MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 97/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI PEMOHON (VI)
JAKARTA RABU, 22 FEBRUARI 2017
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 97/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan [Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Nggay Mehang Tana 2. Pagar Demanra Sirait 3. Arnol Purba, dkk ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon (VI) Rabu, 22 Februari 2017, Pukul 13.34 – 14.59 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Manahan MP Sitompul Maria Farida Indrati Suhartoyo Wahiduddin Adams
Syukri Asy’ari
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Carlim B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5.
Judianto Simanjuntak Ronald Siahaan Azhar Nur Fajar Alam Fati Lazira Muhammad Irwan
C. Ahli dari Pemohon: 1. Budi Santoso 2. Tumbu Saraswati 3. Indraswari D. Pemerintah: 1. 2. 3. 4.
Hotman Sitorus Wahyu Jaya Setia Azhari Fitri Nur Astari Rahayu
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 13.34 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 97/PUUXIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saya cek kehadirannya. Pemohon, yang hadir siapa? Silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK Terima kasih, Majelis Hakim. Kami hadir dari Kuasa Hukum Pemohon dan Pemohon Prinsipal. Saya sendiri Judianto Simanjuntak, sebelah kiri saya Ronald Siahaan, sebelah kirinya Fati Lazira. Paling ujung kanan saya, Muhammad Irwan, sebelah kirinya Nur ... Azhar Nur Fajar Alam. Pemohon yang hadir sebelah kanan saya, Pak Karlim. Ahli yang kami ajukan pada hari ini ada tiga. Yang pertama, Pak Tumbu ... Pak ... Pak Budi Santoso. Yang kedua, Ibu Tumbu Saraswati. Yang ketiga, Ibu Indraswari. Terima kasih, Majelis Hakim.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari DPR tidak hadir. Ada surat yang menyatakan karena bertepatan dengan kegiatan-kegiatan rapat di DPR, maka tidak bisa hadir. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden? Silakan.
4.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir, saya sendiri Hotman Sitorus bersama Wahyu Jaya Setia Azhari. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Agenda siang hari ini adalah mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon. Sudah hadir tiga orang, Bu Tumbu Saraswati, Bu Indraswari, dan Pak Budi Santoso. Saya persilakan sebelum memberikan keterangan untuk maju ke depan, diambil sumpahnya terlebih dahulu. Ketiganya beragama Islam, ya? Mohon berkenan Yang Mulia Pak Wahiduddin untuk memandu sumpahnya.
1
6.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. Ibu dan Bapak yang menjadi Ahli, ikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
7.
AHLI BERAGAMA ISLAM Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
8.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Silakan kembali ke tempat. Rohaniwan, terima kasih. Pemohon, siapa dulu yang akan kita dengar keterangannya berturut-turut?
9.
KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK (...)
10.
Majelis Hakim, kami mohon yang pertama Ibu Tumbu Saraswati
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya.
11.
KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK Baru Pak Budi Santoso, terus Ibu Indraswari.
12.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kepada masing-masing Ahli, maksimal diberi kesempatan 15 menit untuk menyampaikan keterangan Ahlinya. Nanti kita lanjutkan dengan diskusi untuk mendalami. Silakan, Ibu Tumbu Saraswati.
13.
AHLI DARI PEMOHON: TUMBU SARASWATI Assalamualaikum wr. wb.
2
14.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam wr. wb.
15.
AHLI DARI PEMOHON: TUMBU SARASWATI Salam sejahtera bagi kita semuanya. Perkenalkanlah saya Tumbu Saraswati, dalam hal ini sebagai Saksi Ahli berdasarkan pembelajaran dan pengalaman pada waktu dua tahun ada di DPR dan MPR. Maksud saya, di badan pekerja maupun dalam hal pembahasan pada waktu Undang-Undang Adminduk. Terima kasih. Yang Mulia, ketika kami di MPR dalam pembuatan amandemen maupun Tap MPR, di situ pengalaman saya bahwa terlihat bahwa Indonesia adalah negara hukum dan tentunya, dalam Pasal 1 ayat (3) itu dimuat. Bekerjanya paham negara hukum ditandai dengan tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, kemudian penegakan hukum dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Kemudian, dalam penjabarannya, ciri-ciri negara hukum adalah jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan yang lain, berlakunya asas legalitas dalam arti bahwa negara, pemerintah, penguasa, maupun warga negara harus bertindak menurut-berdasarkan hukum. Di dalam konstitusi, kita lihat bahwa perlindungan hak asasi manusia itu termuat juga di dalam pasal-pasal dimana Pasal 28C ... Pasal 28A sampai dengan Pasal 28C. Adapun permohonan ini dikarenakan adanya suatu permohonan untuk keadilan dalam e-KTP dimana penghayat kepercayaan itu tidak dikosongkan ataupun distrip. Dan ini menurut kami sangat bertentangan pada waktu kami membuat amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kita lihat sebetulnya di dalam makalah saya yang ini, saya tambahkan bahwa kesetaraan di depan hukum, equality before the law, yaitu Pasal 28D ayat (1), "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Dan kemudian juga hak asasi manusia yang terkait dengan masalah aliran kepercayaan itu terdapat dalam Pasal 28E. Sebelumnya ketika kami membahas ini, kita terlebih dahulu membahas Pasal 28, Pasal 29 mengenai masalah agama. Di situ akhirnya kita … kita semuanya sepakat bahwa itu tidak diubah sama sekali, Pasal 29 tidak diubah. Kemudian kita beralih ke Pasal 28. Pasal 28 itu begitu banyak yang hak asasi manusia yang secara mendetail dalam kehidupan kita, berbangsa, bernegara, maupun dalam … untuk wak … keadilan di dalam masyarakat itu, dirinci satu per satu. Yang berkaitan dengan masalah kepercayaan adalah hak asasi warga negara untuk memeluk 3
agama seperti tersebut dalam Pasal 28E. dalam ayat (1)-nya kita tahu bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama, memilih pendidikan dan pengajaran, dan lain-lainnya. Tapi, di dalam Pasal 28E ayat (2), pada waktu itu pembahasannya kita mengatakan ada yang waktu itu mengatakan, " Bagaimana dengan aliran agama … agama yang tidak terdaftar ataupun aliran penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, di mana diakomodis … akomodasinya?" kemudian kita sepakat waktu itu ayat (2)-nya, "Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan." Kemudian selanjutnya menyatakan pikiran, sikap sesuai dengan hak … hati nuraninya. Yang penting di sini adalah setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selanjutnya di dalam Pasal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4 menyatakan bahwa hak untuk beragama merupakan salah satu dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga dan oleh siapa pun. Oleh karena itu, hak memilih agama dan menjalankan ibadah menurut agama atau kepercayaan termasuk dalam lingkup hak kebebasan pribadi dan bersifat interruptible. Yang Mulia, dalam kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat bahkan kehidupan bernegara, kaum penghayat kepercayaan sering mendapatkan perilaku … perlakuan yang sangat diskriminatif padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan jaminan bahwa setiap orang tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I ayat (2), yaitu setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Dengan adanya rumusan hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar Republik Negara Indonesia Tahun 1945 Bab X, maka secara konstitusional hak asasi setiap warga negara dan penduduk Indonesia untuk memeluk suatu agama atau menganut suatu kepercayaan, serta tidak diperlakukan secara diskriminatif telah dijamin oleh negara. Kemudian dalam kewajiban negara karena pada waktu itu saya juga masuk di dalam badan pekerja yang membahas mengenai Tap MPR, di situ Tap MPR Nomor 5 MPR Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional telah memberikan amanat kepada penyelenggara negara untuk melakukan hal sebagai berikut. Perlu diwujudkan persatuan dan kesatuan nasional antara lain melalui pemerintahan yang mampu mengelola kehidupan secara baik dan adil, serta menyusun berbagai kebijakan maupun menyusun peraturan perundang-undangan, mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional, serta menjamin keutuhan NKRI. 4
