MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI/SAKSI PEMOHON (IV)
JAKARTA RABU, 1 JUNI 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik [Pasal 33 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Ibnu Utomo 2. Yuli Zulkarnain 3. R. Hoesnan, dkk ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli/Saksi Pemohon (IV) Rabu, 1 Juni 2016, Pukul 11.15 – 13.23 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Patrialis Akbar Suhartoyo Wahiduddin Adams
Mardian Wibowo
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Ibnu Utomo 2. Yuli Zulkarnain 3. Hoesnan B. Kuasa Hukum: 1. Humprey R. Djemat 2. Dwi Darojatun Suwito 3. Daya Perwira Dalimi C. Pemerintah: 1. Yunan Hilmy 2. Surdiyanto 2. Wahyu Jaya Setia Azhari D. DPR: 1. Arsul Sani E. Ahli Pemohon: 1. Laica Marzuki F. Saksi Pemohon: 1. Agus Purnomo 2. Nu’man Abdul Hakim 3. Tatang Farhanul Hakim
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.15 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang Perkara Nomor XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.
35/PUU-
KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Persidangan hari ini adalah untuk mendengarkan keterangan DPR dan 1 orang Ahli serta 3 orang Saksi dari Pemohon. Sebelumnya dipersilakan untuk memperkenalkan diri, Pemohon. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Ya, terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Sesuai dengan kesempatan yang diberikan oleh Majelis Hakim dalam sidang yang mulia ini, perkenankanlah kami memperkenalkan diri, nama saya Dr. Humprey Djemat. Di sebelah kanan saya, rekan Dwi Darojatun Suwito. Dan selanjutnya rekan saya, Daya Perwira Darimi. dihadiri pula oleh Para Pemohon Prinsipal, yaitu Pak Ibnu Utomo, Bapak Yuli Zukarnain, dan yang paling sebelah kanan itu Pak Hoesnan. Adapun pada hari ini, kami menghadirkan seorang Ahli, yaitu Prof. Laica Marzuki. Kami juga menghadirkan 3 orang Saksi yang terdiri dari Bapak Agus Purnomo, ya. Dan kemudian Bapak Lukman Abdul Hakim dan Bapak Tatang Farhanul Hakim. Demikianlah perkenalan kami, Yang Mulia. Terima kasih.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Dari DPR, silakan Pak Asrul.
4.
DPR: ARSUL SANI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Dari DPR hadir Tim Kuasa DPR Republik Indonesia, Arsul Sani, Nomor anggota DPR Republik Indonesia, A528.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Kuasa Presiden, silakan. 1
6.
PEMERINTAH: YUNAN HILMY Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Hadir dari Kuasa Presiden, saya Yunan Hilmy dari Direktorat Legitimasi Kementerian Hukum dan HAM dan Surdiyanto, serta Pak Jaya dari Direktorat Litigasi. Terima kasih.
7.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih. Ya, sebelum mendengarkan keterangan DPR, dipersilakan Ahli Yang Mulia Prof. Laica Marzuki dan Para Saksi untuk diambil sumpahnya dulu. Silakan ke depan. Mohon Yang Mulia Pak Wahiduddin untuk memimpin pengucapan sumpah.
8.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. Untuk pertama kepada Ahli, Yang Mulia Prof. Dr. H.M Laica Marzuki, mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
9.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
10.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Selanjutnya untuk Saksi, Pak Agus Purnomo, Pak Nu’man Abdul Hakim, dan Pak Tatang Farhanul Hakim. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.”
11.
SELURUH SAKSI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.
2
12.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Terima kasih, mohon kembali ke tempat. Ya, kita dengarkan dulu keterangan dari DPR, silakan Pak Arsul.
13.
DPR: ARSUL SANI Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, om Swastiastu. Yang Mulia, Wakil Ketua, dan Para Hakim anggota Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Yang saya hormati wakil dari atau Kuasa Presiden Republik Indonesia. Yang saya hormati Kuasa Pemohon beserta Para Pemohon Asli. Yang Mulia Ahli Pak Prof. Laica Marzuki dan yang saya hormati sahabat-sahabat saya dari PPP, Pak Lukman, Pak Agus, dan Pak siapa? Pak Tatang, ya. Izinkan saya mewakili DPR Republik Indonesia memenuhi permintaan dari Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keterangan dalam perkara ini dan untuk itu saya akan membacakan bagian-bagian yang merupakan keterangan DPR secara langsung. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 35/PUU-XIV/2016. Berdasarkan keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 25/Pimpinan/III/2015-2016, tanggal 18 Januari 2016 telah menugaskan kepada Anggota Komisi III DPR RI, yaitu H. Bambang Soesatyo, S.E., MBA., nomor anggota A227, Trimedia Panjaitan, S.H., M.H., nomor anggota A127, Desmond Junaidi Mahesa, S.H., M.H., nomor anggota A376, Dr. Benny Kabur Harman, S.H., M.H., nomor anggota A444, Mulfachri Harahap, S.H., nomor anggota A459, Dr. Junimart Girsang, S.H., M.H., nomor anggota A128, Dr. H. Muhammad Aziz Syamsuddin, S.H., M.H., nomor anggota A248, Ir. Sufmi Dasco Ahmad, S.H., nomor anggota A377, Didik Mukrianto, S.H., M.H., nomor anggota A437, H. Abdul Kadir Karding, M. Si., nomor anggota A55, Abu Bakar Alhabsi, nomor anggota A119, Arsul Sani, S.H., M.Si., nomor anggota A528, Drs. Taufiqulhadi, nomor anggota A19 dan H. Syarifuddin Sudding, S.H., M.H., nomor anggota A559, untuk bertindak baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi. Sehubungan dengan surat Mahkamah Konstitusi Nomor 65.35/PAN/MK/5/2016, terkait dengan permohonan pengujian UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dengan ini DPR menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian tersebut sebagai berikut. 3
Terhadap dalil Para Pemohon sebagaimana yang diuraikan dalam permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, DPR RI hendak menyampaikan keterangan dan penjelasan, baik yang terkait dengan kedudukan hukum atau legal standing Para Pemohon maupun materi muatan permohonan Para Pemohon, sebagai berikut. 1. Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon. Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya akan kami sebut sebagai Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat atau lembaga negara. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) tersebut dipertegas dalam penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan bahwa hak-hak yang secara eksplisit diatur di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 saja yang termasuk hak konstitusional. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan pengujian undang-undang, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang, yakni harus memenuhi lima syarat sebagaimana diatur ... ditetapkan di dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara 011/PUU-V/2007, yaitu sebagai berikut. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hak dan/atau 4
kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi, adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kemudian, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak terpenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara ini, maka Para Pemohon sesungguhnya tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Oleh karena itu, maka dalil atau argumentasi Para Pemohon tentang adanya kerugian atas hak dan kewenangan konstitusionalnya harus dapat dibuktikan dan dianalisis apakah benar telah terjadi dan/atau berpotensi akan terjadi karena berlakunya ketentuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Untuk melihat ada tidaknya kerugian konstitusional Para Pemohon terkait dengan materi muatan permohonannya, maka DPR RI telah mempelajari berkas-berkas perkara perdata yang disebut oleh Para Pemohon termasuk Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015 tanggal 2 November 2015 yang disebut-sebut dalam surat permohonan tertanggal 26 April dan kopinya oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diberikan kepada DPR RI. Selain itu oleh karena perselisihan internal di Partai Persatuan Pembangunan juga pernah disampaikan kepada Komisi III DPR RI oleh para pihak yang berselisih, maka DPR RI juga melihat kembali keterangan-keterangan yang disampaikan kepada DPR RI oleh para pihak tersebut. Dari berkas-berkas perkara perdata yang bersangkutan maupun bahan dan keterangan-keterangan yang pernah disampaikan kepada DPR RI, maka DPR RI mendapati hal-hal yang relevan untuk bahan mempertimbangkan apakah kelima parameter atau syarat-syarat tentang kerugian konstitusional tersebut dipenuhi, terpenuhi, atau tidak sehingga Para Pemohon memiliki kedudukan hukum. Hal-hal yang relevan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. DPR RI tidak melihat dalil atau argumentasi dalam surat permohonan dari Para Pemohon tertanggal 26 April 2016 yang didukung bukti dan penjelasan memadai bahwa Para Pemohon telah berpotensi kehilangan statusnya sebagai anggota maupun pengurus PPP di tingkatan yang disebutkannya. Hak 5
2.
3.
4.
5.
dan/atau kewenangan konstitusional yang paling mendasar dari Para Pemohon untuk berserikat dan berkumpul dalam wadah partai politik bernama Partai Persatuan Pembangunan tidak hilang atau terancam hilang selama keanggotaan Para Pemohon dan haknya menjadi pengurus di PPP masih tetap ada. DPR RI mendapati bahwa dalam perkara perdata yang kemudian diputus oleh Mahkamah Agung RI dengan Putusan Nomor 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015, sebagaimana tersebut dalam surat permohonan Para Pemohon, H. Djan Faridz yang disebut sebagai Ketua PPP oleh Para Pemohon dalam surat permohonannya ternyata berkedudukan sebagai seorang tergugat dan bukan merupakan pihak yang gugatannya dikabulkan. Putusan Mahkamah Agung RI a quo mengabulkan gugatan intervensi dari seorang kader PPP bernama H. Majid Kamil MZ. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku yakni regimen Indonesia yang diperbaharui atau HIR, maka H. Djan Faridz tidak dapat mengajukan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung a quo. Oleh karena dari konstruksi hukum acara perdata vide HIR sulit untuk dapat mengeksekusi Putusan Mahkamah Agung RI a quo, maka kemudian dipergunakan sarana hukum permohonan uji materi undang-undang seperti yang termuat dalam permohonan perkara ini. Setelah membaca Putusan Mahkamah Agung RI a quo, DPR RI juga mendapati bahwa Menteri Hukum dan HAM ternyata juga bukan pihak dalam perkara perdata atau gugatan yang di tingkat kasasi diputus dengan Putusan Mahkamah Agung RI a quo sehingga bahkan seandainya pun penggugat intervensi bernama Majid Kamil tersebut mengajukan eksekusi, maka eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI itu tidak dapat diajukan secara langsung kepada Menteri Hukum dan HAM RI. Setelah melakukan pengecekan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, DPR RI juga mendapati bahwa ... fakta bahwa belum pernah ada satu pihak pun yang mengajukan permohonan eksekusi atas Putusan Mahkamah Agung RI a quo kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dimana perkara tersebut semula diputus. Bahkan Majid Kamil sebagai penggugat intervensi yang dikabulkan gugatannya belum pernah mengajukan permohonan eksekusi. Kepada DPR RI telah disampaikan foto-foto hasil Muktamar VIII PPP pada bulan April lalu di Asrama Haji Pondok Gede yang menunjukkan bahwa Saudara H. Majid Kamil memilih untuk melakukan islah atau perdamaian dengan hadir sebagai peserta dalam Muktamar VIII PPP yang digelar pada bulan 6
6.
7.
8.
