MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI/SAKSI PEMOHON (V)
JAKARTA SELASA, 22 NOVEMBER 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan [Pasal 41] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Ira Hartini Natapradja Hamel ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli/Saksi Pemohon (V) Selasa, 22 November 2016, Pukul 11.08 – 11.43 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Arief Hidayat Anwar Usman Maria Farida Indrati Aswanto I Dewa Gede Palguna Manahan MP Sitompul Patrialis Akbar Suhartoyo Wahiduddin Adams
Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Ira Hartini Natapradja Hamel B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Fahmi H. Bachmid 2. Ikhsan Setiawan 3. Zulham Salim C. Pemerintah: 1. Hotman Sitorus 2. Wahyu Jaya D. Ahli dari Pemohon: 1. Refli Harun E. Saksi dari Pemohon: 1. Beatrix Edith Jansen
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.08 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 80/PUUXIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saya cek kehadirannya. Pemohon yang hadir siapa? Silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: FAHMI H. BACHMID Terima kasih, Yang Mulia. Yang hadir saya sendiri Fahmi Bachmid. Sebelah kanan saya Pemohon Prinsipal Ibu Ira. Sebelah kiri saya Zulham Salim dan Ikhsan Setiawan. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Dari DPR tidak hadir, ada surat bertanggal 17 November yang ditandatangani Kepala Badan Keahlian DPR, tidak dapat menghadiri persidangan karena ada kegiatan yang penting di DPR. Dari Pemerintah? Silakan.
4.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir saya sendiri Hotman Sitorus dan Wahyu Jaya. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Pemohon pada persidangan kali ini mengajukan seorang Saksi dan seorang Ahli. Saksinya Ibu Beatrix Edith Jansen. Baik, silakan untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya. Kemudian, Ahli Pak Dr. Refli Harun, S.H., M.H., LL.M. saya persilakan untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Ya, untuk Ahli beragama Islam. Yang Mulia Pak Wahiduddin, saya persilakan.
6.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, untuk Ahli Pemohon, ikuti lafal sumpah yang saya tuntunkan.
1
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.” 7.
AHLI DARI PEMOHON: REFLI HARUN Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Untuk Saksi Bu Beatrix. Saya persilakan, Yang Mulia Prof. Maria.
10.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Mohon ikuti saya. “Saya berjanjia sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.”
11.
SAKSI DARI PEMOHON: BEATRIX EDITH JANSEN Saya berjanjia sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.
12.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Silakan duduk kembali. Terima kasih, Rohaniwan. Pemohon, siapa dulu yang akan didengar keterangannya? Apakah Saksi atau Ahli?
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: FAHMI H. BACHMID Ahli, Yang Mulia. 2
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ahli, baik. Saya persilakan Pak Refli Harun.
16.
AHLI DARI PEMOHON: REFLI HARUN Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua. Om swastiastu. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Wakil Pemerintah, dan Kuasa DPR yang terhormat. Pemohon Prinsipal dan Kuasa Pemohon Yang Terhormat. Hadirin sekalian yang berbahagia. Sepanjang yang dapat Ahli pahami pokok permohonan dalam permohonan ini adalah terkait dengan keberadaan Pasal 41 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang berbunyi, “Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum undang-undang ini diundangkan dan belum berusia 18 tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang ini dengan mendaftarkan diri kepada menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 tahun setelah undang-undang ini diundangkan.” Adapun Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan Pasal 5 berbunyi sebagai berikut. Pasal 4: c. “Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing.” d. “Anak yang terlahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia.” Saya bold di sana highlight karena memang ini kasus yang konkret di hadapi. Kemudian huruf h, “Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.” l. “Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.” Adapun Pasal 5 berbunyi, “Anak warga negara ... ayat (1), “Anak warga negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah belum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia. Ayat (2), “Anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak warga negara asing, berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.”
