MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, AHLI PEMOHON, DAN AHLI PRESIDEN (IV)
JAKARTA KAMIS, 28 APRIL 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan [Pasal 2 ayat (4), ayat (4a), dan Pasal 13 ayat (1) huruf e] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON Edi Pramono ACARA Mendengarkan Keterangan DPR, Ahli Pemohon, dan Ahli Presiden (IV) Kamis, 28 April 2016, Pukul 11.11 – 12.41 WIB Ruang Sidang Panel II Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Anwar Usman Maria Farida Indrati I Dewa Gede Palguna Suhartoyo Patrialis Akbar Wahiduddin Adams Aswanto
Syukri Asy’ari
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Syawaludin 2. Ludwig V. B. Ahli dari Pemohon: 1. Haula Rosdiana C. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mulyanto Sigit Danang Joyo Andi Batara Irawan Wahyudi Didik Hariyanto
D. Ahli dari Pemerintah: 1. Gunadi
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.11 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 13/PUU-XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, Om Pemohon, dipersilakan untuk memperkenalkan diri lagi.
2.
Swastiastu.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAWALUDIN Baik terima kasih, Majelis. Bismillahirrahmaaniirahiim. Assalamualaikum wr. wb. Kami dari LKBH PPS FH UI, sebagai Kuasa dari Pemohon Bapak Edi Pramono. Pada hari ini kami hadir sementara baru dua, Yang Mulia. Nama saya Syawaludin. Kemudian sebelah kanan saya, Bapak Ludwig. Satu lagi sedang dalam perjalanan.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAWALUDIN Terima kasih.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Dari DPR masih berhalangan. Dari Kuasa Presiden, silakan.
6.
PEMERINTAH: MULYANTO Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Dari Pihak Pemerintah, yang hadir saya sendiri Pak Mulyanto. Sebelah kiri saya, Pak Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan I Dirjen Pajak. Kemudian, Bapak Didik Hariyanto, Kepala Bagian Bantuan Hukum Kemenkeu. Kemudian, Bapak Andi Batara. Kemudian sebelah kanan saya, Pak Sigit Danang Joyo. Kemudian, Pak Wahyudi dari Kemenkeu. Demikian, Yang Mulia.
1
7.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Acara persidangan hari ini, sedianya adalah untuk mendengarkan keterangan DPR, dan di meja Hakim ada dua orang Ahli, masing-masing Pemohon satu, ya, dan dari Kuasa Presiden satu. Dipersilakan ke depan dulu untuk diambil sumpahnya, Para Ahli. Ya, mohon kesediaan, Yang Mulia Pak Wahiduddin.
8.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Kepada Ahli, untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaaniirahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
9.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaaniirahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
10.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Mohon kembali ke tempat. Ya, kita dengar Ahli dari Pemohon terlebih dahulu, Ibu Prof. Dr. Haula Rosdiana, dipersilakan di podium.
11.
AHLI DARI PEMOHON: HAULA ROSDIANA Bismillahirrahmaaniirahiim. Assalamualaikum wr. wb. Sebelumnya, ucapkan terima kasih kepada Yang Mulia, yang sudah memberikan kesempatan saya untuk di sini. Concern saya terhadap peninjauan kembali ini adalah bagaimana agar Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4a) ini pada akhirnya akan menyehatkan relasi antara negara dan rakyat. Karena itulah, dalam makalah yang ... mungkin Yang Mulia sudah mendapatkan juga, ya, yang secara … apa ... tertulis maupun dalam persentasi saya ini, judul yang akan saya berikan adalah Menyehatkan Antara Relasi Negara dan Rakyat Melalui Perubahan Undang-Undang Perpajakan. Jadi, bagaimana ini rekonstruksi Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) itu menjadi suatu hal yang perlu di ... baik, sori. Baik. Saya melihat kasus ini secara lebih makro dan bagaimana melihat kepentingannya dari kepentingan negara. Bahwa pajak adalah instrumen untuk nation building, ya, untuk menjamin, untuk mendorong adanya 2
persatuan bangsa. Dan kalau kita bicara mengenai Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pajak adalah instrumen untuk mencapai tujuan NKRI. Kalau kita lihat apa, yaitu mengantarkan rakyat, rakyat Indonesia itu menjadi merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Jadi adil adalah menjadi tujuan dari didikannya NKRI. Pajak juga merupakan alat demokratisasi, bentuk relasi yang sesungguhnya yang paling intim antara negara dan rakyat adalah dengan pembayaran pajak. Peran serta rakyat ya, untuk membangun negara itu juga dibangun oleh pajak. Nah, satu hal yang harus diperhatikan bahwa adalah dalam mendesain kebijakan pajak, maka semua harus berlandaskan kepada filosofi perpajakan. Teori perpajakan itu menjadi penuntun dan dalam mengartikulasikannya, kebijakan pajak itu secara eksplisit ada di dalam undang-undang, dan ini dituntun oleh teori perpajakan. Karena itulah, ya, kebijakan pajak yang tidak diartikulasikan dengan baik dalam Undang-Undang Perpajakan, ini bisa berpotensi menimbulkan disharmoni antara negara dengan rakyat dan menimbulkan, ya, menimbulkan potensi distrust antara negara dan rakyat karena tidak terciptanya keadilan dan kepastian hukum. Distrust ini terjadi, ya karena wajib pajak dalam kasus ini adalah pengusaha kena pajak merasakan adanya ketidakadilan dan ketidakpastian di dalam Undang-Undang Perpajakan, ya, sehingga merugikan rakyat, dalam hal ini pengusaha kena pajak. Kekecewaan dan mungkin saja ini akan menimbulkan antipasti di kalangan dari rakyat itu sendiri. Kemudian kalau kita lihat, ya, tolong di … apa namanya ... tolong dipahami posisi saya sebagai keterangan Ahli di sini. Kalau memberikan masukan atau saran, itu harus dilihat secara jernih dan terbuka, tidak dengan hati yang sempit. Karena saya tahu beberapa di sini menganggap bahwa oh, ya kalau berseberangan dengan Pemerintah, seolah-olah saya itu menyerang Pemerintah, padahal bukan seperti itu. Seharusnya ini dilihat adalah, ya, kontribusi dari, ya, guru besar. Tanggung jawab guru besar untuk memperbaiki sistem perpajakan di negara ini. Pikirkan dengan hati yang bersih, gitu, apalagi kalau misalnya kemudian direkomendasikan saya diperiksa saja katanya karena terlalu vokal. Ini tentu saja itu adalah penghasut-penghasut yang mengganggu relasi antara, ya, akademisi dengan pemerintah juga. Karena saya sendiri selalu berada di garda terdepan untuk membela sistem perpajakan ini. Jadi lihat dengan jernih, dengan pikiran yang terbuka, kita lihat bagaimana dampak dari ketidakjelasan dan ketidakadilan yang ada di dalam rumusan Pasal 2 ayat (4) maupun ayat (4a). Kita harus pastikan niat kita di sini baik, yaitu menjamin adanya kepastian dan keadilan demi tercapainya cita-cita NKRI. Kenapa perlu ditinjau kembali? Saya tidak mempermasalahkan sekali dalam hal ini. Saya tidak mempermasalahkan mengenai, ya, NPWP secara jabatan maupun retroaktif di dalam pajak penghasilan. Saya 3
hanya mempermasalahkan mengenai retroaktif maupun PKP jabatan. Kenapa? Karena kalau kita lihat, pertama dari bunyi, ya, dalam Pasal 2 ayat (2) kita bisa lihat fungsi PKP itu ada tiga. Untuk mengetahui identitas dan yang kedua disebutkan di dalam (suara tidak terdengar jelas) itu bahwa untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Kata-kata pemilihan ini, ya, pemilihan kata-kata mengedepankan hak dibandingkan kewajiban, ini bukan masalah tata bahasa biasa, ada maksud yang ingin dicapai oleh negara, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban. Namun sayangnya, kemudian di ketentuan retroaktif Pasal 2 ayat (4a), justru menegasikan hak dari pengusaha, penekanannya hanya satu saja, yaitu masalah kewajiban. Jadi ada asimetrik, ya, antara hak dan kewajiban, sehingga kemudian, ya, undang-undang sebagai dasar untuk mengimplementasikan pajak ini sendiri, akhirnya ya tidak sejalan atau tidak seperti yang diharapkan, ya. Dan bahkan, ya, asas kepastian dan keadilan di dalam Undang-Undang KUP ini, itu juga tidak berfungsi sebagaimana seharusnya pajak formal, yaitu mengejawantahkan dari hukum pajak material. Kenapa hal ini bisa terjadi? Pertama, ya, dalam analisis saya, asas retroaktif dengan sistem PPN saat ini, itu tidak cocok atau belum cocok ditetapkan. Kenapa? Yang pertama, PPN adalah kalau kita lihat dari taksonomi perpajakan, dia adalah indirect tax on consumption. Dia adalah pajak objektif dan legal karakter PPN itu adalah general indirect (suara tidak terdengar jelas) consumption. Artinya, yang menanggung beban pajak itu bukanlah pengusaha, tidak haruslah pengusaha. Karena ultimate destination-nya itu atau destinataris dari PPN itu adalah pembeli, ya, atau konsumen. Karena PPN itu adalah, ya, pajak atas konsumsi, ya. Dan Pajak Pertambahan Nilai ini atau PPN besar ini, ya, itu diciptakan oleh para pakar perpajakan, itu untuk, ya, memperbaiki sistem pajak penjualan yang jelas-jelas itu merugikan secara ekonomi makro, ya, maupun tadi tidak membangun nation building secara keseluruhan karena adanya cash (suara tidak terdengar jelas) effect, sehingga mendorong pengusaha melakukan integrasi vertikal, ya, dengan melakukan monopoli atau oligopoli. Ini yang harus dipahami. Nah karena dia pajak tidak langsung, ya, maka meskipun destinataris-nya adalah pembeli namun Pemerintah dalam ini … maaf saya maksud negara, meminta bantuan kepada pihak ketiga. Pihak ketiga itu adalah pihak yang paling dekat dengan konsumen. Siapa? Dalam hal ini adalah pengusaha, pengusaha, ya, atau penjual. Nah, jadi yang harus diperhatikan adalah bahwa ya, sekali lagi, beban PPN ini bisa dialihkan dan PPN ini adalah pajak pertambahan nilai, artinya pajak yang dikenakan terhadap nilai tambah. Dengan demikian, menegasikan hak pengusaha, dalam hal ini misalkan mengkredit (suara tidak terdengar jelas) pajak masukan, justru menyebabkan pengusaha itu menanggung beban perpajakan yang bahkan jauh lebih besar dibanding para pelaku pidana perpajakan. 4
