MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 51/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA RABU, 20 JULI 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 51/PUU-XIV/2016
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh [Pasal 67 ayat (2) Huruf g] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Abdullah Puteh ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Rabu, 20 Juli 2016 Pukul 10.11 – 10.44 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Aswanto 2) I Dewa Gede Palguna 3) Patrialis Akbar Saiful Anwar
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Supriyadi Adi 2. Heru Widodo 3. Meitha Wila Rosiani 4. Hendrawarman 5. Dhimas Pradana 6. Aan Sukirman
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.11 WIB 1.
KETUA: ASWANTO Sidang dalam perkara Nomor 51/PUU-XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saudara Pemohon, silakan memperkenalkan diri siapa yang hadir pada kesempatan ini, tahu ya. Silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: SUPRIYADI ADI Terima kasih, Yang Mulia. Kami yang hadir saya sendiri, Supriyadi. Kemudian, di samping kiri saya, Heru Widodo. Samping kirinya, Ibu Meitha Wila Rosiani. Sampingnya lagi, Hendrawarman. Dan kemudian samping kanan saya, Dhimas Pradana dan Aan Sukirman. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ASWANTO Baik. Agenda kita pada hari ini adalah pemeriksaan pendahuluan. Pertama sekali pun kami sudah membaca permohonan dari Saudara kita mempersilakan Saudara untuk menyampaikan garis-garis besar dari permohonan ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. Silakan.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Masih dalam suasana Idul Fitri kami sampaikan selamat Idul Fitri mohon maaf lahir batin. Atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan dalam perkara Nomor 51/PUUXIV/2016 dimana permohonan ini diajukan untuk menguji Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang Mulia, permohonan ini diajukan oleh perorangan atas nama Ir. H. Abdullah Puteh yang pernah menjabat Gubernur Aceh satu kali periode tidak selesai dan pernah dijatuhi hukuman pidana selama 10 tahun dan selesai menjalani tahun 2009. Kemudian, Yang Mulia, mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi sudah sebagaimana kami kemukakan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kemudian Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 29 ayat (1) Undang1
Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena permohonan ini diajukan untuk menguji Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan ini. Kemudian, sebagaimana sudah kami kemukakan mengenai kedudukan Pemohon dan kerugian konstitusional dimana permohonan ini adalah perorangan, Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang pernah menjalani hukuman pidana selama 10 tahun sebagaimana putusan Kasasi Nomor 1344K pidana 2005 tanggal 13 September 2005 yang telah dijalani semenjak tahun 2004 sampai dengan November 2009. Kemudian, menurut hemat Pemohon Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pemerintahan Aceh sangat merugikan Pemohon oleh karena berlakunya pasal tersebut telah menghalang-halangi hak konstitusional Pemohon untuk maju dipilih menjadi kepala daerah di wilayah Provinsi Aceh sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak lagi mensyaratkan tentang larangan bagi mantan terpidana dalam perkara yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Dan dalam hal permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah, maka hak konstitusional Pemohon untuk maju dan dipilih menjadi kepala daerah di wilayah Provinsi Aceh menjadi tidak terhalang lagi. Atas dasar argumen tersebut, maka Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional dengan diberlakukannya pasal yang dimohonkan sehingga Pemohon memenuhi syarat legal standing sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 dan seterusnya dan putusan Nomor 11/PUU/2007 dan seterusnya. Yang Mulia, mengenai objek permohonan sebagaimana sudah kami kemukakan bunyi pasal … adalah Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang berbunyi, ayat (2), “Calon gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota 2
atau wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut. (g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti atau rehabilitasi.” Menurut Pemohon, pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kemudian, Yang Mulia. Bahwa sebagaimana diketahui dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara serentak berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, larangan untuk mencalonkan diri kepada seseorang untuk menjadi kepala daerah karena pernah dihukum dengan ancaman hukuman 5 tahun telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Implementasi putusan Mahkamah tersebut, ditindaklanjuti oleh KPU dengan peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 dimana dalam Pasal 4 huruf f dan huruf f1 ditetapkan bahwa bagi calon yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, secara