MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 39/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI PEMOHON DAN AHLI PRESIDEN (V)
JAKARTA SENIN, 25 JULI 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 39/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah [Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Dolly Hutari P. 2. Sutejo ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi Pemohon dan Ahli Presiden (V) Senin, 25 Juli 2016, Pukul 11.12 – 13.08 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Anwar Usman I Dewa Gede Palguna Aswanto Suhartoyo Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Manahan MP Sitompul
Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Putu Bravo Timothy 2. Emanuel Bani 3. Selviana 4. Farrengga A. S. 5. Edu H. B. Saksi dari Pemohon: 1. Linda Barus 2. Sumarni 3. Libertina Layk C. Pemerintah: 1. Yunan Hilmy 2. Erwin Fauzi 3. Wahyu Winardi 4. Sigit Danang 5. Jaya D. Ahli dari Pemerintah: 1. Gunadi 2. Refly Harun
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.12 WIB
1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 39/PUUXIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saya cek kehadirannya. Pemohon yang hadir siapa? Silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik, terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Kuasa Pemohon hadir saya sendiri Putu Bravo Timoti. Di sebelah kiri saya Ibu Selviana, lalu di sebelah kanan saya ada Bapak Edu, di sebelahnya kemudian ada Saudara Farrengga, dan paling pojok adalah Bapak Emanuel Bani. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, dari DPR tidak hadir. Dari Pemerintah siapa yang hadir, silakan.
4.
PEMERINTAH: YUNAN HILMY Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia dari Pemerintah hadir saya Yunan Hilmy dan Saudara Erwin dari Kementerian Hukum dan HAM, kemudian Saudara Wahyu Winardi dan juga Sigit Danang Jaya, dan Didik Hariyanto dari Kementerian Keuangan. Dan juga kami hadir bersama dua Ahli Prof. Gunadi dan Dr. Refly Harun. Dan mohon izin Dr. Refly Harun masih dalam perjalanan. Terima kasih.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Agenda kita pada pagi hari ini adalah mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli dari Pemerintah, Saksi dari Pemohon. Sebelum kita dengar, Saudara Pemohon di dalam risalah sidang yang lalu sebenarnya hanya akan mengajukan Saksi dua orang. Tapi sekarang menghadirkan tiga orang. Gimana itu?
1
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kami mohon maaf, Yang Mulia. Kami mohon izin dapat menambah satu Saksi karena mewakili tiga unsur, Yang Mulia. Yaitu dari unsur konsumen, pedagang komoditi … pedangan kecil komoditi juga, dan yang ketiga adalah dari pengusaha kecil yang pemakai komoditi ini.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baiklah. Karena sudah datang di sini, silakan untuk kita dengar keterangannya Saksi. Saya persilakan untuk maju diambil sumpahnya. Ibu Linda, Ibu Sumarni, dan Ibu Libertina. Kemudian sekaligus Ahli dari Pemerintah Prof. Gunadi dan Saudara Refly Harun, saya persilakan. Ini Ibu Linda, Protestan. Ibu Sumarni, Islam. Ibu Libertina, Katolik ya? Baik. Kemudian untuk Ahlinya dari Pemerintah kedua-duanya bergama Islam. Kita mulai dengan Ahli dari Pemerintah terlebih dahulu, saya mohon berkenan Pak Wahiduddin Yang Mulia untuk ambil sumpah.
8.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, untuk Saksi … untuk Ahli Prof. Dr. Gunadi dan Dr. Refly Harun untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
9.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
10.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, untuk Saksi dari Pemohon. Ibu Sumarni, saya persilakan, Yang Mulia.
11.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Kepada Ibu Sumarni untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim,” … ikuti.
2
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.” 12.
SAKSI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Untuk kemudian Ibu Linda dan Ibu Libertina. Berturut-turut nanti Yang Mulia Pak Manahan Sitompul, saya persilakan.
14.
HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Ya, untuk Ibu Linda (suara tidak terdengar jelas) harus terlebih dahulu ya. Ikuti lafal yang saya tuntunkan. “Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.”
15.
SAKSI BERAGAMA KRISTEN PROTESTAN BERSUMPAH: Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.
16.
HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Untuk Ibu Libertina Layk, ya. Ikuti lafal yang saya tuntunkan. “Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.”
17.
SAKSI BERAGAMA KATHOLIK BERSUMPAH: Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.
3
18.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Ahli saya persilakan kembali ke tempat. Saksi juga terima kasih, Rohaniwan juga. Untuk Pemohon, ini siapa dulu yang akan kita dengar keterangannya Saksinya?
19.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Yang pertama Ibu Libertina sebagai konsumen. Dilanjutkan, Ibu … Ibu Linda. Kemudian yang ketiga nanti Ibu Sumarni.
20.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ini akan dipandu atau langsung bisa memberikan keterangan sendiri?
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Dalam bentuk tanya-jawab, Yang Mulia.
22.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, yang memandu siapa nanti?
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Dari kami.
24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, oke. Baik. Itu yang saya tanyakan. Ibu Libertina, saya persilakan. Silakan di mimbar itu.
25.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ya. Ibu Libertina, untuk selanjutnya akan saya sebut sebagai Saksi, ya. Saudari Saksi, Saudari Saksi sudah menikah?
26.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Sudah.
4
27.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Sudah berkeluarga?
28.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Sudah.
29.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ada … punya berapa anak?
30.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Tiga.
31.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Tiga orang.
32.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
33.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Usianya, boleh tahu?
34.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Yang besar 17 tahun, nomor 2=12 tahun, yang kecil 17 bulan.
35.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA 17 bulan.
36.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
37.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Saudari Saksi bekerja?
5
38.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Tidak.
39.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ibu rumah tangga?
40.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ibu rumah tangga.
41.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Suami bekerja sebagai apa?
42.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Sopir.
43.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Sopir angkutan umum?
44.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Sopir sales.
45.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Sopir sales.
46.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
47.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Sehari-hari Ibu … Saudari Saksi berbelanja sendiri untuk makan di rumah?
48.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
6
49.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Berbelanja. Apakah dari suami itu ada budget atau batasan uang belanja sehari-hari?
50.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ada budget.
51.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kalau kami boleh tahu, kalau tidak keberatan, berapa sehari?
52.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Satu hari saya dijatah Rp50.000,00. Dikasih Rp50.000,00 itu untuk ongkos sekolah anak-anak yang dua. Kemudian sama, yang lain untuk belanja sama jajan, ya.
53.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kalau untuk belanja masak Ibu sehari-hari di rumah (…)
54.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
55.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Itu satu hari berapa, Bu?
56.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Saya sudah … Rp30.000,00 … Rp30.000,00 … Rp20.000,00, Rp25.000,00.
57.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Rp25.000,00 sampai Rp30.000,00.
58.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Rp30.000,00, ya.
7
59.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Itu untuk akan berapa orang di rumah?
60.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Kami berempat.
61.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Berempat, ya.
62.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Karena kebetulan Bapaknya lagi di luar kota.
63.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Berempat ini berapa kali makan dalam sehari?
64.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Kadang dua kali, kadang tiga kali.
65.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kalau tiga kali, berempat, berarti 12 kali makan, ya?
66.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
67.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Untuk uang Rp25.000,00 sampai Rp30.000,00?
68.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
69.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Berarti satu kali makan itu kurang-lebih Rp2.000,00 sampai Rp2.500,00, ya, jatahnya, ya?
8
70.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
71.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Yang Saksi rasakan, uang belanja sehari-hari Rp25.000,00 sampai Rp30.000,00 itu cukup … cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak?
72.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Kalau dari kebutuhan gizi, kurang cukup.
73.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kurang cukup. Apakah setiap hari Saksi bisa … dengan uang itu mampu untuk membeli daging atau ikan?
74.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Saya jatah jadinya. Jadi, tidak mesti setiap hari. Tidak harus setiap hari saya membeli daging atau ikan, gitu. Tiap hari hanya tahu, tempe.
75.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Tahu, tempe?
76.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
77.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Apakah Saksi mempunyai harapan untuk bisa kasih makan anakanak? Ini kan usia pertumbuhan semua, ya? Dari 17 bulan sampai 17 tahun.
78.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
9
79.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pemohon, tolong agak lebih fokus ke arah permohonan ini. Itu terlalu jauh itu.
80.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ya, oke.
81.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, jangan … jangan anu … jangan sangat jauh. Langsung saja, to the point.
82.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ya. Saudari Saksi, apakah belanja … belanja Saksi ini harganya itu selalu stabil atau terus meningkat, terus naik harga-harga?
83.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Naik.
84.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Naik?
85.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
86.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Apakah pada waktu Saksi belanja, itu Saksi pernah memperhatikan, apakah ada PPN di situ, Pajak Pertambahan Nilai dalam belanjaan Saksi?
87.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Kalau beli di warung kecil, ya, warung kecil, saya enggak … di situ jelas tidak ada tulisan-tulisan, ya. Langsung beli berapa, sudah gitu saja. Dikasih harga berapa, sudah gitu saja. Tapi kalau mungkin ada yang tertentu, yang kita beli di minimarket atau apa, itu baru keliahatan kalau ada tulisan PPN, gitu.
10
88.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ada PPN-nya yang di minimarket, ya?
89.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ada.
90.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kemudian, untuk PPN itu, Saksi lihat nilainya berapa persen?
91.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK 10%, ya, kalau enggak salah.
92.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA 10%.
93.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya.
94.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Berarti dari harga yang Saksi beli itu ada penambahan 10%, ya?
95.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ada.
96.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Apakah buat Saksi, penambahan 10% itu berat untuk sehari-hari?
97.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Untuk saya, ya berat.
98.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Apakah buat Saksi, ada harapan bahwa yang 10% itu bisa hilang?
11
99.
SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Kalau bisa hilang saja.
100. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kemudian, Saudari Saksi, untuk belanja yang Rp25.000,00 sampai Rp30.000,00 itu bagi Saksi, apakah uang belanja itu sebetulnya cukup, ya, untuk bisa … apalagi ada yang masih 17 bulan, ya (…) 101. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya. 102. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Untuk bisa beli susu, untuk kecukupan gizi anak-anak? 103. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya, kami berusaha untuk pas-pasin saja, gitu saja. 104. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Saksi … apakah Saksi memahami bahwa anak-anak itu butuh gizi yang seperti apa sehari-hari untuk pengetahuan Saksi mengenai gizi itu? 105. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Kalau pengetahuan kami sih mengetahui, masalahnya juga kita kembali ke kondisi kami juga. Jadi, ya, kami sesuaikan saja. 106. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Sesuaikan saja? 107. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya. Dengan duit yang ada, gitu saja. 108. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ada tambahan.
12
109. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Saudara Saksi. Yang saya ingin sampaikan tadi dikatakan bahwa di minimarket tersebut dikenakan PPN, ya. Itu Saudara Saksi belanja apa? 110. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Seperti kacang hijau. 111. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Kacang hijau? 112. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Jagung. 113. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Jagung, kacang hijau? 114. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya. 115. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Ada PPN di situ? 116. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ada. 117. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Di struknya itu? 118. SAKSI DARI PEMOHON: LIBERTINA LAYK Ya. 119. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Terima kasih. 13
120. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Cukup, Yang Mulia. 121. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari meja Hakim ada? Saksi. Cukup, ya. Terima kasih, IBu Libertina. Yang berikutnya, Ibu Linda, ya. tolong Pemohon yang fokus ke arah permohonannya. Karena kalau tidak enggak ada gunanya kita, ya. silakan langsung. 122. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik. Selamat siang, Ibu Linda. 123. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Selamat siang, Pak. 124. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Ibu Linda. Bisa Ibu perkenalkan sedikit kepada forum persidangan ini, pekerjaan ibu sehari-hari sebagai apa? 125. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Namanya saya Ibu Linda. Pekerjaan saya, saya membuka warung kios menjual makanan dan kue-kue, Pak. 126. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik. Ibu pekerjaan sehari-hari menjual makana dan kue-kue. Dalam Ibu menjual makanan dan kue-kue sudah tentu Ibu membeli barang komoditas yang untuk Ibu olah, ya kan begitu. Apakah selama Ibu berbelanja, saya ambil contoh dalam rentang 1 tahun ini saja ada beberapa kali kenaikan harga atau perubahan harga dari barang-barang yang Ibu beli di pasar? 127. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Sangat.
