MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR (III)
JAKARTA SENIN, 14 NOVEMBER 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat [Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf i, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), Serta Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. PT Bandung Raya Indah Lestari ACARA Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III) Senin, 14 November 2016 Pukul 11.14 – 12.07 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Anwar Usman Patrialis Akbar I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Aswanto Manahan MP Sitompul Suhartoyo Wahiduddin Adams
Rizki Amalia
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. M. Ainul Syamsu 2. Syaefullah Hamid 3. Hafisullah Amin Nasution B. Pemerintah: 1. Sutowibowo S. 2. Lasminingsih 3. Untung Winardi
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.14 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Dipersilakan Pemohon untuk memperkenalkan diri, siapa saja yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Terima kasih, Yang Mulia. Saya M. Ainul Syamsu. Kemudian sebelah kanan saya, Hafisullah Amin Nasution dan sebelah kiri saya Syaefullah Hamid. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari DPR berhalangan, ada surat pemberitahuan. Dari Kuasa Presiden? Silakan.
4.
PEMERINTAH: UNTUNG WINARDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Pertama, sebelah kiri saya Ibu Lasminingsih Staf Ahli di Bidang Perdangangan Jasa dari Kementerian Hukum Perdagangan yang akan membacakan Kepres, dan sebelah kiri saya Pak Sutowibowo (Kepala Bagian Bantuan Hukum), dan saya sendiri Untung Winardi dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Acara persidangan hari ini untuk mendengar keterangan dari DPR dan Presiden, silakan Kuasa Presiden untuk menyampaikan keterangannya, langsung. DPR tidak hadir.
6.
PEMERINTAH: LASMININGSIH Selamat pagi, Yang Mulia Mahkamah Konstitusi. Assalamualaikum wr. wb. Izinkan kami membacakan keterangan Presiden atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang 1
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai berikut. Yang Terhormat Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : 1. Yasonna H. Laoly (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). 2. Enggartiasto Lukita (Menteri Perdagangan). Dalam hal ini baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak dan untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia yang dalam hal ini disebut sebagai Pemerintah. Perkenankanlah kami menyampaikan keterangan Presiden, baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan atas permohonan pengujian atau constitutional review ketentuan Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, d, h, dan i, Pasal 41 ayat (2) dan ayat ... ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 33 ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang dimohonkan oleh PT Bandung Raya Indah Lestari, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon, sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016, tanggal 28 September 2016, dengan perbaikan permohonan tanggal 18 Oktober 2016. Selanjutnya, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangan atas permohonan pengujian ketentuan undang-undang a quo, sebagai berikut: I. Pokok permohonan Pemohon. Pertama. Bahwa Pemohon adalah perseroan terbatas yang mengikuti tender pengadaan barang dan jasa, terkait rencana pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Sampah (PLTSA) di Bandung, yang merasa dirugikan dengan keberlakuan ketentuan a quo karena menyebabkan terjadinya pengambil alihan hak milik Pemohon berupa hak atas proyek pembangunan PLTSA di Kota Bandung, dengan kronologi sebagai berikut: a. Pemohon telah mengajukan permohonan pemrakarsa proyek kerjasama, penyediaan infrastruktur, pembangunan, pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSA dengan melampirkan seluruh persyaratan. Berdasarkan prakarsa tersebut, selanjutnya Walikota Bandung mengeluarkan SK Nomor 658.1/Kep 010-Bappeda/2012 yang memuat penetapan badan usaha pemrakarsa rencana pembangunan infrastruktur pengolahan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan, melalui mekanisme kerjasama antara pemerintah 2
dan badan usaha yang diberikan kepada PT Bandung Raya Indah Lestari, dalam hal ini Pemohon. b. Setelah Pemohon ditetapkan sebagai pemrakarsa, maka Pemerintah Kota Bandung selanjutnya mengadakan lelang pengolah sampah dan yang keluar sebagai pemenang lelang adalah Pemohon yang ditetapkan dalam Keputusan Walikota Bandung. Penetapan Pemohon sebagai pemenang lelang juga telah disetujui oleh DPRD Kota Bandung. c. Namun sampai saat ini perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kota Bandung dengan Pemohon selaku pemenang lelang tidak juga ditandatangani, bahkan penandatanganan perjanjian terancam batal karena Pemohon telah menjalani pemeriksaan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan telah diputus berdasarkan Putusan Nomor 12/KPPU-L/2015. Putusan tersebut menyatakan Pemohon terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 