MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 103/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PEMOHON (IV)
JAKARTA SELASA, 24 JANUARI 2017
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 103/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 197 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Juniver Girsang 2. Harry Ponto 3. Swandy Halim, dkk ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon (IV) Selasa, 24 Januari 2017, Pukul 11.06 – 12.52 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Maria Farida Indrati Suhartoyo Aswanto I Dewa Gede Palguna Patrialis Akbar Manahan MP Sitompul Wahiduddin Adams
Rizki Amalia
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Joelbaner Hendrik Toendan B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Juniver Girsang 2. Arief Patramijaya 3. Hanita Oktavia 4. Swandy Halim 5. Patricia Lestari 6. Triweka Rinanti 7. Budi Rahmad 8. Fajri Akbar C. Ahli dari Pemohon: 1. Bagir Manan 2. Slamet Sampurno Soewondo 3. Eddy O.S. Hiariej D. Pemerintah: 1. 2. 3. 4.
Hotman Sitorus Surdiyanto Nasrun Priorenta
E. Pihak Terkait: 1. Suhadi 2. Darmoko Yutiwitanto 3. Joko Mirun
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.06 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara 103/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.
Nomor
KETUK PALU 3X Saya cek kehadirannya. Pemohon, yang hadir siapa? Silakan. 2.
PEMOHON: JUNIVER GIRSANG Baik. Terima kasih, Majelis Yang Mulia. Dari Pemohon yang hadir pada pagi hari ini mulai dari sebelah kiri, rekan kami Arief Patramijaya. Kemudian, yang kedua Triweka Rinanti. Kemudian, sebelah kiri saya Hanita Oktavia. Kemudian, saya sendiri Juniver Girsang. Sebelah kanan saya Bapak Swandy Halim. Kemudian, Patricia Lestari. Yang tidak pakai toga adalah Prinsipal Joelbaner Hendrik Toendan. Yang sebelah kanan Pak Budi Rahmad. Di belakang ada Fajri Akbar. Terima kasih, Majelis Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Pemohon. Dari DPR tidak hadir. Dari Pemerintah, siapa yang hadir?
4.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir Bapak M. Nasrun dari Kejaksaan dan Ibu Priorenta. Saya Hotman Sitorus dan Pak Surdiyanto. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak.
6.
Baik, terima kasih. Dari Pihak Terkait, siapa yang hadir? Silakan,
PIHAK TERKAIT: SUHADI Assalamualaikum wr. wb.
1
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb.
8.
PIHAK TERKAIT: SUHADI Pihak Terkait dalam hal ini adalah saya Suhadi (Hakim Agung) mewakili Mahkamah Agung. Yang kedua, samping sebelah kanan saya Pak Witanto, S.H., lengkapnya Darmoko Yutiwitanto (Hakim Yustisial) di Mahkamah Agung dan Pak Joko Mirun, S.H. (Kasubag Administrasi) di Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung. Terima kasih.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Agenda kita pada pagi hari ini adalah mendengarkan keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemohon. Sudah hadir di hadapan kita Yang Mulia Prof. Bagir Manan, yang amat terpelajar Prof. Eddy Hiariej, dan juga yang amat terpelajar Prof. Slamet. Saya persilakan untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Mohon berkenan, Yang Mulia Pak Wahid untuk memandu sumpah. Beliau bertiga beragama Islam.
10.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. Kepada Para Ahli Yang Mulia Prof. Bagir Manan, Yang Terhormat Prof. Eddy O.S. Hiariej, dan Terhormat Prof. Slamet Sampurno Soewondo untuk mengikuti lafal yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
11.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
12.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih.
2
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT duduk.
Terima kasih, Yang Mulia. Saya persilakan kembali ke tempat
Kepada Pemohon, siapa dulu yang keterangan? Urut-urutannya? Saya persilakan. 14.
harus
memberikan
PEMOHON: JUNIVER GIRSANG Baik. Terima kasih, Majelis. Yang pertama, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. Kemudian, nanti yang kedua Prof. Dr. Eddy Hiariej. Kemudian, selanjutnya Prof. Dr. Slamet Sampurno, Majelis Hakim Yang Mulia. Terima kasih.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Sesuai dengan permintaan dari Pemohon, Prof. Bagir Manan, saya persilakan.
16.
AHLI DARI PEMOHON: BAGIR MANAN Bismillahirrahmaanirrahiim. Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Sebelum saya membacakan catatan ini, saya mohon maaf karena di dalam tulisan ini masih ada beberapa salah cetak, yang perbaikannya sambil saya bacakan saja. Terima kasih. Terlebih dahulu, saya sampaikan terima kasih atas kesempatan dan kehormatan berdiri di hadapan Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan keterangan Ahli dalam Permohonan Pengujian secara yudisial Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Sebelum menguraikan rincian keterangan Ahli sesuai dengan permohonan-permohonan, saya minta perhatian Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis tentang Pasal 197 ayat (2), walaupun Pemohon hanya menyebut Pasal 197 ayat (1), tapi tidak mungkin dilepaskan dari Pasal 197 ayat (2) yang mengancam batal, apabila putusan Majelis Hakim dalam suatu perkara pidana tidak memuat kecuali yang tercantum dalam huruf g semua unsur-unsur yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP atau hukum acara peradilan pada umumnya adalah hukum yang mengatur tata cara atau prosedur memeriksa, mengadili, dan memutus perkara karena itu disebut law of procedure atau processrecht.
3
Dalam negara hukum hubungan antara hukum materiil dan hukum formal atau law of procedure merupakan dua sisi dari satu mata uang, two sided of one coin, mengapa? Hukum acara tidak sekadar ketentuan tentang tata cara melaksanakan dan menegakkan hukum materiil. Apalagi sekadar tata kerja administratif proses peradilan, lebih mendasar dari itu hukum acara akan menentukan: Pertama. Terwujud atau tidak terwujud tujuan hukum materiil atau maksud pembentuk undang-undang. Kedua. Memastikan apakah putusan Majelis Hakim akan mewujudkan keadilan atau sekurang-kurangnya memberi rasa puas bagi pencari keadilan, bahkan memuaskan masyarakat pada umumnya. Apakah proses peradilan dijalankan dengan … yang dijalankan, saya ulangi. Apakah proses peradilan dijalankan dengan kelurusan dan kejujuran (fairness), dan tidak berpihak (impartiality), tidak bias (against bias), dan lain-lainnya akan menghambat atau menghalangi atau terwujudnya keadilan (obstruction of justice). Dalam kaitan dengan jaminan prosedur yang penuh kelurusan dan kejujuran (fair), serta dijalankan dalam keteraturan (regularity), serta tidak bepihak, izinkan saya mengutip beberapa pendapat. 1. Justice Frankfurter, US. Supreme Court, dalam satu kasus McNabb Tahun 1943 mengatakan bahwa sebagian besar sejarah tentang kebebasan sebenarnya adalah sejarah tentang ketaatan pada perlindungan atau jaminan prosedur. Tentu maksudnya prosedur yang fair dan imparsial. 2. Justice Jakson juga dari Mahkamah Agung Amerika dalam perkara Shanghnessy tahun 1953 menyatakan bahwa prosedur yang fair dan dijalankan dalam keteraturan merupakan esensi yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan. 3. Profesor Wade dari Oxford University dalam bukunya Administrative Law menyatakan bahwa prosedur yang fair dan imparsial merupakan hal yang paling esensial dalam negara hukum. Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Tanpa mengurangi betapa penting dan esensial pendapat-pendapat para tokoh kenamaan yang disebutkan di atas, izinkan saya meninjau dari aspek lain, segi-segi prosedural, atau tata cara menjalankan hukum pada umumnya atau secara khusus prosedur menjalankan peradilan (administration of justice), yaitu kaitannya dengan birokratisasi yang berlebihan. Prosedur yang berlebihan dapat melahirkan tata laksana atau tata kelola birokratik yang dapat memunculkan masalah-masalah, antara lain: Pertama. Tata laksana yang birokratis, apalagi birokratisasi yang belebihan akan menimbulkan inefisiensi dan inefektivitas. Kalau hal ini terjadi pada penyelenggaraan peradilan, sehingga didapati birokratisasi penyelenggaraan peradilan, penyelenggaraan peradilan 4
akan menjadi tidak efisien dan tidak efektif yang akan berujung pada hambatan memperoleh peradilan. Sedang sebe … sedangkan seperti diutarakan Profesor Wade di atas, "Justice and efficiency go hand to hand," keadilan deefisien … dan efisiensi itu harus selalu bergandengan tangan satu sama lain. Lebih-lebih lagi kalau birokratisasi ini dihubungkan dengan ketentuan undang-undang sebagai bagian dari kehendak politik akan sulit melepaskannya dari persoalan politization of judiciary. Kedua. Birokratisasi yang berde … berlebihan, dapat menimbulkan dorongan penyalahgunaan kekuasaan yang akan berujung pada kesewenang-wenangan, yang secara khusus akan merugikan pencari keadilan atau keadilan pada umumnya, maupun baik itu keadilan dalam arti subtantive maupun keadilan dalam arti procedural. Ketiga. Birokratisasi yang berlebihan dalam penyelenggaraan peradilan akan meneguhkan ungkapan justice delay, justice denied. Menundanunda penyelesaian perkara akibat birokratisasi yang berlebihan yang disertai penyalahgunaan kekuasaan atas nama birokrasi akan mengakibatkan tidak terwujudnya ... tidak terwujudnya keadilan bagi pencari keadilan, bahkan bagi masyarakat pada umumnya. Tatanan birokrasi memang diperlukan, termasuk dalam menjalankan peradilan, tapi birokratisasi apalagi ... lagi birokratisasi yang berlebihan, akan sulit menghindari berbagai akibat buruk yang disebutkan di atas. Mohon izin. Yang Mulia, Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekarang izinkan saya menyampaikan catatan atas KUHAP Pasal 197 yang menjadi dasar permohonan Pemohon. Secara konstitusional, Pemohon berpendapat KUHAP Pasal 197, khususnya 197 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum,” dan Pasal 28D yang pada pokoknya memuat prinsip persamaan di depan hukum, equality before the law. Dengan demikian, kedua pasal tersebut mengatur hal yang sama, yaitu prinsip negara hukum atau negara berdasarkan hukum. Di atas telah dikemukakan, meskipun Pemohon hanya mempersoalkan Pasal 197 ayat (1), saya memohon perhatian Yang Mulia, Ketua dan anggota Majelis Mahkamah Konstitusi untuk secara sistematik memperhatikan juga Pasal 197 ayat (2). Berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (2), semua unsur-unsur (terkecuali tercantum dalam huruf g), merupakan mandatory conditions atau mandatory clause. Syarat-syarat yang mesti ada atau wajib dicantumkan dalam setiap putusan Majelis Hakim, baik pada tingkat judex facti maupun judex juris. Kalau tidak seperti telah diutarakan di atas, putusan tersebut diancam batal dalam makna batal demi hukum, van rechtswege nietig. Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Izinkan saya sesuai dengan permohonan Pemohon 5