14
128. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Sangat. Seperti apa Ibu misalnya. 129. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Seperti saya membeli kacang, telur, ikan, tepung, ada beberapa macam. 130. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Beberapa macam, ya, termasuk ikan, kacang, dan telur seperti itu, ya. 131. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Ya. 132. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Nah, pada saat Ibu berbelanja itu di pasar, apakah Ibu mengetahui jika barang tersebut harganya naik karena ada pengaruh PPN atau apa? 133. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Kalau saya belanja di pasar memang di struknya itu tidak ada PPN-nya. Tapi penjual itu mengatakan, “Kenapa barang ini naik terus?” “Ini, Bu pajaknya naik ini, Pemerintah kita ini, gitu.” Jadi, itu yang saya terima. 134. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Fakta di lapangan seperti Ibu. Kalau kami boleh tahu, Bu. Ibu biasanya berbelanja di pasar mana, Bu? Agar menjadi catatan bagi pemerintah mungkin. 135. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Saya di daerah Kelapa Gading. 136. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Kelapa Gading, ya, Bu.
15
137. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Senen. 138. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Senen, baik. Sebagai pedagang makanan, Bu, apakah kemudian harga-harga barang mentah yang Ibu olah itu kemudian mempengaruhi harga yang Ibu jualkan kepada konsumen, Ibu? 139. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Ya, sangat. 140. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Lalu pengaruhnya terhadap konsumen Ibu bagaimana, apakah mereka mengeluh atau bahkan lari, enggak jadi langganan atau bagaimana? 141. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Otomatis mereka lari karena harga otomatis saya naikkan. 142. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Artinya ada pengaruh, Bu, ya? 143. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Ada. 144. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Terhadap pendapatan Ibu juga. 145. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Besar sekali, Pak.
16
146. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Nah, pendapatan Ibu yang seperti itu. Kemudian apakah cukup, Bu untuk mempenuhi kebutuhan Ibu sekeluarga beserta suami dan anak-anak? 147. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Sewaktu harga-harga belum naik malahan saya bisa membayar yang membantu saya dengan dua orang dan tukang ojek saya. Tapi setelah kenaikan terus-terus yang membantu saya juga sekarang harus saya berhentikan karena omset saya menurun. 148. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Berarti kalau boleh saya simpulkan, Bu, ya. Bukan hanya pendapatan Ibu yang turun, tapi mata pencaharian orang yang kerja sama Ibu juga turun, ya? 149. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Ya, (suara tidak terdengar jelas). 150. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Gara-gara kenaikan itu, ya. 151. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Ya. 152. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik. 153. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Saudara Saksi. 154. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Baik, Pak.
17
155. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Ibu katakan tadi bahwa terjadi kenaikan sehingga langganan banyak yang keluar. Saya hanya ingin pendapat Ibu saja ini. 156. KETUA: ARIEF HIDAYAT Enggak bisa pendapat. 157. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Oke. Mohon maaf, maaf. Mohon maaf, Majelis. Jadi, Ibu belanja ke Senen? 158. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Ya. 159. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Dengan partai cukup besar? 160. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Lumayan, Pak. 161. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Lumayan cukup besar. Terus apakah pada saat Ibu belanja di Senen itu, kan tadi Ibu katakan bahwa pedagang itu mengatakan bahwa ini pajaknya naik terus (…) 162. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Ya. 163. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Setiap pemerintah. Menurut Ibu itu bahan baku apa yang dinaikkan? Bahan baku apa yang Ibu beli? Bahan komoditi apa yang di Senen sana? 164. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Seperti ikan. 18
165. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Ya. 166. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Kacang-kacangan, sayur-sayuran, umbi-umbian, banyak sih. 167. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. kan?
Itu. Pada saat Ibu belanja itu terus dia katakan Ibu bertanya pasti
168. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Ya. 169. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. “Kenapa ini naik?” Jawaban mereka? 170. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS “Naik, Bu memang naik dari sananya, kan kita kena pajak.” 171. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Seperti itu. Itu di Senen? 172. SAKSI DARI PEMOHON: LINDA BARUS Senen. 173. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Terima kasih. 174. KETUA: ARIEF HIDAYAT Pemohon, ya. 175. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Ya.
19
176. KETUA: ARIEF HIDAYAT Yang selalu naik itu pajaknya atau karena inflasi atau karena apa itu faktornya apa hanya karena pajak? 177. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Jadi gini, saya ingin menyampaikan (…) 178. KETUA: ARIEF HIDAYAT Nanti di kesimpulan, ya. 179. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Ya. Jadi (…) 180. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ini kita anu … enggak jelas. 181. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. (Suara tidak terdengar jelas). 182. KETUA: ARIEF HIDAYAT Enggak usah dijawab. 183. KUASA HUKUM PEMOHON: EDU H. Oke. 184. KETUA: ARIEF HIDAYAT Masih ada? 185. KUASA HUKUM PEMOHON: Cukup, Yang Mulia. 186. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Silakan duduk kembali, Bu Linda. Sekarang Ibu Sumarni, silakan. 20
187. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik. Selamat siang Ibu Sumarni. 188. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Siang, Pak. 189. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Ibu, sama seperti Ibu Linda tadi bisa perkenalkan diri singkat, Bu. Ibu berjualan di mana sehari-hari, sebagai apa begitu? 190. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya, saya jualan sayuran sama kacang-kacangan. Kacang hijau, kacang tanah, bumbu-bumbu. 191. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Bumbu-bumbu, ya. Ibu jualan di mana, Bu? 192. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Di Gembira. 193. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Di, maaf? 194. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Di Gembira Jalan Guntur. 195. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik. Ibu, sebagai seorang pedagang, Bu biasanya Ibu ambil barang yang Ibu jual itu di mana, Bu? 196. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Dari Pasar Rumput.
21
197. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Dari Pasar Rumput. Bentuknya dia distributor, atau pedagang besar, atau bagaimana? 198. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Pedagang biasa. Kalau yang bumbu-bumbu, pedagang besar, kacang-kacangan. 199. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Pedagang besar kacang-kacangan. Nah, pada saat Ibu mengambil barang di mereka apakah sepanjang satu tahun ini saja, kita ambil contoh, ada kenaikan atau perubahan harga yang cukup Ibu rasa berat mungkin? 200. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Berat sekali, Pak. Kan naik terus ini. Tahun ini naiknya saja 3 kali, naiknya. 201. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Naiknya tiga kali, ya. Pada saat Ibu berbelanja tersebut, apakah pedagang atau distributor tempat Ibu ambil barang pernah bilang, “Ibu minta maaf ya, kami naikan karena pajak...,” atau karena apa, karena apa, pernah dibilang? 202. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Oh, enggak bilang gitu (…) 203. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Saudara Pemohon, saya mau … sebentar, Bu. Saya mau mengingatkan, Pemohon ini anggapan Pemohon pajaknya naik terus atau bagaimana, sebenarnya? Atau kondisi harga yang Saudara tanyakan itu karena faktor seperti yang Saudara sampaikan dalam permohonan? 204. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Seperti yang kami sampaikan dalam permohonan.
22
205. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Enggak, kalau konteksnya seperti itu seolah-olah pajaknya yang naik terus, kalau saya tadi ikuti anunya ... yang Saudara mau gali. Ini bisa ... supaya enggak bias informasi yang di persidangan karena ini terbuka untuk umum ya, saya ingatkan ya. 206. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Maksud kami begini, Yang Mulia. Terima kasih untuk kesempatannya karena pengaruh inflasi dan kemudian ditambah pajak, itu kemudian menambah harga komoditas tersebut begitu. 207. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Tapi kalau seperti tadi pertanyaan tidak begitu jadinya. Kalau … kalau Anda menjelaskan seperti itu, orang akan paham begitu kan. Kalau pajaknya kan tetap persentasenya itu ... anunya itu kan bahwa itu sebagai faktor yang Saudara mau arahkan sebenarnya dalam permohonan ini, kan mengapa untuk barang ini dikenai pajak? Mengapa ini dikenai pajak? Kan itu sebenarnya arah Anda, kan? 208. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Ya. 209. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Bukan soal persentase dan kemudian tiap tahun naik itu, kan itu anunya kalau saya memahami ini. Oleh karena itu, supaya kesaksian para saksi ini menjadi berguna buat permohonan yang Saudara ajukan itu, tolong difokuskan ke sana itu lho yang tadi diingatkan oleh Pak Ketua, saya (...) 210. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik, Yang Mulia, mohon maaf, Pak Ketua (...) 211. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih. Saya ingatkan itu.
23
212. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik. Ibu Sumarni saya lanjutkan, Bu. Nah, pada saat Ibu membeli barang itu, di distributor, pernah ada disampaikan atau dijelaskan, “Ibu harganya seperti ini, ini kita kenakan...,” demikian begitu. 213. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya, tapi enggak bilang kena pajak. 214. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Enggak bilang. 215. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Cuma bilang, “Naik,” gitu. 216. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Hanya bilang, “Naik,” begitu ya. Baik. 217. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Saudari saksi, tadi saksi katakan kan dalam satu tahun ini saja harga-harga tiga kali naik, ya? 218. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya. 219. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Apakah harga yang naik itu mempengaruhi jumlah orang yang beli ke saksi? 220. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Mempengaruhi dong. Itu kan biasanya cuma 18 kacang hijau, 20, 18, 19, terus sekarang naik 20. Kan otomatis orang-orang pada protes itu langganan.
24
221. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Apakah dengan protes itu kemudian mereka beli yang beli berkurang? 222. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya berkurang. 223. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Saudara, saya ingatkan lagi ya, ini jangan membuat anu jadi bias ya. Kenaikan itu kan pajaknya tetap, barang-barang yang Saudara tanyakan yang Saudara dalilkan di sini yang seharusnya enggak kena pajak itulah yang mestinya Saudara jadikan bahan pertanyaan, kan begitu, anunya. Ini kan mau membuktikan itu kan, Saudara itu kan? 224.
KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Karena begini, Yang Mulia. Karena bagi pedagang kecil, itu kan harga naik dari tingkat distributor atau pedagang besar.
225. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Betul, tetapi kan, sebentar (…) 226. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Jadi, pada waktu mereka beli mereka di dalam bukti pembelian mereka itu memang tidak terlihat, tidak dipecah adanya PPN. 227. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Itu kami mengerti. Oleh karena itu kan barang yang Saudara maksudkan di sini kan mestinya untuk jenis barang ini, jenis barang ini, yang Saudara dalilkan tidak perlu kena pajak, kan itu. 228. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ya.
25
229. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Kenapa enggak Anda arahkan ke sana, itu lho yang saya … yang kami maksud. Sehingga menjadi nyata kegunaan dari kesaksian ini, gitu lho. 230. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ya. 231. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Bukan soal itu yang dari tadi saya ingatkan itu, supaya ada gunanya kesaksian dari saksi ini. Terima kasih. 232. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ya, Yang Mulia. 233. KETUA: ARIEF HIDAYAT Jadi, saya anukan kembali ya. Saya tadi sudah di awal mengatakan begini, faktor yang menyebabkan kenaikan harga yang disebutkan oleh para saksi, itu tidak semata-mata diakibatkan oleh pajak. Nah, Saudara mengejar masalah kenaikan itu seolah-olah kenaikan pajak, pajaknya yang naik. Ini enggak … enggak sesuai dengan permohonan Anda. Jadi, kita menilai ini kesaksiannya enggak fokus ke arah apa yang diminta permohonan Saudara. Padahal jenis ini, ini, ini kena pajak, lho kok yang ini tidak? Yang ini pun, yang tidak kena pajak pun, itu juga mengalami kenaikan harga ya kan? Ini yang makanya saya tadi sejak awal kemudian Yang Mulia Pak Palguna juga mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Para Saksi ini tidak fokus ke arah permohonan, sehingga kita minta kepada Saudara pertanyaannya itu kepada Saksi yang ada, yang relevan dengan permohonan Saudara, bisa menunjukkan kepada kita bahwa pajak yang dikenakan pada komoditi ini, ini, ini, itu ndak benar. Sedangkan, kenapa kok tidak diperluas pada yang lain? Sehingga ada diskriminasi pengenaan pajak pada komoditi tertentu. Itu yang harus Saudara anukan, tapi kalau ini enggak ... kita lihat enggak ada anunya ya. Atau mungkin Saudara nanti di dalam kesimpulanlah ya, di dalam kesimpulan Saudara bisa mempunyai konklusi itu, ya sebagaimana yang Saudara minta kepada Saksi dan nanti kita akan menilai apakah itu relevan atau tidak. Ya, silakan dilanjutkan lagi kalau masih ada. 26
234. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Sebelumnya saya jelaskan, Yang Mulia. 235. KETUA: ARIEF HIDAYAT Tidak perlu, nanti di ... saya sudah bilang di kesimpulan. 236. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Oke. Saudari Saksi (...) 237. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya, Bu. 238. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Tadi Saudari Saksi katakan tadi berjualan kacang hijau dan kacang tanah ya? 239. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya. 240. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Itu yang beli biasanya pembelinya itu siapa? 241. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya itu pedagang juga, tapi pedagang matang. 242. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Oh pedagang matang? 243. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Tukang ketoprak, ya. Tukang ketoprak, kacang hijau, bubur kacang hijau, gitu.