undangundang a quo. Kedua. Bahwa frasa pihak lain dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 undang-undang a quo tidak memberikan kepastian hukum, bersifat multi tafsir, dan tidak jelas, sehingga membuat ruang bagi lembaga tertentu untuk bertindak sewenang-wenang. Menurut Pemohon frasa pihak lain dalam ketentuan a quo bermakna pelaku usaha lain dan tidak konsisten jika mengacu kepada definisi persekongkolan dalam Pasal 1 angka 8 undang-undang a quo, sehingga ketentuan a quo seharusnya ditafsirkan dengan pelaku usaha lain dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (4), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pemohon menganggap KPPU memperluas makna frasa pihak lain dalam pasal undang-undang a quo, sehingga makna frasa pihak lain mencakup pihak-pihak lain di luar pelaku usaha. Penafsiran KPPU atas frasa pihak lain bertentangan dengan definisi persekongkolan dalam Pasal 1 angka 8 undang-undang a quo. Ketiga. Bahwa frasa penyelidikan dan/atau pemeriksaan dalam Pasal 36 huruf c, d, h, dan i dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) merugikan Pemohon dengan alasan sebagai berikut. a. Ketentuan a quo tidak memberikan kepastian hukum tentang kewenangan yang diberikan kepada KPPU, apakah kewenangan untuk melakukan penyelidikan pidana ataukah kewenangan untuk melakukan pemeriksaan administratif? Menurut Pemohon frasa dalam ketentuan a quo mengatur kewenangan kepada KPPU secara akumulatif dan alternative. Undang-undang a quo juga tidak memberikan acuan yang jelas tentang kapan suatu pemeriksaan KPPU disebut pemeriksaan administratif dan kapan disebut penyelidikan pidana. b. Frasa penyelidikan dalam ketentuan a quo bukanlah pemeriksaan administratif akan tetapi penyelidikan pidana. Hal ini disebabkan frasa 3
tersebut merujuk kepada penyelidikan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan juga apabila dikaitkan dengan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) yang mengatur tentang tahapan penyelidikan berdasarkan Putusan KPPU. c. Menurut Pemohon ketentuan a quo tidak mengatur tata laksana penyelidikan secara cermat dan siapa pelaksana atau penegak hukumnya karena frasa penyelidikan dalam ketentuan a quo tidak disertai dengan ketentuan lain tentang tata caranya atau pelaksanaan penyelidikannya, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah setiap peristiwa yang diduga merupakan tindak pindana ataukah hanya peristiwa persaingan usaha yang bersifat administratif serta sama sekali tidak mengatur kewenangan KPPU untuk menjadi pejabat penyelidik. Empat. Bahwa Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) undang-undang a quo inkonstitusional karena pemeriksaan KPPU hanya bersifat administrative. Ketentuan a quo menekankan proses pidana dan bertentangan dengan Pasal 44 ayat (2) undang-undang a quo yang menekankan proses administratif dalam penyelesaian sengketa, seharusnya proses administratif lebih didahulukan karena lebih kondusif. Pasal a quo menurut Pemohon lebih mengedepankan pendekatan hukum pidana. II. Kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon. Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, menurut Pemerintah dalam permohonannya Pemohon tidak dapat menjelaskan secara jelas hubungan antara hak konstitusional yang dirugikannya dengan berlakunya ketentuan a quo. Dengan demikian berdasarkan keterangan di atas, anggapan Pemohon bukan merupakan masalah konstitusionalitas keberlakuan norma ... batu ujinya, melainkan masalah penerapan norma yang ditafsirkan berbeda oleh Pemohon. Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tidak tepat jika Yang Mulia Ketua atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian, Pemerintah memohon melalui Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing atau tidak? Sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007. III. Keterangan Pemerintah atas materi permohonan yang dimohonkan untuk diuji. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, 4
perkenankanlah Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum yang penting dalam industri yang berbasis pasar. Melalui undang-undang tersebut, Pemerintah berupaya melindungi iklim persaingan yang sehat antarpelaku usaha. Persaingan usaha yang sehat merupakan elemen penting untuk mewujudkan industri yang berdaya saing tinggi sehingga diharapkan akan mendorong pelaku usaha untuk melakukan peningkatan mutu produk, peningkatan inovasi, peningkatan teknologi, serta peningkatan kualitas pelayanan bagi konsumen yang pada akhirnya akan mendorong untuk menciptakan pasar yang kompetitif, tidak hanya dalam pasar nasional maupun juga di pasar global. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disusun untuk menegakkan aturan hukum, dan memberikan perlindungan hukum yang sama bagi setiap pelaku usaha dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat, serta memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, dan mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, sehingga mendorong industri menjadi berdaya saing tinggi dan mampu mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah payung dari kebijakan persaingan usaha atau competition policy. Salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang perbuatan pelaku usaha yang bertujuan menghambat atau menghilangkan persaingan usaha. Antara lain, melalui penutupan akses pasar, kolusi, kartel, persekongkolan dalam tender dan tindakan lain yang bertujuan untuk menghilangkan persaingan. 