3
Menurut Ahli, Yang Mulia, ketentuan pasal tersebut sebaiknya memang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tidak sekedar dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sebagaimana permohonan Pemohon. Terobosan besar bagi Undang-Undang Kewarganegaraan yang berlaku saat ini adalah pengakuan terhadap kewarganegaraan anak yang lahir dari percampuran kewarganegaraan yang salah satunya adalah berkewarganegaraan Indonesia, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Indonesia menganut asas ius sanguinis (law of the blood) secara mutlak, yaitu berdasarkan keturunan dari pihak ayah. Mereka yang lahir dari ibu warga negara Indonesia dan ayah dari warga negara asing, maka anak yang lahir otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 anak yang lahir dari ayah warga negara asing pun diakui sebagai warga negara Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf d yang berbunyi, “Warga negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia.” Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 bahkan mengakui dua kewarganegaraan anak sekaligus hingga usia 18 tahun asas kewarganegaraan ganda terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi, “Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf l dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.” Ketentuan Pasal 41 justru membelokkan paradigma baru yang hendak dibangun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dengan mewajibkan pendaftaran bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran kewarganegaraan tersebut dalam jangka waktu empat tahun setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 diundangkan, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006 terhadap anak yang lahir sebelum undang-undang ini diundangkan. Pertanyaannya, bagaimana bila orang tua anak tidak mendaftarkan anaknya untuk memiliki kewarganegaraan Indonesia, baik karena memang tidak mendaftar, tidak tahu, atau lupa sehingga habis tenggat waktu yang diberikan? Tentunya secara otomatis anak tersebut kehilangan hak kewarganegaraan Indonesianya sebagaimana dialami Gloria Natapradja Hamel. Pada titik ini Ahli berpandangan ketentuan pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setidaknya dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, 4
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ketentuan Pasal 41, tidak memberikan perlindungan hukum yang adil, sekali lagi, tidak memberikan perlindungan hukum yang adil kepada anak dimaksud, termasuk Gloria Natapradja Hamel. Seandainya pun orang tua Gloria secara sengaja tidak mendaftarkan Gloria dalam jangka waktu yang ditentukan, mohon maaf saya tidak tahu faktanya, Gloria tidak boleh kehilangan hak kewarganegaraan Indonesianya. Selain itu, ketentuan Pasal 41 justru bertentangan dengan asasasas kewarganegaraan yang dianut dalam undang-undang ini sendiri, setidaknya misalnya asas ius soli law of the soul ... law of the soil, kemudian asas kewarganegaraan ganda terbatas, kemudian asas perlindungan maksimum, asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, asas non diskriminatif, kemudian asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kewarganegaraan anak seperti Gloria seharusnya ditentukan oleh Gloria sendiri setelah ia dewasa, setelah berusia 18 tahun atau ketika sudah menikah, bukan oleh orang lain termasuk orang tuanya sekalipun. Karena Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Wakil Pemerintah, Pemohon Prinsipal, dan Kuasa Pemohon yang terhormat. Sebagaimana telah disinggung di awal di bagian awal ketentuan Pasal 41 ... sebagaimana telah disinggung di bagian awal, ketentuan Pasal 41 sebaiknya dibatalkan dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak perlu dinyatakan inkonstitusionalitas bersyarat (conditionally unconstitutional) sebagaimana dikehendaki Pemohon, agar tidak terjadi duplikasi dengan ketentuan yang sudah diatur sebelumnya. Selain itu, fungsinya sebagai ketentuan peralihan memang tidak diperlukan lagi kalau seandainya antara anak yang lahir setelah 1 Agustus dan sebelum 1 Agustus 2006 diperlakukan sama (non diskriminasi). Artinya, sebelum usia 18 tahun baik mereka yang lahir setelah 1 Agusutus atau sebelum 1 Agustus 2006 tetap diakui kewarganegaraan gandanya sampai usia 18 tahun dan itu sebenarnya, Yang Mulia, terukur sifatnya, artinya kalau kemudian ditarik sampai 2016 saat ini maka sudah 10 tahun dan pastilah terbatas anak-anak yang akan berusia 18 tahun tersebut. Jadi tidak juga tidak memiliki ketentuan yang tidak terbatas. Lebih daripada itu, bila ditafsirkan tafsir inkonstitusional bersyarat sebagaimana kehendaki … sebagaimana dikehendaki Pemohon, bisa ditafsirkan anak yang bersangkutan telah ditentukan sebagai warga negara Indonesia. Padahal bisa saja anak yang bersangkutan memilih kewarganegaraan selain Indonesia setelah berusia 18 tahun.