Sanksi ini bahkan ... kita bukan hanya bilang triple, mungkin dalam seterusnya, banyak ini sekali ... apa ... berlipat-lipat kali, gitu. Karena kemudian, ya, dengan hanya mengutamakan dari kewajiban, yaitu kewajiban pengusaha untuk melakukan pemungutan pajak, maka pertama, ya, ketika retroaktif ini diberlakukan, pengusaha yang sebetulnya dia tidak pernah memungut PPN kepada pembeli, ya, ini terpaksa harus menanggung beban dari PPn yang seharusnya tadi bebannya bisa dialihkan. Dan yang kedua, ketika menegasikan dari pajak masukan tersebut, artinya menegasikan adanya sistem pertambahan nilai yang seharusnya diadopsi dalam sistem PPN kita itu, maka pengusaha dilakukan atau dikenakan pajak dengan basis omzet bruto, sehingga implikasinya kita ... penghitungan sanksi pun ada dari basis bruto. Nanti di dalam selanjutnya, saya akan jelaskan bagaimana dampaknya dari sisi perhitungan. Kemudian, tentu saja ini juga kemudian dalam implementasi yang mengubah sistem pajak pertambahan nilai menjadi pajak penjualan, ya. Dan masih banyak ada sanksi lain, nanti akan saya tunjukkan di sini. Kita ambil contoh, ya, misalnya pengusaha itu punya hak pemajakan penuh, ya. Kalau dia jual misalkan Rp1.000.000.000,00, dia mumungut pajak keluaran Rp100.000.000,00. Karena 10%, kemudian waktu dia beli dulunya Rp800.000,00, pajak masukannya Rp80.000.000,00, maka selisihnya ... kan ini pertambahan nilai, inilah yang harus disetorkan oleh pengusaha itu, jadi hanya sebesar nilai tambahnya saja Rp20.000.000,00. Tapi dengan menegasikan hak pemajakan itu tadi, maka kalau dilihat dari hitungan di sini, itu bisa lihat bahwa pengusaha itu dikenakan dengan basis omzet saja, hanya ... tadi meskipun dalam praktiknya itu sebetulnya dia tidak secara empirik dia tidak memungut PPN itu, dia dianggap harus atau wajib memungut, dikenakan tadi Rp100.000.000,00. Nah, penghitungan sanksinya pun, itu tentu saja bukan dari nilai tambahnya juga, dari yang Rp100.000.000,00. Bayangkan, dari hitungan di sini kita bisa lihat bagaimana komparasinya itu antara Rp148.000.000,00, dengan Rp20.000.000,00, berapa persen dikenakan? Padahal wajib pajak yang sedikit nakal saja, tapi punya iktikad baik, lalu mau mengungkapkan ketidakbenaran dengan melakukan kompromi fiscal, itu hanya 150%. Pidana perpajakan Pasal 38, minimum 100%, maksimum 200%. Pidana Pasal 39 yang sengaja, itu maksimum hanya 400%. Dalam kasus ini berapa? Dan satu hal lagi, sistem PPN itu sebetulnya sudah menjamin juga adanya kemudahan administrasi, makanya ada yang namanya second base policy, yaitu dengan dengan diberlakukannya nilai presumptive taxation, ada yang namanya pedoman pengkreditan pajak masukan, itu lebih mempermudah. Kalau dia misalnya hitungan ini, kita bisa lihat dengan dia menggunakan pedoman pengkreditan, tanpa memperhatikan 5
berapa sebetulnya total pajak masukkan yang sudah dibayar oleh si pengusaha ini, pengadilan membuat asumsi bahwa dia boleh mengkreditkan sebesar 80% nya, itu ketentuan yang lama, ketentuan yang sekarang 70%, seperti itu. Hasilnya hampir sama, adanya ketidakadilan yang luar biasa, yang sangat besar dalam kasus ini, oke. Ini studi empirik dari apa yang dialami ... saya mempelajari kasusnya dengan baik, ini tentu saja kalau mengajukan ke MK, harus ada bukti yang jadi korbannya. Ketika saya mempelajari kasus Bapak Edi Pramono itu, Beliau itu sebenarnya (suara tidak terdengar jelas) SPT PPh dalam periode sunset policy, yang waktu itu sebetulnya kenapa sunset policy itu berhasil? Karena Menteri Keuangan pada saat itu, Bu Sri Mulyani, berani menjamin melalui PMK yang dia buat bahwa ini tidak akan dijadikan dasar untuk dilakukan pungutan-pungutan pajak lainnya. Jadi kalau sekarang butuh tax amnesty, dulu itu sebetulnya sudah ada tax amnesty, tapi enggak pakai ribut-ribut tax amnesty, ya, dan itu berjalan dengan smooth, ya. Kemudian, berdasarkan data dari sunset policy itu tadi yang di mana dalam hal ini Pak Edi membetulkan SPT PPh orang pribadinya, Fiskus melihat, “Oh ya, omzetnya ini sudah melebihi dari pengusaha kecil,” lalu diimbau yang bersangkutan itu untuk menjadi PKP dan yang bersangkutan itu karena patuh, dia langsung mengajukan menjadi ... melaporkan usahanya untuk jadi PKP. Tapi apa yang terjadi? Karena di dalam pasal ini tidak dijelaskan bagaimana sebetulnya prosedur penetapan jabatan secara jelas dan tegas karena itu kemudian di … apa … dibelikan diskresi kepada Menteri Keuangan dan di Kementerian Keuangan juga peraturan Menteri Keuangan tidak diberikan dengan jelas, akhirnya kemudian KPP mungkin karena semangatnya mencari uang, ya, dan tadi semangatnya menegakkan Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) ini, mereka menerbitkan SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf e dengan sanksi Pasal 13 ayat (2) seperti yang tadi ... apa namanya … saya berikan contohnya penghitungan, ya, di mana karena tadi, Pasal 2 ayat (4a) itu mengatakan kewajiban. Akhirnya fiskus melaksanakan, ya, sudah itu hanya kewajibannya saja, tidak dihitung haknya. Apa implikasinya? Pertama, ya, SKPKB ini ditetapkan secara omzet, ya, kemudian penghitungan bunganya juga jauh lebih besar. Kemudian tadi, penetapan, ya, pajak yang terhutang dan itu PPN terhutang itu, bahkan melampaui kewenangan di dalam undang-undang sendiri karena di dalam Undang-Undang PPN itu diatur negatif list. Ada barang-barang tertentu yang tidak dijadikan sebagai barang kena pajak. Kalau kita lihat toko bangunan, kan di situ ada pasir, ada apa, yang dia jelas bukan barang kena pajak, ya. Kemudian implikasinya, nanti boleh ditanyakan adalah pengusaha lain jadi takut untuk melaporkan kegiatan usahanya. Takut apa? (Suara tidak terdengar 6
jelas), Edi Pramono juga terjadi pada mereka. Jadi mereka lebih memilih untuk menghindari pajak daripada mereka kemudian, ya, mengalami hal yang serupa. Ini bukti empiriknya, jadi bukan sekadar tadi saya bicara-bicara, inilah penghitungannya. Bisa dilihat di sini, dasarnya hanya dari peredaran usaha. Bapak, Ibu, Para Hakim Yang Mulia, maupun yang di sini dari DJP atau dari yang lain yang mengamati ini. Kalau Bapak, Ibu mengalami kasus yang seperti Pak Edi Pramono, Bapak, Ibu baru akan merasakan gimana sakitnya pajak ini karena merasa, “Kok saya sudah patuh, kok diperlakukannya seperti ini?” Dan bahkan dikenakan … apa … dikenakan beban pajaknya itu bertubi-tubi, berkali-kali, melebihi apa yang tadi, dilakukan oleh para pidana perpajakan, empati itu baru akan timbul kalau kita sendiri ikut merasakan tadi … apa … the meaning and understanding dari kasus ini. Etik dan emiknya baru kita pahami kalau kita tahu kondisi empirik yang sebenarnya. Saya tidak akan berpanjang lebar, semua sudah tulis di dalam ini, tertulis. Tapi intinya dalam sebagai satu penutup, saya ingin kita samasama berpikiran terbuka, berpikiran jernih bahwa pengajuan, ya, kami dari UI, ya, kebetulan saya mewakili ini dari UI juga sebagai keterangan Ahli. LBH UI juga membantu di sini adalah dalam rangka bagaimana kontribusi kami untuk memperbaiki relasi antara negara dan rakyat. Karena itulah, Pasal 2 ayat (4) maupun ayat (4a) ini, sekali lagi khusus untuk pengusaha kena banyak, seharusnya ditinjau kembali. Dan hal ini harus dilakukan karena struktur PPN ini memang tidak memungkinkan diberlakukannya retroaktif secara jabatan. Karena itu jika dilakukan, yang terjadi adalah seperti, akan atau akan ada korban seperti, Pak EdiEdi lainnya. Dan satu hal lagi, pajak seharusnya atau sejatinya merupakan instrumen untuk menciptakan keadilan. Tentu saja kalau kita menutup mata, menutup hati atas kasus yang menimpa ini, yaitu akan menjadi suatu ironi karena Pemerintah saat ini sedang memperjuangkan untuk mengondisikan adanya tax amnesty. Dan kalau saya baca di dalam RUUnya, itu luar biasa insentif yang diberikan untuk tax amnesty, ya. Tarif tembusannya itu sangat-sangat murah, ya, hanya 2% dari harta bersih. Pajaknya semua nanti diampunkan, sanksi-sanksinya juga diampunkan, luar biasa. Tapi apa yang sudah terjadi, apakah akan kita biarkan begitu saja? Bagaimana kemudian implikasi dari Pasal 2 ayat (4) ini, khususnya tadi Pasal 2 ayat (4a), ya. Dan tentu saja, kalau ini terus dibiarkan, ini lama-lama akan, ya, menimbulkan distrust (ketidakpercayaan), kekecewaan, dan antipasti terhadap pajak. Itu saja, Yang Mulia, pada akhirnya memang kita harus membangun trust, ya, harus kembali membangun, ya, trust, membangun harmoni antara negara, rakyat, ya. Dengan meninjau kembali keberlakuan, ya, kewajiban retroaktif atas PPN ini, sehingga 7
filosofi dan teori perpajakan ditegakkan sebagaimana mestinya untuk atau demi terciptanya keadilan dan kepastian hukum. Demikian saya sampaikan, terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 12.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Prof. Lanjut ke Ahli dari Presiden, silakan, Prof. Dr. Gunadi, di podium.