Yang Mulia, dalam hal perlindungan hak asasi manusia terhadap penghayat kepercayaan terkait dengan administrasi kependudukan. Sekalipun hak asasi manusia telah diakui dan dijamin oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun ternyata implementasinya bagi penghayat kepercayaan belum sesuai dengan yang diharapkan. Hingga saat ini, keberadaan mereka seolah-olah tidak diakui, khususnya yang berkaitan dengan masalah administrasi kependudukan. Secara fundamental hal ini disebebkan oleh aliran kepercayaan belum diakui sebagamana halnya agama-agama lain sehingga di dalam KTP elektronik tidak ada catatan bahwa seseorang adalah penghayat kepercayaan, bahkan secara normatif bagi seorang penghayat aliran kepercayaan kolom KTP elektronik dibiarkan kosong dan hanya diisi dengan tanda garis datar saja. Tentang hal ini, ada beberapa hal yang bisa dikemukakan. Di dalam Undang-Undang Adminduk sendiri terdapat disharmino ... dishar ... disharmonisasi dalam peraturan dasar Adminduk. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 terhadap disharmonisasi antara Pasal 58 dan Pasal 64. Dalam Pasal 58 ayat (2) disebutkan bahwa pada data kependudukan perseorangan yang harus diisi adalah ayat (2) data perseorangan meliputi huruf a sampai dengan g, dan seterusnya, huruf h, agama/kepercayaan. Keharusan mencantumkan agama/kepercayaan dalam data kependudukan perseorangan menandakan bahwa negara menyadari bahwa agama/kepercayaan adalah data yang melekat pada perseorangan. Hal ini sangat berguna dalam memperoleh pelayanan publik bagi yang bersangkutan khususnya terkait dengan peristiwa kependudukan yang penting. Selain itu menurut Pasal 58 ayat (4) data kependudukan sebagaimana dimaksud pada hal ... ayat (1) yang di dalamnya ada data agama/kepercayaan bermanfaat untuk pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi dan penegakan hukum, dan pencegahan kriminal. Dengan menyatakan bahwa kepercayaan yang dianut oleh seseorang tidak perlu dicantumkan dalam agama pada KTP elektronik, cukup dikosongkan atau distrip sebagaimana tersebut dalam Pasal 64 ayat (1) berarti Pemerintah telah mengabaikan politik hukum. Menurut Pasal 64 ayat (5) walaupun bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepecayaan, kolom agama tidak diisi atau dikosongkan atau distrip. Namun, mereka tetapi dilayani dan dicatat dalam data kependudukan ... database kependudukan. Sekalipun demikian menurut pendapat saya, pelayanan pencatatan tersebut tidak boleh terbatas hanya sampai pada database, kita membutuhkan pencatatan yang bisa diakses juga karena mereka tidak hanya berkepentingan terhadap peristiwa pencatatan dalam 5
database, pencatatan dalam database tersebut harus dapat direfleksikan ke dalam dokumen-dokumen penting yang menunjukkan jati diri mereka dan salah satu dokumen yang penting dan paling gampang untuk mereka bawa adalah KTP. Dengan demikian, disharmoni yang dimaksud adalah data yang disebutkan dalam KTP sebagai kartu tanda pengenal tunggal tentang data kependudukan ID card tidak sama dengan data kependudukan yang tersimpan dalam database. Dikosongkannya data tentang agama dalam KTP elektronik akan menimbulkan penafsiran negatis ... negatif bahwa pemegang KTP tersebut tidak memeluk suatu agama/kepercayaan atau tidak bertuhan. Yang Mulia, adanya perlakuan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan dengan dikosongkan kolom agama dalam KTP, banyak pihak yang beranggapan bahwa penghayat kepercayaan adalah orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Bahkan kadang-kadang secara kasar mereka dianggap sebagai orang kafir. Hal ini lebih lanjut mempunyai dampak atau kendala antara lain dalam perkawinan yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan berdasarkan tata cara kepercayaan yang dianutnya tidak bisa dicatat. Akibatknya mereka tidak bisa memperoleh akta kawin dan pada akhirnya anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka tidak bisa memperoleh akta kelahiran sebagai anak yang sah. Dengan demikian, walaupun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa perkawinan di antara mereka sudah bisa dicatat, akan tetapi syarat yang ditentukan sulit untuk dipenuhi seperti keharusan membentuk organisasi, keharusan untuk menetapkan tata cara perkawinan, dan sebagainya. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ada juga dalam Bab V tentang peserta didik pada Pasal 12 ayat (1) poin a yang berbunyi, “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarnya oleh pendidik yang seagama.” Dan kemudian kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama. Oleh karena itu, dalam pendidikan formal, yaitu pendidikan kepercayaan bagi peserta didik penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memang belum diatur dalam undang-undang yang dimaksud. Pelayanannya adalah sehingga menimbulkan banyak kesulitan bagi anak didik untuk dapat sekolah dengan baik, bahkan mereka dipaksa untuk mengikuti salah satu agama. Salah satu advokat … salah satu kasus pada tahun 2016, seorang siswa SMKN VII Semarang bernama Zulfa Nur Rahman memiliki kendala saat kelas XI tidak bisa naik kelas XII karena nilai mata pelajaran agama tersebut kosong, sedangkan anak tersebut adalah penganut kepercayaan. Namun, akhirnya dapat diselesaikan dengan mediasi yang 6
kebetulan Walikota Semarang tersebut adalah dari Kader PDI Perjuangan sehingga kami sebagai senior dan sebagai teman-teman diknas yang lain itu bisa menjembatani mereka bisa ikut, tetapi harus … bisa naik, tetapi harus mengikuti ulangan dengan tes dari guru-guru aliran kepercayaan. Kemudian juga walaupun pada praktiknya belakangan ini meskipun payung hukumnya belum ada, namun beberapa wilayah itu peserta didik penghayat kepercayaan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan kepercayaan. Oleh karena itu, dari pihak penghayat kepercayaan berharap agar pemerintah melalui Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Budaya) dapat segera memberikan solusi payung hukum terkait pelayanan pendidikan, pelayanan kepercayaan sehingga di semua wilayah secara serentak mau melaksana … mau melaksanakan pelayanan pendidikan kepercayaan tersebut. Sebetulnya saya ingin sekali menampilkan saksi anak ini di depan Yang Mulia, namun karena tidak ada … tidak ada libur. Sementara saya sudah disumpah, saya bisa mengatakan bahwa saya ikut melakukan advokasi sehingga mereka bisa dapat diperlakukan sama walaupun dengan melakukan tes yang diadakan oleh mereka yang ahli di dalam kepercayaan itu. Kesulitan juga kita lihat di PNS, Polri, atau TNI. Hanya karena mereka menganggap tidak ada ber-Tuhan. Kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Permasalahannya ialah kepenghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih mengalami kesulitan dalam pendaftaran TNI, PNS, seperti kasus yang dialami oleh warga Ugamo Bangso Batak. Solusi oleh penghayat kepercayaan yaitu mereka mengirimkan surat Kementerian Pendidikan Budaya dengan Surat Nomor 42-A/2PK.UPP/P/2015 yang ditujukan ke Mendikbud yang intinya menyampaikan ada informasi dari Pembina TNI Banda Aceh bahwa untuk masuk TNI AD, kolom ajaran agama pada KTP harus diisi. Inilah syarat yang sulit sekali karena KTP mereka kosong. Untuk masuk ke … menjadi diterima dalam formulir, mereka menulis agamanya Kristen. Itu merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum. Tetapi pada waktu dia diterima sebagai … nomor 7 dari ratusan orang yang mendaftar, pada waktu wawancara dia tidak bisa berbohong karena dia bukan Kristen, tapi penghayat, akhirnya dia dikeluarkan. Harus diisi dan dia tidak bisa menjadi TNI AL maksudnya. Di situlah di saat penerimaan TNI Angkatan Laut di Belawan, kolom agama itu harus diisi. Di situlah kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk persyaratan dari tata cara pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi 7
penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan perundangundangan. Sementara undang-undang tersebut pada waktu pembahasannya dikatakan bahwa asal mulanya untuk Undang-Undang Adminduk itu untuk pelayanan publik dalam rangka tertib dan tidak diskriminasi dalam pelayanan administrasi. 16.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waktunya untuk dipersingkat.
17.
