MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PEMOHON (V)
JAKARTA RABU, 30 NOVEMBER 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat [Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf i, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), Serta Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. PT Bandung Raya Indah Lestari ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon (V) Rabu, 30 November 2016 Pukul 11.14 – 13.26 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Anwar Usman Patrialis Akbar I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Aswanto Manahan MP Sitompul Suhartoyo Wahiduddin Adams
Rizki Amalia
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. M. Ainul Syamsu 2. Hafisullah Amin Nasution 3. Teuku Mahdar Ardian B. Ahli dari Pemohon: 1. Chairul Huda 2. I Gde Pantja Astawa C. Pemerintah: 1. Sutowibowo S. 2. Lasminingsih 3. Erwin Fauzi
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.14 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemohon dipersilakan mempersilakan diri.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Terima kasih, Yang Mulia. Saya Muhammad Ainul Syamsu, sebelah kanan saya Hafisullah Amin Nasution, dan sebelah kiri Teuku Mahdar Ardian. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Dari DPR berhalangan. Kuasa Presiden?
4.
PEMERINTAH: ERWIN FAUZI Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah, saya sendiri Erwin Fauzi dari Kementerian Hukum dan HAM, kemudian di sebelah kiri saya Bapak Suto dari Biro Hukum Kementerian Perdagangan, dan selanjutnya Ibu Lasminingsih (Staf Ahli Kementerian Perdagangan Bidang Ekonomi … Bidang Perdagangan Jasa). Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Acara hari ini kita dengarkan keterangan dua orang ahli dari Pemohon, ya?
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Betul, Yang Mulia.
7.
KETUA: ANWAR USMAN Prof. Pantja Astawa dan Pak Dr. Chairul Huda. Dipersilakan ke depan dulu untuk diambil sumpahnya.
1
Untuk Prof. Pantja Astawa, mohon kesediaan Yang Mulia Pak Palguna. 8.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ikuti saya, Prof. “Om atah parama wisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om santi santi santi om.”
9.
AHLI DARI PEMOHON: I GDE PANTJA ASTAWA Om atah parama wisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om santi santi santi om.
10.
KETUA: ANWAR USMAN Untuk Pak Dr. Chairul Huda, mohon kesediaan Yang Mulia Pak Wahiduddin.
11.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
12.
AHLI DARI PEMOHON: CHAIRUL HUDA Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
13.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, mohon kembali ke tempatnya. Ya, siapa lebih dulu yang mau diajukan?
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Prof. Gde Pantja Astawa, Yang Mulia.
2
15.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Prof. Pantja Astawa, disilakan di podium.
16.
AHLI DARI PEMOHON: I GDE PANTJA ASTAWA Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Om swastiastu. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, Saudara Rekan-Rekan Penasihat Hukum dari Pemohon. Saya tidak melihat dari perwakilan DPR. Dari Pemerintah, Rekan-Rekan dari Kementerian Hukum dan HAM. Saya tidak tahu yang di belakang, dari KPPU barangkali? Dan rekan saya, Dr. Chairul Huda yang saya hormati. Yang Mulia, izinkan saya membacakan ini, mudah-mudahan Yang Mulia tidak bosan lihat saya. Bahasa anak muda itu 4L, “Lo lagi, lo lagi.” Tapi saya yakin percaya Yang Mulia tidak akan bosan melihat saya. Setelah saya membaca dan menelaah ataupun mengkaji substansi pokok-pokok permohonan Pemohon dalam perkara a quo, serta respon berupa keterangan dari Pihak Pemerintah, dari Dewan Perwakilan Rakyat, dari Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan tanggapan berupa catatan kritis yang disampaikan oleh Yang Mulia beberapa Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Maka perkenankan saya menyampaikan pandangan atau pendapat dari perspektif hukum administrasi perkara a quo. Bahwa dalam perkara a quo yang dimohonkan untuk diuji adalah norma beberapa pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu yang terkandung dalam ketentuan Pasal 22, 23, 24, Pasal 36 huruf c, d, h, l, Pasal 41 ayat (1) dan (2), serta Pasal 44 ayat (4) dan (5). Semua norma yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut bertalian dengan keberadaan KPPU beserta fungsi, tugas, dan wewenangnya yang secara atributif ditentukan dan diberikan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ... Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Karena itu agar dapat diperoleh kejelasan tentang norma yang terkandung dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dimohonkan untuk diuji, apakah bertentangan ataukah tidak dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Kiranya penting disampaikan pemahaman yang menyeluruh tentang KPPU. Dalam arti kata, institusi apakah sebetulnya KPPU ini? Pertama, dari segi legal standing KPPU adalah lembaga independent yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain, bisa kita jumpai dalam Pasal 30 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Karena KPPU adalah lembaga independent, maka keberadaanya dibentuk tersendiri dan dikeluarkan dari tugas dan tanggungjawab pemerintahan sehari-hari. Meskipun 3
demikian, KPPU tetap bertanggungjawab secara langsung kepada presiden, juga kita temukan dalam Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Artinya, keberadaan KPPU tetap berada dalam ranah pemerintahan atau eksekutif, namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya dijamin independensinya dari pengaruh fungsi-fungsi pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian, independency dan netralitas KPPU dijamin oleh undang-undang, baik secara struktural maupun secara fungsional. Dalam menjalankan tugas, wewenangnya, KPPU tidak dapat diintervensi ataupun dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan yang lain. Demikian pula, KPPU tidak boleh diintervensi untuk kepentingan politik atau untuk kepentingan bisnis pihak-pihak yang terkait. Yang kedua, dari segi fungsi. KPPU adalah lembaga yang menjalankan fungsi administratif, sekaligus fungsi yustisial. Fungsi administratif KPPU ini nampak dari bunyi ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyebutkan, “Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini, dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut komisi.” Nomenklatur quote unquote pengawas pada KPPU yang mengawasi pelaksanaan undangundang adalah nomenklatur hukum administrasi. Karena berkenaan dengan instrumen penegakan hukum dalam hukum administrasi negara. Dalam konteks ini, saya mengutip pendapat dari pakar hukum administrasi negara dari Belanda, Ten Berge dalam bukunya Bescherming Tegen Overheid atau perlindungan terhadap pemerintah. Menyebutkan bahwa instrumen penegakan hukum administrasi negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Sejalan dengan pendapat dari Ten Berge tersebut di atas, maka baik pengawasan maupun sanksi yang merupakan instrumen penegakan hukum dalam hukum administrasi negara, normanya dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36. Dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa ini menyangkut tentang tugas komisi. Yang saya sudah sebutkan di sini, barangkali yang penting di sini itu saya garisbawahi adalah Pasal 35 huruf f, “Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini.” Saya tidak akan bacakan karena panjang sekali bunyi pasalnya. Nah, khusus untuk tugas komisi menyusun pedoman sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf f di atas, lebih lanjut nanti akan saya uraikan atau akan saja jelaskan. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 36 mengatur tentang wewenang komisi. Banyak juga di sini yang saya anggap penting di sini
4
itu diantaranya adalah Pasal 36 huruf c, “Melakukan penyelidikan dan seterusnya.” Nah, berdasarkan pendapat Ten Berge, dan ketentuan Pasal 35, dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di atas, maka dapat dikatakan bahwa KPPU adalah institusi atau lembaga yang melakukan penegakan hukum dalam hukum administrasi negara. Dan oleh karenanya domain kerja dalam arti pelaksanaan tugas dan wewenangnya berada dalam domain hukum administrasi. Sehubungan dengan itu, menjadi sangat relevan mengetengahkan wewenang KPPU untuk melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat, atau oleh pelaku usaha, atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil penelitiannya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 36 huruf c yang telah saya kutip tadi. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah apakah penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU itu penyelidikan bersifat administratifkah atau pidana? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah. Satu. Bahwa wewenang KPPU untuk melakukan penyelidikan haruslah diletakkan dalam kerangka penegakan hukum dalam hukum administrasi negara, khususnya pengawasan atas pelaksanaan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Apakah ada ataukah tidak pelanggaran terhadap undang-undang a quo berdasarkan laporan dari masyarakat, atau dari pelaku usaha, atau atas inisiatif KPPU itu sendiri? Dua. Bahwa untuk mengetahui ada atau tidak adanya pelanggaran terhadap undang-undang a quo, maka KPPU melakukan penyelidikan untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan data informasi, dan fakta. Yang saya katakan di sini fact finding, yaitu to search, collect, and fact finding. Yang ketiga. Bahwa hasil penyelidikan tersebut kemudian disimpulkan oleh KPPU. Bila ada kesimpulannya ada pelanggaran, maka KPPU kemudian menyidangkannya untuk diambil putusan berupa penjatuhan sanksi administratif bila terbukti adanya pelanggaran terhadap undang-undang a quo. Dari rangkaian proses penegakan hukum dalam hukum administrasi negara yang diawali dengan pengawasan sampai dengan penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif, maka penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU yang berada dalam proses penegakan hukum a quo adalah penyelidikan yang sepenuhnya bersifat administratif, bukan penyelidikan dalam artian pro justisia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 ... maaf, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyebutkan, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk ... maaf, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur 5
dalam undang-undang ini.” Ini tentu saja wilayahnya berbeda antara penyelidikan dilakukan oleh KPPU yang tadi saya katakan tegas adalah domain dalam hukum administrasi negara, sementara penyelidikan yang diatur dalam Undang-Undang KUHAP itu adalah wilayahnya pidana. Nah, hal yang demikian ini mutatis mutandis berlaku terhadap frasa penyelidikan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketiga. Masih dalam kaitannya dengan penegakan hukum dalam hukum administrasi negara, yaitu penerapan sanksi secara atributif wewenang untuk menerapkan sanksi diberikan kepada KPPU. Kewenangan KPPU dalam menjatuhkan ataupun menerapkan sanksi tersebut adalah bertalian dengan fungsi yustisial sebagai bagian dari penegakan hukum dalam hukum administrasi negara. Dalam hal ini, KPPU adalah lembaga quasi peradilan, atau semi pengadilan, atau quasi yudisial, yaitu KPPU mempunyai wewenang mengadili walaupun bukan sebagai institusi pengadilan. Fenomena menjamurnya lembaga quasi judisial khazanah sistem kekuasaan kehakiman Indonesia seperti halnya Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Informasi Pusat, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ombudsman, dan lain-lainnya merupakan hal yang baru, sehingga bangunan teoritis tentang hal tersebut harus diakui sangat minim. Dengan mengutip pertimbangan-pertimbangan putusan Pengadilan Texas dalam kasus Perdue, Brackett, Flores, Utt and Burn versus Linebarger, Goggan, Blair sebagaimana yang disitir oleh Prof. Jimly Asshiddiqie yang saya kutip dari tulisan beliau, “Fungsi campuran KPPU sebagai lembaga quasi peradilan.” Mengambil beberapa kriteria sebuah lembaga yang dikategorikan sebagai quasi yudisial, yaitu: Satu. Kekuasaan untuk memberikan penilaian. Memang ada kita jumpai di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta untuk membuat keputusan. Tiga. Kekuasaan untuk membuat amar putusan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. Empat. Kekuasan untuk menguji saksi-saksi memanggil, mendengarkan keterangan saksi untuk me ... bahkan untuk memaksa saksi untuk hadir dan untuk mendengar para pihak dalam persidangan. Lima. Kekuasan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memang tidak secara eksplisit menyebut KPPU sebagai pengadilan, namun dengan me-refer kriteria-kriteria yang sebagaimana yang saya kutip di atas, KPPU adalah quasi yudisial atau semi pengadilan. Beberapa ketentuan yang menegaskan kedudukan KPU sebagai semi pengadilan adalah ketentuan Pasal 35 huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 36 huruf c, d, e, f, dan h Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 6
Sebagai lembaga semi pengadilan sanksi yang berupa tindakan administrasi dan sanksi hukum (pidana kurungan) yang dapat dijatuhkan oleh KPPU kepada pihak yang melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagaimana kita jumpai pengaturannya dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49. Terhadap sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sekurang-kurangnya menunjuk dua hal, yaitu: Satu. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan administratif penal law. Artinya, hukum pidana merupakan instrumentalia untuk mengefektifkan sanksi hukum lainnya, seperti sanksi administrasi atau sanksi perdata. Dengan demikian sanksi pidana adalah ultimum remedium dalam undang-undang ini, setelah sanksi administrasi atau perdata dijatuhkan sebagai primum remedium. Dua. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menerapkan sanksi secara komulatif atau bersama-sama antara hukum administrasi dengan hukum pidana ke dalam bentuk komulasi internal dan komulasi eksternal. Komulasi internal merupakan penerapan dua atau lebih sanksi administrasi secara bersama-sama, misalnya pengenaan denda atau pencabutan sanksi, harus diakui memang ada diatur di dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, sedangkan komulasi eksternal merupakan penerapan sanksi administrasi bersama-sama dengan sanksi pidana manakala sanksi administrasi sudah dijatuhkan dan tidak menimbulkan efek jera, barulah sanksi pidana yang akan maju, dalam arti sebagai ultimum remedium. Menunjuk konstatasi yang demikian itu, tampak bahwa sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundangundangan, bahkan ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan hukum dalam hukum administrasi negara. Terlebih di tengah masyarakat perdagangan dan perindustrian yang berkembang dewasa ini, keberadaan sanksi administrasi semakin penting artinya. Saya kutip juga pendapat dari Prof. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Arief Sidarta, di dalam kehidupan masyarakat masa kini, di mana segala bentuk usaha besar dan kecil bertambah memainkan peranan penting di dalam kehidupan masyarakat, maka sanksi administrasi memainkan peranan yang tidak kalah pentingnya. Sanksi administrasi yang dapat berbentuk penolakan pemberian izin setelah dikeluarkannya izin sementara (preventif) atau mencabut izin yang telah diberikan (represif), jauh lebih efektif untuk memaksa orang-orang menaati ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur usaha dan industri, seperti halnya terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Itulah sebabnya mengapa di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sanksi administratif lebih diutamakan sebagai primum remedium dibandingkan dengan sanksi pidana sebagai ultimum remedium. Jadi, marwah dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini memang harus diakui normanya sebagian besar mengatur tentang 7