April 2016 lalu di Asrama Haji Pondok Gede dan kemudian menjadi pengurus, yakni salah satu ketua hasil muktamar tersebut sebagaimana tercantum dalam surat keputusan terbaru Menteri Hukum dan HAM RI yang menetapkan pendaftaran kepengurusan tingkat pusat yang baru dari hasil Muktamar VIII tersebut. Dari penjelasan Kementerian Hukum dan HAM yang pernah disampaikan kepada Komisi III diperoleh bahwa meskipun bukan pihak yang dikabulkan atau dimenangkan gugatannya, H. Djan Faridz telah mengajukan Permohonan Perubahan Susunan Kepengurusan Tingkat Pusat PPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dengan memanfaatkan amar putusan MA RI tersebut. Atas permohonan perubahan susunan kepengurusan ini, maka Menteri Hukum dan Ham RI pun melalui Direktur Tata Negara Kementerian Hukum dan HAM telah merespons kepada Haji Djan Faridz dengan surat tertanggal 31 Desember 2015 Nomor AHU.4.AH.11.01-53 yang memberikan klarifikasi dan meminta tindak lanjut pemenuhan persyaratan dari pihak Djan Faridz. Terkait dengan persyaratan untuk perubahan susunan kepengurusan tingkat pusat dari sebuah partai politik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, DPR RI juga telah mempelajari bahwa harus dipenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (2) peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 37 Tahun 2015 tentang tata cara pendaftaran, pendirian badan hukum, perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta pergantian kepengurusan partai politik. Dari penjelasan Menteri Hukum dan HAM kepada Komisi III diketahui bahwa Haji Djan Faridz tidak melengkapi persyaratan kepengurusan sampai sekitar 1,5 bulan setelah mendapat surat dari Direktur Tata Negara Kementerian Hukum dan HAM tersebut sampai akhirnya Menteri Hukum dan HAM memberlakukan kembali surat keputusan Menteri Hukum dan HAM RI terdahulu. Lebih lanjut Menteri Hukum dan HAM RI menyatakan bahwa keputusan memperpanjang atau tepatnya memberlakukan kembali surat keputusan terdahulu yang menetapkan kepengurusan tingkat pusat PPP di bawah kepemimpinan H. Suryadharma Ali dan H. M. Romahurmuziy dilakukan oleh karena partai politik tidak boleh mengalami kekosongan kepengurusan atau ketidakjelasan siapa yang 7
berhak mewakili oleh karena partai politik mengelola dana bantuan politik dari negara lewat APBN dan APBD, baik provinsi maupun kabupaten/kota sehingga harus jelas siapa yang harus bertanggung jawab di tingkat pusat untuk membuat laporan dan auditnya. Kepengurusan PPP yang diajukan oleh Haji Djan Faridz tidak dapat disahkan oleh karena ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi oleh … yang di … syarat-syarat yang tidak bisa dipenuhi syarat dalam Permenkumham Nomor 37 Tahun 2015 meskipun sudah diberi waktu yang cukup lama untuk memenuhinya. Lebih lanjut, DPR RI juga mendapatkan penjelasan dari Pemerintah cq Menteri Hukum dan HAM bahwa setelah terbitnya perpanjangan atau pemberlakuan kembali surat keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang kepengurusan PPP yang dipimpin oleh H. Suryadharma Ali dan H. M. Romahurmuziy, maka ada kesepakatan islah yang dituangkan secara tertulis pada tanggal 10 Maret 2016 dan ditandatangani oleh H. Habil Marati dan Dimyati Natakusumah selaku Wakil Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PPP dari pihak Djan Faridz, serta Emron Pangkapi dan M. Romahumuziy selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari kubu muktamar Bandung H. Suryadharma Ali dan kubu muktamar Surabaya dengan saksisaksi Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Bapak Freddy Haris dan Ibu Fernita Darwis, wakil ketua umum lainnya dari pihak Haji Djan Faridz. Kesepakatan islah ini juga diliput oleh berbagai media karena penandatanganannya di hadapan media. 9. DPR RI mempertanyakan mengapa Haji Djan Faridz selaku pihak yang oleh para Pemohon didalilkan sebagai Ketua Umum PPP yang sah tidak ikut mengajukan permohonan uji materi ke hadapan Mahkamah Konstitusi padahal seharusnya dia yang paling berkepentingan untuk mendalilkan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. 10. Selanjutnya terkait dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai kepengurusan tingkat pusat PPP, sebagai ad informandum pula bagi persidangan yang mulia ini, DPR RI juga telah melakukan pengecekan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan mendapati bahwa Haji Djan Faridz sedang mengajukan gugatan tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan register Perkara Nomor 97/G/TUN/2016/PTUNJAKARTA yang sedang dalam proses persidangan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, DPR RI berpendapat bahwa dalam perkara ini sesungguhnya tidak ada 8
2.
masalah kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan para Pemohon. Dengan kata lain, DPR RI hendak menyampaikan bahwa parameter kerugian konstitusional yang tercermin dalam 5 syarat tersebut di atas tidak terpenuhi dan oleh karenanya para Pemohon dalam permohonan ini sesungguhnya tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian materiil undang-undang tentang partai politik terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Tidak kami bacakan bagian pendahuluan. Terhadap hal-hal yang dikemukakan para Pemohon tersebut, DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut. 1. Bahwa prinsip negara hukum yang demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28 D ayat (1) juncto Pasal 22 E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan guna terwujudnya keadilan dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan memberikan jaminan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Bahwa inti dari penerapan prinsip negara hukum tersebut adalah agar setiap keputusan dibuat oleh penyelenggara negara haruslah didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku supaya dapat memberikan, baik rasa keadilan maupun kepastian hukum kepada setiap warga negara. 2. Bahwa sebagai perwujudan dari prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka untuk mengatur hal-hal yang terkait dengan partai politik telah dibuat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, selanjutnya kami akan sebut sebagai Undang-Undang Partai Politik. Undang-Undang Partai Politik ini antara lain memberikan kewenangan sebagai sebuah open legal policy kepada pemerintah cq Menteri Hukum dan HAM untuk menerima permohonan dan melakukan pendaftaran atas penggantian atau perubahan susunan kepengurusan partai politik di tingkat pusat dan untuk keperluan bukti pendaftaran tersebut dikeluarkan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM. 3. Bahwa selanjutnya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum yang jelas, serta perlakuan yang sama dan adil bagi pihak-pihak yang berkepentingan terkait dengan pelaksanaan Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Partai Politik agar sesuai 9
dengan prinsip-prinsip administrasi pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka pemerintah cq Menteri Hukum dan HAM telah mengeluarkan peraturan pemerintah … Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 37 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta Pergantian Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham Nomor 37 Tahun 2015). 4. Bahwa dari apa yang dikemukakan di atas, maka Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) a quo dan juga Permenkumham Nomor 37 Tahun 2015 sebagai peraturan yang melaksanakannya sesungguhnya telah memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada para Pemohon sehingga tidak perlu diberikan tambahan pemaknaan konstitusional bersyarat karena rumusan norma hukumnya tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 5. Bahwa dalil para Pemohon yang beranggapan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Partai Politik a quo tanpa pemaknaan konstitusional bersyarat yang dimintanya menjadi akan bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” juga tidak beralasan karena pada dasarnya, berlakunya ketentuan a quo sama sekali tidak menghalangi hak para Pemohon sebagai warga negara untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Partai Politik a quo justru memberikan penguatan terhadap hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, yakni dengan memberikan dukungan administratif yang diperlukan dari pemerintah untuk melaksanakan isi Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 6. Bahwa persoalan yang disampaikan sebagai materi muatan permohonan uji materiil dari Pemohon a quo sesungguhnya bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma hukum dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) maupun persoalan perlunya penambahan (suara tidak terdengar jelas) konstitusionalitas secara bersyarat terhadap kedua pasal tersebut untuk bisa sesuai dengan norma ketentuan UndangUndang Dasar Tahun 1945.
10
Sebagaimana telah disinggung pada bagian yang menyoroti kedudukan hukum atau legal standing para Pemohon di atas, persoalan para Pemohon dalam hubungannya dengan pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 601K/V.SUSPARPOL/2015 mengenai pengesahan kepengurusan PPP adalah persoalan yang terkait dengan aspek-aspek hukum acara perdata dan juga aspek-aspek hukum administrasi negara atau pemerintahan, bukan persoalan yang terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon. 7. Bahwa terkait aspek hukum acara perdata yang berlaku, yakni menyangkut hak dan prosedur untuk mengajukan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung RI tersebut, maka seyogianya para Pemohon mengupayakan jalan keluarnya sesuai dengan prinsip dan aturan hukum acara perdata sebagaimana termuat dalam HIR dan aturan-aturan pendukungnya. 8. Bahwa HIR telah mengatur tata cara atau prosedur pelaksanaan atau eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan tetap, yakni dalam Pasal 196 HIR. 9. Bahwa permohonan agar diberikan status konstitusional bersyarat pada Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Partai Politik sebagaimana diminta para Pemohon tersebut justru dapat menjadikan adanya pertentangan atau benturan antara aturan yang ada di dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) yang diberikan status konstitusional bersyarat seperti dimohonkan oleh Para Pemohon dengan prinsip hukum dan aturan hukum acara perdata yang diletakkan dalam HIR. Pertentangan akan terjadi ketika Menteri Hukum dan HAM yang tidak menjadi pihak yang ikut digugat dalam perkara perdata dan tidak diperintahkan oleh putusan pengadilan yang bersangkutan untuk melaksanakan amarnya, namun akan dipaksa untuk melaksanakan putusan. Lalu bagaimana kalau ternyata terdapat lebih dari satu perkara perdata dan putusan pengadilannya … dan putusan pengadilan yang berkekuatan tetapnya berbedabeda satu dengan yang lain. Mengingat sistem peradilan negara kita tidak menganut prinsip binding precedent sehingga hakim yang satu tidak harus terikat dengan putusan hakim yang lain. Kemungkinan adanya keadaan seperti ini justru akan menjadikan norma dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang Pengakuan Jaminan dan Kepastian Hukum menjadi sulit ditegakkan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Menteri Hukum dan HAM bukan merupakan pihak yang ikut digugat atau berperkara dan bukan pihak yang dikalahkan dalam perkara perselisihan kepengurusan di PPP yang diputus dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 601 K/Pdt.Sus.Parpol/2015 yang menjadi 11
sandaran atau rujukan Para Pemohon dalam perkara uji materiil ini. Hal ini berbeda dengan perkara perselisihan kepengurusan Partai Golkar dimana Menteri Hukum dan HAM menjadi salah satu pihak yang digugat dan dihukum melaksanakan amar putusan pengadilan yang terkait dengan kepengurusan tingkat pusat Partai Golkar. 10. Bahwa selanjutnya terkait dengan aspek administrasi pemerintahan khususnya yang menyangkut keterpenuhan persyaratan untuk pendaftaran dan penetapan perubahan kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana diatur di dalam Permenkumham, dapat … maka Para Pemohon dapat mengupayakan jalan keluarnya sesuai dengan prosedur dan aturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika prosedur yang terdapat dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tersebut tidak dipenuhi oleh Menteri Hukum dan HAM, maka juga tersedia upaya hukum seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. 11. Bahwa tanpa diberikannya status konstitusionalitas bersyarat pada Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Partai Politik, maka dengan menggunakan prosedur dan aturan yang ada dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang PTUN tersebut, Para Pemohon maupun H. Djan Faridz sendiri serta PPP-nya tidak dirugikan atau kehilangan hak dan kewenangan konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum karena hak dan kewenangan konstitusional a quo tetap terbuka untuk diperoleh melalui upaya hukum seperti yang diatur dalam kedua undangundang tersebut. 12. Bahwa secara faktual dari berkas dan keterangan yang ada pada DPR RI, maka DPR RI mendapatkan fakta bahwa H. Djan Faridz yang mengklaim sebagai Ketua Umum dari PPP dan/atau DPP PPP yang dipimpinnya telah melakukan dua upaya hukum. 1) mengajukan permohonan pendaftaran perubahan susunan kepengurusan tingkat pusat kepada Menteri Hukum dan HAM. Atas permohonan tersebut, Menteri Hukum dan HAM telah merespons melalui surat tertanggal 31 Desember 2015 Nomor AHU.4.AH.11.01/53 yang meminta adanya klarifikasi dan tindak lanjut pemenuhan persyaratan dari H. Djan Faridz. 2) H. Djan Faridz sedang mengajukan gugatan tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terhadap 12
13.
14.
15.
16.