AHLI DARI PEMOHON: TUMBU SARASWATI Ya, ya. Oleh karena itu, harapan dari para penghayat kepercayaan hendaknya dalam KTP elektronik selain ada kolom agama juga ada kolom kepercayaan yang harus diisi sesuai dengan kepercayaan masingmasing. Dengan demikian tidak terjadi diskriminasi perlakuan maupun pelayanan dalam administrasi kependudukan karena jelas sudah bahwa dalam konstitusi sudah dimuat dalam Pasal 1 ayat (3), dalam equality before the law Pasal 28D ayat (1) dan kemudian juga Pasal 28E ayat (2) dan sebagainya. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb.
18.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam. Keterangan tertulis yang sudah disampaikan, dianggap sudah dibacakan seluruhnya, ya. Berikutnya, Pak Budi Susilo ... Budi Santoso, silakan, waktunya sama 15 menit, maksimal.
19.
AHLI DARI PEMOHON: BUDI SANTOSO wb.
20.
Pertama-tama, saya ucapkan selamat siang, assalamualaikum wr.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam.
21.
AHLI DARI PEMOHON: BUDI SANTOSO Dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang terhormat Pemohon, Pihak Terkait, Wakil Pemerintah, dan seluruh pengunjung sidang yang hadir di dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi ini. Sehubungan dengan Perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016, terlebih dahulu perlu dikemukakan ruang lingkup dari norma yang diuji sebagai berikut.
8
Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ayat (1) bahwa kepala keluarga … kartu keluarga memuat keterangan mengenai kolom nomor kartu keluarga, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK (Nomor Induk Kependudukan), jenis kelamin, alamat, tempat tinggal, dan seterusnya. Ayat (2), keterangan tentang agama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Yang kedua, Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, ayat (1), KTP elektronik mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Indonesia dan seterusnya. Ayat (5), elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang terhormat Para Pemohon, Pihak Terkait, Wakil Pemerintah, seluruh pengunjung sidang yang hadir di persidangan MK kali ini. Pertama-tama, saya perlu sampaikan dalam sidang yang mulia ini bahwa sebenarnya berbeda dengan pelayan publik sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan. Hukum pelayanan publik sendiri merupakan subyek pengetahuan di bidang hukum yang relatif masih baru di Indonesia sehingga memang belum banyak referensi yang ditulis yang spesifik membahas tentang hukum pelayanan publik. Oleh ... oleh karena itu, ketika saya diminta menjadi Ahli atau yang selanjutnya disebut Ahli di persidangan ini, sebenarnya lebih didasarkan dari pengalaman Ahli selama 8 tahun, 3 tahun di antaranya sebagai Wakil Ketua Lembaga Ombudsman daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008 ... tahun 2005-2008, dan 5 tahun sebagai Komisioner di Ombudsman Republik Indonesia tahun 2011-2016. Pengalaman 8 tahun menangani ribuan pengaduan, jadi ribuan pengaduan karena tiap tahun pengaduan masuk antara 6000 sampai 9000 pengaduan. Terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia ini merupakan pengalaman yang cukup memadai buat Ahli sebagai bekal untuk mengevaluasi sejauh mana kewajiban negara atau state obligation dalam penyelenggaraan pelayanan publik bagi setiap warganya telah ditunaikan dengan baik. Sebagaimana yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang 9
Pelayanan Publik yang pada konsiderans menimbang butir a, butir pertama, berbunyi bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konteks hukum pelayanan publik di Indonesia saat ini, maka dua perundangan-undangan yang selalu digunakan yang sering Ahli katakan sebagai dua sisi dari satu keping mata uang yang satu sama lain saling melengkapi atau complement, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang mengatur terkait dengan lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Terkait dengan permohonan pengujian ini, maka pada pemaparan nanti Ahli akan lebih banyak melihat dari perspektif Undang-Undang Pelayanan Publik tersebut. Di dalam permohonan pengujian UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khususnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5), ini kalau Ahli simpulkan dari perspektif hukum pelayanan publik sebenarnya adalah terkait dengan persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi penghayat kepercayaan dibandingkan dengan warga negara lainnya karena hal tersebut merupakan perlakuan diskriminasi yang dirasakan oleh Para Pemohon. Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik jelas disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia berasaskan ada a sampai dengan l, tapi tiga di antaranya yang terpenting yang ... atau yang terkait langsung dengan pengujian oleh Pemohon adalah poin b, kepastian hukum. C ... poin c, kesamaan hak. Dan poin g, persamaan, perlakuan/tidak diskriminatif. Penjelasan Pasal 4 butir c, ”Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, agama, ras ... agama, golongan, gender, dan status ekonomi.” Pasal 4 butir g, “Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.” Sehingga dengan penjelasan tersebut, Ahli berpendapat bahwa dari sisi pemenuhan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, maka terminologi setiap warga negara tidak membutuhkan penafsiran lain atau kalau kalimatnya dibalik, maka pembedaan pemenuhan penyelenggaraan pelayanan publik bagi setiap warga negara di Indonesia adalah suatu bentuk ketidakadilan dan diskriminasi yang harus dihentikan karena telah menimbulkan banyak korban, termasuk yang 10
telah sekian lama dialami oleh Para Pemohon ini sebab dalam konteks hak-hak Para Pemohon, maka dengan pengosongan kolom agama dalam kartu keluarga dan KTP elektronik telah mengakibatkan ketidakpastian hukum, tidak adanya kesamaan hak, dan diskriminasi di antara penghayat kepercayaan Para Pemohon dan warga negara lainnya. Selain itu, dalam konteks bekerjanya Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik, fakta di lapangan pun menunjukkan bahwa dari ribuan laporan atau pengaduan yang masuk, sebagai contoh di dalam atau sepanjang tahun 2016 yang lalu, dari sekitar 900 ... 9.600 laporan, ada sekitar 135 laporan pengaduan terkait dengan terjadinya diskriminasi pemberian pelayanan publik dan sebagian dari jumlah tersebut menimpa warga negara seperti yang dialami oleh Para Pemohon. Sebagaimana yang sudah disampaikan dari keterangan Para Pemohon pada sidang-sidang sebelumnya terkait dengan pengalaman keseharian Para Pemohon, dengan tidak diberikannya akses atau kesempatan yang semestinya untuk mendapatkan akses pelayanan publik bahkan untuk memperoleh pelayanan publik yang paling mendasar sekalipun, yaitu terkait dengan bukti identitas diri Para Pemohon sebagai warga negara seperti KTP elektronik maupun kartu keluarga. Kalau Ahli rujuk di dalam ... dari Pasal 58 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2016 tentang Administrasi Kependudukan misalnya, juga dijelaskan bahwa data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (3) yang digunakan untuk semua keperluan adalah data kependudukan dari kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri. Antara lain untuk pemanfaatan: a. pelayanan publik dan seterusnya. Selanjutnya dijelaskan dalam penjelasannya huruf a yang dimaksud dengan pemanfaatan pelayanan publik, antara lain untuk penerbitan surat izin mengemudi, izin usaha, pelayanan wajib pajak, pelayanan perbankan, pelayanan penerbitan sertifikat tanah, asuransi, jaminan kesehatan masyarakat, dan/atau jaminan sosial tenaga kerja. Berdasarkan penjelasan pasal di atas, maka memperjelas bahwa keberadaan KTP elektronik dan kartu keluarga adalah pintu masuk utama untuk dapat merasakan pemanfaatannya terhadap akses pelayanan publik, berikutnya seperti di dalam penerbitan SIM, sertifikat tanah, dan seterusnya. Akan tetapi, di lapangan ternyata pemanfaatan data tersebut dalam akses pelayanan publik di atas tidak dapat dijalankan karena pemberi layanan publik hanya memeriksa data yang tertulis secara eksplisit di elemen data KTP elektronik dan kartu keluarga. Akhirnya, lagi-lagi tindakan diskriminasi yang harus dialami oleh penghayat kepercayaan sebagaimana yang dialami oleh Para Pemohon