27
244. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Oh, oke. Kemudian, yang Saksi tahu pada waktu Saksi beli dari pedagang besar ya, tadi dari Pasar Rumput ya. 245. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya. 246. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Waktu Saksi beli itu, apakah Saksi itu diinformasikan bahwa itu ada kena PPN atau tidak? 247. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Enggak ngomong begitu, cuma naik saja. 248. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Cuma naik saja? Enggak ngomong itu karena apa naiknya? 249. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Enggak, enggak. 250. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Oke. Kemudian, dengan ... dengan kondisi yang Saksi belinya harganya lebih tinggi, kemudian Saksi jual ke tukang ketoprak, tukang dagang macam-macam itu kan harganya juga terpaksa Saksi naikkan ya? 251. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya. 252. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Apakah kemudian mereka tetap membeli dengan jumlah yang sama seperti biasanya? 253. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya enggak, menurun. Biasanya beli 3kg, 5kg, belinya 2kg. 28
254. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA 2kg? 255. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya. 256. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA ada?
Kalau konsumen yang ... pembeli yang ibu-ibu rumah tangga juga
257. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ada, cuma ya dikit ¼kg. 258. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Oh, jadi mereka hanya beli ¼kg? 259. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya, ¼kg. 260. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Apakah karena masalah harga atau masalah apa? 261. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya mungkin masalah harga naik. 262. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Masalah harga. 263. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya. 264. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kemudian bumbu-bumbu dapur, Saksi juga jual?
29
265. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Bumbu itu kemiri, lada, bawang putih. 266. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Kemiri, lada? 267. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Bawang putih. 268. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Oh, bawang juga jual ya? 269. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya. 270. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Untuk ... untuk bumbu-bumbu tersebut yang Saksi beli juga apakah ada informasi dari pedagang besar bahwa itu karena PPN ada kenaikan? 271. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Enggak, ya cuma naik saja karena kan biasanya 40 sekarang 45 bawang merah, bawang putih 40, tadinya 38. 272. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Akibatnya kenaikan itu kepada para pembeli seperti apa? Apakah ada akibatnya? 273. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya, enggak ... ya begitu. 274. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Biasanya mereka beli dalam ... dalam jumlah berapa?
30
275. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya tadinya kan ¼kg cuma Rp10.000,00 bawang merah, sekarang kan jadi naik Rp13.000,00. Kan otomatis protes, kok naiknya banyak? Kan naiknya Rp5.000,00/kg-nya. 276. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Jadi mereka tetap membeli dalam jumlah yang sama atau bagaimana? 277. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Enggak, menurun belinya. Jadinya belinya ¼kg, tadinya 1kg, belinya ½kg. 278. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Jadinya ngeteng ya Bu, jadi (...) 279. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Ya, jadi ngeteng. 280. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Jumlah kecil ya? 281. SAKSI DARI PEMOHON: SUMARNI Jadi kecil. 282. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Cukup, Yang Mulia. 283. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih Ibu Sumarni, silakan duduk. Ya, jadi sekali lagi terima kasih kepada Ibu Linda, Ibu Sumarni, dan Ibu Libertina yang sudah memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi ya. Baik, sekarang kita lanjutkan dengan memberi ... meminta Ahli dari Pemerintah. Dari Pemerintah siapa dulu, Prof. Gunadi atau Pak Refly Harun?
31
284. PEMERINTAH: YUNAN HILMY Pak Refly Harun, mohon izin. 285. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, saya silakan Pak Refly. 286. AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Wakil Pemerintah, dan Kuasa DPR yang terhormat kalau hadir, Pemohon Prinsipal, dan Kuasa Pemohon yang terhormat, Hadirin sekalian yang berbahagia. Sepanjang yang dapat Ahli pahami, pokok permohonan dalam permohonan ini adalah penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UndangUndang PPN (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983) yang telah diubah tiga kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), “Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan pokok.” Dan Pasal 28I ayat (2), “Hak untuk tidak didiskriminasi dan mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut.” Majelis Hakim Yang Mulia, hal ini terkait dengan penjelasan ... norma penjelasan dalam undang-undang a quo dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada disebutkan kriteria mengenai penjelasan antara lain paragraf 176 dikatakan, “Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.” Kemudian ada juga paragraf 177 dari lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, “Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencatumkan rumusan yang berisi norma.” Kemudian paragraf 178, “Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.” Kemudian ada juga pasal ... paragraf 178, “Rumusan penjelasan pasal ...,” sori. 186, “Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut. a. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh. 32
b. Tidak memperluas, mempersempit, atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh. c. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh. d. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum dan/atau, e. Tidak memuat rumusan pendelegasian.” Itu beberapa prinsip mengenai pembuatan penjelasan dalam undang-undang yang diatur dalam lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Yang Mulia. Pertanyaannya adalah apakah penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN yang dipermasalahkan dalam permohonan ini menyebabkan ketidakjelasan norma? B. Mencantumkan rumusan yang berisi norma? Ini pertanyaan-pertanyaan yang Ahli sampaikan sendiri. Memuat perubahan terselubung, bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh. Memperluas, mempersempit, atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh tersebut? Ahli tidak akan menjawabnya satu demi satu. Ahli mengakui bahwa sebaiknya semua materi dalam penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN lebih baik diintegrasikan ke dalam batang tubuh, agar tidak memunculkan keragu-raguan dan tidak ditafsirkan telah bertentangan dengan pedoman membuat penjelasan, sebagaimana tercantum dalam lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Itu pendapat Ahli, Yang Mulia. Namun faktanya, seringkali pembentuk undang-undang menilai bahwa pencantuman materi tersebut yang terlalu teknis ke dalam batang tubuh menyebabkan suatu undang-undang menjadi sangat teknis, sehingga keterangan seperti itu sering dimasukkan ke dalam penjelasan yang kemudian memunculkan debat apakah memunculkan norma baru, ada agenda terselubung atau tidak? Sepanjang pencantuman tersebut dari sisi moralitas hukum (legal morality) tidak mengandung agenda-agenda tersembunyi yang sengaja diselipkan ke dalam penjelasan, Ahli berpandangan hal tersebut masih dapat dianggap sebagai kekurangsempurnaan dalam legal drafting, sehingga tidak dapat serta-merta dianggap bertentangan dengan konstitusi. Yang Mulia, mungkin ... di sini ada, Yang Mulia ... Yang Mulia Pak Palguna. Pada tahun 2015, misalnya MK pernah menghilangkan penjelasan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat ketika kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diselipkan pembatasan bahwa yang bisa mengajukan calon kepala daerah itu hanyalah partai politik yang memiliki kursi di DPRD. Padahal normanya semua partai politik peserta pemilu bisa mengajukan, tetapi kemudian di dalam penjelasan dibatasi. Nah, kemudian dibatalkan oleh 33
Mahkamah Konstitusi. Dan Ahli melihat pada waktu itu memang ada agenda tersembunyi, ada hidden agenda dari partai-partai politik terutama yang punya kursi di DPR yang memang mayoritas untuk memang membatasi hal-hal seperti itu dan tidak dimasukan dalam batang tubuh secara klir, tetapi kemudian diselipkan di penjelasan. Nah, dari sisi legal morality, Ahli menganggap bahwa putusan tersebut benar. Tetapi dalam konteks ini paling tidak yang sepanjang Ahli dapat pahami hal-hal seperti ini memang hal-hal yang lebih bersifat technical, kecuali ada informasi lain yang kemudian menjelaskan hal-hal apa saja yang kemudian menjadi barang kebutuhan pokok yang kemudian bebas dari PPN tersebut, Yang Mulia. Bisa dibayangkan misalnya kalau pasalnya hanya terbatas pada bahwa seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, yaitu jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut, yaitu barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Tanpa penjelasan apa-apa, maka kemudian norma ini mungkin justru memunculkan pertentangan, memunculkan ketidakpastian hukum, dan potensial bertentangan dengan konstitusi. Nah, dalam hal ini menurut Ahli, penjelasan itu justru lebih menjelaskan walaupun terkesan melimitasi, makanya kemudian Ahli berpandangan bahwa mungkin di masa depan sebaiknya hal-hal seperti ini dimasukkan di dalam batang tubuh agar kemudian tidak dianggap tidak sesuai dengan pedoman membuat penjelasan dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi tidak serta-merta kemudian dianggap bertentangan dengan konstitusi karena Ahli tidak melihat ada contitutional morality di sana, melihat problem legal morality yang memang sengaja menyelipkan ketentuan ini dalam penjelasan untuk kemudian ada agenda-agenda yang tersembunyi. Namun, sepanjang ... saya … Ahli lanjutkan, Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Seandainya penjelasan tersebut tidak ada dan materi tersebut diserahkan pengaturan lebih lanjut kepada peraturan pemerintah, katakanlah tidak ada di dalam penjelasan dan kemudian undang-undang mengatakan hal selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah, apakah materi-materi tersebut dapat dicantumkan di dalam PP? Apakah penjelasan undang-undang derajatnya lebih rendah dari peraturan pemerintah? Hal ini menjadi pertanyaan kita semua. Kan sering sekali hal-hal yang tidak jelas kemudian diatur dalam peraturan pemerintah. Lalu kemudian, peraturan pemerintah mengatur beras, ubi, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya yang tidak diatur di dalam undang-undang. Apakah kemudian derajat PP bisa lebih tinggi dibandingkan penjelasan undangundang itu sendiri yang merupakan penjelasan autentik dari undangundang? Ini pertanyaan kita semua.
34
Terlebih, Yang Mulia, Pemohon menjadikan Pasal 28C ayat (1), hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar dan Pasal 28 ayat (2), hak bebas dari perlakuan diskriminatif dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Patut ditanyakan misalnya, apakah ketentuan ini telah menghilangkan atau mengurangi hak untuk mengembangkan diri melalui kebutuhan dasar? Ini juga pertanyaan bagi Ahli sendiri. Apakah kemudian adanya ketentuan ini dalam penjelasan tiba-tiba kemudian sudah menghilangkan, mengurangi, menegasikan hak konstitusional yang terdapat dalam Pasal 28C ayat (1), terutama hak Pemohon misalnya. Bahwa Pemohon kemudian tidak bisa mengembangkan diri, tidak bisa mengembangkan diri dengan memenuhi kebutuhan dasarnya karena ada ketentuan ini. Nah, ini yang menurut saya menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Menurut Ahli, sepanjang pengetahuan Ahli logika ini sangat melompat sekali. Lalu kemudian, ditanyakan juga mengenai diskriminasi misalnya. Patut ditanyakan mana yang didiskriminasi? Pemohon atau barangbarang kebutuhan pokoknya? Sepanjang pengetahuan Ahli, diskriminasi itu terhadap orang, bukan terhadap barang-barang pokok. Nah, ini terkesan seolah-olah bahwa ubi, ikan didiskriminasikan kemudian dikenakan PPN. Padahal, maksud diskriminasi ini perlakuan diskriminasi terhadap orang, baik sebagai warga negara maupun sebagai penduduk. Dan kemudian, ini ketentuan ini berlaku kepada semua orang, tidak hanya kemudian tidak berlaku kepada kelompok Pemohon misalnya, kecuali ketentuan ini hanya tidak berlaku untuk kelompok Pemohon, maka kemudian dalil diskriminasi kemudian bisa kena di sana. Nah, ini yang menurut ... apa ... menurut Ahli perlu digarisbawahi. Terakhir, kalaupun misalnya diikuti rumusan yang dimintakan Pemohon di dalam permohonannya, yaitu ingin dikatakan bahwa penjelasannya itu barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak adalah barang-barang yang berasal dari hasil pertanian dan seterusnya, sebagaimana dimaksud dalam pengertian menghasilkan dalam Pasal 1 angka 16 undang-undang ini tidak dikenai PPN, maka sesungguhnya kita sudah melakukan terjebak pada lubang yang sama. Karena kita membuat norma yang baru, ketentuan yang baru, akibat dari permohonan ini kalau seandainya permohonannya dikabulkan. Akhirnya kita juga membuat norma yang baru. Dan bahkan, Majelis Konstitusi pun akan membuat norma yang baru kalau seandainya kemudian membuat norma ini di dalam putusan-putusannya, tetapi itu semua kebijakan Hakim Yang Mulia Hakim ... Majelis Hakim Konstitusi. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.