Menteri Hukum dan HAM yang tercatat sebagai Perkara TUN Nomor 97/G/TUN/2016/PTUN.Jakarta yang saat ini masih disidangkan. Bahwa dengan merujuk pada uraian di atas serta keseluruhan fakta in concreto dalam kasus perselisihan kepengurusan DPP, maka DPR RI berpandangan bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas pada Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Partai Politik dan karenanya permohonan Para Pemohon a quo harus ditolak. Bahwa DPR RI juga tidak sependapat dengan argumentasi Para Pemohon yang beranggapan Pasal 33 Undang-Undang Partai Politik a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang mengamanatkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan Pasal 33 a quo memberikan jaminan perlindungan (suara tidak terdengar jelas) yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada setiap partai politik karena penyelesaian perselisihan partai politik setelah melalui proses di internal mahkamah partai, selanjutnya diputuskan penyelesaian perselisihan tersebut melalui pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dan dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Bahwa permasalahan yang dipersoalkan oleh Para Pemohon dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Partai Politik adalah terkait dengan putusan kasasi Mahkamah Agung yang dianggap Para Pemohon tidak mau dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM karena tidak ada perintah di dalam amar putusan kasasi yang memerintahkan menteri yang berwenang untuk mengeluarkan surat keputusan sesuai dengan amar putusan kasasi Mahkamah Agung RI tersebut. Permasalahan ini bukanlah permasalahan konstitusionalitas norma dalam Undang-Undang Partai Politik terhadap norma dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tetapi merupakan persoalan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap yang telah ada aturan hukum acaranya yakni HIR sebagaimana telah diuraikan di atas dan juga diatur juga tata cara pelaksanaannya di dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan juga dibuka hak hukumnya untuk melakukan suatu tindakan hukum di dalam UndangUndang PTUN. Bahwa dalam permohonannya Para Pemohon menguraikan bahwa meskipun Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan putusan yang berkekuatan tetap atau inkracht, Menteri Hukum 13
dan HAM ternyata tidak mengesahkan susunan kepengurusan hasil Muktamar VIII PPP di Jakarta. Namun malah menerbitkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM kembali kepada susunan personel DPP PPP hasil muktamar Bandung Tahun 2011. DPR RI hendak menyampaikan bahwa persoalan terbitnya keputusan Menteri Hukum dan HAM tersebut adalah bukan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 23 dan Pasal 33 Partai Politik a quo, tetapi jelas merupakan pelaksanaan undangundang yang bisa dipersoalkan melalui hukum administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan maupun upaya hukum gugatan tata usaha negara seperti yang diatur dalam Undang-Undang PTUN. Bahwa sebagai penutup, DPR-RI berpandangan bahwa Ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 33 Undang-Undang Partai Politik a quo telah sejalan dengan amanat konstitusi dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak pula merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Menurut DPR-RI Ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 33 Undang-Undang Partai Politik a quo telah jelas dan tidak bersifat multitafsir sehingga tidak perlu dinyatakan sebagai ketentuan yang bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat). Berdasarkan hal-hal yang kami sampaikan di atas maka DPR-RI berharap agar apa yang disampaikan dapat menjadi pertimbangan bagi Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi di dalam memeriksa, memutus, dan ... mengadili dan memutus perkara ini dengan putusan. 1. Menyatakan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing atas perkara permohonan uji materil ini, dan 2. Menyatakan permohonan Para Pemohon ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Demikian keterangan DPR-RI ini kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dalam mengambil keputusan. Terima kasih, hormat kami Tim Kuasa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Wassalamualaikum wr. wb. 14.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih, Pak Arsul. Lanjut kita dengarkan keterangan Ahli Yang Mulia Prof. Laica, silakan.
15.
AHLI DARI PEMOHON: H. M. LAICA MARZUKI Bismillahirrahmanirahim. Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim Yang Mulia, Para Pemohon Ibnu Utomo dan kawan-kawan memohonkan pengujian Pasal 33 dan Pasal 23 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang 14
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Yang Mulia, secara konstitusional suatu undang-undang, suatu wet, suatu gesetz, suatu (suara tidak terdengar jelas) tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar v, tidak boleh bertentangan dengan grondwet, tidak boleh bertentangan dengan (suara tidak terdengar jelas). Yang Mulia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak boleh dilanggar atau disimpangi. Namun menurut Hans Kelsen, hidup pada tahun 1881 dan meninggal dunia pada tahun 1973, di kala menjadi salah satu anggota komisi penyusun konstitusi Austria mengatakan, “Kedudukan suatu gesetz atau undang-undang yang berada tepat di bawah urutan verfassung yang berada tepat di bawah Undang-Undang Dasar berperan amat penting karena gesetz atau undang-undang berfungsi melaksanakan atau menegakkan verfassung, menegakkan grondwet, menegakkan Undang-Undang Dasar.” Yang Mulia, demikian penting peran dan fungsi gesetz atau undang-undang, maka menurut Kelsen gesetz atau undang-undang tidak boleh bercacat hukum, undang-undang yang bercacat hukum berdampak pada pelaksanaan dan penegakkan konstitusi. Majelis Yang Mulia, bagi Hans Kelsen perlu adanya suatu badan peradilan khusus yang berwenang menguji suatu gesetz, yang berwenang menguji suatu wet, yang berwenang menguji suatu droa yang berwenang menguji suatu undang-undang yang dipandang bertentangan dengan verfassung yang dipandang bertentangan dengan grondwet, yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Majelis Yang Mulia, pada konstitusi Austria tanggal 1 Oktober 1920 yang terkenal dengan nama October Verfassung, konstitusi di bulan Oktober pertama kali diadopsi constitutional court yang pertama di dunia. Pertama kali diadopsi Mahkamah Konstitusi yang pertama di dunia diberi nama Verfassung (suara tidak terdengar jelas). Majelis Yang Mulia, gesetz yang bertentangan dengan verfassung dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding) oleh Mahkamah. Yang Mulia, Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga mencantumkan hal pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Tahun 1945 sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyusui undang-undang. Undang-undang menetek pada konstitusi, kata alm. Prof. Satjipto Rahardjo. Undang-undang melaksanakan dan menjabarkan Undang-Undang Dasar. Undang-undang tidak boleh melanggar atau menyimpangi Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Redaksional rumusan suatu undangundang, redaksional rumusan suatu wet, gesetz, droa harus jelas makna
15
dan tujuan sasaran pemberlakuannya sehingga tidak beranjak dari (ahli menggunakan istilah asing) yang diembannya. Paling sedikit harus ternyata 2 syarat sebagai suatu redaksional rumusan undang-undang, Majelis Yang Mulia. Dalam kaitan penegakan Undang-Undang Dasar yaitu lex certa, artinya ketentuan tersebut harus jelas memuat kepastian dan tidak membingungkan. Serta lex scripta artinya ketentuan tersebut ditafsirkan secara sempit merujuk kepada konstitusional inten. Tidak multitafsir, tidak poliinterpretabel. Penafsiran tidak boleh sedemikian rupa sampai bagai bendul lonceng yang berayun terlalu jauh (the pendulum of the clock has gone too far) enggak boleh itu, haram itu. Paling sedikit harus dipenuhi … ya. Pasal 28E ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 mengatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Konstitusi menjamin kepastian hukum. Konstitusi menjamin rechts zekerheid. Konstitusi menjamin keadilan. Konstitusi menjamin rechts zekerheid secara samenloop, secara bersamaan. Kepastian hukum yang berkeadilan dan keadilan yang berkepastian hukum. Yang Mulia, saya ulangi. Konstitusi kita ini berdasarkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah menjamin kepastian yang berkeadilan dan keadilan yang berkepastian hukum. Ibarat 2 rel kereta api yang dilalui oleh kereta api konstitusi. Hal dimaksud merupakan constitutional given bagi para subjek hukum di negeri ini. Kepastian yang adil merupakan hak konstitusional setiap orang. Yang Mulia, namun Para Pemohon Ibnu Utomo dan kawan-kawan, selaku Kader Anggota dan Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Kalimantan Barat telah mengalami betapa keberlakuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik merugikan hak konstitusional mereka, merugikan. Des factum menyimpangi harapan konstitusional mereka. Terdapat celah antara wahrheit und dichtung bagi mereka. Terdapat celah antara kenyataan dan harapan yang didambakan mereka. Pasal dimaksud tidak menjamin hak kepastian hukum yang adil bagi Para Pemohon. Paling tidak, kepastian … paling tidak, melekat persyaratan kondisional yang menjadikan pasal a quo tidak konstitusional, conditionally unconstitutional. Yang Mulia, Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik berbunyi, ayat (1), “Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir (eenmalig) dan hanya dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung.” 16
Tiga. Perkara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri oleh Mahkamah Agung paling lama 30 hari sejak memori kasasi terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Agung. Majelis Hakim Yang Mulia, Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 a quo mengatur hal perselisihan internal partai politik sebagaimana terjadi pada partai politik PPP tempat Para Pemohon berkumpul dan berserikat di kala partai ini mengalami perselisihan kepengurusan di tingkat pusat yang berakibat terjadinya dualisme kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP. Majelis Hakim Yang Mulia, perkara perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan DPP PPP dimaksud pada akhirnya menempuh penyelesaian melalui pengadilan negeri yang pada akhirnya berlanjut pada tingkat pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung RI menurut mekanisme hukum, Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 … 2011 … masya Allah, 2012. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 601K/pdt.Sus.Parpol/2015 tanggal 2 November 2015 menjatuhkan putusan. Saya tidak perlu bacakan, sudah ada di … sudah tercantum pada naskah ini. Majelis Yang Mulia, putusan kasasi menyatakan, “Sah keputusan hasil Muktamar VIII PPP di Jakarta.” Artinya, di bawah Pimpinan H. Djan Faridz. Kalau menyatakan sah Muktamar VIII PPP Jakarta, berarti itu kepengurusan di bawah H. Djan Faridz, ndak boleh ditafsirkan selain dari itu. Selaku warga negara yang baik dan taat hukum, Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, Para Pemohon hanya mengakui kepengurusan DPP PPP di bawah Pimpinan H. Djan Faridz. Pemohon I dan Pemohon II bersedia menerima dan menjadi Pengurus DPW PPP Provinsi Kalimantan Barat di bawah pimpinan DPP PPP hasil Muktamar VIII DPP PPP di Jakarta yang sah menurut putusan kasasi. Itu dinyatakan di dalam keputusan Mahkamah Agung, ya. Namun demikian, Majelis Yang Mulia, Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 berkenaan dengan kekuatan mengikat (inkracht van gewijsde) suatu putusan peradilan, in casu putusan kasasi tentang sah atau tidak sahnya kepengurusan partai politik yang bertikai, tidak ternyata jelas dan menimbulkan multitafsir, menimbulkan poliinterpretable sehubungan sejauh mana putusan peradilan dimaksud mengikat … mengikat pula pihak luar. Nah, seperti dikatakan tadi oleh Wakil dari DPR, ya. Menteri Hukum dan HAM bukan para Pihak, tetapi inilah thus the problem … thus the problem. Namun demikian, ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 berkenaan dengan kekuatan mengikat (inkracht van gewijsde) suatu putusan peradilan, in casu putusan kasasi tentang sah atau tidak sahnya kepengurusan partai politik yang bertikai, tidak 17