norma hukum administrasi. Itu sebabnya keberadaan KPPU bisa kita … bisa saya tegaskan adalah masuk dalam domain hukum administrasi negara, dalam hal ini adalah badan administrasi. Keempat. Fungsi Regulatory. Pasal 35 huruf f menentukan bahwa salah satu tugas KPPU adalah menyusun pedoman atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini. Terhadap ketentuan a quo timbul pertanyaan, apakah tugas penyusunan pedoman itu dapat ditafsirkan memberikan kewenangan regulatory kepada KPPU untuk mengatur halhal yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 ataukah tidak? Dalam hukum tata negara berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi, kewenangan regulasi yang bersifat mengikat untuk umum terkait erat dengan fungsi legislasi yang hanya dapat dilakukan oleh kekuasaan negara. Apabila telah mendapat persetujuan rakyat yang berdaulat, yaitu melalui wakilnya di lembaga perwakilan rakyat. Tidak ada satu rakyat pun yang dapat dikurangi haknya dan dibebani dengan kewajiban tanpa disetujui sendiri oleh rakyat yang berdaulat menurut prosedur demokrasi berdasarkan konstitusi yang berlaku, inilah yang kita kenali dengan the principle of constitutional democracy. Jika suatu lembaga atau pejabat publik tertentu, apakah itu dalam arti kata staat organ, atau public office, atau public official hendak mengatur mengurangi hak dan/atau membebankan sesuatu kewajiban tertentu kepada subjek hukum warga negara dalam lalu lintas hukum, maka satu-satunya bentuk hukum yang diperbolehkan untuk mengatur hal itu adalah dalam bentuk undang-undang yang dibentuk menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu oleh DPR atas persetujuan bersama dengan presiden. Bentuk peraturan lainnya bersifat mengikat hanya diperkenankan apabila peraturan itu secara eksplisit mendapat delegasi kewenangan dari undang-undang, artinya ada legislative delegation of rule making atau paling rendah mendapat sub delegasi kewenangan pengaturan satu tingkat ke bawah. Misalnya undangundang memberikan delegasi kewenangan kepada PP, peraturan pemerintah maksudnya, dan PP memberikan sub delegasi kewenangan lagi kepada peraturan menteri. Pengecualian atas berlakunya prinsip legislative delegation of rule making power itu, hanya dimungkinkan atas pertimbangan bahwa dalam menjalankan tugas konstitusionalnya seorang kepala pemerintahan memerlukan keleluasaan bertindak berdasarkan prinsip frijes ermessen. Untuk itu, kepada presiden diberi kewenangan karena kedudukannya sebagai pemegang kekuasan pemerintah negara berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk menetapkan suatu jenis peraturan yang bersifat administratif dan menyangkut urusan internal pemerintahan yang oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diberi nama peraturan presiden. Peraturan presiden ini dapat ditetapkan secara 8
mandiri atau otonom oleh presiden menurut kebutuhan hukum yang timbul dalam rangka kelancaran pelaksana tugas-tugas internal pemerintahan dengan tanpa didahului oleh atau didasarkan atas perintah pengaturan oleh undang-undang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selain presiden … saya ulangi, selain Presiden tidak ada lembaga lain atau pejabat lain yang diperbolehkan membuat peraturan yang bersifat mengikat untuk umum kecuali jika kewenangan demikian secara tegas didelegasikan oleh undang-undang atau di-subdelegasikan oleh satu peraturan pelaksana undang-undang seperti PP atau peraturan lain yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh sebab itu, jika kepada KPPU tidak secara eksplisit dan tegas diberi kewenangan mengatur lebih operasional Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka KPPU tidak dapat disebut mempunyai kewenangan regulasi. Jika dipelajari dengan saksama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sama sekali tidak memberikan kewenangan untuk mengatur kepada KPPU. Karena itu, KPPU tidak dapat disebut sebagai self regulatory body. KPPU memang bersifat independen, tetapi bukan dalam bidang legislasi. Jika dikaitkan dengan trias politika, campuran fungsi KPPU hanya menyangkut fungsi eksekutif atau administratif dan fungsi yudikatif seperti yang saya singgung di atas tadi. Artinya, yang dimaksudkan dengan pedoman dalam Pasal 35 huruf f tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan dalam arti legals. Lembaga-lembaga lain seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi misalnya, Bank Indonesia, dan Komisi Pemilihan Umum secara eksplisit memang dinyatakan dalam undang-undang diberi kewenangan untuk mengatur. Karena itu, MA berwenang menetapkan peraturan Mahkamah Agung. MK menetapkan peraturan Mahkamah Konstitusi. BI menetapkan peraturan Bank Indonesia. Dan demikian pula KPU menetapkan peraturan tentang Komisi Pemilihan Umum. Semua bentuk peraturan MA, MK, BI, dan KPPU ... KPU termasuk dalam bagian peraturan perundang-undangan sebagai sub ordinat legislation berdasarkan ketentuan undang-undang yang mengatur kewenangan lembaga-lembaga tersebut. Tidak demikian halnya dengan undang-undang yang mengatur KPPU. Sama sekali tidak memberikan kewenangan regulasi semacam itu. Pasal 35F Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 hanya memungkinkan bagi KPPU untuk menyusun pedoman kerja atau manual yang meskipun isinya dapat saja bersifat mengatur, tetapi tidak dapat disebut sebagai peraturan dalam pengertian hukum. Dalam teori perundang-undangan, pedoman semacam ini disebut ... biasanya disebut sebagai beleids-regel atau (suara tidak terdengar jelas) with gaping atau juga sarjana yang mengatakan spiegel recht atau hukum cermin atau policy rules.
9
Pasal 35 huruf f itu hanya menyatakan bahwa KPPU mempunyai tugas yang salah satunya adalah menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini. Memang benar dalam bab 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Perkara pada Pasal 38 ayat (1) ditentukan bahwa tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh komisi. Bahkan pada Pasal 40 ayat (2) ditentukan pula bahwa pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39. Ketentuan-ketentuan tersebut selama ini ditafsirkan oleh KPPU sebagai pemberian kewenangan kepada KPPU untuk mengatur sehingga oleh karena itu selama ini KPPU telah menerbitkan berbagai peraturan KPPU yang dimaksudkan untuk melaksanakan perintah Pasal 38 ayat (4) tersebut di atas seperti yang kita jumpai, baik dalam peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara dan peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender. Namun demikian, menurut pendapat saya dalam rangka pelaksanaan prinsip check and balances dan mencegah kesewenangwenangan serta penyalahgunaan kekuasaan, itulah sebabnya mengapa kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 kewenangan regulasi tidak diberikan kepada KPPU. Fungsi regulator tetap diberikan kepada Pemerintah. Sedangkan KPPU hanya sebagai operator kegiatan pengawasan sampai ke fungsi pengadilan. Lagipula rumusan ketentuanketentuan tersebut di atas seharusnya tidak ditafsirkan sebagai pemberinan kewenangan menetapkan peraturan kecuali hanya dimaksudkan untuk pengaturan-pengaturan yang bersifat teknis administratif yang cukup diatur dalam bentuk pedoman sebagai beleidsregel. Jadi yang perlu saya sampaikan di sini, Yang Mulia, bentuk beleids-regel ini bisa beraneka ragam. Bisa mulai dari peraturan, bisa dalam bentuk keputusan, bisa dalam bentuk surat edaran, bisa dalam bentuk pengumuman, dan seterusnya. Tapi substansi dari peraturan ... peraturan kebijakan atau beleids-regel itu adalah berupa pedoman, juklak yang sering kita temukan itu. Juklak itu pelaksanaan petunjuk ... petunjuk pelaksanaan, juklis atau juknis. Itulah substansi dari beleidsregel. Jadi, maksud pedoman di sini yang diperintahkan oleh UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 itu adalah dalam konteks beleids regel, isinya berupa pedoman. Bentuknya boleh peraturan seperti yang kita jumpai dalam peraturan KPU Nomor 1 dan 2 yang telah saya sebutkan tadi. Fungsi regulator diberikan kepada pemerintah, sedangkan KPPU hanya sebagai operator, sudah saya sebutkan tadi. Sedangkan KPPU hanya sebagai operator kegiatan pengawasan sampai ke fungsi 10
peradilan. Lagipula rumusan ketentuan-ketentuan tersebut di atas seharusnya tidak ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan menetapkan peraturan, kecuali hanya dimaksudkan untuk peraturan (suara tidak terdengar jelas) yang cukup diatur dalam pedoman sebagai beleids regel karena itulah kewenangan mengatur sama sekali tidak tercantum dalam Ketentuan Pasal 35 mengenai tugas dan Ketentuan Pasal 36 mengenai kewenangan KPPU. Pasal 35 huruf f hanya menyebutkan tugas KPPU untuk menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini. Demikian pula dalam Pasal 36 tidak terdapat adanya ketentuan yang memberi wewenang kepada KPPU untuk menerapkan suatu peraturan. Oleh karena itu, Ketentuan Pasal 38 ayat (4) sebagaimana dimaksud di atas sudah seharusnya dipahami dalam konteks Pasal 35 huruf f. Tata cara penyampaian laporan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan pelaksanaan tugas KPPU menurut Pasal 38 ayat (4) dapat ditentukan sendiri aturannya oleh KPPU dalam bentuk pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf f. Dengan demikian, pedoman dimaksud hanya berupa aturan kebijakan atau beleids regel atau (Ahli menggunakan bahasa asing) bukan dalam bentuk peraturan resmi atau regulation. Sebagai pedoman, tentu saja aturan kebijakan menjadi isinya tidak dapat dipersoalkan atau dijadikan objek pengadilan … objek perkara di pengadilan. Namun apabila bentuk hukumnya disebut resmi sebagai peraturan, maka tentu hal ini dapat dijadikan objek pengadilan, yaitu misalnya peraturan KPPU dapat dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Agung. Aturan kebijakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang notabene adalah beleids regel yang disusun dalam bentuk pedoman itu tentu saja tidak boleh berisi norma-norma hukum baru. Isinya hanya berupa pedoman kerja yang bersifat mengatur hal-hal teknis administratif, membentuk norma hukum baru saja tidak boleh apalagi menafsirkan bunyi pasal undang-undang dengan menambah, mengubah, ataupun memodifikasinya, sehingga memunculkan norma hukum baru yang substansinya justru bertentangan dengan norma undang-undang yang ditafsirkannya. Seperti yang dilakukan oleh KPPU melalui Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 yang tanpa kewenangan (onbevoegheid) menafsirkan bunyi Ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain tanpa wewenang melakukan penafsiran terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 yang notabene sebagai beleids regel juga telah melampaui batasbatas kebebasan bertindak. Dalam arti kata tidak lagi dalam kerangka freies ermessen, bahkan peraturan a quo telah merusak tatanan hukum yang berlaku dan keluar dari asas-asas sebagai kendali bagi peraturan kebijakan. Seperti asas negara berdasarkan asas hukum, asas perlindungan terhadap masyarakat, dan asas-asas umum pemerintahan
11
yang baik, algemen beginselen van behoorlijk bestuur atau general principal of good administration. Semuanya ini tentu saja berujung pada tindakan sewenangwenang karena itu guna memperoleh kejelasan makna atas norma yang terkandung dalam Ketentuan Pasal 22, demikian juga Pasal 23 dan Pasal 24, sebagaimana yang menjadi bagian petitum yang diajukan oleh Pemohon, maka pilihan yang paling bijak adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim sebagai The Guardian and The Final Interpreter of Constitution dengan catatan mohon izin, Yang Mulia, sama sekali saya tidak bermaksud menggurui atau mendahului, ini catatan saja. 1. Bahwa meskipun satu peraturan perundang-undangan sudah mencerminkan dasar-dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis, namun hal itu tidak menjamin bahwa peraturan perundang-undangan tidak ada lagi kekurangannya. Kenyataan memperlihatkan bahwa relatif banyak dijumpai peraturan perundang-undangan yang kurang baik. Hal itu terjadi karena rumusan normanya tidak jelas, sehingga tidak jelas arti, maksud, dan tujuannya, ambigu. Atau rumusan norma yang dapat ditafsirkan dalam berbagai arti, interpretatif, atau terjadi inkonsistensi dalam penggunaan istilah, atau sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit sehingga sukar dimengerti, dan lain sebagainya. 2. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memperlihatkan inkonsistensi pemaknaan istilah persekongkolan sebagaimana terdapat pada rumusan norma yang terkandung dalam Ketentuan Pasal 1 angka 8 dengan rumusan norma Ketentuan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Padahal ketiga pasal terakhir ini berada di bawah bagian keempat yang justru berjudul persekongkolan. Kalau saya boleh mengutip bunyi ketentuan Pasal 1 angka 8 yang bunyi lengkapnya adalah persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Rumusan makna dari istilah persekongkolan tersebut di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa pihak yang bersekongkol adalah pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain. Tidak demikian halnya dengan rumusan norma yang terdapat dalam ketentuan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 seperti yang saya gambarkan dalam keterangan ahli saya yang barangkali Yang Mulia sudah lihat di sini, yang saya kasih huruf merah untuk memperlihatkan bagaimana terjadi inkonsistensi. Saya tidak akan bacakan karena Yang Mulia sudah ... keterangan saya ada di depan Yang Mulia. Izin, Yang Mulia. Terima kasih, hanya itu yang bisa saya sampaikan.