35
287. KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Refly, silakan duduk dulu. Prof. Gunadi, saya persilakan. 288. AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Terima kasih, Yang Mulia Bapak Ketua. Paper saya ada sekitar 10 halaman, tapi kami mohon izin tidak saya baca semua, Bapak. 289. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Silakan. 290. AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Yang Mulia Bapak Ketua Majelis Hakim dan Bapak-Bapak Para Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Para Pejabat Pemerintah, Bapak Pemohon atau yang mewakili, Para Saksi dan Ahli yang kami hormati. Selamat siang, salam sejahtera bagi kita sekalian dan assalamualaikum wr. wb. Ingin kami sampaikan beberapa prinsip hukum di dalam UndangUndang PPN, Undang-Undang PPN ini semula atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, tapi kemudian ada perubahan dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994. Nah, pada saat itu terjadi suatu perubahan karakter yang mendasar secara tidak disengaja. Ini kami sampaikan prinsip dasar di dalam Undang-Undang 1983. Bapak, Ibu sekalian, beberapa prinsip dasar yang pertama adalah bahwa PPN termasuk juga pajak pertambahan ... pajak penjualan atas barang mewah merupakan pajak umum atas konsumsi. Sedangkan yang kedua, ini merupakan pajak tidak langsung. Sebagai pajak tidak langsung, dia dipungut tidak langsung kepada konsumen atau kepada pemikul beban pajak, tapi melalui pengusaha kena pajak. Dan untuk kepentingan administrasi, ya, ini tidak semua pengusaha kena pajak itu wajib memungut PPN. Jadi ada suatu batasbatasnya. Jadi batasnya adalah yang sekarang berlaku menurut PMK 197 Tahun 2013 adalah pengusaha yang omsetnya maksimum Rp4,8 miliar. Jadi kalau semua orang berbelanja kepada pengusaha yang omsetnya paling banyak Rp4,8 miliar, otomatis tidak akan dikenakan PPN apa saja. Tidak cuma PPN atas bahan pokok tadi, Pak. Jadi semua ndak dikenakan PPN. Kalau omset daripada pengusaha tadi adalah maksimal Rp4,8 miliar. Tadi kalau Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian atau masyarakat
36
berbelanja kepada pengusaha yang omsetnya di atas Rp4,8 miliar, ya tentu dikenakan pajak. Yang proporsional adalah 10%. Kemudian yang ketiga, konsumsi barang dan jasa. Kemudian yang keempat, sesuai karakternya sebagai pajak atas nilai tambah. Jadi maksudnya nilai tambah itu yang semula adalah barang-barang hasil pabrikasi saja, ini pada Undang-Undang 1983. Tapi di dalam UndangUndang 1994 Nomor 11, ini oleh para pembentuk undang-undang secara tidak sengaja atau mungkin sengaja juga. Yaitu dinyatakan bahwa prinsipnya semua barang adalah barang kena pajak, kecuali diatur lain dalam undang-undang. Maka itu kemudian muncul Pasal 4A. Jadi Pasal 4A ini munculnya di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994. Di Undang-Undang Tahun 1983 itu enggak ada karena yang dikenakan pajak hanya barang-barang yang sudah diproses, sehingga mempunyai nilai tambah. Sehingga dengan demikian sebetulnya TemanTeman Dirjen Pajak itu sejak Tahun 1994, secara tidak sadar sudah melaksanakan goods and service tax, Pak, bukan pajak pertambahan nilai lagi. Jadi sudah mengenakan pajak atas barang dan jasa. Kecuali yang diatur di Pasal 4A tadi. Kemudian yang kelima, ini terbatas pada konsumsi dalam negeri. Sehingga kalau konsumsi itu dipakai di luar negeri atau ekspor, maka dikenakan 0%, berarti dapat direstitusi PPN-nya. Kemudian, Bapak Para Hakim Yang Mulia dan Hadirin sekalian. Ini Undang-Undang 1983 itu sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 ... Tahun 1994, kemudian Undang-Undang Tahun 2000, dan terakhir Undang-Undang Tahun 2009. Oleh karena itu, di dalam paper saya kami sampaikan beberapa perubahan-perubahan. Kenapa kok terjadi demikian? Ini secara singkat yang pertama. Rumusan barang dan barang kena pajak itu pada pengertian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 telah menjadi penambahan frasa barang tidak berwujud, yang pertama. Jadi kalau semula itu hanya semua barang berwujud yang sudah diproses. Kemudian ditambah semua barang plus barang tidak berwujud. Sedangkan dalam pengertian barang kena pajak, telah terjadi penghapusan frasa sebagai hasil proses pengolahan ke pabrikasi. Selain itu penjelasan Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 menyebutkan bahwa pada dasarnya semua barang dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh undang-undang ini. Sehingga telah mengubah penjelasan Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang dimaksud bahwa BKP adalah barang sebagai hasil pabrikasi terbatas saja. Barang yang bukan berasal dari hasil pabrikasi, misalnya barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan hasil agraria lain-lainnya yang tidak (suara tidak terdengar jelas) lebih lanjut, itu semula tidak termasuk barang kena pajak. Jadi pada saat itu bebas, tidak dikenakan pajak semuanya. Artinya, telah terjadi perubahan 37
substansi barang kena pajak dari semula hanya terbatas pada barang hasil pengolahan, sehingga terdapat unsur nilai tambah menjadi semua jenis barang, tanpa perhatikan unsur nilai tambah, termasuk barang hasil pertanian dan lain sebagainya, serta barang tidak berwujud dapat menjadi BKP. Apakah suatu barang atau tidak kena pajak? Bukan ditentukan berdasar adanya nilai tambah karena proses pengolahan. Namun, harus berdasar ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Akibatnya (suara tidak terdengar jelas) sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994. Walaupun labelnya masih value detects, namun substansi struktur objeknya telah beralih ke goods and service tax karena pada prinsipnya semua barang kena pajak kecuali ditentukan lain di dalam undang-undang. Secara legal, konsep PPN merupakan pajak atas nilai tambah dari barang dan jasa, sedang JST merupakan pemajakan atas barang dan jasa tanpa memperhatikan adanya unsur nilai tambah walaupun teknisnya sama dengan pajak pertambahan nilai. Yang kedua. Di dalam istilah pengusaha dan menghasilkan, atas istilah pengusaha dari pengertian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 frasa lingkungan perusahaan atau pekerjaannya telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 menjadi kegiatan usaha atau pekerjaannya. Sedangkan dalam pengertian menghasilkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Nomor 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 telah menghapus frasa yang tidak termasuk dalam pengertian menghasilkan dan seterusnya. Penggantian frasa perusahaan dengan kegiatan usaha mungkin untuk mendapatkan idiom usaha dan pekerjaan. Sementara itu, penghilangan pengecualian dari menghasilkan ingin mendukung dan memperluas objek pemajakan atas semua barang termasuk barang hasil pertanian dan sejenisnya yang dipetik atau diambil langsung dari sumbernya tanpa pemrosesan. Penentuan barang apa saja yang tidak dikenakan pajak, diatur dalam undang-undang yaitu dalam Pasal 4A. Kemudian, ketentuan Pasal 4 huruf a tentang Objek Pajak dan penjelasannya frasa PPN dikenakan
atas penyerahan BKP yang dilakukan di daerah kepabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh pengusaha dengan
beberapa rincian, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982 telah diganti dengan frasa pajak pertambahan ini dikenakan atas penyerahan
BKP atas penerimaan barang kena pajak di dalam daerah kepabean yang dilakukan pengusaha sehingga rumusannya lebih sederhana dan efisien
dengan menjadikan mereka BKP semuanya kecuali diatur lain oleh undang-undang.
38
Pengecualian ini telah diatur dalam Pasal 1 huruf k UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 yang menyatakan, “Tidak termasuk dalam pengertian pengusaha kena pajak adalah pengusaha kecil yang batasan dan ukurannya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.” Pengecualian dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2012 dipertahankan dalam Pasal 3A ayat (1). Dalam PMK 1997, PMK/PMK.03/2013 ukuran pengusaha kecil yang dikecualikan dari BKP adalah mereka yang omsetnya setahun tidak lebih dari Rp4,8miliar. Akibatnya, semua pembelian barang kebutuhan pokok selain 11 jenis yang tersebut dalam penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b dari pengusaha yang bukan pengusaha kena pajak dibebaskan dari pajak pertambahan nilai. Sebagai pajak tidak langsung, pajak pertambahan nilai ini atas semua barang kebutuhan pokok dapat dihindari dengan belanja pada pengusaha non-BKP yang umumnya adalah UMKM. Dengan demikian, konsumen ikut membesarkan UMKM menjadi usaha menengah ke atas sehingga tidak lagi menjadi usaha mini dan kecil. Mereka berkembang menjadi usaha menengah ke atas, syukur menjadi perusahaan multinasional. Yang keempat. Ketentuan barang yang dikecualikan dari pajak yaitu Pasal 4A ayat (2) huruf b dan penjelasannya. Dengan menambahkan Pasal 4A dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, secara legal struktural dan teknis telah mengubah substansi objek pajak pertambahan nilai menjadi goods and service tax (JSD). Perubahan itu nampak dari penggantian pembatasan BKP hanya pada barang hasil proses pabrikasi yang ada nilai tambahnya menjadi semua barang adalah barang kena pajak selain yang tidak dikenakan pajak berdasarkan undang-undang dengan penetapan dalam peraturan Pemerintah. Sejak 1995, sebetulnya perumus undang-undang telah menyuntikkan objek pajak JSD pada Undang-Undang PPN sehingga semua barang dan jasa pada prinsipnya merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak kecuali dibebaskan dari pajak oleh undang-undang dengan penetapan dalam peraturan Pemerintah. Pasal 4A ayat (2) huruf B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang berbunyi, “Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut, antara lain barangbarang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.” Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam ayat ini adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium. Jika penjelasan ini disandingkan dengan batang tubuh Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, maka frasa dalam penjelasan adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium. Atau hanya 7 jenis 39
barang dapat dianggap membatasi frasa batang tubuh, yaitu barangbarang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Sementara itu, penggantian Pasal 4A huruf … ayat (2) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000 dengan Pasal 4A ayat (2) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009 dengan menyisipkan kata-kata adalah barang-barang tertentu dalam rumusan jenis barang yang tidak dikenakan PPN dalam kelompok barang, menjadikan rumusan penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang disebut 11 jenis barang kebutuhan pokok sebagai penjelasan Batang Tubuh Pasal 4A ayat (2) huruf b yang berbunyi, “Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Penambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak tidak dapat dianggap membatasi kewenangan bunyi batang tubuh undangundang.” Karena 11 jenis itu menjelaskan frasa barang tertentu dalam kelompok kebutuhan pokok. Selain mengubah beberapa ketentuan di atas, agar barang hasil pertanian dan sejenisnya murah, terjangkau rakyat banyak, berdasar Pasal 16B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, “Atas impor dan/atau penyerahan dalam negeri barang kena pajak strategis berupa hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, dibebaskan dari PPN.” Jadi, dalam PP ini bebas dari PPN. Namun, pada 25 Februari 2014, terbit Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 yang mengabulkan permohonan uji materi atas beberapa ketentuan dalam PP Nomor 31 Tahun 2007 (suara tidak terdengar jelas) Indonesia. Sejak 23 Juli 2014, putusan tersebut telah mulai berlaku. Dan untuk itu, telah diterbitkan oleh Dirjen Pajak dan Surat Edaran Nomor 24/PJ Tahun 2014 pada 25 Juli 2014. Amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 1 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa barang kena pajak tertentu yang berstrategis adalah hasil pertanian dan seterusnya yang dibebaskan dari PPN, ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum. Akibatnya, atas impor dan penyerahan dalam negeri, barang kena pajak hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan terhutang PPN karena putusan Mahkamah Agung tersebut. Bapak Ketua dan Para Anggota Majelis Hakim, para Hadirin yang kami hormati. Berdasarkan hal tersebut di atas dan pendapat Para Ahli lainnya, sehubungan dengan uji materi atas norma penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945, dapat kami sampaikan beberapa pendapat sebagai berikut.