11
yang data kolom agamanya kosong atau tanda strip sehingga tidak bisa menikmati akses pelayanan publik tersebut. Perlu Ahli garis bawahi di sini bahwa dalam konteks penerimaan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, kerugian-kerugian yang selama ini dialami oleh Para Pemohon tidak semata-mata merupakan kesenjangan atau gap antara norma yang mengatur dengan implementasi atau pelaksanaannya di lapangan, tetapi disebabkan karena materi yang dimohonkan pengujian ini di lapangan pada saat ini memang menimbulkan kerugian yang nyata, riil, atau aktual yang spesifik dan bukan lagi bersifat potensial. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Yang terhormat Pemohon, Pihak Terkait, Wakil Pemerintah, seluruh pengunjung sidang yang hadir di dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi ini. Pada kesempatan ini, Ahli juga merasa penting untuk menyampaikan di forum sidang yang mulia ini bahwa pada level implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga dikenal penjenjangan atau hierarki pelaksanaan yang disebut sebagai pembina atau ... yang diatur di dalam Pasal 6, penanggung jawab di Pasal 7, organisasi, atau penyelenggara, atau penyelenggara di Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 dan terakhir pelaksana di Pasal 16 sampai dengan Pasal 17 dimana pelaksana ini adalah mereka yang melakukan pelayanan sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh penyelenggara dan seterusnya ke level hierarki yang lebih tinggi sehingga bisa dikatakan bahwa pelaksana ini menjadi garda yang paling depan atau paling hilir yang langsung berhubungan dengan pengguna layanan publik dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Pengalaman Ahli sekitar lima tahun sejak diundangkannya, mengawal pelaksanaan undang-undang pelayanan publik di lapangan justru menemukan fakta bahwa pada level pelaksana inilah yang menjadi salah satu pemicu atau trigger terjadinya embrio tindak diskriminasi penyelenggaraan pelayanan publik terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti yang dialami oleh Para Pemohon. Dari identifikasi atas masalah tersebut, maka persoalan ambiguitas ketidakjelasan aturan perundangan yang terkait kemudian multiinterpretrasi atas makna suatu pasal dan seterusnya menjadi penyebab yang cukup signifikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila dalam kasus yang dialami oleh Para Pemohon, treatment di lapangan berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh ketidaksamaan tafsir atas suatu pasal dan sebagainya, sementara direction atau guidence dari penyelenggara atau penanggung jawab, atau bahkan pembina pelayana publik sebagaimana yang diatur di dalam undang-undang tersebut tidak sampai dengan utuh dan lengkap hingga ke level pelaksana yang menjadi garda terdepan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Kondisi ini menurut pendapat Ahli sekali lagi bukan semata-mata merupakan kesenjangan atau gap antara norma yang mengatur dengan 12
implementasi atau pelaksanaannya di lapangan, tetapi lebih jauh lagi karena materi yang dimohonkan pengujian ini di lapangan pada saat sekarang memang menimbulkan kerugian yang riil, nyata, faktual, yang spesifik, dan bukan lagi bersifat potensial. Artinya, pada level undangundang yang memunculkan diskriminasi yang sedang dimohonkan pengujian ini sesuai dengan ketentuan pasal undang-undang a quo merupakan bentuk ketidakkonsistenan aturan-aturan hukum mengingat adanya fakta bahwa sebenarnya Indonesia telah memiliki instrumen hukum yang seharusnya bisa menjamin pemenuhan atas penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, berkualitas, adil, dan tidak diskriminatif. Yang Mulia Majelis Hakim (...) 22.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Maaf, Pak Budi, dipersingkat.
23.
AHLI DARI PEMOHON: BUDI SANTOSO Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, Pemohon, Pihak Terkait, dan seterusnya. Pada tahun 2006 yang lalu, Ombudsman Republik Indonesia sudah menyampaikan saran Ombudsman Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia tentang kesamaan kedudukan perlakuan yang adil bagi kelompok minoritas dan penghayat kepercayaan yang isinya sudah Ahli tuliskan di sini. Ahli langsung masuk pada kesimpulan. Bahwa dengan demikian berdasarkan pemaparan serta argumentasi Ahli yang Ahli sampaikan di atas, maka dari perspektif hukum pelayanan publik di Indonesia telah sangat jelas bahwa ketentuan pasal undang-undang a quo merupakan bentuk ketidakkonsistenan aturan-aturan hukum, mengingat adanya fakta bahwa Indonesia telah memiliki instrumen yang memadai atau menjamin atas pemenuhan penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk hak atas pelayanan publik yang paling mendasar yaitu hak untuk mendapatkan bukti identitas diri berupa KTP elektronik, kartu keluarga sebagai pintu masuk utama untuk dapat merasakan pemanfaatannya terhadap akses pelayanan publik berikutnya, baik itu di bidang pendidikan, kesehatan, dan seterusnya. Sementara hak atas dokumen kependudukan sendiri sudah jelas dijamin dan dilindungi di dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, sedang hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial berserta dengan seluruh layanannya, hak hidup sejahtera untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak untuk mengembangkan diri diatur ... juga diatur dan dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
13
Administrasi kependudukan merupakan bagian dari pelayanan publik yang menjadi hak yang melekat bagi setiap warga negara. Pasal 2 Undang-Undang Adminduk sebagaimana dijelaskan di atas menyatakan dokumen kependudukan dan data kependudukan merupakan hak setiap penduduk yang harus dilayani secara sama. Kewajiban negara untuk menjamin adminsitrasi kependudukan sebagai bagian dari pelayanan publik sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Konsiderans undang-undang ini juga telah tegas menyatakan negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik. Dalam menyelenggarakan pelayanan publik, Pasal 4 harus berpijak pada asas kesamaan hak, adil, dan tidak diskriminatif, dan adanya fasilitas, serta perlakuan khusus atau affirmative action bagi kelompok rentan. Sementara itu, kita juga sudah mengetahui bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28H ayat (2) sangat jelas telah menjamin konstitusionalitas perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Bahwa oleh karena itu, telah jelas bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945, maka sudah sepatutnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk dan pasal ... juncto Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. Sebelum saya akhiri, Ahli juga perlu menambahkan bahwa beberapa lembaga Negara, dalam hal ini selain Ombudsman Republik Indonesia, juga ada Komnas HAM dan Komnas Perempuan juga sudah mengeluarkan rekomendasi dan saran yang sama terkait dengan persoalan ini. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam, Pak Budi Santoso. Yang terakhir, Bu Indraswari saya persilakan, waktunya hanya 15 menit maksimal.
25.
AHLI DARI PEMOHON: INDRASWARI Saya menyiapkan powerpoint, ya. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pertama-tama, saya sampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan keterangan selaku ahli dalam persidangan ini. Keterangan saya mendukung permohonan dari Para Pemohon didasarkan pada laporan pemantauan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.