hanya mencatat putusan Majelis Hakim pada tingkat kasasi. Apakah semua unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1), kecuali huruf g merupakan mandatory conditions pada setiap putusan tingkat kasasi? Apakah tidak ada berbagai unsur itu sebagai sesuatu yang tidak perlu atau yang hanya berlaku sebagai directory conditions, artinya hanya sebagai petunjuk atau pedoman yang atas pertimbangan Majelis Kasasi dapat dipilih yang mesti dimuat atau tidak ... atau tidak dimuat sebagai suatu bentuk judicial discretionary, dari Majelis Hakim Kasasi tanpa ancaman batal demi hukum sepanjang hal itu tetap menjamin fairness dan impartiality. Saya berpendapat untuk putusan tingkat kasasi, tidak semua unsur-unsur di luar yang dimuat dalam ... di luar dimuat dalam huruf g Pasal 197 ayat (1) merupakan mandatory conditions atau mandatory clause. Pertama. Atas dasar pertimbangan yudicial ... yuridis, semua kita yang belajar ilmu hukum sungguh mengetahui, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tinggi adalah judex juris yang hanya memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus penerapan hukum atau lazim juga disebut hanya memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus persoalan penerapan hukum. Karena hanya memeriksa, mengadili, dan memutus persoalan penerapan hukum dalam bahasa gurauan dengan para hakim atau di kampus, saya sering mengatakan kasasi itu secara has ... secara kas ... hakiki memeriksa, mengadili hakim judex facti. Memang ada kemungkinan Mahkamah Agung sebagai judex facti, yaitu apabila ada undang-undang yang menentukan Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus sebagai ... memutus sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Tapi, ini merupakan special rule, bukan sebagai general rule. Karena Mahkamah Agung hanya sebagai judex juris, tidaklah relevan dalam putusan tingkat kasasi memuat kembali hal-hal seperti dakwaan, tuntutan, pemeriksaan oleh judex facti. Kalau ada unsur-unsur yang dianggap perlu, semata-mata demi memeriksa penerapan hukum oleh judex facti seperti pertimbangan dan isi ... dan isi putusan judex facti. Kedua. Atas dasar doktrin, yaitu doktrin reasonableness versus unreasonableness semua keputusan dan tindakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, termasuk putusan hakim berlaku asas reasonableness, harus dalam kewajaran yang dapat dimengerti oleh sebanyak-banyaknya orang. Reasonableness ini meliputi waktu yang wajar, tujuan yang wajar, bahkan penggunaan bahasa yang wajar. Akibat harus memuat semua unsur-unsur yang di atur Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf g, putusan kasasi dapat mencapai beratus-ratus bahkan ribuan lembar. Hal ini menimbulkan kesulitan, baik bagi penyelenggara peradilan maupun pencari keadilan. Bagi penyelengara peradilan akan dibutuhkan waktu lama dan perlu ketelitian untuk mencatat ulang hal-hal yang sudah tercantum dalam putusan judex 6
facti. Bagi pencari keadilan harus menunggu lama sebelum menerima putusan hakim, hal ini merupakan suatu yang tidak wajar, tidak reasonable. Secara doktriner, keputusan, tindakan termasuk putusan hakim yang tidak lagi mencerminkan kewajaran secara ekstrem bukan hukum atau setidak-tidaknya bukan hukum yang baik, apalagi menimbulkan beban yang berlebihan. Doktrin lain yang barangkali dapat dipertimbangkan adalah yang disebut fettering of power, yaitu ketentuan-ketentuan atau hubungan hukum yang membelenggu kekuasaan. Dalam pemeriksaan tingkat kasasi, Pasal 197 merupakan ketentuan yang membelenggu karena selain dapat terkena ungkapan justice delay justice denied tidak kalah penting sangat bertentangan dengan penyelenggaraan peradilan kita yang harus diselenggarakan berdasarkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketiga. Atas dasar pertimbangan praktis, memuat semua unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali yang tercantum huruf g akan mengakibatkan hal-hal berikut. 1) Akan membebani secara berlebihan yang tidak relevan secara yuridis maupun praktis penyelenggaraan administrasi perkara. Dalam perkara-perkara yang kompleks seperti korupsi atau tindak pidana serius lainnya akan melibatkan kemungkinan sampai ribuan lembar yang harus disalin kembali untuk dimuat dalam putusan kasasi. Secara yuridis memuat kembali hal-hal tersebut tidak lagi relevan bagi Mahkamah Agung sebagai judex juris. Hal-hal itu sangat penting bagi tingkat judex facti. 2) Akibat susunan dan isi putusan harus memuat semua unsur Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf g mengakibatkan kelambanan putusan sampai pada pencari keadilan. Hal ini akan menimbulkan … sudah dicatat di atas … justice delay justice denied. Lebih-lebih lagi akibat tidak ada pembatasan kasasi, setiap tahun ada puluhan ribu permohonan kasasi. 3) Akibat keinginan pihak-pihak berperkara untuk secepat-cepatnya menerima putusan secara lengkap dapat menimbulkan praktik yang tidak sehat. 4) Bagi pihak-pihak yang berkepentingan c.q. pemohon kasasi tidak lagi relevan bahkan tidak berkepentingan memuat dalam putusan kasasi hal-hal yang sudah dimuat dalam putusan judex facti. Karena mereka sudah menerima putusan judex facti dan meneliti untuk menemukan dasar dan alasan permohonan kasasi. Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, saya akan mencatat praktik menerapkan Pasal 197 KUHAP dalam putusan kasasi perdata. Secara normatif, hal ini merupakan satu anomali. Bagaimana mungkin ketentuan-ketentuan acara pidana diterapkan begitu saja dalam perkara perdata? Tentu dalam putusan kasasi, perkara perdata tidak 7
memuat dakwaan, tuntutan, dan pemidanaan. Tetapi sebagai pengganti, dimuat gugatan, jawaban, dan lain-lain yang tidak relevan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Hingga hari ini, HIR dan RBg bagian perdata masih berlaku sebagai pedoman beracara dalam perkara perdata. Ketentuan-ketentuan Rv (Rechtsvordering) hanya dipergunakan untuk mengisi kekosongan HIR dan RBg yang dapat mempengaruhi tegaknya keadilan. Ditinjau dari segi politik hukum yang ada pada waktu itu, zaman Hindia Belanda maksudnya, HIR dan RBg merupakan tata cara beracara yang sederhana dan memudahkan, di samping sebagai dasar menerapkan hukum adat materiil. Izinkan saya memberi beberapa contoh yang menunjukkan HIR dan RBg sebagai tata cara beracara yang sederhana. 1. Para Pemohon dapat menyampaikan permohonan atau gugatan secara lisan yang akan dicatat oleh panitera atau ketua pengadilan. Di pihak lain dalam Rv, hukum acara untuk golongan Eropa dan dipersamakan semua permohonan diajukan secara tertulis. 2. Menurut HIR atau RBg, pemeriksaan berperkara perdata dilakukan dengan mendatangkan pihak-pihak dan saksi untuk didengar secara langsung oleh hakim … oleh hakim atau yang kita kenal dengan public hearing. Hakim sangat aktif membimbing untuk mengarahkan perkara pada hal-hal yang relevan dari segi hukum. Sebaliknya dalam Rv, hakim memeriksa permohonan tertulis diwakili kuasa hukum tanpa menghadirkan pihak-pihak, kecuali dianggap sangat perlu. Gambaran beracara, termasuk penyusunan putusan secara sederhana ini semestinya tetap dilanjutkan, tanpa mengurangi berbagai perubahan dan perkembangan baru. Hal ini seperti dikemukakan di atas sesuai dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Berdasarkan hal-hal di atas, mengingat penerapan hukum acara pidana c.q. 19 … Pasal 197 dalam menyusun putusan kasasi berkat perdata merupakan satu anomali, mengingat pula pemeriksaan tingkat kasasi adalah pemeriksaan dalam tatanan judex juris dan tuntutan atas asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta sesuai dengan asas HIR RBg. Sudah semetinya putusan kasasi perdata … perkara perdata mempunyai corak tersendiri, bukan mengikuti Pasal 197 KUHAP. Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Demikianlah beberapa catatan keterangan yang dapat saya sampaikan. Sekiranya Yang Mulia Majelis dapat mempertimbangkan paling tidak relaksasi Pasal 197 KUHAP yang secara gramatikal merupakan mandatory conditions menjadi sekurangkurangnya directory conditions. Hal itu tidak semata-mata menyederhanakan proses penyusunan putusan kasasi dan bukan pula sekadar lebih efisien.
8
Lebih dari itu, merupakan bagian integral dari upaya Para Yang Mulia mewujudkan tata peradilan sederhana, berkeadilan. Dapat pula ditambahkan pemikiran ulang Pasal 197 dalam putusan tingkat kasasi akan menjadi sumbangan nyata upaya mewujudkan tata peradilan yang bersih, jauh dari purbasangka dan senantiasa menjamin rasa puas bagi pencari keadilan. Mohon maaf, apabila ada yang mengusik hati Yang Mulia Ketua dan seluruh Anggota Majelis Hakim. Terima kasih. 17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Prof. Bagir. Silakan, Pak Prof. Eddy O.S. Hiariej.
18.
AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ Assalamualaikum wr. wb.
19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam.
20.
AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ Shalom om swastiastu. Selamat siang. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, izinkanlah saya menyampaikan pendapat hukum terkait Pengujian Pasal 197 ayat (1) KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1. Bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP menyatakan surat putusan pemidanaan memuat huruf a sampai dengan huruf l, tidak akan saya bacakan. 2. Bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP berikut penjelasannya tidak mencantumkan secara tegas, apakah yang dimaksudkan dengan surat putusan pemidanaan? Apakah surat putusan pemidanaan pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, ataukah pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, ataukah pada semua di tingkatan peradilan? 3. Bahwa ketentuan pasal a quo yang bersifat multitafsir dan bertentangan dengan prinsip negara hukum, dan prinsip pengakuan jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
9
Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, berdasarkan pokok perkara di atas, adapun pendapat Ahli sebagai berikut. Pertama. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Dengan mengutip pendapat Frederich Julius Stahl, salah satu konsekuensi negara hukum bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia. Kedua. Konsep perlindungan hukum, termasuk perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam konteks hukum pidana dapat dilihat secara in abstracto dan in concreto. Perlindungan in abstarcto mengandung makna bahwa substansi suatu kaidah hukum tidak memberikan perlindungan. Sedangkan perlindungan hukum in concreto mengandung arti bahwa praktik penegakan hukum tidak memberikan perlindungan. Paling tidak, ada dua parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan apakah perlindungan hukum in abstracto dikandung oleh suatu norma hukum ataukah tidak. Pertama, apakah suatu norma menjamin kepastian hukum? Kedua, apakah suatu norma yang ... norma … apakah suatu norma itu bersifat diskriminatif? Kedua parameter tersebut bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu saja parameter tidak terpenuhi, maka dikatakan bahwa norma hukum tersebut tidak memberikan perlindungan secara in abstracto. Ketiga. Sifat dan karakter hukum pidana harus diakui ... maaf, sifat dan karakter hukum acara pidana haruslah diakui bahwa sedikit banyaknya mengekang hak asasi manusia. Jadi, bisa dibayangkan orang ditangkap, ditahan, diproses, harta bendanya digeledah, disita. Belum tentu pada akhirnya hakim akan menyatakan dia bersalah. Karena sifat sedikit banyaknya mengekang hak asasi manusia, oleh karena itu ketentuan hukum acara pidana bersifat keresmian, dengan memegang teguh pada syarat-syarat asas legalitas dalam hukum acara pidana, yaitu ketentuan hukum acara pidana yang harus tertulis (lex scripta), ketentuan hukum acara pidana harus jelas dan tidak bersifat multitafsir (lex certa), serta ketentuan hukum acara pidana yang harus ditafsirkan secara ketat (lex stricta). Keempat. Pasal 179 … Pasal 197 ayat (1) KUHAP hanya mengatur bahwa surat pemidanaan harus memuat syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo, namun tidak memberikan kepastian hukum apakah surat putusan pemidanaan dalam pasal a quo adalah putusan pemidanaan pada pengadilan negeri, atau meliputi seluruh tingkatan pengadilan, termasuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan prinsip lex certa dalam hukum acara pidana.
10
Oleh karena ketidakpastian maksud dari Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut, maka Mahkamah Agung mengalami kendala pada saat proses minutasi putusan perkara-perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan oleh karena Mahkamah Agung harus mencantumkan kembali seluruh fakta-fakta persidangan, termasuk namun tidak terbatas pada dakwaan serta seluruh bukti-bukti, keterangan saksi-saksi, keterangan para ahli yang notabene telah dicantumkan dalam putusan tingkat pengadilan negeri. Akibatnya proses minutasi perkara menjadi sangat lama dan tidak ada kepastian hukum kapan akan selesai diperiksa oleh Mahkamah Agung. Bahkan kualitas pertimbangan majelis hakim menjadi tidak maksimal karena terlalu fokus mencantumkan seluruh syarat-syarat tersebut. Bahwa akibat lamanya proses pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung tersebut, tidak mendapatkan kepastian hukum kapan perkara yang ditanganinya akan selesai diperiksa oleh Mahkamah Agung. Akibatnya dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran menjadi terhambat yang mana tertundanya keadilan sama saja dengan tidak memberikan keadilan, sebagaimana yang tadi sudah diutarakan oleh Yang Mulia Prof. Bagir Manan, justice delay is justice denied, artinya menunda keadilan sama saja dengan tidak melaksanakan keadilan. Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Hal kelima yang ingin disampaikan Ahli bahwa untuk menjamin kepastian hukum frasa surat putusan pemidanaan haruslah ditafsirkan sebagai putusan pemidanaan pada pengadilan negeri. Adapun argumentasi teoretik dari pendapat Ahli yang demikian didasarkan pada: 1. Ada tujuh prinsip penafsiran dalam hukum pidana. Salah satu prinsip penafsiran dalam hukum pidana ada yang disebut dengan istilah titulus est lex dan rubrica est lex. Prinsip titulus est lex berarti judul bab yang menentukan, sedangkan prinsip rubrica est lex berarti judul bagian atau paragraf yang menentukan. In casu a quo Pasal 197 ayat (1) berada di Bab XVI perihal pemeriksaan sidang pengadilan dan di bawah bagian keempat mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa. Kata-kata pembuktian dan putusan disebutkan dalam satu napas, sehingga haruslah ditafsirkan pembuktian dan putusan dalam pemeriksaan di pengadilan negeri. Penafsiran yang demikian karena dalam perkara pidana pada hakikatnya pembuktian terhadap dugaan suatu tindak pidana terjadi pada pemeriksaan tingkat pertama, yang dalam hal ini adalah pengadilan negeri. 2. Bahwa berdasarkan interpretasi sistematis, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d yang menyatakan, “Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan sidang.” Semakin jelas bahwa pemeriksaan sidang yang dimaksud adalah pemeriksaan pada pengadilan negeri, hal ini karena pembuktian 11
terhadap fakta yang dikaitkan dengan unsur delik oleh penuntut umum berdasarkan adagium actori in cumbit onus probandi hanya dilakukan pada pengadilan negeri sebagai pemeriksaan tingkat pertama dalam suatu perkara pidana. 3. Yang tadi juga sudah disinggung oleh Yang Mulia Prof. Bagir Manan. Bahwa judex facti yang sesungguhnya hanyalah terdapat pada pengadilan negeri yang mana selain memeriksa fakta, hakim pun memeriksa dan menerapkan aturan hukum yang sesuai dengan fakta yang terbukti. Kendati pun pemeriksaan banding yang dilakukan oleh pengadilan tinggi juga sebagai judex facti, namun pada kenyataannya dalam pemeriksaan tingkat banding hanyalah memeriksa berkas tanpa melakukan konfrontasi, klarifikasi, dan verifikasi atas bukti terhadap suatu fakta yang terdapat dalam berkas perkara. 4. Bahwa berdasarkan metode interpretasi komparatif, yaitu membandingkan pelaksanaan suatu aturan hukum antara suatu negara dengan negara lain, syarat-syarat putusan sebagaimana dimak ... syarat-syarat putusan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) hanyalah untuk pengadilan tingkat pertama. Sedangkan putusan pada pemeriksaan banding maupun pemeriksaan tingkat kasasi, jauh lebih ringkas karena hanya berisi pertimbangan mengapa menerima atau menolak suatu permohonan banding atau kasasi. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Berdasarkan berbagai argumentasi di atas, Ahli menyimpulkan bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai surat putusan pemidanaan adalah pada pengadilan negeri, sebagaimana yang dimohonkan oleh Para Pemohon. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf. Wabillahitaufik walhidayah wassalamualaikum wr. wb. Shalom. Om shanti shanti om. 21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Prof. Eddy Hiariej. Berikutnya Prof. Slamet Sampurno, saya persilakan.
22.
AHLI DARI PEMOHON: SLAMET SAMPURNO SOEWONDO Assalamualaikum wr. wb.
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb.
12
24.
AHLI DARI PEMOHON: SLAMET SAMPURNO SOEWONDO Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Perkenankan saya, dalam hal ini memberikan keterangan Ahli dalam Perkara Nomor 103/PUU-XIV/2016. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena Pemohon merasa dirugikan akibat keberlakuan Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebabkan proses pemeriksaan perkara kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung menjadi lama dan tidak ada kepastian hukum, kapan akan selesai diadili oleh Mahkamah Agung? Bahwa terhadap permohonan yang diajukan Pemohon tersebut, terlebih dahulu Ahli ingin membahas adagium justice delayed justice denied, yang dua Saksi sudah memberikan penjelasan, yang berarti keadilan yang tertunda sama saja dengan tidak memberikan keadilan. Adagium ini pada pokoknya menggariskan bahwa dalam suatu proses penegakan hukum, keadilan bagi masyarakat pencari keadilan tidak boleh tertunda atau terhambat. Oleh karena tertunda atau terhambatnya keadilan tersebut, sama saja dengan tidak memberikan keadilan atau keadilan menjadi merosot kadarnya. Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia. Bahwa adagium justice delayed justice denied harus menjadi ruh dalam setiap proses penegak hukum ... penegakan hukum, termasuk pada saat pemeriksaan perkara di tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Oleh karena itu, proses pemeriksaan perkara di tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali pada prinsipnya tidak boleh terhambat atau dengan kata lain proses pemeriksaan perkaranya tidak boleh berjalan lambat atau lama. Karena hal tersebut sama saja dengan tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Dengan demikian, menurut Ahli, pelanggaran terhadap adagium justice delayed justice denied jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi sudah memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia, khususnya Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Saya tidak menyebut ... membacakan lagi isi Pasal 28D ayat (1). Yang keempat, adagium tersebut di atas sejalan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana lembaga peradilan dituntut untuk menyelenggarakan peradilan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan. Cepat artinya dalam melaksanakan peradilan, suatu perkara diharapkan dapat diselesaikan sesegera 13
mungkin dan dalam waktu yang singkat. Sederhana artinya peradilan harus diselengarakan dengan simpel, singkat, dan tidak berbelit-belit. Biaya ringan artinya biaya perkara murah agar bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Selanjutnya poin kelima, saya tidak membacakan klausul Pasal 2 dan Pasal 4. Bahwa dengan didasarkan pada asas tersebut di atas yang notabene merupakan pedoman utama dalam menjalankan peradilan, maka proses pemeriksaan perkara yang memakan waktu jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan tersebut. Oleh karena itu, lamanya proses pemeriksaan perkara tersebut harus segera ditanggulangi atau diselesaikan, yakni dengan cara mencari akar masalah yang menyebabkan lamanya proses pemeriksaan perkara di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar tidak ada lagi keadilan bagi masyarakat yang tertunda, dimana hal tersebut sama saja dengan tidak memberikan keadilan. Yang keenam. Bahwa dalam perkara a quo Pemohon mendalilkan bahwa lamanya proses pemeriksaan perkara tersebut diakibatkan ketidakjelasan cakupan surat putusan pemidanaan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, apakah pada pengadilan negeri saja atau juga mencakup pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Tujuh. Bahwa secara historis, para pembuat undang-undang menilai bahwa untuk menciptakan kepastian hukum secara formil bagi para pencari keadilan dalam suatu perkara pidana, maka perlu diatur keseragaman formulasi surat putusan pemidanaan. Oleh Karena itu, dirumuskanlah Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur syarat-syarat yang harus dicantumkan dalam suatu surat putusan pemidanaan. Namun demikian menurut Ahli, rumusan Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut tidak memberikan kepastian hukum secara formil, khususnya apakah surat putusan pemidanaan yang dimaksud hanya surat putusan pemidanaan pada pengadilan negeri atau meliputi seluruh tingkat pengadilan, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Delapan. Bahwa berdasarkan sistematika dalam KUHAP, proses pemeriksaan perkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, masing-masing diatur dalam … pada bab-bab tersendiri dalam KUHAP. Penggolongan ini dimaksudkan agar memudahkan para penegak hukum dan masyarakat untuk mengetahui keberlakuan dari tiap-tiap pasal dalam KUHAP. Adapun Pasal 197 ayat (1) KUHAP digolongkan dalam bagian keempat pembuktian dan putusan yang notabene merupakan bagian dari pemeriksaan di tingkat pertama di pengadilan negeri.