kumulatif wajib memenuhi syarat sebagai berikut. Secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang dan F1, “Bagi calon yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana, syarat yang harus dipenuhi adalah telah selesai menjalani pidana penjara paling singkat 5 tahun, sebelum dimulainya jadwal pendaftaran.” Nah, namun demikian, Yang Mulia, di dalam pemerintahan ... di dalam Provinsi Aceh dimana berlaku Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang berdasarkan Pasal 67 ayat (2) huruf g yang kami mohonkan pengujiannya saat ini, diimplementasikan oleh KIP Aceh dengan mem ... diberlakukannya qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang di dalam Pasal 22 huruf i mengatur bahwa bakal pasangan calon gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil walikota harus memenuhi persyaratan huruf i, tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti atau rehabilitasi. Menurut hemat Pemohon, adanya larangan mencalonkan diri kepada seseorang untuk menjadi kepala daerah karena pernah dihukum dengan ancaman hukuman 5 tahun, merupakan aturan yang sewenang-wenang 3
sehingga seakan-akan membuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu selamanya, tidak berhak menjadi kepala daerah, selain itu akan menghambat seseorang untuk berpartisipasi secara aktif dalam salah satu agenda demokrasi di negara ini. Kemudian, Yang Mulia, dengan diberlakukannya … diberlakukannya norma larangan dalam pasal yang dimohonkan di wilayah Provinsi Aceh sebagai satu kesatuan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hal tersebut tidak selaras dengan proses demokrasi yang memerlukan partisipasi aktif dari setiap orang dalam suatu negara yang merupakan bentuk kedaulatan rakyat. Dan pemberlakukan norma yang diuji tersebut nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Atas dasar argumentasi tersebut, Yang Mulia, maka beralasan hukum bagi Pemohon untuk memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar kiranya dalam memeriksa dan memutus permohonan ini menjatuhkan putusan yang amarnya mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Kemudian selain itu, Yang Mulia, di halaman 12 huruf e kami sampaikan permohonan prioritas pemeriksaan oleh karena bahwa tujuan Pemohon mengajukan permohonan ini tidak lain agar dapat ikut serta dalam pemilihan Gubernur di Provinsi Aceh Tahun 2017 secara serentak, dalam pelaksanaan pemilihan serentak tersebut KPU telah menetapkan tahapan penyerahan secara dukungan mulai tanggal 6 sampai dengan 10 Agustus 2016. Oleh karena itu, kami mohon dengan sangat agar Yang Mulia Mahkamah Konstitusi agar supaya hak konstitusional Pemohon dan juga sebagai warga negara Indonesia lainnya yang juga terhalang pencalonannya dengan berlakunya norma dan pasal yang dimohonkan pengujian dalam permohonan ini tidak hilang, maka beralasan menurut hukum bagi Pemohon untuk dengan segala kerendahan hati memohon kepada Ketua Mahkamah Konstitusi dalam hal ini Majelis Hakim Yang Mulia berkenan memberikan prioritas dalam pemeriksaan perkara ini. Terakhir dalam petitum. Yang pertama kami mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memberikan putusan dengan amar. 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
4
2. Menyatakan Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau yang terakhir, Yang Mulia, 4. Apabila Mahkamah berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian, Yang Mulia, paparan pokok-pokok permohonan. Selanjutnya kami mohon saran perbaikan. Terima kasih. 5.
KETUA: ASWANTO Baik, sesuai dengan norma yang ada di dalam Undang-Undang Mahkamah, pada sidang pendahuluan pertama menjadi kewajiban kami untuk memberikan masukan atau nasihat dalam rangka penyempurnaan permohonan Saudara. Silakan, saya persilakan, Yang Mulia Bapak Dr. Patrialis Akbar.
6.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Kuasa Para Pemohon, saya juga mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum. Pertama. Saya memang agak sulit memberikan komentar lagi ini terhadap permohonannya ini karena kuasa hukumnya sudah malang melintang di sini, mana yang mau di ... yang mau diajukan ... koreksi yang mana. Namun, ada beberapa hal yang saya ingin sampaikan, ini tandanya permohonannya dibaca barusan ini. Pertama tentang batu uji, ya. Batu ujinya ini kelihatannya ada beberapa perbedaan. Yang benar yang mana? Ya. Karena di sini ada beberapa varian kelihatannya, ya. Jadi, misalnya Pasal 1 ayat (2), di atas Pasal 1 ayat (3), ayat (2) nya enggak ada. Kemudian, ada lagi Pasal 28D ayat (3), di atasnya enggak ada. Kemudian di atas ada Pasal 28I, di bawahnya ada Pasal 28J ayat (2). Coba disinkronkan ya, disinkronkan walaupun kita sudah paham ini, maksudnya sudah paham, supaya jadi pas saja batu ujinya. Jadi, nanti kalau ada perubahan ini, Pak Ketua, jangan lama-lama, satu-dua hari saja cukup. Yang kedua. Tadi sudah dijelaskan bahwa ada kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon karena Undang-Undang Pemerintah Aceh masih berlaku seperti yang disampaikan tadi.