1. Sehubungan dengan dalil Pemohon yang menganggap bahwa frasa pihak lain dalam ketentuan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 undangundang a quo menimbulkan inkonsistensi dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 undang-undang a quo sehingga bersifat multitafsir dan membuat ruang bagi lembaga tertentu untuk bertindak sewenangwenang. Menurut Pemohon, frasa pihak lain dalam ketentuan undang-undang a quo bertentangan atau inkonstitusional dengan ayat ... Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena bertentangand engan terciptanya kepastian hukum. Bahwa ketentuan dalam Pasal 22, anggap sudah dibacakan. Pasal 23, mohon dianggap sudah dibacakan. Pasal 24, mohon dianggap sudah 5
dibacakan. Bahwa berdasarkan isi pasal-pasal di atas, Pemohon menyimpulkan. a) KPPU telah memperluas makna pihak lain sehingga mencakup tidak saja pelaku usaha lain sebagaimana tercermin dalam definisi persekongkolan atau konspirasi usaha yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 undang-undang a quo yang menyatakan bahwa persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. b) Frasa pihak lain dalam ketentuan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 undang-undang a quo mengandung ketidakpastian hukum atau bersifat multitafsir sehingga memungkinkan untuk ditafsirkan secara luas, bahkan menyalahi tafsir otentik pihak lain yang menurut Pemohon. Pertama, sudah tegas diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 undang-undang a quo. Melanggar prinsip legalitas yang merupakan refleksi prinsip dari negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang 19 ... Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Melanggar prinsip pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Serta melanggar larangan mengambil hak milik orang lain secara sewenangwenang yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan juga bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang melandasi perekonomian nasional yang menekankan efisiensi berkeadilan sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. c) Bahwa pernyataan Pemohon berpegang pada pengertian persekongkolan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 undang-undang a quo adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain. Sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 8 undangundang a quo. Mengandung unsur penjelasan bahwa. 1. Dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 undang-undang a quo yang tidak boleh bersekongkol adalah pelaku usaha dengan pihak lain. Di dalam undang-undang a quo tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengertian ‘pihak lain’. Yang dengan jelas telah diatur adalah pengertian mengenai ‘pelaku usaha’ dalam Pasal 1 angka 5 yang berbunyi, “pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun 6
bersama-sama melalui perjanjian. Menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.” Sementara dalam pasal ... dalam penjelasan pasal-pasal undang-undang a quo, untuk Pasal 1 angka 8 dinyatakan cukup jelas. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan persekongkolan adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain. Dan yang dilakukan dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan, bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. 2. Ketentuan dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 undangundang a quo berdasarkan analisa tersebut juga dapat diartikan bahwa menurut undang-undang a quo, persekongkolan itu terjadi antara pelaku usaha dengan pihak lain, tanpa mengacu apakah pihak lain tersebut pelaku usaha atau yang lainnya, mengingat tidak ada penjelasan mengenai siapa pihak lain tersebut di dalam undang-undang a quo. Terhadap dalil atau kesimpulan permohonan tersebut, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut. a. Berlandaskan pada Pasal 35 huruf f undang-undang a quo, KPPU menyusun pedoman pelaksanaan Pasal 22 undang-undang a quo. Pasal 35 huruf f berbunyi, “tugas komisi meliputi, F. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini.” b. Di dalam pedoman tersebut disebutkan, bahwa praktik persekongkolan dalam tender ini dilarang karena dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya tender tersebut. Yaitu, untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar ikut menawarkan harga dan kualitas yang bersaing, sehingga pada akhirnya dalam pelaksanaan proses tender tersebut akan didapatkan harga yang termurah dengan kualitas yang terbaik. c. Di dalam pedoman tersebut juga dinyatakan bahwa proses penegakan hukum undang-undang a quo, pandangan dan putusan komisi dalam melakukan pemeriksaan atas praktik persekongkolan dalam tender yang diduga melanggar undang-undang a quo tetap didahulukan dan tidak hanya terbatas pada pedoman. Pada bagian 3.1 pedoman pasal undang ... Pasal 22 undang-undang a quo diuraikan. Ayat (2), Unsur Bersekongkol. “Bersekongkol adalah kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun, dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu.” Ayat (3), Unsur Pihak Lain. “Pihak lain adalah para pihak vertikal dan horisontal, yang terlibat dalam proses tender yang melakukan