14
Sembilan. Bahwa dalam bab tentang banding, Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP, kasasi Pasal 244 sampai dengan 258 KUHAP, maupun peninjauan kembali Pasal 263 sampai 269 sama sekali tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP juga berlaku pemeriksaan perkara di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Padahal dalam sistematika suatu undang-undang, in casu KUHAP, apabila terdapat suatu pasal yang berlaku secara mutatis mutandis pada tahapan pemeriksaan perkara berikutnya, maka ketentuan terkait berlaku pasal tersebut akan dinyatakan secara tegas dalam undang-undang tersebut. Misalnya, Pasal 226 KUHAP mengatur tentang petikan putusan pada peradilan tingkat pertama. Adapun pasal ini berlaku pula pada peradilan tingkat banding sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Pasal 243 ayat (3) KUHAP. Selanjutnya, Pasal 226 tersebut juga berlaku pada peradilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali sebagaimana yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 257 dan Pasal 267 ayat (2) KUHAP. Saya tidak membacakan isi pasalnya, saya langsung untuk mempersingkat waktu. Sepuluh. Bahwa di samping itu, Pasal 197 ayat (1) KUHAP sama sekali tidak mencantumkan memori kasasi dan memori PK (Peninjauan Kembali) sebagai salah satu syarat yang harus dimuat dalam suatu … dalam surat putusan pemidanaan. Padahal memori kasasi dan memori peninjauan kembali merupakan suatu hal yang mutlak … merupakan suatu hal yang mutlak ada dalam proses pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali. Oleh karena dalam pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali, pedoman bagi Majelis Hakim untuk memeriksa keberatan penuntut umum, atau terdakwa, atau terpidana adalah memori kasasi dan memori peninjauan kembali. Oleh karena itu, apabila Pasal 197 ayat (1) KUHAP juga dimaksudkan untuk pemeriksaan di tingkat kasasi dan peninjauan kembali quod non, maka Pasal 197 ayat (1) KUHAP juga akan mencantumkan memori kasasi dan memori PK (Peninjauan Kembali) sebagai salah satu syarat yang harus dicantumkan dalam surat putusan pemidanaan. Sebelas. Bahwa pemeriksaan perkara di tingkat pertama sangatlah berbeda dengan pemeriksaan perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Hal ini disebabkan oleh karena pemeriksaan di tingkat kasasi dan peninjauan kembali tidak lagi memeriksa fakta-fakta hukum sebagaimana yang dilakukan pada peradilan tingakat pertama (judex facti), melainkan hanya memeriksa terkait penerapan hukumnya saja (judex juris). Dengan demikian, sejatinya syarat-syarat dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidak seluruhnya perlu dimuat kembali dalam putusan judex juris, kasasi, dan peninjauan kembali. Misalnya, terkait surat dakwaan, daftar bukti, keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, dan halhal lain yang berkaitan dengan fakta-fakta di persidangan.
15
Dua belas. Di samping itu, putusan tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali tidak dapat dipandang sebagai putusan yang masing-masing berdiri sendiri dari putusan tingkat pertama, sehingga di tiap tingkatan pengadilan harus mencantumkan kembali seluruh faktafakta persidangan. Putusan tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali harus dipandang sebagai suatu kesatuan utuh dan tidak terpisah-pisah dari putusan tingkat pertama. Hal tersebut menjadi esensi putusan tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali dengan uraian sebagai berikut. • Pada tingkat banding, Majelis Hakim Banding dalam putusannya akan menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan, mengubah, atau membatalkan putusan di tingkat sebelumnya dimana frasa menguatkan, mengubah, dan membatalkan tersebut berarti bahwa putusan Majelis hakim di tingkat banding tidak lepas dari putusan Majelis hakim di tingkat sebelumnya, Pasal 241 ayat (1) KUHAP. • Selanjutnya. Pada tingkat kasasi Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya akan menjatuhkan putusan yang isinya menolak atau mengabulkan permohonan kasasi, dimana frasa menolak atau mengabulkan tersebut berarti bahwa putusan majelis hakim di tingkat kasasi tidak lepas dari putusan Majelis hakim di tingkat sebelumnya. Pada tingkat peninjauan kembali majelis hakim peninjauan kembali dalam putusannya akan menjatuhkan putusan yang isinya menolak permohonan peninjauan kembali atau membatal putusan yang dimintakan peninjauan kembali, dimana frasa menolak atau membatalkan tersebut berarti bahwa putusan Majelis hakim di tingkat peninjauan kembali tidak lepas dari putusan Majelis hakim di tingkat sebelumnya, Pasal 266 ayat (2) KUHAP. • Selanjutnya. Bahwa berdasarkan segenap uraian tersebut di atas, jelas bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP memiliki karakteristik dan dimaksudkan hanya untuk surat putusan pemidanaan pada peradilan tingkat pertama dan bukan untuk tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Namun demikian oleh karena Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut tidak memberikan kepastian hukum bahwa surat putusan pemidanaan yang dimaksud adalah hanya meliputi surat putusan pemilihan pada pengadilan negeri, maka hal tersebut telah menyebabkan Mahkamah Agung harus mencantumkan kembali seluruh syarat-syarat tersebut dalam putusan tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Hal inilah yang mengakibatkan proses pemeriksaan perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali menjadi lama dan tidak ada kepastian hukum kapan akan selesai diadili.
16
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia. Senyatanya, Mahkamah Agung sendiri mempunyai kewenangan untuk mengatur formasi putusan di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sebagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 79 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Namun demikian, kewenangan Mahkamah Agung tersebut terhambat akibat ketidakpastian maksud dari Pasal 197 ayat (1) KUHAP oleh karena apabila Mahkamah Agung tidak mencantumkan kembali syarat-syarat dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut dalam putusan tingkat kasasi dan peninjauan kembali, maka putusan tersebut akan batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Selanjutnya bahwa dengan kondisi tersebut di atas, maka mau tidak mau Mahkamah Agung harus mencantumkan kembali seluruh syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, dimana hal tersebut mengakibatkan proses mutasi perkara di Mahkamah Agung menjadi lama, belum lagi apabila berkas-berkas perkara tersebut berasal dari daerah-daerah di luar Jawa yang tidak jarang banyak sekali kesalahan pengetikan akibatnya Mahkamah Agung harus membaca dan mengoreksi berkas tersebut secara teliti untuk menghindari adanya kesalahan yang dapat mengakibatkan putusan menjadi cacat hukum. Kondisi yang sedemikian jelas melanggar asas peradilan yang cepat sebagaimana yang telah Ahli uraikan sebelumnya. Di samping itu, putusan di tingkat kasasi dan peninjauan kembali menjadi tidak sederhana dan berbelit-belit oleh karena Mahkamah Agung kembali mencantumkan seluruh fakta-fakta persidangan. Akibatnya putusan kasasi dan peninjauan kembali tersebut hanya berisi pengulangan-pengulangan saja yang sudah tentu tidak efektif dan efisien apabila dibandingkan dengan pertimbangan hukum yang hanya beberapa halaman saja. Di samping itu, akibat terlalu fokus untuk mencantumkan seluruh syarat-syarat tersebut, kualitas pertimbangan hukum dalam putusan tersebut menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu, kondisi tersebut jelas melanggar asas peradilan yang sederhana sebagaimana yang telah Ahli uraikan sebelumnya. Lebih lanjut oleh karena putusan tingkat kasasi dan peninjauan kembali tersebut berisi seluruh fakta-fakta persidangan, maka putusanputusan tersebut bisa menghabiskan beratus-ratus halaman, bahkan untuk perkara tindak pidana khusus, seperti misalnya korupsi bisa menghabiskan ribuan halaman. Hal ini jelas merupakan pemborosan apabila dilihat dari segi biaya yang harus dikeluarkan. Belum lagi hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip go green yang sedang galak-galaknya dicanangkan oleh pemerintah, kondisi tersebut jelas melanggar asas peradilan dengan biaya ringan dan asas-asas dalam hukum lingkungan.