40
Yang pertama, ketentuan Pasal 4A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2000 diperlukan untuk memberikan keringanan atas beberapa kelompok barang kebutuhan dasar rakyat banyak. Karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2004 sudah mengubah substansi Pajak Pertambahan Nilai menjadi goods and service tax. Dengan asumsi bahwa semua barang adalah kena pajak. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1993 hanya terbatas barang hasil pabrikan saja. Ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN menyatakan, “Jenis barang yang tidak kena pajak adalah barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak pengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, sebagaimana dimaksud Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.” Demikian pula agar setiap orang (suara tidak terdengar jelas) perlakuan nondiskriminasi atas dasar apa pun, termasuk dalam perpajakan, sebagaimana disebut dalam Pasal 28I ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945, maka pembebasan PPN atas barang tertentu kelompok kebutuhan pokok berlaku untuk semua warga tanpa kecuali. Perlakuan nondiskriminasi ini juga terdapat dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) yang menyatakan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua wajib pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan perbaikan teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan, kalau mereka berbelanja pada pengusaha … bukan pengusaha kena pajak, juga bebas dari Pajak Pertambahan Nilai atas semua barang, termasuk barang kebutuhan pokok. Dengan demikian, ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan penjelasannya adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang kedua, penyebutan 11 jenis barang pada kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dalam penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b dimaksudkan untuk menjelaskan frasa adalah barang tertentu dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dalam norma hukum, ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Karena itu penyebutan 11 jenis barang kebutuhan pokok, sebagai penjelasan kata tentu adalah sesuai dan tidak dapat dianggap sebagai membatasi norma hukum ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN. Dan di dalam (suara tidak terdengar jelas) kini untuk menerapkannya suatu undang-undang diperlukan suatu definisi operasional. Jadi kayak 11 ini termasuk bagian dari definisi operasional, sehingga di dalam pelaksanaanya itu dapat diketahui dengan pasti. 41
Nampaknya yang justru membatasi norma hukum ketentuan batang tubuh Pasal 4A ayat (2) huruf b adalah penjelasan … adalah penjelasannnya dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Karena batasi dengan hanya tujuh jenis barang kebutuhan pokok saja, walaupun dalam batang tubuh tidak ada indikasi pembatasan seperti kata tertentu. Namun, pemerintah telah berusaha mengeliminasi batasan ini dengan menerbitkan PP Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2007. Sayangnya Putusan MA Nomor 70P/HUM/2013 tanggal 25 (suara tidak terdengar jelas) 2012 membatalkan pemberlakuan PP dimaksud. Yang ketiga. Dalam politik perpajakan, pemungutan pajak didesain agar tidak menghambat kehidupan ekonomi masyarakat, perancangan produksi dan perdagangan, pencapaian kebahagiaan rakyat, dan kepentingan umum. Selain itu, untuk mengurangi regresivitas pajak bertambah nilai atas penghasilan, kebijakan PPN memilah tiga kelompok tarif pajak berdasar tipe barang, apakah kebutuhan primer, sekunder, atau tersier. Atas barang primer dapat dibebaskan atau kena tarif rendah, barang sekunder kena tarif standar, sedangkan barang tersier kena tarif tinggi atau tarif standar ditambah dengan pajak penjualan atas barang mewah. Seberapa banyak barang primer yang dapat dibebaskan dari PPN? Umumnya tergantung kepada kebijakan fiskal pemerintah. Dengan kurang optimalnya kinerja pemerimaan pajak seperti yang disampaikan Saudara Yustinus Prastowo pada 18 Juli 2016 dengan indikator tax rasio stagnan sekitar 12%, maka terjadi suatu upaya untuk ke … pembatasan batasan barang non BKP. Data lain menyebut bahwa capaian penilaian 2015 sebesar 73,8% tax rasio PPN=3,56%, padahal rasio minimal seharusnya adalah 4%. Supaya kinerja PPN Indonesia sekitar 65% ini apa … lebih dari rendah dari Thailand dan Vietnam yang 90%, dan capaian penerimaan 2016 sampai saat ini sekitar 34%. Dan semoga dengan adanya tax amnesty ke depan ini dapat mendorong kinerja perpajakan (suara tidak terdengar jelas) agar penerimaan lebih tinggi lagi. Yang keempat, salah satu tujuan negara kita adalah meningkatkan kesejahteraan umum. Untuk itu pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan bagi rakyat banyak merupakan salah satu prioritas program kerja pemerintah. Pelaksanaan program tersebut memerlukan dana termasuk dari pajak dan/atau pengorbanan penerimaan pajak dalam bentuk kebijakan supply side policy, yaitu penyediaan insentif pajak pada produsen agar memproduksi lebih banyak, sehingga harganya murah atau demand side policy berupa (suara tidak terdengar jelas) PPN pada konsumen sehingga harganya terjangkau. Peningkatan kebutuhan layanan jasa pemerintahan dan biaya pembangunan mendorong pemerintah berusaha keras dapat keluar dari 42
stagnasi tax rasio 12% dan meningkatkan menerimaan PPN dari 3,56% guna mencapai level minimal rata internasional 4%. Seberapa banyak jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat? Banyak yang dapat disebut dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 merupakan sebagian dari kebijakan fiskal. Akibatnya tanpa mendapat tambahan objek PPN lainnya yang produktif menghasilkan tambahan penerimaan lebih banyak karena tidak bertentangan dengan norma hukum, batang tubuh Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka tidak mudah merubah penjelasannya tanpa reformasi pajak dengan pertimbangan seksama. Sekian Bapak Ketua dan Bapak-Bapak Hakim sekalian yang dapat kami sampaikan. Assalamualaikum wr. wb. 291. KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumussalam wr. wb. Terima kasih, Prof Gunadi. Silakan duduk. Berikutnya dari Pemerintah, apa ada yang akan dimintakan penjelasan lebih lanjut? 292. PEMERINTAH: YUNAN HILMY Cukup, Yang Mulia. 293. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, baik. Dari Pemohon? 294. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ada, Yang Mulia. 295. KETUA: ARIEF HIDAYAT Supaya yang efisien, satu, dua orang saja, tidak perlu semuanya, disampaikan ke yang lain, supaya bisa disampaikan. Untuk Ahli, tolong dikompilasi dulu baru dijawab. Silakan. 296. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Pertanyaan kepada Bapak Ahli Refly Harun, tadi dikatakan bahwa kriteria penjelasan itu seharusnya merupakan tafsir resmi pembentuk undang-undang. Kemudian tadi pokok-pokok permohonan uji materiil kami pada Mahkamah Konstitusi kali ini adalah Pasal 4A ayat (2) huruf b 43
Undang-Undang PPN perubahan ketiga. Pertanyaan saya adalah menurut Ahli apakah Pasal 4A ayat (2) huruf b tersebut, Undang-Undang PPN, yang bunyinya, “Barang kebutuhan Pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak tidak dikenai PPN,” apakah kata-kata barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak ini sudah jelas apa saja barang itu, apabila tidak ada … tidak diuraikan dalam penjelasan. Kemudian, tadi Ahli katakan bahwa penjelasan atau uraian dari batang tubuh itu tidak boleh dijabarkan dalam PP. Seandainya penjelasan … tadi dikatakan apabila permohonan kami itu tidak boleh dikabulkan dalam penjelasan … penjelasan dari Pasal 4A yang menurut … Pasal 4A ayat (2) yang menurut kami kurang jelas itu apabila tidak boleh dijelaskan dalam penjelasan, tadi Ahli katakan juga tidak boleh dijabarkan dalam peraturan pelaksanaan. Kalau begitu menurut Ahli harus dijabarkan di mana, ya? Yang ketiga, penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN di situ menjabarkan bahwa barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak hanya ada 11 item … 11 jenis barang. Apakah menurut Ahli ini merupakan suatu tafsir yang mempersempit frasa barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak. Apakah betul bahwa bangsa Indonesia kebutuhan pokoknya hanya 11 item ini? Untuk Ahli Prof. Gunadi yang pertama ini saya agak pelan-pelan karena ini harus … harus sangat clear ya, sangat jelas, ya. PPN itu adalah pajak atas konsumsi. Betul ya, Prof? Kemudian, pajak … pajak atas konsumsi ini dibebankan pada konsumen, artinya bukan bergantung kepada siapa pemungutnya, siapa pedagangnya, tetapi dia adalah pajak yang dibebankan pada … pajak atas konsumsi, artinya dibebankan pada barangnya ya, pada objeknya. Kita tahu bahwa bahan pangan kita, komoditi pangan di Indonesia itu ada rantai distribusi yang sangat panjang, ya. Saya sangat … saya sangat mengagumi pendapat Profesor yang bahwa oke kita harus memajukan UKM. Saya setuju memajukan UKM, tetapi buat saya yang tinggal di kota besar di ibu kota Jakarta adalah tidak mungkin apabila saya mau membeli ikan, saya beli dari penangkapnya langsung, atau saya mau beli kacang, saya harus cari petani kacang, itu adalah mustahil, ya. Jadi, kita tahu bahwa komoditi itu ada rantai distribusi yang sangat panjang, mulai dari petani atau nelayan ke pengepul, pengepul ke distributor besar, distributor besar ke pedagang besar, pedagang besar kemudian akan jual lagi ke pedagang yang tingkat mungkin tingkat pasar, tingkat pasar akan jual lagi ke warung-warung, konsumen akan beli dari warung atau dari pasar, atau dari supermarket. Jadi, pertanyaan saya adalah yang tadi Profesor katakan Rp4,8 miliar batas pengusaha kena pajak ya, itu kan, adalah pemungutnya bukan atas barangnya, tetapi siapa yang memungut dan bertanggung jawab menyetorkan PPN tersebut. Tetapi dalam rantai distribusi yang 44
panjang ini dimana ada distributor besar, pedagang besar, kemudian PPN ini dibebankan pada konsumen akhir … pada konsumen, apakah mungkin di kota besar orang membeli komoditi itu bisa bebas PPN dengan rantai distribusi yang seperti ini? Dan apakah PPN itu bergantung pada kalau tidak ada pengusaha kena pajak, tidak ada PKP-nya, apakah PPN ini akan menjadi tidak usah bayar, tidak ada PPN sama sekali? Sedangkan tadi definisi PPN adalah pajak atas konsumsi yang dibebankan pada konsumen. Yang kedua, seperti dijelaskan oleh Ahli Bapak Yustinus, ada pergeseran PPN, pergeseran pengaturan PPN di dalam undang-undang … Undang-Undang PPN ini kan, tiga kali perubahan. Yang pertama adalah tahun 1983 Nomor 8, di situ definisi … terdapat definisi bahwa objek PPN barang kena pajak adalah barang sebagai hasil proses pengolahan. Kemudian, dijelaskan dalam Pasal 1 butir m, “Menghasilkan adalah kegiatan mengolah menjadi barang baru.” Itulah objek PPN sudah diolah menjadi barang baru dan di situ dikatakan dengan tegas bahwa tidak termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah menanam, memetik, mengeringkan, menggarami, menangkap, memelihara ikan antara lainnya. Kemudian, terjadi pergeseran pada saat undang-undang itu diubah, perubahan pertama, kedua, ketiga. Pada perubahan ketiga, pengecualian pengertian menghasilkan, yang kata-kata menanam, memetik, menggarami, mengeringkan, menangkap, memelihara ikan, itu hilang. Di mana kemudian diubah menjadi fasilitas pemerintah atas hasil dari menanam, menangkap ikan tadi, pertanian, perkebunan, diubah menjadi barang strategis yang kemudian dijabarkan dalam PP. Diubah menjadi barang strategis, di mana di situ dikatakan, “Barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan itu tidak dikenakan PPN.” Pergesaran dari undang-undang menjadi diatur di PP. Berarti, saya menangkap bahwa Pemerintah sejak awal, pada dasarnya sebenarnya membebaskan tangan rakyat dari PPN. Permasalahannya adalah kemudian PP itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dengan judicial review, dibatalkan tadi Ahli sebutkan 23 Juli 2014 PP tersebut ketentuan tentang Pertanian. Hasil pertanian, perkebunan, perikanan itu dibatalkan dari bebas PPN menjadi kena PPN. Ya, nah kemudian, dengan dibatalkan tersebut, tadinya barang yang bebas PPN menjadi kemudian terpaksa kita harus mengacu ke Pasal 4A penjelasan. Di situ disebut, “Barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak.” Di penjelasan disebutkan hanya ada 11 item. Menurut Ahli, samakah ya perluasan ... samakah definisi PPN, di konsep awal Undang-Undang Tahun 1983 Pertanian, Perkebunan, Perikanan Bebas PPN, dengan menjadi hanya 11 item yang bebas PPN? Pertanyaan ketiga (...)
45
297. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya agak dipercepat, Pemohon. 298. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Ya, Saudara Ahli. Apa dasar ... apa dasar Pemerintah menetapkan hanya 11 item ini dalam penjelasan sebagai barang kebutuhan pokok rakyat banyak? Mengapa hanya ada 11? Apa dasar pertimbangannya? Apa dasar untuk memutuskan 11 ini? Yang keempat. Apakah benar bahwa Pemerintah baru-baru ini telah membebaskan PPN barang mewah? Atas fashion mewah dan properti mewah? Kemudian, dengan kondisi negara-negara lain yang begitu banyak yang membebaskan PPN, ya, kemarin menurut Ahli itu ada Filipina, sori, maaf, saya lihat data. Filipina, Malaysia, India, Maroko, Gana, Singapore bahkan membebaskan PPN pangan bagi rakyatnya. Bagaimana sikap Pemerintah Indonesia? Apakah juga layak, menurut Ahli ya apakah juga layak PPN ini juga dibebaskan untuk Negara Indonesia yang mayoritas masih di bawah garis kemiskinan? Menurut Ahli, dengan dibatalkannya pasal ... dengan dibatalkannya PP pembebasan barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, tersebut oleh Mahkamah Agung dari ketentuan bebas PPN, apakah ada saran atau usul dari Ahli, sebagai Ahli undang-undang? Cukup dari saya, Rekan saya akan melanjutkan. 299. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, dipersingkat ya. 300. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Ya. 301. KETUA: ARIEF HIDAYAT Jadi tadi itu ada statement mayoritas penduduk Indonesia di bawah garis kemiskinan, itu enggak benar itu. Ha? Pemohon apa juga termasuk di garis bawah garis kemiskinan? 302. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA 2014.