ternyata jelas … tidak ternyata jelas dan menimbulkan multitafsir, menimbulkan poliinterpretable tentang sejauh mana putusan-putusan peradilan dimaksud mengikat pula pihak luar yang tidak bertikai. Mengikat pula yang non (ahli menggunakan bahasa asing) in casu bagi badan pejabat, pemerintah seperti halnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia dalam perkara ini yang mengabaikan kekuatan mengikat putusan peradilan kasasi a quo bagi dirinya karena memandang selaku Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, ia berwenang menetapkan sendiri susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan partai politik tingkat pusat yang didaftarkan secara prosedur dengan cara mengeluarkan keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia tanggal 7 … paling lama 7 hari terhitung sejak diterimanya penetapan persyaratan menurut Pasal 23 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Itulah sebabnya sampai juga pada wakil dari Dewan Perwakilan Rakyat tadi yang berbicara, kan Menteri Hukum dan HAM bukan para pihak, ia tidak terikat. Di sini blundernya ini, maafkan saya, Para legislator ini membingungkan. Pasal 23 ayat (2), ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik berbunyi sebagai berikut, “Susunan kepengurusan hasil penggantian kepengurusan partai politik tingkat pusat didaftarkan ke kementerian paling lama 30 hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.” Dua. susunan kepengurusan baru, partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan menteri paling lama 7 hari terhitung sejak diterimanya persyaratan. Majelis Yang Mulia, seperti ternyata Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia dalam putusannya Nomor MH.03AH/II/01/2011 tanggal 17 Februari 2016 mengesahkan kembali susunan komposisi dan personalia DP PPP hasil Muktamar Bandung 2011 dengan masa bakti 6 bulan yang mengabaikan, yang mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601/Kpdt.Suspol tanggal 2 November 2016 yang menyatakan sah kepengurusan DPP PPP hasil Muktamar VIII PPP 2014 di Jakarta. Artinya, hasil kepengurusan di bawah pimpinan H. Djan Faridz. Yang Mulia, secara muntatis muntandis Pasal 23 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak dapat dipisahkan. Saya garis bawahi, Pasal 23 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak dapat dipisahkan dengan keberlakuan Pasal 33 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 manakala permasalahan internal kepengurusan partai politik dibawakan ke hadapan hakim pengadilan negeri in casu hakim kasasi. Jadi, barulah Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 barulah berdiri sendiri kalau permasalahannya tidak dibawakan ke pengadilan negeri, ke Mahkamah … ke pemeriksaan kasasi menurut mekanisme hukum Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. 18
Tetapi undang-undang tidak menyebut itu, dia, dia memisahkan. Jadi, ini menimbulkan kekacaubalauan. Di dalam Perjanjian Lama, saya teringat Perjanjian Lama ketika penduduk setempat ya, ingin mendirikan suatu menara, Menara Babel sampai mencapai ujung langit, maka Allah murka di situ. Allah menurunkan berbagai bahasa yang membingungkan sehingga terjadi kekacaubalauan. Dalam hukum di negeri Belanda, kekacauan hukum ini namanya Babylonische wraak verwarring, kekacaubalauan Menara Babel. Pasal 23 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia ya, menetapkan susunan kepengurusan hasil penggantian kepengurusan partai politik tingkat pusat adalah kewenangan … merupakan kewenangan menteri, merupakan kewenangan menteri di kala tidak ada pihak yang bertikai membawakan permasalahannya ke pengadilan negeri menurut undang … menurut Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Kalau dibawakan, wah, itu harus. Putusan kasasi mengikat, artinya Pasal 23 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak boleh dilihat sebagai suatu pasal yang mandiri yang (ahli menggunakan bahasa asing). Tatkala permasalahan internal partai politik dibawakan ke hadapan hakim, maka menteri-menteri ya, jangankan menteri, presiden pun terikat pada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, inkracht van gewijsde. Ketidakjelasan, obscuur, ketidakjelasan, obscuur, serta multitafsir terjadi, ketidakjelasan, obscuur serta multitafsir terjadi tatkala pembuat undang-undang … tatkala legislator Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 kepada beliau saya kenal baik, Anda belum ada pada waktu dibuat undang-undang ini, Anda tidak termasuk. Ketidakjelasan serta multitafsir terjadi tatkala pembuat legislator Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 lalai, lalai, dia lalai, lalai mepertaut undang-undang … mempertaut Pasal 23 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dengan … dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 secara (ahli menggunakan bahasa asing), ketidakjelasan, Yang Mulia, ketidakjelasan menyebabkan menteri merasa tidak terikat. Menteri merasa tidak terikat pada putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap, inkracht van gewijsde. Padahal, padahal Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara expressis-verbis menetapkan negara Indonesia adalah negara hukum. Nobody stands above the law, Nobody stands above the law, tidak ada suatu di republik ini satu lembaga, suatu orang, suatu jabatan tinggi yang berdiri di atas hukum. Ketidakjelasan, obscuur serta multitafsir dimaksud mengakibatkan ketidakpastian hukum, mengakibatkan rechtonzekerheid yang pada ketikanya memunculkan hal ketidakadilan sebagaimana dijamin konstitusi kepada setiap orang menurut Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945. 19
Yang Mulia, hal ketidakpastian hukum, rechtonzekerheid yang disebabkan multitafsir itu menyebabkan in casu partai politik PPP tempat para Pemohon berkumpul dan berserikat telah terpasung guna bebas berserikat karena penyelenggaraan dan kelanjutan partai politik ini ke depan tidak bersesuai dengan putusan peradilan kasasi yang berkekuatan hukum tetap, inkracht van gewijsde, tetapi didasarkan belaka pada putusan Menteri Hukum dan HAM dan … Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia yang pada hakikatnya merupakan beschikking van de administratie yang menyimpangi putusan peradilan. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Yang Mulia, teringat saya, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada putusannya Nomor 82/PUU/2003 berpendapat, “Menurut Mahkamah kebebasan berserikat adalah salah satu hak yang paling penting dalam negara demokrasi karena kebebasan berserikat merupakan jantung dari sistem demokrasi. Dengan kebebasan berserikat, warga negara dapat secara bersama-sama memperjuangkan kepentingannya yang tidak mungkin atau sulit dicapai secara individu. Selain itu, dengan kebebasan berserikat di dalamnya juga dijamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk mendirikan atau bergabung dengan organisasi mana pun.” Yang Mulia, Pasal 23 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 keduanya itu mengandung cacat, tidak konstitusional bersyarat, conditionally unconstitutional sepanjang tidak dimaknai bahwa kedua pasal dimaksud harus dipertaut secara samen, harus dipertaut secara bersama-sama yang mengikat semua pihak termasuk pejabat pemerintahan guna menaati putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Majelis Yang Mulia, demikian keterangan Ahli ini dibuat, atas perhatian Majelis Yang Mulia dihaturkan terima kasih, semoga Allah SWT, Hakim Yang Maha Adil memberi berkah kepada Mahkamah Konstitusi. Assalamualaikum wr. wb. 16.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih, Yang Mulia Prof. Pemohon, kita lanjut ke keterangan Saksi, siapa yang lebih dulu sesuai dengan daftar urut atau bagaimana? Urutan? Baik, Pak Agus ya ... ya, Pak Agus Purnomo, silakan di mimbar. Akan dituntun atau langsung memberikan keterangan? Dituntun? Ya, silakan.
20
17.
SAKSI DARI PEMOHON: AGUS PURNOMO Bismilahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Om swastiastu. Majelis Hakim Yang Mulia, pertama saya memperkenalkan diri terlebih dahulu, posisi saya pada saat penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, saat itu kami Anggota Komisi II yang pada saat itu mengusulkan Undang-Undang Partai Politik dan kami dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nomor A84. Pada saat itu, Komisi II bersepakat untuk mengajukan revisi Undang-Undang Partai Politik yang menurut sudut pandang saat itu pendapat kami ada beberapa celah. Jadi, celah yang pertama yang kemudian dalam perspektif sosiologis kami para anggota dan saya bagian daripada itu, ada hal yang perlu dipertajam, jadi yang pertama kaitannya dengan desain dari sistem pemerintahan kita yang presidensial. Menurut pendapat sebagian besar di antara kami, adanya banyak partai itu membuat sistem presidensial tidak berjalan dengan semestinya karena itu kemudian kita bersepakat berdasarkan latar belakang sosiologis saat itu, perlu diperketat masalah pendirian partai sebagai badan hukum. Itu isu yang pertama. Nah, kemudian yang keduanya di dalam sudut pandang sosiologis kami yang berhasil kami kumpulkan dan saya bagian di antaranya, kita punya pengalaman konflik internal partai, saat itu saya pribadi menyampaikan tentang kisah konflik dari sahabat saya di PKB, Pak Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur pada saat itu, kami sampaikan pada saat pembahasan di awal panja, dan pada saat itu kemudian penyelesaiannya adalah lewat pengadilan, penyelesaian final yang kami ikuti. Nah, pada saat itu kemudian berkembang muncul supaya pada awalnya semestinya konflik partai, fungsi ... salah satu ... salah satu fungsi partai sebagai manajemen konflik itu harus diselesaikan sendiri, internal mereka, kalau kemudian tidak puas baru dilanjutkan ke pengadilan. Nah pengadilan itu kemudian di dalam perspektif kami merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat. Nah, kemudian hal ketiga yang kami anggap penting untuk … apa ... revisi Undang-Undang Partai Politik adalah dibentuknya majelis perselisihan apabila terjadi konflik yang kemudian disebut sebagai Majelis Tahkim. Nah, tiga hal inilah yang penting untuk kemudian kami sampaikan di dalam kesempatan yang terhormat ini dan itulah yang mendasari secara keseluruhan dari proses pembentukan, proses revisi UndangUndang Partai Politik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Seingat kami, di antara semangat kami untuk memperbaiki partai secara keseluruhan adalah juga pada saat itu, kita bersemangat untuk membuat partai menjadi lebih terbuka sehingga kemudian ada syarat untuk mendirikan partai itu, ada unsur-unsur dari seluruh provinsi. Nah, 21
unsur-unsur dari seluruh provinsi inilah yang kemudian seingat kami itu kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi dan akhirnya kemudian syarat untuk kemudian ada dewan pendiri partai kalau tidak keliru masalahnya ... namanya kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan kemudian partai yang sudah menjadi badan hukum tidak perlu melakukan verifikasi lagi sebagai badan hukum. Demikian yang dapat kami sampaikan sebagai bagian dari anggota panitia kerja Komisi II, di dalam penyusunan revisi UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Terima kasih, Yang Mulia. 18.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Ya, silakan duduk dulu, nanti saja pertanyaannya nanti sekaligus, duduk dulu. Saksi berikutnya, Pak Nu’man Abdul Hakim. Silakan di mimbar. Ya, mungkin langsung juga silakan, nanti saja pertanyaan sekaligus. Ya, silakan.
19.