17
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa ketidakpastian cakupan Pasal 197 ayat (1) KUHAP telah menyebabkan tidak terwujudnya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) ,te. Misalnya, seorang terdakwa didakwa dengan beberapa pasal tindak pidana … tindak pidana. Namun, pada peradilan tingkat pertama diputus bebas. Di tingkat kasasi, terdakwa tersebut dinyatakan terbukti bersalah dan pada hari itu juga status putusan tersebut sudah dicantumkan oleh Mahkamah Agung pada website Mahkamah Agung dengan status kabul atau tolak. Padahal terdakwa tersebut sama sekali tidak mendapatkan informasi terkait pasal berapa dan pertimbangan hukum apa yang menjadi dasar dirinya dinyatakan bersalah. Adapun pasal dan pertimbangan hukum tersebut belum dapat diinformasikan kepada terdakwa oleh karena proses minutasi perkara yang lama akibat Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut. Hal ini jelas telah melanggar jaminan keadilan bagi terdakwa tersebut. Oleh karena terdakwa tersebut telah dihukum dan diinformasi, dan informasi tentang hukuman tersebut telah tersebar luas, tapi terdakwa tersebut sendiri tidak mengetahui apa sebenarnya kesalahannya. Hal ini jelas telah melanggar Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas informasi, dimana informasi ini sangat luar biasa pentingnya bagi terdakwa untuk membela diri martabat dan kehormatannya. Selanjutnya terdakwa tersebut akan langsung menjalani hukuman berdasarkan petikan putusan yang sama sekali tidak mencantumkan apa pertimbangan hakim kasasi untuk menyatakan dirinya bersalah. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi perlu memberikan kepastian hukum terhadap cakupan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Karena apabila hal-hal tersebut di atas terus dibiarkan, maka Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut tidak akan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, bahkan malah … bahkan akan menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat sebagaimana telah Ahli uraikan di atas. Berdasarkan uraian tersebut, maka Ahli pada pokoknya sependapat dengan petitum yang dimohonkan Pemohon dan Pemohon a quo … dalam permohonan a quo, yakni Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 197 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai surat putusan pemidanaan pada tingkat pengadilan negeri. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon tersebut, maka menurut Ahli hal tersebut akan memberikan kemanfaatan yang besar memenuhi asas manfaat di samping asas keadilan dan kepastian hukum. Bukan hanya bagi Pemohon, melainkan terlebih lagi bagi seluruh masyarakat pencari keadilan. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada pihak 18
yang akan dirugikan apabila keadilan yang rumusan tertulisnya dalam bentuk putusan pengadilan dapat dikeluarkan dengan cepat dan efisien. Terakhir, perlu Ahli sampaikan bahwa apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon sebagaimana petitum tersebut di atas, maka menurut Ahli tidak akan terjadi kekosongan hukum pada putusan tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Oleh karena sebagaimana yang telah Ahli uraikan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk mengatur hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.” Dalam hal ini, kewenangan tersebut termasuk kewenangan Mahkamah Agung untuk mengatur formulasi putusan di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Demikian keterangan Ahli ini disampaikan. Atas perhatian Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Prof. Slamet Sampurno, silakan duduk. Ya, ketiga Ahli sudah menyampaikan keterangannya di persidangan. Selanjutnya apakah dari Pemohon akan ada yang akan disampaikan atau sudah jelas?
26.
PEMOHON: JUNIVER GIRSANG Terima kasih, Majelis. Dari Pemohon sudah sangat jelas, sudah sesuai dengan apa yang kami mohonkan di dalam persidangan ini, Majelis Hakim Yang Mulia.
27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Dari Pemerintah? Sama?
28.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Ada, Yang Mulia.
29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, ya. Silakan.
19
30.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Ahli yang Terhormat Prof. Bagir Manan, Prof. Eddy, dan Prof. Slamet. Kepada Prof. Bagir Manan. Setelah 31 tahun kemudian kita menghadapi inkonstitusional putusan, 31 tahun. Sehingga pertanyaannya, Prof, argumentasi apa yang harus dibagun setelah 30 tahun berpraktik ini? Sistematika putusan menjadi tidak konstitusional. Konstitusional pada tingkat pengadilan negeri, tetapi kemudian tidak konstitusional pada tingkat … kalau Prof. Bagir tidak mencantumkan banding, tapi kasasi saja. Sehingga juga itu pertanyaannya kepada Prof. Bagir, kenapa hanya pada tingkat kasasi kalau dari tulisan ini? Tidak menyinggung di banding dan tidak menyinggung di PK. Itu pertanyaannya Prof. Bagir. Kemudian kepada Prof. Eddy yang mempersoalkan kepastian hukum. Kita selalu dikatakan norma itu terdiri dari kumpulan kata-kata. Sebagai kata, memang akan selalu tafsir. Tidak ada kata yang tidak lepas dari tafsir, sehingga ketika kita sampai di pengadilan ini, tafsir itu disatukan. Sehingga, apakah memang Pasal 157 itu atau Pasal 197 itu mengandung ketidakpastian hukum? Ataukah itu hanya masalah tafsir? Ya, memang selalu bebas ditafsir oleh para advokat. Selalu juga bebas ditafsir oleh para penegak hukum sampai ke meja hakim. Apakah seperti itu praktiknya? Apakah ini hanya sebuah dogma-dogma di ruang-ruang kelas? Selalu kita ajarkan di ruang-ruang kelas, kepastian hukumkepastian hukum, tapi sesungguhnya tidak ada kepastian hukum pada level norma, tapi akan hadir pada level pengadilan ini. Itu yang kepada Prof. Eddy. Kepada Prof. Slamet, peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Kalau itu esensinya, kenapa harus di putusan dan juga di putusan kasasi? Kenapa tidak di pengadilan negeri kalau esensinya peradilan cepat, sederhana, dan ringan? Kemudian, juga ketika tadi Prof. mengatakan bahwa tidak ada kekosongan hukum apabila dikabulkan. Apakah kita terbayang? Sebuah sistematika putusan diatur melalui undang-undang pada tingkat pengadilan negeri, tetapi kemudian diatur melalui peraturan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, apakah justru ini menghancurkan sistem hukum? Ketika di level pengadilan negeri diatur melalui undang-undang, tapi kemudian kita mendalilkan akan diatur nanti di tingkat ... diatur di peraturan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Apakah akan menghadirkan sebuah turbulence hukum? Demikian, yang ... Majelis, saya tanyakan. Terima kasih.
20
31.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Pak Sitorus. Terima kasih. Dari Pihak Terkait, ada, Yang Mulia?
32.
PIHAK TERKAIT: SUHADI Terima kasih, Yang Mulia Bapak Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah. Dari Mahkamah Agung sebagai pihak yang terkait. Setelah menyimak apa yang disampaikan oleh Para Ahli, kami sependapat dengan argumentasi sebagai berikut. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dipermasalahkan di dalam permohonan ini terdiri dari 22 bab, 286 pasal. Pasal 197 itu ada di dalam Bab XVI dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bab XVI itu adalah mengatur tentang pemeriksaan tingkat pertama. Pemeriksaan tingkat pertama terdiri dari tiga jenis perkara. Yang pertama adalah perkara biasa atau dulu disebut tolakan. Kemudian, perkara singkat dan perkara cepat. Perkara cepat itu terdiri dari dua, perkara tipiring dan perkara lalu lintas. Semua ada di dalam Bab XVI itu, termasuk Pasal 197 KUHAP ada di dalam Bab XVI. Bab XVII yang mengatur tentang pemeriksaan upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi. Bab XVIII adalah pemeriksaan luar biasa, yaitu perkara kasasi demi kepentingan hukum dan apa ... peninjauan kembali. Di dalam Bab XVII dan Bab XVIII, tidak ada satu pun pasal yang menentukan bahwa Pasal 197 itu berlaku bagi putusan, baik pemeriksaan upaya hukum biasa maupun tingkat kasasi. Oleh sebab itu, di dalam praktik peradilan sejak KUHAP itu lahir, tanggal 31 Desember tahun 1981, Mahkamah Agung sudah tidak sepenuhnya tunduk pada Pasal 197 itu. Ada dari ... eh, yang disebut tadi bahwa dari a sampai l yang disebut di satam ... di dalam Pasal 197 ayat (1), yaitu huruf d yang mendominasi pengadilan ... eh, putusan pengadilan, yaitu uraian singkat tentang fakta-fakta yang terungkap di persidangan, yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, kalau ada ahli, semua dimuat di dalam mencantumkan ... di dalam memenuhi ketentuan huruf d itu. Dan kalau huruf d itu tidak ada, di dalam ayat (2) mengancam bahwa putusan itu batal demi hukum. Di dalam praktik sejak KUHAP itu hadir, keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan keterangan ahli, tidak termuat lagi di dalam putusan itu. Putusan pengadilan tinggi maupun putusan Mahkamah Agung setelah dakwaan, kemudian tuntutan penuntut umum, putusan PN, putusan PT, kemudian masuk ke pertimbangan hukum. Justru di sisi lain sebagaimana disebutkan tadi bahwa Pasal 197 tidak mensyaratkan ada memori kasasi, padahal di dalam putusan kasasi secara imperatif … secara imperatif bahwa kalau tidak ada alasan kasasi, maka putusan itu batal demi hukum.
21
Dengan demikian, di dalam praktik bahwa putusan PN dan putusan PT tidak sepenuhnya berlaku Pasal 197 dengan alasan bahwa di dalam Bab XVII dan Bab XVIII tidak ada suatu pasal pun yang mengharuskan tunduk kepada Pasal 197. Nah, di dalam pemeriksaan kasasi, di dalam perkembangan sekarang ini ada dua tahap dalam pemeriksaan perkara yang paling esensi. Pertama, sejak perkara itu diregister sampai dengan putusan hakim. Kemudian tahap yang kedua, sejak putusan hakim sampai dikirim ke pengadilan pengaju. Tahap pertama sudah dapat ditangani oleh Mahkamah sekarang ini dengan ada regulasi pemeriksaan bersama secara simultan itu maksimum tiga bulan sudah harus putus, sudah harus putus bahkan kalau sudah ditentukan oleh undang-undang lebih cepat dari itu. Kalau perkara itu di dalam tahanan atau sudah ditentukan oleh undang-undang bahwa perkara itu harus selesai seperti contohnya perkara Perikanan, 30 hari sudah harus putus di Mahkamah Agung, maka Hakim harus tunduk kepada ketentuan seperti itu. Yang menjadi masalah sekarang ini adalah setelah putusan itu putus sampai dengan putusan itu dikirim. Ya, dari banyak tumpukan surat ke Mahkamah Agung yang banyak diminta oleh justiciabelen atau pencari keadilan, bagaimana amar putusan itu, dikabulkan atau tidak. Dan yang kedua, bagaimana pertimbangan hukum dari Hakim yang mengutus perkara itu. Untuk yang pertama, Mahkamah pun sudah … sudah dapat memenuhi dengan program one day publish. Jadi, begitu perkara diputus sudah ada dicantumkan di sini, ditolak atau dikabulkan permohonan kasasi itu. Tapi, mengenai yang kedua masalah pertimbangan hukumnya, ini menjadi kesulitan karena erat sekali dengan batang tubuh dari putusan itu sendiri. Putusan itu adalah tergantung bagaimana tebal-tipisnya putusan yang sebelumnya, yaitu putusan dari pengadilan tingkat I dan tingkat banding yang banyak sekarang ini adalah masalah tipikor sampai beribu-ribu item mengenai barang bukti. Barang bukti sampai ada 3000 item, maka itu yang membuat tebal tipisnya putusan itu. Nah, sekarang ini Mahkamah Agung dengan … apa … melihat bagaimana kehendak dari masyarakat itu sudah membentuk tim untuk menyusun … apa … putusan Mahkamah yang sudah ada sekarang, bagaimana supaya putusan itu lebih sederhana, yaitu penyederhanaan putusan antara lain bahwa dakwaan itu biasanya kalau misalnya perkara kasasi sampai beratus-ratus halaman karena sifatnya dakwaan itu sering … apa … kumulatif, alternatif, dan … apa … subsidiaritas, maksudnya bisa beratus-ratus. Ini gagasan akan ditempuh bahwa cukup mungkin pasal yang didakwakan saja yang dicantumkan dengan merujuk kepada dakwaan itu ada di putusan pengadilan tingkat I.