13.
AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Bismillahirrahmaanirrahiim. Yang Terhomat Bapak Ketua Majelis Hakim dan Para Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ini belum datang. Kemudian Para Wakil Anggota Pemerintah, Bapak Pemohon atau yang mewakili, dan Ahli, Prof. Haula. Ini kebetulan, mohon maaf ini … apa … semua ini kita ini dari satu fakultas gitu, jadi Beliau ini adalah rekan sefakultas, rekan mengajar di Fakultas Ilmu Administrasi. Tapi, ya, kita … apa … melaksanakan … sesama bus tidak … bus kota tidak saling mendahului. Dan Para Hadirin yang kami muliakan. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera buat kita sekalian. Sebelumnya, juga kami mohon maaf bahwa kami tidak akan membacakan semuanya, ya, hanya sebagian yang kami anggap penting kami bacakan. Untuk mencapai tujuan nasional, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan dengan biaya, termasuk dari pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Yurisdiksi pemajakan Indonesia tersurat di dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Berdasar pasal konstitusi ini, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang tata cara … tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak atas Barang Mewah, sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Sebagai produk legislatif, maka Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-Undang tentang KUP telah mendapat persetujuan para wakil rakyat, pembayar pajak, atau pengusaha kena pajak, sehingga memenuhi prinsip no taxation without representation. Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang Pajak melalui prosedur, rapat, dan sidang resmi. 8
Persetujuan itu mencerminkan kemauan dan kesanggupan rakyat atas pemungutan pajak, prosedur, dan tata caranya. PPN dan PPnBM dipungut berdasarkan Undang-Undang PPN, sedang prosedur dan tata caranya diatur dalam Undang-Undang KUP. Diatur dengan undangundang, artinya pungutan pajak harus ada undang-undangnya yang telah disetujui para wakil rakyat, termasuk wakilnya dari Pemohon uji materi, ya. Sebagai produk legislatif, undang-undang adalah hukum yang berisi norma yang harus diikuti dan dipatuhi semua pihak. Sesuai dengan prinsip fiksi hukum setelah diundangkan dalam lembar negara, undangundang mengikat setiap warga. Akibatnya dalam sengketa pajak, ya akibatnya dalam sengketa hukum, berlaku prinsip ketidaktahuan undang-undang bukan merupakan unsur pemaaf. Karena dibentuk berdasarkan ketentuan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan oleh lembaga yang berwenang, maka Undang-Undang PPN dan Undang-Undang KUP telah memenuhi asas legalitas formal, prosedural, dan konstitusional, sehingga sah dan mempunyai daya laku atau valid. Seperti lazimnya Undang-Undang Pajak, sifat norma hukum Undang-Undang PPN dan Undang-Undang KUP adalah heteronoom. Artinya, kewajiban membayar pajak datang dari negara dan dapat dipaksakan, sehingga senang atau tidak senang mereka harus memenuhi kewajiban perpajakan. Para Hakim yang kami muliakan dan Hadirin sekalian. Sejak 1984 Indonesia mengganti sistem pajak yang memihak kekuasaan dan kurang partisipatif, yaitu official assessment berdasarkan compulsary compliance menjadi sistem modern yang demokratis dan partisipatif dengan prinsip mutual trust dan respect berdasarkan sistem self assessment dengan prinsip voluntary compliance. Asumsi dasar daripada self assessment antara lain adalah bahwa wajib pajak sebagai pelaku nyata transaksi atau pihak kena pajak, kemudian menguasai data informasi yang kurang lengkap yang sebenarnya terhadap objek pajak. Kemudian yang ketiga, mengerti, memahami, dan mampu melaksanakan ketentuan pajak. Yang keempat, mampu menghitung pajak dengan benar dan lengkap. Dan yang kelima, menyadari pentingnya membayar pajak. Dan yang keenam, dengan jujur bersedia memenuhi kewajiban pajak. Dalam sistem self assessment, inisiasi kegiatan pemajakan mulai dari registrasi berupa perolehan NPWP dan pengukuhan PKP, penghitungan tentang pajak, pembayaran, dan pelaporan SPT, dan perbaikannya diserahkan kepada wajib pajak untuk dipenuhi secara sukarela. Peranan Pemerintah selain edukasi dan sosialisasi perpajakan, termasuk membangun, mengembangkan, dan memelihara sistem pajak yang berfungsi dengan baik, kemudian pengadministrasian secara efektif dan efisien. Peranan kantor pajak adalah termasuk membangun sistem pengawasan kepatuhan sukarela yang efektif dan efisien, seperti 9
tersedianya data komprehensif untuk mendeteksi ketidakpatuhan, kemudian pemeriksaan secara random sample, ya, kebenaran dan kelengkapan pelaporan dasar pengenaan pajak, penghitungan, pengurang, dan keringanan seharusnya, dan kebenaran pembayaran pajak. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa sistem self assessment setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggunung … menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Seberapa besar kontribusi pajak sebagai wujud dukungan konkret kepada negara dalam sistem self assessment, Pemerintah mempercayakan warga menghitung pajak terutang, membayar, dan melaporkan diri kepada negara. Jika menemukan bukti bahwa assessment utang pajak tidak benar, kantor pajak dapat melakukan re-assessment. Karena inisiasi awal penghitungan utang pajak sepenuhnya berasal dari wajib pajak. Victor Thuronyi menyebut sesuai prinsip fairness-public trust in tax administration, serta prinsip good governance dari Alink dan Van Kommer, menuntut agar re-assessment dilakukan secara transparan. Artinya, temuan pemeriksaan kantor pajak atas SPT harus diberitahukan dan dibahas dengan wajib pajak, dan sengketa jumlah pajak harus diputus pengadilan. Prinsip ini sudah diikuti dalam Undang-Undang KUP 2007, termasuk prinsip good governance yang lain seperti jika wajib pajak mengajukan keberatan, maka pajak yang dibayar hanya yang disetujuinya dan validitas utang pajak dalam sengketa pajak menunggu keputusan pengadilan. Sehingga penagihan paksa hanya dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sistem perpajakan berdasar self assessment dengan voluntary compliance yang berlaku di Indonesia secara konseptual merupakan sistem yang ideal. Menyerahkan penghitungan besaran pajak terutang dan pematuhan kewajiban perpajakan kepada warga. Namun dalam kenyataannya, warga yang berkemauan namun karena berbagai alasan tidak semuanya mampu mematuhi kewajiban perpajakan. Demikian juga, keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan kepatuhan sukarela dalam self assessment berupa data dan informasi pihak ketiga, kondisi ekonomi belum maju, masih maraknya informal economy dan cash economy. Walaupun sudah bekerja dengan keras, kantor pajak belum berhasil memaksimalkan kepatuhan warga. Karena itu, Carlos Silvany menyebut bahwa ketidakpatuhan menimbulkan tax gap. Tax gap yang pertama adalah wajib pajak tidak terdaftar, termasuk juga pengusaha kena pajak yang belum dikukuhkan, kemudian non-filer atau tidak menyampaikan SPT, adanya penghindaran dan penggelapan pajak, kemudian adanya tunggakan pajak. Keempat, tax gap menyebabkan penerimaan pajak tidak optimal. Sesuai dengan teori deterrence-nya dari 10
Allingham dan Sandmo, maka di dalam Undang-Undang Pajak ini disediakan sanksi agar kepatuhan perpajakan optimal dan penerimaan menjadi maksimal. Bapak Ketua Majelis Hakim yang kami hormati. Secara singkat kronologis permohonan uji materi menurut pemahaman saya atas informasi yang saya peroleh adalah sebagai berikut. Pemohon merupakan pengusaha yang bergerak di bidang perdagangan. Berdasarkan imbauan pembetulan SPT PPh OP per April 2010 walaupun tidak terjadi konseling, namun telah membetulkan SPT PPh tahun 2008 dan 2009. Omzet yang semula Rp166 juta menjadi sekitar Rp6 miliar, tanpa melaporkan usaha untuk pengukuhan PKP. Kemudian berdasarkan imbauan pada bulan April 2012, maka telah melapor pada 2 Mei dan dikukuhkan menjadi PKP. Namun kemudian, kantor pajak mengukuhkan secara jabatan dan kewajiban pajaknya dihitung surut sejak 2009. Atas kewajiban PPN tahun 2009, telah diterbitkan SKPKB, Pemohon mengajukan keberatan dengan pemahaman atas Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4A[Sic!] Undang-Undang KUP bahwa pemberlakuan surut hanya untuk PKP yang dikukuhkan secara jabatan. Memenuhi permintaan dari Direktur Peraturan Perpajakan II atas penjelasan berbagai hal, dengan ini kami sampaikan beberapa pendapat saya sebagai berikut. Yang pertama. Sesuai dengan sistem self assessment, teori timbulnya utang pajak menganut paham materiil. Artinya, utang pajak timbul karena adanya undang-undang, bukan karena ketetapan pajak. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa setiap wajib pajak, termasuk pengusaha kena pajak, wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sesuai prinsip self assessment Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP, secara substantif, wajib pajak dan/atau pengusaha kena pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif UUPPN karena undang-undang telah berkewajiban memungut Pajak Pertambahan Nilai dari para pembeli barang dan menyetor setelah melaporkannya ke kantor pajak. Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 5 UndangUndang KUP juncto Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Saudara Untung Sukarji juga menyatakan bahwa ketentuan tersebut menyiratkan status PKP bukan karena pengukuhan, tetapi karena undang-undang, sesuai dengan prinsip self assessment. Sehingga dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penambahan Nilai, sebutannya adalah PKP yang telah dikukuhkan. Dan pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan. Sebagai pelangkap administrasi perpajakan, maka sesuai dengan prinsip self registration, sebagai pelengkap dari self assessment. Mereka ini, menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang KUP sebagai 11
pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UUPPN wajib melaporkan usahanya kepada kantor pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, atau tempat diajukan pengusaha, dan tempat melakukan kegiatan usaha untuk pengukuhan menjadi PKP. Bahkan, agar pajak pemasukan atas perolehan barang modal dapat dikreditkan, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 143 menyatakan bahwa pengertian pengusaha kena pajak dalam rangka pengukuhan, termasuk juga pengusaha yang sejak awal mula usaha berniat melakukan penyerahan barang kena pajak dan tidak kena pajak, walaupun masih pada tahap praoperasi atau belum berproduksi, belum melakukan penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak. Sehingga, pengukuhannya dapat dipercepat dalam rangka agar pajak pemasukannya atas barang modal dapat dikreditkan. Kedua. Untuk tujuan efisiensi, berdasar prinsip ease of tax administration menyimpang dari prinsip persamaan hukum atau equality before the law, pengusaha kecil dengan batasan yang ditetapkan Menteri Keuangan, Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang PPN mengecualikannya dari kewajiban melapor untuk pengukuhan. Namun, ayat (1a) menyatakan bahwa mereka dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak. Dalam rangka memberikan kepastian hukum pengusaha kecil, Pasal 4 ayat (1) PMK Nomor 68 Tahun 2010, memberikan batasan pengusaha kecil yang tidak wajib melaporkan usahanya untuk pengukuhan PKP, yaitu pengusaha dengan omzet setahun tidak lebih dari Rp600.000.000,00. Karena sistem self assessment bersifat demokratis dan partisipatif, maka pengusaha yang omzetnya setahun tidak lebih dari Rp600.000.000,00 pada saat itu, sekarang sudah diubah menjadi Rp4,8 miliar, boleh tetap tidak usah ikut sibuk menjadi PKP atau memilih menjadi pengusaha kena pajak agar memberi manfaat kepada pengusaha kena pajak lainnya. Jika omzet sudah melewati batasan tersebut, kapan harus melapor, Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 68 Tahun 2010, menyebut, “Paling lambat akhir bulan setelah bulan terlampaunya batasan tersebut, harus melaporkan pengusahanya untuk pengukuhan PKP.” Misalnya, Koperasi PP mempunyai omzet Januari sampai dengan Mei 2010 sebesar Rp500.000.000,00. Omzet bulan Juni Rp200.000.000,00. Karena batasan Rp600.000.000,00 terlewati pada bulan Juni, maka selambatnya pada 31 Juli 2010 Koperasi PP harus melaporkan usaha untuk pengukuhan PKP. Sesuai dengan PMK Nomor 68 Tahun 2010, kewajiban memungut, menyetor, dan melapor, pajak pertambahan nilai berlaku sejak saat pengukuhan sebagai PKP, yaitu 31 Juli 2010, bukan mundur sejak 1 Januari 2010. Salah satu prinsip Undang-Undang Pajak menurut Victor Thuronyi adalah non-retroactivity, tidak berlaku surut, yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang
12
menyatakan, “Setiap warga negara berhak atas untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.” Pemberlakuan prinsip non-retroactivity dengan suatu asumsi bahwa aturan main berjalan sesuai aturan yang seharusnya, sesuai dengan das solen. Namun, jika faktanya atau dasar yang berbeda sesuai dengan prinsip equality before the law, Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945, tentu perlakuannya juga berbeda. Ketiga. Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (4), mulai … dimulai sejak saat wajib pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Paling lama lima tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Penjelasannya, menyatakan bahwa dalam penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan sebagai PKP secara jabatan, harus memperhatikan terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Penjelasan Pasal 16B Undang-Undang PPN menyatakan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua wajib pajak atas kasus-kasus perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang teguh kepada ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan prinsip ekualitas atau nondiskriminasi tersebut, semua pengusaha sejenis dengan kondisi yang sama dikenakan pajak secara adil dan pasti, yang meliputi kepastian jumlah utang pajak dan beban atau pengaruh pajak atas suatu transaksi. Kepastian hukum dalam perpajakan menurut Adam Smith, sebagaimana dikutip oleh Safri Nurmantu merujuk kepada kepastian tentang jumlah pajak yang harus dibayar, siapa pembayarnya, kapan harus dibayar, dan ke mana harus dibayar. Sementara Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa legal certainty pajak terpenuhi jika sekurang-kurangnya unsur-unsur perhitungan objek kena pajak dan tarif pajak dimuat dalam undang-undang. Selama terdapat objeknya, sudah pasti dan jelas besarannya yang akan dipungut dan harus dibayar merata oleh semua perusahaan bidang usaha dan jelas berdasar Peraturan undang-undang yang berlaku dapat dianggap tidak sama dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Prinsip ekualitas dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP, merujuk pada terpenuhinya kewajiban objektif dan kewajiban subjektif dan objektif. Misalnya dua pengusaha, AA dan BB secara voluntarily melaporkan usahanya untuk pengukuan PKP sama-sama tepat waktu. Sesuai ketentuan Pasal 3A Undang-Undang PPN juncto PMK Nomor 68 Tahun 2010 pada 31 Juli Tahun 2010. Sesuai penjelasan Pasal 16B Undang-Undang PPN karena kedua pengusaha sama-sama mematuhi ketentuan timely dan voluntarily self registration mereka mendapat 13
perlakuan yang sama. Namun, ketidakadilan akan dialami AA kalau misalnya BB melaporkan usahanya untuk dikukuhkan pada Juli 2015. Secara kompetisi komersial, BB telah diuntungkan posisinya dapat menjual dengan harga rendah tanpa PPN selama 5 tahun untuk memitigasi timing diferrence unequality tersebut Pasal 37A ayat (2) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa wajib pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 tahun setelah berlakunya Undang-Undang KUP Tahun 2007 diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk tahun pajak sebelum diperoleh NPWP. Ketentuan sunset policy ini mengindikasikan bahwa walaupun wajib pajak sukarela mendaftarkan diri atau sukarela melapor untuk dikukuh … dikukuhkan menjadi PKP. Namun, dalam waktu yang berbeda dengan saat terpenuhnya kewajiban subjektif dan objektif tidak menghapus kewajiban membayar pajak terutang sebelum diperoleh NPWP karena voluntary registration-nya dimaksud. Dalam rangka menegakkan keadilan karena beda waktu regitrasi tersebut, Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 menyatakan Dirjen Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan atau surat tagihan pajak untuk masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sebelum wajib pajak diberikan atau diterbitkan NPWP dan atau dikukuhkan sebagai PKP apabila diperoleh data dan atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi wajib pajak. Pemberlakuan surat penetapan karena keterlambatan pendaftaran NPWP dan atau pengukuhan PKP, secara sukarela merupakan sanksi atau merupakan ganjaran ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam sistem self assessment, sebagai upaya pencegahan keterlambatan registrasi Pengusaha Kena Pajak lainnya. Keempat. Selain voluntary compliance agar terjadi keadilan pajak, baik dalam tataran konsep maupun pelaksanaan, self assessment juga harus didukung oleh timely voluntary registration. Jadi, sekali lagi bahwa self assessment juga didukung oleh timely voluntary registration, jadi waktu pendaftaran menjadi NPWP atau pengukuhan sebagai PKP yang tepat waktunya. Karena tidak semua orang yang berkemauan mematuhi sepenuhnya ketentuan pajak mampu melakasanakannya, maka diperlukan pengawasan oleh kantor pajak agar tercapai kepatuhan maksimal, sehingga penerimaannya optimal. Pengawasan kapan batasan pengusaha kecil terlampaui, sebetulnya dapat dilakukan Dirjen Pajak dengan memanfaatkan built-in control system mekanisme pajak pemasukan dan pengeluaran dalam sistem PPN. Untuk itu, diperlukan reformasi administrasi Pajak Pertambahan Nilai dengan otomasi IT base tax administration online system, sehingga atas transaksi PKP dengan pengusaha dengan high integrity taxpayer identifier secara otomatis dapat diketahui identitas PKP penjual dan pengusaha pembeli. Kapan transaksi mereka melalui 14
batasan pengusaha kecil dan pengusaha harus melapor? Untuk bukan PKP secara otomatis ketahuan dan kantor pajak dapat segera menindaklanjutinya. Dalam kasus ini, Pemohon dihitung terutang PPN sejak 2009, padahal omzet di atas Rp600 juta sudah dipenuhi sejak 2008. Berbeda dengan system official assessment, yang tidak pernah menentukan kedaluwarsa penerbitan ketetapan pajak melalui Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang KUP, system self assessment memberikan warga pelepasan kewajiban pajak kepada negara dengan menyatakan bahwa apabila dalam waktu 5 tahun setelah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, maka besarnya utang pajak yang diberitahukan dalam SPT atau diterbitkan dalam SPT menjadi pasti, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, semoga saja tidak ada yang membangunkan Pasal 40 Undang-Undang KUP. Jika seandainya pada tahun 2012 kantor pajak tidak menerbitkan ketetapan pajak tahun 2009, maka terdapat risiko, yaitu diancam Pasal 36A ayat (1) Undang-Undang KUP yang menyatakan bahwa pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perpajakan, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang kelima. Pasal 4 ayat (1) huruf a UUPPN menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Sehubungan dengan frasa pengusaha, penjelasan memberikan klarifikasi bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan BKP meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP, sebagaimana dimaksud Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan. Frasa pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan, yang ternyata menurut Pasal 4 ayat (1) huruf a UUPPN, jika melakukan penyerahan BKP juga dikenakan PPN, menunjukkan bahwa konsisten dengan teori utang pajak materiil, yaitu bahwa pajak terhutang karena undang-undang, bukan karena pengukuhan dan teori secara self assessment Pasal 12 ayat (1) UndangUndang KUP kembali mengindikasikan bahwa secara substantif pengukuhan PKP adalah karena undang-undang. Namun secara formal prosedural, untuk dapat melaksanakan kewajibannya, pengusaha dimaksud harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Tanpa pengukuhan sebagai pengusaha kena pajak menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang PPN, pengusaha dimaksud tidak boleh membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai. Sekali lagi, Saudara Untung Sukarji menilai bahwa rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN konsisten dengan dan merujuk ke Pasal 1 angka 15 Undang-Undang PPN dan Pasal 1 angka 5 Undang15
Undang KUP yang mengindikasikan bahwa pengukuhan PKP itu adalah karena undang-undang. Mengapa terdapat pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan? Ini Saudara Untung Sukarji menyebut dua penyebab. Yang pertama adalah memang ada niat dari PKP tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Atau yang kedua, PKP ada niat melaporkan usahanya, namun akibat kelalaiannya, maka ketika ditemukan pejabat pajak, ternyata kewajiban itu belum dilaksanakan. Atas penyebab yang kedua, umumnya diimbau agar melaporkan usahanya untuk pengukuhan PKP yang dapat diikuti pemeriksaan atas kewajibannya ketika berstatus sebagai pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan, ditambah sanksi atas kelalaiannya. Sementara itu, adanya niat PKP tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dapat diancam dengan pasal pidana Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP. Pasal pidana tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Bapak Ketua Majelis Hakim dan Para Anggota Hakim, serta para hadirin yang kami hormati. Sebagai akhir kata, dapat kami sampaikan bahwa sistem perpajakan Indonesia menganut konsep self assessment berdasar voluntary compliance dan paham utang pajak materiil, yaitu pajak terutang karena undang-undang yang meminta inisiasi kegiatan perpajakan berawal dari warga pembayar pajak dan pematuhannya juga dilakukan secara sukarela. Dalam sistem yang ideal tersebut sebagai negara berkembang dengan berbagai keterbatasan, baik di pihak kantor pajak maupun warga pembayar pajak, kepatuhan perpajakan belum maksimal, sehingga penerimaan belum optimal. Ini mengindikasikan bahwa atas kepatuhan tersebut, agar tidak ada suatu hambatan moral memungkinkan diperlukan adanya amnesty pajak. Dengan mendasarkan pada konsep self assessment voluntary compliance dan teori terutang pajak materiil berdasarkan undangundang menurut pendapat kami, ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan (4a) Undang-Undang KUP setelah ketentuan Pasal 1 angka 15, Pasal 3 angka … ayat (1), dan Pasal 4 ayat (1) huruf h UndangUndang PPN tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
16
Sekian, Bapak-Bapak dan para hadirin sekalian. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 14.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Kuasa Pemohon, CV dari Ahlinya ini belum diserahkan ya?