5
Sekali lagi, Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan, termasuk hak untuk memilih kewarganegaraan selain Indonesia. Ahli mengikuti betul bahwa dalam kasus ini Gloria Natapradja Hamel, berkeinginan ... kalau tidak salah untuk menjadi warga negara Indonesia dan itupun tidak bisa dihalangi. Kalaupun nanti yang bersangkutan berusia 18 tahun, memilih kewarganegaraan ayahnya misalnya, maka hukum pun membolehkan karena Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kita melindungi hak tersebut dengan kata orang. Jadi siapapun dilindungi haknya untuk memilih kewarganegaraan. Demikian keterangan Ahli ini. Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Om shanti shanti shanti om. 17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Refli. Berikutnya Ibu Beatrix Edith, silakan.
18.
SAKSI DARI PEMOHON: BEATRIX EDITH JANSEN Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera, Om swastiastu, dan selamat siang untuk Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi dan Hadirin sekalian. Nama saya Beatrix Jansen, saya berkewarganegaraan Indonesia dan pelaku perkawinan campuran. Saya menikah dengan pria pada tahun 1997 dan menetap di Melbourne. Suami saya adalah berkewarganegaraan Australia, bernama Peter James O’Brien. Kami dikaruniai dua orang anak, yang pertama lakilaki pada tahun 1998 dan perempuan yang lahir pada tahun 2001. Saya dan keluarga memutuskan kembali ke Indonesia pada tahun 2012 dan sekarang tinggal di Jakarta. Saya sama sekali tidak pernah mendapatkan surat edaran lewat pos ataupun lewat email tentang perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan bagi anak-anak hasil perkawinan campuran antara WNI dan WNA. Walaupun sebenarnya pada saat saya tinggal di Melbourne melapor ke Konsulat Indonesia setiap kali ada perubahan tentang ada alamat atau perubahan data-data pribadi diri saya. Pada suatu hari sekitar tahun 2008 di Melbourne, saya mendengar dari seorang teman tentang adanya Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, yang dikeluarkan Tahun 2006. Namun, ketika saya tanyakan kepada konsulat, saya mendapatkan jawaban bahwa hanya anak-anak yang lahir sesudah bulan Agustus tahun 2006 yang berhak mendapatkan kewarganegaraan ganda terbatas. Pada saat itu saya cukup sedih dan kecewa karena kedua anak saya lahir sebelum tahun 2006. Ketika keluarga kami memutuskan untuk pindah ke Indonesia pada tahun 2012 di akhir Januari, saya pun harus mengurus izin tinggal terbatas yang diperpanjang setiap tahunnya untuk suami dan anak-anak 6
saya. Setelah menetap di Indonesia, barulah saya mendapat informasi yang lebih lengkap tentang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 berikut pasal peralihan dalam Pasal 41, tetapi pada saat itu saya berpikir bahwa sudah terlambat untuk mendaftarkan anak-anak saya. Majelis Hakim Yang Terhormat. Saya sangat menyesalkan kelalaian perwakilan Republik Indonesia dalam hal ini pihak konsulat untuk mensosialisasikan perundang-undangan dan peraturan tersebut. Sehingga bukan hanya saya, tetapi banyak juga warga negara Indonesia di luar negeri yang terlambat untuk mendaftarkan anak-anak mereka dan untuk mendapatkan kesempatan mempunyai kewarganegaraan ganda terbatas. Sebagai keterangan tambahan, pada saat saya mengajukan KITAS pertama kali untuk suami dan anak-anak saya di Keimigrasian Jakarta Pusat, pada saat saya menunggu, saya menanyakan informasi tentang KITAP sebagai pengisi waktu luang saya. Dan petugas imigrasi Jakarta Pusat yang saat itu saya tanyakan, beliau menginformasikan kepada saya bahwa suami dan anak-anak saya harus mengajukan lima kali KITAS berturut-turut, berarti menunggu selama lima tahun sebelum dialih statuskan menjadi KITAP. Padahal ternyata dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, menyatakan bahwa perkawinan campur antara WNI dan WNA yang sudah menikah dua tahun atau lebih bisa langsung mendapatkan KITAP tanpa harus menunggu lebih dari lima tahun. Semoga kesaksian saya ini bisa menjadi masukan yang baik, agar di masa depan Pemerintah Indonesia dapat lebih komunikatif kepada setiap warga negaranya, di mana pun mereka berada. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera, Om swastiastu. 19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Dari Pemohon akan ada yang dimintakan klarifikasi atau penjelasan lebih lanjut baik dari Ahli maupun Saksi?