SAKSI DARI PEMOHON: NU’MAN ABDUL HAKIM Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Majelis Hakim, yang mewakili atau Kuasa dari DPR dan Pemerintah, Para Pemohon, dan yang saya hormati Saksi, Ahli Bapak Laica Marzuki dan rekan-rekan saksi fakta. Waktu ... saya ingin memperkenalkan, nama saya Nu’man Abdul Hakim, Anggota DPR RI periode 2009-2014, Nomor Anggota A29 dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Anggota Komisi II. Di tahun 2010, seperti disampaikan tadi oleh Pak Agus Purnomo dari PKS, Komisi II diberikan tanggung jawab untuk merevisi UndangUndang Partai Politik Tahun 2008 dan kemudian menjadi UndangUndang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011. Ada beberapa isu betul disampaikan oleh teman dari PKS bahwa kita sepakat dalam rangka memperkuat sistem presidensial, partai tidak mudah didirikan karena banyak orang mengatakan hak berserikat dan berkumpul (suara tidak terdengar jelas) satu orang. Masuk ke akta notaris, kemudian didaftarkan, nanti anggotanya menjadi partai politik. Kita berdebat dan kita mengatakan partai politik hanya bisa didirikan oleh banyak orang dan punya keagungan cita dan keluhuran cita. Itulah di pasal awal mengatakan bagaimana partai didirikan begitu beratnya karena kita berpendapat partai harus didirikan dengan keagungan cita, dengan keluhuran dan keagungan cita-cita, saya kira itu awalnya. Isu kedua yang menjadi pembicaraan kita, saat itu disebut soal fungsi partai. Partai disebut dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kita, hatta presiden pun diusulkan oleh partai atau gabungan partai. 22
Anggota legislatif harus lahir dari partai, betapa pentingnya partai, maka partai diberikan porsi yang berat termasuk disebut ada rekrutmen kepemimpinan, kaderisasi, dan sebagainya. Kita semua sepakat panja bahwa partai harus melakukan fungsi yang lebih baik karena ke depan demokrasi tanpa pilar partai yang bagus, maka runtuhlah demokrasi itu. Maka pilar yang terbaik bagi sistem demokrasi adalah membangun partai yang bagus. Itu yang kirakira di pasal-pasal fungsi. Demikian juga soal keuangan, kita menyebutkan harus diaudit oleh audit akuntan publik untuk menghilangkan partai melakukan … apa ... penyalahgunaan keuangan partai, kita memasukkan di situ keuangan partai audit. Dan isu yang paling penting yang paling banyak diperdebatkan adalah isu yang berhubungan dengan bagaimana kalau partai ini sengketa. Banyak rekan-rekan panja mengatakan contohnya pernah juga zaman orde baru di … apa ... dialami oleh PDIP, juga oleh PKB pada saat reformasi dan sebagainya. Dan kemudian kita menerawang, semua partai kalau tidak diatur pasti akan mengalami konflik. Pemerintah mengatakan, “Jangan bawa ke tempat kami.” Saya kira dari Dirjen Administrasi Hukum Umum mengatakan, “Jangan bebani kami dengan konflik, you selesaikan itu semua.” Dan kita memang mau itu, kita mengatakan … karena itu para pimpinan partai mengatakan, dari Demokrat Pak Umam mengatakan, “Aku punya majelis tinggi, aku bikin itu semuanya.” Dari partainya PDIP Pak Alex Litaay, Pak Laoly ada di situ Menteri Hukum mengatakan, “Kami punya dewan disiplin dan sebagainya.” Tapi dari Pemerintah justru mengatakan, “Kenapa Bapak-Bapak dari partai tidak membuat sebuah lembaga yang didaftarkan kepada kami untuk memutus di internal Bapak seadil-adilnya. Itulah yang disebut dengan mahkamah partai.” Dengan ... sebutan lain kenapa sebutan lain? Karena juga ingin ... ada yang mengatakan, “Aku mau bikin majelis tinggi saja.” Tapi itu akhirnya menjadi kesepakatan semua bahwa kalau partai itu konflik, siapa pun, kapan pun, di mana pun bukan hanya soal PPP harus diselesaikan lewat internal. Itulah yang menjadi pasal ketika konflik itu harus diselesaikan internal. Muncul dari teman-teman dari PKS sebagainya, “Kalau tidak selesai, bagaimana?” Kemudian PKS mengusulkan dan banyak teman, “Bawa ke peradilan.” Dan di situlah kemudian kita berlabuh. Kemudian, di pasal berikutnya kita minta supaya kita memasukkan kalau internal partai itu tidak bisa menyelesaikan, masih dibuka ruang sampai ke Mahkamah Agung. Semangat yang dilakukan oleh panja dan Pemerintah itulah sebetulnya keputusannya mengikat. 23
Kami mengatakan memang agak lalai karena Pasal 23 ... 33 itu terpotong dengan fungsi, tapi memang perdebatannya panjang dan di akhir bulan Desember kita dikejar waktu untuk menetapkannya, sehingga legal draffting-nya memang ada kelalaian, gitu. Tapi intinya semangat kita pertama partai itu tidak mau diintervensi, harus diselesaikan internal ... di internal, tapi kalau tidak bisa selesai harus dibawa ke peradilan dan di peradilan itu mengikat semua pihak. Jadi kalau peradilan itu tidak dihormati, kita sedang meruntuhkan peradaban, buat apa ada peradilan kalau tidak mengikat? Bukan soal para pihak. Pemerintah harus menghormati juga lembaga peradilan, suka atau tidak suka. Saya kira inilah konteksnya kita menyusun draft undang-undang perubahan dengan segala kekurangannya, kita punya niat, punya kesepakatan bahwa yang menjadi Pasal 23 … 33 adalah … isunya adalah isu kita menyelesaikan secara internal, kalau terjadi … apa … konflik ke internal, kemudian dibawa ke peradilan dan peradilan itu mengikat semua pihak. Saya kira demikan, terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim. 20.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Pak Nu’man. Terakhir, Pak Tatang Farhanul Hakim, silakan.
21.
SAKSI DARI PEMOHON: TATANG FARHANUL HAKIM Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim yang saya muliakan, juga seluruh pihak yang hadir yang saya hormati. Hadirin yang berbahagia, assalamualaikum dan selamat siang serta sejahtera selalu untuk semuanya. Saya … tadi nama sudah disebutkan, Tatang Farhanul Hakim sejak tahun 1987 tercatat sebagai kader Partai Persatuan Pembangunan, 1992 terpilih sebagai anggota DPRD sampai tahun 2001 malah mengalami Ketua DRPD Kabupaten Tasikmalaya, setelah itu terpilih sebagai bupati dua periode, sampai tahun 2011 atas nama Partai Persatuan Pembangunan. Juga sempat sebagai Sekretaris DPW PPP Jawa Barat dan sejak tahun 2014 saya sebagai Ketua DPW PPP Provinsi Jawa Barat yang disebut kubu Djan Faridz hasil Muktamar VIII Jakarta. Saya ingin menyampaikan sebelum ditanya secara spesifik pengalaman atau dampak dari sejumlah tahun yang saya alami selama di PPP. Ini dan barangkali tahun 2014-lah yang saya rasakan kondisi PPP begitu sangat terasa betul, saya sebagai kadernya yang terikat secara struktur juga terbawa misi konstituen ya, terutama di Jawa Barat dengan berawal dari perselisihan dan berbeda pendapat sehingga lahir menjadi dua kubu. Lalu kemudian, saya menentukan sikap kalau hari ini saya sebagai Ketua DPW PPP kubu Pak Djan Faridz, berawal dan berdasar pada 24
pemikiran tidak memilih kubu sebetulnya, tetapi saya memilih proses konstitusi partai dan peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang benar. Pertama, muktamar Jakarta sebagai hasil keputusan Mahkamah Partai yang justru mengandung misi penyatuan yang diistilahkan oleh para sesepuh PPP sebagai Muktamar Islah. Seharusnya, setelah menengahi kedua kubu antara kubu Saudara Romahurmuziy dan H. Suryadharma Ali sehingga Muktamar Jakarta itu dilaksanakan oleh Majelis Syariah atas putusan Mahkamah Partai dan melahirkan kepengurusan yang dipimpin oleh Pak Djan Faridz Ketua Umum dan Pak Dimyati Natakusumah sebagai sekjennya. Namun tidak selesai sampai di situ, ternyata malah Menkumham mengeluarkan SK kepengurusan Surabaya yang dikatakan telah dibatalkan dan tidak disahkan oleh Mahkamah Partai itu sendiri. Lalu kemudian, proses hukum berlanjut dan ternyata hukum menentukan kepemimpinan PPP yang dipimpin oleh Pak Djan Faridz itulah yang menang, baik itu di PTUN sampai ke kasasi Mahkamah Agung, tetapi malah Menkumham mengeluarkan SK penggalian orangorang yang sudah terkubur lama dengan dalih hasil muktamar Bandung dan terjadilah muktamar Pondok Gede yang lalu, juga yang sekarang konon kabarnya sudah di SK-kan kembali. Ini yang membuat kami di daerah sangat bingung untuk menafsirkan kekuatan hukum yang mana yang harus diikuti. Kami sejak awal mengikuti bagaimana substansi dan kewenangan Mahkamah Partai yang sudah dilindungi juga oleh undang-undang. Lalu kemudian, proses hukum sudah dilalui dan ternyata menang, tetapi malah jadi dualisme keberpihakan kalau saya katakan. Ada keberpihakan hukum, ada keberpihakan politik penguasa. Kalau antara kekuatan hukum dengan kekuatan politik ini tidak bersatu, kita harus pakai hukum apa lagi? Saya merasakan begitu sangat kritis karena kepemimpinan Partai Persatuan Pembangunan di bawah pimpinan Pak Djan Faridz, saya buktinya di Jawa Barat mendapat bantuan yang sudah dilindungi oleh undang-undang saja tidak pernah. Kegiatan kami iuran, hal yang seharusnya memanfaatkan dana yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai bekal untuk melakukan konsolidasi organisasi di daerah, baik itu di provinsi maupun di kabupaten/kota. Jadi, selama ini kami tidak pernah mendapatkan itu. Oleh karena itu, merasa tersendat sekali, konsolidasi dilakukan apa adanya, kegiatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, lewat Majelis Yang Mulia pada saat ini, kami atas nama kader juga menuntut kepastian hukum mana yang benar. Apakah ketetapan hukum atau kekuatan politik yang tidak didasarkan pada hukum? Ini yang barangkali kami nantikan lewat Majelis Yang Mulia ini. Untuk sementara sekian dulu dan terima kasih atas segala perhatiannya. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. 25
22.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Pak Tatang. Kuasa Pemohon, kalau ada hal-hal yang ingin didalami atau ditanyakan lebih lanjut, baik pada ahli maupun pada para saksi dipersilakan.
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Yang Mulia, terima kasih. Ada yang kami mau tanyakan kepada ahli dan juga kepada saksi fakta. Kami mau tanya dulu kepada Ahli, Profesor Dr. Laica Marzuki. Pertanyaannya adalah dalam pendapat Ahli Saudara, pada halaman 9 disebutkan norma Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), “Partai politik tidak dapat dipisahkan dari keberlakuan Pasal 33 Undang-Undang Partai Politik.” Pertanyaannya adalah apakah dengan diterbitkannya surat keputusan pengesahan susunan kepengurusan partai politik oleh pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM yang berbeda dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht menunjukkan kepatuhan Pemerintah terhadap norma tersebut? Dan selanjutnya, mengapa dapat dikatakan demikian? Itu pertanyaannya.
24.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, dikumpulkan dulu, silakan kalau masih ada lagi.
25.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Baik. Yang berikutnya, Saudara Ahli, pada halaman 11 disebutkan norma Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) dengan norma Pasal 33 UndangUndang Partai Politik mengandung cacat tidak konstitusional bersyarat atau yang Ahli sebutkan conditionally unconstitutional. Mohon Ahli jelaskan pendapat Ahli, apa yang dimaksud dengan tidak konstitusional bersyarat atau conditionally unconstitutional tersebut. Dilanjutkan lagi, dilanjutkan pada Ahli. Ada satu lagi.
26.
KETUA: ANWAR USMAN Kalau ke Ahli sudah selesai, silakan lanjut ke pertanyaan ke Saksi kalau ada pertanyaan sampai selesai. Silakan.
27.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Pertanyaan berikutnya, Ahli, apakah sengketa partai politik yang diatur dalam Undang-Undang Partai Politik merupakan sengketa yang bersifat individual keperdataan semata? 26
Yang berikutnya, apabila Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan yang memberikan batas-batas inkonstitusionalitas atas suatu norma, namun Pemerintah malah sengaja melaksanakan norma dengan cara atau penafsiran yang telah dinyatakan sebagai inkonstitusional menurut Ahli, apakah pemerintah dapat dikatakan telah melakukan tindakan inkonstitusional? Ini yang terakhir. Kami mempunyai dokumentasi dari media massa yang kami ajukan di persidangan ini sebagai alat bukti dengan kode P-7A, nanti kami persilakan Ahli untuk melihat. Dalam media massa tersebut, Menteri Hukum dan HAM memberikan pernyataan, kami quote ini langsung, “Internal PPP lupakan putusan pengadilan.” Pertanyaan kami, bagaimana pendapat Ahli atas pernyataan tersebut? Cukup, Yang Mulia. Kemudian, ada yang saksi. Pertanyaan ini kami ajukan kepada Pak Agus Purnomo. Pasal 32 Undang-Undang Partai Politik mengamanatkan supaya dalam internal partai politik dibentuk mahkamah partai politik pada waktu masih menjadi RUU karena Saudara kan, di dalam panja, anggota panja. Dari siapa ide pelembagaan mahkamah partai politik ini? Yang berikutnya. Mengapa tidak diatur atau dibuat norma dalam Pasal 23 atau Pasal 33 atau pasal lain yang menyatakan Menteri Hukum dan HAM wajib menerbitkan keputusan pengesahan susunan pengurusan partai politik sesuai putusan mahkamah partai atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap? Kemudian pertanyaan berikutnya. Berdasarkan pengetahuan Saudara pada saat pembahasan RUU tersebut, apakah konsep kewenangan Pemerintah dalam hal ini Menkumham, mengesahkan susunan pengurusan bersifat material substantif atau administratif belaka? Baik, cukup, Yang Mulia, untuk Saudara Agus. 28.
