MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI PEMOHON (IV) JAKARTA RABU, 20 APRIL 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b] dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 26A] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana [Pasal 88] dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 15] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Setya Novanto (Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan 21/PUU-XIV/2016) ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon (IV) Rabu, 20 April 2016, Pukul 14.18 -- 16.16 WIB 16.44 -- 18.36 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Anwar Usman I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Patrialis Akbar Wahiduddin Adams Suhartoyo Manahan MP Sitompul Aswanto
Cholidin Natsir Ida Ria Tambunan
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 20,21/PUU-XIV/2016: 1. Teuku Mahdar Ardian 2. Muhammad Ainul Syamsu 3. Syaefullah Hamid 4. Hafisullah Amin Nasution B. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016: 1. Muhammad Said Karim C. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016: 1. Chairul Huda 2. Syaiful Bakhri D. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 20,21/PUU-XIV/2016: 1. Dian Adriawan Daeng Tawang 2. Andi Hamzah 3. Edward Omar Sharief Hiariej E. Pemerintah: 1. Mulyanto 2. Yunan Hilmy 3. Hotman Sitorus 4. Desminia Mira Eka 5. Saida Hotmaria 6. Bertiana Sari F. DPR: 1. Sufmi Dasco Ahmad
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.18 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan Nomor 21/PUUXIV/2016, dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, Om Swastiastu. Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan Nomor 21/PUU-XIV/2016 sidangnya disatukan, ya. Silakan perkenalkan diri dulu untuk Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016. KETUK PALU 3X
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Kami kebetulan Kuasa Hukumnya sama untuk Perkara Nomor 20 dan 21. Saya sendiri Muhammad Ainul Syamsu, sebelah kanan saya Syaefullah Hamid. Kanan paling ujung adalah Hafisullah Amin Nasution, dan sebelah kiri adalah Teuku Muhajar Ardian. Terima kasih. 3.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Dari DPR, silakan.
4.
DPR: SUFMI DASCO AHMAD Assalamualaikum wr. wb. Sufmi Dasco Ahmad dari DPR RI.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Dari Kuasa Presiden?
6.
PEMERINTAH: MULYANTO Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Yang dari Pihak Pemerintah mewakili saya sendiri Pak Mulyanto, sebelah kiri saya Pak Hotman Sitorus, kemudian ada Pak Yunan Hilmy, Direktorat Litigasi Kemenkumham. Kemudian, Ibu Desminia Mira Eka, Ibu Saida Hotmaria dari Kejaksaan. Kemudian sebelah kanan saya, Ibu Bertiana Sari dari Kepala Biro Hukum Kemenkoinfo. Terima kasih, Yang Mulia. 1
7.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Agenda persidangan hari ini adalah untuk mendengarkan keterangan DPR dan Ahli, ya. Ada beberapa Ahli dari Pemohon yang menurut Berita Acara sidang yang lalu itu sebenarnya masing-masing perkara itu hanya dua, ya. Ya nanti mungkin bisa dimanage sedemikian rupa nanti waktunya. Baik, sebelum kita memberikan keterangan dipersilakan untuk Para Ahli untuk diambil sumpahnya dulu. Baik, ya semuanya beragama Islam ya. Mohon Yang Mulia Pak Wahiduddin untuk memimpin sumpah.
8.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Pada Para Ahli, mohon untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismilahirrahrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
9.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismilahirrahrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
10.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih, mohon kembali ke tempat. Kuasa Pemohon, jadi Para Ahli ini untuk perkara yang berbeda, ya?
11.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Ya, Yang Mulia. 12.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, siapa yang mau didahulukan?
2
13.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Kami minta untuk pemufakatan terlebih dahulu. Yang Nomor 21. 14.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya, sebentar. Kita dengarkan dulu ini keterangan DPR dulu. Silakan Pak Dasco.
15.
DPR: SUFMI DASCO AHMAD Assalamualaikum wr. wb. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan Nomor 21/PUU-XIV/2016. Jakarta, 20 April 2016. Ketua Majelis ... Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, dengan hormat berdasarkan Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 25/PNP/III/2015 ... 2016, tanggal 18 Januari 2016. Telah menugaskan kepada Anggota Komisi III DPR RI, yaitu H. Bambang Soesatyo, S.E., M.B.A., Trimedya Panjaitan, S.H., M.H., Desmond Junaidi Mahesa, Dr. Benny Kabur Harman, Mulfachri Harahap, dan Sufmi Dasco Ahmad. Dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk selanjutnya disebut DPR RI. Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, selanjutnya disebut Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh Drs. Setya Novanto selaku perorangan WNI, yang beralamat Jalan Wijaya 13 Nomor 19 RT 03, RW 03, Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam hal ini diwakili Kuasa Hukumnya, M. Ainul Syamsu, S.H., M.H, dan kawan-kawan para advokat yang berkantor pada Syamu Hamid dan partners yang berkedudukan di Gedung Graha Samali lantai 2, R2001, Jalan H. Samali Nomor 31B, Kalibata, Pasar Minggu, Jakarta 3
Selatan. Untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut juga sebagai Pemohon. Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016 sebagai berikut. Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. a. Ketentuan Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor yang dimohonkan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 1. Dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016, Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang tentang ITE dan Pasal 26 Undang-Undang Tipikor yang dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 2. Dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016, Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian Pasal 15 UndangUndang Tipikor bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Keterangan DPR RI. Terhadap dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Kedudukan hukum Pemohon dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016 bahwa terhadap kedudukan hukum Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUUV/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. 2. Pengujian atas Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor dalam Perkara 20/PUU-XIV/2016 dan pengujian Undang-Undang Tipikor dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016. a. Pandangan umum. Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan dengan memberikan keterangan atau penjelasan dalam tinjauan filosofi, sosiologi, dan yuridis sebagai berikut.
4
1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Artinya bahwa negara dan pemerintah dalam menjalankan negara dan pemerintahan tentu harus berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Bahwa jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka undang-undang merupakan hukum yang harus dijunjung tinggi dan dipatuhi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan negara hukum yang dianut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ini menegaskan adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa undang-undang sebagai landasan yuridis dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara. 2. Bahwa pengakuan normatif mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau peraturan perundang. Sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku masyarakat yang taat pada hukum. Bahwa selain asas supremasi hukum dalam konsep negara hukum sebagaimana dianut dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu asas legalitas dan dalam konsep negara hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya, yaitu bahwa segala tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus diasaskan atas aturan atau rule of procedure. 3. Bahwa Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan ini mengadung makna bahwa konstitusi telah memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara dari setiap tindakan pemerintah atau aparat penegak hukum. Bahwa selain itu, setiap warga negara juga mempunyai hak memperoleh perlindungan dari ancaman, ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
5
4. Bahwa berlandaskan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setiap warga negara juga mempunyai hak atas informasi sebagaimana yang diatur Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengamanatkan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Bahwa setiap warga negara juga mempunyai hak atas perlindungan, kemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana tanggung jawab negara yang diatur dalam Pasal 281 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa perlindungan pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terhadap … terutama pemerintah. 5. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan pada hukum, serta menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, serta berkewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan tentu harus berdasarkan hukum dan peraturan perundangundangan. Dalam hal ini termasuk dalam proses penegakan hukum acara pidana terkait dengan alat bukti yang sah yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, selanjutnya disebut KUHAP, Undang-Undang ITE, dan Undang-Undang Tipikor dan terkait dengan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi telah diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 15 Undang-Undang Tipikor. 6. Bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor, pengaturan mengenai hukum acara pembuktian pada pokoknya mengatur bahwa pembuktian merupakan faktor yang penting mengingat informasi elektronik belum terakomodasi dalam sistem hukum acara yang berlaku di Indonesia secara komprehensif. Oleh karena itu, informasi elektronik rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkan pun bisa demikian kompleks dan rumit. Ketua dan Majelis Hakim Mahkmah Konstitusi Yang Mulia. 6
b. Pandangan pokok perkara. Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan dan memberikan keterangan atau penjelasan sebagai berikut. 1. Dalam pokok perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016. Bahwa sebagai perwujudan negara Indonesia adalah negara hukum, sudah seharusnya setiap tindakan penyelenggara negara dan pemerintah termasuk aparat penegak hukum dilakukan berdasarkan hukum dan peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Dalam hal ini terkait dengan pengaturan alat bukti yang sah sudah diatur dalam KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan ketarangan terdakwa. Selain itu, dimulai dari Pasal 185 sampai dengan Pasal 189 KUHAP juga diatur mengenai persyaratan agar dapat memenuhi kualifikasi sebagai alat bukti yang sah. 2. Bahwa selain diatur di KUHAP, pengaturan alat bukti yang sah juga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE mengatur informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Bahwa dalam Pasal 26A Undang-Undang Tipikor juga mengatur alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau serupa dengan itu, dan dokumen. Yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi [Sic!] yang memiliki makna. 3. Bahwa terhadap Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE, DPR RI berpandangan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia, yaitu dalam peradilan perdata, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan Mahkamah Konstitusi termasuk arbitrase. Bahwa Undang-Undang ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan perluasan alat bukti yang sah, tetapi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE memberikan petunjuk penting mengenai 7
perluasan ini, yaitu perluasan tersebut harus sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. 4. Bahwa benar baik pasal a quo Undang-Undang ITE maupun Pasal 1 a quo Undang-Undang Tipikor mengatur perluasan alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah berupa pentujuk diatur dalam KUHAP, namun tidak menjelaskan atau mengatur mengenai cara mendapatkan, membuat, meneruskan, mengirim, menerima, atau menyimpan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai dasar hukum bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun demikian ketentuan 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE, dan Pasal 26a Undang-Undang Tipikor berlaku umum bagi setiap orang dalam proses penegakan hukum dengan menggunakan alat bukti yang sah. Aparat penegak hukum tetap harus berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara Indonesia. 5. Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal a quo undang-undang das … Undang-Undang ITE dan Pasal 26a digunakan sebagai dasar hukum oleh kejaksaan agung Republik Indonesia yang menyebabkan Pemohon dipanggil hingga 3x, merupakan proses penegakan hukum. DPR RI berpandangan bahwa hukum tidak memandang status pekerjaan maupun jabatan seseorang. Setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana dapat dipanggil oleh penegak hukum untuk dimintai keterangan sesuai dengan hukum acara pidana. 6. Bahwa dalam permohonan a quo, permohonan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar memaknai kaidah undang-undang sebagaimana tertuang dalam 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26a Undang-Undang Tipikor, dan menyatakan bahwa kaidah undang-undang yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26a Undang-Undang Tipikor adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang dapat menjadi alat bukti yang sah menurut hukum, acara yang berlaku di Indonesia adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau 8
hasil cetaknya yang memperoleh … yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, atau institusi penegak hukum lainnya. 7. Bahwa Pemohon juga dalam permohonan a quo mengajukan rumusan baru Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Tipikor untuk menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim … Mahkamah ko … untuk menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusannya. 8. Bahwa terkait dengan permohonan Pemohon mengajukan conditionally unconstitutional terhadap Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Tipikor dan mengajukan rumusan baru Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Tipikor, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut merupakan pembentukan norma undangundang yang menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016: 1. Bahwa Pemohon yang permohonannya beranggapang bahwa frasa permufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-Undang Tipikor yang merujuk pada Pasal 88 KUHP tidak memberikan kepastian hukum dan membuka ruang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana yang dialami Pemohon yang diperiksa berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Tipikor yang sumir dan tidak jelas, tidak memenuhi syarat (lex certa). Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa benar setiap undang-undang harus memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap warga negara Indonesia. Bahwa Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Tipikor yang mengatur setiap orang yang melakukan percobaan, perbantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 ialah norma yang berlaku umum bagi setiap orang dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Bahwa dalam Undang-Undang Tipikor tidak hanya menjerat pelaku, akan tetapi juga orang yang berniat melakukan delik permufakatan jahat. Dalam delik permufakatan jahat, proses pembuktiannya juga tidak mudah dan sering terdapat pro-kontra terkait adanya unsur kesepakatan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana ini.
9
2. Bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, permufakatan berasal dari kata dasar mufakat. Kata mufakat itu artinya setuju. Suatu hal yang disetujui berarti melibatkan lebih dari satu orang. Bahwa permufakatan jahat dalam Ketentuan Pasal 15 UndangUndang Tipikor dapat diartikan bersetuju, melakukan sebuah kejahatan dalam tindak pidana korupsi. 3. Bahwa dalam hukum pidana, permufakatan jahat atau (suara tidak terdengar jelas) atau konspirasi bukanlah perbuatan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan. Permufakatan jahat barulah dibuat persiapan. Jerome Hall dalam General Principle Of Criminal Law menyatakan bahwa tidaklah mungkin memisahkan secara objektif antara perbuatan persiapan dan perbuatan permulaan pelaksanaan. Demikian pula Moelyatno yang menyatakan bahwa dalam praktik pembuatan persiapan dan perbuatan permulaan pelaksanaan tidak ada perbedaan secara materi. Tegasnya, perbuatan persiapan adalah mengumpulkan kekuatan. Sedangkan perbuatan permulaan pelaksanaan, mulai melepaskan kekuatan yang telah dikumpulkan. Masih dalam teori hukum pidana, baik permufakatan di atas maupun percobaan atau dasar memperluas dapat dipidanakan perbuatan. Berkaitan dengan hal tersebut, tentang permufakatan jahat berkaitan dengan unsur kesepakatan terdapat beragam pendapat. Ada pendapat yang menyatakan harus ada kesepakatan yang jelas dan ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut tidaklah diperlukan. 4. Bahwa pengaturan permufakatan jahat dalam peraturan perundangundangan Indonesia diatur dalam KUHP dan undang-undang khususnya. Menurut Pasal 8 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, permufakatan jahat terjadi apabila dua orang atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan. Dalam tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 88 KUHP, permufakatan jahat dianggap telah terjadi setelah dua orang atau lebih mencapai satu kesepakatan untuk melakukan kejahatan. Meskipun pada akhirnya, tindak pidana tidak atau belum dilakukan. Jadi, baru pada tahapan niat untuk melakukan perbuatan saja sudah dapat dikenakan delik. Tindak pemidana permufakatan jahat ini berbeda dengan tindak pidana percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam tindak pidana percobaan harus memiliki tiga unsur, yaitu niat, permulaan pelaksanaan, dan perbuatan tersebut selesai di luar kehendak pelaku. Namun demikian, tindak pidana permufakatan jahat cukup dengan niat saja dapat dipidana berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHP. Perbuatan jahat yang dapat dikaitkan dengan permufakatan jahat hanya terkait dengan kejahatan yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP. Pasal-pasal tersebut terkait kejahatan yang sangat berbahaya dan dapat mengancam keselamatan negara, seperti upaya makar dan pemberontakan. 10
5. Bahwa dalam perkembangannya, permufakatan jahat tidak hanya berlaku bagi para pihak yang berbuat makar maupun pemberontak, tapi tetap berlaku juga bagi tindak pidana narkotika, pelaku tindak pidana pencucian uang, dan pelaku korupsi, masing-masing melalui undang-undang yang mengaturnya, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 6. Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika, permufakatan jahat dapat dipahami dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 yang mengartikan bahwa permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika. Lebih lanjut ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi suatu anggota organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasikan suatu pidana narkotika. 7. Bahwa dalam Undang-Undang PPT PPU yang kita pahami dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mendefinisikan bahwa permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. 8. Bahwa dalam Undang-Undang Tipikor dalam Pasal 15 memang tidak terdapat pengertian permufakatan jahat. Bahwa pengaturan permufakatan jahat diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Tipikor yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, perbantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, dan dalam penjelasan pasalnya menyatakan bahwa ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan perbantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 dari ancaman pidananya. 9. Bahwa mencermati rumusan permufakatan jahat dalam UndangUndang Narkotika dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di atas, terdapat unsur-unsur dalam permufakatan jahat, yaitu adanya dua orang atau lebih bersepakat melakukan tindak pidana. 11
Bahwa permufakatan jahat dalam pengertian Pasal 15 UndangUndang Tipikor baru berada pada taraf niat atau dalam taraf persiapan, belum terwujud dalam pelaksanaan atas niat tersebut, atau dengan kata lain permufakatan jahat merupakan tindak pidana yang tidak sempurna. 10. Bahwa dalam permohonannya, Pemohon tidak meminta pembatalan Undang-Undang Tipikor, tetapi meminta penafsiran konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat memberikan makna yang jelas dan tegas atas Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Tipikor. Bahwa dalam petitum permohonannya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa permufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diartikan bahwa dikatakan ada permufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas dalam hal undang-undang menentukan demikian saling bersepakat melakukan tindak pidana. Bahwa Pemohon juga memohon bahwa frasa tindak pidana korupsi dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak memaknai tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Bahwa terkait dengan Pemohon, permohonan Pemohon mengajukan conditionally unconstitutional terhadap Pasal 15 Undang-Undang Tipikor. DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut merupakan pembentukan norma undang-undang yang menurut Undang-Undang Tahun 1945 merupakan kewenangan DPR RI dalam pembentukan undang-undang. Demikian keterangan dari DPR RI kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mengambil keputusan. Hormat kami Tim Kuasa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 16.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Pak Dasco. Ada Ahli yang baru datang, dipersilakan. Ya, oke langsung ke depan ambil sumpah dulu. Mohon kesediaan Yang Mulia Pak Wahiduddin.
12
17.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. Pada Ahli untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
18.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
19.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Mohon kembali ke tempat. Ya, kita mulai mendengar keterangan Ahli. Siapa dulu tadi?
20.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Kami minta yang Perkara Nomor 21 dulu, Yang Mulia. 21.
KETUA: ANWAR USMAN Siapa?
22.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Dr. Chairul Huda. 23.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan. Ya, untuk bisa me-manage waktu karena Ahli cukup banyak. Jadi mohon nanti poin-poinnya saja, nanti kita dalami dalam tanya-jawab, silakan.