20.
KUASA HUKUM PEMOHON: FAHMI H. BACHMID Sementara saya mau bertanya satu kepada Beatrix (fakta) tentang umur anak sekarang itu ada tiga karena di sini umurnya ada berapa semua?
21.
SAKSI DARI PEMOHON: BEATRIX EDITH JANSEN Anak-anak saya yang paling tua berumur 18 tahun ya karena lahir 5 Februari 1998 dan yang kedua yang paling kecil berumur 15 tahun lahir pada 18 Mei 2001. 7
22.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ada lagi? Cukup. Dari Pemerintah? Cukup. Baik. Dari meja Hakim? Silakan.
23.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Saya kepada Ahli, Bapak Dr. Refli Harun. Pak Refli, keterangannya cukup clear, ya, saya kira hadir undang-undang ini intinya tadi kan memang maksud dan tujuan hadirnya adalah untuk melindungi seseorang yang sesungguhnya dia sebetulnya bisa menjadi WNI, tapi justru malah ditentukan oleh dirinya sendiri ya setelah dewasa, 18. Kalau selama ini kan dalam praktiknya justru yang menentukan orang tua karena ada masa peralihan, artinya memang dia belum dewasa, kan. Oke, itu saya kira itu cukup clear. Pertanyaannya, yang namanya undang-undang kan tetap ada pembatasan. Nah, tadi Ahli juga sudah menyampaikan ada pembatasan. Kemudian, aturan peralihan seyogianya dihapuskan. Nah, pembatasan yang ada dalam undang-undang kita ini adalah juga antara lain sampai umur 18 tahun dan masa pikir tiga tahun. Nah, bagaimana halnya kalau ada di kemudian hari kalau aturan peralihan kita hilangkan sama sekali ada orang yang umurnya sudah 22 tahun, dia sudah dewasa. Lho, saya kan anaknya WNI juga? Ini dalam case lain. Kalau dalam ini kan sudah jelas. Nah, saya ingin pendapat Ahli supaya juga jangan terlalu terjun bebas, maksudnya begitu. Terima kasih.
24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ada yang lain? Disilakan.
25.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, saya … terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya cuma mau menanyakan kepada Ahli, apa yang dimaksud dengan komplikasi itu? Sehingga apa … di keterangan keahliannya kan ada itu, “Supaya tidak terjadi komplikasi dengan ketentuan-ketentuan lainnya,” begitu kan? Yang di angka berapa itu? He em. Oh, implikasi … duplikasi, sori, ya. Supaya tidak ada duplikasi dengan ketentuan sebelumnya. Ini merujuk ke mana ini maksudnya itu? Saya mengikuti jalan pikiran itu dari Ahli ini, tetapi ini yang saya mau apa namanya … tanyakan, duplikasinya itu ke mana maksudnya merujuk itu? Kalau jalan pikirannya bisa saya ikuti, bukan berarti menyetujui, tapi artinya clear jalan pikirannya, sehingga kalau itu pendapat kan tidak bisa saya apa-apakan, ya. Tapi yang saya mau mintakan klarifikasi itu soal duplikasi itu. Terima kasih, Pak Ketua.