12
17.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Prof. Langsung ke Pak Dr. Chairul Huda, silakan.
18.
AHLI DARI PEMOHON: CHAIRUL HUDA Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang terhormat Pemohon dan Pihak Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Perdagangan. Yang terhormat sejawat saya, Prof. Dr. Pantja Astawa. Hadirin sekalian yang berbahagia. Yang Mulia, izinkanlah saya menyampaikan pokok-pokok pikiran saya berkenaan dengan konstitusionalitas beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Cukup banyak pasal yang diajukan oleh Pemohon, terlebih tentu pendapat saya sesuai dengan kapasitas saya sebagai Ahli dalam bidang hukum pidana, saya hanya memberikan pendapat yang berhubungan dengan kewenangan penyelidikan KPPU yang menjadi juga isu utama di dalam judicial review kali ini. Berkenaan dengan yang lain, saya pikir tadi Prof. Pantja sudah menyampaikan. Pendapat saya, terbagi dalam tiga bagian, Yang Mulia. Saya sebenarnya sudah tadi malam ber-email kepada Pemohon untuk disampaikan ke Panitera mengenai pendapat tertulis ini, mudahmudahan sudah sampai di tangan Yang Mulia. Ada tiga aspek yang saya bicarakan berkenaan dengan penyelidikan dalam hubungannya kewenangan penyelidikan KPPU. Yang pertama adalah penyelidikan dalam kaitannya dengan upaya paksa. Yang kedua adalah penyelidikan dalam kaitannya dengan hakikat penyelidikan itu sendiri. Yang ketiga adalah penyelidikan dalam konteks hubungan antara penyidik dan penyelidik. Jadi, tiga aspek itu yang saya bicarakan. Tentu nanti saya coba kaitkan dengan pasal-pasal yang diajukan untuk diujikan oleh Pemohon. Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Bahwa bicara soal penyelidikan, tentu tidak bisa dilepaskan dengan konstruksi KUHAP mengenai hal ini karena Indonesia menurut pengetahuan saya adalah satu-sataunya negara yang mempunyai konsep tentang penyelidikan. Tidak ada negara lain yang mempunyai konsep mengenai hal ini. Di banyak negara atau di umumnya negara yang ada hanyalah penyidikan, gitu. Jadi, bahkan HIR pun tidak mengenal istilah penyelidikan. Sehingga kalau bicara penyelidikan, termasuk yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tentu harus dikaitkan dengan konsepsi tentang penyelidikan yang ada di dalam KUHAP.
13
Apalagi juga di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak didefinisikan, tidak juga ditentukan ruang lingkupnya, maupun juga tidak ditentukan tata cara pelaksanaan dari wewenang penyelidikan tersebut. Sehingga kita harus menengok tentang lebih jauh mengenai penyelidikan ini dalam KUHAP. Nanti sejauh mungkin saya kaitkan dengan konstruksi norma yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam pemahaman saya, motivasi utama pembentuk KUHAP, katakanlah membedakan antara penyelidikan dan penyidikan itu adalah dalam rangka untuk perlindungan hak asasi manusia. Mengapa saya katakan demikian? Karena di dalam penyelidikan pada dasarnya belum dimungkinkan adanya upaya paksa. Sehingga kemudian dengan adanya pembedaan antara penyelidikan dan penyidikan, maka penegak hukum, terutama adalah Polri bisa direm penggunaan upaya paksanya. Tidak menggunakan upaya paksa ketika proses “penyidikan” itu masih dalam tahap penyelidikan. Itu motivasi utamanya. Namun demikian, KUHAP juga memungkinkan penyelidik itu dalam tahap penyelidikan melakukan upaya paksa, tetapi dengan dua jalan. Yang pertama adalah atas perintah penyidik, yang kedua adalah dalam keadaan situasi yang mendesak dan perlu. Atas perintah penyidik bisa dilihat di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b dan berkenaan dengan upaya paksa dalam penyelidikan dalam keadaan mendesak itu bisa dilihat di dalam Pasal 102 ayat (2) KUHAP. Jadi, prinsipnya sebenarnya ketika investigation itu dibagi ke dalam penyelidikan dan penyidikan, maka di dalam tahap penyelidikan itu belum dimungkinkan upaya paksa kecuali atas perintah penyidik ataupun dalam keadaankeadaan yang benar-benar diperlukan. Nah, karena ini bersinggungan dengan upaya perlindungan hak asasi manusia, maka menurut pendapat saya persoalan penormaan penyelidikan dalam hubungannya dengan penyidikan ini bukan sematamata persoalan koherensi di dalam criminal justice system, bukan soal semata-mata yang berhubungan dengan keselarasan mengatur fungsifungsi subsistem-subsistem dalam criminal justice system, tetapi juga berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia, berkaitan dengan mandat yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan yudikatif kontrol terhadap undang-undang dan pelaksanaannya yang “bisa mengurai, membatasi, ataupun merampas” hak asasi manusia. Nah, karena hal ini berkenaan dengan pengurangan, pembatasan, ataupun perampasan hak asasi manusia, maka pada dasarnya KUHAP sudah menentukan bahwa sesuai dengan asas legalitas hukum acara pidana, maka bentuk peraturan perundang-undangan yang bisa menentukan berkenaan dengan hukum acara, termasuk bicara soal penyelidikan adalah undang-undang. Pasal 3 KUHAP menentukan bahwa peradilan dijalankan berdasarkan undang-undang, ini memberi isyarat bahwa pembentuk undang-undang ... pembentuk KUHAP ingin agar hukum acara pidana itu hanya diatur di dalam peraturan perundang14
undangan dalam level undang-undang, tidak lain dalam rangka untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia. Lalu, bagaimana halnya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999? Saya berpandangan bahwa dalam undang-undang ini memang diberi kewenangan KPPU untuk melakukan penyelidikan seperti disebutkan dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, dan seterusnya. Ada kewenangan penyelidikan, tetapi juga kalau diperhatikan dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, penyelidik KPPU itu berwenang melakukan upaya paksa tanpa perintah penyidik. Apa yang saya maksud dengan upaya paksa? Misalnya di sini pelaku usaha atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan, wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan ada kewajiban tentu ada upaya paksa merupakan suatu bentuk upaya paksa. Atau pelaku usaha atau pihak lain yang diperiksa dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan, atau menghambat proses penyelidikan atau pemeriksaan. Ya, tentu ini adalah suatu bentuk yang menurut pendapat saya adalah suatu tindakan upaya paksa. Bagaimana kalau kita bandingkan di dalam KUHAP tentang penyelidikan? Di dalam KUHAP ketika dilakukan penyelidikan tidak ada upaya paksa, orang dipanggil, ya, boleh datang boleh tidak. Orang diminta informasi boleh memberikan keterangan, boleh juga tidak, kan begitu. Tetapi berbeda di dalam penyelidikan yang ada di dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, menurut pendapat saya justru lebih banyak merupakan wewenang-wewenang yang diberikannya yang diberikan oleh undang-undang lebih banyak merupakan wewenang yang seharusnya diberikan kepada penyidik, atau setidak-tidaknya diberikan kepada penyelidik atas perintah penyidik, gitu. Jadi, ini pangkal tolak persoalannya menurut pendapat saya kemudian wewenang penyelidikan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu justru sangat berbahaya. Berbahayanya adalah pertama, memungkinkan kemudian Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini overreacting terhadap suatu peristiwa, memungkinkan kemudian KPPU melakukan upaya-upaya paksa yang sifatnya eksesif. Yang lebih bermasalah lagi sebenarnya umumnya penyelidikan dan harusnya juga penyelidikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini tidak bisa diuji keabsahannya karena yang bisa diuji keabsahannya adalah tindakan penyidik, gitu. Jadi kalau dia memaksa orang memberikan data katakanlah, apakah tindakan itu adalah sah atau tidak dilakukan dalam hal dan menurut cara yang ditentukan adalah undang-undang atau tidak itu tidak ada lembaga yang bisa menguji keabsahan itu. Jadi, saya menyebutnya non-accountability, jadi tidak bisa dipertanggungjawabkan, tidak bisa diuji keabsahannya, tidak bisa dipraperadilankan. Kalau di dalam ... dia menjadi kewenangan penyelidik tentu bisa dipraperadilankan. Tapi karena hanya kewenangan penyelidik dalam 15
melakukan penyelidikan, sedangkan itu sudah merupakan suatu bentuk upaya paksa sehingga tidak bisa kemudian diuji di dalam sidang praperadilan. Ini yang menurut saya sangat berbahaya dan ini bisa mengancam jaminan perlindungan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Dan kemudian bisa menghambat tujuan pencapaian Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan di dalam konstitusi. Ini bagian yang pertama, Yang Mulia. Bagian kedua yang ingin saya kemukakan adalah penyelidikan dalam hubungannya dengan penyidikan. Penyelidikan seperti tadi Prof. Panca sudah kemukakan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Penyelidikan dalam literatur disebut inquiry, oleh karenanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyidikan atau investigations sehingga kalau menurut pendapat saya justru yang harusnya menjadi bagian penting yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, kalaulah memang ingin diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dari segi hukum pidana adalah kewenangan penyidikan, bukan kewenangan penyelidikan. Karena dalam pemahaman saya kalau sudah diatur mengenai kewenangan penyidikan, otomatis sudah menjadi bagian pengaturan itu adalah kewenangan penyelidikan. Tetapi anehnya dalam undang-undang ini, justru yang diatur hanyalah kewenangan penyelidikan. Tanpa ada kewenangan pengaturan berkenaan dengan kewenangan penyidikan. Padahal kalau kita meneladani kepada KUHAP, KUHAP memberi ruang untuk undang-undang di luar … undang-undang lain membentuk penyidik pegawai negeri sipil di luar dari penyidik Polri. Tetapi justru ini tidak dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tapi yang diatur semata-mata kalaulah benar tafsiran saya penyelidikan ini adalah penyelidikan dalam ranah hukum pidana yang tentu tadi berbeda dengan yang harusnya menurut Profesor Panca ini bukan penyelidikan dalam ranah hukum pidana, maka sebenarnya harusnya yang menjadi bagian pengaturan besarnya adalah masalah pengaturan berkenaan dengan penyidikannya, bukan penyelidikannya. Termasuk berhubungan dengan … apa namanya … pejabatnya, berhubungan dengan tata … tugas dan kewenangannya, bagaimana proses dan prosedur bagaimana melaksanakan kewenangan itu yang kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hukum acara pidana pada umumnya. Nah, konstruksi pengaturan penyelidikan tanpa pengaturan tentang penyidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, menurut saya merupakan pengaturan yang tidak lengkap (incomplete), yang tidak sejalan dengan asas kepastian hukum. Proses hukum yang adil dan tidak sejalan dengan prinsip proses hukum yang 16