15.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAWALUDIN Sudah kami emailkan, Yang Mulia.
16.
KETUA: ANWAR USMAN Coba dicek lagi nanti, ya. Kalau ada itu, sudah diserahkan saja (suara tidak terdengar jelas).
17.
KUASA HUKUM PEMOHON: SYAWALUDIN Baik.
18.
KETUA: ANWAR USMAN (Suara tidak terdengar jelas). Dari keterangan Ahli tadi, coba ada hal-hal yang ingin didalami atau ditanyakan? Silakan. Keterangan Ahli Pemohon sendiri ya, bukan dari Presiden atau Pemerintah. Silakan kalau ada. Atau sudah cukup? Cukuplah kalau begitu (suara tidak terdengar jelas) kalau memang berarti sudah jelas mungkin, ya. Ya, silakan Pemerintah. Kalau ada … dari Ahli Pemerintah sendiri, ya.
19.
PEMERINTAH: MULYANTO Cukup, Pak.
20.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, cukup. Dari meja Hakim? Ya, silakan, Yang Mulia Pak Patrialis.
17
21.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ini seru ini. Saya khawatir kalau gantian mengajarnya jam pertama Ibu, yang kedua Bapak, mahasiswanya bingung mau ikuti yang mana ini. Pertama, Ahli Prof. Haula ya, kami ingin memberitahukan Ibu enggak usah khawatir, ya, jadi ini bukan peperangan dengan Pemerintah, tapi ini adalah rakyat menuntut haknya minta keadilan terhadap satu norma. Jadi, Pemerintah itu tidak akan pernah marah. Kami sering sekali menasihati Pemerintah untuk itu. Jadi, tenang, ini pulang nanti tidurnya enak. Tadi agak takut kelihatannya.
22.
AHLI DARI PEMOHON: HAULA ROSDIANA Rumornya begitu, Yang Mulia.
23.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Rumor.
24.
AHLI DARI PEMOHON: HAULA ROSDIANA Jadi, ada yang … apa namanya … menghasut relasi saya dengan apa pejabat ya di DJP itu dengan mengatakan bahwa saya ini minor dan suka … tadi menyerang gitu.
25.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Justru kita membutuhkan orang-orang yang juga bisa melakukan mengkritisi secara baik, enggak amin-amin semua, ya. Ya, jadi dari sudut pandangannya berbeda pendekatannya, ya. Kalau Ibu Haula ini kan pendekatannya retroaktif. Saya ingin tanya, apakah konsep retroaktif yang tidak diinginkan itu, menurut Ibu ini khusus untuk PPN saja atau kewajiban pajak secara keseluruhan yang dihitung oleh kantor pajak ketika dia telah ditetapkan sebagai PKP lima tahun terakhir. Ini penting, ya karena kan ada substansi yang berbeda di situ. Kemudian saya ingin tahu pikiran Ibu secara filosofi, apa sih sebetulnya konsep keadilan menurut perspektif perpajakan itu kepada Pak Gunadi juga, pertanyaan yang terakhir itu sama. Karena kami pernah mendengar di sidang ini, ya, pendapat seseorang menyatakan bahwa kalau dari perspektif perpajakan, keadilan itu adalah pemasukan negara, gitu. Itu true story, ya, kejadian yang ada, walaupun banyak diskusi akhirnya mengenai kalimat itu oleh para Hakim, tapi bukan berarti setuju atau tidak setuju, tapi diskusi, ya. Kalau saya lihat dari 18
cara pandangnya, kedua Ahli ini mudah-mudahan berbeda juga perspektif keadilannya itu. Kemudian untuk Pak Gunadi, ya. Pertama, tolong dipastikan dulu mengenai nilai omzetnya tadi. Tadi Rp600 juta, tapi kan sudah ada perubahan Rp4,8 miliar, tapi kan penjelasannya semuanya acuannya adalah Rp600 juta, lebih lanjut elaborasinya. Ini … ini perlu juga ya … apa, bagaimana itu sebetulnya? Nah, saya juga tanya ke Pak Gunadi hal yang terbalik, ya. Apakah … tadi kan landasannya adalah kewajiban orang untuk menjadi atau memiliki NPWP sebagai pengusaha, undang-undangnya mengatakan begitu. Lima tahun dia belum mempunyai NPWP, kemudian dia ditetapkan sebagai PKP karena ada niat baik tadi. Apakah juga PPN masuk di dalam retroaktif itu? Sebab faktanya, dia belum pernah memungut, sama sekali dia tidak pungut. Bagaimana mungkin dibebankan ke dia? Nah, ini pertanyaannya agak terbalik dengan Ibu Haula. Itu saja Pak Ketua. Terima kasih. 26.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Berikutnya Yang Mulia Pak Suhartoyo.
27.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ya. Terima kasih, Pak Ketua. Mirip-mirip, ya, pertanyaan saya dengan Ibu dan Bapak juga. Yang pertama begini, Ibu. Memang semangat ini kan mestinya harus dilihat secara agak-agak luas ya karena memang ketika diberi kelonggaran, memang banyak wajib pajak yang mungkin kemudian memanfaatkan kelonggaran itu untuk “memanfaatkan” (suara tidak terdengar jelas) lah istilahnya kan bisa. Kalau bisa besok, kenapa harus sekarang? Kan begitu. Tapi di sisi lain, juga mestinya undang-undang atau dalam hal ini Pemerintah juga kemudian tidak serta-merta memperlakukan wajib pajak itu yang betul-betul memang … memang secara riil kondisinya mungkin tidak seperti dan tidak lazim kalau kemudian dikenakan denda 5 tahun sejak terbitnya NPWP, baik itu yang diterbitkan Pemerintah atau Dirjen Pajak maupun karena kemauannya … dari Dirjen Pajak ya karena … dari Pemohon sendiri kan di luar itu. Pertanyaan saya Ibu, barangkali kalau Ibu tadi mempersoalkan tentang ada sanksi-sanksi yang sebenarnya tidak seberat ini, termasuk apalagi tax amnesty itu yang hanya 2%, ini sangat sadis yang 5 tahun ini. Nah, sebetulnya menurut pandangan Ibu itu apakah sebenarnya asas retroaktif yang kita pahami dari sisi Pemohon bahwa ini karena pengenaan 5 tahun yang sangat memberatkan ini, ataukah sebenarnya boleh dikenakan, tapi jangan terlalu berat, seperti tax amnesty itu 19
menurut saya juga sebenarnya retroaktif juga lho. Hanya dalam ... dalam ... dalam perspektif itu sangat ringan ya. Dan kalau Ibu saya baca makalahnya juga, itu apa ... ada keberpihakan kepada pengusahapengusaha yang luar biasa kemampuan finansialnya. Nah, artinya sebenarnya penekananannya pada ... kepada nilainya yang memberatkan itu ataukah memang ini sebenarnya jangan dikenakan sama sekali, kemudian bisa kemudian kita simpulkan menjadi retroaktif itu. Karena menurut Pak Gunadi tadi, tidak ada itu retroaktif menurut Adam Smith apa Adam ... Adam siapa tadi, Adam Suseno tadi. Baik, itu Ibu, sedikit saja. Kemudian yang kedua untuk Pak Gunadi, ya, Prof. Gunadi, saya tertarik dengan pernyataan bahwa utang pajak itu timbul karena undang-undang. Nah, ketika kemudian ada beberapa kali Bapak kemudian menghadapkan pada equality before the law, ada beberapa kali tadi, menurut saya pemahamannya menjadi bahwa kalau kemudian itu utang, kenapa tidak ditarik saja menjadi utang piutang, artinya utang seseorang terhadap negara? Wajib pajak sebagai privat, negara juga sebagai privat. Kepentingan privat yang dirugikan di situ, kenapa enggak kemudian ditarik kepada wilayah keperdataan misalnya, jangan harap kalau dibawa ke pengadilan pajak itu, wajib pajak akan lebih ... lebih dalam arti memperoleh keleluasaan untuk memperjuangkan pembelaan dirinya. Tapi bukan kita skeptis, tapi saya kira peradilan perdata mungkin lebih ... lebih netral, Pak. Peradilan umum misalnya, sehingga prinsip-prinsip persamaan hak, kemudian kesederajatan Bapak ... karena Bapak beberapa kali mengangkat equality before the law tadi, coba saya minta pandangan Bapak, kenapa kalau ini untuk kepentingan hak-hak seseorang yang ingin dipersamakan, kenapa kok kemudian … ini kan sangat bertentangan dengan prinsip bahwa sifatnya memaksa, kemudian utang yang timbul karena undang-undang, artinya orang kan dipaksa utang ini. Coba, bagaimana kalau kita tarik ke wilayah keperdataan itu, Pak? Terima kasih. 28.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, ada tambahan sedikit dari Prof. Aswanto.