14
Laporan pemantauan Komnas Perempuan berjudul “Perjuangan Perempuan Penghayat Kepercayaan Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat dalam Menghadapi Pelembagaan Intoleransi, Kekerasan, dan Diskriminasi Berbasis Agama.” Laporan ini sebagai alat bukti Nomor P-10 di Posita Nomor 53 yang diajukan Para Pemohon. Pemantauan Komnas Perempuan dilakukan berawal dari pengaduan lebih dari 30 perwakilan perempuan adat dan penghayat kepercayaan pada tahun 2010. Bagi Komnas Perempuan, mendukung perjuangan dari perempuan penghayat dan pemeluk agama leluhur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemajuan pemenuhan tanggung jawab negara pada pelaksanaan konstitusi dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Dalam laporan pemantauan Komnas Perempuan, penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur merujuk pada mereka yang memeluk agama atau kepercayaan yang diwariskan turun-temurun dan tidak termasuk salah satu dari enam agama “resmi” berdasarkan pengaturan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Adapun yang dimaksud dengan pelaksana ritual adat adalah mereka yang pada saat bersamaan memeluk salah satu dari enam agama “resmi” negara sambil juga tetap melanjutkan tradisi-tradisi ritual kepercayaan yang dimaknai sebagai bagian dari kegiatan adat. Pendefinisian ini adalah berdasarkan penuturan dari para informan pada saat pemantauan di lapangan. Kerangka pemantauan Komnas Perempuan ada tiga framework di sini, yaitu deklarasi hak-hak minoritas, Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Konvensi CAT yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Adapun ruang lingkup pemantauan terdiri dari 115 kasus yang terbagi dalam 50 kasus kekerasan dan 65 kasus diskriminasi. Data didapatkan dari 57 informan perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat. Ada 11 komunitas di 9 provinsi yang dipantau, yaitu NTB, NTT, Jabar, Jateng, Jatim, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Tengah. Perlu saya sampaikan di sini bahwa jumlah kasus, jumlah perempuan korban, dan cakupan wilayah pemantauan adalah pucuk gunung es karena tidak semua penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat bersedia secara terbuka mengungkapkan masalah mereka. Dari temuan pemantauan Komnas Perempuan, ada tiga bentuk kekerasan, yaitu kekerasan psikis berupa stigmatisasi, pelabelan, dan intimidasi, kekerasan seksual berupa pemaksaan busana dan pelecehan seksual, kekerasan fisik berupa penganiayaan dan pembunuhan. Adapun temuan diskriminasi dari hasil temuan Komnas Perempuan adalah pertama, diabaikan dalam administrasi kependudukan yang meliputi akses pencatatan perceraian yang dipersulit, hambatan 15
pembuatan akta lahir, hambatan pencatatan perkawinan, hambatan pembuatan KTP, dan hambatan pembuatan kartu keluarga. Diskriminasi berikutnya adalah dibedakan dalam akses pekerjaan dan manfaatnya, berupa pemecatan, dihambat dalam akses pekerjaan dan promosi jabatan, serta kehilangan tunjangan dan fasilitas. Mereka juga dihambat dalam hal mengakses bantuan pemerintah. Juga mereka dibedakan dalam akses pendidikan yang meliputi pemaksaan keyakinan, dihambat akses administrasi siswa, dan pemaksaan busana tertentu. Terdapat pula diskriminasi berupa pelarangan keyakinan yang meliputi kesulitan mendirikan rumah ibadah, kesulitan dalam melaksanakan upacara keagamaan atau upacara adat, dan dihalangi akses pemakaman. Bagi perempuan, dampak dari semua persoalan tadi adalah dampak fisik, dampak gangguan reproduksi, dampak psikis, dampak ekonomi, dampak hukum, dan dampak sosial. Kami temukan pula diskriminasi berlapis yang dihadapi oleh para perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat. Pertama karena gendernya sebagai perempuan dan kedua karena keyakinannya sebagai penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksana ritual adat. Majelis Hakim Yang Mulia, berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan yang telah diuraikan di muka, secara singkat dapat disampaikan jika kolom KTP dibiarkan kosong atau diisi dengan tanda strip (-), maka akan terus terjadi ketidakpastian hukum, ketidakadilan, ketidaksetaraan, terhambatnya akses pendidikan dan pekerjaan yang merugikan bukan hanya para penghayat kepercayaan, melainkan juga merugikan bangsa ini. Dari sisi HAM dan hak konstitusional, Komnas Perempuan mengompilasi 40 hak konstitusional Warga Negara Indonesia yang merujuk pada konstitusi kita, khususnya Bab 10 tentang HAM Pasal 28A sampai J. Pelanggaran atau potensi pelanggaran hak-hak konstitusional, saya sampaikan di sini dalam powerpoint, namun tidak akan saya bacakan satu per satu. Saya akan sebutkan sebagian, yaitu pelanggaran atau potensi pelanggaran terhadap hak atas kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, hak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, hak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, hak atas pengakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun. Penyebab tindak kekerasan dan diskriminasi berbasis keyakinan dan gender ada sembilan poin. Intinya adalah adanya produk hukum dan kebijakan yang mendiskriminasi para penghayat kepercayaan, tata kelola institusi pemerintah yang membedakan pemeluk agama dan penghayat 16
kepercayaan, mekanisme pelayanan publik yang tidak dilengkapi perangkat prinsip nondiskriminasi, kapasitas penyelenggaraan negara yang terbatas dalam pemahaman prinsip nondiskriminasi, sikap menyepelekan konsekuensi akibat diskriminasi, penegakan hukum yang lemah, pemahaman yang memosisikan penghayat sebagai pihak yang tidak beragama, proses politik yang tidak dilengkapi mekanisme pelaksanaan prinsip nondiskriminasi, sikap masyarakat yang menolerir kekerasan dan diskriminasi. Sebagai penutup, Komnas Perempuan mendukung upaya judicial review terhadap dua pasal Undang-Undang Administrasi Kependudukan sebagaimana diajukan Para Pemohon sebagai langkah pemenuhan hak konstitusional kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia dan berharap Majelis Hakim dapat mengabulkan permohonan tersebut. Terima kasih, selamat siang. Assalamualaikum wr. wb. 26.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam wr. wb. Terima kasih, Bu Indra yang telah menggunakan waktunya secara efisien. Berikutnya dari Pemohon, kita berdiskusi, apakah ada yang akan disampaikan? Tidak seluruhnya bicara, tapi satu orang saja supaya ringkas, ya.
27.
KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK Terima kasih, Majelis Hakim. Ada beberapa yang kami tanyakan kepada Ahli. Yang pertama, kami tanya kepada Ahli Ibu Tumbu Saraswati. Saudara Ahli tadi menyampaikan bahwa undang-undang yang diuji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan ini ada masalah karena ada perbedaan pelayanan bagi penghayat kepercayaan dan warga negara yang lainnya. Kami mau menanyakan yang pertama, suasana kebatinan pada waktu penyusunan ... penyusunan undang-undang ini di DPR pada waktu itu, bagaimana suasana kebatinan pada ... pada waktu penyusunan? Suasana proses politik pada waktu penyusunan administrasi kependudukan ini. Yang kedua. Pada waktu penyusunan ini, bagaimana sikap ... sikap Ibu Ahli pada waktu itu sebagai anggota DPR dan fraksi Ibu pada waktu itu dari Fraksi PDI Perjuangan? Yang ketiga. Di ... Saudara tadi menyampaikan soal perbedaan pelayanan dalam untuk penyus ... untuk kolom agama bagi penghayat kepercayaan dan warga negara pada umumnya mengenai ... mengenai hal ini kami juga mau menegas ... mau ada penegasan dari Saudara Ahli, di mana letaknya permasalahan ini, perbedaan ini sehingga menimbulkan diskriminasi dan tidak ada perlakuan yang sama di
17
hadapan hukum. Terima kasih, Saudara Ahli. Terima kasih, Majelis Hakim. Itu yang Ibu Tumbu. Yang Pak Budi Santoso, Pak Budi Santoso menyampaikan bahwa undang-undang ini terkait dengan perlakuan yang sama di hadapan hukum karena ada diskriminasi. Di dalam undang-undang ini disebutkan bahwa ada frasa kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga bagi penghayat kepercayaan itu tidak diisi, tapi tetap dilayani dan dicatat. Ada dua frasa dilayani ini apakah masih ... belum mencerminkan ada persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap warga negara dan apakah itu letak diskriminasinya? Dalam konteks ini Saudara Ahli mohon penjelasan mengenai hal ini. Yang kedua. Saudara Ahli yang pernah jadi Komisioner Ombudsman, barangkali pernah menerima banyak pengaduan dari masyarakat terkait dengan kolom agama yang kosong bagi penghayat kepercayaan. Apakah Saudara Ahli pernah atau Ombudsman yang pernah menerima hal ini? Dan apa … apa masalah yang … apa masalah yang dialami oleh warga dari penghayat kepercayaan waktu itu dan solusinya seperti apa? Yang berikut. Saudara Ahli juga menyampaikan bahwa hal ini pernah disampaikan kepada Presiden dan salah satu kewajiban dari tugas dan kewajiban Ombudsman menyampaikan kepada Presiden kalau ada peraturan perundang-undangan yang bermasalah yang tidak sesuai dengan konstitusi. Bagaimana respons dari Pihak Pemerintah pada waktu itu ketika Ombudsman menyampaikan hal ini kepada Pemerintah? Dalam hal ini kepada Presiden. Terima kasih, Saudara Ahli. Terima kasih, Majelis Hakim. 28.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Dari Pemerintah?