7
persekongkolan tender. Baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan/atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut.” d. Secara konsep, dalam kegiatan tender terdapat dua macam pembatasan persaingan, yaitu, pertama pembatasan persaingan yang dilakukan pejabat penyelenggara tender atau public restrictions of competition. Yang kedua, pembatasan persaingan di antara pelakupelaku … di antara pelaku usaha-pelaku usaha peserta tender atau private restrictions of competition. e. Panduan tentang bid rising yang diterbitkan oleh otoritas persaingan Bulgaria bersama United Nation Conference on Trade and Development atau UNCTAD menunjukkan bahwa untuk memastikan persaingan di antara pelaku usaha yang mengambil bagian dalam prosedur tender di Uni Eropa diatur berdasarkan pada artikel 15 Para 1 of the LPS and or article 101 Para 1 of the Treaty for the Functioning of the European Union. Sementara terhadap pembatasan persaingan yang bersumber pada otoritas penyelenggara tender diatur terpisah melalui The Public Procurement Act dan The Ordinance on Awarding Small Public Procurement. Panduan tersebut menyatakan bahwa in the case of public restriction of competition, the establishment of a violation of the principal of free and loyal competition could be served as grounds for refilling the respective act, action, or omission of the contracting authorities in accordance with the control competencies of the CPC, The Commission on Protection of Competition further to articles 120 and the following articles of the public procurement act. f. Dari sisi substansi, kegiatan tender, kata pihak lain menunjukkan pihak penyelenggara tender. Kalimat bersekongkol dengan pihak lain dapat memberi makna bahwa siapa pun termasuk pejabat pemerintah sebagai penyelenggara tender melalui kebijakannya tidak boleh dengan sengaja membatasi persaingan usaha. Pasal 1 angka 8 undang-undang a quo mendefinisikan persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Dengan demikian, pengertian persekongkolan berdasarkan definisi pada Pasal 1 angka 8 adalah persekongkolan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain. Pasal 22 undang-undang a quo tidak menjelaskan mengenai pengertian pihak lain, sehingga menimbulkan pertanyaan siapa yang dimaksud dengan pihak lain tersebut? Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, mohon kiranya Mahkamah dapat memberikan penafsiran terhadap frasa pihak lain pada Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 undang-undang a quo. Kedua. Mengenai frasa penyelidikan. Bahwa frasa penyelidikan dan/atau pemeriksaan pada Pasal 36 huruf c, d, h, dan i, dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) merugikan Pemohon karena: 8
a. Ketentuan a quo tidak memberikan kepatian hukum tentang kewenangan yang diberikan kepada KPPU. Apakah kewenangan untuk melakukan penyelidikan pidana ataukah kewenangan untuk melakukan pemeriksaan administratif. Menurut Pemohon, frasa penyelidikan dalam ketentuan a quo mengatur kewenangan kepada KPPU secara akumulatif dan alternatif. Undang-undang a quo juga tidak memberikan acuan yang jelas tentang kapan suatu pemeriksaan KPPU disebut pemeriksaan administratif dan kapan disebut penyelidikan pidana. b. Frasa penyelidikan dalam ketentuan a quo bukanlah pemeriksaan administratif, akan tetapi penyelidikan pidana. Hal ini disebabkan karena frasa tersebut merujuk kepada penyelidikan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan juga apabila dikaitkan dengan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) undang-undang a quo yang mengatur tentang tahapan penyidikan berdasarkan keputusan KPPU. c. Menurut Pemohon, ketentuan a quo tidak mengatur tata laksana penyelidikan secara cermat dan siapa pelaksana atau penegak hukumnnya karena frasa penyelidikan dalam ketentuan a quo tidak disertai dengan ketentuan lain tentang tata cara atau pelaksanaan penyelidikannya. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah setiap peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana ataukah hanya peristiwa persaingan usaha yang bersifat administratif serta sama sekali tidak mengatur kewenangan KPPU untuk menjadi pejabat penyelidik. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut. a. Pasal 36 huruf c, d, h, dan i undang-undang a quo menyebutkan, Wewenang komisi meliputi: C. melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil penelitiannya. D. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada atau tidaknya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. H. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. I. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.” b. Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang a quo menyebutkan, Pasal 41 ayat (1), “Pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan.” Pasal 41 ayat (2), “Pelaku usaha dilarang 9
menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan.” Jika hanya melihat pasal tersebut, memang penyelidikan KPPU sifatnya administratif. Artinya, KPPU melakukan pemeriksaan terhadap dokumen, namun pasal tersebut belum mengatur mengenai proses penyelidikan itu sendiri. Oleh karena itu harus melihat pasal-pasal lainnya, yaitu Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 undang-undang a quo. Penyelidikan dalam KUHAP memiliki pengertian serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan ... penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidikan dalam undang-undang a quo memiliki pengertian serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh investigator ... investigator KPPU untuk mendapatkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi, laporan hasil kajian, hasil penelitian, dan hasil pengawasan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan penyelidikan dalam undang-undang a quo dengan penyelidikan yang diatur dalam KUHAP adalah berbeda karena dalam KUH, penyelidikan dilakukan oleh penyelidik dalam hal ini polisi, sedangkan penyelidikan dalam undangundang a quo dilakukan oleh investigator KPPU, bukan oleh polisi. Ketentuan a quo memang tidak mengatur ketentuan tata laksana penyelidikan, tetapi pengaturan mengenai tata cara penyelidikan bukan tidak ada. Aturannya ada dalam Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara yang mengatur mengenai tahapan penanganan perkara yang meliputi penyampaian laporan, klarifikasi laporan, jangka waktu klarifikasi laporan, perkara inisiatif, penyelidikan dan tata cara penyelidikan, pemberkasan, sidang majelis komisi, putusan majelis komisi, upaya hukum keberatan, dan permohonan eksekusi. Menurut Pemohon, tidak adanya ketentuan yang mengatur kewenangan KPPU menjadi pejabat penyelidik menimbulkan kepastian hukum. Pendapat Pemohon tidak tepat karena sebagaimana disampaikan di atas, penyelidikan dalam undang-undang a quo dilakukan oleh investigator KPPU, bukan oleh polisi sehingga adalah tidak mungkin investigator menjadi pejabat penyelidik. Justru untuk kepastian hukumlah KPPU itu hanya investigator dalam melaksanakan kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36 huruf c, d, h, dan i undangundang a quo. 3. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) undang-undang a quo inkonstitusional karena pemeriksaan KPPU hanya bersifat administratif, ketentuan a quo menekankan proses pidana dan bertentangan dengan Pasal 44 ayat (2) 10
undang-undang a quo yang menekankan proses administratif dalam penyelesaian sengketa, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut. a. Bunyi ketentuan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5). Ayat (4), “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ayat (5), “Putusan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.” b. Bahwa Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) tidak bisa dilihat secara terpisah. Ketentuan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) harus dimaknai sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum atau disebut juga ultimum remedium, artinya KPPU dalam melakukan penanganan perkara berdasarkan Pasal 36, kemudian Pasal 36 diperkuat oleh Pasal 42. Pasal 42 memungkinkan KPPU menyerahkan perkara kepada polisi. Kemudian dalam hal pelaksanaan putusan, KPPU juga didukung oleh polisi. Artinya, kalau sampai batas waktu yang ditentukan oleh KPPU pelaku usaha tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka memungkinkan KPPU untuk menyerahkan pelaksanaan putusan kepada polisi. Dengan demikian, menurut Pemerintah, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Ketentuan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) undangundang a quo yang menekankan proses pidana adalah tidak benar. IV. Petitum. Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian konstitusional review Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut. 1. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. 2. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing. 3. Memohon Mahkamah dapat memberikan penafsiran terhadap frasa pihak lain pada Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 undang-undang a quo. 4. Menolak Permohonan Pengujian Pemohon terhadap Pasal 36 huruf c, d, h, dan i, Pasal 44 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
11
5. Menyatakan Ketentuan Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, d, h, dan i, Pasal 44 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas perkenan dan perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia kami ucapkan terima kasih. Jakarta, 14 November 2016, Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita. Demikian Majelis, terima kasih. 7.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Dari meja Hakim mungkin ada pertanyaan yang perlu didalami? Ya, dari paling pojok dulu Yang Mulia Pak Patrialis.