22
Kemudian, masalah barang bukti. Barang bukti yang bisa beriburibu item yang kalau misalnya harus ada dalam putusan pengadilan yang pertama dalam tuntutan penuntut umum, harus ada daftar barang bukti itu. Kemudian, putusan pengadilan negeri. Kalau putusan pengadilan negeri itu ditolak oleh pengadilan tinggi, maka dibuat lagi … apa … barang bukti tersebut. Kalau misalnya putusan kasasi itu tidak sependapat dengan putusan pengadilan tinggi, maka dimuat lagi barang bukti tersebut. Kemudian sampai ke PK bisa berulang lima kali dimuat hal yang sama. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung dalam regulasi yang akan datang mau mengacu cuma satu kali. Nanti mengacu bagaimana barang bukti yang tidak sependapat dengan putusan sebelumnya, itu saja yang dicantumkan di dalam putusan akhir. Demikian, Yang Mulia, yang dapat kami sampaikan. Bahwa pada dasarnya kami sependapat dan mendukung apa yang … apa namanya … didahulukan permohonan atau gugatan di dalam … apa … permohonan Pemohon. Terima kasih, mohon maaf akas … atas segala kekurangannya. Wabillahitaufik walhidayah assalamualaikum wr. wb. 33.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, ini bukan tanggapan atau meminta pertanyaan pada Ahli, tapi ini tambahan keterangan dari Pihak Terkait, ya. Tolong, Panitera, dicatat sebagai tambahan keterangan dari Pihak Terkait. Dari meja Hakim, ada? Yang pertama, Yang Mulia Pak Palguna, kemudian Pak Suhartoyo, saya persilakan.
34.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya menarik dengan disampaikan oleh Prof. Bagir. Begini, Prof, jadi, memang menarik juga ketika kita berbicara tentang hukum acara yang … ya, dalam bahasa Belanda mudah-mudahan saya tidak keliru melafalkan itu, inilah yang menyebabkan kenapa hakim itu di … disebut vrijheid in de gebondenheid, gitu. Karena dia gebondenheid-nya dimana? Yaitu yang mengikat salah satunya adalah hukum acara begitu, Pak. Tetapi, Prof. Bagir sudah menyadarkan kita dengan di tulisan di halaman 3, dia bukan tidak sekadar ketentuan … bahwa hukum acara itu tidak sekadar tentang tata cara untuk melaksanakan dan menegakkan hukum materiil, tetapi ada tiga poin di situ. Ini kemudian merangsang pertanyaan pada saya. Gini, Prof. Sebenarnya kalau kita melihat pada fungsi Mahkamah Agung dan tadi sudah diterangkan sesungguhnya, bukankah salah satu fungsi Mahkamah Agung itu adalah untuk memberikan kesatuan penafsiran, ya, terhadap pelaksanaan suatu undang-undang? Jadi, untuk menyampaikan 23
ketentuan tafsir walaupun kita secara ... secara akademik mengakui bahwa kekuatan fungsi itu lebih banyak terdapat di negara-negara penganut prinsip precedent atau stare decicis. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah ada dua hal yang mau saya tanyakan misalnya di sini, apakah sesungguhnya hakim, khususnya Hakim Agung, jika melihat bahwa fungsi hukum acara itu bukan hanya sekadar menerapkan ... bukan sekadar untuk menegakkan norma hukum materiil, tetapi juga ada fungsi yang lebih penting itu tadi. Apakah itu kemudian bisa menjadi semacam landasan teori bahwa penemuan hukum itu bisa juga dilakukan terhadap hukum acara? Bukan hanya terhadap hukum materiil? Dalam hal ini penemuan hukum (rechtsvinding) melalui penafsiran oleh hakim secara khusus oleh Mahkamah Agung dalam rangka pelaksanaan fungsi untuk memberikan kesatuan tafsir. Dalam hubungan ini, saya agak sependapat dengan pendapat Ahli yang mengatakan, “Walaupun di negera-negara Eropa Kontinental atau penganut tradisi civil law pada umumnya tidak dikenal prinsip stare decicis.” Tetapi di situ juga ada konon ada satu prinsip yang cukup kuat yang dikenal dengan kebiasaan peradilan (usus fori), sehingga kalau sudah berulang itu menjadi sikap Mahkamah Agung, sesungguhnya itu juga merupakan kebiasaan praktik. Nah, oleh karena itu, maka pertanyaannya yang kedua saya, tadi yang pertanyaan pertama, apakah boleh kita melakukan penafsiran terhadap hukum acara? Dan kemudian pertanyaan yang kedua, jika jawabannya adalah boleh, maka pertanyaan selanjutnya adalah bukankah kemudian ini lebih praktis apabila hal itu dilakukan oleh Mahkamah Agung? Bukan melalui pengajuan judicial review misalnya, bukan ... tentu saja bukan persoalannya bukan Mahkamah Konstitusi menolak untuk mengadili ini, bukan itu masalahnya. Tetapi secara praktis bukankah itu akan menjadi lebih berdaya guna atau lebih efektif apabila misalnya ini diikuti melalui penafsiran oleh Mahkamah Agung dan kemudian ada anu ke bawahnya sampai peradilan di bawahnya mengingat fungsi tadi itu? Mungkin itu, ya, sekadar barangkali boleh dikatakan ... apa namanya ... diskusi wawasan begitu Prof, mengenai soal ini tapi ini penting saya kira juga karena persidangan ini adalah terbuka untuk umum dan ternyata ada kaitannya dengan pertanyaan Pemerintah tadi juga dalam soal-soal ini. Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua.
24
35.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Yang Mulia. Terima kasih. Terakhir dari Yang Mulia Pak Suhartoyo. Saya persilakan.
36.
HAKIM ANGGOTA:SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Jadi sebelum saya bertanya ke Para Yang Mulia dan yang maha terpelajar Para Ahli. Sebenarnya dengan penjelasan dari Pihak Mahkamah Agung tadi permohonan Pemohon ini sebenarnya sudah clear sebenarnya, kalau benar memang Mahkamah Agung itu sudah secara pelan-pelan sekarang tidak terpaku dengan 197 itu. Hanya benar juga barangkali persoalan kemudian yang muncul, yang sering muncul, atau suka muncul, atau sekali-kali muncul barangkali begini, Para Pemohon. Ketika kemudian 197 tidak secara lengkap di muat dalam putusan. Nah, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Lawyer ini yang suka mempersoalkan, “Oh, itu putusan batal demi hukum.” Ketika kemudian kliennya merasa dirugikan, tapi ketika diuntungkan barangkali sebaliknya. Ini kan dari perspektif mana kita. Tapi paling tidak dengan penjelasan dari Mahkamah Agung tadi menjadi clear. Tapi begini, Bapak Suhadi, ya. Ini memang persoalan ada di tingkat bawah, di tingkat PN dan tingkat PT barangkali. Kalau MA ini bisa membuat regulasi dan kemudian mungkin karena putusan sudah yang paling … paling terakhir, paling tinggi, sehingga para pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat di situ, termasuk jaksa penuntut umum pun barangkali sudah bisa memahami bahwa ini merupakan putusan memang oleh diputus oleh badan peradilan yang tertinggi oleh Para Hakim Agung yang dipandang memang sudah sangat expert di bidang perkaranya masing-masing yang ada dalam putusan itu. Namun, di tingkat pertama memang kemudian muncul itu, ketika tidak dimuat 197 yang dari a sampai l itu kemudian dengan serta-merta putusan itu menjadi batal demi hukum di ayat (2)-nya 197 ayat (2). Bahkan ada berapa perkara yang kemudian karena Mahkamah Agung tidak mencantumkan perintah penahanan saja orang lari-lari tidak mau eksekusi, meskipun itu kan case by case bisa dilihat kalau memang terpidananya atau terdakwaannya ada di luar kan tidak mugkin kemudian serta-merta di dalam amar itu dimuat perintah penahanan, kecuali sebelum diputus mungkin akan dimasukkan terlebih dahulu itu ada ... pertanyaan saya kepada Prof. Bagir barangkali, Yang Mulia. Begini, memang seperti disampaikan Pak Pal bahwa sebenarnya kan kita ini kalau sistem hukum dan sistem peradilan kita apakah pure atau murni mengikuti sistem Common Law atau Eropa Continental? Karena begini, Prof, kalau di dalam sistem Common Law itu yang kemudian kan turunannya itu kan peradilan itu kan hanya ada judex facti 25