adil dalam … dan penerapan prosedur yang tidak memihak serta tidak menjamin perlakuan yang sama setiap orang di hadapan hukum yang justru ini adalah bagian yang sangat penting di dalam mengatur berkenaan dengan kewenangan penyidikan yang dijamin oleh konstitusi. Ini menurut saya menjadi bagian yang sangat penting. Nah karena yang diatur adalah soal penyelidikan, bahkan di dalam undang-undang ini disebut di dalam undang-undangnya penyelidikan dan/atau pemeriksaan kalau tidak salah. Menurut pendapat saya, ini malah membuka mempertukarkan kewenangan penyelidikan dalam ranah hukum pidana dengan pemeriksaan dalam ranah hukum administrasi. Sehingga masuk dalam pengertian salah satu pengertian dalam hukum administrasi mencampuradukkan kewenangan karena dia bisa melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan dengan bla, bla, bla, dan seterusnya. Jadi bisa dia tukar. Sebenarnya ini adalah pemeriksaan dalam ranah administrasi, tetapi ditakut-takuti pelaku usaha, bilangnya ini adalah penyelidikan dalam ranah hukum pidana. Ya tentu orang kalau sudah mendengar hukum pidana, the B for B daripada bicara soal administrasi dan ini menjadi kalau dari segi perspektif hukum pidana menjadi lapak trading influence. Kemungkinan ini bisa menjadi tempat untuk dilakukannya memperdagangkan pengaruh karena bisa mempertukarkan antara penyelidikan dan pemeriksaan. Penyelidikan dalam ranah pidana dan pemeriksaan dalam ranah administrasi. Tentu sekali lagi menurut pendapat saya ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip yang diamanatkan di dalam konstitusi. Bagian akhir yang ketiga adalah saya ingin mengemukakan konstelasi antara penyelidik dan penyidik dalam hubungannya penyelidikan dan penyidikan. Yang Mulia Majeslis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pada hakikatnya hubungan antara penyidik dan penyelidik itu adalah hubungan atasan-bawahan. Adalah hubungan antara superior dan inferior. Penyelidik itu adalah subordinat dari penyidik. Sehingga seluruh tindakan penyelidik itu dipertanggungjawabkan kepada penyidik. Begitu konstruksinya. Sehingga, kemudian ketika KUHAP mengatur tentang penyelidikan dan penyidikan, itu akan dimasukkan penyelidikanpenyelidikan dari Polri. Sehingga kemudian kalau ada undang-undang lain memberikan kewenangan penyidikan kepada institusi lain, sehingga membentuk dia namanya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) tersebut, di dalamnya terkandung kewenangan untuk mengatur berhubungan dengan penyelidik. Jadi, desainnya tidak mungkin penyelidik dan penyidik itu berada dalam institusi yang berbeda. Karena mereka mempunyai hubungan yang hierarkis. Hubungan superior dan inferior, hubungan atasan-bawahan. Bagaimana dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999? Saya melihatnya justru sebaliknya. Saya melihat justru kesannya malah justru penyelidik KPPU itu “lebih tinggi” daripada penyidik Polri. Karena Pasal 17
43 ayat (3) menyebutkan bahwa KPPU menyerahkan putusan administrasi yang telah diambilnya kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan … sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, penyelidik menyerahkan keputusan administrasi yang telah diambilnya kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kalau menurut saya, ini bukan … bukan hubungan atasanbawahan dalam pengertian penyidik atasan dari penyelidik. Tetapi sebaliknya, penyelidik KPPU atasannya penyidik. Karena menyerahkan hasil putusan dia mengenai … secara administrasi, “Ini silakan, penyidik lakukan penyidikan,” katakanlah seperti itu. Tidak memberi kemudian kesan bahwa penyidik di sini berwenang … dapat melakukan penyidikan, tetapi semata-mata hanya menjalankan perintah untuk menjalankan penyidikan atas dasar putusan yang sudah diambil oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Juga ketika di dalam Pasal 44 ayat (5) disebutkan bahwa putusan komisi sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (4), merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Ini sekali lagi, perintah kalau menurut saya normanya. Perintah penyidik mau-tidak mau menggunakan putusan KPPU itu sebagai bukti permulaan yang cukup. Padahal, dalam ranah hukum pidana, bukti permulaan yang cukup atau bukti permulaan itu digunakan di dalam menetapkan tersangka dan di dalam melakukan penahanan. Jadi, justru saya melihat dengan adanya putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini, ada “intervensi” kekuasaan administrasi terhadap proses peradilan pidana yang dilakukan oleh penyidik. Dan dalam pandangan saya, penyidik adalah bagian dari rumah besar kekuasaan kehakiman yang independency-nya dijamin oleh konstitusi. Penyidik tidak boleh didikte oleh apa pun juga, termasuk oleh komisi … oleh Komisi Persaingan Usaha. Oleh karena itu, menurut pendapat saya sekali lagi, justru konstruksi yang dibangun di dalam norma-norma yang dimohonkan oleh Pemohon berkenaan dengan hal ini, dalam konstalasi hubungan antara penyidik dan penyelidik tidak menggambarkan bahwa apa yang dilakukan oleh penyelidik itu dipertanggungjawabkan kepada penyidik. Tidak menggambarkan bahwa penyelidik di sini adalah subordinat bawahan daripada penyidik. Tapi justru sebaliknya, lebih banyak penyelidik diposisikan dalam rangka untuk memberikan perintah kepada penyidik. Dari keseluruhan uraian di atas, menurut pendapat saya sebagai Ahli Hukum Pidana, cukup menjadi alasan bagi Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mengabulkan seluruh permohonan Pemohon terkait konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, khususnya berkaitan dengan Pasal 36C, D, H, I, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) yang kebetulan menjadi wilayah keahlian 18
saya. Memang ketika apa yang dialami oleh Pemohon … Pemohon Prinsipal yang saya maksud belum mengemuka, maka setelah 17 tahun undang-undang ini berlaku, baru kita semua sadar bahwa ternyata undang-undang ini penuh banyak kekeliruan. Setelah ada korbannya, barulah kita tampaknya ngeh dalam bahasa Jakartanya bahwa ini adalah persoalan. Nah, dilihat dari masanya kalau menurut pendapat saya, memang undang-undang ini tergolong apa yang disebut dengan panic regulation. Karena dibuat di masa transisional pada waktu itu, di mana tuntutan reformasi hukum sangat besar, sehingga tidak … bukan tidak mungkin pada waktu itu mungkin pembentukannya semata-mata didasarkan bahwa ada … adanya sebuah rancangan undang-undang dan … yang ditetapkan menjadi undang-undang tanpa sebuah penelaahan dan kemudian penelusuran … naskah akademik yang memadai. Atau bukan tidak mungkin, pada dasarnya ada kepentingan lain dari segi ekonomi karena ini berkaitan dengan ekonomi dari pihak lain untuk kemudian ini menjadi suatu undang-undang. Demikian, Yang Mulia. Kurang-lebihnya saya mohon maaf. Wassalamualaikum wr. wb. 19.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam. Ya, terima kasih. Pemohon, ada hal-hal yang ingin ditanyakan atau didalami?
20.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Ada, Yang Mulia.
21.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
22.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Terima kasih, Yang Mulia. Kami ajukan pertanyaan dulu kepada Ahli yang pertama, Prof. Pantja Astawa. Begini, Ahli, dalam persidangan kemarin, pihak DPR dan Pihak Terkait ini mengatakan bahwa sebenarnya perluasan makna dari frasa pihak lain dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 ini sejalan dengan memorie van toelichting. Namun ternyata setelah ditelusuri, saya justru tidak mendapatkan perdebatan tentang itu karena … apa ... draf inisiatif dari DPR justru mengatakan begini, “Bagian kedua judulnya, berjudul itu Persekongkolan Antara Para Pesaing.” Kemudian batang tubuhnya menyatakan, “Setiap pelaku usaha dilarang melakukan persekongkolan dengan pelaku usaha pesaingnya.” 19
Begitu juga dengan Pasal 22 yang di bawah judul Persekongkolan dalam Perdagangan yang menyatakan juga, “Setiap pelaku usaha dilarang melakukan persekongkolan dengan pelaku usaha pesaingnya.” Nah, kemudian dalam Pansus juga tidak ada perdebatan tentang itu karena perdebatannya sangat sederhana karena pada saat itu Pasal 21 ini ada huruf a sampai f menurut anggota Pansus pada saat itu mengatakan bahwa huruf a sampai dengan e ini sudah diatur dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 20 kalau saya tidak salah. Jadi, sama sekali tidak ada perdebatan tentang perluasan makna. Kemudian ... dan setuju dibawa ke Panja. Kemudian, di Panja juga tidak disebutkan perdebatan tentang perluasan makna karena justru Pemerintah yang awalnya menolak ... meminta untuk dihapus justru menerima substansinya, akan tetapi minta dicocokkan dengan terminologinya dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia supaya cocok bahasanya, gitu. Nah, dari situ kemudian masuk ke tim perumus, tapi dari tim perumus ini kemudian frasanya berubah menjadi pihak lain. Nah, pertanyaan saya kalau misalnya kemudian secara teleologis maksud pembuat undang-undang ini menghendaki bahwa pihak lain itu adalah pelaku usaha yang lain, kemudian sesuai dengan … secara sistematis sesuai dengan Pasal 1 angka 8 mengatakan bahwa persekongkolan adalah hanya terjadi antara pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain. Menurut Ahli, dengan hal-hal tesebut apakah penggunaan frasa pihak lain dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 itu mengandung kepastian hukum atau tidak? Dan apakah implikasinya sampai pada konstitusi? Artinya punya implikasi konstitusional, enggak? Ketidakpastian hukum yang ada dalam frasa tersebut? Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, tadi Ahli mengatakan bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh KPU ... KPPU sifatnya administratif karena dalam kaitannya dengan lembaga KPPU sebagai lembaga administratif. Nah, kalau misalnya penyelidikannya itu bersifat administratif, apakah tidak cukup dengan menggunakan frasa pemeriksaan yang ada dalam pasalpasal tersebut? Karena Pasal tersebut kan, sering kali menggunakan penyelidikan dan/atau pemeriksaan. Kalau misalnya administratif, apakah tidak cukup dengan menggunakan kata pemeriksaan? Sehingga tidak diperlukan lagi frasa penyeledikan yang akhirnya justru membuat orang bingung, apakah ini administratif atau pidana itu? Kemudian, berkaitan dengan pedoman tadi, ini memang ... tadi Ahli mengatakan ini berkaitan dengan juknis segala macam, apakah ini berarti bahwa peraturan-peraturan yang dibuat oleh KPPU kalau melahirkan norma yang baru, ini kedudukannya seperti apa dalam hukum? Kemudian yang terakhir dan yang terakhir ini untuk kedua Ahli, mohon dijawab sesuai dengan keahlian bidangnya, dalam penjelasan Pihak Terkait dan juga dalam penjelasan DPR kemarin, ini bisa disimpulkan bahwa dengan perluasan makna tersebut bahwa seolah-olah 20
semua yang berkaitan dengan tender katakanlah begitu, kalau misalnya ... baik itu yang terjadi secara horizontal antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang terjadi secara vertikal dengan misalnya Pemerintah dalam hal ini adalah penyelenggara tender, baik itu berkaitan dengan keputusan tendernya, surat keputusan kemenangan tender atau katakanlah misalnya ada dugaan suap, begitu. Nah, apakah semuanya ini, saya hanya berandai-andai ini, ya, apakah semua ini masuk dalam wilayah KPPU atau ada mekanisme hukum lain yang memang disediakan dalam sistem hukum kita? Karena kalau dari penjelasan Pihak Terkait ini seolah-olah semuanya ingin masuk, gitu. Jadi apapun pelanggarannya, kalau misalnya itu dalam tender, meskipun itu berkaitan dengan surat keputusan pemenang tender misalnya, atau ada dugaan suap misalnya, antara yang perusahaan yang mengikuti tender dengan penyelenggara tender seperti yang kemarin di … misalkan oleh Pihak Terkait, apakah itu semua masuk KPP atau memang ada mekanisme lain yang disediakan oleh sistem hukum kita? Gitu. Kemudian saya beranjak kepada ahli yang kedua, Bapak Dr. Chairul Huda. Dalam ketentuan penyeldikan di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ini kan tadi disebutkan tidak ada … tidak ditentukan kewenangan siapa yang menjadi pejabatnya. Kemudian juga tidak disebutkan ruang lingkupnya, batas ruang lingkupnya itu sampai mana. Kemudian juga tidak ada tata cara berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan tersebut. Nah, hanya dinyatakan frasa penyelidikan saja. Biasanya kan dikembalikan kepada KUHAP. Nah, persoalannya dalam KUHAP, penyelidikan ini kan mengikuti kelembagaan yang ada di Polri. Sementara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ini kan mengikuti kelembagaan yang di KPPU. Apakah bisa kemudian dirujukan begitu saja, sementara kedua lembaga ini secara institusional itu mempunyai karakter yang sangat berbeda sama sekali? Saya khawatir bahwa efeknya justru akan menimbulkan ketidakpastian, bukan hanya ketidakpastian hukum, tapi juga ketidakadilan. Itu yang pertama. Yang kedua, tadi disinggung masalah mencampuradukan kewenangan antara pidana dan administratif. Nah, ini … apakah ini bahwa agak-agak … tidak konsisten sebenarnya, ini saya minta pendapat dari ahli. Karena di satu sisi ketika bicara tentang acaranya, itu ada pengaturan secara campur aduk tadi itu. Ada penyelidikan dan ataupun pemeriksaan seolah-olah melihat satu pelanggaran … satu peristiwa yang terjadi itu atau satu pelanggaran administratif itu identik dan secara mutatif mutandis merupakan delik administratif. Padahal sanksinya saja berbeda, gitu. Bagaimana pendapat ahli dengan hal itu? Kemudian (…)
21
23.