5
Pertanyaan saya adalah apakah Undang-Undang Pemerintahan Aceh ini merugikan hak-hak konstitusional Pemohon atau berpotensi dirugikan? Nah, kalau ... kalau pernah ... kalau dirugikan, berarti kan, pernah ditolak, pernah mengajukan, ditolak. Berarti fakta bahwa memang dirugikan. Tapi kalau belum pernah mengajukan cagub, ya kan, kemudian khawatir ada kendala dengan undang-undang ini, maka itu namanya berpotensi untuk dirugikan. Jadi, ini berbeda kan, coba nanti dijelaskan. Tadi enggak dijelaskan, pernah mengajukan terus ditolak ya, rugi, ya toh? Tapi kalau mau mengajukan tapi terkendala dengan ini, berarti ada potensi untuk dirugikan. Ini walaupun malang melintang ada saja ini yang di ... ya. Terus, tiba-tiba minta prioritas. Kenapa kok, baru diajukan sekarang ini, ya kan. Minta prioritas terus. Kemudian ... nah, ini untuk didiskusikan ini Saudara Heru dan kawan-kawan, ya. Ini kita ... ini hanya untuk kajian ilmiah ya, untuk para pengacara tentang masalah erga omnes. Ada yang mengatakan erga omnes itu kalau sudah ada satu putusan yang terdahulu dan substansinya sama dengan undang-undang yang lain, maka itu dianggap satu kesatuan. Itu ada yang mengatakan seperti itu. Tapi juga ada yang mengatakan tidak demikian karena undang-undang yang dinyatakan ... pasal undang-undangnya dinyatakan adalah undang-undang tertentu, maka hanya berlaku bagi undang-undang tertentu itu saja, tidak berlaku bagi undang-undang yang lain meskipun substansinya persis sama, kan begitu. Ini untuk kajian saja, kalau para lawyer nanti mengadakan ... tertarik melakukan/mengadakan seminar terhadap ... apa namanya ... masalah Mahkamah Konstitusi ini, ini menarik juga. Apa ini termasuk erga omnes apa enggak, gitu kan? Sebetulnya kan, substansinya sama kok, kan begitu, walaupun undang-undangnya berbeda, tapi kalau ... kami sudah paham, maksudnya sudah paham, kalau mau dipercepat juga sudah paham, gitu. Saya kira begitu saja, Pak Ketua. Terima kasih. 7.
KETUA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Selanjutnya saya undang dengan hormat Bapak Yang Mulia Dr. I Gede Palguna, silakan.