Itu data, mohon maaf, Majelis, itu data dari Bank Dunia tahun
46
303. KETUA: ARIEF HIDAYAT Enggak, yang mayoritas, yang mayoritasnya itu berapa? 304. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Itu 60, ... 60 koma sekian persen. 305. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, padahal kan statement Pemerintah kan hanya sekitar 30.000.000 kan? Penduduk Indonesia 250.000.000. 306. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Itu persepsi dari (...) 307. KETUA: ARIEF HIDAYAT Jadi hati-hati (...) 308. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Itu persepsi dari income ... persepsi dari income per kapita dalam US dollarnya, Yang Mulia. 309. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan, Saudara harus hati-hati. 310. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Tapi data yang kami gunakan ... data yang kami gunakan adalah data Bank Dunia. 311. KETUA: ARIEF HIDAYAT He em, nanti Pemerintah bisa protes itu. Kok yang garis kemisikinan bisa sebanyak itu? Ya, silakan yang fokus dan singkat. 312. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTU BRAVO TIMOTI Baik, terima kasih. Kepada Ahli Bapak Refly Harun. Tadi Bapak menyatakan bahwa sepanjang penjelasan dan norma, tidak … tidak mengandung hiden 47
agenda atau bertentangan dengan legal molarity, maka kemudian penjelasan yang dianggap sedikit bermasalah dengan norma di batang tubuhnya bisa dimaklumi, hanya sebatas kepada kesalahan dalam legal drafting process-nya. Yang mau saya tanyakan adalah ukuran dan kriteria, kemudian suatu peraturan perundang-undangan itu dikatakan hidden ... mengandung hidden agenda dan bertentangan dengan legal morality itu apa? Itu yang pertama. Yang kedua. Saya ingin kemudian menanyakan pendapat Ahli. Ketika kemudian pemerintah menetapkan sebuah peraturan yang seolaholah tidak diskriminasi tetapi kemudian membatasi akses masyarakat lain untuk mengakses pangan yang sehari-hari dia akses seperti itu, apakah itu tidak dikatakan diskriminasi? Misalnya begini, mohon maaf sebelumnya. Saya Putu, orang Bali, untuk mengkonsumsi beras dan daging, pemerintah tidak mengenakan PPN, tetapi rekan saya Emanuel yang dari Sorong Papua situ, ketika dia ingin mengkonsumsi ubi dan ikan oleh peraturan yang sama, pemerintah membebankan PPN atas konsumsi yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Kemudian bagaimana kaitannya itu dengan pemenuhan hak atas pangan terhadap masyarakat? Lalu yang berikutnya saya tanyakan. Apakah bisa hak konstitusionalitas yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kepada undang-undang, seperti terkait pajak ini, kemudian dilemparkan begitu saja kepada peraturan pemerintah? Kaitannya dengan Pasal 16B yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung yang notabene kemudian ini malah diajukan oleh pengusaha sawit, yang kemudian membatalkan semua kebutuhan pangan masyarakat, termasuk apa yang dikonsumsi oleh Saksi-Saksi saya seperti itu. Terima kasih, Yang Mulia. 313. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, silakan, Pak Prof. Refly. Kemudian Prof. Gunadi. 314. AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih juga kepada Kuasa Pemohon atas pertanyaan-pertanyaannya. Pertanyaan pertama mengenai ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN, mengenai barang kebutuhan pokok tersebut. Kalau kita bacakan misalnya … bunyinya, “Jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut. B. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.” Tidak ada penjelasan yang lain. Menurut saya justru ini akan bertentangan dengan konstitusi karena memunculkan ketidakpastian hukum.
48
Apa yang dimaksud dengan barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak itu sendiri kan sangat susah sekali. Kemudian kalau tidak ada penjelasan lebih lanjut di dalam peraturan perundangundangannya. Nanti orang mengatakan, “Sagu itu kebutuhan pokok,” tetapi tempat lain mengatakan, “Tidak, kami tidak butuh kebutuhan pokok yang seperti itu.” Nah. Karena itu kemudian pastilah ketentuan ini harus diikuti dengan norma atau ketentuan yang lain. Perkara kemudian itu ditempatkan di batang tubuh sebagai pasal atau ayat berikutnya dan kemudian penjelasan, ini soal yang kemudian kita diskusikan dalam kesempatan ini. Itu jawaban atas pertanyaan pertama. Yang pertanyaan kedua adalah soal PP tadi. Saya sebenarnya hipotetis, hipotetis mengatakan kalau seandainya penjelasan itu dibatalkan karena dianggap misalnya memunculkan norma baru, dianggap melakukan limitasi terhadap ketentuan yang sudah dimuat di dalam batang tubuh, maka kemudian misalnya katakanlah ditiadakan. Pertanyaannya adalah tadi pasalnya sendiri sudah tidak ... belum jelas apa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dan kemudian rakyat banyak itu seperti apa, apa kriterianya. Lalu pertanyaannya adalah apakah hal seperti ini kemudian harus diatur di PP? Harusnya memang seperti itu, cuma pertanyaannya adalah mengapa PP merasa lebih berhak ketimbang penjelasan undang-undang, apakah kemudian norma di PP itu lebih tinggi dibandingkan norma dalam penjelasan undangundang? Nah, ini ... ini justru saya ingin membawa kita semua berpikir karena kadang-kadang memang sering sekali penjelasan itu karena alasan-alasan legal drafting yang dibuat di dalam lampiran UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 dihilangkan karena ada ketentuanketentuan sebagai berikut. Misalnya, tidak memunculkan norma baru, tidak (suara tidak terdengar jelas), dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita dan saya kira apa ... Yang Mulia, tahu betul. PP itu banyak sekali membuat norma baru, membuat ketentuan baru. Bahkan kadang-kadang membuat hal-hal baru yang tidak diatur di undang-undang, makanya kemudian kadang-kadang sering sekali, sudahlah perdebatannya di undang-undang dihindari tapi kemudian PP-nya yang kemudian betul-betul digarap, agar kemudian atas pembatasan-pembatasan. Nah, ini yang ... yang saya ingin hipotetis sifatnya. Jadi kalau misalnya penjelasan dibatalkan, apakah kita atur dalam PP. Kalau dalam atur ... diatur dalam PP, berarti tidak ada representasi lagi karena PP kan semata-mata produk dari eksekutif. Kalau penjelasan karena dia part of undang-undang, paling tidak ada representasinya, begitu. Jadi dibuat join power antara eksekutif dan legislatif. Kemudian yang ketiga mengenai apakah 11 item itu? Saya tidak tahu karena saya bukan Ahli kebutuhan pokok. Apakah memang 11 item itu yang menjadi kebutuhan pokok rakyat di Republik Indonesia itu? 49
Tetapi dari sisi legal drafting pasal ini pasti membutuhkan keterangan tambahan, apakah keterangan tambahannya di batang tubuh, di ayat atau pasal berikutnya, apakah kemudian keterangan tambahannya di penjelasan, ataukah keterangan tambahannya didelegasikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat bawah seperti PP atau perpres misalnya. Tetapi norma ini pasti harus ada keterangan tambahannya karena norma ini norma yang belum jelas, norma yang belum konkret, hanya mengatakan bahwa kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak tidak dikenai PPN. Tetapi apa itu kebutuhan pokok? Sejauh mana dia menjadi kebutuhan rakyat banyak? Kan, hal yang menurut saya masih belum jelas kalau kita bicara bahwa norma suatu undang-undang harus jangan menimbulkan keragu-raguan, harus konkret. Kemudian berikutnya adalah saya tadi mengatakan perdebatan mengenai penjelasan ini sering sekali di Mahkamah Konstitusi dan kadang-kadang saya pahami Mahkamah Konstitusi juga strict, dimulai dari penghapusan norma di tahun 2015 itu yang tiba-tiba di dalam penjelasannya mengatakan yang bisa mengajukan nominasi kandidat kepala daerah itu hanyalah partai politik yang punya kursi, padahal di situ dikatakan, “Bisa diajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik dalam batang tubuhnya,” tapi tiba-tiba diselipkan hanya yang punya kursi. Nah, ini dari sisi legal morality saya menganggap ada hidden agendanya, yaitu hidden agenda partai-partai mayoritas yang menguasai parlemen yang biasanya juga menguasai parlemen di daerah karena itulah, kemudian pasal seperti ini dari sisi moralitas saya menganggap bahwa harusnya memang dibatalkan karena membuat sebuah aturan yang memang sengaja diselundupkan, dihindari di perdebatan di batang tubuhnya, tapi kemudian dimasukkan di dalam penjelasan. Tetapi saya memiliki kekurangan informasi mengenai pasal ini, apakah 11 kebutuhan pokok ini ada hidden agendanya dan bukan tugas saya untuk membuktikan adakah hidden agenda dari 11 komoditi tersebut, kan itu tugas Pemohon. Kalau Pemohon misalnya menganggap bahwa harusnya ubi dan ikan dan lain sebagainya masuk, itu silakan Pemohon membuktikannya, tapi saya tidak memiliki informasi apa pun soal hidden agenda soal ini karena memang bukan bidang saya juga soal pangan memangan begini. Berikutnya adalah ini yang menarik memang ya, bicara mengenai diskriminasi dalam perspektif HAM mengenai akses atas pangan. Saya paham cara berpikir Pemohon mengatakan kalau penduduk A makan katakanlah daging, penduduk B makan ikan, kenapa daging yang bebas PPN, ikan tidak? Kira-kira begitu. Apakah ini kemudian diskriminasi, diskriminatif. Ini susah-susah mudah, kita harus jujur menjawabnya. Susah-susah mudah untuk mengatakan diskriminasi atau tidak, tetapi
50
cara melihat diskriminasi adalah apakah kemudian sesuatu itu diperlakukan seragam atau tidak? Kan, begitu. Kalau misalnya, kalau misalnya daging untuk kelompok masyarakat tertentu diberikan PPN, tetapi untuk masyarakat yang lainnya tidak diberikan PPN karena kebetulan masyarakat A banyak makan dagingnya, dia minta bebas PPN misalnya, saya bisa mengatakan itu diskriminatif karena pembedaan perlakuan. Tetapi kalau misalnya ikan ada PPN, daging tidak ada PPN, saya ragu-ragu mengatakan itu diskriminatif. Kalau orang eyel-eyelan dalam bahasa Jawa, ya salahnya sendiri, kenapa makan ikan, kenapa enggak makan daging, kan begitu jadinya. Tetapi itu kan, tidak menyelesaikan persoalan. Tetapi saya mengatakan … ragu untuk mengatakan itu diskriminasi karena PPN terhadap … pembebasan PPN terhadap daging itu berlaku untuk semua penduduk, berlaku untuk semua orang di Republik ini dan kemudian PPN terhadap ikan itu berlaku juga terhadap semua orang di Republik ini. Perkara pilihannya kita makan ikan atau makan daging itu free choice kita, kan kita bisa tidak makan ikan, kita bisa tidak makan daging, kadang-kadang juga kita tidak nasi karena gulanya tinggi. Jadi, itu free choice. Jadi, tidak ada persoalan bahwa karena kemudian kita tidak bisa mengembangkan diri gara-gara saya tidak bisa makan ikan, ikan mahal, ya Anda harus memikirkan makan yang lain dan itu free choice. Kan, orang biasa sekarang sudah tidak makan nasi atau tidak makan ... tidak mengandalkan nasi dalam kehidupan sehari-hari kita, bahkan ada kampanye untuk tidak makan nasi satu hari misalnya. Kemudian diatur di PP, terakhir tadi apa, ya? Oh, yang soal-soal seperti ini apakah bisa diatur di PP? Ya, saya sudah jawab tadi, memang sering sekali PP itu ... apa ... banyak penumpang gelapnya, banyak sekali hal-hal yang kemudian dihindari dalam perdebatan dalam membuat norma undang-undang di DPR antara … baik fraksi di DPR maupun dengan Pemerintah, sehingga sudahlah, kita enggak usah berdebat, nanti diatur saja di PP, diatur di PP. Maka semakin banyak suatu norma undang-undang mendelegasikan dalam pembuatan PP-nya, maka semakin bebas, makin besar kekuasaan eksekutif untuk menentukan isi undang-undang karena kan, tanpa representasi lagi, Pemerintah kemudian bisa membuat apa saja di PP tersebut kalau seandainya makin banyak kemudian itu didelegasikan. Nah, kalau kita pakai teori representasi, harusnya kita lebih bahagia kalau ketentuan itu dimuat di undang-undangnya sehingga nanti PP kemudian tidak ... apa ... membuat hal-hal baru atau membatasi atau membuat hidden-hidden agenda lainnya. Saya kira itu, terima kasih. 315. KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Prof. 51
316. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Mohon izin, Yang Mulia. Tadi pertanyaan satu belum dijawab yang apakah ketentuan penjelasan yang 11 item itu mempersempit batang tubuh yang barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak. 317. AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Ya. Saya ingin mengatakan itu jelas mempersempit. Tetapi, apakah bahasanya kita harus positif atau negatif, begitu? Karena begini, kata di batang tubuhnya sendiri itu sangat luas sekali. Kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak. Tadi saya katakan ini harus dilimitasi, harus dijelaskan lebih lanjut, tidak mungkin kemudian pasal ini menggantung begitu saja, kan begitu? Nah, persoalannya adalah kita bicara penempatan. Saya mengatakan mungkin sebaiknya penempatannya di batang tubuh itu sendiri sebagai kesempurnaan legal drafting, tapi kalaupun kemudian di penjelasan, saya mengatakan grading penjelasan lebih tinggi daripada PP bahkan. Karena kemudian kalau ini tidak ada soal legal morality-nya, tidak ada hidden agent, dan lain sebagainya, saya menganggap masih justified. Karena mungkin tidak sempurna dari sisi legal draftingnya menurut perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi tidak serta-merta dianggap bertentangan dengan konstitusi. Karena tidak ada soal-soal konstitusionalitas yang barangkali bisa diketengahkan bahwa 11 bahan pokok yang dimuat dalam penjelasan tersebut kemudian sudah melanggar hak-hak konstitusional tertentu, begitu. 318. KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Prof. 319. AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Terima kasih, Pak Yang Mulia Bapak Ketua. Kami ingin menyampaikan jawaban atas beberapa pertanyaan. Yang pertama, PPN itu dikenakan ya, atas konsumsi barang tanpa melihat panjang/pendeknya suatu jalur dari produksi sampai distribusi, tapi dengan tarif 10%, begitu. Ya, kembali ya, kita ingin melihat mana, terserah kepada kita sekalian, seperti Pak Refly tadi sampaikan, itu kan suatu meter of choice, gitu. Kalau kita mungkin punya rejeki yang banyak, ya kita ambil yang jalur panjang, ya alhamdulillah gitu. Tapi kalau mungkin kita ingin rasional, kan kita pilih jalur-jalur yang pendek, gitu. Kemudian kalau di Jakarta ini, apakah mungkin ... apa kita bisa berbelanja ke … apa ... ke non-PKP, ya? Jadi ini, di PPN ini sebagai pajak 52
tidak langsung, dia dipungut melalui suatu perantara. Jadi perantara ini namanya adalah Pengusaha Kena Pajak, jadi yang mungut adalah Pengusaha Kena Pajak. Jadi ya, amat jarang ya, jadi pajak ini dibuat ... Undang-Undang Pajak dibuat untuk tidak dapat dilaksanakan itu jarang. Jadi kalau dia PPN ini diperoleh melalui PKP ya, tentu di suatu negara ada suatu PKP-nya. PKP ini kan tergantung pada suatu policy suatu negara. Jadi seberapa banyak orang yang ingin diadministrasikan di dalam administrasi pajak. Jadi kalau misalnya ingin mengadministrasikan sebanyak-banyak mungkin, ya, threshold-nya kita rendahkan, bukan 4,8 tapi barangkali cukup ke 100 juta begitu, sehingga nanti Pengusaha Kena Pajak jadi banyak sekali begitu, ya. Kemudian di dalam rangka (suara tidak terdengar jelas) ini kan, kemudian sekarang dibuat menjadi 4,8. Sehingga Pengusaha Kena Pajaknya menjadi lebih sedikit dan sekaligus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membuat suatu v choice. Jadi, kalau Anda ingin menghindari PPN, ya silakan, belanja kepada yang non-PKP. Tapi kalau Anda ingin berkontribusi membayar PPN agar PPN-nya banyak, gitu, ya silakan, belanja hanya ke PKP saja gitu. Kalau di Jakarta ini, ya saya ndak tahu, kalau di tempat Ibu. Mungkin kalau di tempat saya, saya di Kemanggisan masih banyak itu. Saya ke pasar Tv, segala macam masih banyak yang non-PKP. Kaki lima, segala macam non-PKP juga. Kemudian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 itu diubah menjadi semacam (suara tidak terdengar jelas) itu dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994. Jadi … apa ... pengertian … apa ... mengolahnya itu kemudian dihilangkan apa ... tidak termasuk mengolahnya itu. Karena apa? Karena ya, tanpa ... mungkin tanpa disadari atau barangkali disadari saya kurang tahu persis, begitu ya. Ini kan proses dalam (suara tidak terdengar jelas) Undang-Undang DPR begitu. Jadi ingin mengubah karakter jadi Pajak atas Nilai Tambah menjadi Pajak atas Barang dan Jasa, begitu. Nah, ini terjadi pada Tahun 1994 dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, ya. Kemudian kalau terjadi … apa ... suatu pajak atas barang dan jasa, ya. Karena tadi ada … apa ... semacam (suara tidak terdengar jelas) kebutuhan-kebutuhan. Untuk kebutuhan primer ini agar tidak memberatkan pada masyarakat, tentu harus dikenakan pajak dengan tarif ringan atau dibebaskan. Karena kita hanya menganut tarif tunggal 10%, maka pilihannya dibebaskan, ya. Kemudian kalau … apa ... kalau semula ini rincian yang 11 itu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, sedangkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 itu baru 7, begitu. Kemudian ingin kami sampaikan, ya. Bahwa 11 ini adalah di dalam rangka memberikan penjelasan di dalam undang-undang disebutkan dia adalah jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai adalah barang tertentu. Nah, ini tertentunya itu ingin 53
dijelaskan dengan penjelasan, dari 7 menjadi 11. Kenapa kok 7, kok 11, kok tidak lepas saja? Barangkali ini masalah suatu policy option pada saat pembentukan undang-undang, ya. Mungkin bisa kembali karena pajak itu kan tujuan utamanya mencari penerimaan. Jadi kalau semakin banyak barang yang dibebaskan tentu imbasnya pada penerimaan, ya. Tapi kalau semakin sedikit barang yang dibebaskan ya tentu kepada rakyat si pembayar apa … pajak tadi, beban pajak tadi. Oleh karena itu, ini apa … barangkali mencari trade off antara penerimaan dengan apa … kebutuhan rakyat ini bukan barang yang mudah barangkali. Kemudian apa dasarnya pemerintah menetapkan hanya 11? Dan apa betul apa ada suatu pembebasan PPN BM ini? Karena ini pemerintah, mungkin daripada … saya bukan pemerintah jadi daripada salah nanti … ya, mohon maaf, mohon izin, Bapak Ketua untuk biar Pemerintah saja nanti saya salah jawab, dimarahi Pemerintah, gitu. Nanti merasa dikenakan pajak, itu susahnya nanti. Oh ya, detail ya, Pak, kalau undang-undang itu ya. Kemudian kalau untuk PPN atas kebutuhan pokok jadi bahan makanan, ya. Sifatnya gini, kalau misalnya di Belanda itu karena dia pajak atas nilai tambah jadi kembali. Kalau diambil dari alam dari asli itu tidak dikenakan pajak karena nilai tambah, ya. Tapi sekarang kita bergeser ke pajak atas barang dan jasa, itu. Jadi pada prinsipnya semua barang dapat dikenakan pajak kecuali dibebaskan oleh undang-undang. Oleh karenanya membutuhkan Pasal 4A itu, termasuk ayat (2) tadi. Nah, ini seberapa jumlah yang dapat dimasukkan ke penjelasan itu ya terserah kepada pembentuk undang-undang. Dan kemudian pertanyaan yang terakhir, ya. Ini atas putusan MA itu ya kalau saya sebagai apa … sebagai ya diminta pendapat dan sebagai rakyat, ya. Ini sebetulnya kan pemerintah itu di dalam undangundang itu bermaksud untuk membebaskan barang, produk-produk hasil pertanian. Yang pertama, melalui jalur Pasal 4A ayat (2), yang kedua melalui jalur Pasal 16B. Ini yang dianulir oleh Mahkamah Agung itu Pasal 16B. Oleh karena itu, barangkali kalau memang itu niat baik dari pemerintah untuk membebaskannya, barangkali nanti dalam reformasi Undang-Undang PPN barangkali bisa dipertimbangkan di sana. Jadi enggak usah pakai dua pintu tapi satu pintu saja, barangkali Pasal 4A ayat (2) huruf b itu. Mungkin diperluas itu di sana, barangkali. Itu harapan kita sebagai rakyat, gitu. Terima kasih, Pak Ketua. 320. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, dari meja Hakim? Silakan.
54
321. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Pak Ketua. Prof. Gunadi, ini menarik ini, ya. Dengan perubahan-perubahan dalam undang-undang yang … ini, ya, dari PPN … dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang PPN ini. Prof. Gunadi mengatakan, “Sesungguhnya telah terjadi perubahan dari pajak pertambahan nilai ke arah goods and service tax, barang dan jasa.” Pertanyaannya kemudian begini, Pak. Apakah dengan perubahan itu secara filosofis memang apa … ada pergeseran filosofis berarti, ya? Ada pergeseran filosofis dimana kalau saya memahami seperti yang saya sampaikan tadi. Apakah maknanya hanya seperti ini? Seperti yang Bapak jelaskan tadi? Apakah maknanya adalah bergeser bahwa pada (suara tidak terdengar jelas) pada dasarnya semua barang adalah kena pajak. Kecuali yang ditetapkan tersendiri atau lain dalam undang-undang. Apakah dengan demikian filosofinya sebenarnya meluas? Bukan sekadar ada pajak yang ada pertambahan nilainya yang kemudian dikenakan pajak tetapi pada dasarnya seluruhnya. Dengan demikian maka berarti undang-undang yang dimohonkan pengujian ini sesungguhnya memperluas cakupan barang dan jasa yang kena pajak. Dibandingkan dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sebelumnya. Apakah betul itu yang kemudian terjadi? Nah, dalam kaitan itu kemudian saya ingin menggali konstruksi hukum, konstruksi berpikir dari pembentukan undang-undang ini. Karena konstruksinya berubah dari pajak pertambahan nilai menjadi goods and service tax sehingga ya … ya sehingga akibatnya seperti yang dijelaskan tadi. Bahwa bukan hanya barang yang mengalami pertambahan nilai kemudian yang kena pajak, tetapi pada dasarnya semua barang kena pajak kecuali yang ditentukan lain dalam undang-undang. Apakah karena pergeseran itu kemudian yang menjadikan … logis, ya, saya tidak mengatakan bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar 1945. Apakah itu yang kemudian menjadikan logis bahwa penjelasan di dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian ini tidak ada … dengan tegas mencantumkan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat meliputi A, B, C, D. Bukan memberikan misalnya gambaran seperti A, B, C, D, begitu. Apakah karena logika pergeseran dari PPN ke goods and service tax itu kemudian yang menurunkan apa namanya … rumusan dalam penjelasan yang seperti ini? Yang tampaknya kemudian menjadi limitatif lalu. Karena itu tergantung pada ketentuan undang-undang. Mau memberikan berapa yang dibebaskan dari pajak? Karena kan logikanya sudah berubah dari PPN ke ini, apakah demikian? Nah, kepada Ahli Pak Dr. Refly, saya juga ingin menanyakan begini. Nah karena logikanya seperti tadi, kalau itu benar logikanya seperti itu, sekarang dari … dari perspektif … apa … katakanlah dari perspektif kesejahteraan rakyat yang menjadi salah satu tujuan Undang55
Undang Dasar Tahun 1945. Nah, apakah prinsip pergeseran dari PPN ke anu … apa … ke goods and service tax itu yang kemudian berakibat pada … apa namanya … adanya barang tertentu yang hanya dibebaskan dari pajak kalau ditentukan dalam undang-undang. Itu, Pak, apakah dipahami itu hanya semata-mata sebagai bagian dari open legal policy yang tidak bisa dipersoalkan konstitusionalitasnya? Ya, itu, Pak Ketua. Terima kasih. 322. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Saya ke Pak Prof. Gunadi, ada tambahan sedikit. Kalau yang lain sudah. Begini, beberapa kali Pemohon itu mengatakan, “Banyak negara dengan contoh-contoh negaranya itu membebaskan pajak terhadap komoditi atau barang-barang ini. Tapi kemudian, di Indonesia membebankan pajak pada komoditi ini.” Lah, dari sisi membebani pajak, itu kan, konstitusi kita mengamanatkan bahwa ini harus diatur dengan undang-undang karena harus … tadi Pak Refly juga mengatakan karena representasi, kan harus memperoleh persetujuan rakyat. Nah, filosofinya, kan berarti kalau begitu sudah benar atau salah negara lain membebani, Indonesia membebani? Tapi Indonesia di dalam konstitusi dikatakan, “Kalau membebani, berarti harus mendapat persetujuan rakyat,” kan gitu? Nah, ini gimana melalui undang-undang? Nah, ini … kalau begitu, Indonesia itu jadi benar atau salah dari teori konstitusi atau dari teori yang secara umum dikenal? Ini Prof. Gunadi dari sisi perpajakan. Terima kasih, silakan. 323. AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Terima kasih, Yang Mulia Bapak Hakim dan Bapak Ketua. Suatu kehormatan untuk menyampaikan jawaban atas pertanyaan BapakBapak yang barangkali jawabannya enggak mudah ini, Pak. Yang pertama, ingin kami sampaikan, Pak. Bahwa ini memang ada suatu pergeseran … apa … semacam pola pikir atau paradigma pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994. Jadi, semula adalah UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai, yaitu dengan objeknya adalah nilai tambah dari barang dan jasa. Ini bergeser dengan pajak atas barang dan jasa. Jadi, gini, Pak, ini kalau kita kepada masalah konseptual … jadi, kalau pajak atas nilai tambah atau PPN itu umumnya objeknya kan, terbatas karena ada suatu persyaratan, harus ada nilai tambahnya. Oleh karena itu, dalam undang-undang dibatasi pada produkproduk hasil proses pabrikasi. Jadi, yang bukan hasil proses pabrikasi itu otomatis dibebaskan ya, Pak, ya.