8
26.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Yang Mulia.
27.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Pak Refli Harun, Dr. Refli Harun. Begini, Pak Refli, ini kan memang ketika itu ada peraturan peralihan yang memberi keleluasaan kepada warga negara yang belum menjadi WNI yang diberi tenggang waktu empat tahun itu. saya tidak … saya mencoba mencari alasan-alasan pembentuk undang-undang itu, kenapa kok hanya diberi interval waktu empat tahun itu? Apakah di sana ada alasan Bapak barangkali kemungkinan-kemungkinan memang negara harus bertindak hati-hati. Ketika kemudian kalau ini diterjunbebaskan sebagaimana yang disinggung Pak Patrialis tadi, apakah Pak Refli melihat ada hal-hal yang bisa menunjukkan adanya kerugian-kerugian bagi negara ketika aturan peralihan ini kemudian tidak diberlakukan ketika itu? Atau barangkali lebih bagus karena ini juga sifatnya eksepsional dan hanya sejumlah orang yang sebenarnya tidak banyak, Pak Refli? Kemarin data dari saksi-saksi yang hadir di persidangan sebelumnya kan hanya puluhan. Mana yang menurut Bapak barangkali apakah ini lebih baik kita buka sama sekali ataukah memang lebih baik karena ini eksepsional dan ada kekosongan hukum kenapa tidak disalurkan saja melalui penetapan pengadilan, misalnya? Pemerintah bisa memberikan penggarisan misalnya ini secara prodeo, sama seperti masalah akta kelahiran itu. Nah, saya minta pilihan-pilihan pandangan Pak Refli barangkali ini bisa menjadi pandangan juga bagi Mahkamah. Terima kasih, Pak Ketua.
28.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Pak Manahan, silakan.
29.
HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik, terima kasih, Yang Mulia. Juga kepada Ahli Dr. Refli juga saya melihat undang-undang … setiap undang-undang itu di aturan peralihannya adalah ketentuan untuk apa namanya ... menetapkan halhal yang mungkin masa transisi itu diperlukan. Jadi, saya melihat undang-undang kan berlaku adalah sejak undang-undang itu diundangkan. Nah, kalau tidak ada ini, bagaimana nasib dari anak-anak yang lahir sebelum undang-undang itu? Jadi, saya lihat memang di sini yang saya lihat bahwa berlaku undang-undang ini secara retroaktif kalau melihat dari rumusan dari pasal peralihan itu. Tentu akan menjangkau anak-anak yang lahir 9
sebelum 2006. Jadi, kalau ini tadi istilah Pak Patrialis terjun bebas, tentu ini nanti akan menjadi masalah juga kalau ini tidak dijangkau. Sehingga menurut saya memang ini haruslah dicari jalan keluar yang eksepsional, bagaimana ketentuan-ketentuan khusus dari pemerintah barangkali memberi jalan keluar karena hal ini bisa dalam mengajukan permohonan, seperti misalnya anak yang lahir yang melalui ... melewati batas pendaftaran kepada catatan sipil bagi anak-anak yang lahir. Demikian juga hal lain juga yang sering dilaksanakan oleh pemerintah. Barangkali itu pemikiran saya dari segi aturan peralihan yang memuat ... memuat norma secara retroaktif. Barangkali itu, Yang Mulia. Terima kasih. 30.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Saya persilakan, Ahli Pak Refli Harun.
31.