29.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Ada, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia. Ahli yang terhormat Ibu Tumbu Saraswati, Pak Budi Santoso, dan Ibu Indraswari. Bahwa undang-undang yang kita uji adalah Undang-Undang Kependudukan. Penduduk akhirnya adalah KTP dan Kartu Keluarga, dan pemohon memperolehnya, sekali lagi, Pemohon memperoleh KTP dan Kartu Keluarga tersebut sehingga ketika didalilkan diskriminasi, dalam pandangan Ahli apa yang dimaknai dengan diskriminasi? Ketika Pemerintah melayani Para Pemohon, melayani warga negaranya dengan sama bahwa ada yang kosong, tetapi undang-undang telah menentukan bahwa yang kosong itu adalah penganut kepercayaan. Apakah itu masih dapat dikategorikan diskriminasi pada level undangundang ini? Pada level undang-undang ini. Ini adalah kajian-kajian 18
teoritik dan akademis. Pada level undang-undang ini dengan mengkosongkan itu. Padahal undang-undang secara tegas menyebut kosong itu adalah penganut kepercayaan, apakah masih diskriminasi? Ataukah upaya Pemerintah kurang tegas dalam mensosialisasikan bahwa kosongnya itu adalah penganut kepercayaan dan agama yang belum ditetapkan dalam undang-undang? Itu pertanyaan pertama. Yang kedua adalah dari pengalaman Para Ahli, apakah diskriminasi yang dialami oleh para penganut kepercayaan sesungguhnya tidak berasal dari norma, tapi berasal dari dinamika realita antara mayoritas dan minoritas yang setiap negara mengalaminya, setiap negara mengalami realitas diskriminasi mayoritas minoritas? Meskipun norma secara tegas mengatakan nanti bahwa bagi penganut kepercayaan diisi misalnya, apakah serta-merta Para Ahli menlihat bahwa penyelesaian masalah dapat diselesaikan? Ataukah ini sebuah produk pendidikan yang memang harus berjalan panjang bagaimana menyikapi antara dialektika mayoritas dan minoritas yang dalam perjalanan sejarah kita akan kita lalui? Tidak serta-merta kita peroleh dikotomi mayoritas minoritas tersebut. Ketika nanti suatu saat aliran kepercayaan menjadi mayoritas, suatu saat mereka menjadi lebih dominan, apakah realita seperti itu? Bahwa kita tidak selalu mempersoalkan norma, tapi juga mempersoalkan realita. Masyarakat tingkat pendidikan kita, tingkat dan seterusnya, dan seterusnya sehingga kita tidak serta-merta bersengketa, berargumentasi dalam tataran norma, tapi juga dalam tataran level pendidikan, level sosial, dan seterusnya, dan seterusnya. Apakah Ahli ... pertanyaannya, apa Ahli yakin dengan mengisi kolom itu maka serta-merta diskriminasi yang dalam praktik … yang dalam praktik dialami oleh para penganut kepercayaan bisa tereliminasi? Demikian, Yang Mulia, terima kasih. 30.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Bagaimana? Ya, silakan.
31.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Yang Mulia, terima kasih. Saya tidak akan bertanya, saya hanya mohon kepada Ibu Indraswari, sekiranya punya data yang lengkap tentang hasil pemantauan, paling enggak misalnya yang satu tahun terakhir itu. Bisa kiranya diberikan kepada Mahkamah? Ya, bisa melalui Pemohon atau langsung kepada Mahkamah. Demikian juga Pak Budi, kami membutuhkan itu … ini bukan untuk keperluan statistik, Pak. Tapi sekadar pembanding dari argumentasi yang tadi disampaikan oleh Para Ahli yang menurut saya
19
cukup mendasar. Tapi karena di situ ada reference yang merujuk pada data, saya kira kami Mahkamah membutuhkan itu. Bu Tumbu juga kalau misalnya ada selama … karena saya tahu sejak saya masih kecil, beliau sudah aktif dalam advokasi soal-soal … termasuk soal-soal begini mungkin. Andaikata ada catatan mengenai soal itu, di luar risalah kalau di MPR kan, kita sudah sama-sama tahu. Di luar risalah yang di MPR kalau misalnya sekiranya ada hal penting yang mau disampaikan, mohon kerelaannya untuk memberikan melalui Pemohon atau langsung kepada Mahkamah. Hanya itu, Pak Ketua. Terima kasih. 32.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, terima kasih. Silakan Ibu Tumbu dulu, kemudian berturutturut nanti Ibu Indras dan Bapak Budi.
33.
AHLI DARI PEMOHON: TUMBU SARASWATI Terima kasih, Yang Mulia. Sebelumnya memang kalau hak-hak dasar dari setiap warga negara itu adalah setara. Dan itu di dalam MPR sendiri, kita sama-sama tahu bahwa di dalam konstitusi itu semuanya ada di situ untuk sebagai hak asasi yang dipenuhi. Bahkan di dalam TAP MPR dan sebagainya. Tetapi adanya perlakuan diskriminasi tersebut, yaitu dengan dikosongkannya kolom kepercayaan, itu menimbulkan suatu diskriminiasi yang sampai sekarang sebetulnya. Ketika seorang hendak melakukan mendaftarkan perkawinannya. Ketika seorang hendak melakukan ingin menjadi PNS maupun menjadi TNI-Polri. Tadi sudah saya … saya jabarkan, saya ungkapkan di situ. Tetapi memang dari beberapa orang yang pada waktu saya di Komnas Perempuan yang datang, begitu banyak yang mereka mengatakan bahwa kesulitan. Walaupun di dalam PP dari peraturan pemerintah untuk melaksanakan implementasinya itu adalah dibentuk … bisa dibentuk dengan organisasi maupun dari pemuka agama, tetapi itu akan sulit sekali ternyata di dalam fakta di lapangannya. Ketika saya membahas di dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan karena saya pada waktu itu mempunyai pengalaman di dalam badan pekerja selama 2 periode, yaitu periode amandemen, TAP MPR, maupun dalam periode sosialisasi undang-undang tersebut. Di situ pada waktu pembahasan Rancangan Undang-Undang Adminduk, saya sudah … itu akan masuk dalam pelayanan yang tertib dan tidak diskriminasi. Tetapi ternyata di dalam Pasal-pasal Disduk ada perbedaan dan saya mengemukakan di dalam pansus, panja, maupun tim perumus, “Jangan, itu sangat melanggar Undang-Undang Dasar yang telah ada,” yaitu Pasal 28 ayat (1) … yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2).
20
Yang penting di sini adalah adanya kesetaraan di depan hukum (equality before the law) Pasal 28D ayat (1). Sudah saya katakan itu bahwa harus ada kepastian hukum yang adil. Tetapi di situ suara saya tentu saja aroma daripada pembahasan tersebut adanya aroma kepentingan-kepentingan politik. Saya tidak akan menafsirkan sebabnya apa. Tetapi di situlah kami dari kelompok yang toleransinya besar, PDI Perjuangan maupun Partai Damai Sejahtera, juga … ada juga yang lain juga mengatakan, “Kita jangan … membuat undang-undang jangan bertentangan dengan konstitusi.” Kemudian tapi saya bersikeras akhirnya dalam Pasal 105, kita mohon agar mereka itu juga kepentingan di dalam kehidupan mereka, hal-hal yang berkepentingan di dalam kehidupan mereka dicatat. Pemerintah wajib mencatat. Tetapi kemudian masuk bahwa itu akan diatur dalam peraturan pemerintah. Ternyata di dalam peraturan pemerintah, itu sangat menyulitkan. Saya juga melihat bagaimana seorang kasus perkawinan penghayat kepercayaan. Jalan panjang perkawinan penghayat aliran kepercayaan. Mereka sudah melakukan kepercayaan mereka sebagai penghayat kepercayaan, yaitu di wastu kancana, di Desa Kupakulandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Ternyata setelah Saudara Asep Setia Pujanegara kemudian juga calon istrinya rela, Susanti sudah melakukan itu dimana pada komunitas desa tersebut, Kampung Cipaku, Desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Bandung, kampung itu memang dikenal sebagai tempat komunitas sejumlah keluarga masyarakat Sunda yang menganut penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka tinggal turun-temurun, menganut suatu agama melainkan ... tidak menganut salah satu agama, melainkan menganut Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Ternyata, mereka sudah mendapat ... mendapat surat keterangan dari lurah maupun dari setempat yang dari kepercayaan aliran tersebut, ternyata tidak dapat dicatatkan di kantor ... di kantor catatan sipil. Mereka dibantu oleh kawan saya juga yang Kader PDI Perjuangan juga, Prof. Wila, diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Di sidang pertama, mereka menang, tetapi Catatan Sipil Bandung menolak, kemudian banding. Demikian juga sampai kasasi. Tetapi kemudian, dari kader kami itu, bisa masuk ke dalam ... diminta supaya masuk dalam penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 itu sehingga dia bisa memasukkan bahwa itu harus bisa dicatat apabila ... tapi tantangan dari pemerintah adalah mereka harus berorganisasi maupun ada pem ... pemangku penghayatnya yang memberi surat keterangan. Dan itu terpaksa diterima oleh karena supaya mudah di dalam nantinya dalam pencatatan sipil karena hingga pengadilan sampai tingkat kasasi sudah dimenangkan, tetapi kendalanya adalah catatan sipil tidak mau menerima itu.