8.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Pihak Pemerintah Ibu apa tadi?
9.
PEMERINTAH: LASMININGSIH Ibu Lasminingsih, Pak.
10.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Oh, Lasminingsih, ya. Saya mencoba mencatat beberapa hal dari keterangan Pemerintah, saya ingin satu ketegasan, ya, Ibu ya, ketegasan. Pertama tentang persekongkolan dengan pihak lain tadi, saya mencatat di sini bahwa Ibu mengatakan dalam Pasal 1 angka 8, ya, disebutkan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain walaupun Ibu melakukan komparasi dengan eropa tadi, ya. Nah, di sini dikatakan kalimatnya tadi siapa yang dimaksud pelaku usaha lain itu? Justru di sini Pemerintah mohon Mahkamah, ya, bisa memberikan penafsiran. Jadi kelihatannya Pemerintah sendiri tidak firm ya tentang penafsiran ini, enggak apa-apa, artinya Pemerintah dalam hal ini menyerahkan kepada Mahkamah karena memang kelihatannya ada masalah, itu satu hal ya saya coba catat. Yang kedua tentang masalah penyelidikan tadi, ya. Penyelidikan dan penyidikan, kalau saya enggak salah tadi di dalam undang-undang memang tidak begitu jelas, tetapi aturannya ada pada aturan KPPU, betul ya? Pedoman KPPU, ya? Aturannya ada pedoman KPPU. Kalau 12
boleh bisa dijelaskan nanti, lisan juga enggak apa-apa. Itu sebetulnya KPPU itu di dalam membuat pedoman kan, harus ada dasar hukumnya ya, Bu. Tentu undang-undang, ya. Nah, ini dasar hukumnya itu dari mana? Kok tiba-tiba ada di peraturan KPPU. Yang ketiga, tentang persoalan posisi komisi ini apakah bersifat administratif ataukah bertindak sebagai penyidik? Tadi Ibu sudah menjelaskan perbedaannya. Kalau di KPPU itu investigasi, investigator ya. Sedangkan KUHAP itu adalah penyidik, dalam hal ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga komisi akhirnya menyerahkan hasil penyelidikan kepada penyidik sebagai bukti permulaan untuk melakukan proses penyidikan lebih lanjut. Betul ya, Ibu, ya? Itu saja 3 hal yang saya catat. Kalau memang ada komentar, silakan. Terima kasih. 11.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, lanjut ke Yang Mulia Pak Suhartoyo.
12.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ya, terima kasih Pak Ketua Yang Mulia. Saya tambahkan sedikit, Ibu, ya. Begini, Ibu. Mahkamah juga belum mendengar keterangan DPR. Nah, ketika undang-undang ini dibentuk kan, tentunya antara Pemerintah dengan pihak DPR apakah juga dengan ada yang sama seperti yang dimaui oleh dari kementerian Ibu itu, Pemerintah karena ini perlu dicermati kalau ini benar seperti itu adanya yang diminta oleh Pemerintah, persoalannya kan, pasal ini sudah diimplementasikan atau ditafsirkan, kemudian bahkan sudah pernah ada putusan oleh KPPU Nomor 12 itu yang akhirnya menimpa Pemohon ini, kan? Ini mungkin ada akibat hukum juga harus dicermati. Kemudian yang kedua, Ibu. Apakah peraturan atau pedoman KPPU tadi yang dijadikan rujukan oleh KPPU ketika menjatuhkan putusan yang memperluas menurut keterangan tadi, memperluas pemaknaan pelaku usaha lain sebagaimana yang diatur dalam atau yang dimaksud dalam ketentuan angka 1 … kok di undang-undang saya huruf h ya, bukan angka 8, ya? Yang h itu, ya? Tapi dari urutan sama ya, ke-8? Nah, itu memang itu firm bahwa yang dimaksud di situ adalah sesama pelaku usaha lain. Tapi memang kemudian dalam bab persekongkolan itu, penjabaran dari angka … Pasal 1 angka 8 itu memang persekongkolan juga itu, tapi kok, menjadi pihak lain? Nah, seperti yang disampaikan Bapak Patrialis tadi kan tentunya KPPU itu ketika membuat pedoman-pedoman itu kan, tidak … tidak juga serta merta asal-asal membuat saja. Pasti ada rujukannya dan mungkin juga ada filosofi-filosofi yang juga dipertimbangkan.