KETUA: ANWAR USMAN Saksi sudah cukup, ya?
29.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Ada satu untuk Saksi berikutnya, Pak Nu’man.
30.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
27
31.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Untuk Pak Nu’man. Berdasarkan pengetahuan Saudara Saksi saat pembahasan RUU tersebut, apakah Menkumham perlu dilibatkan dalam proses berperkara atau menjadi pihak selama di mahkamah partai atau pengadilan? Cukup, Yang Mulia.
32.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Kuasa Presiden, silakan kalau ada pertanyaan.
33.
PEMERINTAH: YUNAN HILMY Ada, Yang Mulia. Akan disampaikan oleh Pak Surdiyanto.
34.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
35.
PEMERINTAH: SURDIYANTO Ya, terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Pemerintah ingin menanyakan kepada Ahli. Pertama begini bahwa selisih internal partai itu adalah satu partai yang pecah menjadi dua kubu. Nah, dalam ini diselesaikan di pengadilan. Kemudian putusan pengadilan itu merupakan putusan yang inkracht. Apakah keputusan inkracht itu sudah menunjukkan keputusan yang inslah? Artinya adalah dua kubu itu adalah dengan keputusan pengadilan itu sudah menjadi satu? Artinya apa? Sebenarnya ini yang di … yang ditujukan sebenarnya adalah adanya kedamaian antara dua kubu. Nah, ketika ada putusan pengadilan, apakah ini sudah dianggap sebagai inslah? Dua kubu itu sudah menyatu kembali. Atau bagaimana kalau misalnya dengan keputusan pengadilan itu tetap tidak inslah? Satu pihak masih merasa dirugikan, kemudian tidak terjadi inslah sehingga Menteri Kumham memandang itu belum bisa dinyatakan bahwa itu belum inslah, belum damai sehingga persyaratan yang disyaratkan oleh untuk ditetapkan oleh Menteri Kumham sehingga Menteri Kumham belum bisa memberikan itu. Itu yang menjadi pertanyaan. Terima kasih, Yang Mulia.
36.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Islah, bukan inslah. Islah. Dari meja Hakim, silakan, Yang Mulia Pak Wahiduddin.
28
37.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, saya ingin kepada Saksi. Ini kebetulan ada Pak Nukman, Pak Agus Purnomo yang dulu di Komisi II. Pertama, Undang-Undang 2000 … Nomor 2 Tahun 2011 adalah perubahan terhadap perubahan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol. Karena ini perubahan dilihat dari segi jumlah pasal itu tidak banyak sehingga dia berubah, tidak diganti. Undang-undang ini inisiatif DPR. Ini kita lihat di pasal … mengingatnya itu ada Pasal 21 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, berarti inisiatif DPR. Yang kedua. Undang-undang ini paling singkat dibahas, hanya satu kali masa sidang dan dilihat tanggal pengesahannya tanggal 15 Januari ini masih awal sekali. Hanya satu kali masa sidang, berarti memang ini kita artikan sudah disiapkan secara baik. Nah, dari undang-undang ini dilihat di dasar filosofi perubahannya itu pertama untuk penguatan pelaksanaan demokrasi. Yang kedua, untuk adanya sistem kepartaian yang efektif dan efisien. Nah, sehingga perubahannya menjurus pada dua hal. Pertama, penguatan kelembagaan. Dan kedua, peningkatan fungsi dan peran parpol. Nah, itu. Kemudian yang terkait dengan yang diuji, Pasal 23 ya, ayat (2) dan ayat (3) sebetulnya tidak ada perubahan yang esensial dengan Undang-Undang 2002, 2008, hanya mengubah kata departemen menjadi kementerian karena kalau dulu nomenklaturnya Departemen Kehakiman, Departemen Hukum dan HAM, kemudian dengan … apa ... struktur pemerintahan yang baru menjadi kementerian, itu saja yang diubah. Nah, memang yang sangat banyak diubah itu di Bab 14 tentang Penyelesaian Perselisihan Parpol. Jadi kalau Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) itu babnya tentang kepengurusan, tapi Pasal 32 dan Pasal 33 itu babnya tentang penyelesaian perselisihan parpol, jadi memang beda babnya ya, bahkan (suara tidak terdengar jelas) mengatakan bahwa bab itu punya pengaruh besar terhadap interpretasi daripada apa yang ada di pasal itu. Nah, jadi ini mungkin nanti apakah ada samen seperti kata Pak Prof. Laica ada berhubungan, tapi memang Pasal 23 itu di bab kepengurusan dan kemudian Pasal 33 dan Pasal 32 bab penyelesaian perselisihan parpol. Memang ketika diubah itu arsitektur draftingnya enggak nampak karena babnya sudah tidak ada lagi, semua mengubah pasal-pasal yang demikian. Nah, saya ingin penegasan dari Pak Nu’man dan Pak Agus Purnomo bahwa gagasan tentang penyelesaian perselisihan parpol dimana penguatan kelembagaan dan fungsi parpol itu sangat … apa ... diperkuat. Oleh sebab itu, di sana ada peran Mahkamah Partai yang di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 itu belum ada. Nah, ini bisa ditegaskan lagi bagaimana ini … apa ... peran dan finalisasi dari penyelesaian parpol, tapi kemudian di Pasal 32 di penjelasan dan di 29
Pasal 33 itu ditarik lagi penyelesaian di pengadilan negeri, dan ada kasasi ke Mahkamah Agung. Saya minta penegasan dari Pak Nu’man dan Pak Agus Purnomo yang … apa ... terlibat di dalam penyusunan apa ... perubahan undang-Undang Parpol ini. Terima kasih. 38.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, masih berlanjut dari meja Hakim. Yang Mulia Pak Suhartoyo.
39.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua. Saya Prof. Laica. Begini Prof, saya tertarik dengan pertanyaan dari Kuasa Hukum Pemohon tadi. Apakah sengketa partai ini masuk wilayah sengketa individu atau bukan? Sengketa individu apa bukan? Karena itu memang yang kemudian membuat implikasi yang menjadi panjang ini menurut saya, termasuk di dalamnya adalah sejauh mana mempunyai kekuatan mengikatnya putusan ini terhadap pihak ketiga karena kalau masuk dalam wilayah hukum privat, Pak Humprey ya, dalam wilayah perdata murni otomatis itu hanya mengikat para pihak yang berperkara itu. Kecuali masuk wilayah hukum publik, TUN misalnya, atau di MK sekalian. Itu yang menjadi perdebatan kita hari ini kan, itu sebenarnya dan itu kemudian yang kemudian akhirnya kita mempersoalkan Pasal 23 dan Pasal 32 ini. Kalau kita cermati, Prof. Laica, ini perkara saya baca putusannya ini adalah masuk kamar perdata, di situ Pak Djafni Djamal kemudian Pak Agung Sumanatha, dan bukan masuk kamar TUN sehingga kalau dicermati seharusnya kan, ini masuk wilayah keperdataan yang masalah hukum privat yang main di situ yang hukum acara yang dipergunakan sehingga mesti harus kita jelaskan di sini, di persidangan ini, Prof. Laica, apakah kemudian putusan yang tidak mengikat dan tidak dihormati atau tidak diikuti oleh dalam hal ini Pak Menteri Hukum dan HAM, apakah kemudian serta-merta Pak Menteri bisa disalahkan? Saya kira harus dikaji dulu karena sifat putusan kita ini mengikat para pihak, satu. Kemudian yang kedua, setelah saya cermati putusannya ini juga, putusannya ini tidak ada condemnatoirnya, hanya deklarator atau konstitutif, Prof. Laica. Hanya menyatakan, menyatakan, menyatakan yang menghukum itu hanya memerintahkan untuk membayar biaya perkara. Tapi yang memerintahkan atau menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi isi putusan ini termasuk siapa pun ... kalau dalam perkara perdata kan ada itu, “Menghukum pihak tergugat atau yang kalau dalam perkara itu, atau siapa pun untuk memenuhi putusan itu atau melakukan tindakan putusan ini,” atau untuk mengosongkan sebuah rumah atau tanah yangmenjadi sengketa misalnya, kan biasanya ada, ada prepare-nya, ada alternatifnya. “Menghukum kepada pihak yang kalah atau siapa pun.” 30
Nah, itu mungkin baru di situ nyantol Kementerian Hukum dan HAM itu kemudian menjadi ada tanggung jawab untuk menghormati putusan ini. Nah, saya minta pandangan Prof. Laica, apakah yang menjadi persoalan itu di samping kalau menurut Prof. Laica tadi ada persoalan di Pasal 23 dan 32. Tapi kalau saya melihat dari angle yang berbeda, putusannya juga pasti harus kita kaji juga. Ada enggak persoalan kontribusi yang memunculkan … yang menyebabkan adanya persoalan ini? Barangkali itu yang perlu kita cermati, Prof. Laica. Terima kasih. 40.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dimulai dari Yang Mulia Prof. Laica, silakan. Banyak pertanyaan ini untuk Prof.
41.
AHLI DARI PEMOHON: H. M. LAICA MARZUKI Yang Mulia, mula-mula saya akan menjawab pertanyaan dari Kuasa Pemohon. Saudara Kuasa Pemohon, sebagaimana yang saya kemukakan tadi. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) itu menurut saya seyogianya ditambah menjadi … ditambah ayat (4). Ayat (4)-nya ialah, “Tatkala terjadi suatu perselisihan internal dan dibawakan ke pengadilan” ya, maka hakim terikat … pejabat-pejabat, pihak yang bertikai terlibat di situ. Jadi, inilah yang saya katakan tadi. Bahwa di sini terjadi suatu … suatu … terjadi suatu apa ya, ketidakjelasan, suatu multitafsir karena Pasal 23 ya, itu dipahami oleh pejabat ya sebagai suatu … sebagai suatu kewenangan yang berdiri sendiri. Padahal ada Pasal 33. Nah, kalau saya seyogianya Pasal 23 itu ditambah dengan ayat (4), yang mengatur bahwa dalam hal terjadi perselisihan dan dibawa ke pengadilan, maka itu … kalau ayat (4) itu menjadi jelas ya, Saudara. Kemudian, pemahaman conditionally constitutional. Saya mengatakan kondisi konstitusional itu seperti saya katakan tadi. Tatkala Pasal 23 ayat (2), ayat (3), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan Pasal 33 Nomor 2 mengandung cacat tidak konstitusional bersyarat, conditionally constitutional sepanjang tidak dimaknai, tidak dimaknai bahwasanya kedua pasal dimaksud harus dipertaut secara samen. Ya, yang mengikat semua pihak termasuk pejabat Pemerintah guna menaati putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap. Tapi ini karena Saudara Kuasa Pemohon, Pasal 23 diatur tersendiri, Pasal 33 diatur tersendiri. Inilah yang menimbulkan multitafsir. Seorang pejabat pemerintahan bisa berpendapat, lho. Ngapain? Ini kan, Pasal 23 saya punya kewenangan di situ. Dia mengabaikan Pasal 33, gitu. Kemudian pertanyaan termasuk pertanyaan dari Pihak Pemerintah tadi dan sekaligus … dan kemudian satu pertanyaan dari 31
Yang Mulia, Yang Mulia Hakim Konstitusi Suhartoyo. Apakah sengketa partai itu individual atau kelembagaan? Saya secara tegas mengatakan kelembagaan, kelembagaan. Mengapa kelembagaan? Yang Mulia, kenapa kelembagaan? Oleh karena di dalam konstitusi menempatkan partai itu demikian penting. Misalnya Pasal 6A, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik. Ini berarti kelembagaan ya, tidak boleh dilihat secara individual sehingga apabila terjadi perselisihan internal, enggak mainmain, Pak, enggak main-main karena ini berpengaruh kepada kewenangan konstitusional pemilihan Presiden itu. Jadi, dengan segala kerendahan hati, dengan segala kerendahan hati, Yang Mulia Bapak Suhartoyo, saya secara tegas mengatakan ini bukan perselisihan individual. Dia ada kelembagaan, Yang Mulia, kelembagaan. Kemudian pertanyaan yang keempat yang tadi Saudara kemukakan, apa … apa … maafkan saya. Saya sudah tua. Usia saya 75 tahun, kalau dibalik 57. 42.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Bisa saya ulangi lagi?