29.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Ini menarik kita mendapat kuliah gratis dari dua Guru Besar, ya. Saya tidak bermaksud untuk membenturkan pandangan Ibu Prof dengan Pak Prof. Di bagian akhir, tulisan Prof menjelaskan bahwa dengan sistem self assessment, maka pasal yang diminta oleh Pemohon diuji, Pasal 2 kemudian Pasal 2 ayat (1) ayat (2), Pasal 2 ayat (4), dan Pasal 2 ayat 20
(4a), itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sebenarnya, ya, itu yang kami ingin memang mendapat pemahaman yang lebih komprehensif, landasan apa yang kita gunakan? Kalau Pak Prof. Gunadi tadi sudah menggunakan landasan self assessment, sehingga berkesimpulan bahwa ini tidak bertentangan dengan norma yang ada di dalam Undang-Undang Dasar. Sementara pada bagian presentasinya Ibu Prof. Haula, Ibu Prof mengatakan bahwa ada penekanan tadi, penekanan Prof tadi bahwa Pasal 2 ayat (4a) itu, itu bisa berbahaya kalau dibiarkan, kan bisa menimbulkan distrust. Nah, kira-kira landasan apa yang kita bisa gunakan, sehingga kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa memang benar Pasal 2 ayat (4a) itu, itu memang berbahaya, bahkan bisa menimbulkan distrust dan bisa menimbulkan menjadi pemicu rakyat melawan pemerintahnya? Tapi sekali lagi, saya tidak bermaksud membenturkan pandangan kedua Prof kita, tapi kita meminta … apa ... penjelasan yang lebih komprehensif dalam rangka memutus perkara ini. Terima kasih, Prof. 30.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik, mungkin Prof. Ibu Haula dulu, silakan.
31.
AHLI DARI PEMOHON: HAULA ROSDIANA Terima kasih, Yang Mulia. Yang Mulia Pak Patrialis Akbar, Pak Suhartoyo, Pak Aswanto. Saya tegaskan di sini bahwa yang saya persoalkan itu adalah keberlakuan Pasal 2 ayat (4a), maupun tadi ayat (4), khusus untuk pengukuhan pengusaha kena pajak. Dalam makalah saya, saya sudah sampaikan bahwa dengan sistem Pajak Pertambahan Nilai saat ini, itu sebaiknya tidak diberlakukan retroaktif. Kenapa seperti itu? Adalah satu, PPN itu adalah Pajak Pertambahan Nilai. Jadi sebetulnya, ya, kalau kita bicara fairness jika pengusaha itu belum memungut PPN, tapi sudah dianggap seolah harus memungut PPN dan berarti kan dia harus pakai uangnya sendiri untuk membayar PPN ini. Maka pada saat yang bersamaan, juga harus dianggap seolah-olah ketika dia membeli, ya, barang yang akan dijual itu tadi, di situ ada PPN, itu harus menjadi pengurang dari PPN yang disetorkan. Dengan demikian, sistem PPN ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Nah, tetapi frasa di dalam Pasal 2 ayat (4a), ini yang saya persoalkan adalah kalau kita lihat fungsi dari pengusaha kena pajak, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2), itu adalah tadi untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Kata-kata hak ini hilang, Yang Mulia, hilang di dalam Pasal 2 ayat (4a), yang ditonjolkan atau yang hanya ada adalah kewajiban perpajakannya saja, sehingga ketika ini dilaksanakan oleh fiskus, fiskus … apa ... fiskus menerapkan bahwa 21
Anda, ya, atau kami hanya tadi, ya, memperlakukan tadi sebatas kewajibannya. Dengan demikian, ya, prinsip PPN ini yang harus dikenakan atas nilai tambah, ya, diabaikan sama sekali. Fiskus, tadi karena berdasarkan undang-undang ini, menegasikan adanya hak, ya, untuk pengkreditan pajak masukan. Akhirnya apa yang terjadi? Basis pengenaan pajaknya adalah berdasarkan omzet. Karena berdasarkan omzet seperti yang tadi saya … apa ... buat penghitungannya itu luar biasa, Yang Mulia. Buat saya sebagai akademisi ini adalah suatu kesedihan yang luar biasa karena saya cinta dengan negeri ini, saya cinta dengan pajak. Karena itulah, tadi saya juga konsisten di sini, di pajak karena saya ingin pajak ini adalah menjadi alat pemersatu bangsa, alat instrumen, ya, untuk mencapai keadilan. Tapi dengan seperti ini, ini tentu saja mencederai dari keadilan itu. Kalau kemudian tadi adalah harus ada kan equal treatment, ya, tadi ada keadilan di dalam pajak ada beberapa teori, salah satunya kalau kita bicara mengenai equal treatment ada prinsip yang namanya equal treatment for the unequal. Jadi keadilan horizontal dan yang unequal treatment for the unequals, ya. Jadi yang sama diperlakukan sama, yang berbeda diperlakukan tidak sama. Jadi kalau misalnya ini mau diperlakukan sama, tentu saja hak pengkreditan juga sudah … apa ... harusnya diberlakukan, tapi sistem PPN kenapa saya katakan ini … apa namanya ... tidak saat ini tidak memungkinkan kalau diberlakukan retroaktif adalah karena di dalam pasal, ya, Pasal 9, ya, ayat (8) huruf a Undang-Undang PPN itu adalah pajak masukan sebelum, ya, pengusaha itu di (suara tidak terdengar jelas) itu tidak bisa dikreditkan. Ini berbeda dengan PPh, makanya (suara tidak terdengar jelas) saya tidak men-challenge mengenai PPh. Jadi kalau … apa ... wajib pajak yang dikukuhkan, ya … apa namanya ... sori bukan dikukuhkan, kalau wajib pajak itu mendaftarkan diri, ya. Jadi mendaftarkan diri diterbitkan NPWP secara jabatan, buat saya tidak masalah, kenapa? Karena sistem PPH-nya memungkinkan, memungkinkan tetap, ya, pajak itu dipungut, sebagaimana mestinya, yaitu pajak pertambahan ... pajak penghasilan, maka dikenakan hanya atas atau hanya sebatas penghasilan. Apa itu pengasilan? Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Dan itu kalau kita lihat struktur Pasal 6 maupun struktur Pasal 28 dari Undang-Undang PPh tidak ada pembatasan bahwa kalau misalnya … apa ... ditetapkan NPWP secara jabatan, maka tidak boleh Anda itu … apa namanya ... mengurangi biaya-biaya atau kita kenal istilah biaya 3M, mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Begitu juga di Pasal 28 tidak ada itu dikatakan kalau NPWP secara jabatan. Kemudian ini … apa namanya ... kredit pajaknya tidak bisa diberlakukan. Artinya, keadilan bisa tetap terjamin dalam sistem PPh jika katakanlah ini tetap retroaktif, tapi tidak dengan PPN karena sistemnya ini, sistem yang kita punya dengan struktur undang-undang yang ada, 22
itu tidak memungkinkan hal tersebut. Ini yang menyebabkan kenapa tadi ada ketidakadilan yang luar biasa, bahkan melampaui tadi saya katakan, melampaui pidana perpajakan itu sendiri. Dan tadi kalau dikatakan ada ... saya mungkin agak sedikit punya … apa ... berteori sendiri, saya merekonstruksi teknik pemungutan PPN dari kita. Kalau saya sih mendapat bahwa PPN itu sebenarnya tidak bisa dikatakan sepenuhnya self assessment. Karena PPN itu adalah indirect tax, maka yang menjadi destinataris-nya itu adalah konsumen dan beban pajaknya itu … apa namanya ... bisa di-shifting. Dari buku manapun semuanya sama, jadi PPN itu adalah beban pajaknya bisa dialihkan. Tetapi dalam hal ini, ya, sebagaimana tadi banyak di buku, berikut literatur perpajakan lainnya, untuk pemungutannya negara, ya, mencari atau meminta bantuan pihak yang paling dekat dengan desinataris ini, si pembeli itu. Karena itulah, tadi ditunjuk pengusaha. Dan kalau kita lihat ... kalau kita perhatikan di … apa namanya ... Pasal 3 ayat (1) maupun ayat (2) Undang-Undang PPN, tidak otomatis yang namanya penjual itu juga harus jadi atau harus melaporkan usahanya jadi PKP. Karena itulah kenapa Pasal 2 ada kata-kata pengusaha tadi yang memilih. Artinya, kalau dia termasuk ... artinya sistem threshold itu atau ambang batas itu diberlakukan untuk PPN. Kenapa? Karena Pemerintah tahu persis PPN itu, Yang Mulia, kewajibannya itu bahkan jauh lebih berat dibandingkan PPH. Kalau PPH tidak ada, Yang Mulia, standar bahwa oke ... apa namanya ... Anda kalau mau mengurangi ininya ... apa namanya ... mau menghitung PPH dengan mengurangi tadi semua biaya-biaya, maka formatnya harus seperti ini, seperti ini, tapi PPN tidak, PPN faktur pun standar, ya. Kalau pun ... apa namanya ... tadi ada yang katakanlah data yang tidak lengkap di faktur, bahkan dikenakan denda dan itu 2% dari dasar pengenaan pajak dari harga jualnya, bukan dari PPN-nya dan ini juga sanksi yang sangat berat. Pemerintah aware tentang hal itu, Yang Mulia, sehingga tadi tidak otomatis. Dan kalau saya bisa merumuskan atau merekonstruksikan suatu teori baru, jadi sebetulnya PPN ini lebih tepatnya lebih mirip seperti kuasi with holding tax, artinya ada pihak ketiga yang diminta untuk memungut, menghitung, dan menyetorkan PPN-nya, jadi dia lebih pada seperti itu, kuasi. Jadi dia tidak full self assessment karena bukan ... bukan, dia bukan me-assess dirinya sendiri karena bukan dia sebetulnya yang dituju oleh undang-undang itu sebagai destinataris dan itu bisa dilihat dari definisi apa yang dimaksud dengan pembeli di dalam undang-undang PPN. Jadi, pembeli itu kan pihak yang membayar atau seharusnya membayar PPN, artinya undang-undang secara tegas, undang-undang PPN menegaskan ya bahwa destinator itu adalah pembeli, itu, Yang Mulia. Jadi, sebetulnya kalau misalnya ditanya konkretnya lalu apa yang diharapkan dalam ... apa ... dalam perbaikan pasal ini? Yang pertama adalah Pasal 2 ayat (4a) itu harus ada kalimat bukan sekadar tadi 23