8.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Pak Ketua. Ya, sebagian sudah disampaikan oleh Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar. Saya juga pertama ingin memberi catatan mengenai legal standing karena begini, sebenarnya kalau … kami mengerti bahwa yang dimaksud oleh permohonan ini, Pemohon ini kan, masih potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dia akan dirugikan karena dia mantan narapidana, kan begitu. Nah, itulah yang harus diuraikan khususnya di poin 8 dari ... apa ... di halaman 6 itu. 6
Jadi karena syaratnya kan kalau Mahkamah itu ada syarat pertama, ada dia memiliki hak konstitusional. Kemudian, hak itu secara spesifik itu kan ... secara spesifik, kemudian secara aktual atau potensial yang menurut ... aktual mengalami kerugian atau potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan kerugian itu akan terjadi sehingga nanti kaitan yang terakhir tentu bukan tidak lagi terjadi, tapi tidak akan terjadi kan, begitu nantinya di ... ininya ... di rumusan pasal kerugian hak konstitusionalnya, itu satu. Saya hanya ingin menekankan tadi yang sudah disampaikan Yang Mulia Patrialis Akbar, jadi itu mohon diperbaiki. Kemudian yang kedua, ini yang berkaitan dengan substansinya sendiri, Pasal 67. Pasal 67 itu kan, ada frasa di belakangnya itu, khusus untuk undang-undang pemerintahan Aceh, Pasal 67 huruf g itu. “Tidak pernah … gubernur ... calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a, b, c, d, e, f, g.” “Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minmal lima tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti rehabilitasi.” Apa bagian terakhir ini termasuk yang Anda uji juga? Kalau saya memahami logika permohonannya itu hanya bagian pertama, kalimat pertama, hanya paragraf ... apa namanya ... hanya frasa pertama saja, sampai di berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai hukum tetap itu kan, di situ sumber masalahnya yang Anda ajukan, kan? Yang belakangnya kan enggak ikut, kan? Oleh karena itu kan, sangat penting kemudian untuk ditekankan bahwa Pasal 67 sepanjang frasa yang mana tidak dimaknai demikian seperti yang Anda maksud itu. Kecuali kalau seluruhnya yang Anda maksud. Saya kira kalau keseluruhannya nanti ada pendapat tersendiri mengenai soal itu ya karena ini ada khas, kan. Karena ada menyangkut HAM, amnesti, dan ada rehabilitasi di situ, ada soal makar dan sebagainya sehingga yang menjadi penekanan Anda itu yang mana? Kalau saya memahami logika dari latar belakang permohonan yang pertama tampaknya adalah bagian pertama dari itu yang menjadi penekanan dari permohonan ini, ya kan. Tidak termasuk yang kedua. Tapi kalau dilihat dari petitum permohonannya, kan seolah-olah seluruhnya yang Anda maukan itu, kan? Nah, itu mohon penegasan. Itu yang kedua. Yang ketiga, tadi juga sudah disinggung oleh Yang Mulia Pak Patrialis Akbar. Sebenarnya Anda menguji ini ... apa namanya ... kontra argumennya dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu yang mana, gitu kan? Misalnya mengapa bertentangan dengan prinsip negara hukum, gitu lho. Kalau disebut di Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), ayat (2)-nya kaitannya apa? Yang di halaman 12 itu, poin 8, ya? Lanjutan dari poin 8 7
di halaman 12 itu. Kan, Anda mengatakan pasal itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tapi tidak ada elaborasi lebih jauh mengenai hal ini. Itu kalau memang Anda mau menggunakan itu sebagai dasar pengujian, harus diberikan elaborasi, mengapa dia bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) misalnya? Mengapa dia bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3)? Mengapa dan seterusnya. Itu ... walaupun di bagian lain Anda sudah juga mengutip perbandingan dengan pendapat Mahkamah sebelumnya mengenai hal ketentuan yang serupa, ya, mengenai pengujian norma yang serupa. Itu mohon ditambahkan. Dan yang terakhir, yang terakhir. Ini hanya soal teknis, tapi berkaitan dengan yang tadi saya sampaikan mengenai frasa dari Pasal 67 yang diuji itu. Jadi, biasanya kalau dalam permohonan ini yang selama ini sudah berlangsung, dalam petitum itu kan, pernyataan tentang pertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan permohonan tentang pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat itu dipisahkan. Poin 2 itu dari … dari permohonan Anda itu. Pasal 67, misalnya, ya, misalnya kalau yang Anda maksud adalah bagian pertama atau frasa pertama dari ... dari norma dalam Pasal 67 huruf g yang Anda persoalkan. Memohon ... menyatakan Pasal 67 ayat (2) huruf g sepanjang frasa ini, misalnya, dan seterusnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai begini. Nah, kemudian yang angka 3-nya sama kalimatnya, menyatakan Pasal 67 ayat (2) huruf g sepanjang frasa ini, ini, ini, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai begini, gitu kan? Jadi, dipisahkan jadi dua. Itu soal teknis saja. Tetapi itu penting karena itu merupakan penegasan. Soalnya memang ada dua pernyataan di situ, pernyataan yang pertama adalah pernyataan pertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kemudian konsekuensi selanjutnya dari pernyataan pertama itu adalah dia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga itu menjadi dua hal yang ini. Walaupun secara substansi memang ... memang kelihatannya satu, gitu, tapi secara teknis biasanya dipisahkan, supaya lebih tegas. Mengapa dia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat? Karena dia tidak ... dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, itu. Makanya dua poin itu yang biasanya dipisahkan di dalam setiap permohonan. Itu saja dari saya, Pak Ketua. Terima kasih. 9.