43.
AHLI DARI PEMOHON: H. M. LAICA MARZUKI Ya, yang keempat saja, yang keempat.
44.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Apabila Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan yang memberikan batas-batas inkonstitusionalitas atas suatu norma. Namun, Pemerintah malah sengaja melaksanakan norma dengan cara atau penafsiran yang telah dinyatakan sebagai inkonstitusional. Menurut pendapat Ahli, apakah Pemerintah dapat dikatakan telah melakukan tindakan yang inkonstitusional?
45.
AHLI DARI PEMOHON: H. M. LAICA MARZUKI Begini. Inilah tadi saya mau bertukar pikiran dengan … saya sangat menghormati Anggota Dewan ini, Bapak. Saya menghormati Bapak. Tapi, kita kan, belum … ndak apa-apa berbeda pendapat ya, Pak? Karena pendapat itu … pendapat itu tidak bisa dikenakan biaya tol. Kita berbeda pendapat, Bapak ndak dikena bayar tol, saya juga ndak kena biaya tol. Begini, Pak, suatu putusan yang inkracht van gewijsde, menjawab pertanyaan Pemerintah tadi, dikatakan berkekuatan hukum tetap, 32
tergantung pada lembaga peradilan mana yang memutusnya, Pak. Kalau keputusan Mahkamah Agung, berarti itu inkracht van gewijsde. Artinya, tidak ada lagi upaya hukum biasa, ya yang bisa menyanggahnya. Hanya ada upaya hukum luar biasa, Pak, PK. Tapi, PK itu pun dikatakan dalam ketentuan, “Proses PK tidak menangguhnya pelaksanaan.” Jadi … aduh, maafkan ini. Nah, ada perbedaan pendapat saya dengan Bapak. Tapi, Bapak belum tentu salah, saya juga belum tentu salah. Bapak katakan tadi, “Menteri itu tidak menjadi para pihak, dia tidak terikat dong.” Terikat, Pak, terikat. Bapak … contohnya, Pak, putusan Hooge Raad Belanda, tanggal 31 Januari 1919, Pak, mengenai onrechtmatige daad (perbuatan melanggar hukum). Dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum. Melawan dua percetakan Yahudi, ya. Putusan itu, Pak, tidak hanya mengikat Cohen dan Lindenbaum karena pada ketika itu, setiap perkara yang menyangkut onrechtmatige daad (perbuatan melanggar hukum), dia terikat. Padahal, itu declaratoria, Pak. Jadi, di sini kita tidak perlu berbicara apakah putusan peradilan itu erga omnes atau tidak? Ketika dia bersifat deklarator dan menyangkut soal konsep hukum, semua orang terikat, Pak. Sesudah … sesudah putusan Hooge Raad tanggal 31 Januari 1919 kalau ada perkara perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), semua terikat kepada putusan Hooge Raad itu. Termasuk juga perkara TUN. Ketika terjadi putusan November … November Arrest dalam perkara Ostermann, maka setiap perkara yang menyangkut onrechtmatige overheidsdaad dalam perkara Ostermann, sesudah itu semua terikat walaupun mereka itu … walaupun yang datang kemudian itu tidak menjadi para pihak, Pak. Artinya apa? Anggota Dewan Yang Terhormat, artinya setiap subjek, termasuk penguasa harus taat, Pak, harus taat. Ya, itu pendapat saya. Tentu pendapat Bapak berbeda, kita serahkan kepada Majelis. Saya menghormati pendapat Bapak. Tapi, itulah, Pak, pemikiran, pendapat seseorang itu tidak dikenakan biaya tol. Saya tidak mengatakan pendapat Bapak salah, ndak. Bapak tidak dikenakan biaya tol. Pernyataan menteri, oh, ndak boleh dong, maafkan saya, tidak boleh. Tatkala … tatkala sudah ada putusan Mahkamah Agung ya, menteri terikat. Tidak boleh mengatakan, “Wah, saya ndak peduli.” Ndak boleh. Itu kalau saya baca dia … beliau punya … dengan tidak mengurangi penghormatan saya, keputusan Menteri Hukum dan HAM ini ndak benar, Pak, ndak benar. Sudah ada putusan Mahkamah Agung, lalu masih mengatakan bahwa itu akan … dalam waktu enam bulan untuk menyertakan sah kembali. Itu ndak benar. Nah, kemudian, Yang Terhormat Yang Mulia Bapak Hakim Konstitusi Suhartoyo Yang Mulia. Pertanyaan Bapak tadi, Pak, “Apakah perselisihan partai itu individu dan kelembagaan?”
33
Dengan segala kerendahan hati, Pak, adalah perselisihan kelembagaan karena perselisihan ke … internal kepengurusan, individual itu, itu berdampak kepada tugas konstitusional, Pak. Kalau suatu partai ya, menjadi tidak dapat menjalankan fungsinya dalam keadaan kemerdekaan berserikat, bagaimana bisa menjalan … bagaimana bisa mengemban dia punya … dia punya … dia punya kewenangan konstitusional? 46.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Prof, sedikit. Itu (…)
47.
AHLI DARI PEMOHON: H. M. LAICA MARZUKI Ya, silakan, Pak.
48.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Itu kalau berkaitan dengan kualitas para pihaknya, subjeknya barangkali, itu memang secara kelembagaan. Tapi kemudian, ketika mereka sudah bersengketa, media yang dipakai itu yang saya tanyakan. Itu medianya apa? Apakah hukum privat atau hukum publik? Karena itu akan berkaitan dengan akibat hukum dari putusannya.
49.
AHLI DARI PEMOHON: H. M. LAICA MARZUKI Ya, Pak. Yang Mulia, walaupun misalnya di sini terjadi masuk di kamar … di kamar privat, Pak, dia berdampak, berdampak kepada ke mardian … kemandiriannya karena partai itu adalah kelembagaan, Pak. Kalau terjadi kerusuhan, ketidakberesan di dalam … di kalangan individu partai itu berdampak, Pak. Bagi … ini menyangkut … maafkan saya, Pak, Pak Hakim konstitusi Yang Mulia, dikatakan kemerdekaan berserikat yang diakui itu adalah hak konstitusional, apabila terjadi, terjadi perpecahan internal di dalamnya termasuk para individu, itu berdampak kepada partai selaku kelembagaan. Itu saya punya, saya punya pendapat dan saya serahkan kepada Majelis termasuk Yang Mulia. Pertanyaan Bapak yang penting itu ada di sini, Pak yang saya sangat … pertanyaan dari Bapak, dari Bapak tadi, Pak. Pertama, apakah partai ini, apakah internal partai sengketa PPP ini, ya, hanya masuk di perkara perdata? Ada 3 kemungkinan, Pak. Dia masuk di MK, dia masuk di MK, Pak, ketika pokok sengketa itu mempersoalkan soal hak konstitusi, Pak, maka masuknya di MK. Misalnya dalam perkara ini, mempersoalkan hal rechtszekerheid, hal kepastian hukum, mempersoalkan kemerdekaan berserikat, mempersoalkan soal keadilan,
34
maka ini masuknya, Pak, adalah ke hadapan Yang Mulia Majelis Hakim konstitusi. Nah, kalau misalnya … jadi tergantung kepada fundamental petendi, Pak. Tergantung kepada objectum litisnya. Kalau yang dipersoalkan soal kepengurusan internal, pribadi internal itu masuknya di perdata, Pak. Kalau fundamental petendinya. Pertanyaan Bapak, kapan masuk di kamar TUN? Bisa, Pak. Bisa masuk di kamar TUN kalau yang dipermasalahkan adalah keputusan Menteri Hukum dan HAM. Karena ini adalah perbuatan ketetapan, Pak. beschikking van de administratie, ini bersifat … ini adalah keputusan beschikking yang sifatnya Bapak, Bapak Suhartoyo yang arif budiman (…) 50.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Tahu, tahu, Prof. Sudah.
51.
AHLI DARI PEMOHON: H. M. LAICA MARZUKI Ya.
52.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Berarti kalau begitu, pertanyaan Pemohon terakhir yang mengatakan … yang menanyakan bahwa perlu tidak kementerian hukum dan HAM ditarik sebagai pihak, otomatis jawabnya pasti tidak perlu. Begitu, ya. Karena sudah otomatis kan bahwa (…)
53.
AHLI DARI PEMOHON: H. M. LAICA MARZUKI Ya.
54.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Padahal Pemohon itu gampang tidak menanyakan itu, Pak? Tidak hanya minta ketegasan. Ya, karena kaitannya (suara tidak terdengar jelas) Pak, Bapak kan sering beracara diperadilan. Silakan.
55.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar. Yang Mulia Prof. sudah selesai. Silakan Saksi memberi jawaban atas beberapa pertanyaan tadi. Ya, mulai sesuai nomor urutan dari Pak Agus. Silakan.
35
56.
SAKSI DARI PEMOHON: AGUS PURNOMO Terima kasih, Majelis … Hakim yang … Majelis Hakim Yang Mulia. Kami akan menjawab pertanyaan pertama dari Kuasa Pemohon. Jadi, tentang ide pelembagaan Mahkamah Parpol. Jadi, ide ini sebenarnya sudah muncul pada saat sebelum pembahasan. Jadi, kita di Komisi II melakukan rapat dengar pendapat, meminta pandangan dari pakarpakar hukum yang terkait dengan masalah pertama kepartaian politik dari LIPI … dari banyak pihak. Kemudian, juga dari beberapa fakultas hukum. Nah, ide itu kemudian berkembang karena kita punya fakta kasus konflik antara Pak Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur, itu kemudian mempengaruhi cara pandang kami terhadap pentingnya pelembagaan Mahkamah yang menangani konflik partai politik. Jadi, kalau ide itu yang kemudian saya yang mengemukakan contoh dengan itu adalah kami pribadi di dalam rapat internal sekaligus di dalam rapat dengar pendapat umum. Nah, ide ini kemudian dibahas dan kemudian, pada saat penyusunan draft ini kemudian disepakati masuk. Jadi karena partai di dalam … secara internalnya di dalam beberapa pandangan politik secara alamiah dia akan mengalami konflik. Jadi, pada saat beberapa pakar memberikan masukan itu ada siklus tentang kehidupan partai. Jadi, mulai siklus pertama adalah pembentukan. Kemudian, konsolidasi. Setelah kemudian mereka itu berebut atau merebut secara legal jabatan-jabatan publik, ada peluang untuk terjadinya konflik di internal. Dan dari situlah kemudian konflik itu potensinya ada dan itu selalu potensial karena itu perlu ada lembaga. Karena itulah kemudian di dalam fungsi partai ada salah satu fungsinya adalah manajemen konflik politik. Nah, karena itulah kemudian ide ini sambut. Saya masih ingat saat itu juga ada situasi Kementerian Hukum dan HAM yang mengeluarkan … apa … badan hukum partai itu sering didemo pada kasus konflik antara Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar. Jadi, didemo mana yang sah yang penting kemudian minta untuk supaya yang sah yang ini diakui oleh Pemerintah. Nah, pada saat itu kami ingat ini disepakati, tapi kemudian secara factual kemudian Pemerintah juga karena sering didemo itu kemudian kami masih ingat Pak Dirjen saat itu Pak Dirjen bukan aku, Pak, tapi dirjen dari kesbangpol. Jadi, Pak Tanribali, “Kalau kayak gini kita yang didemo sementara kalian yang bermasalah, itu kan, berarti ini sebenarnya bukan tugas kita. Jadi, tolong bikin lembaga.” Nah, Pemerintah mendukung dalam konteks itu. “Tolong buat lembaga yang kemudian kalian itu bisa menyelesaikan konflik kalian sendiri sehingga kemudian kita itu tidak terlibat di dalam.”