KETUA: ANWAR USMAN Masih Ada?
24.
KUASA HUKUM PEMaOHON: M. AINUL SYAMSU Masih ada satu, Yang Mulia.
25.
KETUA: ANWAR USMAN Ayo. Kok (…)
26.
KUASA HUKUM PEMaOHON: M. AINUL SYAMSU Kemudian yang terakhir ada … Ndak, saya cari (suara tidak terdengar jelas). Kemudian yang terakhir ini sederhana. Dalam peraturan itu, dalam undang-undang mengatur tentang penyelidikan, tapi kemudian peraturan KPPU ini menggunakan istilah inverstigator. Inverstigator kalau dibadankan dalam Bahasa Indonesia kan sebenarnya penyidik. Nah, bagaimana dengan hal ini? Kami minta pendapat ahli. Terima kasih, Yang Mulia.
27.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dari Kuasa Presiden? Ada atau cukup? Ya, baik. Ya, Yang Mulia … dari meja Hakim, Yang Mulia Ibu Maria.
28.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. Terima kasih, Pak Ketua. Saya membaca keterangan ahli Prof. pantja Astawa. Saya menjadi sangat kaget dan bingung, gitu Prof. Maka saya minta, mana sih undang-undangnya? Begitu, ya. Karena di sini Prof. Pantja mengatakan dalam halam 16, aturan kebijakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau bleids regel yang disusun dalam bentuk pedoman itu tentu saja tidak boleh berisi norma-norma hukum baru, gitu. Kemudian Prof juga mengatakan bahwa pembentukan KPPU dengan peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 itu sebenarnya tanpa wewenang, sehingga KPPU merupakan lembaga yang onbevoegheid untuk ini ya, Prof. Nah, saya melihat di sini, mana sih aturannya? Begitu. Tapi kemudian saya melihat pada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 tentang larangan persekongkolan dalam tender. Saya lebih kaget lagi, Prof, ini. Maka saya cari undang-undangnya mana atau toh gitu. Undang-undangnya itu Pasal 22 mengatakan, “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau 22
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Jadi tidak ada deligasi kewenangan untuk menuntut peraturannya, Prof, ya. Tapi kemudian saya baca peraturan komisi ini nomor 2 itu dia mengatakan, “Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan.” Di dalam Pasal 22-nya tidak memberikan kewenangan tapi ini justru ada pedoman, ya. Nah, di sini dalam Pasal 47 itu mengatakan, “Tindakan administratif, komisi berwenang mengajukan … menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.” Administratif ya, Prof. Ayat (2), “Tindakan administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa penetapan pembatalan perjanjian,” dan seterusnya, “Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal,” dan seterusnya sampai huruf g. Yang kemudian menyatakan di sini bahwa pengunaan denda serendah-rendahnya Rp1miliar dan setinggi-tingginya Rp25 miliar. Saya di sini sudah agak kaget juga, dendanya sangat tinggi, begitu. Tetapi, dari ketentuan sanksi ini dari Pasal 47 sampai Pasal 49, tidak menyebutkan Pasal 22. Jadi sanksinya itu terhadap Pasal 13, 15, 16, Pasal 4, Pasal 14, tapi Pasal 22 tidak ada. Justru pedoman ini, pedoman Pasal 22 undang-undang itu. Jadi kalau di sini tidak ada sanksinya, dalam pedoman ini ada sanksinya. Kemudian, saya lebih kaget lagi bahwa peraturan ini hanya sampai pada Pasal 4, yang mengatakan bahwa di samping dari Pasal 1 sampai Pasal 4 ini, maka ada lampiran, Prof. Nah, anehnya dalam lampiran ini disebutkan lampiran pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender. Saya kagetnya dalam Bab 5, itu muncul aturan sanksi. Jadi, saya sebagai orang perundang-undangan itu bingung. Katanya kalau lampiran itu tidak boleh kemudian atau penjelasan enggak boleh menambah norma baru, tadi dikatakan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tapi ini di dalam peraturan KPPU itu justru lampirannya yang memberikan aturan sanksi, dan aturan sanksi ini langsung menyatakan, sesuai dengan Pasal 47, “KPPU berwenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif, terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 22.” Pada Pasal 22 pun tidak disebut dalam peraturan sanksi ini, dan kemudian di sini disebutkan terhadap pelanggaran Pasal 22 dapat dikenakan hukuman pidana pokok, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5. Ini saya jadi bingung, Prof. Yang benar itu yang mana, gitu? Karena kok ini lampiran, tapi isinya sanksi dan sanksi pidana, tentunya apa yang dikemukan oleh kedua Ahli ini, ya enggak tepat begitu. Jadi saya juga bingung, “Kok ada ya seperti ini?” Dan saya baru tahu ini, Prof. Karena saya lihat tadi dikatakan itu beleids regel, tapi kemudian 23
enggak boleh ada norma baru, tapi kemudian apa yang ada di dalam undang-undang ini berbeda dengan peraturan KPPU ini. Kalau seperti ini, terus bagaimana, Prof? Ya, jadi tadi tentang penyelidikan dan penyidikan itu juga sudah bermasalah, tapi terhadap sanksi pidana pada KPPU ini itu sudah memberikan sanksi sekian banyak karena undang-undang ini tahun 2000 ... 1999, berarti sudah sekian lama, tapi kok enggak ada, tidak pernah ada yang protes terhadap hal ini. Hal ini pun yang dipermohonkan oleh Pemohon, sebetulnya berbeda dengan yang saya kemukakan ini. Tapi ini saya tergelitik karena Prof mengatakan ini beleids regel, tapi enggak punya kewenangan untuk membentuk aturan, tapi kemudian seperti ini yang terjadi. Itu saja, Prof, terima kasih. 29.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, Yang Mulia Pak Palguna.
30.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, terima kasih, Yang Mulia. Saya tanya ke Prof. Gde Pantja dulu ya. Gini, kalau dilihat di keterangan Prof. Gde Pantja ini, Ahli. Ya ini, KPPU dikualifikasikan sebagai apa ya, kuasi atau semi pengadilan, gitu ya dengan ciri-cirinya itu, tapi kemudian di belakang, terkait dengan kewenangannya itu, tidak berwenang mengeluarkan peraturan, tapi dia hanya lebih bersifat sebagai apa peraturan kebijakan atau beleids regel itu. Tentu kemudian secara teoretik menjadi persoalan. Kalau cuma begitu, apakah dia memang kuasi pengadilan dia apakah tidak? Begitu, itu satu. Kemudian yang kedua, tapi juga ada gejala umum yang tampaknya sekarang jadi perkembangan tersendiri juga, kemarin juga menjadi perdebatan di sidang Mahkamah ini. Yaitu apa yang dinamakan dengan self regulatory bodies. Nah, yang juga mempunyai kewenangan dia untuk mengeluarkan … apa ... regulasi ya, regulasi yang tampaknya juga tidak bisa kita … apa namanya ... turunkan kewenangannya itu dari mainstream teoretik tentang pemberian kewenangan dari ajaran-ajaran yang kita temukan selama ini. Yang khususnya kalau kita bertolak dari prinsip Trias Politika itu. Nah, kalau dilihat dari perspektif itu, bagaimana kita menempatkan KPPU ini, Prof? Nah, itu. Mungkin kemudian pertanyaan yang kedua barangkali, ini karena kan ada kecederungan sekarang ini ada … apa namanya ... segi-segi hukum adminisitrasi yang mengandung aspek pidana di dalamnya. Nah, ini sebenarnya kalau dilihat dari ... dari … apa namanya … dari perkembangan teori hukum administrasi kontemporer, bagaimana kita menjelaskan itu? Karena kan seolah-olah 24
tidak ada kepercayaan bahwa sanksi administratif enggak cukup, sehingga terpaksa harus menempuh pidana di belakangnya, ataukah ada alasan lain di luar itu sebenarnya? Mengapa pidana dibutuhkan di sini? Nah, itu satu. Kemudian untuk Ahli Pak Dr. Chairul Huda, menarik sekali keterangan ini. Tapi khusus untuk bagian yang terakhir saya justru ingin menanyakan ini. Jadi, ya, logikanya betul kalau saya lihat artinya saya bisa mengikuti apa yang disampaikan tadi. Mestinya penyelidik itu kan sub ordinate dari penyidik gitu, ya. Tetapi dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 44 ayat (3) dalam konteks dengan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini seolah-olah dia menjadi … apa ... memberikan perintah kepada penyidik, gitu kan. Tapi apa enggak bisa dilihat dari perspektif yang berbeda, Prof? Artinya begini ... Pak Chairul Huda, artinya begini, apakah tidak bisa dilihat … dari segi penyidik, apakah itu tidak bisa dilihat itu sebagai … apa namanya ... memang itu sebagai bukti permulaan yang cukup gitu ya, dari perspektif penyidik misalnya dilihat, kita jangan melihatnya dari arah ... dari arah yang ditemukan oleh KPPU dan kemudian karena dari bunyi pasal ini seolah-olah ini directed gitu, ya. Nah, tapi kalau dilihat dari posisi penyidiknya sendiri, apakah itu tidak bisa diterima sebagai … apa ya namanya ... temuan yang … apa ... given fact gitu, ya, fakta yang memang sudah ada seperti itu. Bahwa yang menemukan itu bukan penyelidik dalam pengertian KUHAP itu soal yang berbeda, tetapi bahwa ada fakta yang ditemukan seperti itu, apakah itu tidak bisa dilihat sebagai satu yang given gitu, ya? Sehingga tidak dipandang sebagai direktif di sini. Itu, terima kasih, Yang Mulia. 31.
KETUA: ANWAR USMAN Yang Mulia Pak Suhartoyo.