24.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016: CHAIRUL HUDA Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, yang terhormat Pemerintah dan DPR RI, yang terhormat Pemohon atau Kuasanya, hadirin yang berbahagia. Perkenankanlah saya mengemukakan beberapa pokok pandangan yang 13
sudah saya sampaikan sebenarnya kepada Pemohon secara tertulis. Mungkin nanti bisa diteruskan kepada Mahkamah. Berkenaan dengan apa yang diuji di dalam permohonan ini, yaitu soal konstitusionalitas Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Tapi tentunya saya hanya fokus kepada pada persoalan permufakatan jahat saja. Karena Pasal 15 itu memuat juga hal-hal lain, tetapi terutama yang saya kemukakan adalah berkenaan dengan permufakatan jahat. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, ada dua bagian pendapat saya. Yang pertama adalah bagian berkenaan dengan kedudukan norma permufakatan jahat dalam sistem perundangundangan pidana. Dan yang kedua adalah berkenaan dengan makna permufakatan jahat itu sendiri. Saya fokus di dua persoalan itu saja. Yang Mulia dan Hadirin sekalian yang berbahagia, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menentukan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pada dasarnya menurut pendapat saya, rumusan ini adalah rumusan yang menggambarkan adanya kriminalisasi yang tidak sempurna. Jadi uncompleted criminalization karena hanya memuat sanksi pidana saja. Rumusan ini hanya memuat sanksi pidana saja, itu pun sanksi pidana yang dirujuk ke dalam pasal-pasal yang lain. Yaitu sanksi pidana yang ada di dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Sementara berkenaan dengan strafbaar-nya, berkenaan dengan perbuatan yang dilarangnya, pembentuk undang-undang hanya menyebutkan istilah-istilah yang berhubungan dengan … atau yang digunakan adalah istilah percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat. Istilah-istilah ini menurut saya belum menggambarkan adanya staf baru. Istilah ini hanya merupakan istilah tentang satu persoalanpersoalan atau konsep-konsep dalam hukum pidana. Padahal Pasal 15 ini adalah rumusan delik karena ada unsur subjek setiap orang. Harusnya ada unsur strafbaar (perbuatan yang dilarang), dan juga ada unsur strafmaat dan strafsoort-nya jumlah dan jenis sanksinya. Tetapi tampaknya pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan, tidak memberikan unsur, tidak memberikan uraian tentang apa yang kemudian dimaksud dengan percobaan, perbantuan, dan permufakatan jahat. Saya juga coba mempelajari dalam beberapa ketentuan undangundang yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Apakah kemudian istilah-istilah ini dijelaskan? Apakah istilah-istilah ini diuraikan unsurnya? Ternyata baik Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 itu sendiri, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang kesemuanya 14
bicara soal tindak pidana korupsi. Kesemuanya tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan percobaan, perbantuan, dan permufakatan jahat. Lalu bagaimana … dalam penerapannya kemudian memberi isi kepada ketiga istilah tersebut, terutama adalah permufakatan jahat. Jembatannya tentu Pasal 103 KUHP. Dalam Pasal 103 KUHP ditentukan bahwa ketentuan-ketentuan dalam bab 1 sampai dengan bab 8 buku ini, maksudnya buku ke-1 KUHP, juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain. Jadi memang masalah percobaan, masalah pembantuan, masalah permufakatan jahat sebenarnya bukan masalah yang asing dalam hukum pidana, tetapi ada di dalam KUHP. Tetapi persoalannya adalah apakah kemudian ketentuan-ketentuan yang ada di dalam KUHP itu bisa digunakan terhadap ketentuan atau pidana yang ada di luar KUHP. Jembatannya di Pasal 103 dan Pasal 103 KUHP hanya menyebutkan bab 1 sampai dengan bab 8. Percobaan itu ada di bab 4 Pasal 53 KUHP tentang Percobaan ada di bab 4, buku ke-1 KUHP. Artinya, unsur percobaan yang ada di dalam Pasal 53 bab 4 KUHP bisa digunakan untuk memberi makna, untuk memberi unsur percobaan dalam Pasal 15 Undang-Undang Korupsi. Begitu juga berkenaan dengan pembantuan. Pembantuan itu ada di Pasal 56 bab 5 tentang penyertaan dalam delik. Artinya mengacu kepada ketentuan Pasal 103, maka pada dasarnya aturan atau unsur-unsur berkenaan dengan pembantuan bisa digunakan untuk memberi isi dari unsur pembantuan atau frasa pembantuan yang ada di dalam Pasal 15. Persoalannya, mengenai permufakatan jahat, itu ada di dalam Pasal 88. Bahasa … Pasal 88 itu ada di bab 9, buku kesatu KUHP. Artinya secara sistematis, Pasal 88 yang ada di bab tentang pengertian arti beberapa istilah dalam KUHP itu tidak boleh digunakan untuk ketentuan pidana yang ada di luar KUHP. Karena tidak disebutkan, tidak ditegaskan dalam Pasal 103 KUHP maupun dalam undang-undang yang menyatakan bahwa permufakatan jahat dapat dipidana, termasuk Undang-Undang Korupsi. Pasal 103 hanya menyebutkan, “Bab 1 sampai bab 8.” Percobaan dan pembantuan termasuk, jadi bisa digunakan. Tetapi mengenai permufakatan jahat, ada di Pasal 88 yang berada di bab 9. Oleh karena itu, dari segi sistematika hukum, menurut saya, sekali lagi menurut saya, Pasal 84 … Pasal 88 itu tidak bisa digunakan untuk memberi makna frasa permufakatan jahat yang ada di Undang-Undang Korupsi, Pasal 15. Karena tidak dirujuk oleh Pasal 103 KUHP, juga tidak dirujuk oleh Undang-Undang Korupsi. Sehingga kemudian, akhirnya bebas pada … para praktisi untuk memberi tafsir. Memberi … persoalannya menurut saya, apakah boleh sebuah strafbaar itu hanya didasarkan pada penafsiran? Tidak pada penguraian unsur menurut undang-undang. Boleh jadi, dia jelas secara keilmuan, tetapi tidak jelas secara undang-undang. Jadi, by science dia jelas, tapi by law dia tidak 15
jelas. Terus oleh karenanya ini norma yang samar, norma yang tidak menjamin kepastian hukum. Jadi, saya sedikit berbeda dengan Pemohon. Menurut saya, frasa permufakatan jahat harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena bertentangan dengan konstitusi. Karena tidak menjamin kepastian hukum dalam hal ini karena tidak ada pengertiannya. Itu pendapat saya yang pertama, Yang Mulia. Bagian kedua, kalaulah pendapat tadi seandainya menurut Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi terlalu keras, saya mencoba memberi isi, apa yang dimaksud dengan permufakatan jahat? Memberi makna, apa yang dimaksud dengan permufakatan jahat? Sekali lagi, kalau kita merujuk kepada KUHP, permufakatan jahat itu ada di dalam Pasal 88, yang pengertiannya adalah berkenaan dengan dikatakan ada permufakatan jahat apabila ada kesepakatan dua orang … dua orang atau lebih untuk melakukan kejahatan. Di buku kedua … di buku kedua KUHP, delik-delik yang dinyatakan bahwa juga bisa dipidana atau perbuatan yang juga bisa dinyatakan dapat dipidana sekalipun baru dalam tahap permufakatan jahat, hanyalah delik Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108. Kalau ditelaah lebih mendalam, maka delik yang ada di dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 108 adalah delik-delik yang untuk melakukan tidak memerlukan kualitas. Sementara, delik-delik korupsi, terutama yang … yang ada di dalam Pasal 3, dan juga Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 12, itu semuanya membutuhkan kualitas tertentu untuk melakukannya. Karena (suara tidak terdengar jelas) tertuju kepada misalnya pegawai negeri atau penyelenggara negara. Jadi, hanya pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bisa melakukan itu, yang lainnya tidak memenuhi kualitas. Oleh karenanya delik-delik ini adalah delik-delik yang berbeda. Itu pertama yang menurut saya, saya berpendapat bahwa kalau begitu, Pasal 5 sampai Pasal 14 ini seharusnya tidak dijadikan sebagai suatu delik yang bisa dilakukan dalam bentuk permufakatan jahat. Karena kalau kita rujuk kepada KUHP … karena sebagian delik korupsi berasal dari KUHP. Ternyata, pasal-pasal yang korupsi, yang ada dalam KUHP, tidak satu pun yang … yang ditetapkan oleh KUHP sebagai juga bisa dilakukan sekalipun bentuknya baru permufakatan jahat. Misalnya, Pasal-Pasal 423, misalnya, itu pasal yang … delik yang kualitas, tapi tidak ditetapkan oleh KUHP sebagai … juga bisa dilakukan sekalipun baru dalam tahap permufakatan jahat. Jadi, dari sisi itu, kalau menurut pendapat saya sekali lagi, kalau kita ingin konsisten, ketika makna permufakatan jahat kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan kejahatan, itu sama sekali tidak mengisyaratkan tentang bahwa kesepakatan itu bisa dilakukan terhadap orang-orang yang memiliki kualitas tertentu, tetapi orang-orang pada umumnya. Maka kalau kita konsisten pada pengertian itu dan juga 16
ditransfer pengertiannya ke Pasal 15, maka yang harus dinyatakan tidak konstitusional adalah frasa Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Sehingga kemudian, hanya beberapa delik saja yang … yang tidak membutuhkan kualitas tertentu saja, yang bisa dikualifikasi sebagai permufakatan jahat. Demikian menurut saya, Yang Mulia, beberapa pokok pandangan nanti bisa didalami di dalam tanya-jawab dan ini sudah saya sampaikan kepada Pemohon secara tertulis. Mungkin nanti diteruskan kepada Mahkamah. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 25.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumussalam wr. wb. Terima kasih, Pak Dr. Chairul. Siapa lagi Pemohon?
26.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Prof. Andi Hamzah, Yang Mulia. 27.
DPR: SUFMI DASCO AHMAD Izin, Yang Mulia.
28.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Siapa? Ya.
29.
DPR: SUFMI DASCO AHMAD Mohon izin, Yang Mulia. Kami dari DPR kebetulan ada (…)
30.
KETUA: ANWAR USMAN Mau ada keperluan?
31.
DPR: SUFMI DASCO AHMAD Agenda. Mohon izin untuk meninggalkan tempat duluan.
32.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
17
33.
DPR: SUFMI DASCO AHMAD Terima kasih.
34.
KETUA: ANWAR USMAN Silakan, Pak Dasco. Tadi keterangannya sudah diserahkan ke Kepaniteraan? Sudah? Oh, ya. baik. Terima kasih, Pak Dasco. Ya, silakan, Prof.
35.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20,21/PUU-XIV/2016: ANDI HAMZAH Assalamualaikum wr. wb. Pendapat saya sekitar ketentuan perbuatan jahat khususunya Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pendahuluan, perbuatan jahat samenspanning diatur dalam Pasal 88 KUHP. Istilah asli KUHP yang berbahasa Belanda, ialah samenspanning. Dalam bahasa Inggris disebut conspiracy. Dalam bahasa Indonesia sekali disebut persekongkolan. Pasal 88 KUHP ini disalin sepenuhnya dari Pasal 80 (Ned. Wetboek van Strafrecht) yang berbunyi, “Samenspanning bestaat zoodra twee of weer personen overeengekomen zjin om het zoodra misldrif te plegen.” Bunyi Pasal 88 KUP persis sama dengan Pasal 80 Ned. WvS itu. Diterapkan oleh Moeljatno dan Roeslan Saleh dalam KUHP terjemahannya dikatakan ada perbuatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Pasal 88 itu merupakan penafsir autentik yang dapat dipandang sebagai definisi. Tadi Dr. Choirul Huda mengatakan hanya berlaku untuk KUHP, kira-kira begitu, ya, tidak berlaku ini. Tapi, 13 buah Pasal di dalam Undang-Undang Korupsi itu dari KUHP jadi dilungkumi … dilingkupi oleh pengertian Pasal 88 ini. Oleh karena itu, disalin oleh sepenuhnya Ned. WvS maka dengan sendirinya pendapat hukum pidana Belanda dapat dipakai juga di Indonesia. C.P.M Cleiren, guru besar Hukum pidana di Rotterdam dibantu oleh J.F. Nijboer rektor hukum pidana di Leiden dalam bukunya het Wetboek van Strafrecht komentar KUHP dan komentar. Komentarnya mengenai Pasal 80 itu yang sama Pasal 88 mengatakan bahwa samenspanning, perbuatan jahat, ini bermaksud memberantas kejahatan yang membahayakan negara. Jadi hanya untuk kejahatan sangat serius, yaitu kejahatan terhadap keamanan negara, maka terhadap raja memberontak kepada negara dan menggulingkan pemerintah. Jadi tidak untuk kejahatan serius yang lain seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan, penerimaan suap, dan lain-lain. Kejahatan dimaksud berarti tidak belum terjadi. Oleh karena dikatakan dua orang 18
atau lebih telah sepakat, berarti tidak mungkin dilakukan oleh seorang diri. Harus dua orang atau lebih dan telah ada kesepakatan Prof. Sulaiman Saleh dalam terjemahan dalam komentar buku 1 KUHP mengatakan adanya perbuatan jahat dapat disimpulkan dari keteranganketerangan yang orang yang telah bersepakat, persetujuan merupakan suatu tanda yang dapat dilihat mengenai persetujuan kehendak yang merupakan dasar dari adanya permufakatan. Jadi tidak mungkin dilakukan oleh seorang diri dan juga sudah terjadi persetujuan kehendak antara para pihak yang dapat dilakukan seorang diri adalah perbuatan persiapan. Belanda, voorbereidingshandeling. Inggris, preparation act, yang undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak belum mengancam pidana. Pada umumnya hukum pidana Indonesia sama hukum pidana Belanda dulu, beda dengan sekarang. Perbuatan persiapan dilakukan … melakukan delik tidak dipidana. Perbuatan persiapan melakukan delik tindak pidana, tidak dipidana, kecuali Pasal 250 KUHP perbuatan persiapan membuat uang palsu sudah dalam cetak, ada tinta, ada klise dalam Pasal 261 KUHP perbuatan persiapan membuat materai, perangko palsu, dan juga Pasal 11 Undang-Undang Terorisme. Jadi ada 4 delik yang kejatahan yang dituju tidak belum terjadi, yaitu; 1. Sudah disebut tadi. Percobaan, (suara tidak terdengar jelas), attempt ada niat atau pengguna pelaksanaan yang tidak selesai di luar kemauan pelaku. 2. Makar (anslag) yaitu sama dengan percobaan yang unsur ketiga ditiadakan. Artinya walaupun yang dituju tidak terjadi atas kemauan sendiri, tetap dipidana. Berbeda dengan percobaan, (anslag) hanya untuk delik atau (suara tidak terdengar jelas) terhadap keamanan negara, seperti makar terhadap raja, presiden, ini juga diciptakan oleh Belanda dengan Undang-Undang 1920 yang namanya anti revolutie wet. Undang-undang anti revolusi yang sebagai akibat revolusi Rusia yang membunuh Kaisar Tsar Nicholas II dan seluruh keluarganya oleh komunis. Jadi Belanda demam revolusi. Sepanjang pengetahuan saya, hanya (suara tidak terdengar jelas) Belanda ada ketentuan anslag makar ini yang diikuti oleh (Ahli menggunakan bahasa asing) for Nederland Hindia sejak 1930. Jadi kita di sini 10 tahun kemudian sesudah tahun 1920 baru diterapkan dalam KUHP anslag, makar. Karena sebelumnya itu ada pemberontakan PKI di Semarang, Banten, dan Sumatera Barat. Yang aneh, ada ketentuan anslag makar terhadap raja di Belanda diikuti Indonesia terhadap presiden yang artinya raja, presiden tidak mati. Tapi tidak ada pasal dalam (suara tidak terdengar jelas) Belanda (suara tidak terdengar jelas) Indonesia mengenai pembunuhan raja atau pembunuhan presiden di Indonesia. Mana pasalnya? Jadi Belanda mengatakan, okelah, pasal itu juga yang berlaku. Kalau Indonesia Pasal 104. 19
Ketiga, perbuatan persiapan. Ini juga belum terjadi apa-apa (suara tidak terdengar jelas) yang sudah saya sebut tadi Pasal 250 KUHP perbuatan peristiwa (suara tidak terdengar jelas) palsu, prangko palsu, 261 dan kemudian Undang-Undang Terorisme sudah mengumpul uang untuk tujuan terorisme. Keempat, permusyawaratan jahat samenspanning conspiracy yang juga hanya untuk kejahatan terhadap keamanan negara dan Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa sangat sulit dimengerti jika permusyawaratan jahat akan diterapkan pada delik korupsi yang jenisnya banyak sekali yang asli disusup pembuat undang-undang hanya 2 pasal … 3 pasal, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 13. Sedangkan 13 jenis korupsi yang lain diambil dari KUHP disalin mentah-mentah dari KUHP. Yang kacau juga di DPR karena ada hari ini KUHP Muliatno yang dipakai. Pemberian (suara tidak terdengar jelas) memberi hadiah atau janji gift, diterbangkan hadiah. Minggu depan DPR tampil lagi KUHP lain yang pakai istilah pemberian, dari satu paket pemberian menerima pemberian atau janji, yang satunya memakai pemberian hadiah atau janji, untuk gift itu. Jadi bingunglah Hakim Tipikor, yang mana ini yang dimaksud? Ada yang mengatakan pemberian hadiah memang lebih berat daripada pemberian. Padahal maksudnya satu, dia pakai KUHP yang berbeda istilahnya. 13 korupsi yang lain, yaitu diambil dari KUHP yaitu Pasal 209. Diambil sepenuhnya dari Pasal 17 KUHP Belanda. Bunyinya sama, Pasal 210 diambil sepenuhnya dari Pasal 178 KUHP Belanda, Pasal 387 diambil dari Pasal 331 KUHP Belanda, Pasal 388 diambil dari Pasal 332 KUHP Belanda, Pasal 415, pegawai negeri menggelapkan uang diambil sepenuhnya dari Pasal 369 … 359 KUHP Belanda, Pasal 416 diambil dari Pasal 300 KUHP Belanda, Pasal 417 diambil dari Pasal 361 KUHP Belanda, Pasal 418 diambil dari Pasal 362 KUHP Belanda yang telah dicabut 1 Januari 2015. Jadi sekarang ada beberapa orang mengambil doktor di Belanda, ada di (suara tidak terdengar jelas) yang judulnya Kekacauan Perundang-undang Korupsi Indonesia. Jadi Belanda sudah tahu semua kacaunya ini undang-undang. Sampai dia minta supaya saya menjadi salah seorang penguji di sana. Ada lagi di Leiden, ada di Utrecht, ada di Groningen. Jadi Belanda baca ini semua putusan Mahkamah kita ada di internet, mereka baca, mereka melihat penerapan yang kacau ini hingga akibatnya Pasal 362 KUHP Belanda itu yang ancaman pidananya 3 bulan menjadi (suara tidak terdengar jelas) sekitar 6 bulan menjadi Pasal 5 ayat (2) … Pasal 11 kita, lima tahun telah dicabut di Belanda, 1 Januari 2015 (suara tidak terdengar jelas) baru saya sapat itu, seminggu yang lalu. Pasal 419 dari Pasal 363 KUHP Belanda, Pasal 420 hakim menerima suap dari Pasal 364 KUHP Belanda. Pasal 423 tidak ada (suara tidak terdengar jelas) dalam KUHP Belanda khusus disisipkan untuk pejabat 20
Inlander yang memeras rakyat, dan Pasal 435 KUHP dari Pasal 376 KUHP Belanda, ancaman pidananya di sana 6 bulan, di sini 9 bulan. Tiba-tiba dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi kita minimum 4 tahun, maksimum seumur hidup. Dari 9 bulan KUHP menjadi seumur hidup, yang di Belanda hanya 6 bulan karena ini tindak pidana administratif. Seorang bupati, kepala PU, merangkap pemborong, tidak boleh. Presiden, atau anaknya, atau istrinya menjadi pemborong proyek yang di bawah pemerintah di Indonesia. Ini salah satu pasal yang menyebabkan saya tidak pernah dapat jabatan di kejaksaan karena saya dalam kuliah tahun 1978, saya mengatakan anak Marcos tidak boleh memborong jalan tol di Manila karena ada Pasal 435 KUHP menjadi korupsi. Orang tafsirkan yang saya maksud Indonesia. Padahal saya bilang anaknya Marcos, itu. Penulis sudah … karena kacaunya Undang-Undang Pemberantas Korupsi ini, saya sudah menyurati presiden, Komisi III DPR, dan tembusan kepada Mahkamah Konstitusi bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 keliru. Khususnya pegawai negeri, hakimnya menerima suap justru disusun kacau. Begitulah Pasal 435 KUHP yang sukunya delik administratif, yang ancaman pidananya dalam KUHP maksimum 9 bulan, disalin menjadi Pasal 12I dengan ancaman pidana 4 tahun minimum, maksimum seumur hidup. Terhadap pembahasan Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi, sudah tadi disebut, “Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14.” Jadi seluruhnya. Sudah dikemukakan di bagian pendahuluan, di muka, bahwa KUHP disusun secara sistematis pasal yang satu berkaitan dengan pasal yang lain. Permufakatan jahat hanya untuk delik yang membahayakan keamanan Negara, yaitu delik terhadap keamanan negara bahkan kepada presiden, wakil presiden, pemberontakan, dan penggulingan pemerintah berlaku ketentuan permufakatan jahat. Hal ini logis karena kejahatan yang dituju tidak terjadi. Jika dalil-dalil percobaan sudah ada niat, ada pemufakatan pelaksanaan tidak sesuai (suara tidak terdengar jelas) maka dalam pemufakatan jahat hanya ada niat dengan mengadakan pemufakatan jahat sama sekali tidak ada permulaan pelaksanaan. Dalam KUHP Jerman dikatakan jika para peserta pemufakatan jahat menghentikan niatnya, tidak dipidana. Oleh karena delik korupsi yang dicantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dari Pasal 2 sampai Pasal 3 dan Pasal 5 sampai Pasal 14 praktis termasuk pasal-pasal yang diadopsi dari KUHP yang berlaku definisi sama spaning Pasal 88. Pasal-pasal itu sudah dikemukakan di muka ialah 21