kewajiban, tapi juga ada hak. Kemudian ada penegasan bahwa ya kalau memang tetap retroaktif atau mau di ... apa ... diberlakukan, tapi ini agak sulit karena ini berarti mengubah Undang-Undang PPN-nya, maka seharusnya hak untuk (suara tidak terdengar jelas) tetap diberlakukan, sehingga memang hanya dikenakan atas nilai tambah dan itu tadi akan ada equal treatment, tapi mengingat kondisi sekarang, ya, kondisi saat ini, sistem PPN, Undang-Undang PPN itu yang mungkin kala itu kemudian saya ... apa namanya ... berpendapat, biarkan Pasal 2 ayat (4) maupun ayat (4a) ini hanya kepada wajib pajak yang dikukuhkan NPWP secara jabatan karena secara sistem itu memungkinkan. Dan ini tadi yang dikatakan bahwa ini menimbulkan distrust, betul, Yang Mulia. Kalau kebetulan saya juga banyak riset ke lapangan, ya, jadi kami sebagai peneliti itu kan menjadi mata dan telinga dari rakyat, ya, kekhawatiran itu sangat dan itu terasa. Karena khawatir tadi dengan adanya sistem PPN yang tadi kalau dia itu dikukuhkan secara jabatan atau bahkan dalam beberapa kasus juga pemeriksaan sama, diabaikan hak untuk melakukan ... apa ... pengkreditannya, maka mereka memilih untuk melakukan underground economics, sementara underground economics ini kan sebetulnya yang pemerintah sedang berjuang supaya tadi ... apa namanya ... diminimalkan. Supaya tadi, partisipasi masyarakat yang sesungguhnya melalui pembayar pajak itu fairness-nya juga bisa tercapai. Tapi dengan kondisi seperti ini, ya, apa yang kemudian yang bisa diharapkan? Karena tadi, orang akan berhitung. Dan saya yakin kalau dari Pemerintah kalau tadi etik emik itu dilakukan, meaning and understanding itu betul-betul dipahami, lihat kasusnya dengan ini, tidak akan ada kemudian, bahkan sampai kemudian menuduh saya itu tadi melaporkan, sudah diperiksa saya, Pak Ketua, katanya. Karena tadi vokal dan sebagainya, ya, saya yakin seperti … karena apa? Kalau itu terjadi pada mereka atau saudara mereka atau bahkan saya yakin presiden itu katanya kan presidennya rakyat, ya, presiden itu pro rakyat. Kalau presiden tahu ini juga, tahu duduk persoalan sesungguhnya, apalagi kalau misalnya ada saudaranya juga yang kena kasus ini akan berpikir ulang tentang kasus ini. Karena ini konkret, Yang Mulia. Ini bukan sesuatu yang ... apa namanya ... saya ciptakan sendiri, tidak. Ini ada kasus yang riil, yang terjadi di lapangan, empiriknya terjadi. Itulah tugas kami sebagai Guru Besar itu, untuk tadi, melakukan sebetulnya untuk melakukan checks and balances. Jadi kalau misalnya ada masukan, ada kritik, itu seharusnya dipandang sebagai mitra. Petinju hebat saja, itu membutuhkan sparring partners, apalagi ... ini undang-undang itu buatan manusia, bukan buatan Tuhan. Jadi ... apa namanya ... kalau istilahnya diperbaiki, itu bukan sesuatu yang sepertinya tabu atau bahkan ada resistensi seperti itu dan itu nyata, Yang Mulia. Nyata dampaknya, bukan sekadar wacana dan bukan sekadar prediksi atau trajectory. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 24
32.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Terima kasih. Lanjut ke Pak Prof. Gunadi, silakan.
33.
AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Terima kasih, Bapak Ketua dan terima kasih pada Pak Patrialis, Pak Suhartoyo, dan Pak Aswanto atas sharing knowledge-nya, Pak. Sebetulnya begini, Pak, ini masalahnya cuma ... anu ... kembali, Pak, itu teori, Pak, ya, kalau self assessment demikian, ya. Ini masalahnya itu hanya conditio sine qua non-nya terpenuhi, Pak. Kalau segala sesuatunya berjalan dengan apa yang diharapkan sesuai dengan das sollen-nya, enggak ada masalah, Pak. Jadi apa, ya, sebetulnya saya tidak ingin membenturkan dengan (suara tidak terdengar jelas) dulu, ya, cuma PPN itu, itu namanya pajak tidak langsung karena tidak langsung dipungut dari taxpayer-nya. Jadi ini ada taxpayer sama tax (suara tidak terdengar jelas), jadi tax (suara tidak terdengar jelas)-nya itu adalah si pembeli. Ya, ini secara administrasi, Pak, ya, karena kami dari via saya mikirnya secara administrasi saja. Itu tidak mungkin kantor pajak itu memungut langsung dari para pembelinya itu satu per satu mendatangi itu, tidak mungkin, Pak. Nanti terlalu jadi … apa … kegaduhan, keributan, maka dia memungutnya adalah melalui suatu perwakilan representatif, yaitu Pengusaha Kena Pajak tadi. Jadi, hampir semua negara enggak ada yang (suara tidak terdengar jelas) itu langsung pada pembelinya, Pak, semuanya melalui Pengusaha Kena Pajak, ya. Dan sebagai pengusaha kena pajak dia juga harus menghitung juga, maka dia menjadi self assessment. Self itu kan menghitung pajak terutang itu, Pak. Yang hitung siapa? Yang hitung adalah pengusaha yang menjual tadi, itu assessment gitu, ya. Jadi, sebetulnya kondisinya apa? Self assessment itu kan beda dengan official assessment, jadi self assessment kondisinya adalah inisiasi pemajakan itu semuanya sebagian besar, Pak, ya, berasal dari wajib pajak. Jadi sebagai pengusaha kena pajak mestinya dia itu harus berinisiasi untuk dapat dikukuhkan itu, ya. Kalau itu tidak diinisiasi, otomatis ada sesuatu yang miss, ya. Jadi menyebabkan (suara tidak terdengar jelas) macam tadi, itu kan hanya sebagai sanksi saja, sanksi kenapa? Agar undang-undang dipenuhi, dipatuhi, gitu. Jadi, dia tidak ada suatu penyimpangan-penyimpangan, makanya ada suatu sanksi. Nah, itu kalau enggak ada sanksinya, juga orang mungkin enggak ada mematuhi undang-undang. Jadi kalau misalnya … sebetulnya di … apa … di peraturan Pemerintah itu kan dianukan juga … jadi sejak semula, jadi kalau pengusaha ini … apa … mungkin merasa nantinya omzetnya akan 25
memenuhi persyaratan atau barangkali tidak memenuhi persyaratan boleh saja, itu kan bisa mengajukan pendaftaran semenjak didirikan, Pak. Jadi kalau sejak pendirian dia otomatis mendaftarkan jadi PKP, enggak ada masalah, jadi semuanya dapat (suara tidak terdengar jelas) dan semuanya berjalan dengan lancar, enggak ada mundur-munduran itu, Pak, ya. Jadi, yang mundur itu kan tadi kalau dia itu pengusaha kecil, ya. Tapi kalau pengusaha besar, mungkin enggak ada mundur-munduran karena sejak semula dia mengimpor barang, membeli barang modal untuk dapat dikreditkan, dia kan otomatis sudah menjadi pengusaha kena pajak. Kalau diini enggak ada masalah, Pak. Kalau sejak semula … awal mula menjadi pengusaha kena pajak, ya. Ini yang jadi masalah itu kalau dia tidak awal mula menjadi pengusaha kena pajak, ya. Nah, ini terus terang saja kami juga mungkin ini secara murni, Pak, yang kami sampaikan sebagai akademisi, jadi mestinya dalam kasus semacam ini, Pemerintah, ya, teman-teman di pajak, ini juga harus (suara tidak terdengar jelas) suatu alat untuk mendeteksi kapan pengusaha itu mencapai batasan minimal tadi. Itu sebenarnya kami sampaikan juga tadi, bahwa ini sebetulnya bisa dengan membangun suatu IT base administration, Pak. Jadi … jadi dengan model built and control dari sistem PM dan PK itu. Jadi pengusaha kena pajak itu kan, mohon maaf, kira-kira hanya sekitar 500.000 kurang barangkali. Ini kalau misalnya mohon maaf, Pak, ya, sejak sekarang dibangun suatu automasi, jadi semua pengusaha kena pajak yang menjual kepada pengusaha, itu bisa terdeteksi. Jadi antarpengusaha transaksi terdeteksi, penjualnya berapa, kemudian kepada siapa pembelinya, nanti suatu ketika dia akan ketahuan pembeli itu kira-kira sudah mencapai omzet sampai jumlah itu atau enggak. Itu nanti otomatis teman-teman pajak akan bisa mendeteksi secara dini. Jadi, imbauannya itu menjadi lebih awal, walaupun tidak mengurangi dalam sistem self assessment bahwa inisiasi untuk mendaftarkan itu tetap berada pada pihak pengusaha. Ini adalah suatu sistem, Pak. Nah, kalau misalnya ada kekurangan ini mau sistemnya diubah, ya monggo saja, terserah. Dari Prof. Haula atau siapa saja yang mau mengubah, ya, silakan saja, monggo. Tapi bahwa conditio sine qua non itu harus dipenuhi dulu, Pak. Kalau ini tidak dipenuhi, itu menjadikan suatu … sepertinya ketidakadilan. Itu juga nanti kalau diikuti kapan dia mendaftarnya, akan terjadi ketidakadilan, Pak. Yang patuh ini dia harus menanggung beban pajak sejak semula, sejak awal. Sedangkan yang tidak mendaftarkan, kan, ya, itu nanti dia akan simsalabim saja kalau ketahuan, diperiksa. Kalau tidak, kan selamat terus (suara tidak terdengar jelas), ini masalah. Ini masalah kita bersama. Jadi, ya, mohon maaf barangkali mungkin teman-teman pajak ini, ya, administrasinya dibenahilah, sehingga bisa mendeteksi secara dini orang-orang, ya, sehingga tidak ada semacam ketidakpatuhan gini. 26