32.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ya, terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Saya ke Prof. Pantja Astawa. Saya substansi saja, Prof, sedikit. Oke, kita sepakat mengikut alur pendapat Ahli Prof. Pantja Astawa bahwa KPPU prinsip tidak bisa mengeluarkan peraturan, tapi karena perintah undang-undang boleh mengeluarkan pedoman, tapi pedoman pun mestinya sangat terbatas, artinya ketika itu sepanjang masih juklak/juknis itu bisa ditolerir di situ. Nah, dalam konteks ini sebenarnya itu perdebatan persidangan sebelumnya kemarin bahwa KPPU itu hanya mengeluarkan salah satu yang menarik dan dipersoalkan Pemohon adalah tentang pemaknaan pihak lain itu yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman KPPU. Apakah kemudian itu menjadi substansi daripada peraturan yang kemudian tidak boleh seharusnya dimasukan dalam pedoman, ataukah 25
itu mestinya bisa, masih bisa dalam konteks karena memang secara juklak dan juknisnya itu menimbulkan persoalan, Prof. Dan sebenarnya di Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 itu sebenarnya sudah jelas memang pihak lain, namun ketika kemudian dibenturkan dengan Pasal 1 angka 8 di situlah muncul persoalan, tapi itu perbedaan ... persoalan yang berbeda lah. Kita bicara bahwa Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dituangkan dalam bentuk pedoman, kemudian itu masih dalam frame juklak dan juknis, ini versinya ... versinya apa ... (suara tidak terdengar jelas) karena memang itu banyak ... banyak yang mempertanyakan dan di dalam persidanganpersidangan mereka itu banyak juga yang kemudian mengajukan semacam eksepsi lah, keberatan lah, kemudian dijadikan memorimemori kasasi di dalam atau memberi keberatan di pengadilan negeri dan di Mahkamah Agung. Nah, saya ingin penegasan dari Prof, apakah itu masih masuk dalam frame pedoman, apakah itu sudah ... apa juga itu kemudian yang Prof declare sebagai anu apa itu ... pembentukan norma baru itu tadi? Itu yang saya pengin ... kemudian yang kedua dari Pak Dr. Chairul Huda. Begini, Pak. Memang sebaiknya idealnya memang yang namanya penyelidik dan penyelidikan itu adalah suatu tindakan dan lembaganya pun mestinya merupakan sub ordinat daripada penyidik, ya, itu idealnya. Tapi ketika memang itu ada seperti di KPPU, kemudian yang paling keras itu ... kemudian benturan koordinasinya menjadi sulit itu anu ... Pak Chairul Huda, di Komhasham dengan kejaksaan itu, ya kan? Itu memang bukan bagian dari sub ordinat itu. Tapi persoalannya kan kemudian itu tidak ... tidak kemudian serta-merta menjadi tidak sah kan karena itu memang perintah undang-undangnya seperti itu. Hanya persoalannya begini, anu ... Pak Chairul Huda. Ini Pasal 35 ini sebenarnya memberi kewenangan dan koordinasi, terlepas itu ada upaya paksa maupun tidak, saya setuju bahwa itu upaya paksa sebenarnya karena wajib menyerahkan, kemudian ditarik sebagai bentuk penyitaan lah, apa ... kemudian memanggil orang, ketika tidak hadir kemudian bisa diupaya paksa dengan bantuan penyidik Pasal 35 ini. Nah, itu persoalan yang minggu kemarin juga dibantah oleh KPPU mengatakan bahwa dia tidak pernah menghadirkan orang secara paksa, enggak pernah minta bantuan penyidik, hanya ditakut-takuti. Ya, sudah kalau Anda tidak datang saya serahkan kepada penyidik saja katanya. Satu ... satu hal itu. Jadi artinya apakah justru dengan adanya nomenklatur yang tidak jelas ini KPPU menjadi terlindungi, sebenarnya dia substansinya melakukan upaya-upaya paksa tapi sebenarnya dia tidak di apa ya ... tidak mendapat legitimasi untuk melakukan upaya paksa itu, sehingga justru menguntungkan ... tapi sangat merugikan hak asasi yang Pak Chairul Huda tadi sebutkan, satu hal itu. Kemudian kedua, Pak Chairul Huda, saya ingin menanyakan kalau proses penyelidikan hasil dari investigasi dari KPPU kemudian, kemudian ketika putusannya nanti tidak dihormati atau bagaimana alasannya 26
kemudian diserahkan kepada penyidik, tapi substansi daripada penyidikan sebenarnya kan hasil penyidikan ini, Pak Chairul Huda. Apakah tidak bisa kemudian diuji melalui praperadilan tentang penyidikannya itu adalah ... jadi jangan melihat, bukan jangan, saya tidak mau memaksakan pendapat saya, bagaimana kalau kita melihat, Pak Chairul Huda. Bahwa perspektif penyidikan itu jangan secara parsial dilihat ketika berkas itu dilimpahkan kepada penyidik, kemudian tanggung jawab penyidik mulainya sejak dari itu, tapi coba lihat konteks KPPU, hasil penyelidikan KPPU ini kan rangkaiannya sangat panjang. Di situ justru banyak hal-hal yang tadi, Pak Chairul Huda, curigai sebagai banyak pelanggaran-pelanggaran di situ. Bisa tidak substansi ini kemudian dipersoalkan diuji praperadilan misalnya? Barangkali itu yang ingin saya tanyakan dan mintakan pandangan. Terima kasih, Pak Ketua. 33.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih. Yang Mulia, Pak Patrialis.
34.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya, terima kasih, Pak Ketua. Prof. Pantja Astawa, kita malah yang sudah kangan mengobrol, sudah lama enggak bertemu. Ini ahli yang didatangkan oleh Pemohon ini ternyata ahlinya memang ahli duaduanya, kita juga confuse dengan keadaan undang-undang ini, bahaya sekali ternyata ini. Baik, pada Prof. Pantja Astawa maupun Dr. Chairul Huda, pertama terhadap adanya perluasan pemahaman atau pengertian undang-undang yang dibuat oleh KPPU yang mengaitkan antara lain Pasal 1 angka 8 dan Pasal 22, 23, 24 berkenaan dengan pihak lain yang dipersoalkan oleh para Pemohon ini ... oleh Pemohon ini. Kalau demikian adanya, seperti landasan yang disampaikan oleh kedua ahli apakah kalau keadaan ini dipertahankan justru akan berbahaya untuk suatu kepastian hukum dalam kelangsungan pembangunan yang ... apa namanya ... misalnya suatu tender yang dilakukan oleh pemerintah, kemudian tiba-tiba KPPU dengan penafsirannya mengatakan bahwa adanya suatu persekongkolan yang dilakukan antara pihak lain dengan pemerintah misalnya, pemerintah yang lama mungkin, ini berbahaya berarti. Yang kedua, apakah suatu pemerintahan, di daerah ini kan pemerintahannya ganti-ganti kan, di Indonesia kan di tingkat nasional kan juga, suatu ... apa ... pemerintahan yang sudah melakukan suatu tender, kemudian pemerintahan daerahnya diganti, artinya kepala pemerintahannya, pemerintahan daerahnya. Apakah bisa kepala pemerintahan yang baru justru mengajukan permintaan kepada KPPU untuk membatalkan tender itu? Padahal pemerintah kepala daerah yang lama sudah melakukan suatu prosedur dengan alasan perluasan 27
pemahaman ini, Prof. Jadi dianggap pemerintahan yang dulu melakukan persekongkolan dengan pengusaha, pihak lain itu, ya. Itu satu. Saya memang menjadi bangun kita ini melihat ... apa namanya ... undangundang ini. Memang ini baru pertama kali juga sebetulnya ke Mahkamah Konstitusi ini. Yang kedua, mungkin prediksi barangkali dari para ahli kenapa sampai undang-undang ini membuat frasa penyelidikan, mengenai penyelidikan tadi. Kalau kita mendengar para ahli ya sama juga sebetulnya pendapat kami pada persidangan lalu juga menyampaikan ini kepada KPPU, kira-kira apa latar belakangnya ini? Karena jelas ini kan menafikan keberadaan KUHAP. Jika demikian, apakah proses penyelidikan yang ada di dalam undang-undang ini yang tidak bersifat pro justitia ini bisa dilanjutkan pada tingkat penyidikan atau memang gugur dengan sendirinya karena memang tidak mempunyai kewenangan penyelidikan itu. Itu. Kemudian bagaimana sebetulnya kalau ini penyelidikan tentu harus ada prosedur yang ditempuh, bagaimana tata cara pengangkatan para penyelidik? Tadi disebutkan oleh Pemohon investigator itu. Bagaimana tata cara yang seharusnya, pengangkatan seorang penyelidik itu? Terima kasih. 35.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Terima kasih. Mungkin langsung ke Prof. Pantja Astawa, silakan.
36.
AHLI DARI PEMOHON: I GDE PANTJA ASTAWA Terima kasih, Yang Mulia. Banyak sekali pertanyaannya. Mudahmudahan saya tidak ada yang tertinggal. Semula saya pikir satu-satu saya jawab, sehingga menjadi fokus itu, tapi enggak apa-apa, Yang Mulia. Menjawab pertanyaan dari Penasihat Hukum Pemohon. Begini, saya kan fokus kepada normanya. Norma Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan terkait dengan pasal yang lain. Memang logika hukumnya kenapa pembentuk undang-undang itu merumuskan normanya demikian? Pasti ada alasan. Itu biasanya pembentukan suatu undang-undang itu didahului dengan akademik draf. Sehingga di situ akan bisa dimintai pertanggungjawaban akademiknya, kenapa norma itu dirumuskan demikian? Nah, itu kan faktanya nanti akan bisa kita lihat di dalam risalah persidangan. Di samping dalam akademik drafnya gitu. Saya sendiri tidak ... tidak mencoba untuk meng-hunting itu, risalah persidangan itu, sehingga tidak tahu saya. Apa yang melatarbelakangi pembentuk undang-undang itu merumuskan Pasal 22 itu, demikian gitu ya. Saya 28
hanya melihat dari sisi konsistensi ... konsisten atau tidak. Karena nomenklaturnya sendiri adalah persekongkolan. Yang notebenenya definisinya sudah jelas, clear di dalam Pasal 1 angka 8. Sehingga muncullah dalam pendapat saya, kalau saya lihat dari perspektif ilmu perundang-undangan, kalau satu norma itu sudah clear, kasarnya itu pantang untuk ditafsirkan lain, gitu lho. Nah, dari situ kemudian saya lihat, ini kok tidak nyambung, tidak connect antara ketentuan Pasal 1 angka 8 yang notebene merumuskan tentang persekongkolan, dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 22, Pasal 23 dan seterusnya? Khusus untuk persekongkolan, gitu lho. Jadi, saya melihatnya dari sisi itu. Bahwa kemudian Anda mengungkapkan informasi kepada saya, ternyata dalam risalah persidangan sama sekali tidak menyinggung atau memberikan alasan kenapa pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu merumuskan normanya demikian. Ini barangkali nanti bisa disampaikan kepada Majelis, risalah itu. Sehingga ketika nanti Majelis melakukan suatu penafsiran historis ya, atau wet historisch, akan menjadi mudah bagi Yang Mulia Majelis untuk memaknai apa sebetulnya yang dimaksud dengan pihak lain ini, gitu. Apakah memang benar sama dengan yang Pasal 1 angka 8? Gitu, ya. Jadi saya kembalikan kepada Anda sebagai Penasihat Hukum, kalau memang ada buktinya, ya silakan saja, serahkan kepada Majelis. Biar Majelis yang akan menilai nanti. Saya sekali lagi, hanya melihat dari sisi normanya saja, gitu lho ya. Yang kedua. Norma yang berbunyi yang kembali ke Pasal 22 itu pihak lain itu. Tentu saja, pasti akan menimbulkan ketidak ... menimbulkan ketidakpastian. Lebih celaka lagi, menyambung pertanyaan dari Yang Mulia Prof. Maria, termasuk juga ini ada kaitannya dengan Pak Suhartoyo kalau enggak salah ... Yang Mulia Pak Suhartoyo. Begitu juga Yang Mulia Patrialis Akbar ... Yang Mulia Palguna ... Yang Mulia Palguna. Blunder persoalan ini sebetulnya ada di situ, di peraturan yang disampaikan oleh KPPU. Dimaknai boleh membuat pedoman itu, seakanakan memposisikan diri sebagai wet gaver. Padahal seperti tadi yang saya sampaikan. Maksud pembentuk undang-undang itu memberikan kewenangan menyusun pedoman, dalam arti manual. Itu maksudnya apa? Diberikan kebebasan untuk menerbitkan apa yang ... dalam hukum administrasi disebut dengan beleidsregel (peraturan kebijakan). Ada koridornya, ada ramburambunya. Apa yang boleh, apa yang tidak boleh. Yang boleh itu yang namanya pedoman itu, hal-hal yang bersifat teknis. Contoh, kalau saya bandingkan dengan misalnya Undang-Undang Perseroan Terbatas. Di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas setiap kali warga negara mendirikan PT atau Perseroan Terbatas, tentu harus didaftarkan untuk memperoleh keabsahan atas pendirian PT itu. Kemana didaftarkan? Ke Kementerian Hukum dan HAM.