Pasal 29 menyuap pegawai negeri, 387 pemborong melakukan perbenturan, 388 relevansi tentara melakukan perbuatan curang, 415 pegawai negeri menggelapkan uang, 416 menggelapkan buku, 417 menggelapkan barang bukti, 418 menerima hadiah atau janji berhubungan dengan jabatan yang dia tahu berhubungan dengan jabatannya atau patut menduga. Jadi, tidak melakukan apa-apa. Pasal 419 sudah melalaikan kewajibannya, menerima suap, dan telah melalaikan kewajibannya. Harusnya dia tangkap, dia tidak tangkap. Mestinya dituntut berat, dia tuntut ringan, dan seterusnya. Itulah yang ada dalam KUHP negara-negara lain. Jadi Pasal 418 itu tidak terdapat dalam KUHP negara lain. Hanya KUHP Belanda 362 diikuti Pasal 418 KUHP menjadi Pasal 11 Undang-Undang Korupsi, yang tadi sudah katakan Belanda sudah sadar, sudah mencabut pasal itu, 1 Januari 2015. Pasal 423 memeras (suara tidak terdengar jelas) pegawai negeri memeras rakyat. Pasal 425 juga sama (suara tidak terdengar jelas) 4 dan terakhir, 435 pejabat merangkap pemborong, baik anaknya maupun istrinya memborong di tempat yang berada di bawah penguasaannya. Misalnya, Bupati Kebumen memborong sarang burung di Kebumen, Bupati Walikota Makassar memborong penggalian pasir di Makassar. Bupati Bogor merangkap pemborong untuk melelang, untuk satu tahun, pengambilan batu-batu di Bogor. Itu maksudnya, tidak ada kerugian negara sama sekali. Ini pelanggaran administratif, supaya pejabat itu jangan merangkap pemborong. KUHP menjadi Pasal 387 KUHP menjadi Pasal 7A dan B, Pasal 388 KUHP menjadi Pasal 7C dan D. Pasal 415 menjadi Pasal 8. Pasal 416 menjadi Pasal 9. Pasal 417 menjadi Pasal 10 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 418 menjadi Pasal 11 tadi, Pasal 419 disalin dua kali di DPR menjadi Pasal 5 ayat (2) yang ancaman pidanannya maksimum 5 tahun penjara, yang satu lagi menjadi Pasal 12A, B yang ancaman jauh berbeda, yaitu pidana seumur hidup. Ini, di sinilah kekeliruan DPR yang satu, delik dua kali disalin. Minggu ini, Pasal 5 ayat (2), minggu depan Pasal 12A, B. Ancaman pidananya berbeda, KUHP yang disalin sama, Pasal 419. dulu Hakim ini main suap, Pasal 420 KUHP disalin minggu ini menjadi Pasal 6 ayat (2), 15 tahun. Minggu depan, 12C seumur hidup. (suara tidak terdengar jelas). Di sinilah kekeliruan DPR, yang satu delik dua kali disalin dengan ancaman pidana jauh bedanya. Pasal 420 KUHP, Hakim Menerima Suap, menjadi Pasal 6 ayat (2), dengan ancaman pidana penjara 15 tahun. Hakim-hakim kita umumnya dijatuhkan dengan pasal inih 15 tahun. Termasuk Hakim Tipikor. Disalin lagi menjadi Pasal 12C dengan ancaman pidana berbeda jauh, maksimum penjara seumur hidup. Penyalinan Pasal 419 dan Pasal 420 inilah blunder, fooolish mistake oleh DPR, bersama Pemerintah tentu ya, bersama Kumham tahun 2001. 22
Saya tahu benar karena saya menyusun rancangan yang diubah itu, atas permintaan Menteri Kehakiman Baharuddin Lopakepada saya. Kemudian dibahas bersama-sama, profesor-profesor, ini, Bapak ini, Profesor Natabaya, Romli, Abdul Gani Abdullah, Indriyanto Senoadji, dan Buyung Nasution. Dan dipimpin sendiri oleh Baharuddin Lopa. Ini saya sudah kemukakan di DPR bahwa ini sudah disusun oleh 7 Profesor, tapi saya tinggalkan DPR karena salah seorang Anggota DPR, Profesor Sahetapi, tunjuk saya, “Itu si Hamzah sudah pulang.” Begitulah sampai (suara tidak terdengar jelas) Pak. Saya tidak bisa pertahankan, apa yang saya sudah buat karena saya pulang. Oleh karena menyimpulkan ketidakadilan seperti di muka, saya sudah ... tadi saya sudah katakan, Presiden, masih SBY, Komisi III DPR, dan Mahkamah Konstitusi dua tahun yang lalu. Agar Rancangan UndangUndang Pemberantasan Korupsi yang sudah disesuaikan oleh United Nations Convention against Corruption yang saya telah serahkan kepada Menteri Andi Matalata tahun 2009 segera dibahas, namun tidak ada tanggapan. Undang-Undang yang kacau itu tetap diterapkan dengan segala akibatnya yang tidak adil. Hakim pidana sendiri, yaitu Hakim Tipikor dijatuhi pidana beberapa tahun saja, sedangkan hakim nonpidana, hakim Mochtar dijatuhi pidana seumur hidup, satu-satunya hakim yang dipidana seumur hidup sepengatahuan saya. Satu-satunya penghuni … koruptor di Sukamiskin sekarang, seumur hidup, Akil Mochtar. Berdasarkan Pasal 364 KUHAP Belanda yang menjadi 420 KUHP Indonesia, ancaman pidana untuk hakim pidana maksimum 12 tahun penjara dan hakim nonpidana maksimum 9 tahun penjara. Hakim pidana dipandang lebih berat karena bagaimana penderitaan terpidana yang dijatuhi pidana, sedangkan dia tidak bersalah hanya karena suapan pelapor yang utang piutang menjadi delik penipuan, banyak terjadi di Indonesia. Di antara delik korupsi tersebut di muka ada di antara pasal-pasal itu yang ringan sekali, yaitu Pasal 418 tadi yang ancamannya tadi yang asli KUHP maksimum 6 bulan penjara yang menjadi Pasal 11 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana 5 tahun. Pasal 418 KUHP yang disalin dari Pasal 362 ... 362 KUHP Belanda bunyinya persis sama. Pasal itu berbunyi, “Pegawai Negeri yang menerima hadiah atau janji…,” ada yang terjemahkan, “…menerima pemberian atau janji, yang diketahui atau patut menduga berhubungan dengan jabatannya.” Jadi orang itu tidak kasih ada kirim kulkas, kirim kursi, kirim televisi ke rumah, “Selamat datang,” tidak bilang apa-apa. Pegawai negeri juga tidak berbuat apa-apa. Ya, maka itu ada kata-kata patut dapat menduga tentu saya dikasih karena ada jabatan saya. Jadi ini delik (suara tidak terdengar jelas) proparte dolus proparte culpa. Separuh sengaja, separuh culpa.
23
Jadi pegawai negeri ini sama sekali tidak buat sesuatu yang berlawanan kewajibannya, dengan sendirinya penerimaan parsel menjadi ... mendekati lebaran dan hari natal, termasuk pasal ini. Dari zaman kolonial Belanda sampai Indonesia merdeka sudah menjadi kebiasaan pemberian parsel kepada pegawai negeri, pejabat, dan tidak dituntut, dan memang di negara lain tidak ada pasal begitu di dalam KUHP. Bahkan pegawai Belanda yang sangat ketat dalam masalah korupsi menerima pula parsel mendekati hari natal. Jadi, dulu penerimaan parsel dipandang biasa sehingga Pasal 418 KUHP menjadi pasal tidur, sampai terbentuk KPK yang menuntut pula delik seperti ini. Saya mendapat keterangan dari Dr. Khairul Huda, sebenarnya saya tidak percaya, tapi karena dia teman saya mengatakan begitu, saya menjadi percaya bahwa salah satu dakwaan itu ya ... Suryadharma Ali adalah menerima cover ka’bah dari raja, ya. Menerima cover ka’bah yang memang gambar ... lambang PPP itu ka’bah, itu menjadi gratifikasi, suapan, kalau begitu saja harus dihukum juga toh, pemberi suapan, ya. Ini sudah keterlaluan, tidak masuk akal, apa benar begitu? Dr. Khairul Huda, ada dalam dakwaan? Coba dibayangkan ini. Sangat tidak logis jika permufakatan jahat untuk menerima parsel yang parsel belum diterima merupakan delik, demikianlah sehingga Pasal 418 menjadi Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, tadi sudah dikatakan di Belanda sudah dicabut 1 Januari 2015. Begitu pula penerimaan suap yang tercantum dalam 419 KUHP yang disalin dua kali menjadi Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12A, B dapat dilakukan dengan motif ringan. Misalnya supir ingin menyediakan uang di dashboard mobilnya Rp50.000,00 dan masuk ke jalur busway atau masuk ke jalan 3 in 1, lalu ditangkap dan menyerahkan uang kepada yang menangkap, maka merupakan penyuapan yang penerima telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya karena dia tidak menangkap. Jadi, telah melakukan perbuatan korupsi berdasarkan Pasal 419 KUHP yang menjadi dua pasal itu, Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 A, B. Kasus semacam ini mungkin terjadi 50 kali sehari, saya pernah di atas mobil terjadi begitu. Saya dijemput oleh bea cukai, kantor bea cukai di ... di mana itu? Di mana kantor bea cukai? Di bypass, dari jauh dia masuk jalur busway. Cuma karena … mengatakan kepada supirnya, “Keluar! Keluar! Itu ada polisi lalu lintas dua, kira-kira 2 km lagi di depan.” Dia tidak mau keluar, terus jalan, stop. “Mana STNK?” Buka STNK, dikasih uang Rp50.000,00, itu yang sudah ada di dashboard, sudah disiapkan. Polisi itu mengatakan, “Kamu orang kaya, ya, jalan terus.” Ini apa ini? Korupsi, enggak? Ya. Suap, enggak? Ya. (suara tidak terdengar jelas) bukan. Jadi ada orang menulis di Kompas, waktu saya menyerahkan rancangan Undang-Undang Korupsi yang baru kepada Andi Matalata, ada menulis di Kompas, Prof. Dr. Andi Hamzah tidak boleh menjadi ketua menyusun Undang-Undang Korupsi karena dia 24
mengatakan korupsi bukan extraordinary crime. Sampai kapan pun saya mengatakan begitu. Extra ordinary crime ada empat. (suara tidak terdengar jelas), pelanggaran HAM, aggression, war crime (kejahatan perang). Tidak ada veriaring, 70 tahun masih bisa dituntut pengadilan di Denhag. Itulah extraordinary crime. Korupsi ada veriaring-nya 18 dan 12 tahun, jadi di Indonesia. Jadi orang ini menulis tidak bisa mengerti extraordinary crime dan serious crime, lain. Serious crime dan extraordinary crime ada yang very, very extraordinary crime ... eh, very, very serious crime. Ketua perlindungan anak, saya lihat di televisi mengatakan pedofilia itu adalah extraordinary crime. Jadi menurut saya itu very serious crime. Dalam kaitan dengan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi yang memutuskan agar pemufakatan jahat dalam Pasal 15 undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan ketidakpastian hukum, jika dikaitkan dengan berita yang termuat dalam mass media bahwa yang penyelidikan (suara tidak terdengar jelas) jahat diarahkan ke permufakatan jahat untuk memeras dalam jabatan. Ke (suara tidak terdengar jelas) Pasal 12E Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disalin dari Pasal 423 KUHP yang tidak ada dalam KUHP Belanda. Pasal 423 KUHP yang menjadi Pasal 12E undang-undang itu salah satu pasal dalam KUHP dulu, Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie yang tidak ada dalam Netherlands WVS. Menurut Well Gelemer seorang dosen recht voor school, sekolah tinggi hukum di Jakarta dulu, dalam bukunya Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie vergeleken met Nederlandsch Wetboek Van Strafrecht, kitab undang-undang hukum pidana Hindia-Belanda dibandingkan dengan KUHP Belanda. Pasal itu disisipkan oleh Pemerintah Belanda ke dalam Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie yang sekarang menjadi KUHP karena Pemerintah Belanda melihat bahwa pejabat Indonesia suka memeras rakyat pada waktu menjalankan jabatannya. Rakyat minta surat jalan, segala macam izin, pejabat pegawai negeri itu minta uang atau barang, baru dikeluarkan izin. Dapat juga minta memaksa membeli barang orang dengan harga miring, terutama diskon. Jika rakyat itu tidak memiliki uang atau barang, maka pejabat itu minta orang itu bekerja untuk kepentingannya tanpa dibayar. Jadi pemerasan tenaga orang. tentulah sangat sulit membuat konstruksi hukum seorang pegawai negeri bermufakat jahat dengan pegawai negeri yang lain untuk memeras rakyat. Sesuai dengan penafsiran sistematis tidaklah termasuk permufakatan jahat delik-delik dalam KUHP yang kemudian ditarik menjadi delik korupsi yang tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 8 … Nomor 8 KUHP.
25
Pasal 88 itu berlaku untuk delik korupsi yang dari KUHP yang 13 buah pasal itu. Itu Khairul Huda, ya. Kesimpulan. Ketentuan permufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mestinya ditafsirkan sesuai dengan penafsiran sistematis dan kreatif terbatas pada delik korupsi ... asli korupsi yang disusun oleh pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 2, Pasal 3 pun ini segera harus direvisi karena kita sudah ratifikasi (suara tidak terdengar jelas) yang mengatakan yang Pasal 2 itu ada delik Pasal 20 (suara tidak terdengar jelas) itu Pasal 20 yang hanya pejabat publik, public officer sebagai subjek, baik DPR, anggota DPR, maupun eksekutif, maupun yudikatif. Baik digaji maupun tidak. Jadi tidak mungkin swasta berdasarkan konvensi itu melakukan Pasal 2. Yang puluhan pemborong kita di Indonesia ada dalam penjara sekarang (suara tidak terdengar jelas) Pasal 2, Pasal 3. Pasal 20 (suara tidak terdengar jelas) itu, Pasal 2 subjeknya adalah public official, bukan setiap orang. Yang kedua, kerugian negara tidak ada. Menurut konvensi itu kerugian negara bukan subjek apa … bukan unsur korupsi. Yang perlu melawan hokum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, satu korporasi. Memperkaya diri itu dapat dibuktikan melalui konvensi itu dengan memper … menghitung pende … pendapatannya dan kekayaannya yang meningkat luar biasa. Jadi sistemnya, lapor kekayaan sebelum menjabat, sedang menjabat, dan sudah menjabat. Apabila terlalu jauh peningkatannya dan dia tidak bisa mempertanggungjawabkannya itulah memperkaya diri sendiri, Pasal 20 (suara tidak terdengar jelas). Pasal 19 mirip Pasal 3 juga harus subjeknya public official. Bahkan hanya terhadap dari korupsi yang sangat serius seperti kasus BLBI (suara tidak terdengar jelas). Jadi menurut saya perbuatan jahat ini hanya dapat diterapkan kepada Pasal 2 dan Pasal 3, tidak untuk delik KUHP yang menjadi korupsi. Pasal 2, Pasal 3 pun hanya yang sangat serius seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, jika pun jahat, artinya hanya untuk delik yang membahayakan keamanan negara. Sangatlah tidak logis bermufakatan jahat untuk melakukan Pasal 418 KUHP yang menjadi Pasal 11 yang sangat ringan termasuk penerimaan parsel. Yang pada pasal padanannya, yaitu Pasal 3 dan 2 di Belanda tadi, sudah dicabut. Begitu pula penyuapan, lebih berat, 19 KUHP yang Pasal 5 ayat (2) UndangUndang 12A, B sebagai contoh tersebut di muka, penafsiran kreatif yang dapat diterapkan, penafsiran sistematis, dilihat sistem di dalam KUHP, KUHP merupakan suatu sistem dan penafsiran kreatif (creative interprestasi) adalah jenis penafsiran yang mempersempit pengertian undang-undang, berlawan dengan penafsiran ekstensif dan memperluas pengertian undang-undang. Seperti menafsirkan antaran listrik, gas sebagai barang … menafsirkan aliran listrik, gas, berlanjut dengan data computer, program komputer sebagai barang, Itu penafsiran ekstensif. 26
Lawannya penafsiran kreatif adalah jenis penafsiran mempersempit pengertian undang-undang. Berlawanan dengan penafsiran ekstensif tadi. Penafsiran merongrong kewibawaan pemerintah dalam undang-undang seperti dulu, merongrong kewibawaan pemerintah ditafsirkan hanya untuk delik yang berda … berlatar belakang politik. Seperti adalah penafsiran kreatif (mempersempit pengertian undang-undang) tentang penafsiran kreatif silakan, baca buku (suara tidak terdengar jelas) 1989 dalam buku saya, Hukum Pidana halaman 115, 2005 … Tahun 2015. Diharapkan agar Mahkamah Konstitusi memutuskan demi kepastian hukum yang dijamin konstitusi, pengertian permufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya mengenai delik asli korupsi, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Korupsi. Itu pun terbatas pada korupsi yang sangat serius, seperti kasus BLBI menyangkut ratusan triliun rupiah dan kasus Bank Century 7 … 6,7 triliun. Sistematika KUHP hanya delik membahayakan keamanan negara … keamanan negara tidak termasuk delik serius lain dalam KUHP seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan lain-lain. Dan pada kesempatan ini juga saya sangat mengharapkan agar Mahkamah Konstitusi ini juga turut memikirkan kekacauan Undang-Undang Korupsi ini, sehingga dapat memberikan imbauan kepada legislatif, legislator supaya segera menyusun Undang-Undang Korupsi yang baru sesuai dengan United Nation Convention Against Corruption. Sekian, Wassalamualaikum wr. wb. 36.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam wr. wb. Ya. Terima kasih, Prof. sudah hampir jam 4, untuk Pemohon siapa lagi?
37.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Prof. Natabaya. 38.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Mungkin sambil duduk saja, Yang Mulia.
39.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20,21/PUU-XIV/2016: H.A.S. NATABAYA Ketua, Anggota Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Hadirin sekalian yang berbahagia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang. 27
Selamat sore. Salam sejahtera bagi kita semua. Membicarakan dan menilai Pasal 15 Undang-Undang Tipikor adalah membicarakan dan menilai politik legislasi yang dilakukan di awal reformasi sesuai dengan … sesuai ingin cepat dilakukan perubahan, termasuk di dalam pemberantasan korupsi tanpa melihat lebih banyak aspek, teoritis, dan tanpa membandingkannya dengan layak dalam praktik di dalam maupun di luar negeri. Setelah reformasi berjalan belasan tahun dan melihat semangat pemberantasan korupsi yang luar biasa, bahkan tidak jarang sulit memisahkan antara untuk kepentingan penegakan hukum dan pencitraan, maka sudah saatnya dilakukan kaji ulang terhadap UndangUndang Tindak Pidana Korupsi ini. Salah satu cara memperbaiki UndangUndang Tindak Pidana Korupsi ini adalah menguji norma-norma pada undang-undang yang tidak mendatangkan keadilan dan kepastian hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Apalagi karena perubahan melalui amandemen acapkali membutuhkan dukungan politik yang sangat besar. Kesalahan pokok dari Pasal 15 Undang-Undang Tipikor adalah menyatukan tiga norma dalam satu pasal, yaitu percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat. Padahal implementasi ketiga norma ini sangat berbeda, begitu juga praktiknya. Di Belanda, menurut Carolyn M. (suara tidak terdengar jelas) menyatakan bahwa actus reus dalam percobaan dapat dilihat dari adanya permulaan, perbuatan yang merujuk pada niat pelaku. Hal ini juga diikuti oleh Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa secara rasional ada perilaku yang berbahaya menurut hukum, sehingga harus dilihat bahwa selalu ada permulaan perbuatan. Selama abad ke-20, percobaan dikembangkan dari pendekatan objektif ini ke pendekatan moderat objektif. Dalam pendekatan moderat objektif, percobaan melakukan perbuatan pidana, niat untuk melakukan perbuatan pidana saja dianggap tidak cukup karena harus ada kemungkinan penyelesaian. Pada perdebatan akademis masih ada doktrin subjektif diletakkan pada niat atau niat jahat dari pelaku. Dari sisi pelaku, percobaan itu sudah ada apabila ada niat jahat dari pelaku. Dari sisi pelaku, percobaan itu sudah ada apabila pelaku sudah menunjukkan kehendak untuk melakukan kejahatan meskipun diakui bahwa pikiran saja tidak dapat dihukum. Dalam memorie van toelichting tahun 1981 dikatakan bahwa untuk menghukum perbuatan percobaan harus ada niat. Ada permulaan perbuatan dan perbuatan itu tidak selesai, berada di luar kehendak dari pelaku perbuatan. Dengan kata lain, memorie van toelichting ini membuat perbedaan antara niat bertindak dan persiapan melakukan kejahatan yang direncanakan. Dalam arti bahwa pembuatan undangundang menempatkan bahwa permulaan perbuatan pidana dan persiapan dapat dihukum karena faktor-faktor subjektif, seperti sifat, yaitu maksud dari pelaku dianggap berperan terlaksananya pembuatan pidana.