36
itu.
Itu pandangan yang kami ingat dari Pak Dirjen Kesbangpol saat
Nah, ini ide ini gayung bersambut sebenarnya. Jadi, ada ide di antara kita, masukan dari masyarakat dari rapat dengar pendapat umum yang keduanya juga Pemerintah sepakat. Satu sisi kemudian pada saat itu kami juga mengecek tentang pilihan atau program prioritas yang terkait dengan politik itu di landasan filosofis yang mohon maaf tadi disampaikan Pak Hakim Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams, konsep pada saat kita menyusun ini juga sebenarnya terpengaruh oleh naskah akademik revisi paket Undang-Undang Politik yang tahun 2008 Hakim Yang Mulia Pak Hakim Yang Mulia Pak Wahiduddin. Jadi, itu mempengaruhi dan pada saat itu konsep kunci dari Pemerintah dan juga masukan dari akademisi adalah kita itu demokrasinya masih prosedural sehingga perlu pada saat itu adanya deepening demokrasi, pendalaman demokrasi. Nah, konsep dari pendalaman demokrasi di antaranya adalah yang kemudian dimasukkan di dalam landasan filosofi tentang penguatan demokrasi kemudian juga penguatan sistem kepartaian atau kemudian disebut dengan sistem kepartaian yang efektif dan efisien. Efektif dan efisien maksudnya adalah mampu merumuskan kebijan, mempengaruhi kebijakan sehingga kemudian mensejahterakan rakyat. Kira-kira begitu. Nah, inilah yang kemudian dikuatkan di dalam batang tubuhnya itu, di dalam penguatan fungsi. Jadi, fungsi itu dipertegas kembali. Kemudian yang keduanya juga ada alokasi anggaran yang didapatkan dari Pemerintah itu ditujukan juga untuk pertama, pendidikan politik. Nah, fungsi itu yang kemudian saling … saling memperkuat dan kemudian menterjemahkan dari landasan filosofis. Ini sekaligus pertanyaan yang membahas tentang inisiatif DPR ini yang disampaikan oleh Hakim Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams. Kemudian, pertanyaan dari kuasa Pemohon yang mengapa tidak dibuat Menkumham harus mem-follow up putusan mahkamah partai dan putusan Mahkamah Agung. Ya, pada saat itu di dalam pikiran kami, saya pribadi dan kemudian termasuk beberapa … termasuk Pak Nu’man, dari kami itu ada Pak Muzamil, ya negara kita kan, negara hukum. Bagaimana mungkin kemudian seorang pejabat yang dia itu mengeluarkan keputusan administrasi kemudian dia tidak berdasarkan keputusan hukum yang itu putusan pengadilan, begitu. Itu logika umumnya sehingga kemudian kita bersangka baik gitu, bersangka baik bahwa ya, norma ini kalau kita mau jujur mungkin tidak terpikirkan karena kita tidak … menganggap bahwa tidak mungkin ada orang yang dia mengambil keputusan di luar dari keputusan pengadilan. Nah, kemudian yang ketiga apakah konsep Pemerintah itu material substantive atau administrative. Nah, dalam sudut pandang kami karena terkesan dengan ungkapan dari Pak Dirjen Kesbangpol saat 37
itu yang Pak Dirjen dari dirjen apa saya lupa, Pak, mohon maaf. Jadi, Pak Dirjen usul, “Pokoknya jangan libatkan kami, kami selesaikan … kalian sudah selesai, kita keluarkan administratif dan itu kemudian ya, itu harus sudah selesai administratifnya di situ.” Sebagaimana juga pada … pada kasusnya konflik antara Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar. Demikian yang bisa kami sampaikan. Mohon maaf kalau ada kekurangan, ya. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 57.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Pak Agus. Lanjut ke Pak Nu’man, silakan.
58.
SAKSI DARI PEMOHON: NU’MAN ABDUL HAKIM Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim. Pertanyaan pertama dari Pemohon apakah Menkumham waktu itu dibicarakan perlu dilibatkan atau tidak. Inilah justru yang saya tangkap dari Dirjen Asasi Hukum dan Hak Asasi Manusia di Admisi Hukum Umum ya, justru beliau yang sangat agresif untuk menekankan, “Jangan libatkan Kementerian Hukum ini menjadi bagian dari konflik ini.” Itulah munculnya desakan dan kita anggap memang kita anggap bahwa jangan ada satu pun Pemerintah ikut terlibat dalam konflik ini, seperti halnya dilakukan oleh Dirjen Sospol ketika berada di Depdagri. Makanya kenapa Kemenkumham karena memang fungsinya administratif itu. Jadi, tidak berdiri sendiri. Administratif itu yang berkaitan dengan verifikasi pengesahan legalnya saja. Saya kira kalau kita bicara soal Pemerintah kita harus dilibatkan, maka akan ter … maka akan ada pasal yang berhubungan dengan fungsi mediasi. Karena itu, di kita tidak dibicarakan Pemerintah melakukan mediasi ketika ada konflik. Langsung kita ke internal dan pintu kedua adalah ke peradilan, itu menunjukkan bahwa kita memang tidak berniat melibatkan Pemerintah dan Pemerintah maunya begitu, maunya Pemerintah begitu. Nah, kemudian pertanyaan dari Yang Mulia Anggota Majelis Hakim Pak Wahiduddin Adams, memang ini inisiatif dari DPR dan sangat singkat karena memang kita lebih merapikan dulu di internal, jadi 9 fraksi waktu itu yang ada, lebih mudah kita membicarakan persoalan-persoalan yang menyangkut masalah diri kita, bagaimana partai itu difungsikan lebih bagus supaya dia menjadi pilar demokrasi yang baik dan bagaimana kalau partai itu muncul lagi, bagaimana syaratnya supaya bagus dalam rangka kita memperkuat sistem presidensial? Maka kalau kita lihat konstruksinya itu beban menjadi berat di undang-undang baru sekarang ini, bagaimana partai dijadikan bahkan anggota kita ada yang mengatakan, “Bukan soal keagungan kita yang
38
digambarkan dalam visi dan tujuan partai. Bahkan harus terwakili dari seluruh 100% provinsi, 7% kabupaten waktu mendirikannya.” Kenapa demikian? Tentu itu menjadi bagian dari perdebatannya, tapi itu bagian dari cara kita untuk membuat ke depan partai politik lebih berfungsi dengan bagus sebagai kanal demokrasi. Nah, yang paling banyak memang di Pasal 33 karena Pasal 23 itu sudah biasa, jadi kenapa harus terdaftar? Karena KPU sebagai usernya, dia harus melihat bagaimana yang didaftar karena mendirikan di notaris, didaftarkan di KPU … eh … di Menhukam, dan di Menhumkam ini diverifikasi, betul enggak sesuai dengan undang-undang? Ada enggak pengurusnya? Ada enggak kantornya? Lah, maka harus didaftar begitu. Jadi, memang tidak sendiri. Nah, ketika kita bicara soal perselisihan, ini yang paling banyak dibicarakan, maka sebetulnya baik Pemerintah maupun kami yang atas nama fraksi, kita sepakat saat itu dari Menhumkam mengatakan, “Tahap pertama adalah Anda selesaikan, yaitu mahkamah partai, masukkan di anggaran dasar dan nominasinya masukkan ke kami. Siapa anggota hakim itu?” Itu dari Menhumkam, maka kemudian dimasukkan di semua anggaran dasar, ada mahkamah partai dan anggotanya harus disampaikan di Menhumkam. Kalau menurut Pemerintah, “Kami berpendapat,” katanya, “Kalau Anda berselisih dan Majelis ini menetapkan si A, kami keluarkan SK A. Nah, sekarang kalau terjadi pihak ... berikutnya kemudian masuk ke peradilan dan ternyata yang inkracht itu B, aku akan ubah lagi yang A itu karena yang terakhir adalah B.” Itu saya kira Bapak lihat di risalahnya, semua risalah persidangan ini komplet semua, ada pendapat Pak (suara tidak terdengar jelas) Yusuf dari PKS, ada Pak Alex Litaay, ada Pak Hairuman, ada Pak Ganjar Pranowo, ada dari Dirjen AHU, ada ... semua bicara soal ini. Jadi, Pasal 33 semangatnya adalah mengikat, Pak. Memang kita kalau lihat lagi sekarang tidak ada ayat (4) yang keputusan inkracht ini wajib pemerintah untuk mencatat. Tapi semangat kita pada waktu itu, ya buat siapa dibikin Pasal 33 itu kalau tidak untuk dicatat? Pasal 33 itu kaitannya adalah kepentingan mendaftarkan siapa yang sah dan dari Dirjen mengatakan, “Kalau itu sudah inkracht, kami buat itu.” Ya, jadi kita klir waktu itu. Jadi, memang ini ada, ya kalau dianggap ya, semua produk legislasi itu memang tidak sempurna, mungkin kalau ada kekurangan dan sebagainya, tapi semangatnya seperti para penyusun itu. Saya kira Bapak kalau hadirkan para penyusun di luar kami berdua tidak akan berbeda karena ini adalah inisiatif dan perdebatannya memang saya kira lebih mudah karena bukan datang dari Pemerintah, jadi kita menyusun (suara tidak terdengar jelas) itu lebih mudah, Pak. Saya kira Pak Anggota Majelis Hakim Pak Wahiduddin saya kira sudah cukup, ya. 39
59.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Terakhir mungkin Pak Tatang Farhanul Hakim, enggak ada ya? Kalau enggak ada untuk Pak Tatang. Baik, terima kasih. Kebetulan pukul 13. 30 WIB ini ada sidang Panel, jadi ini tinggal sekian menit. Sebelum sidang ditutup, Majelis akan mengesahkan alat bukti yang diajukan, seperti yang disampaikan tadi. P-7A sampai dengan P15? Betul, ya? Ya, sudah justru itu benar itu.
60.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Ya.
61.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, sudah diverifikasi dan sudah dinyatakan sah. KETUK PALU 1X Baik, apakah Pemohon masih mengajukan ahli atau saksi?
62.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Ya, kita masih mau mengajukan ahli.
63.
KETUA: ANWAR USMAN Berapa orang? Saksi apa ahli?
64.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Dua orang saksi, dua orang ahli.
65.
KETUA: ANWAR USMAN Dua orang ... dua orang.
66.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Dua orang saksi fakta dan dua orang ahli ... dua orang ahli.
67.
KETUA: ANWAR USMAN CV-nya diajukan lebih dulu, ya. 40
68.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Ya, Yang Mulia.
69.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, kalau begitu nanti untuk ... Pemerintah gimana? Kuasa Presiden, nanti belakangan ya kalaupun ada ya, setelah selesai dari Pemohon. Baik, dengan demikian sidang ini ditunda pada hari Kamis ... kami ulangi, hari Selasa ... hari Selasa, tanggal 14 Juni 2016, pukul 11.00 WIB dengan acara mendengarkan keterangan ahli atau ... dan saksi dari Pemohon. Baik, 14 Juni.
70.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT 14?
71.
KETUA: ANWAR USMAN 14 Juni.
72.
KUASA HUKUM PEMOHON: HUMPREY R. DJEMAT Dua minggu berarti.
73.
KETUA: ANWAR USMAN Kepada Yang Mulia, Prof. Laica terima kasih atas keterangannya, juga pada Para Saksi. Demikian, sidang saya akhiri dan selanjutnya saya tutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.23 WIB Jakarta, 2 Juni 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
41