29
Di dalam Undang-Undang PT sama sekali tidak disebutkan bagaimana cara mendaftarkan itu. Di situlah pembentuk undang-undang memberikan peluang kepada administrasi negara. Untuk apa? Mengambil suatu tindakan yang disebut dengan atau peraturan yang disebut dengan beleidsregel. Apa yang diatur di situ? Hal-hal yang bersifat teknis. Bagaimana tata cara mendaftarkan PT yang sudah dibuatkan akta pendiriannya. Sama sekali tidak bicara norma di situ. Persoalan yang serius bagi saya justru ketika KPPU menerbitkan peraturan ... dua peraturan. Yang notabenenya di situ adalah menafsirkan bunyi undang-undang, bahkan memperluas bunyi undangundang. Khususnya Pasal 22, dan lebih khusus lagi menyangkut tentang frasa pihak lain. Ini yang dijadikan sebagai titik tolak untuk quote unquote mengadili ... mengadili pelaku-pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap norma Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu berdasarkan pada asas penyelidikan. Ini menimbulkan … harus diakui dalam kenyataan sehari-hari banyak sekali pelaku-pelaku usaha menjadi resah. Jadi, inti persoalannya adalah kembali kepada pembentuk undang-undang, adakah KPPU itu diberikan kewenangan atau tidak? Dalam perspektif hukum administrasi negara, itu namanya asas spesialitas. Kalau dia tidak diberikan kewenangan, kemudian menerbitkan atau katakanlah memaksakan menerbitkan peraturannya yang isinya peraturan itu bukan teknis administratif, melainkan membangun suatu norma. Wewenang saja tidak punya, kok, itu yang saya katakan dalam pendapat saya yang tertuang dalam tertulis itu. Itu yang saya katakan onbevoegdheid, tidak berwenang. Konsekuensi hukumnya apa? Tidak sah. Ini yang sudah terjadi, Yang Mulia. Kalau Yang Mulia kaget, saya juga lebih kaget. Ini harus saya katakan. Bukan salah orang-orang KPPU, barangkali tidak paham apa yang diperintahkan oleh undang-undang dalam bentuk membuat pedoman itu seakan-akan memposisikan kami bisa membuat peraturan, tidak demikian, termasuk melakukan penyelidikan. Sama halnya kalau saya bandingkan dengan Komnas HAM. Ada laporan dari masyarakat terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kemudian Komnas HAM turun ke lapangan, melakukan apa? Penyelidikan. Yang dilakukan di situ apa? Fact finding. Dia tidak memposisikan diri sebagai polisi, penyelidik. Dari hasil penyelidikannya yang notabene dalam kacamata saya administratif, lahir kemudian rekomendasi. Kalau ada dugaan pidana, direkomendasikan kepada penegak hukum, betul ini terjadi pelanggaran HAM. Contoh yang kedua, misalnya DPR, kita tahu, sama-sama tahu, DPR itu punya hak angket. Maksudnya apa? Mengadakan penyelidikan. Apakah kemudian anggota DPR melakukan penyelidikan itu memposisikan diri sebagai polisi? Tidak. Fact finding. Dan dalam pengamatan saya juga, dalam pandangan saya juga, frasa penyelidikan 30
yang digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 harus dilihat dari proses penegakan hukum dalam norma hukum administrasi, mulai dari pengawasan sampai penjatuhan sanksi. Framenya ada dalam buku administrasi. Di mana logikanya kemudian bicara tentang pidana? Begitu, lho. Nah, untuk menghilangkan kebingungan ini memang sebaiknya jangan lagi menggunakan frasa penyelidikan kalau konotasinya adalah fact finding. Dalam arti administratif, cukup satu frasa saja, pemeriksaan, lebih clear menurut saya daripada menimbulkan kebingungan. Lho, kok ada penyelidikan, ada pemeriksaan, bisa kumulatif, bisa alternatif di situ. Yang celakanya kalau penyelidikan ini dimaknai proyustisia, makanya orang yang dipanggil menjadi takut sehingga pertanyaan saya, ini KPPU ini makhluk apa? Tegas saya katakan tadi itu KPPU itu administratif kok, bagaimana dia kemudian berubah wujud menjadi seorang penegak hukum dalam arti proyustisia, melakukan penyelidikan dalam arti proyustisia? Tidak nyambung menurut saya. Nah, yang demikiandemikian ini harus saya sampaikan, Yang Mulia. Jadi, kembali ke persoalan tata cara penyelidikan itu pun juga diatur lebih lanjut di dalam peraturan KPPU. Padahal maksud membuat pedoman ini, dasar KPPU itu diperintahkan oleh undang-undang itu untuk membentuk peraturan atau membentuk pedoman itu dasarnya apa? Diskresi. Dalam istilah Jerman itu freies ermessen. Makna diskresi itu apa? Pilihan. Memilih di antara dua atau lebih pilihan. Pertimbangan apa yang diberikan? Cara apa yang ditempuh dan pilihan apa yang diambil sepenuhnya ada pada, kalau dalam konteks ini KPPU. Apa yang akan diatur? Hal-hal teknis apa yang akan diatur? Itu yang dirinci, bukan membangun norma karena dia tidak diberikan kewenangan untuk membuat peraturan dalam arti self regulatory body itu. Makanya saya bandingkan, beda dengan Mahkamah Konstitusi, beda dengan MA, beda dengan KPU, ada delegasi kewenangan di situ. Mempertegas itu apa? Dengan istilah menyusun pedoman. Pedoman itu adalah nomenklatur dari beleids regel. Tidak bisa lain, maknanya itu. Makanya tadi saya katakan substansi dari beleids regel itu dia bisa pedoman, berupa pedoman, bisa juklak, bisa juklis, bisa juknis substansinya. Artinya apa? Teknis. Bagaimana kemudian KPPU membuat satu Peraturan KPPU Nomor 1 maupun Nomor 2 Tahun 2010 ini yang berisi norma, termasuk memperluas makna yang ada di dalam Pasal 22, termasuk merumuskan lagi tentang sanksi pidana? Sakti betul, padahal dia tidak diberikan kewenangan. Makanya tegas dikatakan onbevoegdheid. Konsekwensinya apa? Tidak sah secara administratif. Nah, kalau tadi Ahli rekan saya mengatakan terjadi pencampuradukan wewenang, justru itu dalam hukum administrasi ada larangan itu, tegas. Ndak boleh terjadi pencampuradukan wewenang itu karena potensial akan melahirkan tindakan sewenang-wenang. Lah, ini yang terjadi dalam fakta di lapangan. Tapi saya tidak melihat fakta yang 31
ada di lapangan, saya lebih fokus kepada norma yang dibangun oleh peraturan KPU ini. Nah, kembali ke persoalan tadi pertanyaan yang dari Penasihat Hukum ini. Kita tahu bahwa Undang-Undang Nomor 5 ini dibuat tahun 1991 ... 1999, sementara perkembangan yang terjadi kemudian, kita dihadapkan oleh peraturan perundang-undangan namanya keppres, dan kemudian diubah dalam bentuk perpres. Tentang apa? Pengadaan barang dan jasa. Karena di sini undang-undang ini bicara tentang tender. Persekongkolan di bidang tender. Beberapa tahun kemudian lahir Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang diubah, diubah, diubah, kemudian diganti bentuk hukumnya menjadi Perpres 54 Tahun 2010, diubah lagi sampai kelima kalinya. Di situ diatur tentang apa? Organisasi pengadaan barang dan jasa mulai dari pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, pejabat pengadaan, dan seterusnya, sampai panitia … apa namanya itu ... panitia terakhir yang memeriksa barang. Jadi, kalau misalnya dalam pengadaan barang dan jasa ini diduga terjadi persekongkolan, boleh memang KPPU masuk, tapi sekadar meniupkan peluit. Kenapa? Kalau memang ada laporan terjadi persekongkolan dalam proses pengadaan barang dan jasa, pelaku usaha yang merasa dirugikan, dia bisa mengajukan sanggahan. Ke mana? Ke pokja. Melaporkan, kasarnya. Melaporkan kepada pokja, “Ini lho, terjadi persekongkolan.” Nah, kalau kemudian ditanggapi, direspons oleh pokja tidak juga memuaskan yang melapor ... pelaku usaha yang melaporkan ini, dia bisa berujung melakukan administratif (suara tidak terdengar jelas). Banding administratif, ke mana? PTUN. Jadi, larinya ke administratif dia, ke PTUN larinya. Dan itu sering terjadi di lapangan proses pengadaan barang dan jasa kalau tidak terjadi tindak pidana di situ, misalnya terjadi suap. Ceritanya lain lagi kalau terjadi suap. Tindak pidana itu. Terjadi grativikasi, pidanalah itu. Tapi kalau seandainya di luar ini hanya kesalahan prosedural, kesalahan penunjukan, menurut saya tidak mesti harus ditarik ke wilayah pidana. Secara administratif, harusnya. Nah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini kan belum sampai ke situ waktu dibuatnya, gitu lho. Nah, kalau sekarang saya hadapkan dengan keppres … dengan perpres pengadaan barang jasa, lain ceritanya, Pak. Penyelesaiannya akan menjadi lain. Kalau dimaknai pihak lain itu pemerintah. Di dalam perpres juga mengatur. Kalau terlibat pejabat pemerintah di situ, apakah dia bertindak sebagai pengguna anggaran, sebagai kuasa pengguna anggaran, atau sebagai PPK, ada sanksinya. Nah, ini untuk sekali lagi untuk mempertegas bahwa Pasal 22 ini, pialang itu harus diartikan pelaku usaha lain. Kalau dimaknai pemerintah, ada di dalam perpres pengadaan barang dan jasa. Ini saya mau memberikan masukan saja kepada Yang Mulia, gitu lho.
32
Jadi, bingung saya ini, mana yang belum saya jawab ini karena saya sudah sekaligus ini. Jadi, Yang Mulia Prof. Maria, begitu juga Yang Mulia I Dewa Palguna, Pak Patrialis Yang Mulia. Saya sekali lagi melihat persoalan yang paling krusial itu terletak justru ketika KPPU itu memposisikan diri sebagai seakan-akan dia bisa membuat aturan, kemudian menafsirkan aturan itu, bahkan membentuk norma baru. Itu yang menurut saya itu tidak itu yang dimaksud oleh pembentuk UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Sebagai badan administrasi dia hanya diberikan kewenangan untuk membuat pedoman. Dasarnya apa? Diskresi, freies ermessen. Saya mohon maaf, tanpa mengurangi hormat saya kepada Komisioner yang duduk. Bisa jadi banyak di antaranya yang tidak paham dari sisi hukum administrasi, sehingga dibiarkan seakan-akan itu benar peraturan itu. Nah, kenapa baru terungkap? Ya karena saya baru diminta jadi Ahli, saya harus ngomong. Ketika saya ada di Pihak Pemohon itu waktu sebelum ke sini, ada persidangan yang digelar oleh KPPU, saya diminta jadi Ahli, saya sampaikan. Tapi, ya sudah lah saya hormati putusannya. Saya enggak akan lawan, saya hormati putusannya. Nah, kemudian berlanjut ke sini, ya, di sinilah saya berbicara. Karena saya percaya, Yang Mulia paham tentang hukum. Yang Mulia bijak. Itu sebabnya tadi di pandangan saya itu saya sampaikan. Yang paling bijak itu menyerahkan kepada Yang Mulia. Berdasarkan pendapat saya maupun pendapat dari Pak Chairul Huda. Silakan Yang Mulia nanti memutus. Mohon maaf kalau ada yang terlewat. Karena sekali lagi, saya bingung, mana yang belum, mana yang sudah. Sudah, Yang Mulia. 37.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih, Prof. Silakan, Pak Dr. Chairul Huda.
38.