dan judex juris sebenarnya kan dua tingkat saja. Apakah kemudian seperti di kita seperti disampaikan Prof. Eddy Hiariej juga bahwa sebenarnya pengadilan tinggi itu apakah judex juris ataukah judex facti? Karena memang perintah undang-undang itu judex facti. Tapi sebenarnya kan secara substansial memang dalam Undang-Undang Tahun 1947 dulu saya pernah ingat bahwa ada perintah bahwa … bukan ada perintah, masih diperbolehkannya pengadilan tinggi itu memeriksa perkara kembali dengan memanggil para pihak. Meskipun itu harus dilihat tingkat kepentingannya kalau memang Majelis Hakim memerlukan. Namun dalam … dalam praktik, memang selama ini kita jarang menemukan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi itu kemudian membuka sidang kembali memanggil para pihak, tapi pernah ada dan saya juga pernah menyaksikan, bukan saya mengalami. Memang kalau dikatakan judex facti karena perintah undangundang, tapi secara substansi itu sebenarnya disamping dia kemudian mempertimbangkan fakta-fakta juga, Prof. Bagir, tapi mereka juga kadang masuk pada wilayah penerapan hukumnya juga dipersoalkan. Hukum acaranya juga dipersoalkan di situ. Jadi kalau demikian halnya kan tidak ada bedanya dengan ini sama juga peradilan hukum, bukan peradilan fakta lagi. Judex juris juga di situ, ada percampuran … sedikit percampuran di situ. Nah, ini yang kemudian barangkali juga mau tidak mau berakibat kepada kenapa putusan di tingkat pertama harus memuat dari a sampai l tadi? Karena surat dakwaan jelas. Itu kan dasar-dasar di dalam pemeriksaan, dasar-dasar di dalam membuktikan unsur-unsur. Kemudian surat tuntutan juga dasar-dasar untuk melakukan tuntutan, hasil daripada pemeriksaan oleh persidangan yang diresumekan oleh penuntut umum dituangkan dalam bentuk surat dakwaan itu. Nah, kemudian surat dakwaan atau surat tuntutan juga bisa untuk dasar penasihat hukum atau terdakwa mengajukan sebuah pleidoi atau pembelaan di situ. Memang kemudian … kalau kemudian di … tidak dicantumkan secara lengkap, memang kemudian pengadilan tinggi menjadi kehilangan roh kalau di masih mendapat nomenklatur judex facti. Tapi kalau judex juris memang, kemudian relevansinya di mana seperti yang disampaikan Prof. Eddy Hiariej tadi? Nah, saya minta pendapat Prof. Bagir. Apakah memang relevansinya memang sangat kuat di pengadilan tinggi itu kemudian masih tetap diberikan predikat judex facti itu? Karena berakibat dengan mau tidak mau 197 a sampai l harus kebawa ke sana kalau memang pure masih judex facti. Kemudian yang kedua, Prof. Bagir bahwa saya tidak mengerti … saya ingin pandangan Prof bahwa kalau memang itu harus atau mutlak dimuat surat dakwaan dan surat tuntutan yang ada di huruf c dan huruf e itu, bagaimana kalau kemudian untuk menghindari apa yang dikeluhkan oleh Para Pemohon ini, khususnya pencari keadilan, 26
meskipun jaksa dulu mengatakan … sebenarnya kan juga diuntungkan kejaksaan kalau memang … ya kan? Tapi kan karena mewakili pemerintah, waktu itu tetap sebaliknya pendapatnya, tapi sebenarnya justru penghematan yang luar biasa ini bagi negara. Jaksa kan dalam pekerjaannya kan menggunakan anggaran negara sebenarnya itu. Nah, bagaimana kalau hakikat ini, Prof. Bagir ya, kita geser menjadi menimbang bahwa terdakwa di persidangan telah didakwa dengan dakwaan sebagai berikut atau sebagaimana terlampir dalam Berita Acara persidangan atau sebagaimana terlampir dalam berkas perkara. Kalau kemudian diberi jembatan seperti itu, apakah kemudian menghilangkan hakikat daripada satu-kesatuannya sebuah putusan itu yang memang kemudian membawa kepada proses pembuktian secara keseluruhan itu, Prof? Prof. Bagir ini. Barangkali dua pertanyaan saya untuk Prof. Bagir. Tapi untuk Prof. Eddy Hiariej, ya. Nah, saya juga minta pandangan Anda, apa mungkin ada reverensi yang Prof Eddy Hiariej tadi … anu … bahwa memang di pengadilan tinggi tidak bias dikatakan … bukan … tidak tepat lagi kalau kemudian dinyatakan … dikatakan sebagai peradilan judex facti itu? Pendapat Prof. Eddy tadi seperti itu, kan? Karena murni sebenarnya hanya memeriksa berkas perkara. Nah, kalau demikian halnya, kalau Anda punya rujukan-rujukan … apa … dasar-dasar pemikiran itu, tentunya relevansi bahwa harus memuat, khususnya surat dakwaan di suatu tuntutan, kemudian … bisa kemudian dijadikan bahan pertimbangan di situ bahwa ini memang tidak relevan lagi. Kemudian kalau dengan Prof. Slamet, kok saya rasanya tidak begitu … anu … ya, tidak begitu … saya kira akan menimbulkan persoalan kalau Prof. Slamet ujuk-ujuk kemudian menyetujui permohonan pemohon bahwa dalam putusan itu hanya tingkat pertama saja yang memuat a sampai l itu. Kalau pengadilan tinggi Mahkamah Agung tidak memuat huruf, Pasal 1 huruf a saja bagaimana? Tidak ada identitas terdakwa, tidak ada irah-irah, ya kan? Tapi kalau kemudian sependapat apabila surat dakwaan dan surat tuntutan tidak perlu dimuat barangkali, ini saya minta pandangan Anda mungkin kalau semua itu juga tidak perlu dimuat, apa isi putusan dari putusan Mahkamah Agung itu? Barangkali kalau untuk Prof. Slamet perlu penjelasan saja supaya persidangan ini menjadi klir juga. Terima kasih, Pak Ketua. 37.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Saya persilakan dari yang paling senior, ya Yang Mulia Prof. Bagir saya persilakan.
27
38.
AHLI DARI PEMOHON: BAGIR MANAN Mestinya yang paling muda saja. Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Saya mulai dari mewakili siapa Pemerintah, kejaksaan atau apa ini, ya? Sebab Pemerintah dan kejaksaan belum tentu sama, ya. Mengapa saya hanya bicara tentang judex juris karena permohonan ini permohonan mengenai putusan Mahkamah Agung, ya. Mahkamah Agung itu di dalam sistematik … apa … karena berkedudukan sebagai judex juris, gitu ya. Nah, hal-hal yang Pasal 197, hal-hal yang berkaitan dengan judex juris tetap bisa dipakai, tapi yang berkaitan dengan judex facti sebaiknya tidak, mestinya tidak karena itu saya katakan bahwa ada semacam relaksasi gitu, ya. Jadi, misalnya dari pihak Mahkamah Agung ingin membuat terobosan-terobosan ya, tapi hati-hati terobosan itu ada, ada, ada, kalau bahasa pers, saya orang pers ada firewall, yaitu undangundang yang tidak boleh diterobos begitu saja ya, gitu ya. Jadi, itu sebabnya saya bicara tentang judex juris saja karena kita sedang perkara tentang permohonan, maka yang berkaitan dengan putusan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, ya. Kemudian, Yang Mulia Dr. Palguna ini. Mestinya ditanya di kampus saja. Pertama, memang ada doktrin yang mengatakan hukum acara tidak boleh ditafsirkan. Itu doktrin, gitu ya. Tapi saya paling tidak, tidak menganut itu Dr. Palguna ya. Sebab apa? Ada dua alasan saya. Pertama. Antara hukum substansi dengan hukum acara itu saya katakan dua sisi dari mata uang, meskipun hukum substansinya bagus, tapi kalau hukum acaranya tidak beres, keadilan tidak bisa dicapai. Hukum substansi atau hukum materi tidak bisa dicapai. Karena itu, hukum acara itu harus dapat di ... di … apa ... ditafsirkan sebab kalau kita tidak memberikan penafsiran, kemungkinan saja justru akibat prosedur yang tidak adil menyebabkan keadilan tidak bisa tercapai, gitu. Nah, itu satu. Kemudian yang kedua, atas dasar prinsip negara hukum. Prinsip negara hukum mengatakan antara tujuan dan cara tidak boleh dipisahkan, tujuan bagus, tapi menghalalkan segala cara, bukan negara hukum. Itu sebabnya saya mengatakan kalau hukum acara itu menjauhkan tercapainya keadilan, tercapainya kepastian hukum yang adil, menyebabkan terjadinya proses peradilan menjadi tidak fair dan tidak imparsial, maka itu boleh ditafsirkan. Itulah sebabnya saya katakan ada tiga poin itu, Dr. Palguna, ya. Kemudian yang kedua, Dr. Palguna. Apakah tidak praktis saja itu, Mahkamah Agung saja deh yang mengatur-mengaturnya itu? Tadi oleh Yang Mulia Pak Suhartoyo mengatakan, “Ada pedangnya Pasal 197 ayat (2) yang mengancam kalau tidak mengikuti batal demi hukum.” Jadi, harus ada satu ... satu apa ... ya, satu hal yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum bahwa Mahkamah Agung tidak harus mengikuti itu dan Mahkamah Konstitusi sebagai … apa ... penjaga 28
konstitusi yang paling depan, menanggung kewajiban itu menurut saya ya. Terima kasih, gitu ya. Kemudian yang kedua, dari Yang Mulia Hakim Suhartoyo. PT itu apakah judex juris, judex facti? Meskipun pengadilan tinggi tidak lagi menghadirkan pihak-pihak, dia tetap memeriksa faktanya, mengapa? Karena ... sebab putusan hakim tinggi itu dapat menyatakan yang tadi tidak bersalah, bersalah; tidak terbukti, jadi terbukti dan itu semua fakta bukan soal hukum, bukan soal hukum. Jadi ... jadi, dia judex facti itu, ya. Mesti di court of appeal di mana pun saja, dia ada judex facti, ya. Karena itu Mahkamah Agung Amerika itu beda dengan Mahkamah Agung Perancis dan ... dan ... dan Belanda, dia ada court of appeal, ya, itu ... itu karena dia memeriksa fakta. Kemudian, dikatakan bagaimana kalau itu yang kita ... terserah kebijakan saja kira-kira begitu, ya, apa mau pakai tunjuk apa ... itu lagi ... lagi, seperti tadi terhadap Dr. Palguna, ada Pasal 197 ayat (2) itu yang menyatakan diancam batal dan batal di sini artinya adalah void, atau null and void, atau van rechtswege nietig putusan itu dianggap tidak pernah ada. Celakanya kalau itu terjadi, kita berhadap dengan adagium yang lain, kita dilarang mau mengadili dua kali, kita bisa berhadapan dengan prinsip itu karena itu hati-hati, itu. Terima kasih, Yang Mulia Ketua. 39.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Yang Mulia Prof. Bagir. Silakan, ini Pak Eddy Hiariej sama Pak senior mana ini. Ya, urutannya Pak Eddy Hiariej dulu.
40.
AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ Ya, terima kasih, Ketua Yang Mulia Prof. Arief. Saya mau mulai menjelaskan dengan mengingatkan kepada kita semua bahwa dasar filosofis hukum acara pidana itu bukan untuk mengontrol terdakwa, tapi mengontrol supaya aparat negara tidak bertindak sewenang-wenang, itu dulu yang harus ada dibenak kepala kita, terutama Pemerintah. Jadi bukan untuk mengontrol terdakwa, untuk mengontrol jangan sampai aparat penegak hukum itu bertindak sewenang-wenang. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Harus diakui bahwa KUHAP itu dibentuk pada zaman Orde Baru dan zaman itu zaman yang mengekang hak asasi manusia. Jadi, jangan bicara bahwa KUHAP kita itu mengikuti due process of law, mimpi, tidak. KUHAP kita mengikuti keran kontrol model yang mengabaikan hak asasi manusia. Jadi, jangan dipersoalkan. Bapak yang dari Pemerintah ini sudah 31 tahun kok tidak konstitusional, “Oh, ya, MK ini baru berada 10 tahun terakhir.” Dan melalui forum ini, saya harus memberikan apresiasi kepada Mahkamah 29
Konstitusi, saya mengikuti semua putusan MK yang terkait dengan KUHAP dan saya harus mengatakan bahwa MK berpikir jauh ke depan untuk penegakan hukum pidana dalam konteks due process of law. MK selalu menggunakan interpretasi futuristik. Apa yang diputuskan oleh MK dalam persoalan-persoalan KUHAP itu sebanding, sejalan, dan apa yang sedang disusun oleh pemerintah dalam RUU KUHAP yang dimulai ketika Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar sebagai Menteri Hukum dan HAM. Jadi saya begitu apresiasi. Oleh karena itu, saya mau menjawab beberapa pertanyaan dari Pemerintah itu tidak sekadar penafsiran, jadi tidak dapat dikatakan bahwa itu seenaknya advokat, atau seenaknya hakim, atau seenaknya jaksa. Pada dasarnya ketika hukum pidana itu lahir, itu dilarang untuk ditafsirkan. Kalau Bapak baca bukunya Furbach, ketika dia selesai menulis Strafgesetzbuch di Jerman, ada satu catatan di dalam Strafgesetzbuch Jerman itu dikatakan, “Dilarang melakukan penafsiran apa pun terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini.” Jadi, diharamkan. Kemudian, dalam perkembangan. Kalau toh boleh dilakukan penafsiran, Majelis Yang Mulia, itu ada prinsip-prinsipnya. Ada tujuh prinsip penafsiran dalam hukum pidana. Ada yang namanya prinsip proporsionalitas, subsidaritas, materiil, in dubio pro reo, ditulis est lex, rubrica est lex, dan yang terakhir adalah exceptio firmat regulam. Yang Mulia Dr. Palguna. Hukum acara itu tidak boleh ditemukan, hukum acara itu tidak boleh ditafsirkan lain selain dari apa yang tertulis, tetapi kalau toh bisa ditafsirkan lain, maka berlaku prinsip exceptio firmat regulam. Exceptio firmat regulam itu apa? Kalau hukum acara ditafsirkan lain, maka dia tidak boleh ditafsirkan yang memberatkan terdakwa. Jadi, asas kepastian hukum, perlindungan HAM itu harus tetap dijunjung tinggi. Jelas Pasal 197 KUHAP itu multitafsir, semua putusan ini putusan apa, sehingga melalui forum inilah kalau kita melakukan interpretasi sistematis, tadi yang Ahli katakan di dalam keterangan ahli itu, ya, memang dia ... apa namanya ... hanya menuju kepada putusan pengadilan negeri karena tadi rubrica est lex dan ditulis est lex berada bahwa dalam bab pembuktian dan pemeriksaan sidang. Jadi hukum acara memang tidak bisa ditemukan. Oleh karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi Yang Mulia memutus perkara soal praperadilan, saya baca betul pendapat hakim yang berbeda Yang Mulia Prof. Aswanto mengatakan, “Saya setuju dengan substansi itu, tetapi KUHAP-nya dulu diubah.” Beliau patuh terhadap hukum acara. Saya baca betul dissenting opinion itu. Oleh karena itu, untuk mencegah kegaduhan dalam praktik pengadilan, tadi saya katakan bahwa Pasal 197 ini dia memang konstitusional jika memang itu hanya dibaca sebagai putusan pada ... apa ... surat putusan pemidanaan pada pengadilan negeri. 30
Mengenai judex facti, saya ... tadi sudah dijelaskan oleh Yang Mulia Prof. Bagir Manan bahwa memang dalam sistem kita di Eropa Kontinental yang memang mau tidak mau, suka tidak suka, hakim pada pengadilan banding itu dia juga memeriksa fakta sehingga mengapa dia disebut sebagai judex facti meskipun pada hakikatnya dia tidak melakukan klarifikasi, konfrontasi, dan verifikasi dengan persoalan pembuktian. Memang ada satu kelemahan dalam sistem bernegara kita, Yang Mulia. Bahwa kalau kita melihat di mana pun di dunia ini, jalannya perkara dari pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung itu ibarat kerucut, kecuali negara kita tercinta ini dari bawah itu lurus sampai ke atas. Ini kan sebetulnya persoalan trust saja, yang pertama. Dan yang kedua, kalau kita taat asas, sebetulnya tidak akan terjadi penumpukan perkara pada Mahkamah Agung. Saya berbahagia misalnya MK telah memutuskan jaksa tidak boleh mengajukan peninjauan kembali, bararti memang MK telah kembali kepada titah ketika KUHAP itu dibentuk dan sejarah mengenai peninjauan kembali. Saya kira itu yang harus saya sampaikan. Sekali lagi saya harus menyampaikan apresiasi saya kepada MK dalam banyak putusan terkait oleh KUHAP, MK sudah meletakkan penegakkan hukum pidana itu pada koridor due process of law dan melakukan interpretasi futuristik. Terima kasih. 41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Prof. Eddy Hiariej. Banyak apresiasi dari Prof. Eddy belum tentu hakim nanti berpendapat sama dengan Prof. Eddy, ha, ha, ha. Silakan, Pak … siapa? Lupa saya. Pak Slamet Sampurno, silakan.
42.
AHLI DARI PEMOHON: SLAMET SAMPURNO SOEWONDO Baik. Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim. Tadi sudah banyak jawaban-jawaban dari para Ahli sebelumnya sehingga saya berpikir bahwa saya mulai dari Pemerintah mengenai turbulensi tadi. Jadi meskipun kita mengetahui bahwa ada kewenangan Mahkamah Agung pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 17, yang dimana kewenangan itu mengatur hal-hal yang diperlukan, sehingga dapat saja memformulasikan putusannya sendiri dengan undang-undang itu. Namun karena Mahkamah Agung taat asas, dia mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi sehingga apa yang dihasilkan nanti menjadi dasar bagi Mahkamah Agung untuk, ya … untuk memformulasikan bentuk putusan kasasi dan peninjauan ... banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
31
Artinya apa? Karena kalau toh dia melakukan kewenangannya berdasarkan undang-undang itu menjadi debatable bagi seperti pihak pemerintah yang menyelenggarakan bahwa jika ada pihak yang diuntungkan, dia enggak akan mempersoalkan penghilangan dari Pasal 197 ayat (1), tapi kalau dia dirugikan, dia akan mempersoalkan sebagai dasar untuk membatalkan putusan itu. Jadi itu tadi yang saya katakan bahwa tidak seperti apa yang dibayangkan oleh pihak pemerintah bahwa terjadi turbulensi karena diatur oleh peraturan Mahkamah Agung, bukan itu, Pak. Saya kira tidak itu sehingga Mahkamah Agung menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi ini. Selanjutnya, buat ... kepada Bapak Hakim Yang Mulia Suhartoyo yang menyatakan bahwa apakah harus hilang semua yang ada di Pasal 197 ayat (1)? Tentu tidak, Pak Yang Mulia karena otomatis putusan itu menjadi bodong, enggak tahu untuk siapa ini putusan kalau hilang identitasnya, sehingga di situ memang tetap harus memuat identitas, ya, locus dan tempus tentunya. Namun pengulangan-pengulangan bukti, keterangan ahli, ya, itu saya pikir kalau yang disetujui, enggak perlu diulangi lagi masuk di situ, ya. Karena terjadi pengulangan-pengulangan yang mengakibatkan tidak efisiennya waktu yang digunakan oleh ... untuk koreksi tentunya oleh hakim-hakim agung dalam mengeluarkan putusannya nanti, sehingga yang seperti Yang Mulia menyatakan bahwa harus, menurut saya harus hilang semua, enggak. Di situ ... makanya saya sebutkan di situ misalnya terkait surat dakwaan, daftar bukti, keterangan saksi, keterangan ahli, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fakta-fakta persidangan. Artinya, identitas ... apa namanya ... locus, tempus, dan ... itu tetap harus dimuat di dalam putusan banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Saya kira saya enggak terlalu banyak memakan waktu, saya terima kasih atas perhatiannya. 43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Prof. Slamet. Sebelum saya akhiri persidangan ini, saya akan menanyakan pada Pemohon apa masih mengajukan ahli atau saksi atau sudah cukup?
44.
PEMOHON: JUNIVER GIRSANG Terima kasih, Majelis. Dari Pemohon sudah cukup ahli yang kami hadirkan dalam persidangan ini, Majelis. Terima kasih.
45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. Dari Pemerintah?
32
46.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia, Pemerintah tidak mengajukan ahli.
47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pihak Terkait juga sudah cukup, ya? Baik, kalau begitu terima kasih pada Ahli Yang Mulia dan amat terpelajar, Prof. Bagir Manan, yang amat terpelajar, Prof. Eddy O.S. Hiariej, dan Prof. Slamet Sampurno. Luar biasa keterangan yang disampaikan dalam persidangan ini. Dan saya juga terima kasih atas apresiasi Prof. Eddy. Yang terakhir, dari rangkaian persidangan ini kita tutup dengan penyerahan kesimpulan dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait. Kesimpulan bisa diserahkan di Kepaniteraan, sudah tidak ada sidang lagi pada hari Rabu, 1 Februari 2017, paling lambat pukul 14.00 WIB. Saya ulangi, kesimpulan dari semua pihak, kecuali Ahli, Rabu, 1 Februari 2017, pukul 14.00 WIB. Sekali lagi, terima kasih Para Ahli, Para Senior yang sudah memberikan keterangan di persidangan ini. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.52 WIB Jakarta, 24 Januari 2017 Kepala Sub Bagian Risalah,
Yohana Citra Permatasari NIP. 19820529 200604 2 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
33