21
Dari Peraturan Pemerintah itu, Nomor 37 itu, Prof. Wila bisa dimasukkan ke dalam untuk membantu mengenai pembuatan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 itu. Walaupun ya, agak sedikit secara lobi mengalah, mediasi. Daripada tidak sama sekali, maka diakui, disetujui bahwa harus ada organisasi maupun harus ada pemangku dari aliran kepercayaan itu. Saudara-Saudara bahwa implementasinya sangat sulit sekali, apalagi di daerah yang kecil ... terpencil. Bagaimana bisa mereka itu membentuk suatu organisasi? Ada pemangku adat. Kalau di kota-kota besar, itu sangat mudah. Tapi itulah, sampai adminduk yang pertama maupun adminduk yang kedua ... yang diperbaharui kedua, KTP itu selalu dikosongkan, tidak pernah diperbaiki sehingga saya mohon dengan GRD Mahkamah Konstitusi ini dipahami karena saya pikir bahwa di sinilah konstitusi yang dilanggar itu bisa diluruskan sehingga mereka mendapatkan keadilan sebagaimana dianut ... dipaparkan dalam Pasal D ... Pasal 28D ayat (1). Itu kewajiban dari Pemerintah. Memang sih organisasi, kemudian memerintahkan supaya mereka itu mempunyai ... mempunyai ketua dari pemangku adatnya. Apakah itu begitu sangat mudah untuk memperoleh pembinaan yang seperti itu? Sementara Pemerintah sendiri belum melakukan pembinaan yang sempurna. Hanya di situ aturan pem ... aturan dari Permendagri nomor sekian sama terus. Semuanya mengatakan bahwa harus ada organisasi, harus dicatat ... bisa dicatat begini, begitu. Tetapi implementas ... implementasinya sangat sulit sekali, mengalami kesulitan sehingga saya juga waktu melihat bahwa anak didik mereka juga harus dibujuk masuk dalam agama tertentu sehingga bisa mendapat pendidikan di sekolahsekolah itu yang bagus sebagaimana yang telah saya advokasi di daerah Semarang. Bukan hanya itu saja, banyak sekali yang bisa saya advokasi. Kebetulan apabila pemerintah daerahnya itu bisa mengakomodis ... mengakomodasi dengan baik, itu bisa terlaksana. Tetapi kalau tidak, mereka dengan congkaknya akan mengatakan bahwa wah, tidak, undang-undang tidak mengatur itu. Sementara, ini kolom KTP-nya tidak ada kok, ini agama kosong, strip. Bagaimana itu, Pemerintah? Saya kira seperti itu. Terima kasih. 34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Bu Tumbu. Berikutnya, Bu Indras, saya persilakan.
35.
AHLI DARI PEMOHON: INDRASWARI Terima kasih. Saya ingin merespons mengenai pertanyaan tadi. Apakah dengan mengosongkan kolom agama atau kepercayaan, masih bisa disebut diskriminasi? Ya, diskriminasi. Artinya, para penghayat 22
kepercayaan ini diperlakukan berbeda dalam hal pengisian kolom agama itu, berbeda dengan mereka yang menganut, memeluk enam agama dalam tanda kutip “resmi” yang diakui oleh Negara. Kalau yang enam agama resmi itu, seorang muslim misalnya bisa mencantumkan dalam KTP-nya Islam, atau Kristen, atau Katolik, Hindu, Budha, atau Khonghucu. Tapi misalnya penganut Sunda Wiwitan, atau penganut Marapu, atau Sapta Darma itu mereka tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Mereka … jadi ini saya melihatnya seperti kebijakan yang setengah hati. Diakui, diberi ruang agama, tapi dikosongkan. Jadi, ini diskriminasi. Jadi, ini saya melihatnya di level yang substantif ini sudah diskriminasi. Belum lagi kalau kita bicara dampak lanjutan berbagai diskriminasi yang mereka alami dalam pendidikan, dalam pekerjaan, dalam mendirikan rumah ibadah, dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka. Itu semua turunannya luas sekali. Seperti juga yang ditemukan oleh Komnas Perempuan dalam pemantauan yang sudah kami lakukan. Jadi, saya melihat ini di undang-undang sendiri, di pasal yang diajukan oleh Pemohon, memang itu sudah diskriminati … diskriminatif. Seharusnya teman-teman, rekan-rekan, saudara-saudara kita para penghayat kepercayaan ini juga bisa mencantumkan kepercayaan keyakinan mereka di situ, di kolom itu. Sama seperti mereka yang menganut agama yang dalam tanda kutip “resmi”. Jadi, menurut saya ini lebih dari sekadar persoalan dinamika relasi mayoritas versus minoritas. Misalnya … jadi ini … karena yang jadi masalah di sini bukan persoalan mayoritas dan minoritas, tapi ini adalah persoalan kepastian hukum, persoalan perlakuan yang sama di muka hukum. Jika seperti yang tadi ditanyakan, sewaktu saat misalnya penghayat menjadi mayoritas, maka mereka jadi dominan? Belum tentu juga menurut saya. Jika ada kepastian hukum karena pada dasar semua orang apakah mayoritas, apakah minoritas, etnis apa pun, agama, kepercayaan, keyakinan apa pun punya kedudukan yang sama di muka hukum dan dijamin oleh konstitusi kita. Apakah Ahli yakin dengan mengisi kolom ser … agama, kepercayaan itu serta merta masalah diskriminasi selesai? Seperti yang tadi saya sampaikan dalam presentasi saya, kita kenal ada yang namanya diskriminasi berlapis. Artinya, seseorang itu bisa menjadi korban diskriminasi karena lebih dari satu faktor. Yang saya contohkan tadi adalah misalnya seorang perempuan penghayat, dia mengalami diskriminasi, pertama karena dia perempuan, dia mengalami diskriminasi berbasis gender, dan kedua karena juga dia seorang penghayat dia mengalami diskriminasi karena keyakinannya. Dan ini kategorinya bisa bertambah. Orang miskin juga bisa mengalami diskriminasi, dalam hal misalnya keterbatasan akses mereka terhadap sumber daya ekonomi dan sebagainya, bisa.
23
Jadi, memang tidak serta merta dengan diisinya kolom masalah diskriminasi selesai. Tapi menurut saya dengan mengisi kolom, dengan memberi kesempatan yang sama, memberikan perlakuan yang sama kepada para penghayat kepercayaan untuk mengisi kolom sesuai dengan keyakinan mereka, ini merupakan suatu langkah yang sangat substantif untuk menghapuskan diskriminasi itu sendiri. Langkah yang sangat inti ya, sangat penting, gitu ya, untuk … yang bisa berkontribusi untuk menghapuskan diskriminasi itu sendiri. Mengenai tadi soal laporan pemantauan … apa … Bapak Hakim, betul, ini laporan ini adalah seperti yang saya sampaikan tadi adalah Alat Bukti Nomor P-10, di Posita Nomor 53 yang diajukan Para Pemohon, mungkin bisa saya sampaikan laporannya sendiri bentuknya seperti ini dan sepengetahuan saya mestinya juga sudah disampaikan ya, oleh para Pemohon kepada Majelis Hakim. Ada 135 halaman yang pemantauan yang kami lakukan sejak tahun 2010 dan diluncurkan pada Agustus tahun 2016, lalu yang memuat semua detail mengenai persoalanpersoalan yang dihadapkan … dihadapi oleh para penghayat khususnya perempuan. Terima kasih. 36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Bu Indraswari. Silakan, Pak Budi Santoso.