13
Seperti begini, Ibu. Tolong nanti dijelaskan juga ke Mahkamah. Kalau memang Pasal 22, 23, 24 itu hanya dibatasi sesama pelaku usaha lain itu kontennya menjadi apa? Karena pemaknaan pihak lain itu memang menjadi lebih luas sehingga siapa pun bisa bermain di konteks persekongkolan itu. Tapi kalau kemudian dibatasi hanya seperti angka … Pasal 1 angka 8 itu sangat terbatas dan bentuk-bentuk persekongkolannya seperti apa, Ibu? Ibu kan, di Kementerian perdagangan ya, Ibu, ya? Pasti tahu persekongkolan kalau antarpihak swasta itu seperti apa? Apakah juga … apakah perlu sampai diatur dengan undang-undang? Gitu, lho. Tapi kan, ini mungkin ada rambu-rambu yang juga harus dijaga. Persekongkolannya itu tidak terbatas antara … ini kemungkinankemungkinan. Tetapi saya minta pendapat itu, Ibu, karena kalau kemudian apa yang dimaui Ibu tadi, Pemerintah bahwa ditafsirkan sama dengan Pasal 1 angka 8, sangat terbatas enggak kalau antarpelaku usaha itu? Jangkauan Pasal 22, 23, 24 itu lho? Ya, kan mestinya ada filosofifilosofi di situ yang harus dicermati. Jadi, saya juga tadi cukup kaget kalau kok, pihak Pemerintah senada dengan Pemohon. Artinya ya, ini suatu kabar gembira bagi Pemohon. Tapi Mahkamah juga tidak semudah itu kemudian langsung mengabulkan kan, pasti harus dilihat. Makanya mestinya harus kita panggil KPPU juga. Nanti mungkin dijadikan Pihak Terkait. DPR ini juga penting, Ibu. Apakah Ibu juga sudah membaca original intennya itu kenapa kok, ada perbedaan yang sangat signifikan? Jangan kemudian hanya praduga tak bersalah, wah, ini KPU ingin memperluas kemenangannya, jangan begitu. Tapi kenapa kalau jangkauannya hanya pela … sesama pelaku usaha kan, kayaknya sempit sekali, gitu lho. Nah, ingin kami mendengar nanti jawaban dari Ibu, dari Pemerintah, filosofinya apa? Argumentasi-argumentasi dibangun kalau itu kok dibatasi hanya pelaku … sesama pelaku saja, sebagaimana pendapat Pemerintah. Tapi sekarang ada vertikal-horisontal yang semestinya sebagaimana pedoman APBU itu. Nah, itu mungkin juga ada argumentasi di sana juga. Itu nomor 2 ... Nomor 2, Ibu. Kemudian yang nomor 3, masalah-masalah penyidikan tadi ... Penyelidikan. Saya pengin ketegasan dari Pihak Pemerintah, itu pemaknaannya pro-justicia apa bukan, Ibu? Pro-justicia, apa bukan? Kalau bukan pro-justicia, seharus ... Semestinya, bukan semestinya, jangan-jangan nanti ada benturannya, kok bisa ujuk-ujuk dinaikkan menjadi ditingkatkan menjadi penyidikan, gitu lho. Jadi, secara mentahmentah, hasil penyelidikan itu bisa menjadi bahan penyidikan. Nah, ini tentunya dari awal sudah harus pro-justucia demi ada ... Untuk kepentingan keadilan. Itu yang perlu dianu ... supaya ... Karena Ibu tadi katakan, “Tidak bisa disamakan dengan penyidik sebagaimana yang ada di KUHAP.” Tapi kok tiba-tiba bisa kemudian hasil penyelidikan itu bisa 14
ditingkatkan menjadi bahan penyidikan. Itu yang ada kerancuan juga di situ. Jadi, kami mohon penjelasan dari Pemerintah tiga hal tadi, di samping mungkin teman-teman juga dari Yang Mulia ada yang menambahkan juga nanti. Terima kasih, Pak Ketua. 13.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Yang Mulia Pak Palguna. Cukup? Ya, baik. Jadi, gitu, Kuasa Presiden, beberapa pertanyaan dari Para Yang Mulia. Dipersilakan untuk menanggapi sekarang atau mau tertulis. Yang bisa secara lisan dulu, boleh. Sebagian secara tertulis atau mau sekaligus terserah, silakan.
14.