28
Namun, dalam perkembangan praktik bahwa niat dan persiapan dapat dihukum sudah tidak diikuti lagi dalam amandemen KUHP Belanda yang dilakukan pada tahun 1090-1091. Menteri Kehakiman, (suara tidak terdengar jelas) bahwa menyampaikan pendapat dari Hoegrat [Sic!] dalam keputusannya … dari keputusannya dari … namun dalam perkembangan praktik bahwa niat dan persiapan dapat dihukum sudah tidak diikuti lagi. Dalam amandemen KUHP Belanda yang dilakukan pada tahun 1990-1991. Menteri Kehakiman (suara tidak terdengar jelas) bahwa menyampaikan pendapat dari Holfrad bahwa putusannya dari 8 September 1987 ... 1988-2016 (suara tidak terdengar jelas) menyatakan bahwa tidak ada permulaan kejahatan pemerasan berdasarkan Pasal 317. Ketika dua orang pergi untuk melakukan kejahatan, tetapi belum meninggalkan kendaraan, para tersangka berada di sebuah mobil curian dengan plat nomor yang salah, di dalam mobil mereka, mereka memiliki senapan ganda dan senjata tiruan, borgol, tali, dan pita untuk membungkam para pegawai bank. Mereka menggunakan dua lapis pakaian dan wig, mereka menunggu polisi setelah pengejaran mereka ditangkap oleh polisi. Holfrad tidak dilakukan sebagai bentuk penyelesaian kejahatan yang direncanakan. Adapun menurut hukum inggris pada awalnya percobaan itu secara hukum tidak dilarang, namun kemudian terjadi perubahan yang sangat signifikan pada tahun 1748 karena percobaan dapat dihukum, yaitu harus adanya niat untuk melakukan kejahatan tertentu dan perbuatan yang dilakukan namun tidak selesai, seperti dalam kasus (suara tidak terdengar jelas) dikutip oleh (suara tidak terdengar jelas) yang menjadi alasannya. It makes a great difference whether an act was done or no act was done. The intent may make an act, innocent in itself, criminal, nor is is the completion of an act, criminal in itself, necessary to constitute criminality. Thereafter begin to emerge a common law of criminal attempts, consisting of two elements: intent to commit a specific crime and an incomplete act. Doktrin yang ditetapkan oleh (suara tidak terdengar jelas) terdiri dari semua prinsip-prinsip, yaitu bahwa tindakan terletak di niat dan niat saja tidak dapat dihukum, akan tetapi berikut suatu tindakan yang dilakukan maka hakim tidak hanya menghukum karena ada tindakan yang dilakukan, tetapi karena adanya niat yang dilakukan dengan melanggar hukum dan niat itu berbahaya. Meskipun ada juga keputusan yang cukup kontraversial seperti dipertimbangkan dalam putusan perkara Regina vs Collins Tahun 1864. Dikatakan bahwa mencopet dari saku yang kosong bukan merupakan percobaan sebab yang disebut sebagai percobaan melakukan kejahatan apabila tidak ada gangguan terjadi, dan dengan tidak adanya gangguan dan maka kejahatan itu berhasil. 29
Dalam pertimbangannya Cockburn CJ, “That an attempt to commit a felony can only be made out when, if no interruption had taken place, the attempt could have been carried out succesfully, and the felony completed of the attempt to commit which the party is charged.” Sedangkan Bramwell B. menyatakan, “An attempt to commita felony can only be made out when, if no interruption had taken place, the attempt could have been carried out successfully, and felony completed of the attempt to commit which the party is charged. In this case, if there was nothing in the pocket of the prosecutrix, in our opinion the attempt to commit larceny cannot be established. It may be illustrated by the case of a person going into a room, the door of which he finds open, for the purpose of stealing whatever property he may find there, and finding nothing in the room, in that case no larceny could be committed, and therefore no attempt to commit larceny could be committed Perkembangan pemikiran dari perbuatan Hakim atau pendekatan intelektual terhadap perkembangan di Inggris. Dilakukan secara terusmenerus dan kemudian diundangkan dengan criminal attempts. Hal yang penting untuk dicatat bahwa sebagaimana dicatat oleh R. A. Duff. Bahwa dalam memaknai artikel satu criminal attempt tahun 1981 tentang percobaan itu harus juga dia mencakup kelalaian karena orang yang berniat untuk melakukan kejahatan meskipun dilakukan karena kelalaian harus dilakukan sebagai percobaan. Karena kelalaian menahan diri dari kehendak melakukan perbuatan. Meskipun harus dipikirkan apakah perbuatan melakukan pelanggaran yang dapat dihukum itu adalah terbatas pada kejahatan yang serius saja. Namun tetap dinyatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan percobaan lebih ringan dari yang melakukan percobaan selesai. Tujuan dari hukuman dan percobaan dilakukan diperlukan karena untuk mencegah pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana … tindakan yang berbahaya. Meskipun pendapat A. Duff tidak disetujui oleh Larry Alexander, dia memuat percobaan berhasil atau tidak berhasil, maka masalah keberuntungan dan melakukan pidana seharusnya harus berurusan dengan percobaan dan tindak … kecerobohan yang subjektif. Apa yang hendak ditegaskan dari apa yang dilakukan di atas. Bahwa dalam hukum pidana di Inggris, maka di Belanda bahwa percobaan untuk melakukan perbuatan pidana tidak tetap dihukum. Dengan hukumannya tidak melakukan perbuatan pidana akan tetap dilakukan. Tetapi hukumannya tidak sama dengan perbuatan, selesai. Inilah perbedaannya dengan Pasal 15 Tipikor yang ditugaskan dalam. Para Hakim, ada hal yang perlu saya catat. Bahwasanya perbuatan percobaan ini adalah percobaan yang dilakukan di dalam tindak pidana. Jadi kalau kita lihat di dalam … di dalam pidana, maka kesimpulan dari … apa namanya itu … perlakuan ini adalah harus
30
dilakukan dengan hati-hati. wassalamualaikum wr. wb. 40.
Wabillahi
taufiq
wal
hidayah
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Siapa lagi?
41.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Salah satu Ahli kami, Yang Mulia. Kebetulan akan bertolak ke Makassar. Tapi untuk Ahli yang Perkara Nomor 20 jika berkenan mohon diselipkan untuk memberikan keterangan terlebih dahulu. Prof. Said Karim, silakan. 42.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, nanti ya poin-poinnya saja. Silakan di podium, masih kuat ya?
43.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016: MUHAMMAD SAID KARIM Bismillahirrahmaanirrahiim assalamualaikum wr. wb. Selamat sore dan salam sejahtera bagi kita semua. Terima kasih atas kesempatan Majelis Hakim Yang Mulia yang diberikan kepada saya. Pertama-tama saya ingin mempermaklumkan bahwa sehubungan dengan permohonan Pemohon, saya telah memberikan pendapat hukum sebagai … pendapat hukum di bidang ahli hukum pidana dan hukum acara pidana. Jumlahnya 6 halaman dan saya sudah sampaikan ke Pemohon, mudah-mudahan dapat diteruskan kepada Yang Mulia. Selanjutnya, oleh karena di dalam pendapat hukum yang saya kemukakan ini sudah cukup jelas, namun ada bagian-bagian yang saya merasa penting pula, saya tambahkan dan insya Allah saya tidak akan menggunakan waktu lebih dari tujuh menit. Baik. Ketika … ketika membaca permohonan Pemohon yang pada pokoknya kemudian terdaftar sebagai Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2006 sehubungan dengan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan seterusnya. Setelah saya mempelajari secara cermat dan teliti permohonan Pemohon, maka terdapat hal-hal penting yang perlu untuk dicermati sebelum masuk kepada substansi. Berkenaan tentang pertanyaan-pertanyaan bahwa apakah sebenarnya Pemohon ini dapat atau memenuhi syarat dapat dinyatakan sebagai Pemohon? Benarkah kiranya ada kerugian konstitusi yang dialami sehubungan dengan pemberlakuan sebuah ketentuan 31
perundang-undangan yang dijadikan sebagai bahan uji di dalam permohonannya. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, telah saya jawab di dalam pendapat hukum saya. Dan pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa selaku Ahli, saya menilai bahwa permohonan Pemohon telah memenuhi syarat kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Selanjutnya, Yang Mulia, saya ingin menyentuh kepada substansi pokok persoalan. Oleh karena Pemohon dalam permohonannya telah memenuhi syarat kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, maka menurut pendapat saya adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan permohonan Pemohon dapat diterima. Selanjutnya, di dalam permohonan Pemohon, terdapat beberapa hal yang bersifat substansi, yang memerlukan pandangan Ahli. Khususnya yang pertama, apakah penyadapan dan perekaman suatu pembicaraan dapat diartikan sebagai perbuatan yang sama menurut Undang-Undang IT? Perbuatan menyadap menurut Undang-Undang IT adalah kegiatan untuk mendengarkan merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informatika elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. Tindakan penyadapan dan perekaman tidaklah sama. Tindakan merekam, jelas berbeda dengan tindakan menyadap. Karena tindakan merekam dilakukan secara langsung terhadap suara atau kejadian, di mana yang direkam ke dalam suatu tape recorder maupun kamera, bukan data elektronik, informasi elektronik, maupun dokumen elektronik. Pada dasarnya, penyadapan atau intersepsi, apalagi merekam secara diam-diam tanpa izin dari pihak yang direkam adalah merupakan perbuatan yang dilarang, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang IT. Sehingga terhadap pelaku perbuatan, ini dapat diancam dengan sanksi pidana. Kecuali, jikalau penyadapan atau intersepsi dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Substansi pertanyaan berikutnya, apakah tindakan melakukan perekaman yang dilakukan tanpa izin dan bukan oleh lembaga yang berwenang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah kumpulan hak yang melekat sejak lahir dalam diri 32
masing-masing, senantiasa harus selalu dijaga, dijunjung tinggi, dan harus diakui oleh semua orang menurut John Locke. HAM ialah suatu hak yang dihadiahkan Tuhan yang bersifat kodrat, di mana hak asasinya tidak pernah dan tidak dapat dipisahkan hakikatnya, sehingga hak asasi merupakan sesuatu yang suci dan harus dijaga. Salah satu hak yang harus senantiasa dijaga dan dijunjung tinggi adalah hak kepribadian untuk berkorespondensi. Beberapa ketentuan yang berlaku, yang bersifat universal berkaitan HAM, telah menegaskan hal tersebut. Misalnya, dalam Pasal 12 universal hak asasi manusia, universal declaration of human rights. Tidak seorang jua pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, dan hubungan surat menyurat dengan sewenang-wenang. Jika tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum terhadap gangguan pelanggaran tersebut. Selanjutnya kemudian Pasal 17 Kovenan Internasional hak-hak sipil yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 untuk menyingkat waktu, Yang Mulia, tidak perlu kami bacakan. Pada akhirnya tindakan melakukan perekaman yang dilakukan tanpa izin, bukan oleh lembaga yang berwenang adalah jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pelanggaran terhadap right of privacy yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hal mana sesuai dengan apa yang diputus oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010. Selanjutnya, sebagaimana telah kami paparkan sebelumnya. Bahwa tindakan melakukan perekaman yang dilakukan secara diam-diam adalah merupakan pelanggaran HAM, berdasarkan hal tersebut, maka menurut penilaian kami sebagai Ahli, perekaman itu ilegal dan merupakan pelanggaran HAM, maka hasilnya tentu saja tidaklah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam proses penyidikan maupun persidangan pemeriksaan perkara. Oleh karena segala bentuk tindakan yang termasuk, namun tidak terbatas tindakan perekaman harusnya disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya yang bagian akhir adalah apa akibat gerangan jikalau sekiranya setiap orang bisa melakukan tindakan perekaman dan kemudian hasilnya dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagai Ahli kami berpendapat. Bahwa jikalau hal ini dapat dilakukan oleh setiap orang, maka perekaman tanpa seizin Pihak Terkait dan hasilnya dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana, maka akan menimbulkan kegaduhan hukum, menimbulkan ketidaktertiban dalam pelaksanaan hukum acara pidana dan lebih jauh akan merusak sistem peradilan pidana di Indonesia, integrated criminal justice system. Demikian yang kami kemukakan, semoga ada manfaatnya. Assalamualaikum wr. wb. 33
44.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
45.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016: MUHAMMAD SAID KARIM Muhammad Said Karim.
46.
KETUA: ANWAR USMAN WIB.
Terima kasih, Prof. Sebentar, ya. Karena ini sudah pukul 16.10
Karena ini sudah lewat waktu asar, jadi kita skors dulu, ya, untuk salat asar, ya. Baik. Sidang diskors sekitar 15 menit. KETUK PALU 1X SIDANG DISKORS PUKUL 16.16 WIB SKORS DIBUKA PUKUL 16.44 WIB 47.
KETUA: ANWAR USMAN Skors dicabut dan sidang dibuka kembali. KETUK PALU 1X Pemohon, silakan. Siapa lagi yang akan diajukan?
48.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Yang kemudian adalah Prof. Ed Hiariej kebetulan Beliau memberikan keterangan untuk dua perkara ini. Jadi mungkin nanti sekaligus, Yang Mulia. 49.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, nanti mungkin, ya, poin-poinnya saja karena Majelis ingin mendalami lebih lanjut nanti keterangan Para Ahli. Silakan, Prof.
34
50.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20,21/PUU-XIV/2016: EDWARD OMAR SHARIF HIARIEJ Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera, om swastiastu. Majelis Mahkamah Konstitusi yang Ahli muliakan. Pada kesempatan ini Ahli tidak akan membaca keseluruhan dari keterangan yang telah kami sampaikan secara tertulis kepada Kuasa Hukum. Namun, ada beberapa hal yang perlu kami mendapat … memberikan tekanan, teristimewa terhadap Pasal 15 undang-undang a quo dalam hal ini adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait frasa permufakatan jahat. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa salah satu prinsip yang paling mendasar dalam hukum pidana ini adalah asas legalitas, yang mana menurut pendapat Machteld Boot yang mengutip Weigend, Jesheck, mengatakan, “Di dalam asas legalitas itu terkandung empat makna. Yang pertama adalah nullum crimen nulla poena sine lege praevia, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Nullum crimen nulla poena sine lege scripta, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Nullum crimen nulla poena sine lege certa, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undangundang yang jelas. Dan yang terakhir adalah Nullum crimen nulla poena sine lege stricta, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat.” Terkait dengan pasal a quo yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diuji, Ahli berpendapat bahwa pasal tersebut tidak menganut atau tidak mengandung prinsip lex certa atau Nullum crimen nulla poena sine lege certa, sebagaimana yang terkandung di dalam asas legalitas. Ada sembilan argumentasi teoritik yang Ahli sampaikan. Yang pertama, Yang Mulia Mahkamah … Majelis Mahkamah Konstitusi. Bahwa dalam hukum pidana terdapat 12 pembagian jenis delik. Salah satu pembagian jenis delik itu apa yang kita sebut dengan istilah voorbereiding delik (delik persiapan), poging delik (delik percobaan), aflopende delik (delik selesai), dan voortdurende delik atau delik berlanjut. Yang kedua, salah satu delik persipan adalah permufakatan jahat. Secara harfiah berdasarkan Pasal 88, permufakatan jahat diartikan sebagai dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan kejahatan. Lebih lanjut permufakatan jahat dalam … dilihat dari … dapat dilihat dari sisi subjektif dan objektif. Subjektif permufakatan jahat pada dasarnya sama dengan niat di antara para pelaku untuk bersama-sama mewujudkan suatu kejahatan. Tegasnya ada toestemming, atau meeting of mine, atau kesepakatan di antara para pelaku. Sedangkan objektif permufakatan jahat adalah permulaan pelaksanaan. Objektif
35
permufakatan jahat pada dasarnya adalah permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan. Oleh karena itu, Jerome … Jerome Hall dalam General Principle of Crime In Law maupun Moelyatno menyatakan dengan tegas di dalam bukunya bahwa sebetulnya tidak ada perbedaan asasi antara perbuatan persiapan atau voorbereiding dan yang … voorbereidingshandelingen dan uitvoeringshandelingen atau permulaan pelaksanaan. Ketiga, Yang Mulia. Ini yang kami mohon perhatian dari kita semua. Kalau kita membaca cermat, ketentuan Pasal 15 undang-undang a quo yang diuji bunyinya adalah permufakatan jahat, percobaan. Kalau … percobaan atau … maaf, yang ada di dalam Pasal 15 itu bunyinya adalah percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat. Padahal kalau kita melihat dari pembagian delik yang tadi sudah Ahli katakana bahwa permufakatan jahat lebih dulu, kemudian ada delik percobaan, ada delik selesai, dan ada delik berlanjut. Maka kalau dari permufakatan jahat sampai dengan percobaan, sampai dengan kemudian delik berlanjut itu dianggap sebagai satu rangkaian perbuatan, maka sesungguhnya bunyi pasal itu bukan dimulai dengan kata-kata percobaan, tapi seharusnya dengan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan. Tetapi ternyata pasal a quo yang diujikan itu berbunyi lebih dulu percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat. Ini membawa konsekuensi tersendiri bahwa sebetulnya yang … yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang di sini bahwa adanya kata-kata permufakatan jahat yang diletakan pada akhir kalimat Pasal 15 di situ, ini menghendaki bukan subjektif permufakatan jahat tetapi objektif permufakatan jahat. Kalau objektif permufakatan jahat, maka secara teoritik ini disamakan dengan permulaan pelaksanaan yang ada di dalam delik percobaan. Sehingga penulisan kata-kata percobaan lebih dulu dari kata permufakatan jahat dalam pasal a quo dia bersifat overlapping dan mengaburkan makna permufakatan jahat yang sesungguhnya. Jadi, kalau kita mau mewujudkan suatu delik mesti dengan pemufakatan jahat lebih dulu, baru kemudian percobaan, dan kemudian menjadi delik selesai. Tetapi ternyata pembentuk undang-undang meletakan kata pemufakatan jahat itu bukan pada awal kalimat itu, dalam Pasal 15, tapi meletakan di belakang. Berarti berdasarkan interpretasi doktriner yang dimaksudkan oleh pembentuk undangundang itu adalah permufakatan … objekrif permufakatan jahat itu sama dengan permulaan pelaksanaan dalam percobaan. Sehingga ini membuat kabur makna permufakatan jahat yang sesungguhnya. Yang keempat, Majelis Yang Mulia. Permufakatan jahat bukanlah delicta sui generis, melainkan tindakan awal berupa kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan. Sehingga merupakan delik yang tidak sempurna sebagai bentuk perluasan dapat dipidananya perbuatan. Yang kelima, pada dasarnya kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan tidaklah dapat dipidana karena baru sebatas mengungkapkan 36
apa yang ada dalam pemikiran atau benak para pelaku. Apa yang ada dalam pemikiran tidaklah dapat dipidana berdasarkan adagium cogitationis poenam nemo patitur (seseorang tidak dapat dihukum hanya karena apa yang ada dalam pemikirannya). Akan tetapi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu untuk mencegah dampak atau akibat yang muncul dari kejahatan tersebut jangankan pada … sampai pada tahap permulaan pelaksanaan. Pada tahap perbuatan persiapan saja pembentuk undang-undang memandang perlu untuk menjatuhkan pidana. Kendati pun demikian kejahatan-kejahatan yang dapat dipidana hanya karena permufakatan jahat haruslah disebut secara tegas. Oleh karena itu, dapatlah dipahami ketentuan permufakatan jahat yang terdapat dalam Pasal 88 KUHP hanya dapat diterapkan khusus kepada Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 tentang makar sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 110 KUHAP. Lalu coba kita bandingkan dengan pasal a quo yang diuji ini hanya menyebutkan secara serampangan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, diantara pasal-pasal tersebut memiliki sifat dan karakter yang berbeda. Keenam, masih terkait dengan pembagian delik. Dikenal adanya delicta communia dan delicta propria. Delicta communia adalah delik yang dapat dilakukan oleh siapa pun. Sedangkan delicta propria adalah delik yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan kualifikasi tertentu. Baik delicta communia maupun delicta propria pada hakikatnya adalah mengenai addressaat atau subjek hukum yang dapat dipidana berdasarkan suatu rumusan delik. Tujuh, dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat 30 jenis perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Tidak semua tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh setiap orang. Ada tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualifikasi khusus apakah sebagai hakim, advokat, pegawai negeri, atau penyelenggara negara. Tegasnya ada delicta propria dalam tindak pidana korupsi. Delapan, dalam kaitannya dengan permufakatan jahat dan bila dihubungkan dengan pembagian delik antara delicta communia dan delicta propria, maka permufakatan jahat hanya dapat terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki kualifikasi yang sama. Padahal ketentuan pasal a quo yang sedang diuji tidak membedakan secara tegas antara permufakatan jahat terhadap delicta communia dan delicta propria. Tidaklah mungkin terjadi permufakatan jahat apabila antara dua orang atau lebih yang tidak memiliki kualitas yang sama bersepakat untuk melakukan kejahatan. Yang terakhir, Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Lazimnya dalam perumusan tindak pidana yang terdiri dari subjek delik (addressaat norm) perbuatan yang dilarang (strafbaar) dan ancaman 37
pidana (strafmaat) seyogianya unsur strafbaar-lah yang mengatur bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang secara jelas dan tegas, baik dengan cara merinci untuk perbuatannya maupun dengan cara merujuk kepada pasal tertentu. Ahli kira ini tadi sudah dijelaskan oleh Dr. Chairul Huda. Berdasarkan hal itu maka frasa permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, sampai dengan pasal ... maaf, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 adalah