KETUA: ASWANTO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Saudara Pemohon, ya. Sudah banyak masukan yang ... saya ingin menambahkan sedikit saja. Saya kira secara tadi kedua Yang Mulia sudah menyampaikan bahwa dan 8
menurut saya juga secara sistematis saya kira permohonan Saudara sudah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam hukum acara. Namun, perlu ada penajaman-penajaman, gitu ya. Termasuk yang belum tajam itu walaupun sudah disinggung, tetapi sebenarnya seolah-olah itu menjadi berdiri sendiri, gitu. Mestinya seperti yang disampaikan oleh Yang Mulia Pak Palguna tadi, perlu dielaborasi, misalnya soal potensi kerugian dan potensi itu menjadi hilang ketika apa yang diuji itu dikabulkan ... apa yang dimohonkan diuji itu … itu dikabulkan, gitu. Nah, ada Saudara sudah menyinggung itu, tapi kelihatannya berdiri sendiri. Nah, ini yang perlu dielaborasi, gitu. Ini perlu dielaborasi lebih ... saya kira Saudara juga sudah menguraikan dengan baik … apa ... persoalan legal standing dengan merujuk ke Putusan Mahkamah sebelumnya, 006, ya. Kemudian, beberapa putusan lainnya Saudara sudah rujuk, itu tapi kemudian menjadi berdiri sendiri. Padahal sebenarnya substansinya yang perlu dielaborasi sehingga lebih mudah kami pahami bahwa memang Pemohon punya legal standing gitu, termasuk yang tadi. Saya lihat Saudara menguraikan, tetapi … apa ... menempelkan saja, gitu. Menempelkan saja, tidak ... tidak menjadi sebuah analisis. Padahal semestinya norma yang ada pada ... norma yang ada pada ... baik Undang-Undang Mahkamah Pasal 51, kemudian pada putusan Mahkamah, itu yang mestinya Saudara gunakan sebagai … apa .... sebagai pisau analisa sehingga kami lebih mudah menangkap, “Oh, ya benar dia punya legal standing,” gitu. Tidak hanya mencamtukan bahwa menurut Pasal 51, bla, bla, bla, kemudian menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006 bla, bla, bla. Nah, mestinya ini yang ... yang Saudara urai, lalu norma ini yang Saudara jadikan sebagai pisau analisanya, sehingga sangat mudah dipahami, “Oh, ternyata benar dia punya legal... legal standing.” Lalu saya kira itu yang pertama Yang terakhir. Ini kan, Saudara ... Saudara ... di petitum Saudara kan, Saudara kan, meminta … apa namanya ... perumusannya inkonstitusional bersyarat, gitu ya? Nah, ini juga harus sinkron dengan apa yang ada di posita, gitu. Jadi kenapa Saudara meminta … apa namanya ... dalam petitum itu terkait dengan perumusan inkonstitusional bersyarat? Nah, ini ada konsekuensinya di … mestinya. Itu adalah konsekuensi dari apa yang ada di posita. Ini yang kelihatan belum tergambar, gitu ya. Ada lagi yang mau disampaikan? 10.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Dari Pemohon cukup, Yang Mulia. Sangat berterima kasih atas masukan yang disampaikan dari Majelis.
9
11.
KETUA: ASWANTO Ada tambahan, Yang Mulia? Ada tambahan? Cukup? Baik.
12.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terserah dia mau cepat atau lambat.
13.
KETUA: ASWANTO Ini karena ... karena ada permohonan percepatan. Beberapa hari yang lalu kami juga memutus perkara yang sebelumnya juga di dalam permohonannya ada percepatan ... ada permohonan percepatan, tetapi sebenarnya di ... di argumen kami bahwa di dalam hukum acara tidak dikenal istilah percepatan, gitu ya. Dalam hukum acara Mahkamah tidak dikenal percepatan, tetapi argumen Saudara yang mestinya ini. Mestinya ini juga Saudara pertajam di … apa ... legal standing, gitu. Bahwa sebenarnya walaupun ini sudah diputus ya, tetapi kalau sudah melewati tahapan pemilukada juga tidak berimplikasi, tidak mem ... tidak menghilangkan potensi kerugian. Kita menangkap itu. Artinya, kalau ini kasus diputus setelah selesai tahapan-tahapan pilkada, berarti kerugian yang dialami oleh Pemohon juga akan tidak ter … apa namanya ... tidak terelakkan, gitu. Dia tetap rugi, gitu. Ada tambahan? Silakan, Yang Mulia.