Kemudian gini, Pak, ini dari, Pak Patrialis, juga masalah keadilan, Pak, ya, barangkali (suara tidak terdengar jelas). Jadi keadilan itu kalau untuk ke pajak pertambahan nilai, itu biasanya menyangkut kepada ekualitas, Pak. Jadi kalau … apa … dari filsuf itu kan ada keadilan distributif, keadilan komutatif, Pak, ya. Jadi ini di (suara tidak terdengar jelas) komutatif. Jadi komutatif itu semua orang itu harus dikenakan pajak, ya. Misalnya kayak gini ini, semua perusahaan kena pajak yang memenuhi syarat juga harus menjadi pengusaha kena pajak, Pak, gitu. Komutatif jadi, semua orang harus membayar pajak sama-sama, gitu, ya. Tapi kalau misalnya, Pak, misalnya kalau mungkin PBB, Pak, ya, atau PPN ini, ya, misalnya kalau yang kecil-kecil itu … apa … tidak … tidak dikenakan pajak itu sebenarnya suatu penyimpangan. Tapi penyimpangan itu diperlukan karena administrasi, Pak, jadi secara … secara hukum, misalnya tidak boleh, tapi karena administrasinya kan tidak mungkin yang kecil-kecil diurus itu nanti akan menjadi tidak efisien, gitu. Yang kedua, itu keadilan distributif itu kan umumnya pada … apa … pada PPh , Pak, ya. Jadi, PPh itu yang tadi disampaikan Prof. Haula, jadi sama equal for the equal dan unequal for the unequal. Jadi, orang yang penghasilannya sama, kondisinya sama, dikenakan pajak sama. Tapi kalau kondisinya berbeda, dikenakan pajak yang berbeda. Kemudian, dari (suara tidak terdengar jelas) lagi ada suatu keadilan, keadilan juga dalam pajak. Pajak ini sebetulnya kan … apa … sesuatu … apa istilahnya … ada exchange theory, jadi suatu pertukaran antara jasa pemerintah dengan kewajiban membayar di masyarakat, begitu, Pak. Itu untuk keadilannya bahwa jadi pajak-pajak itu dari segi … apa … segi pemeliharaan masyarakat, ya, itu harus ada sesuatu yang dinikmati dari masyarakat jasa publiknya itu harus ada. Jadi, kalau enggak ada jasa publik, ya, rasanya tidak adil kalau Pemerintah memungut pajak itu, Pak, harus ada jasa-jasa publik yang (suara tidak terdengar jelas) kepada masyarakat. Jadi, sepadan dengan manfaat daripada pajak itu sendiri. Sedangkan kalau dari segi kemampuan bayarmembayar itu (suara tidak terdengar jelas) itu namanya, Pak, jadi di … tadi … apa … dengan kehadiran vertikal/horizontal, jadi dari Pemerintah harus ada sesuatu yang diberikan, sedangkan dari masyarakat itu sesuai dengan kemampuan bayarnya itu. Kemudian, tadi Pak ini (…) 34.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Batasnya apa? Pengusaha besar-kecil itu batasnya?
27
35.
AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Oh, ya, Pak, ya, Pak. Jadi, pengusaha ini kalau PMK 2010, ya, Pak, ya, PMK 68/2010 itu Rp600.000.000,00. Kemudian, di PMK 197/2014, ya, itu mulai tahun 2014, ya, Pak, ya, itu dinaikkan, Pak menjadi 4,8 karena ada PP 46/2013, Pak, ya. Itu jadi pengusahapengusaha yang omzetnya tidak lebih dari 4,8 itu dikenakan 1%, Pak. Ini untuk keseragaman batasan, ini maka diseragamkan, Pak, begitu. Kemudian, dari Pak Suhartoyo ini, (suara tidak terdengar jelas) dari apa … (suara tidak terdengar jelas) kalau sudah menjadi utang pajak itu menjadi ke masalah perdata, Pak, perdata. Dan barangkali kalau kita di pengadilan pajak, itu kan sistem hukum kita, Pak. Kalau misalnya kita mengikuti Belanda, sebetulnya pengadilan pajak itu juga ikut pengadilan umum, Pak. Jadi, enggak ada khusus pengadilan pajak. Jadi, barangkali mungkin di pengadilan umum, ya, atau perdata, ini mungkin bisa mendapatkan keadilan, ya mudah-mudahan, Pak. Tapi ini kan bisa berubah, Pak, kalau misalnya … apa … undang-undang pengadilan pajaknya barangkali di … apa … direformasi mungkin bisa juga ini bahwa masalah-masalah pajak ini dibawa ke pengadilan umum. Yang jelas ke pengadilan umum, itu kan pengadilan pidananya, ya, Pak, ya, sehingga nanti dia bisa mendapatkan suatu … apa … wawasan atau pertimbangan lebih luas saya kira. Kalau model di Belanda itu kan di pengadilan perdata, Pak, ada kamar pajak di sana, di Mahkamah Agung juga demikian, ada kamar-kamar pajak itu, nggih. Kemudian, dari Pak Aswanto tadi, Pak, ya, jadi ini, Pak, ini contohnya NPWP, tapi ini, Pak, dari pengertian istilah wajib pajak. Wajib pajak ini termasuk juga para pemungut pajak, Pak. Jadi, PKP itu, sehingga dengan prinsipnya kembali pada self assessment tadi, Pak. Jadi, kalau … apa … ingin berjalan dengan baik, jadi kondisinya dipenuhi, maka sesuai dengan itu, maka ini juga … apa … kewajiban-kewajibannya itu dimulai pada saat dia itu memenuhi persyaratan subjektif dan objektifnya itu, Pak, jadi sesuai dengan undang-undang. Tentu, ya karena kita negara berkembang, segala sesuatunya kan masih berkembang, Pak, ini, terutama sekali teman-teman dari pajak ini kan barangkali masalah pendataan ini barangkali penting ini.
36.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak Gunadi, satu saja tadi, Pak.
37.
AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Ya, Pak.
28
38.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Jadi, itu tidak hanya PPh, tapi semuanya, termasuk juga PPh?
39.
AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Ya, Pak karena istilah wajib pajak itu termasuk juga (…)
40.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Walaupun dia belum memungut?
41.
AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Ini, Pak, ini karena ada kondisi yang tidak terpenuhi, Pak. Maka tadi di Pasal 4 ayat (1) itu, diistilahkan dengan pengusaha yang … apa … belum dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak itu, Pak. Karena di sana yang memungut itu seharusnya, ini istilah seharusnya itu juga pengusaha yang seharusnya sudah jadi pengusaha kena pajak itu, Pak. Terima kasih, Pak.
42.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik, untuk Pemohon, ahlinya masih ada atau sudah cukup?
43.
KUASA HUKUM PEMOHON: Sudah cukup, Yang Mulia.
44.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari Kuasa Presiden karena Pemohon sudah cukup mungkin dari (…)
45.
PEMERINTAH: MULYANTO Cukup, Pak.
46.
KUASA HUKUM PEMOHON: Yang Mulia, mohon maaf kalau boleh, mau bertanya kepada Ahli dari Termohon.
29
47.
KETUA: ANWAR USMAN Nanti saja di … apa … enggak ada Termohon di sini kan, ini Presiden. Dalam kesimpulan saja, nanti disampaikan dalam kesimpulan. Jadi, mungkin mau menyamakan persepsi antara alur pemikiran Pemohon dan pihak Pemerintah, ya. Baik. Karena tidak lagi mengajukan ahli atau saksi, maka persidangan perkara ini sudah dianggap sudah cukup. Para Pemohon, ya, Pemohon maksudnya dan Pihak Kuasa Presiden tinggal menyampaikan kesimpulan, ya, diserahkan paling lambat hari Selasa, tanggal 10 Mei 2016, pukul 10.00 WIB, ya, paling lambat. Sudah jelas, ya, Pemohon dan Pihak Pemerintah. Dan untuk para Ahli, Mahkamah menyampaikan ucapan terima kasih telah memberikan keterangan yang cukup berarti bagi Mahkamah untuk mengambil keputusan dalam perkara ini. Dengan demikian, sidang selesai dan selanjutnya ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.41 WIB Jakarta, 28 April 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
30