rumusan delik yang tidak jelas dan multitafsir karena tidak memuat bentuk perbuatan secara cermat. Apalagi ketentuan Pasal 14 itu sama sekali bukan ketentuan pidana, tetapi untuk membatasi lex specialis sistematis dalam tindak pidana korupsi. Jadi penyebutan Pasal 14 itu memang itu mengaburkan pemufakatan jahat. Kesimpulan, Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Bahwa berdasarkan argumentasi teoritik, adapun kesimpulan. Bahwa Pasal 15 undang-undang a quo sebatas berkaitan dengan frasa pemufakatan jahat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak ditafsirkan dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama. Dalam hal undang-undang menentukan demikian, saling bersepakat untuk melakukan tindak pidana. Dan yang kedua bahwa Pasal 15 undang-undang a quo adalah konstitusional bersyarat. Diartikan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana yang sama dengan pasal-pasal tersebut. Demikian, Yang Mulia, untuk Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya izinkanlah kami menguraikan yang terkait dengan perkara Nomor 20, Yang Mulia. Inipun kami hanya membaca pokokpokoknya saja, pendapat hukum kami sebanyak 14 halaman telah kami sampaikan kepada Kuasa Hukum, namun di sini kami hanya stretching kepada beberapa hal, Yang Mulia. Ada sembilan sebetulnya, tapi yang akan kami bacakan adalah yang ketujuh, delapan, dan sembilan. Bahwa terkait perekaman dan penyadapan elektronik dalam konteks hukum pidana. Berdasarkan Undang-Undang Telekomunikasi, penyadapan adalah perbuatan pidana, penyadapan sebagai perbuatan pidana dapat dipahami mengingat ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jeni saluran yang tersedia.” Secara mutatis mutandis, larangan penyadapan sama halnya dengan larangan perekaman pembicaran. Karena pada hakekatnya 38
penyadapan adalah perekaman pembicaraan yang dilakukan tanpa izin. Dengan demikian, perbuatan perekaman pembicaraan atau penyadapan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, kecuali undang-undang dengan tegas membolehkannya. Oleh karena itu, dalam mengungkap suatu tindak pidana, pada dasarnya tidak dibenarkan melakukan penyadapan. Hal ini berkaitan dengan bewijsvoering dalam hukum pembuktian, akan tetapi dalam perkembangannya terhadap besondere delik atau delik-delik khusus dalam rangka mengungkap suatu kejahatan, maka penyadapan perekaman dan pembicaraan itu dibolehkan. Pertimbanganya bahwa kejahatan-kejahatan tersebut biasanya dilakukan terorganisasi, sistematis, dan sulit pembuktiannya. Hal ini karena kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bukanlah pasalpasal yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Dewasa ini dalam sejumlah undang-undang di Indonesia, penyidik diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, terkait dengan UndangUndang Nomor 11 yang duiuji, khusunya Pasal 5, Pasal 44 dihubungkan dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam kedua ketentuan tersebut, dengan jelas mengakui alat bukti elektronik. Namun, dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan dengan tegas, “Alat bukti eleketronik atau dokumen elektronik merupakan alat bukti petunjuk.” Apabila Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 44 huruf b dan Pasal 26 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diinterpretasikan secara gramatikal sistematis, maka akan dapat dipahami bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik, serta hasil cetakannya sebagai alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan alat bukti yang sah, berlaku dalam hukum di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan Pasal 26 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengkualifikasikan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Maka informasi elektornik dan/atau alat bukti elektronik hanyalah merupakan alat bukti petunjuk. Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan sebagai perbuatan kejadian atau keadan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
39
Dalam konteks praktek peradilan di Indonesia, alat bukti petunjuk lebih banyak digunakan sebagai sesuatu untuk melengkapi keyakinan hakim, bukan untuk melengkapi alat bukti tersebut secara kualitatif, yaitu untuk sebagai salah satu dari dua alat bukti dalam rangka memenuhi (suara tidak terdengar jelas) minimum, sehingga Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, kalau kita membaca berita acara sidang, tidak pernah dipaparkan alat bukti petunjuk, hanya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, tidak ada alat bukti petunjuk karena itu dianggap dia melekat subjektivitas pada hakim. Dengan demikian dapat dipahami bahwa alat bukti petunjuk berdasarkan KUHAP adalah otoritatif dari hakim. Konsekuensi hukumnya, maka tidak semua alat bukti elektronik yang termasuk informasi dan dokumen elektronik atau hasil (suara tidak terdengar jelas) nya dapat berlaku sebagai suatu alat bukti yang sah dalam ranah hukum acara pidana tindak pidana korupsi. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 30 tentang KPK, UndangUndang Nomor 2 tentang Kepolisian Negara, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang membolehkan penyadapan dan/atau perekaman elektronik, maka hasil perekaman atau penyadapan elektronik sebagai suatu alat bukti elektronik tersebut dapat secara sah digunakan apabila perekaman atau penyadapan elektronik itu dilakukan oleh otoritas yang berwenang, dalam hal ini adalah kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, ketentuan yang ada dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 44 Undang-Undang ITE dan Pasal 26 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dikatakan tidak menjamin kepastian hukum apabila diterjemahkan bahwa hasil perekaman atau penyadapan elektronik yang dilakukan oleh siapa pun atau apa pun hasil perekaman atau penyadapan elektronik dapat digunakan sebagai suatu alat bukti elektronik yang sah secara hukum. Khususnya apabila hal tersebut dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya di atas bahwa alat bukti elektronik tersebut hanya berlaku sebagai suatu alat bukti petunjuk yang menjadi otoritatif hakim. Maka pada tahap penyidikan atau penuntutan, alat bukti elektronik tersebut tidak dapat digunakan sembarangan oleh penyidik atau penuntut umum, harus tetap sesuai dengan guidance atau ketentuan yang diberlakukan menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menetapkan alat bukti elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Dapat disimpulkan bahwa alat bukti elektronik tersebut adalah sebagai suatu alat bukti, namun hanya dikualifikasikan sebagai alat bukti petunjuk yang mana alat bukti yang demikian merupakan otoritatif hakim, dengan demikian pada tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan, alat bukti elektronik dapat menjadi salah satu alat bukti dan hanya jika perolehan alat bukti elektronik tersebut dilakukan secara sah 40
menurut hukum dan tidak termasuk dalam unlawful legal evidence, yaitu perekaman atau penyadapan oleh instansi yang berwenang yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, yaitu kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Terkait kapan penyadapan dan perekaman pembicaraan dilakukan, apakah pada saat dimulainya penyelidikan ataukah pada saat dimulainya penyidikan? Terhadap pertanyaan ini masing-masing undang-undang berbeda antara satu dengan yang lain. Secara garis besar perbedaan tersebut adalah tidak ada penetapan waktu kapan penyadapan dan perekaman pembicaraan boleh dilakukan. Hal ini terlihat jelas dalam konstruksi pasal-pasal Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi serta Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kedua. Penyadapan dan perekaman pembicaraan boleh dilakukan setelah ada bukti permulaan yang cukup. Artinya, penyadapan dan perekaman pembicaraan dilakukan bukan pada tahap penyelidikan, melainkan pada tahap penyidikan. Hal ini termaktub jelas dalam UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Narkotika, dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ahli berpendapat seharusnya penyadapan dan perekaman pembicaraan hanya boleh dilakukan setelah ada bukti permulaan yang cukup. Tegasnya penyadapan dan perekaman pembicaraan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan. Argumentasi teoritiknya, pertama, penyadapan dan perekaman pembicaraan pada dasarnya melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, tindakan tersebut dibolehkan jika ada bukti permulaan yang cukup telah terjadi suatu tindak pidana. Berarti proses lidik atau penyelidikan sudah dilalui. Kedua. Penyadapan dan perekaman pembicaraan tanpa bukti permulaan yang cukup adalah suatu tindak pidana akan menuju ... maaf. Adalah suatu tindakan yang akan menuju pada unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar. Hal ini bertentangan dengan prinsipprinsip dalam due process of law. Ketiga. Penyadapan dan perekaman pembicaraan khusus dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanyalah dijadikan bukti petunjuk. Artinya harus ada bukti lain sebelumnya, apakah itu keterangan saksi, surat, atau keterangan ahli. Kesimpulan, Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. 1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE mengenai frasa informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
dalam Pasal 5 a quo tidak dimaknai sebagai adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen 41
elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberatasan Korupsi atau institusi penegak hukum lainnya. 2. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang frasa informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
dalam pasal a quo tidak dimaknai sebagai informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya diperoleh menurut ketentuan perundangan-perundangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, atau Komisi Pemberatansan Korupsi atau institusi penegakan hukum lainnya. Dan yang terakhir. 3. Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam pasal a quo tidak dimaknai sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberatasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Dan yang terakhir. 4. Pasal 26 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam pasal a quo tidak dimaknai sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberatasan Korupsi atau institusi penegakan hukum lainnya. Terima kasih Mahkmah Konstitusi Yang Mulia, wabillahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera, om swastiastu. 51.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Prof. Sisa dua, siapa yang didahulukan?
52.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Prof. Syaiful Bakhri untuk Perkara Nomor 21, Yang Mulia.
42
53.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan, Prof.
54.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016: SYAIFUL BAKHRI Selamat sore dan salam sejahtera. Yang terhormat Majelis Hakim Konstitusi, perkenankan saya menyampaikan keterangan berkenaan dengan tindak pidana permufakatan jahat dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang merupakan atau menjadi objek perkara di Mahkamah ini. Bahwa dalam hukum pidana, peristilahan adalah merupakan suatu hal yang sangat penting dan menentukan sebab akan membawa pada suatu konsekuensi arti dan istilah karena kekeliruan dalam mengartikan suatu istilah dapat membawa akibat seorang terdakwa dinyatakan bersalah dan dimasukkan ke dalam lembaga permasyarakatan, padahal sebenarnya ia tidak perlu menerima penderitaan sedemikian. Istilah permufakatan jahat sebagaimana yang disampaikan ahli lainnya berasal dari Belanda yang disebut dengan samenspanning, tetapi arti ini berbeda-beda dalam perkembangannya, tim penerjemah badan pemilihan hukum nasional mempunyai arti sendiri, kemudian Ahli Prof. Andi Hamzah juga mempunyai arti sendiri, sehingga ada tiga makna di dalam istilah itu. Pertama, permufakatan. Yang kedua, permufakatan jahat. Yang ketiga adalah berkomplot. Ketiga macam terjemahan dalam Bahasa Indonesia ini seharusnya mempunyai arti yang sama sebab ketiga-tiganya merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda yang sama, yakni samenspanning. Dalam pemeriksaan terhadap Pasal 86 sampai 102 KUH Pidana ternyata pasal yang memberikan keterangan terhadap istilah samenspanning adalah Pasal 88 yang diterjemahkan oleh tim penerjemah badan pemilihan hukum nasional sebagai dikatakan ada permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan. Dari rumusan Pasal 88 inilah maka diketahui unsur-unsurnya mesti harus ada dua orang atau lebih telah sepakat dan akan melakukan kejahatan, akan melakukan kejahatan. Jadi, terdapat permufakatan jahat. Jika hal tersebut kejahatan telah diperjanjikan oleh dua orang atau lebih untuk adanya perjanjian melakukan kejahatan haruslah di antara mereka telah terdapat kata sepakat. Dengan demikian, sesudah ada permufakatan jahat, bahkan belum ada perbuatan persiapan jadi sudah cukup jika dua orang tersebut untuk melakukan kejahatan tertentu tidak diperlukan tindakan lain lagi sebagai persiapan untuk melakukan kejahatan. Perjanjian untuk melakukan kejahatan di sini bukanlah dalam arti perjanjian menurut hukum perdata, berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, yakni sepakat 43
pihak yang mengikatkan diri, kecakapan membuat perjanjian hal-hal tertentu, dan perjanjian yang halal. Sebab perjanjian yang membentuk permufakatan jahat tidaklah tunduk pada pengertian hukum perdata, sebab perjanjian untuk melakukan kejahatan jelas-jelas perjanjian yang tidak sah dalam KUH Pidana, istilah permufakatan jahat dapat ditemukan dalam beberapa pasal, yakni Pasal 88, 110, 116, 125, 139C, 164, 497, dan 492. Diantara pasal-pasal ini, maka Pasal 88 hanyalah memberikan penafsiran autentik tentang istilah samenspanning, Pasal 164 berkenaan dengan orang yang mengetahui adanya permufakatan jahat sedangkan Pasal 457 dan 462 adalah berkenaan dengan delik yang diawali dengan permufakatan. Jadi kegiatan mereka tidak hanya sebagai permufakatan jahat semata-mata, melainkan dilanjutkan dengan perbuatan. Dalam Pasal 110 ayat (1) ditentukan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan ditentukan dalam pasal … selanjutnya Pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut. Jadi untuk mempelajari permufakatan jahat ini haruslah diketahui rumusan Pasal-Pasal 104, 106, 107 KUHP Pidana. Pasal 104 KUHP Pidana menentukan bahwa makar dengan maksud membunuh atau mem … atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan Presiden dan Wakil Presiden, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Pasal 104 KUHP Pidana adalah perbuatan makar, penyerangan dengan maksud untuk membunuh Presiden dan Wakil, merampas kemerdekaan Presiden atau Wakil, meniadakan kemampuan memerintah dan … Presiden dan Wakil. Nah, tetapi jika Pasal 104 ini dihubungkan atau di-juncto-kan dengan Pasal 110 ayat (1) KUHP Pidana maka syarat harus adanya permulaan pelaksanaan ini menjadi tidak berlaku. Sudah merupakan suatu delik selesai, jika dua orang atau lebih telah berjanji dengan adanya kesepakatan untuk membunuh, merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan memerintah Presiden dan Wakil Presiden. Permufakatan jahat ini bukan saja dijadikan delik selesai, melainkan ancaman pidana juga disamakan dengan perbuatan yang telah dilaksanakan sepenuhnya. Ini berarti bahwa karena delik dalam Pasal 104 diancam dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara sementara dengan paling lama 20 tahun, maka permufakatan jahat untuk melakukan perbuatan-perbuatan ini juga diancam dengan pidana yang sama. Dalam Pasal 106 KUHP Pidana ditentukan bahwa makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Maka yang dilarang dalam pasal makar ini dilandasi maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh. Dua, supaya memisahkan sebagian dari wilayah negara.
44
Yang terhormat, Majelis Hakim konstitusi, menurut Pasal 110 ayat (1) KUH Pidana permufakatan jahat untuk melakukan kejahatankejahatan ini juga diancam dengan pidana yang sama. Hal-hal yang telah dikemukakan di atas mengenai permufakatan jahat juga berlaku berkenaan dengan hal ini. Terutama Pasal 170 KUH Pidana menentukan bahwa dengan maksud makar untuk menggulingkan Pemerintah diancam dengan pidana paling lama 15 tahun. Sehubungan dengan Pasal 108 ayat (1) KUH Pidana ditentukan bahwa barang siapa bersalah melakukan pemberontakan diancam dengan pidana paling lama 15 tahun dan seterusnya. Kemudian dalam Pasal 116 KUH Pidana ditentukan permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dimaksud dalam Pasal 113 dan 115 diancam dengan pidana paling lama 1 tahun. Dengan sekilas pandangan saja, segera tampak perbedaan antarketentuan ini dengan Pasal 110 ayat (1), yaitu mengenai ancaman pidananya. Jika menurut Pasal 110 ayat (1) permufakatan jahatnya sama dengan ancaman pidana dengan delik pokoknya, maka permufakatan jahat menurut Pasal 116 ini adalah lebih ringan ancaman pidana daripada pidana pokoknya, menurut Pasal 113 dan 115. Selanjutnya dalam Pasal 113 ayat (1) ditentukan barang siapa dengan sengaja untuk seluruhnya atau sebagian mengumumkan atau memberitahukan maupun menyerahkan kepada orang yang tidak berwenang, mengetahui surat-surat, peta-peta, rencana gambar atau benda yang bersifat rahasia dan petahanan atau keamanan Indonesia terhadap serangan dari luar yang ada padanya atau isinya susunan benda itu diketahui oleh diancam dengan penjara paling lama 4 tahun. Selanjutnya Pasal 113, 115 dan set … dan seterusnya. Yang terhormat, Majelis Hakim konstitusi, apabila meninjau berkaitan dengan rumusan delik sebagaimana Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang 20 Tahun 2001 dengan komperasi, dengan permufakatan jahat sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka pengertian permufakatan jahat sebagai dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan kejahatan hanya memiliki kesesuaian untuk diterapkan terhadap pidana … tindak pidana umum yang tidak mensyaratkan kualitas subjek hukum tertentu pada deliknya. Namun sebaliknya, pemberlakuan pengertian permufakatan jahat tersebut, delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu berpotensi melanggar ham dan refresif, apabila meninjau berbagai tindak pidana keamanan negara dalam beberapa pasal tersebut adalah delik umum yang tidak mensyaratkan kualitas dan kualifikasi tertentu bagi subjek deliknya. Sehingga setiap orang dapat mewujudkan delik tersebut dan dapat pula diterapkan permufakatan jahat dengan pengertian dua orang atau lebih yang sepakat melakukan kejahatan. Namun, persoalannya menjadi berbeda manakala permufakatan jahat dengan penelitian tersebut diberlakukan terhadap delik-delik 45
kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu, pejabat negara, atau pegawai negeri sipil yang diatur dalam norma a quo. Sebab manakala definisi permufakatan jahat tidak diubah, maka definisi permufakatan jahat akan digunakan untuk menjerat siapa pun yang berbincang atau bernegosiasi untuk melakukan delik kualitatif meskipun orang-orang tersebut tidak mempunyai kapasitas tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam perumusan delik pidana, maka perlu memenuhi syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Eddy tadi, yakni lex previa tidak berlaku surut, lex certa harus jelas, lex stricta harus tegas, dan lex scripta harus tertulis, maka meta prequiri atas pembentukan delik pidana tersebut dimaksudkan untuk menopang konsepsi negara hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berkenaan dengan kepastian dan keadilan hukum. Apabila prinsip lex certa tidak dipenuhi unsur-unsurnya sebagaimana dimaksud dalam norma a quo, maka ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Apabila konsep ini merujuk pada Pasal 88 KUHP adalah persoalan kaidah undang-undang yang dapat melahirkan implikasi di kemudian hari. Kondisi normatif sebagaimana termaksud dalam pasal a quo, maka dapat ini tidak mengenai perbuatan karena sarana dan tujuan yang dipilih tidak mungkin menyelesaikan kejahatan tetapi tentang perbuatan yang tidak mungkin mewujudkan rumusan delik karena tidak adanya unsur esensial dalam rumusan ini. Keadaan ini jelas merugikan bagi warga negara dikarenakan perumusan norma yang demikian itu akan memperluas kewenangan penafsiran atas niat jahat yang sesungguhnya, tidak semua subjek hukum memiliki kualitas untuk berbuat jahat atau dasar kualitas kewenangan yang dimilikinya. Bahwa dengan demikian, kualitas yang disyaratkan dalam delik kualitatif adalah kualitas-kualitas yang secara hukum ditentukan dalam aturan pidana yang menyebabkan delik tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja. Kualitaskualitas tertentu dapat berupa jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan, ataupun keadaan tertentu yang ditentukan terhadap subjek tertentu. Oleh karena itu, pemaknaan dan penafsiran kaidah norma permufakatan jahat dalam norma a quo bertujuan untuk menguatkan dua hal. Pertama, memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat melalui seleksi normatif atau siapa sajakah yang jadi subjek yang dituju oleh norma hukum pidana dan mana yang tidak dituju oleh norma tersebut. Keduanya mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penegak hukum terhadap masyarakat. Hal ini sama dengan Prof. Eddy. Selain itu dalam perumusan tindak pidana yang terdiri dari subjek delik (suara tidak terdengar jelas) perbuatan yang dilarang (strafbaar), dan ancaman pidana (straafmaat), maka unsur straafbar-lah yang mengatur bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang secara jelas dan tegas, baik
46
dengan merinci bentuk perbuatannya maupun dengan cara merujuk pada pasal-pasal tertentu. Berdasarkan hal itu, maka frasa permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 sampai dengan Pasal 14 adalah rumusan delik yang tidak jelas dan multitafsir karena tidak memuat bentuk perbuatan secara cermat. Adanya ketidaktegasan dan ketidakcermatan rumusan delik dalam norma a quo jelas menghilangkan kepastian hukum, jaminan dan perlindungan hak asasi setiap orang yang terlibat dalam proses hukum dengan dugaan tindak pidana korupsi. Sebab tanpa pengaturan yang tegas dan cermat tentang bentuk-bentuk tindak pidana dalam frasa tindak pidana korupsi yang diatur dalam norma a quo, maka fungsi tindak pidana untuk memberikan peringatan yang jelas bagi masyarakat tidak tercapai. Pada akhirnya kepastian hukum menjadi terabaikan, ketidakpastian hukum, dan ketidakcermatan kaidah atau norma a quo dapat melahirkan pelanggaran hak asasi secara konkret dan nyata. Pada persidangan rekonstruksi dakwaannya tidak akan menguraikan tindak pidana korupsi secara spesifik berdasarkan pasal tertentu. Tetapi hanya menguraikan perbuatan yang secara subjektif dianggap oleh penegak hukum sebagai tindak pidana korupsi yang pada akhirnya akan merugikan hak konstitusional warga negara, khususnya berkenaan dengan hal konstitusional atas kepastian hukum, atas hukum yang berkeadilan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Demikian keterangan yang disampaikan. Assalamualaikum wr. wb. 55.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam. Terima kasih, Prof. Terakhir, tinggal satu, Pak Dr. Dian Adriawan. Ya, silakan.