14.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Tadi tanggal berapa pendaftarannya?
15.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Tanggal 6 sampai 10 Agustus, Yang Mulia.
16.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Wah, dekat sekali. Kita Agustus ini banyak acara ke luar, lho. Ya. Minggu-minggu kedua itu … minggu pertama ya, tanggal 8 itu kita sudah banyak acara international conference itu. Ini, aduh (…)
17.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Kami perbaikan siap dua hari, Yang Mulia.
10
18.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ada-ada saja ini Heru ini.
19.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Karena memang kami bertindak berdasarkan kuasa, jadi (…)
20.
KETUA: ASWANTO Itu yang … yang saya maksud tadi, mestinya Saudara juga mengelaborasi di situ bahwa kan, harapan kita kalau permohonan ini dikabulkan, kan potensi kerugiannya menjadi hilang. Ini kalau … kalau … apa namanya … kalau … kalau sekalipun dikabulkan, tapi sudah melewati tahapan, kan berarti potensi kerugiannya tidak … itu yang minta Saudara pertajam nanti di … apa namanya … di legal standing. Kemudian, mungkin berdasarkan itu, Majelis bisa berpandangan lain, gitu ya. Baik. Saudara punya waktu untuk memperbaiki sampai tanggal 2 Agustus ya, Selasa, 2 Agustus 2016, itu 2 minggu dari sekarang, ya. Tetapi kalau Saudara mau memperbaiki besok dan selesai juga besok, Saudara silakan masukkan, mungkin pihak Mahkamah bisa mengagendakan lebih awal, lebih … lebih … apa namanya … lebih cepat juga untuk sidang berikutnya karena sidang berikutnya kita adalah sidang perbaikan, Saudara diberi waktu 14 hari. Kalau Saudara mau menggunakan 14 hari, ya silakan. Mau menggunakan satu-dua hari, silakan. Lebih bagus … lebih cepat, lebih bagus, gitu, ya. Silakan. Dan mungkin itu nanti akan jadi pertimbangan bahwa ini memang perlu tidak juga percepatan, tapi mungkin karena sudah selesai perbaikannya, kita langsung mengagendakan sidang berikutnya, gitu ya. Atau mau diperbaiki atau tidak, gitu?
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Kami minta 1 hari, Yang Mulia. Besok kami perbaiki untuk penyempurnaan, penajaman, 1 hari saja.
22.
KETUA: ASWANTO Baik. Satu hari, ya?
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Ya.
11
24.
KETUA: ASWANTO Terserah Saudara, kewajiban kami untuk memberi nasihat apakah itu diakomodasi atau tidak, itu kan, hak Saudara, gitu ya. Tapi kalau Saudara ingin memperbaiki dalam waktu 1 hari, berarti besok silakan Saudara masukkan langsung ke bagian Kepaniteraan dan nanti bagian Kepaniteraan akan mengagendakan. Mungkin … mungkin lebih awal kita bisa … dibanding menunggu 2 minggu, gitu ya. Kalau Saudara mau masukkan tanggal 2 Agustus, ya, mungkin sudah lewat masa pendaftaran, baru kita bisa sidangkan, gitu ya. Ada lagi yang mau disampaikan?
25.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Cukup, terima kasih, Yang Mulia.
26.
KETUA: ASWANTO Baik. Dengan demikian, sidang … sekali lagi saya ulangi, ya, Saudara diberi waktu untuk memperbaiki sampai hari Selasa, 2 Agustus 2016, pukul 10.00 WIB, ya. Kalau lebih awal bisa Saudara perbaiki, silakan Saudara masukkan lebih awal. Dan mungkin karena perbaikan masuk lebih awal, juga kita bisa sidang lebih awal, gitu ya. Baik. Sidang pada hari ini kita anggap selesai. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 10.44 WIB Jakarta, 20 Juli 2016 Kepala Sub Bagian Risalah,
t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
12