PEMERINTAH: LASMININGSIH Terima kasih, Yang Mulia. Memang pada hal ini, kemarin juga kita Pemerintah sudah berupaya untuk menyampaikan bahwa ada hal yang memang harus diperbaiki, gitu lho, Pak, ya. Bahwa pelaku usaha dengan pelaku usaha lain ini, kita maunya memang ada, ya, kita akan cari lagi. Mohan izin, Majelis, kita akan cari lagi. Tapi pada saat ini, mungkin bahwa itu tidak ada di dalam undang-undang, tetapi Pasal 36 undangundang a quo memang memungkinkan KPPU untuk membuat pedoman. Nah, ini mungkin penjelasannya dari ... dari KPPU nanti. Tapi dari ... karena kita melihat dari multi penafsirannya saja, dari arti yang ada di dalam undang-undang itu, Pak ... mohon, Majelis. Bahwa ini juga pelaksanaannya supaya tidak menimbulkan apakah harus kemudian di undang-undang tidak ada, kemudian dibuatlah oleh KPPU, sehingga kemudian muncul yang vertikal-horisontal. Nah, ini mohon nanti, Pak Ketua Majelis, mohon nanti juga bisa mendengarkan. Karena kalau dari saat ini, dengan adanya juga mungkin ... kemungkinan sedang proses perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 itu sendiri. Jadi, kita mungkin bisa juga nanti melihat apakah dari kasus ini juga ada yang bisa menjadi catatan untuk undang-undang itu sendiri?
15.
KETUA: ANWAR USMAN tadi?
16.
Itu ... sebentar. Peroses pembahasannya sudah sampai di mana
PEMERINTAH: LASMININGSIH Masih di DPR, Pak.
17.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, baik. 15
18.
PEMERINTAH: LASMININGSIH Masih di DPR, ya.
19.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, sudah.
20.
PEMERINTAH: LASMININGSIH Kami Pemerintah menunggu dari dim ... dari DPR. Jadi, Pak Yang Mulia, mohon izin, saya tidak berani untuk secara langsung bagaimana konsekuensi dari kalau pelaku usaha, kemudian ada pihak lain. Jadi, mohon izin, kami akan menyampaikannya kepada pimpinan dan kemudian memberikan jawaban secara tertulis kepada Majelis jika diizinkan pada berikutnya. Terima kasih, Yang Mulia.
21.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari Pemohon, apakah akan mengajukan saksi atau ahli?
22.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Ya, Yang Mulia. Kami akan mengajukan ahli, Yang Mulia.
23.
KETUA: ANWAR USMAN Berapa orang?
24.
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Dua orang.
25.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya, pas kalau begitu. Jadi, nanti ... ya, bawa sidang berikut, sekaligus mendengar keterangan DPR, ya, masih kita harapkan. Kemudian, mungkin kita akan mengundang, ya, Mahkamah akan mengundang KPPU untuk menjadi Pihak Terkait. Untuk itu (...)
26.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak, saya mau menambah sedikit.
16
27.
KETUA: ANWAR USMAN ya.
28.
Oh, dan dua orang ahli, ya? Ahli itu nanti diserahkan dulu CV-nya,
KUASA HUKUM PEMOHON: M. AINUL SYAMSU Baik, Yang Mulia.
29.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Ya, Yang Mulia?
30.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ndak, ini untuk Pemerintah saja. Bu, saya kira kita, saya khususnya, menghormati pernyataan Ibu untuk menyampaikan kepada Pimpinan dan tertulis, itu sudah benar ... itu sudah benar. Tapi, sebetulnya kita malah berharap yang hadir itu bisa. Tapi kalau enggak bisa, enggak apa-apa. Ya, Bu, ya. Sebetulnya yang mewakili Pemerintah itu punya authority untuk mewakili. Cuma pernyataan yang terakhir itu kita hormati, gitu. Ya, Bu, ya. Itu saja.
31.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Jadi, nanti tanggapan lain atau jawaban lain dari pertanyaan tadi disampaikan pada sidang berikutnya. Ya, nanti juga akan diberi kesempatan untuk mengajukan ahli pada sidang berikutnya lagi. Nah, untuk itu, sidang berikutnya ditunda hari Rabu, tanggal 23 November 2016, pukul 11.00 WIB. Sudah jelas, ya, Pemohon, ya? Kuasa Presiden, sudah jelas, ya? Ya, baik.
17
Dengan demikian, sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.07 WIB Jakarta, 14 November 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
18