56.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20,21/PUU-XIV/2016: DIAN ADRIAWAN DAENG TAWANG Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Hukum Termohon, para ahli dan para hadirin yang saya hormati. Izinkan saya untuk menyampaikan keterangan Ahli terkait dengan adanya permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 44 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Hakim Yang Mulia, sesuai dengan lafal sumpah yang sudah saya ucapkan, maka keterangan yang saya sampaikan berikut ini 47
adalah keterangan yang sesuai dengan bidang ilmu yang saya tekuni selama ini, yakni ilmu hukum pidana, khususnya hukum pidana formil. Majelis Hakim Yang Mulia bahwa Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik mengandung ketidakjelasan dan kekaburan atau bersifat multitafsir. Hal ini disebabkan karena di dalam rumusan pasal dan ayat tersebut tidak mengatur secara tegas kriteria informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Apabila mencermati konsep negara hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, harus memuat tiga aspek atau prinsip untuk selalu mendapatkan perhatian dan dijamin keberadaannya serta dianut secara universal, yaitu: 1. Pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia di mana hak asasi tersebut hanya dapat dirampas atau dibatasi dengan persetujuan rakyat. 2. Asas legalitas di mana semua badan atau lembaga negara dan warganya harus mendasarkan tindakannya pada aturan hukum yang sudah ada, sehingga hukum hanya mengikat ke depan demi kepastian hukum. 3. Adanya peradilan yang merdeka, mandiri, dan tidak memihak. Salah satu prinsip yang harus diterapkan dalam sebuah negara hukum (rechtsstaat) adalah penerapan asas legalitas (legality principle) di mana asas ini diharapkan dapat mewujudkan adanya kepastian hukum dalam suatu proses penegakkan hukum. Kepastian hukum merupakan hak konstitusional dari setiap orang, hal ini disebabkan karena atas kepastian hukum inilah yang menjadi prasyarat yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan negara hukum. Adapun wujud kepastian hukum adalah adanya ketegasan tentang berlakunya suatu aturan hukum atau nullum crimen nulla poena sine lege certa. Adanya prinsip lex certa mengharuskan suatu aturan hukum berlaku mengikat secara tegas karena tidak ada keragu-raguan dalam pemberlakuannya. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum. Majelis Hakim Yang Mulia. Hukum pidana sebagai salah satu hukum publik yang berlaku di Negara Indonesia menganut asas legalitas yang merupakan asas fundamental yang berlaku baik dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Dalam asas legalitas tersebut menyaratkan adanya ketegasan tentang berlakunya suatu aturan hukum karena untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia. Untuk … khusus mengenai hukum pidana formil atau hukum acara, pengaturan tentang alat bukti harus didasarkan pada alat bukti yang sah. Dalam hukum acara pidana, alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 48
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 yang dikenal dengan namanya KUHAP. Sedangkan dalam undang-undang yang lain juga ditemukan pengaturan mengenai alat bukti yang sah yang merupakan ketentuan khusus dalam hukum acara pidana. Salah satu yang mengharuskan secara khusus mengenai alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari Pasal 184 KUHAP, ditemukan di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 44 huruf b UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Pengaturan alat bukti yang diatur secara khusus tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 dan Pasal 44 tersebut, seharusnya diberlakukan pada kejahatankejahatan yang menggunakan sarana elektronik yang norma dan ketentuan pidananya dirumuskan secara terpisah di dalam UndangUndang ITE tersebut. Namun, sebelum diundangkan Undang-Undang ITE tersebut, pengaturan tentang alat bukti lain yang tersimpan atau terekam secara elektronik sudah diatur di dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tentunya hal ini tidak … tentunya hal ini tidak menimbulkan suatu masalah di dalam proses penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena secara tegas Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan terhadap aparat penegak hukum lain yang juga memiliki kewenangan menangani tindak pidana korupsi, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan, tidak memiliki kewenangan secara khusus melakukan tindak pidana penyadapan dan merekam pembicaraan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut. Majelis Hakim Yang Mulia, dalam perkembangan hukum acara pidana saat sekarang ini dengan adanya pengaturan soal alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ITE, nampaknya muncul masalah yakni adanya multitafsir rumusan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) karena rumusan tersebut terlalu luas dalam pengertian informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang merupakan alat bukti hukum yang sah. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 diuraikan bahwa dalam ayat (1)-nya, “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Ayat (2)-nya, “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.” 49
Ketentuan Pasal 5 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 44 huruf b yang mengatur, antara lain alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undangundang ini adalah sebagai berikut. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2), dan ayat (3). Bahwa frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah sepanjang tidak dibuat pembatasan dan kejelasan makna yang terkandung di dalamnya tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan masalah hukum yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana di Indonesia. Masalah hukum yang dimaksud terkait dengan siapakah yang mendapatkan dan menemukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya jika dihubungkan dengan perbuatan perekaman yang dihasilkan, yang menghasilkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya. Apakah setiap orang yang mendapatkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya melalui perekaman dan/atau penyadapan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, ataukah hanya dibatasi pada orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang memiliki wewenang berdasarkan undang-undang. Majelis Hakim Yang Mulia, apabila setiap orang tanpa kecuali yang mendapat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya melalui perekaman dan/atau penyadapan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam suatu proses penegakan hukum pidana, maka hal ini merupakan suatu ancaman terhadap jaminan kerahasiaan pribadi seseorang. Bahwa jaminan kerahasiaan pribadi seseorang merupakan hak asasi yang bersifat universal dan telah diakui secara internasional, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 covenant international tentang hak sipil dan politik, yaitu dalam ICCPR. Bahwa menurut Pasal 17 covenant international tentang hak sipil dan politik tersebut mengatur bahwa tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampur tangani perihal kepribadiannya, keluarganya, rumah tangganya, atau surat menyuratnya. Demikian pula tidak boleh dicermati kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah. Rumusan Pasal 17 ICCPR tersebut memberikan perlindungan kepada seseorang agar tidak mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang dan perlakuan yang tidak sah atas kepribadiannya, keluarganya, rumah tangganya, atau surat menyuratnya, kehormatannya dan nama baiknya. Berdasarkan pasal tersebut meskipun hak privasi tidak termasuk di dalam non dari (suara tidak terdengar jelas) rights sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hak 50
tersebut hanya dapat dibatasi dengan adanya undang-undang yang terlebih dahulu mengaturnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, dengan tidak adanya undang-undang yang mengatur secara rinci mengenai kewenangan pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan perekaman, maka tindakan perekaman yang dilakukan tanpa izin dari pihak yang menyampaikan sesuatu secara lisan, dan perekaman yang dilakukan oleh lembaga yang tidak berwenang sebagaimana diatur dalam undangundang hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Disamping ancaman jaminan kerahasiaan pribadi seseorang merupakan hak asasi yang bersifat universal juga melanggar hak warga negara atas rasa aman, dan jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga perbuatan merekam atau menyadap pembicaraan orang lain yang dilakukan tanpa wewenang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Majelis Hakim Yang Mulia, masalah yang tidak kalah pentingnya dalam konteks penegakan hukum pidana yang merupakan wujud dalam upaya menjamin hak atas kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehubungan dengan adanya pengaturan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah mengenai bagaimana penentuan status informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh melalui tindakan perekaman yang dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Pertanyaan yang dapat timbul dalam menentukan status hukum informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetak yang diperoleh melalui tindakan perekaman sebagai alat bukti yang sah adalah apakah hasil perekaman dan/atau penyadapan itu baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup? Yang berarti bahwa perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti atau justru perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Bahwa untuk menjawab apakah hasil perekaman dan/atau penyadapan yang baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup. Perlu dipahami terlebih dahulu, pengertian bukti permulaan yang cukup. Dalam hal ini terpenuhinya dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, ya. Pasal 184 KUHAP sebagaimana yang tercantum di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Bahwa tindakan mengumpulkan bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia berdasarkan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebenarnya dilakukan dalam tahapan penyidikan. 51
Oleh karena itu seharusnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetak yang diperoleh melalui tindakan perekaman dan/atau penyadapan sebagai alat bukti yang sah, justru digunakan pada saat penyidikan berlangsung, bukan pada saat penyelidikan atau di luar kegiatan tersebut. Guna dijadikan sebagai bukti tambahan atau menjadi pelengkap dari bukti permulaan yang sudah dikumpulkan sebelumnya oleh penyidik. Namun jika hal tersebut tidak dilakukan, maka informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh melalui tindakan perekaman dan/atau penyadapan. Yang tidak didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam undang-undang adalah bukan alat bukti yang sah. Bahwa tindakan perekaman dan/atau penyadapan yang dilakukan tanpa suatu dasar hukum yang mengaturnya merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, dan hasil perekaman dan/atau penyadapan tidak bisa digunakan sebagai alat bukti di persidangan pengadilan. Bahwa penggunaan hasil perekaman dan/atau penyadapan yang merupakan alat bukti yang tidak sah, akan menuju kepada suatu persangkaan yang tidak wajar yang bertentangan dengan due process of law. Hal ini sangat membahayakan dalam proses penegakan hukum pidana karena posisi sebagai alat bukti dapat menentukan status seseorang dalam proses pemeriksaan pembuktian di persidangan … di persidangan pengadilan untuk dinyatakan bersalah atau tidak bersalah oleh Hakim. Majelis Hakim Yang Mulia. Bahwa apabila dalam hal hasil dari perbuatan perekaman dan/atau pembicaraan yang dilakukan seseorang yang tidak memiliki wewenang untuk melakukan … untuk melakukannya. Digunakan untuk mencari bukti permulaan yang cukup, maka hal ini akan membuat setiap orang merasa tidak bebas untuk berbicara karena akan dihantui oleh rasa takut dan khawatir pembicaraannya akan direkam dan/atau disadap oleh orang lain. Yang kemudian hasil rekaman dan/atau penyadapan tersebut akan digunakan sebagai bukti permulaan yang cukup, yang dapat menjerat dirinya dalam masalah hukum pidana. Majelis Hakim Yang Mulia. Bahwa seharusnya negara hadir dalam memberikan perlindungan kepada warga negaranya dari perbuatan yang dapat menimbulkan rasa takut untuk berbicara. Yang merupakan hak asasi manusia dan terbebas dari perbuatan merekam dan/atau menyadap yang dilakukan tanpa wewenang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 52
Bahwa kenyataannya sampai saat ini pengaturan mengenai kapan hasil rekaman sudah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Belum secara tegas diatur di dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik. Sehubungan dengan hal tersebut, masalah yang dapat timbul adalah munculnya multitafsir atas muatan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang tidak menutup kemungkinan dapat disalahgunakan oleh oknum tertentu yang ingin mengambil keuntungan atau kesempatan untuk merugikan orang lain dan/atau menjatuhkan kredibilitas seseorang. Bahkan yang paling ekstrim terjadi adalah penyalahgunaan wewenang dari oknum aparat penegak hukum yang berujung pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Majelis Hakim Yang Mulia. Demikianlah keterangan saya, semoga keterangan ini dapat menjadi masukan dan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Wabillahitaufik walhidayah wassalamualaikum wr. wb. 57.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam wr. wb. Ya, terima kasih, Pak. Masih ada waktu sekitar 15 menit, ya. Ada hal-hal yang ingin didalami atau ditanyakan lebih lanjut?
58.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
NOMOR
20,21/PUU-
Ada, Yang Mulia, sedikit. 59.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Kepada siapa?
60.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
Kepada Dr. Chairul Huda dengan Prof. Eddy untuk permufakatan jahat. 61.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
53
62.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Kemudian, nanti rekan saya yang menambahkan untuk yang Perkara Nomor 20-nya. Untuk Dr. Chairul Huda, untuk Ahli, tadi mengatakan tentang Pasal 103 KUHP. Nah, jika didalilkan pada Pasal 103 KUHP, Pasal 88 ini kan tidak bisa diberlakukan terhadap aturan pidana di luar KUHP. Sementara, khusus untuk Undang-Undang Tipikor sendiri tidak merujukkan frasa permufakatan jahat itu kepada Pasal 88. Nah, yang mau saya tanyakan adalah apakah dari segi (Ahli menggunakan bahasa asing) itu, permufakatan jahat dalam pasal tersebut memenuhi syarat enggak untuk dikatakan sebagai norma atau aturan pidana? Itu yang pertama. Kemudian, yang kedua, sebagai perluasan tindak pidana, apakah permufakatan jahat itu tunduk pada tindak pidana pokoknya? Sehingga, harus … memang harus disebutkan dalam staatsblad-nya? Nah, dalam kaitannya dengan itu, bagaimana perumusan yang dianggap benar menurut hukum pidana? Sehingga, tidak menimbulkan multitafsir ketika orang itu membaca dan mendalaminya. Kemudian, satu lagi untuk Ahli Chairul Huda. Kalau dalam KUHP, Pasal 88 itu kan hanya diterapkan secara limitatif terhadap kejahatan yang dianggap serius, dalam hal ini adalah kejatahan terhadap negara. Nah, pertanyaan kami adalah apakah tindak pidana korupsi itu mempunyai tingkat bahaya yang sama dengan kejahatan negara? Sehingga, apa itu harus diatur permufakatan jahat dalam UndangUndang Tipikor itu? Itu dari … untuk Dr. Chairul Huda. Kemudian, untuk Prof. Eddy (suara tidak terdengar jelas). Tadi sempat disinggung tentang meeting of mind. Kebetulan saya menemukan dalam bukunya Andro Aswort [Sic!] yang menyatakan bahwa artinya ketika bicara tentang konspirasi, itu kan ada bahwa (suara tidak terdengar jelas) adalah agreement. Dan dia mengatakan bahwa meeting of mind ini kan tidak hanya sekadar negosiasi. Nah, dikaitkan dengan apa yang Ahli tadi sampaikan tentang ada objektif permufakatan jahat. Kemudian, ada subjektif permufakatan jahat. Apakah subjektif dan objektif permufakatan jahat ini adalah satukesatuan yang tidak terpisahkan? Yang berarti bahwa untuk tercapainya permufakatan jahat itu, bukan hanya sekadar niat, tapi juga ada tindak lanjut daripada niat itu dalam bentuk perbuatan persiapan. Itu saja untuk yang Perkara Nomor 21. 63.
KETUA: ANWAR USMAN Masih ada?
54
64.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD AINUL SYAMSU
NOMOR
20,21/PUU-
Masih ada untuk yang Nomor 20, Yang Mulia. 65.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
66.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: SYAEFULLAH HAMID
NOMOR
20,21/PUU-
NOMOR
20,21/PUU-
Satu saja, Majelis. 67.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
68.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: SYAEFULLAH HAMID
Terkait dengan Perkara Nomor 20. Saya tujukan kepada Dr. Dian. Terkait dengan yang disampaikan tadi dalam pendapat hukumnya, disampaikan bahwa hak privasi itu walaupun tidak termasuk dalam … eh, tidak termasuk dalam nonderogable right, seperti yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tapi hak tersebut hanya dapat dibatasi berdasarkan undang-undang yang harus terlebih dahulu mengaturnya. Ini sudah di … ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya. Yang kami mau tanyakan, apakah dengan demikian, dengan tidak adanya pengaturan, khususnya tentang perekaman itu, sampai hari ini tidak ada undang-undang yang mengatur tentang perekaman. Dan melarang pun, kalau kita lihat dalam Undang-Undang ITE yang dilarang secara khusus, itu hanya tentang penyadapan, intersepsi terkait perekaman sendiri tidak diatur. Apakah ini menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan tentang alat bukti elektronik yang tidak diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 44 ayat … eh, huruf b, dan begitu pun dalam Pasal 26A Undang-Undang Tipikor, ini menunjukkan, inilah yang menunjukkan bahwa terjadi ketidakjelasan di sana, sehingga menimbulkan kemungkinan untuk terjadinya kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukum. Seperti itu, Pak.
55
69.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Ditunggu, biar sekaligus. Dari Kuasa Presiden, ada ditanyakan? Atau cukup?
70.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia, mohon izin (suara tidak terdengar jelas).
71.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
72.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Kepada Ahli Yang Terhormat Dr. Chairul Huda. Bahwa pengujian ini adalah untuk menguji norma permufakatan jahat yang didalilkan oleh Pemohon lex certa, sehingga menghadirkan ketidakpastian hukum dan Dr. Chairul Huda di dalam makalahnya ini halaman 3, saya kutip, Yang Mulia. Sehingga memperluas bekerjanya Pasal 103, maka norma permufakatan jahat dapat dipandang sebagai norma yang samar pengertiannya. Yang samar pengertiannya, yang bertentangan dengan konstitusi. Karena tidak menjamin kepastian hukum. Kemudian, ada juga bahwa … pendapat bahwa kepastian hukum adalah negara pemerintah wajib melaksanakan setiap peraturan perundang-undangan, ya, negara pemerintah wajib melaksanakan setiap peraturan perundang-undangan. Sehingga sesamar apapun norma tersebut, sesamar apapun norma tersebut, maka pemerintah wajib melaksanakan norma tersebut, sehingga ketika dilaksanakan norma tersebut, ada masyarakat yang dirugikan, maka tentu rakyat mencari kepastian hukum pada level kedua ke pengadilan. Sehingga akan tercipta kepastian pada level kedua. Sehingga pertanyaan kepada Ahli adalah apakah dari pengalaman Ahli, ada norma yang bebas dari tafsir? Sejelas apa norma yang bebas dari tafsir? Ataukah dari pengalaman Ahli bahwa sejelas apa pun norma tersebut, selalu akan dimaknai dengan tafsir yang sesuai dengan kepentingannya, baik dari dimensi waktu, dimensi jabatan, atau dimensi yang lain? Itu yang apakah seperti itu? Sehingga tafsir adalah akan selalu muncul di sore hari ini pada siang … sore hari ini, Para Ahli dihadirkan oleh Para Pemohon ketika nanti Pemerintah menghadirkan Para Saksi … Para Ahlinya, tentu juga dengan tafsir yang berbeda. Sehingga barangkali juga dari Ahli bisa menjelaskan, apakah tafsir yang berbeda ini berujung pada ketidakpastian hukum? Terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih.
