengan tingkat Laba Bersih 5% Penjualan Bersih 100% 1,620,983,080 549,202,928 Hrg Pokok Penjualan -84% (1,368,606,483) (463,695,579) Laba Kotor 16% 252,376,597 85,507,349 Biaya Operasional -11% (178,308,139) (60,412,322) Laba Fiskal 5% 74,068,458 25,095,027 Pajak tarip 2012 0.57% 9,258,557 3,136,878 Pajak tarip 2013 0.85% 13,854,680 3,136,878 Pajak tarip 2014 1.00% 16,209,831 5,492,029
Sumber: Laporan Internal PT. X thn 2013, diolah
15
1,071,780,152 (904,910,904) 166,869,248 (85,742,412) 81,126,836 10,140,854 10,717,802 10,717,802 1,071,780,152 (904,910,904) 166,869,248 (96,460,214) 70,409,034 8,801,129 10,717,802 10,717,802 1,071,780,152 (904,910,904) 166,869,248 (117,895,817) 48,973,431 6,121,679 10,717,802 10,717,802
Jurnal GEMA AKTUALITA, Vol. 4 No. 1, Juni 2015 [4] Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Aturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. E. KESIMPULAN [5] Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Aturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. [6] Suandy, Early. (2011). Perencanaan Pajak [7] Waluyo. (2009). Perpajakan Indonesia (9 th ed). Jakarta: Salemba Empat. [8] Waluyo dan Ilyas. (2010). Perpajakan Indonesia (9 th ed) . Jakarta: Salemba Empat.
Penerapan peraturan baru di bidang pemerintahan termasuk perpajakan menjadi sesuatu yang seringkali kurang ditanggapi oleh masyarakat, baik kurangnya pengertian, kurangnya pendidikan, ataupun minimnya sosialisasi bahkan kompetensi para individu ataupun lembaga pemerintahan termasuk fiskus. Objektivitas dan sifat demokrasi negara Indonesia akan lebih nyata jika sebelum diterapkannya suatu peraturan akan lebih baik dilakukan propaganda ataupun pra sosialisasi dengan memposting di media apapun yang saat ini menjadi semakin mudah dengan fasilitas elektronik yang ada. Wacana latar belakang diterbitkannya suatu aturan baru bahkan aplikasinya dapat mendapat tanggapan dari masyarakat sehingga didapatkan berbagai input dan pertimbangan yang terbaik bahkan kerelaan atau kepatuhan dari masyarakat untuk melaksanakannya. Adanya pemicu wajib pajak untuk melakukan tax evasion ataupun tax avoidance yang paling santer adalah tax bribe ataupun kasus-kasus perpajakan lainnya, sehingga setiap usaha ekstensifikasi atau peningkatan kewajiban perpajakan akan ditanggapi secara negative oleh wajib pajak. Pentingnya sosialisasi dan presentasi keuntungan yang diperoleh oleh wajib pajak harus dijelaskan secara jelas sehingga tidak semua peraturan baru dibaca sebagai sesuatu yang merugikan sekaligus penertiban sanksi bagi pegawai pajak oleh pemerintah dan perbaikan moral dan mentality yang dimulai dari fiskus akan membantu peningkatan wajib pajak juga. DAFTAR PUSTAKA [1] KUP Pajak Penghasilan, Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak (Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas) [2] Materi Sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Sawahan [3] Purnamasari, Ryan. (2011). Pengaruh Kualitas Pelayanan Pajak Setelah Reformasi Pajak 2008 Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Selatan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 46 Tahun 2013
16