AHLI DARI PEMOHON: REFLI HARUN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih atas pertanyaan Yang Mulia Pak Patrialis, Pak Palguna, Pak Suhartoyo, dan Pak Manahan Sitompul. Saya ingin mencoba menjawab pertanyaan dari Yang Mulia Pak Hakim Konstitusi Pak Patrialis Akbar mengenai kalau lebih dari 22 tahun. Ini tidak mudah kalau seandainya katakanlah pasal peralihan ini dihapuskan, maka kan sesungguhnya ini merujuk pada mereka yang belum berusia 18 tahun sesungguhnya. Sebenarnya begitu. Jadi, kalau yang sudah berusia 18 tahun atau sudah menikah atau sudah kawin, sebenarnya kan tidak lagi dirujuk karena kewarganegaraan ganda itu hanya sampai 18 tahun. Nah, tetapi dalam kasus Ibu Beatrix karena yang tertua itu 18 tahun, maka kan ada periode untuk memilih yang tadi 18 sampai 21 tahun. Jadi, bagi putra atau putri Ibu Beatrix tidak terlambat untuk memilih kewarganegaraan Indonesia kalau seandainya ingin memilih tetap menjadi warga negara ... untuk memilih jadi warga negara Indonesia. Tetapi terhadap mereka yang sudah 22 tahun atau 70 tahun misalnya, ini memang perlu pemikiran khusus, Yang Mulia. Kan pilihannya adalah kita mau ... mau memberikan kesempatannya atau tidak. Itu saja persoalannya. Kalau kita mau memberikan kesempatan, barangkali nanti legislasi perubahan terbatas Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia ini mengaturnya atau dalalm beberapa putusan, mohon maaf yang saya baca dari Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi sendiri yang sudah memberikan jalan seperti itu. Jadi, silakan terhadap pilihan itu apakah dikembalikan pada
10
legislasi terbatas, apakah kemudian MK yang memberikan kepastian hukumnya. Yang kedua, kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi Pak Palguna. Ya, duplikasi itu maksudnya kan di dalam pasal ... di Undang-Undang Kewarganegaraan sudah dikatakan mereka diakui kewarganegaraannya bahwa seperti Gloria misalnya, walaupun ibunya warga negara Indonesia, lalu kemudian ayahnya warga negara Perancis, tetapi dengan undang-undang ini Gloria harusnya menjadi warga negara Indonesia, kan begitu. Sebelum adanya ... kalau seandainya pasal peralihan ini ditiadakan. Lalu kemudian, sampai 18 tahun bisa memilih, kan begitu. Nah, kalau seandainya permohonan Pemohon ini diikuti, permohonan Pemohon kan mengatakan bahwa bla, bla, bla adalah warga negara Indonesia, kan begitu ujungnya. Menurut saya redundant, ada redundancy dengan pasal-pasal sebelumnya sudah ... memang sudah menjamin bahwa 18 tahun ... sebelum 18 tahun itu dia sudah double kewarganegaraan terbatas. Jadi, kalau disebutkan dia warga negara Indonesia, malah nanti khawatir ... dikhawatirkan ditafsirkan dia sudah memilih. Padahal sikap saya mengatakan untuk memilih itu harus diberikan kepada yang bersangkutan ketika dia dewasa, bukan dipilihkan oleh orang tuanya karena ini adalah bagian dari hak asasi manusia, hak untuk memilih kewarganegaraan. Kemudian, kepada Yang Mulia Hakim Suhartoyo mengenai masalah peralihan itu rasionalitasnya apa? Memang kalau kita bicara mengenai waktu, Prof. Maria mungkin paham betul, memang relatif sekali di dalam undang-undang itu menyebut waktu kenapa harus lima tahun, kenapa harus tujuh tahun, kenapa harus empat tahun, itu relatif sekali. Kadang-kadang kebiasaan saja, tetapi kebiasaan itu kan biasanya lima tahun dan lain sebagainya. Tetapi sekali lagi bukan waktunya yang saya persoalkan, Yang Mulia Hakim Suhartoyo, yang saya persoalkan adalah bahwa seolah-olah penentuan kewarganegaraan ini ditentukan oleh orang tua yang bersangkutan. Padahal undang-undang ini kan sudah bagus di awal bahwa mereka yang lahir dari percampuran kewarganegaraan antara Indonesia dan asing itu diakui sebagai warga negara ganda terbatas sampai 18 tahun dan biarkan anak yang memilih nantinya. Nah, kalau ada periode empat tahun seperti ini seolah-olah nanti ada dispute, seolah-olah ketika yang bersangkutan mendaftar orang tuanya seolah-olah sudah memilih warga negara Indonesia karena kan ada sertifikasi yang dikeluarkan. Nah, ini yang padahal anak seperti Gloria bisa saja setelah 18 tahun dia berpikir lebih enak jadi warga negara Prancis, ini mohon maaf, atau warga negara non Indonesia. Karena itu biarkan nanti ketika orang seperti ... anak seperti Gloria dewasa untuk menentukan sendiri secara sadar kewarganegaraan apa yang akan dia pilih.