37.
AHLI DARI PEMOHON: BUDI SANTOSO Terima kasih. Saya melanjutkan tanggapan saya. Jadi, saya kira ini soal yang sangat serius karena kalau kita melihatnya ini dari persoalan mayoritas, minoritas maka saya selaku Ahli berpendapat bahwa Pemerintah telah salah melihat persoalan ini. Kebetulan tadi yang menanyakan juga Pemerintah ya, wakil dari Pemerintah. Berbicara mengenai hak, apalagi di … di dalam berbagai undangundang, termasuk yang saya sebutkan tadi, di dalam Pasal 4 butir g misalnya itu, “Setiap warga negara berhak.” Nah, berhak untuk mendapatkan segala hak yang itu tidak melihat latar belakang agama, suku, golongan, dan seterusnya. Nah, dari pengalaman saya di lapangan, untuk hal-hal yang sifatnya itu membutuhkan anggaran, dana, mereka ini dihitung, artinya kelompok-kelompok yang sekarang ini notabene senasib dengan Pemohon, mereka ini dihitung sebagai warga negara. Artinya, ketika mereka itu diusulkan untuk diajukan anggaran karena saat pemerintahan pasti mempunyai anggaran rutin yang diajukan, hak-hak atas kesehatan, hak-hak atas pendidikan ya, yang … apa ... semua itu membutuhkan biaya dan anggaran, mereka ini masuk, gitu. Tapi ketika nanti di tingkat implementasi, ini enggak sampai ke mereka. Nah, jadi ada dua level atau mungkin malah tiga. Pertama, saya 24
kira … jadi tadi kan, dari wakil Pemerintah menanyakan pada level mana sebenarnya ini persoalannya? Kalau menurut saya di semua level terjadi. Satu, Dari sisi redaksi undang-undangnya sendiri memang sudah menimbulkan … apa ya ... multiinterpretasi, ya, misalnya tadi soal tetap dan tidak dilayani tadi, tidak diisi, tetap dilayani. Itu kan, di lapangan saja, implementasi itu sudah berbeda-beda antara pelaksana pelayanan publik yang satu dengan pelayanan publik yang lain, itu yang pertama. Yang kedua, kebetulan di dalam Undang-Undang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009, itu ada gradasi, hierarki, siapa yang mempunyai … apa, ya ... istilahnya program, kemudian siapa yang harus mengorganisasikan programnya dan siapa yang harus melaksanakannya. Di dalam Undang-Undang Pelayanan Publik seperti yang pasal-pasalnya sudah saya sebutkan mulai Pasal 99, 18 tadi, itu namanya adalah pembina, ya, kemudian organisasi ... jadi pembina ini nanti kemudian mempunyai penanggung jawab, kira-kira kalau di daerah itu kalau bupati, ini pembinanya. Kemudian penanggung jawabnya itu sek ... sekretaris bupati. Nah, dia mempunyai organisasi penyelenggara. Nah, penyelenggara ini kira-kira satkerlah, dinas. Nah, nanti di bawah sendiri itu pelaksana. Nah, coba bayangkan mulai dari pembina sampai pelaksana, ini nanti bisa berbeda kalau untuk menerjemahkan satu pasal yang di tingkat pembinanya saja mungkin enggak klir. Jadi, kalau Bapak tadi mengatakan, “Apa karena pemerintah kurang tegas sosialisasinya?” Termasuk itu menurut saya. Termasuk kurang tegas, kurang jelas, kurang lengkap di dalam sosialisasi, itu juga termasuk. Nah, yang saya ingin katakan adalah pada tiga level ini memang mulai dari redaksi undang-undangnya sendiri sampai pada level implementasi itu perlu dikoreksi, ya, dari sisi redaksi mungkin apa yang diajukan oleh Pemohon ini, saya kira untuk mengakhiri kesimpangsiuran itu. Kemudian pada sisi implementasi adanya hierarki, ya, gradasi hierarki, kewenangan, kekuasaan, dan seterusnya, itu kalau di Kementerian Mendagri itu misalnya pembinanya itu Mendagri. Nah, sekjennya ini penanggung jawab, dan seterusnya itu yang tereplikasi di level provinsi dan kabupaten/kota. Tapi kan kalau kita bicara pelayanan publik kan, levelnya lebih ke pemerintah tingkat II, ya kalau dulu istilahnya kalau sekarang pemerintah kabupaten/kota. Jadi, di sana ininya ... nah, ini yang di lapangan, saya menemukan dan mendapatkan laporan yang banyak sekali yang seperti tadi yang saya ceritakan. Jadi, kalau jumlahnya ratusan, sebenarnya kalau yang mengadu itu ribuan, tapi yang terkait dengan persoalan ini memang tidak sampai ribuan. Tapi, secara kualitas yang saya temukan baik itu yang terjadi di NTB, baik itu yang terjadi di NTT, di Sumatera Utara, di Jawa Barat apalagi dan seterusnya ini cukup, cukup apa ... cukup mengkhawatirkan.
25
Nah, dari perspektif Pemerintah sekali lagi, saya tidak ingin berandai-andai. Jadi, ini bukan soal seandainya yang mayoritas nanti penghayat kepercayaan, saya sekecil apa pun, saya, saya pribadi serba apa ... serba mayoritas. Saya orang Jawa, mayoritas. Saya orang Islam, mayoritas. Tapi, kok saya merasa ada kelompok kecil di, di antara saudara-saudara kita yang mendapat perlakuan yang tidak sama dengan yang saya ... saya ... nah, kan logikanya analoginya kalau saya saja sebagai warga negara mempunyai perasaan seperti ini, masa Pemerintah yang harusnya mengelola ini semua menganggap ini soal dinamika mayoritas-minoritas, bukan. Menurut saya, ini bukan soal dinamika mayoritas-minoritas, ini persoalan state obligation jadi kewajiban Pemerintah yang kalau di dalam ... ini kan di dalam konteks human rights, hak asasi manusia, ini kan sebenarnya lebih banyak pada pemenuhan hak EKOSOB (ekonomi, sosial, budaya) yang itu harusnya kalau secara teori Pemerintah lebih proaktif, lebih menggunakan ressources mereka untuk pemenuhannya, fulfillment-nya ada di Pemerintah karena memang Pemerintah menjadi atau mempunyai state obligation untuk memenuhi itu semua. Jadi, meskipun jumlahnya hanya 100 dengan memberikan yang jumlahnya harus seribu, itu sama perlakuannya. Nah, inilah esensi dari apa yang disampaikan oleh Para Pemohon. Jadi, tuntutan keadilan itu memang bermacam-macam, tapi melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi ini mudah-mudahan bisa disepakati oleh Yang Mulia Majelis Hakim di sini. Terima kasih. 38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Sudah selesai keterangan dari tiga Ahli. Dari Pemohon, apa masih menggunakan haknya mengajukan ahli atau saksi?
39.
KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK Majelis Hakim, kami masih akan mengajukan ahli tiga orang lagi.
40.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Tiga orang akan kita dengar pada sidang berikutnya, tapi agendanya belum kita agendakan, jadwalkan karena (suara tidak terdengar jelas) kita akan menangani pilkada, ya. Nanti akan ... Saudara akan diberi tahu oleh Kepaniteraan, ya, kapan sidang berikutnya, ya. Baik. Pemerintah begitu ... akan mengajukan ahli enggak, Pemerintah?
26
41.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Pemerintah tidak mengajukan ahli, Yang Mulia.
42.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Tidak mengajukan, ya?
43.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Tidak mengajukan, Yang Mulia.
44.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kalau begitu, agenda yang terakhir nanti kita akan mendengarkan keterangan ahli tiga orang dari Pemohon, dijadwalkan setelah kita menangani pilkada. Oleh karena itu, Para Pihak Pemohon, Pemerintah menunggu panggilan dari Kepaniteraan, ya. Sebelum saya akhiri, terima kasih kepada Bu Tumbu, Bu Indraswati, dan Pak Budi Santoso, yang sudah memberikan keterangan di persidangan ini. Terima kasih. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.59 WIB Jakarta, 22 Februari 2017 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Yohana Citra Permatasari NIP. 19820529 200604 2 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
27