56
73.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Terima kasih. Dari meja Hakim, Yang Mulia Pak Palguna.
74.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Oh, saya dulu. Terima kasih, Pak Ketua. Saya sungguh berterima kasih kepada Para Ahli yang pada sore hari ini memberikan kuliah hukum pidana gratis buat kita. Benar-benar ini kuliah satu semester, tetapi ada satu hal yang mengusik saya. Ini terserah, apakah siapa yang akan menjawab di antara Para Ahli ini. Begini, kita semua tahu dalam hukum pidana itu tegas dilarang, gitu kan ya, paling tidak secara doktriner penggunaan analogi, ya, yang kita tahu, gitu. Dilarang untuk menggunakan analogi. Nah, ini yang mengusik saya dari tadi itu. Kalau dalam hukum pidana begitu ketatnya kita, Prof. Eddy menyampaikan itu, Bapak Chairul Huda juga, dan Ahli yang lain, 4 asas yang tidak bisa disimpangi yang kemudian bahkan ditempatkan di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP kita, kita sebut kita, walaupun kita nyontek dari Belanda. Nullum crimen sine lege praevia, nullum crimen sine lege scripta, nullum crimen sine lege certa, Nullum crimen sine lege stricta. Seolah-olah di situ ti … hampir tidak memberikan ruang sama sekali kepada Hakim untuk melakukan penemuan hukum, khususnya melalui penemuan hukum penafsiran. Seolah-olah begitu. Tetapi, fakta yang kita lihat, ternyata tidak seperti itu, ruang penafsiran itu masih tetap ada. Yang menjadi pertanyaan saya kemudian adalah apakah benar anggapan saya bahwa penafsiran masih ada dalam hukum pidana sebagai bagian dari penemuan hukum rechtsvinding yang tidak … saya kira hukum pidana … dalam lapangan hukum pidana juga … apa namanya … tidak ada larangan buat Hakim untuk melakukan rechtsvinding? Yang dilarang adalah melakukan rechtsvinding melalui … akhirnya kita tahu kan rechtsvinding dilakukan melalui dua hal, bisa penafsiran, bisa melalui konstruksi hukum. Yang dilarang adalah melakukan rechtsvinding, melakukan … dengan konstruksi hukum melalui anologi. Argumentum peranalogian, itu yang dilarang. Tapi yang kita belum dijelaskan yang kita belum tahu dari Ahli tadi yang belum kita dapatkan dari Ahli tadi adalah bagaimana dengan jenis-jenis penemuan hukum yang lain, khususnya penafsiran yang mau saya tanya. Nah, itu 1a-nya, 1b-nya, kemudian pertanyaan saya adalah kalau memang benar ada penafsiran dalam penafsiran itu diterima minimal secara doktriner dalam hukum pidana, apakah ada semacam pengutamaan penafsiran dalam hukum pidana itu? Misalnya apakah sistematis dulu, apakah historis dulu? Nah, karena ta … lalu pertanyaannya begini. Karena terakhir ini berkembang dalam ajaran hukum yang namanya penafsiran 57
antisipatoris, bagaimana kedudukan penafsiran itu? Kalau penafsiran memang masih diterima dalam hukum pidana. Itu pertanyaan saya, terima kasih. 75.
KETUA: ANWAR USMAN Masih sebelah kanan? Sebelah kiri, ya, Yang Mulia Pak Suhartoyo.
76.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Ke Pak Chairul Huda dulu, ya. Saya kecewa kalau Pak Chairul Huda pulang cepat tadi, ternyata enggak. Begini, Pak Chairul Huda, nanti juga ada sedikit untuk Prof. Eddy. Sebenarnya kan kita mempersoalkan bahwa ada penggabungan antara pasal … mestinya Pasal 53, 55, atau 56 dengan 88 di Pasal 15 itu dengan tindak pidana korupsi. Delik selesainya kan di situ, anu … korupsinya itu. Nah, persoalannya begini, Pak Chairul Huda. Kalau kita mengharamkan atau mempersoalkan atau mendiskusikan ini menjadi agak … apa … dari angle-angle yang macam-macam yang sehingga kita tidak punya kesamaan. Apakah kemudian kalau norma Pasal 15 ini kemudian daripada menimbulkan multitafsir dan menimbulkan persoalan, bagaimana kalau dilarikan saja ke Pasal 2, Pasal 3, dan seterusnya dijuncto-kan Pasal 53, 55, 56, ataupun 88 sekalian? Apakah juga itu bisa mengamankan kalau ada seseorang yang disangka melakukan tindak pidana Pasal 15? Artinya apakah itu juga kemudian menyelesaikan masalah? Mungkin nanti bisa ditambahkan Prof. Eddy juga. Karena Prof. Eddy juga tadi kalau tidak salah berpendapat bahwa ada kekurangtepatan ketika menempatkan Pasal 88 itu, permufakatan jahat tidak di depan, dari delik yang selesai itu. Nah, artinya, itu kalau kita cermati, Prof. Eddy, itu sebenarnya kan alternatif, bisa percobaan dulu, bisa pembantuan dulu, atau juga mungkin pada konteksnya kalau disangka itu adalah memang 88, yang percobaan dan 55-nya disingkirkan. Artinya, penyidik bisa berimprovisasi di situ. Apakah dengan demikian ada yang salah, Prof. Eddy? Satu. Kemudian yang kedua, mengenai alat bukti elektronik tadi yang kata Prof Eddy bahwa itu bagian dari petunjuk yang menurut Prof. Eddy itu bukan sesuatu yang mestinya bisa dikategorikan bersifat kualitatif, gitu ya? Benar ya, Prof, ya? Tapi kalau saya punya pandangan agak berbeda. Kita diskusi sedikit bahwa justru alat bukti petunjuk, itu kan diperoleh dari 3 elemen, keterangan terdakwa, surat, keterangan saksi. Justru malah multikualitatif menurut saya. Dan untuk mendapatkan bukti petunjuk itu adalah kan rangkaian keadaan yang bersesuaian dan dari kesesuaian itu terbentuklah sebuah peristiwa pidana. Artinya untuk menentukan adanya peristiwa pidana adalah dibutuhkan komponen58
komponen yang menurut saya sangat kualitatif. Beberapa komponen yang masing-masing sub adalah kualitatif. Tolong ini nanti dijelaskan, supaya kita juga tidak menjadi mengaburkan bahwa ternyata kualitas daripada bukti elektronik itu ternyata hanya sebatas itu. Jangan ada pemahaman seperti itu di dalam persidangan ini dan barangkali kan persidangan ini juga terbuka untuk umum. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tanyakan dengan Pak Chairul Huda, tapi waktu ini. Terima kasih, Pak Ketua. 77.
KETUA: ANWAR USMAN Yang Mulia.
78.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Ini … ya, saya sama pandangan saya bahwa banyak sekali para Ahli turun dan hebatnya, satu pikiran. Jadi, saya tidak yakin ada satu desain. Karena penjelasannya dilandasi oleh pertanggungjawaban ilimiah dan landasan hukum, sehingga akurasinya seperti dikatakan oleh Pak Palguna dan Pak Suhartoyo, kita memang mendapatkan kuliah yang luar biasa ini, walaupun kita berkecimpung juga dalam pidana selama ini. Tapi saya bangga juga adik saya Hotman Sitorus, kali ini dia bicara. Ini kita sama Kumham, ya. Bagus. Jadi jangan diam-diam saja, ini bagus. Persoalan yang ingin kita dalami dalam persidangan ini, ini kan berkaitan dengan persoalan perlindungan seorang warga negara ya atas … untuk mendapatkan satu kepastian hukum, keadilan ya, meskipun tadi Prof. (suara tidak terdengar jelas) mengatakan bahwa alat bukti elektronik itu petunjuk, itu adalah dalam otoritas Hakim pada saatnya, ya. Keadilannya itu nanti, tapi bukan pada proses … bukan pada proses penyidikan, tapi penyelidikan justru ya … eh, penyidikan ya. Penyidikan kalau memang sudah ada dua alat bukti baru. Saya kira ini sangat penting, sangat dalam karena kita ingin menjaga citra negara hukum kita, ingin … bagaimana hak asasi manusia ke depan itu betul-betul bisa ditegakkan dengan baik ya, bagaimana the rule of law, (suara tidak terdengar jelas), subjektivitas para penegak hukum haruslah nomor sekian, tapi tentu kita mengutamakan sistem. Oleh karena itu, paparan yang disampaikan oleh para Ahli saya kira sangat baik. Pada persidangan yang lalu, kami juga ada teleconference dengan Ahli yang berasal dari Australia, juga reputasinya luar biasa dalam perkara lain, tapi saya sempat menanyakan pada waktu itu bagaimana kalau pembicaraan pribadi antara dua orang atau lebih yang tidak dimaksudkan untuk kepentingan untuk kepentingan umum terus salah satu diantaranya menyebarkan secara luas ke luar dan tanpa izin, saya lupa namanya, siapa waktu itu beliau mengatakan itu perbuatan 59
kriminalitas. Jadi, bia dianggap sebagai suatu kriminalisasi. Ya, siapa namanya lupa saya. Saya ingin tanggapan karena sekali lagi saya … komentar saya tadi ini berkaitan dengan kepentingan semua orang, ya. Jangan sampai terjadi persoalan-persoalan penafsiran itu lebih pada penafsiran subjektifitas penegak hukum karena memang ada kekuasaan. Di satu sisi rakyat memang tidak bisa melakukan perlawanan kecuali patuh. Nah, kalau memang rakyatnya masih bisa berpikir mendatangkan para ahli seperti sekarang, ya mungkin it’s ok, tapi banyak sekali kejadian-kejadian kriminalisasi di penjuru republik ini yang enggak bisa ngapa-ngapain karena lebih pada penafsiran pribadi itu. Nah, pertanyaan saya adalah saya tidak terlalu banyak, ya. berkenaan dengan kasus yang dihadapi oleh Pemohon ini, kita bukan mengadili kasus konkret tetapi ini pintu masuk untuk menguji norma dalam undang-undang ini. Tadi hampir semua Prof ini atau guru besar ini mengatakan bahwa delik di dalam KUHP itu sudah dibagi-bagi, ada yang memang memerlukan kualitas untuk dia bisa sampai dinyatakan bisa melakukan suatu delik tapi ada juga yang memang umum tidak dibedabedakan. Pertanyaan satu, to the point. Silakan nanti siapa yang jawab dalam kasus yang dialami ini, apakah persoalan yang dihadapi oleh Pemohon Prinsipal, deliknya ini memerlukan kualitas apa tidak? Karena dia dituduh bermufakat melakukan suatu kejahatan korupsi dalam rangka memperpanjang izin PT Freeport. Buktinya disebutkan di sini. PT Freeport itu siapa yang berwenang mengeluarkan izinnya? Apakah orang dengan ngobrol-ngobrol seperti ini yang tidak punya kapasitas, kualitas, terus bisa langsung diambil alih bahwa ini telah melakukan persekongkolan jahat karena memang dia kebetulan adalah pejabat negara? Pejabat negara pun kan juga harus dilindungi dalam arti posisi penegak hukum tadi. Saya hanya minta komentar itu saja supaya lebih konkret. Kalau yang lain-lain saya pikir saya sudah cukup jelas. Terima kasih. 79.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Masih ada Yang Mulia Ibu Maria?
80.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, saya akan menanyakan pada ke ahli, siapa yang akan menjawabnya karena saya selalu kalau berhubungan dengan hukum pidana dan perundang-undangan ini, saya prinsip yang keempat itu yang selalu saya tergelitik oleh prinsip keempat itu nullum crimen nulla poena sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat) gitu. Seberapa ketat sehingga kita karena biasanya justru para pembentuk undang-undang itu karena kita selalu mengatakan perundang-undangan itu sifat normanya adalah umum, 60
abstrak, dan terus-menerus. Abstrak di sini itu bisa dirumuskan secara los sekali begitu. Sehingga kemudian menimbulkan berbagai penafsiran dan kalau kita melihat dengan perumusan yang abstrak itu, ini memberikan suatu … suatu hak atau kewajiban hakim untuk menafsirkan atau memberikan interpretasi sampai sejauh mana perbuatan pidana itu telah dilakukan. Nah, sampai sejauh mana kalau di kita kan ini harus ketat, itu sampai batasan mana karena memang sebagai perancang perundang-undangan biasanya justru daripada nanti setengah-setengah ya kasih saja lepas begitu. Nah, ini … ini kadang-kadang saya melihat bahwa kok ini beda sekali dengan prinsip yang keempat ini. Itu saja, Prof. 81.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Ada, saya sedikit saja mungkin untuk ke yang empat Ahli. Kalau dalam perdata ya, hukum perdata sudah jelas ya, ya permufakatan atau kesepakatan itu lebih bisa timbul apabila ada persetujuan dari kedua belah pihak atau masing-masing menyepakati sesuatu. Lalu dikaitkan dengan Pasal 15 ini kalau dalam pidana ya mungkin ini ada kaitannya dengan pertanyaan dari Yang Mulia Pak Patrialis untuk memenuhi unsur dalam Pasal 15 ini, sejak kapan? Artinya, kalau memang kesepakatan dari dua orang atau dua pihak itu belum bisa ditemukan, lalu bagaimana menurut Para Ahli, apa bisa itu? Mungkin ada kaitannya dengan tadi, Pak Patrialis. Silakan, mungkin dari pertanyaan baik Pemohon maupun dari Para Yang Mulia, bisa dimulai dari Prof. Eddy, silakan.
82.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20,21/PUU-XIV/2016: EDWARD OMAR SHARIF HIARIEJ Ya, terima kasih Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Saya akan menjawab secara simultan, baik yang ditanyakan oleh Pemohon maupun Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang pertama, saya harus menjawab dengan tegas bahwa dalam konteks teori yang namanya pemufakatan jahat tidak hanya membutuhkan subjektif dari permufakatan jahat, hanya berupa niat saja tetapi juga harus ada objektif permufakatan jahat. Jadinya tidak hanya tindakan persiapan, tapi sudah lebih jauh daripada tindakan persiapan. Itu sebanya, Yang Mulia, mengapa sampai ditegaskan berulang kali oleh Jermehol [Sic!] maupun Moeljatno sendiri, menyatakan bahwa sebetulnya tidak ada perbedaan asasi antara perbuatan persiapan, dalam hal ini adalah pemufakatan jahat dan permulaan pelaksanaan di dalam konteks percobaan. Oleh karena itu, saya dapat memahami ketika tadi memberikan keterangan Ahli Prof. Natabaya lebih banyak menyinggung soal 61
percobaan. Karena pada dasarnya objektif pemufakatan jahat itu adalah permulaan pelaksanaan. Sehingga kalau tidak terpenuhi maka tidak ada pemufakatan jahat, jadi meeting of mind itu adalah hal yang mutlak harus ada di dalam pemufakatan jahat. Kemudian yang kedua, ini mengenai pertanyaan yang diberikan oleh Yang Mulia Dr. Palguna maupun Prof. Maria karena ini berkaitan dengan larangan analogi dalam hukum pidana, pertanyaan yang mendasar dari Dr. Palguna, apakah penemuan hukum atau penafsiran itu boleh dilakukan di dalam hukum pidana, dengan tegas saya menyatakan boleh. Penemuan hukum itu terjadi ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, apabila persoalan yang di ... peristiwa yang konkret itu betulbetul tidak diatur oleh undang-undang. Kemungkinan yang kedua, pembentuk undang-undang gagal merumuskan atau meformulasikan suatu aturan hukum. Atau yang ketiga, aturan itu ada tetapi kemudian multitafsir atau tidak jelas. Di sinilah dibutuhkan penemuan hukum. Yang pertama, ini jelas bukan ranah hukum pidana. Jadi kalau misalnya, peristiwa konkret yang terjadi sama sekali belum diatur oleh hukum pidana, maka tidak boleh sampai … apa namanya ... menemukan aturan karena ini jelas bertentangan dengan asas legalitas. Tetapi yang kedua dan yang ketiga, ketika pembentuk undang-undang gagal memformulasikan suatu rumusan pasal, atau misalnya ada rumusan pasal tapi kemudian tidak jelas atau multitafsir, maka di sini boleh dilakukan penafsiran. Ini berkaitan dengan apa yang ditanyakan oleh Prof. Maria. Sejauh mana Hakim itu melakukan intepretasi, pegetatan itu sejauh mana? Yang Mulia Mahkamah Konstitusi, ada tujuh prinsip yang harus dipahami oleh setiap Hakim pidana ketika berkaitan dengan nullum crimen, nulla poena sine lege scripta, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Seberapa ketat? Kalau dia melakukan penafsiran, maka ada tujuh prinsip yang harus dilalui. Batu ujinya itu adalah tujuh prinisip. Yang pertama adalah prinsip proporsionalitas dan subsidaritas. Ini dia melihat dari … apa namanya ... dari perbuatan yang dilakukan, perbuatan yang terjadi kemudian katakata yang tercantum dalam suatu rumusan delik. Yang kedua adalah prinsip yang kita sebut istilah prinsip materiil. Materiil ini dia melihat ini kita masuk pada, kalau dalam kita ... dalam hukum pidana ada ajaran sifat melawan hukum materiil, baik yang positif, maupun yang negatif. Yang ketiga, pengetatan itu berdasarkan prinsip titulus est lex. Titulus est lex ini kita melihat pada judul undang-undang, artinya akan melakukan interpretasi secara sistematis, mulai dari pertimbangan undang-undang tersebut sampai pada pasal yang kemudian diterapkan pada suatu peristiwa konkret. Yang keempat adalah prinsip rubrica est lex. Judul bab itu akan melakukan sejauh mana dia melakukan pengetatan interpretasi. 62
Yang kelima itu yang kita sebut dengan istilah exceptio firmat regulam. Bahwa penfsiran dalam hukum pidana itu, kalau toh itu dilakukan, maka itu lebih pada kepentingan tersangka. Mengapa demikian, ini berkaitan dengan prinsip yang keenam, in dubio pro reo, apabila terdapat keragua-raguan, maka harus ditafsirkan yang menguntungkan tersangka atau terdakwa. Dan yang terakhir adalah prinsip moralitas, di dalam melakukan penafsiran, memang ada antinobi [Sic!] antara satu prinsip dengan prinsip yang lain. Tetapi kalau antinobi kita urut mulai dari yang pertama sampai yang ketujuh, memang hukum pidana itu lebih berat, lebih mementingkan kepada kepentingan individu. Mengapa demikian, Yang Mulia? Karena hakim di mana pun di dunia ini berpegang kepada postulat, “Lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah, daripada menghukum orang yang tidak bersalah.” Mengapa sampai prinsip begitu ketat dan tujuh itu adalah batu uji. Terakhir dari Dr. Palguna bahwa analogi dalam hukum pidana dibagi menjadi dua. Gesetz analogi dan recht analogi. Yang diharamkan dalam hukum pidana itu adalah recht analogi. Jadi analogi dalam rangka menciptakan perbuatan pidana yang baru, kita sebut dengan istilah analogi hukum. Tetapi sepanjang itu gesetz analogi, analogi dalam rangka mengartikan kata-kata dalam undang-undang itu boleh digunakan. Contoh konkret, Yang Mulia, ketika kita berbicara mengenai pencurian listrik, kata-kata menaikkan dan menurunkan saklar itu diartikan sebagai mengambil. Jadi dianalogikan sebagai mengambil. Ini dibolehkan karena dia menganalogi apa ... melakukan penjelasan lebih lanjut mengenai kata-kata mengambil. Kemudian yang berikut yang menarik adalah pertanyaan dari Yang Mulia Pak Suhartoyo. Saya tahu persis karena Bapak mantan hakim, Pak, jadi ... maksudnya hakim pada pengadilan sebelumnya, pengadilan negeri sampai pada tingkat karier tertentu jadi ... saya berpendapat, Yang Mulia, ketika berbicara mengenai dua alat bukti dalam tingkat penyidikan maupun penuntutan, itu sebetulnya dua dari tiga, bukan dua dari lima. Dua dari ... kalau kita bicara lima kan mulai keterangan saksi, surat, keterangan ahli, petunjuk keterangan terdakwa. Dua dari tiga itu, ya, kalau tidak keterangan saksi, keterangan ahli, surat. Karena mohon maaf, saya berpendapat petunjuk ini bukan alat buktinya penyidik, bukan alat buktinya penuntut umum. Pasal 188 jelas bahwa petunjuk adalah alat bukti yang dimiliki oleh hakim. Artinya apa? Di luar hakim tidak ada yang memiliki alat bukti itu. Oleh karena itu, di dalam konteks teori, Yang Mulia, alat bukti petunjuk, pertama dia adalah circumstantial evidence, dia merupakan alat bukti yang tidak langsung. Dan yang kedua dia adalah accessoire evidence, dia tidak mungkin berdiri sendiri. Oleh karena itu, di dalam praktik biasanya hakim menggunakan alat bukti petunjuk meskipun dia sebagai alat bukti dari lima yang ada, 63
tapi hakim lebih banyak menggunakan itu untuk memperkuat keyakinan hakim, bukan untuk melengkapi minimum bukti yang ada. Karena memang itu sesuatu subjektivitas yang melekat pada diri hakim karena itu kalau melihat dengan berita acara persidangan tidak pernah ada alat bukti petunjuk itu diletakkan di dalam karena itu melekat pada diri hakim. Memang ini selalu menjadi perdebatan, Yang Mulia Hakim Konstitusi Pak Suhartoyo. Bahwa orang selalu bertanya, dua alat bukti itu, apakah secara kuantitatif ataukah kualitatif. Kalau bicara ... kalau kita bicara kuantitatif, berarti dua surat sudah dua alat bukti, padahal kan tidak. Kalau bicara mengenai saksi, dua saksi itu bisa jadi dua alat bukti karena Pasal 185 itu berbunyi bahwa keterangan satu orang saksi tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa itu bersalah. Kalau itu diterjemahkan secara a contrario keterangan dua atau tiga, cukup dong. Kalau keterangan dua atau tiga cukup, berarti dua alat ... dua saksi itu bisa menjadi dua alat bukti. Nah, ini yang kemudian menimbulkan perdebatan apakah lima alat bukti di dalam Pasal 184 KUHAP itu dia kualitatif atau kuantitatif. Oleh karena itu, tadi dalam keterangan yang ahli sampaikan bahwa yang dimaksudkan di sini bahwa bukti petunjuk, Ahli lebih berpendapat untuk memperkuat keyakinan hakim meskipun adalah sesuatu yang sah jika hakim menggunakan itu untuk melengkapi alat bukti dalam rangka memperoleh (suara tidak terdengar jelas) minimum atau minimum bukti. Jadi ini memang debatable. Kemudian yang terakhir yang mungkin tadi di … apa namanya ... ditanyakan oleh Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar. Ya, memang benar juga apa yang disampaikan oleh Pak Hartoyo, kenapa tidak di-juncto-kan saja dengan Pasal 53 atau dengan Pasal 55. Nah, ini yang kemudian memang kalau toh itu persoalan permufakatan jahat itu memang mau diatur di luar KUHP, artinya dalam konteks terorisme atau narkotika seharusnya memang pasal yang dilanggar itu disebutkan secara detail, sehingga tidak multi tafsir seperti apa yang disampaikan oleh apa namanya ... oleh Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar karena ini tidak jelas meeting of mind-nya apa yang disepakati? Tidak ada ini dalam prinsipal yang melakukan … apa namanya ... permohonan dan ini kebetulan karena ini adalah sidang Yang Mulia dan ada aturan yang menyatakan seseorang tidak akan dihukum karena pernyataannya di sidang pengadilan. Kebetulan memang ketika kejaksaan agung melakukan gelar perkara selama 4 jam, kami diundang di situ dan apa yang kami sampaikan di sini adalah seperti apa yang kami sampaikan di depan jaksa agung muda tindak pidana khusus ketika melakukan gelar perkara atas kasus ini. Sehingga mungkin ada beberapa berita yang ada di Kompas pada ... kalau saya tidak salah hari Sabtu atau hari Minggu, itu memang dinyatakan dengan tegas bahwa kejaksaan agung untuk sementara memang mandek karena masih mencari bukti. Jadi belum bisa 64
diteruskan karena memang menurut penilaian kami ini belum sampai pada ... apa namanya ... permufakatan jahat dan itu waktu itu bukan kami sendiri, maka yang lebih ekstrem di situ berpendapat adalah Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya dari UNDIP yang dengan tegas bahwa jangankan permulaan pelaksanaan, niat saja menurut beliau belum. Kalau saya mungkin masih moderat, niat ada tapi belum ada permulaan pelaksanaan sehingga objektifitas pemufakatan jahat itu tidak terpenuhi. Dengan demikian tidak ada permufakatan jahat. Satu hal yang terakhir yang saya mohon Majelis Mahkamah Yang Mulia ini aware, tadi sudah disinggung oleh Prof. Andi Hamzah, celakanya tidak ada terjemahan resmi KUHP. Pasal 110 KUHP itu, Yang Mulia, kalau Yang Mulia buka bukunya terjemahan Susilo, itu dikatakan permufakatan jahat untuk melakukan Pasal 104, 106, 107, 108 itu dipidana sama dengan perbuatan itu. Tapi kalau buka KUHP-nya Moeljatno itu dikatanan dipinana maksimal 6 tahun. Ini kan celaka 1 ... 6 tahun, yang satu itu sama dengan perbuatan tersebut. Kalau perbuatan tersebut kan ancaman pidana mati, ini ada kesalahan dalam terjemahan. Kebetulan, Yang Mulia, saya punya Wetboek van Strafrecht (suara tidak terdengar jelas) yang asli terbitan 1913. Saya lihat, oh ternyata yang benar adalah yang diterjemahkan oleh Moeljatno, bukan karena Moeljatno dari UGM lalu saya membenarkan, tapi memang saya melihat naskah aslinya yang benar adalah terjemahannya Moeljatno. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf. Terima kasih, Yang Mulia. 83.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, silakan Pak Dr. Chairul Huda.