11
Lalu kemudian ke Yang Mulia Hakim Manahan Sitompul. Kalau misalnya kita bicara tentang masa peralihan atau retrospektif. Perspektifnya ada dua retrospektif menurut saya, sebenarnya kalau kita lihat dari usia kan tidak retrospektif. Kan dikatakan bahwa sebelum berusia 18 tahun maka dia bisa berkewarganegaraan ganda terbatas. Maka sesungguhnya kalau dilihat dari ini anak-anak seperti Gloria kan tidak retrospektif, dia belum 18 tahun, sehingga ketentuan bahwa dia belum 18 tahun itu bisa berkewarganegaraan ganda terbatas, bisa diterapkan, dan tidak retrospektif. Kecuali retrospektif itu dia sudah lebih dari 18 tahun, itu menurut saya sedikit retrospektif apalagi kalau dia 22 tahun, misalnya. Nah, tetapi memang kalau dilihat dari lahirnya, lahirnya per 1 Agustus 2006 memang sepertinya retrospektif karena itu menurut saya perspektifnya kalau saya lebih suka melihatnya … lebih setuju melihatnya jangan dilihat kapan dia lahirnya, tapi dilihat apakah dia sudah berusia 18 tahun atau belum. Nah, ketika dia belum berusia 18 tahun maka kategorinya dia kan anak-anak, orang yang belum bisa menentukan pilihan secara dewasa dianggap di depan hukum kan begitu. Sehingga kemudian biarkan dia entah dia masih bayi, sudah berusia dua tahun ketika undang-undang itu lahir, atau kemudian baru lahir sepanjang dia berusia kurang atau belum 18 tahun maka kemudian dia memiliki kesempatan yang sama. Nah, inilah yang menurut saya yang kemudian menjadi diskriminatif ketika sama-sama 18 tahun, tapi tiba-tiba memiliki perlakuan yang berbeda, sama-sama kurang dari 18 tahun karena soal periode lahirnya. Jadi sama sekali menurut saya tidak retrospektif kalau acuannya adalah 18 tahun. Saya kira itu, Yang Mulia. 32.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Pak Refli. Ada yang akan disampaikan Pemohon, cukup? Pemerintah?
33.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Cukup, Yang Mulia.
34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kalau begitu persidangan pada siang hari ini sudah selesai. Terima kasih kepada Pak Refli Harun yang sudah memberikan keterangan di persidangan Mahkamah, begitu juga Ibu Beatrix, terima kasih. Apakah akan masih mengajukan ahli, atau saksi, atau sudah cukup?
12
35.
KUASA HUKUM PEMOHON: FAHMI H. BACHMID Cukup, Yang Mulia.
36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, ya. Dari Pemerintah?
37.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Pemerintah tidak mengajukan ahli, Yang Mulia.
38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, ya. Baik, kalau begitu sidang rangkaian dalam Perkara 80/PUU-XIV/2016 ini sudah selesai, tinggal kita menantikan kesimpulan dari Pemohon dan dari Pemerintah. Kesimpulan paling lambat diserahkan Rabu, 30 November 2016, pada pukul 12.00 WIB di Kepaniteraan, ya. Tidak ada persidangan lagi. Saya ulangi, Rabu, 30 November 2016, pada pukul 12.00 WIB. Ada yang akan disampaikan? Cukup, ya. Dari Pemerintah cukup? Baik, sekali lagi terima kasih, Pak Refly dan Ibu Beantrix. Persidangan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.43 WIB Jakarta, 22 November 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
13