56
Nah kemudian, kalau bergeser kepada … apa … pada prinsipnya tadi, barang … pajak atas barang dan jasa. Jadi, semuanya pada prinsipnya barang … barang dan jasa itu kena pajak, kecuali … dikecualikan … selain yang dikecualikan dalam undang-undang. Barangkali ini, Pak, ini kita mungkin, Pak, mungkin, Pak, ya, kita hanya menduga-duga saja, ya. Ini mengikuti pola pikir dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan itu, kan menganut konsep (suara tidak terdengar jelas) comprehensive income. Nah, ini sekarang juga mungkin definisi barang kena pajak itu oleh para pembentuk undang-undang pada saat itu dibuat sekomprehensif mungkin kayak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Jadi, di sana kan, pokoknya pertambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk apa saja. Nah, tadi makanya termasuk juga Bapak sampaikan. Oleh karena itu, di dalam … di undang-undang itu ada namanya definisi konseptual dan definisi operasional itu, Pak. Jadi, misalnya kalau konseptual ini kan, di batang tubuhnya. Jadi … apa … kebutuhankebutuhan pokok yang di … yang sangat dibutukan rakyat banyak, gitu. Itu kan kalau enggak ada operasionalnya, itu (suara tidak terdengar jelas) dilaksanakan, Pak. Nanti orang-orang pajak ini, “Apa yang dibebaskan?” Itu kan enggak tahu mereka, jadi bingung dia, “Yang mana? Yang mana?” Oleh karena itu, ada suatu definisi operasional. Ini kalau dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, itu dicakup dalam satu pasal. Jadi, Pasal 4 ayat (1) huruf a. Itu ada definisi konseptual, yaitu penghasilan adalah suatu … semua tambahan kemampuan ekonomis. Ini tambahan kemampuan ekonomis itu, apa? Nah, di sana ada suatu ilustrasinya, misalnya gaji, misalnya laba, dan sebagainya. Ini dalam Undang-Undang PPN, itu dipisah. Jadi, definisi konseptualnya itu ada di undang-undang, Pak, ya. Tapi, definisi operasionalnya itu ada di penjelasan, gitu, Pak. Ya, ini jadi mungkin … ya, kita ndak tahu, mungkin ingin bervariasi barangkali. Oleh karena itu, mohon maaf. Karena konsepnya konsep komprehensif, maka di batang tubuhnya yang dikenakan pajak itu enggak terbatas jumlahnya. Tetapi yang dibebaskan itu limitative tak terbatas. Jadi, kalau misalnya Bapak Tri sampaikan ini kalau misalnya disebut itu seperti, ini kan berarti komprehensif, Pak. Jadi, komprehensif batasannya, padahal yang dimaksud komprehensif itu yang kena pajak, Pak. Karena batasannya apa … karena yang kena pajak itu komprehensif, maka yang dibebaskan itu harus limitative, Pak gitu. Karena kalau enggak limitative itu nanti akan menjadi tidak pasti, gitu. Nah, ini sebetulnya seberapa baik yang dapat didapat dicantumkan dalam penjelasan itu apakah 7, apakah 11 dari 7-11 ini kan menunjukkan ada suatu peningkatan. Jadi, sebetulnya nanti apakah mau ditambah lagi, misalnya dari suatu reformasi, ya, tergantung pada 57
barangkali situasi kejiwaan yang terdapat dalam sidang-sidang DPR, gitu, Pak. Tidak menutup kemungkinan bahwa nanti … misalnya nanti barang-barang pertanian, perikanan, apa … perkebunan mungkin muncul di dalam apa … di dalam reformasi Undang-Undang PPN, gitu nanti. Karena di dalam apa … Pasal 16B itu ada niatan pemerintah untuk membebaskan itu, tapi melalui suatu barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis, gitu Pak. Nah, ini gitu. Kemudian, dapat kami sampaikan bahwa … jadi, ini sekali lagi, Pak. Kita itu menganut single rate 10%, Pak. Kita enggak menganut radius rate atau tarif pendapatan, Pak. Ini di berbagai negara, misalnya Belanda. Belanda itu dia masih menganut BTW jadi pajak atas nilai tambah. Jadi, misalnya kayak tadi, misalnya dia kayak roti, Pak. Roti itu kalau apa … bahan gandumnya enggak kena pajak, Pak. Tapi kalau sudah menjadi makanan roti yang dimakan oleh orang itu, dia dikenakan tarif rendah, Pak. Tarif standarnya kan 20%, tapi kalau roti dikenakan 5% dan makanan-makanan pokok tadi kena 5%. Tapi kalau masih diambil asli dari apa … dari alam, itu enggak dikenakan pajak, Pak. Karena dia konsisten pada pajak atas nilai tambah, gitu. Jadi, kembali, Pak. Bahwa sebetulnya ada di dalam politik oleh perpajakan itu kan beda-beda masing-masing negara itu. Jadi, negara itu secara teori yuridisnya kan bebas untuk menentukan apa yang pas dan cocok menurut situasinya, gitu. Jadi, mungkin kita apakah kita tetap kepada konsisten atau istiqomah kepada pajak pertambahan nilai atau ini … kemudian digeser tapi digeser isinya, Pak. Jadi kalau labelnya tetap (suara tidak terdengar jelas) tabelnya, tapi isinya sudah berubah, gini. Ini barangkali sudah menjadi suatu kesepatakan bersama dia di UndangUndang Nomor 11 juga dirumuskan atas kuasa Pasal 23H. Kemudian dalam satu sidang-sidang yang resmi oleh lembaga resmi DPR tentu ini sebagai suatu undang-undang kan mengikat kita sekalian, gitu, Pak. Ini barangkali dalam apa berbagai mungkin model-model negara untuk membuat undang-undang itu kan macam-macam, Pak. Mungkin barangkali belum menambahkan dalam undang-undang ini. 324. KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Refly, silakan. 325. AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaannya berat. Berat dan pradigmatik. Jadi begini, yang saya jelaskan tadi itu teknikal sebenarnya. Jadi, soal penjelasan dan lain sebagainya soal PP itu soal teknikal. Nah, tapi yang ditanyakan Yang Mulia Hakim Konstitusi Pak Palguna itu hal yang paradigmatik, berbeda lagi. Karena itu harus masuk pada hal seperti ini. Ini kan … saya tidak membaca semua undang-undang ini, 58
tetapi kalau misalnya diterima, diterima penjelasan Prof. Gunadi bahwa sudah berubah ada shifting paradigm dari PPN ke goods and service tax tadi bahwa tadi PPN itu barang-barang tertentu diberikan pajak pertambahan nilainya. Tapi ketika dia shifting ke goods and service tax dikatakan semua barang itu kena tax (…) 326. KETUA: ARIEF HIDAYAT Kecuali. 327. AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Kecuali. Nah, ini kecuali … orang Padang, kacuali kan begitu. Kecuali a, b, c, d, dan lain sebagainya. Nah, kalau saya bahkan ini agak ngeri-ngeri sedap jadinya. Karena kan kalau kita pakai misalnya prinsip no taxation without representation, maka pernyataan semua barang bisa kena tax itu menurut saya kemudian siapa yang menentukannya? Apakah misalnya pembentuk undang-undang sebagai representasi dari masyarakat, bisa membuat blanked begitu. semua barang kena pajak, selesai. Nanti ketika orang protes, mana yang tidak kena pajak? Baru kita bikin item-item satu-satu. Maka kemudian dalam pengertian ini barangkali udara, air yang kita ambil dan lain sebagainya itu harus diterima pengertian kena pajak. Nanti petugas pajak akan menagih itu, kalau kita ambil air, kita ber apa … menghirup udara dan lain sebagiannya. Karena semuanya kena pajak. Kecuali yang disebutkan. Nah, celakanya undang-undang kan tidak menyebutkan bahwa air bebas pajak, ini bebas pajak dan lain sebagainya. Ini mohon maaf ini Pemerintah, ini cara-cara, cara perpikir paradigm, tapi ini nothing to do dengan soal penormaan tadi. Kita kan bicara soal penormaan penjelasan, tetapi ini kita bicara tentang paradigma besarnya. Nah karena itu pastilah tidak sekadar open legal policy yang tidak bisa dipersoalkan, ini pasti bisa dipersoalkan karena landasan berpikirnya itu menurut saya berbeda. Pengenaan pajak itu adalah bisa dilakukan kepada warga negara kalau sudah ada persetujuan rakyat melalui wakilwakilnya karena itu menurut pandangan saya harus klir yang kena pajak itu apa saja. Jadi, bukan … kalau ini kan terbalik, klir yang tidak kena pajaknya bukan yang kena pajaknya justru. Jadi, semua barang di pajak good and services kecuali yang tidak kena pajak. Nah, ini menurut saya paradigma yang justru bagi saya bertentangan dengan konstitusi akhirnya dengan prinsip representasi tadi dengan prinsip no taxation without representation. Saya kira itu tambahan, tapi sekali lagi nothing to do dengan penormaan yang sedang dibahas dalam forum ini. Terima kasih.
59
328. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. Jadi, sudah semua memberi keterangan dan kita dengar dan diskusikan. Terima kasih kepada Prof. Gunadi, Prof. Refly, Ibu Linda, Ibu Sumarni, dan Ibu Libertina yang sudah memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi. Dari Pemohon hak untuk mengajukan saksi dan ahli sudah habis, dari Pemerintah masih ada atau sudah cukup? 329. PEMERINTAH: YUNAN HILMY Cukup, Yang Mulia. 330. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Baik, kalau begitu rangkaian persidangan dalam perkara Nomor 39 sudah selesai. Akhir dari sebelum Majelis mengambil keputusan, maka kepada Pemohon dan Pemerintah bisa menyampaikan kesimpulan. Kesimpulan diserahkan paling lambat Selasa, 2 Agustus 2016, pada pukul 10.00 WIB. Saya ulangi, kesimpulan dari para pihak Pemohon, Pemerintah, bisa diserahkan hari Selasa, 2 Agustus 2016, pada pukul 10.00 WIB. Ya, dari Pemohon cukup ya? 331. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Yang Mulia, mohon izin kalau boleh apabila diperkenankan kami mohon waktu 2 minggu yang (…) 332. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh enggak ada, ini sudah hukum acara kita. Enggak menyerahkan juga tidak apa-apa. 333. KUASA HUKUM PEMOHON: SELVIANA Menyerahkan, Yang Mulia. Pasti menyerahkan. 334. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik ya. Dari Pemerintah ada yang disampaikan? 335. PEMERINTAH: YUNAN HILMY Cukup.
60
336. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Baik, kalau begitu sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.08 WIB Jakarta, 25 Juli 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
61