84.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016: CHAIRUL HUDA Terima kasih, Yang Mulia. Izinkan menjawab, saya memandang lex certa itu juga lex scripta dan lex stricta adalah asas yang lebih banyak gunanya dalam rangka melakukan kriminalisasi in abstracto dalam rangka membentuk undang-undang. Jadi sama sekali bukan persoalan penafsiran, jadi hasil produk penggunaan asas inilah yang ditafsirkan kalau menurut saya seperti itu. Jadi jangan dikotomikan antara lex certa denga soal penafsiran karena harus jelas, harus ketat, harus tertulis itu bagi pembentuk undang-undang ketika merumuskan suatu delik. Nah, produknya ini yang ditafsirkan. Saya terus terang Prof. Eddy tadi sudah menjelaskan bagaimana menafsirkan, jadi kalau bagi saya ini bukan persoalan bahwa dengan ini seolah-olah tidak ada ruang penafsiran sama sekali, tapi dalam hal ini menuntun pembentuk undangundang, pemerintah, dan DPR dalam membentuk dalam merumuskan tindak pidana. 65
Yang kita persoalkan juga adalah rumusan tindak pidana yang menurut pendapat kami para ahli ini rumusan yang dibikin oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 itu tidak memperhatikan prinsip itu. Karena apa? Tadi dalam menjawab pertanyaan Pak Yang Mulia Dr. Suhartoyo, kalau dirujuk ke Pasal 88 sebagian selesai, sebagian selesai, yaitu tidak lagi ada ... apa namanya ... seperti saya katakan tadi tidak ada maknanya, tidak ada unsurnya, tapi sudah ada unsurnya seperti percobaan yang dirujuk dengan 103 dan pembantuan dirujuk dengan 103. Jadi kalau ditafsirkan sebagaimana dimaksud Pasal 88, ya selesai, sebagian, tapi tidak lagi juga menyelesaikan persoalannya Pemohon karena si Pemohon ini mempersoalkan ketika dia tidak mempunyai kualitas untuk melakukan suatu delik yang dipersyaratkan adanya kualitas tertentu kok dianggap merupakan permufakatan jahat? Artinya, rumusan Pasal 88 pun hanya dipersiapkan untuk delik yang dilakukan tanpa kualitas sehingga kalau mau dirujuk ke Pasal 88 pun harus dengan penyempurnaan rumusan 88 itu, barulah kemudian aman orang tidak akan dikriminalisasi karena kongko-kongko, ngobrol-ngobrol tentang ngalor ngidul yang sebenarnya tidak menjadi kewenangannya, katakanlah seperti itu. Jadi, memang dua jalan. Bisa dengan jembatan 103, bisa dengan undangundang sendiri itu yang merujuk ke pasal mana dimaksud hal tersebut. Yang kedua yang ingin saya jelaskan adalah bahwa ... dalam pertanyaan dari pihak pemerintah tadi, bagi saya percobaan, pembantuan, juga permufakatan jahat itu adalah representasi dari unsur. Kan ini kan rumusan delik, subjeknya setiap orang, unsur perbuatan yang dilarangnya adalah di situ diwakili dengan kata percobaan. Kalau ditafsirkan dengan ... dihubungkan dengan 103 juncto Pasal 53 KUHP, yang dimaksud dengan percobaan ada niat, ada permulaan pelaksana, terhenti bukan karena kehendak pelaku. Yang dimaksud dengan pembantuan adalah pembantuan pada saat dilakukannya delik dan pembantuan dengan memberi sarana kesempatan keterangan. Yang dimaksud dengan permufakatan jahat adalah dua orang atau lebih bersepakat, cuman persoalannya dua orang atau lebih bersepakat itu letaknya ada di definisi, bukan di ketentuan tentang aturan-aturan yang berkenaan dengan yang juga diberlakukan berdasarkan Pasal 103, itu problem teknikalnya itu, gitu. Jadi kalau menurut pendapat saya, sekali lagi, bukan tidak ada norma yang bebas dari penafsiran, tapi yang ditafsirkan apa? Yang ditafsirkan apa? Kita menafsirkan apa yang dimaksud dengan niat. Tadi Prof. Eddy menafsirkan apa yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan, mungkin berbeda penafsirannya dengan penafsiran saya, katakanlah begitu. Tapi ada yang ditafsirkan dalam hal permufakatan jahat, dia belum merupakan suatu unsur, sehingga belum ada yang ditafsirkan di situ. Kalau pembantuan bisa ditafsirkan, apa yang dimaksud dengan (suara tidak terdengar jelas)? Apa yang dimaksud 66
dengan kesempatan? Kita bisa tafsirkan di situ. Tapi karena unsurnya sudah ada di dalam pasalnya, tapi kalau permufakatan jahat, belum ada unsurnya. Sehingga kemudian belum ada yang bisa ditafsirkan, jadi bukan tidak ada norma yang lepas dari soal penafsiran, saya pikir semua norma harus ditafsirkan ketika menerapkan pun Hakim menafsirkan pada dasarnya. Menghubungkan dengan kejadian konkrit, cuma apa yang ditafsirkan, kalau belum ada unsurnya. Ini persoalan pokok berkenaan dengan permohonan ini, saya kira mengenai hal itu. Lalu kalau tadi ditanyakan juga, berkenaan dengan apakah kemudian perumusan yang sebaiknya bagaimana? Tadi saya pikir sudah terjawab sebenarnya. Ada dua hal yang menjadi persoalan di situ, pertama, permufakatan jahat belum ada unsurnya, katakanlah begitu. Yang kedua adalah tindak pidana korupsi yang ada di dalam rumusan Pasal 15 juga tindak pidana korupsi yang mana? Kan begitu. Yang ditegaskan itu hanyalah sanksinya, tapi tindak pidana korupsi yang mana? Tidak ditegaskan. Ini akibatnya dalam kasus konkrit yang dihadapi oleh Pemohon, ya, enggak penting mau tindak pidana korupsi yang mana, yang penting sudah ada permufakatan, yang penting sudah ada ketemu-ketemu. Ketemu-ketemunya itu meeting of mind. Nah, padahal kan harus dihubungkan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai Pasal 14, permufakatan jahat dalam rangka untuk merugikan keuangan negara dengan perbuatan melawan hukumkah atau permufakatan jahat dalam rangka memeraskah? Atau perbuatan jahat dalam rangka menyuapkah? Ini yang kemudian bagi saya rumusan Pasal 15 itu tidak menggambarkan tentang hal itu. Tetapi menggambarkan penegasan tentang sanksi saja karena cara berpikirnya pembentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah bagaimana menghukum orang, bukan bagaimana membuat rumusan yang baik, melindungi individu yang tidak bersalah dan memang bisa menghukum individu yang bersalah. Kalau cara berpikirnya menghukum orang, ya, dipikirkan hukumannya saja, rumusan deliknya tidak pernah dipikirkan. Ini yang menurut saya … dalam tulisan saya, ini ada semacam kelalaian pembentuk undang-undang dalam membuat norma ini. Sehingga kemudian dipersoalkan di dalam permohonan ini. Saya pikir itu pokokpokoknya, Yang Mulia. Terima kasih, Assalamualaikum wr. wb. 85.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Pak Chairul, kalau begitu Saudara-Saudaranya bisa … bisa tidak kita punya apa … punya pemahaman yang sama bahwa sebenarnya 5 … Pasal 15 itu redundancy. Kalau lebih sederhana, ya, Prof Eddy, ya, Pasal 2, Pasal 3 dan seterusnya juncto kan saja, persoalannya kalau 88 itu menurut, Bapak, masih terhalang dengan 103. Tapi kalau 53, 55 tidak ada halangan, kan, gitu, kan?
67
86.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016: CHAIRUL HUDA Betul, Yang Mulia.
87.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Nah, itu artinya saya kuatir bahwa ketika ini nanti dipersoalkan, kemudian ada pengalihan konsentrasi ke sana, gitu lho. Tapi itu urusan lainlah. Sekarang kita ke Pasal 15 saja.
88.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016: CHAIRUL HUDA Ya, terima kasih.
89.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Baik, ya, mungkin ada tambahan dari, Pak Dr. Dian?
90.
ANGGOTA : PATRIALIS AKBAR Kalau konsentrasi sana berarti kriminalisasi namanya.
91.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20,21/PUU-XIV/2016: DIAN ADRIAWAN DAENG TAWANG Terima kasih, Yang Mulia. Dari beberapa pertanyaan, mungkin hanya satu yang ditujukan ke saya. Dari Pemohon, yaitu yang menanyakan soal perekaman. Apakah perekaman yang dimaksud itu adalah perekaman yang dihasilkan dari suatu penyadapan atau ada perekaman yang khusus dilakukan tanpa melalui penyadapan? Mungkin itu maksudnya, ya, karena begini, kalau seandainya perekaman itu hasil dari suatu penyadapan, tentunya di sini bisa dilakukan oleh pihak yang … yang apa … yang mendapatkan atau memiliki wewenang untuk melakukan itu. Seperti misalnya institusi KPK, itu punya kewenangan untuk melakukan penyadapan yang menghasilkan rekaman, gitu, ya. Kemudian kalau untuk perekaman yang khusus dilakukan tanpa melalui penyadapan, ini justru menjadi suatu persoalan karena tidak diatur secara khusus di dalam Undang-Undang ITE tadi. Apakah itu di dalam Pasal 5 ayat (1) maupun ayat (2). Nah, justru di sinilah yang kemudian bisa dikatakan akan menimbulkan apa … ancaman terhadap hak privasi seseorang, ya, yang walaupun dikatakan di situ bahwa itu bukan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi, ya. Tapi secara khusus memang di dalam Pasal 28J itu harusnya dibatasi hal-hal seperti ini. 68
Sehingga ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perekaman ini harus secara tegas diatur dalam suatu undang-undang. Nah, ketegasan ini tidak lain adalah untuk menjamin kepastian hukum. Saya kira itu saja dari saya, terima kasih. 92.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Terakhir, Prof, mungkin ada tambahan?
93.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 20,21/PUU-XIV/2016: Jadi mesti bicara juga ini walaupun tidak ditujukan langsung, tetapi saat ini isu-isu hukum pidana terkini adalah perhatian kepada kesalahan. Kalau bicara kesalahan, tentu ada doktrin-doktrin, teori-teori yang sudah disampaikan berkenaan dengan asas legalitas. Sehingga kesalahan itu terus mendapatkan perhatian di dalam rangka pembentukan undang-undang, baik undang-undang KUHP, di luar KUHP maupun yang menggunakan KUHP sebagai modalnya atau yang disebut dengan undang-undang administratif. Yang kedua adalah soal pertanggungjawaban pidana. Nah, pertanggungjawaban pidana ini doktrinnya juga amat berkembang dan itu sebuah pertanggungjawaban yang dilakukan bersama-sama. Jadi, para individu dan biasanya tidak sendirian dan bahkan dalam doktrin itu disebut dengan tindak pidana korporasi. Ini adalah perkembangan yang berkaitan juga dengan permufakatan jahat itu. Kalau satu orang kan tidak akan mungkin melakukan permufakatan. Yang ketiga adalah soal pemidanaan. Jadi, sekarang hukum pidana itu, penegak hukum terutama, hasratnya mau memidana saja, jadi sama dengan doktrin hukum kolonial dan jadi kita sudah merdeka, 70 tahun hasrat memidana ini yang sangat dipentingkan, maka itulah muncul isu-isu kriminalisasi itu. Jadi, orang seenaknya saja oleh penegak hukum dan ada muatan-muatan politis, kemudian dijadikan sebagai dasar. Dan kita tahu juga memidana orang, masuk penjara itu beban negara. Satu hari negara mesti mengeluarkan uang Rp15.000,00 untuk memberikan makan kepada orang yang terpidana tadi. Jadi, hasrat memidana ini sangat berbanding terbalik dengan kenyataan hukum pidana modern. Yang keempat, bagian terakhir ini adalah viktimologi. Jadi, hukum pidana sudah bergeser pikirannya adalah kepada korban karena itulah korban ini berkaitan dengan hak asasi manusia. Dan soal korban ini amat diperhatikan karena itulah banyak doktrin-doktrin hukum pidana mengenai korban. Karena itulah di dalam peristiwa-peristiwa konkret atau peristiwa norma yang sebagaimana kita anukan di dalam sidang ini adalah peristiwa untuk memperhatikan korban agar supaya kriminalisasi hak-hak asasi manusia itu bisa di-protect. Bahwa tidak semua dapat 69
ditafsirkan untuk bisa melakukan kriminalisasi apabila syarat-syarat, unsur-unsur yang ditentukan di dalam undang-undang itu tidak terpenuhi. Standar unsur adalah hal yang utama dan itu perhatiannya adalah kepada korban, jadi bukan kepada pelaku semata-mata. Demikianlah perkembangan terkini mengenai hukum pidana. Terima kasih. 94.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Prof. Jadi, sudah cukup jelas, tentu saja kehadiran para ahli membuat ramai perkara ini. Kemudian, untuk Kuasa Presiden apakah akan mengajukan ahli?
95.
PEMERINTAH: YUNAN HILMY Terima kasih, Yang Mulia.
96.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar, dari Pemohon Maksudnya ini ahlinya.
97.
cukup,
kan?
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: SYAEFULLAH HAMID
Sudah
NOMOR
cukup,
ya?
20,21/PUU-
Cukup, Yang Mulia. 98.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan, Kuasa Presiden.
99.
PEMERINTAH: YUNAN HILMY Untuk perkara yang Nomor 20, Pemerintah akan mengajukan 3 ahli dan untuk Perkara Nomor 21 ada sementara 1 ahli.
100. KETUA: ANWAR USMAN Baik. Kalau begitu nanti sekalian untuk sidang berikutnya, empat orang itu ya jadinya. Nanti CV-nya diserahkan lebih dulu. Untuk itu perkara ini ditunda hari Selasa, tanggal 3 Mei 2016, jam 14.00 WIB untuk mendengarkan keterangan ahli dari kuasa presiden. Sebelum sidang ditutup, kami menyampaikan terima kasih sekali lagi kepada para ahli yang berkenan mengikuti sidang, bahkan sudah melewati jam salat
70
magrib, tapi ini juga insya Allah jadi ibadah juga. Baik, sudah jelas, ya? Dengan demikian, sidang selesai dan selanjutnya ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 18.36 WIB Jakarta, 21 April 2016 Kepala Sub Bagian Risalah,
Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
71