AHLI DARI PEMOHON: CHAIRUL HUDA Izin, Yang Mulia. Soal persekongkolan, tadi saya pikir sudah dijawab oleh Prof. Gde. Di dalam KUHAP berkenaan dengan syarat kepangkatan penyelidik dan penyidik, itu ditentukan dalam peraturan pemerintah, jadi didelegasikan di dalam peraturan pemerintah. Jadi, tentu ada syarat berhubungan dengan kepangkatan, pendidikan, pelatihan, katakanlah kompetensi, dan seterusnya, sehingga saya pikir tidak mungkin dipersamakan dengan penyelidik di KPPU, gitu. Jadi kalaupun KPPU memang berwenang mengangkat penyelidik, maka dia harus mempunyai instrumen yang menentukan berkenaan dengan perekrutan itu, syarat-syarat menjadi penyelidik dan seterusnya, sehingga tidak bisa begitu saja mengambil alih apa yang disebutkan di dalam KUHAP ataupun peraturan pelaksanaannya. Itu yang pertama. 33
Yang kedua. Memang ada dua teori, ada yang semata-mata pelanggaran norma administrasi itu kemudian diberi sanksi pidana, sehingga perbuatan dilarang di dalam norma administrasi itu menjadi strafbaar dalam suatu tindak pidana, sehingga kemudian rumusan ketentuan pidananya hanya memuat strafmaat dan strafsoort-nya, memuat sanksinya saja. Ada yang berpendapat diperlukan adanya sob sociale, adanya dampak. Jadi selain pelanggaran norma administrasi untuk bisa dikatakan sebagai delik harus ada dampak, ya, dampak dari pelanggaran norma administrasi itu kepada pihak lain, kepada masyarakat, kepada yang lain, katakanlah seperti itu. Tidak semata-mata sebagai pelanggaran administrasi. Saya termasuk yang menganut yang kedua. Jadi menurut saya, pelanggaran administrasi tidak identik dengan delik, harus ada unsur tambahan. Sehingga kemudian berbeda, ya ada bagian inti besarnya ada di dalam norma yang dilarang di dalam norma administrasi, tetapi tentu ada unsur tambahannya. Kita lihat beberapa ketentuan, paling tidak ditambahkan unsur offset, unsur kesengajaan misalnya. Jadi, pelanggaran norma administrasi yang disengaja, masuklah ke dalam kategori delik, misalnya seperti itu. Jadi tentu ada perbedaan antara semata-mata sebagai pelanggaran administrasi yang diberi sanksi administrasi dengan pelanggaran administrasi yang sudah menjadi sebuah delik. Istilah investigator memang lebih kepada apa ... tepat kalau kemudian dipadankan dengan istilah penyidik. Jadi kalau dalam peraturan yang dibuat oleh KPPU menggunakan nomenklatur investigator, ya memang seperti Prof. Pantja tadi katakan, berarti membentuk kewenangan sendiri, membikin kewenangan baru, yaitu melakukan penyidikan. Ini yang kemudian menimbulkan persoalanpersoalan kan di dalam ... termasuk di antaranya yang dimohonkan dengan hal ini. Jadi, kalau semata-mata hanya memang penyelidikan itu dalam pengertian pemeriksaan katakanlah, ya, dalam pengertian maksudnya bagian dari pemeriksaan, tentu bukan menjadi persoalan, tapi memang sekali lagi supaya kemudian tidak menimbulkan silang pemahaman berkenaan dengan apa itu yang dimaksud dengan penyelidikan. Saya berpendapat sama seperti Prof. Gde Pantja tadi bahwa sebenarnya apa yang dilakukan sebagai pemeriksaan itu juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penyelidikan itu sendiri, sehingga kemudian tidak perlukan … tidak diperlukan adanya frasa berkenaan dengan penyelidikan dalam hal itu. Saya ingin melanjutkan untuk menjawab pertanyaan Yang Mulia Bapak I Gede Palguna. Memang dalam pendapat saya, saya kemukakan bahwa susunan norma yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu menempatkan seolah-olah bahwa justru penyelidik itu memberikan direksi, memberikan perintah kepada penyidik, katakanlah 34
seperti itu. Nah, bagaimana kalau dilihat itu sebagai … sebagai fakta … sebagai fakta? Jadi kalau fakta berarti kita kembalikan definisinya hanya seperti definisi penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Jadi, dia tidak menilai kualifikasi apakah kemudian di situ ada pelanggaran atau tidak. Tidak menentukan bahwa apakah sudah ada perbuatan yang memenuhi larangan yang ditentukan di dalam norma administrasinya atau tidak. Saya ambil contoh kasus yang sekarang mestinya sedang ramai katakanlah seperti itu, ya. Ketika polisi melakukan penyelidikan terhadap dugaan penistaan agama. Yang dicari sebenarnya penyelidikan semata itu, sudah masuk dalam penyidikan karena sudah menilai fakta apakah ini masuk ke dalam unsur pidana atau tidak. Penyelidikan hanya sematamata mencari fakta. Ya, oke karena ini berkenaan dengan persaingan usaha yang mengerti persoalan persaingan usaha adalah KPPU. Sudah, fakta saja, fakta semata itu saja. Dan kalau memang fakta itu merupakan suatu pelanggaran penormaan administrasi, ada sanksi administrasinya. Sekalian menjawab Yang Mulia Dr. Suhartoyo. Saya pikir tidak kekurangan kewenangan … apa namanya … KPPU ini untuk memberi sanksi karena dia mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi, kan gitu. Tanpa norma pidananya pun sanksi administrasinya sudah sangat gawat ini, sudah sangat berat, gitu lho. Luar biasa, gitu. Bahkan kemudian bisa membatalkan tender yang sudah dinyatakan sesuai dengan prosedur. Menjatuhkan denda administrasi yang besar. Jadi, dalam pemahaman saya sudah cukup terlindungi, kewenangannya sudah begitu besar dengan melakukan ... dia mempunyai wewenang melakukan pemeriksaan dan kemudian menjatuhkan sanksi administrasi, sudah begitu besar. Tidak diperlukan sebenarnya ditambah kewenangan untuk melakukan penyelidikan dari segi pidana untuk kemudian menjadi entry point diterapkannya ketentuan pidana berkenaan dengan hal ini. Saya pikir maksud dari pembentukan undang-undang ini kan, membuat persaingan yang sehat, bukan mau memenjarakan pelaku usaha, kan gitu. Bukan kemudian mau … kemudian menimbulkan keadaan yang kontraproduktif terhadap usaha kita karena ketakutan kena pidana semua. Ini kita sudah punya pengalaman berkenaan dengan korupsi sampai serapan anggaran begitu rendah. Dikit-dikit korupsi, dikit-dikit korupsi, apa pun dikenakan korupsi. Nah, sekarang kalau ini berarti nanti suatu saat orang enggak akan ada yang mau juga ikut tender karena nanti bisa kena suatu saat pidana. Padahal sekadar entertain dengan pihak pemilik proyek katakanlah seperti itu. Jadi kalau menurut saya, Yang Mulia. Bahwa tidak berkurang sama sekali kewenangannya, bahkan dalam banyak segi sangat, sangat … apa namanya … efektif untuk bisa memuat … membuat ditaatinya 35
norma-norma ini, norma yang ada di dalam undang-undang ini ketika KPPU menerapkan sanksi administrasi tanpa kemudian menjadi sebetulnya lembaga yang juga mempunyai kewenangan polisionil berkenaan dengan hal ini. Nah, berkenaan dengan hal itu, sekali lagi menurut pendapat saya kalaulah penyelidik-penyelidik KPPU ini ingin katakanlah saya tidak tahu dari segi hukum administrasi memungkinkan atau tidak karena ini bukan lembaga yang full menjalankan fungsi pemerintahan misalnya, maaf kalau saya salah. Kalaulah memang pembentuk undang-undang ingin supaya kemudian lebih efektif lagi sehingga kemudian diberi melakukan suatu tindakan proyustisia, maka kemudian seharusnya pembentuk undang-undang memberi kewenangan untuk membentuk penyidik. Memberi kewenangan untuk membentuk TPNS, gitu sehingga TPNS inilah yang kemudian menjalankan fungsi, baik penyelidikan maupun penyidikan. Itu mungkin bisa jauh lebih efektif untuk bisa memastikan norma-norma administrasinya ditaati ketimbang kemudian seperti kita punya pengalaman berkenaan tadi Yang Mulia Dr. Suhartoyo mengatakan konstelasi hubungan antara Komnasham dengan kejaksaan. Mungkin jawaban saya berkenaan dengan itu sehubungan dengan memang kedudukan kejaksaan yang memang bukan general investigator. Ini yang menyebabkan kemudian timbul persoalan. Berbeda dengan polisi. Polisi kan memang general investigator, dia bisa menyidik semua tindak pidana. Nah, sehingga kemudian konstelasi hubungannya menurut saya justru lebih baik kalau memang diefektifkan ya, memberi kewenangan untuk membentuk TPNS di bawah koordinasi penyidik Polri misalnya seperti itu. Tetapi kalau dengan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi saja sudah cukup kuat untuk memaksakan ditaatinya norma-norma tentang persaingan usaha tidak sehat ini, menurut saya tidak lagi diperlukan kewenangan penyelidikan dalam konteks penyelidikan dari suatu tindak pidana. Terakhir, saya ingin mengemukakan konstelasi hubungan antara penyidik dan … penyelidik dalam hubungannya dengan apa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selagi lagi, Yang Mulia. Ketika penyelidik ... sori, ketika penyidik menerima katakanlah putusan dari KPPU, istilahnya putusan ini Pak Prof. Gde, putusan dari KPPU mungkin tinggal tidak pakai irah-irah demi keadilan saja gitu, putusan dari KPPU, maka pada dasarnya apakah kemudian dari segi konstruksi hukum hal itu kemudian merupakan suatu tindak pidana atau tidak, itu kan sepenuhnya menjadi domain penyidik sehingga kemudian apa yang ditemukan oleh penye ... penye ... katakanlah KPPU bukan sebagai penyelidik, ini kan harus diulang untuk tujuan pro justitia itu. Inilah yang baru kemudian bisa dipertanggungjawabkan dengan dapat dipraperadilankan di sidang praperadilan, gitu. Jadi saya pikir tidak … tidak tepat kalau penyidik 36
diminta untuk mempertanggunjawabkan hasil kerja KPPU. Yang ... mohon maaf yang notabene mungkin tidak mempunyai standar pendidikan, pelatihan, kepangkatan, pengalaman, sebagai seorang penyelidik gitu. Sehingga kemudian hasil (...) 39.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Bapak Chairul Huda, sebentar. Bapak, bapak sepakat tidak kalau penyelidikan itu sebenarnya bisa dikatakan sebuah tindakan permulaan yang merupakan bagian dari penyidikan. Sepakat enggak untuk itu?
40.
AHLI DARI PEMOHON: CHAIRUL HUDA Sepakat, Yang Mulia.
41.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Kalau begitu penyidikan merupakan sub bagian dari pendidikan juga. Banyak ahli mengatakan seperti itu. Saya minta pandangan Anda, kalau ya meskinya kenapa tidak, kalau memang terbuka untuk diuji di sana, gitu loh. Itu, itu kita ... saya (...)
42.
AHLI DARI PEMOHON: CHAIRUL HUDA Betul, Yang Mulia. Jadi tidak masalah kalau, kalau seandainya hubungannya hierarki seperti tadi karena dari awal penyelidik Polri itu sudah bertindak dan bertanggungjawab kepada penyidik. Tetapi ini persoalannya penyelidiknya pada KPPU yang tidak bertanggungjawab kepada penyidik, bahkan dia bisa kasih perintah. Nah, bagaimana kemudian kita bisa menyakini proses-proses yang dilakukan penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU itu memenuhi ... katakanlah mohon maaf standar dari penyidikan sehingga kemudian bisa dipertangungjawabkan, kan gitu. Kalau kita ambil kasus yang kemarin sedang penyelidikannya begitu panjang sudah bahkan masuk dalam penyidikan, begitu penyidikan cuman dirubah saja format klarifikasi diubah menjadi berita acara pemeriksaan saksi. Permintaan keterangan kepada ahli diubah menjadi berita acara ahli, dalam satu minggu bisa selesai karena memang dalam satu lembaga dan kemudian sudah dari awal di bawah koordinasi. Kalau ini tidak di bawah koordinasi kalau menurut saya. Tidak kemudian bisa menginstruksikan bahkan mungkin tidak … tidak mempunyai kewenangan untuk tahu. Penyidik baru itu tahu itu setelah disampaikan oleh komisi, bagaimana kemudian dia bisa memberi direction, bisa memberi arahan, sangat sekali tidak mungkin. Jadi kalau menurut saya, saya setuju dengan Yang Mulia Dr. Suhartoyo bahwa penyelidik itu ... penyelidikan adalah bagian dari 37
penyidikan. Bahkan dalam RUU KUHAP yang akan datang juga sudah dihapus penyelidikan sehingga tidak ada lagi penyelidikan karena dianggap sudah include dalam penyidikan itu. Sehingga pada dasarnya sekali lagi konstruksi ini tadi menimbulkan … menimbulkan problem praktis yang kemudian tidak mengherankan kalau dia membuat sebuah regulasi sendiri berkenaan dengan hal itu. Dia bisa bikin berubah-ubah itu bukti itu menjadi kalau tidak salah ada alat bukti keterangan terlaporlah, bisa diubah itu. Lalu kemudian dia bisa juga sudah menyantumkan pro justitia di dalam penyelidikan itu dan seterusnya, dan seterusnya. Tidak mengherankan terjadi karena tadi menurut saya ini konstruksi normanya memungkinkan untuk ... apa namanya ... apa yang dilakukan penyelidikan itu out of control dari penyidik dan itu sekali lagi pada dasarnya Mahmakah Konstitusi sebagai guard of constitution dan guard of human raights. Yang kita persoalkan dalam konteks ini sekali lagi bukan soal koherensi, soal keselarasan di dalam mengatur sistem peradilan pidana, tidak itu. Tetapi ini adalah ancaman besar hak asasi manusia. Yang setelah 17 tahun baru kita sadari ini setelah ada orang yang menjadi korban kemudian membawa persoalan ini kepersidangan, Yang Mulia ini. Demikian Yang Mulia, menurut saya. Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. 43.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, Terima kasih. Pemohon apakah masih ada ahlinya?
44.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Cukup, Yang Mulia.
45.
KETUA: ANWAR USMAN Cukup, baik. Dari Kuasa Presiden? Apa? Cukup? Ya, baik. Kalau begitu persidangan ini dianggap sudah selesai, sudah cukup, acara selanjutnya itu penyerahan kesimpulan. Jadi nanti masingmasing membuat kesimpulan.
46.
PEMERINTAH: ERWIN FAUZI Mohon maaf, Yang Mulia. Pemerintah akan mengajukan ahli.
47.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, mengajukan ahli. Maksudnya tadi itu, tapi dikiranya mau nanya. Kalau kesempatan itu kan tadi sudah dari awal tadi untuk bertanya. Jadi maksudnya Ahli, gitu. Ada mengajukan Ahli? Ya, baik. 38
48.
PEMERINTAH: ERWIN FAUZI Ya, jadi mengajukan ahli. Kemudian, satu orang Ahli, yaitu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait. Tapi, yang bersangkutan minta waktu tanggal 8, Yang Mulia.
49.
KETUA: ANWAR USMAN Waduh.
50.
PEMERINTAH: ERWIN FAUZI Pukul 14.00 WIB seperti itu. Terima kasih, Yang Mulia.
51.
KETUA: ANWAR USMAN 8?
52.
PEMERINTAH: ERWIN FAUZI 8 Desember.
53.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya. Jadi begini, kita ini di jadwal sidang itu ketat, jumlah perkaranya banyak. Jadi, kita sudah tetapkan hari Senin, tanggal 9 Januari 2017, ya, itu malah setahun ini. Ya, diulangi, jadi penundaan hari Senin, tanggal 9 Januari 2017, ya, pukul 11.00 WIB. Nanti CV dari Ahlinya diserahkan ke Kepaniteraan, ya. Ya, baik. Terima kasih, Prof. Pantja Astawa dan Pak Dr. Chairul Huda atas keterangannya yang memberi pencerahan untuk mengambil keputusan yang ... ya, mudah-mudahan tepat. Dengan demikian, sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.26 WIB Jakarta, 30 November 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
39