MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANGUNDANG NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA KAMIS, 15 DESEMBER 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 15 ayat (2), Pasal 84 ayat (2), Pasal 260 ayat (1), Pasal 261 ayat (1) huruf i, dan Pasal 300 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Gusti Kanjeng Ratu Hemas 2. Djasarmen Purba 3. Marhany Victory Poly Pua, dkk ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Kamis, 15 Desember 2016 Pukul 10.21 – 11.38 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Patrialis Akbar 2) Aswanto 3) I Dewa Gede Palguna Syukri Asy’ari
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Gusti Kanjeng Ratu Hemas 2. Djasarmen Purba 3. Anang Prihantoro 4. Marhany Victor Poly Pua 5. Hafidh Asrom B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Andi Irmanputra Sidin 2. Iqbal Tawakal Pasaribu 3. Victor 4. Alungsyah 5. Agustiar
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.21 WIB 1.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Kita mulai, ya, Pak Irman, ya. Bismillahirrahmaanirrahiim. Pemeriksaan Pendahuluan dalam Perkara Nomor 109/PUU-XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Silakan, Para Pemohon memperkenalkan diri dulu.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Terima kasih, Yang Mulia. Hari ini yang hadir Kuasa Pemohon hadir semua, Yang Mulia. Kemudian, Prinsipal yang hadir hari ini, pertama (...)
3.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Siapa saja Kuasa Pemohonnya? Antara lain?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Andi Irmanputra Sidin. Kemudian saya sendiri, Iqbal Tawakal Pasaribu, kemudian Victor, kemudian Alungsyah, dan Agustiar. Kemudian untuk Prinsipal yang hadir pada hari ini pertama: Gusti Kanjeng Ratu Hemas, kemudian Djasarmen Purba, Ir. Anang Prihantoro dan Marhany Victor Poly Pua, dan ada tiga orang anggota DPD yang juga ikut hadir di sini untuk melihat, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Baik. Terima kasih. Selamat datang kami sampaikan pada Ibu Ratu Hemas, ya, Pak Jasarman Purba, Pak Ir. Anang Prihantoro, dan Pak Marhany Victor, ini kawan lama semuanya ini. Selamat datang di Mahkamah Konstitusi, ya. Hari ini persidangan kita adalah ingin mendengarkan paparan secara singkat, padat, pokok-pokok masalah yang dihadapi atau yang ingin dilakukan pengujian judicial review-nya oleh Para Pemohon. Silakan.
1
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan menyampaikan terkait dengan kewenangan Mahkamah dan legal standing terlebih dahulu yang pokok perkara akan dilanjutkan oleh Bapak Andi Irman Putra Sidin. Pertama, kewenangan Mahkamah kami anggap dibacakan, Yang Mulia. Kemudian kedudukan hukum pertama di sini kami mengurai ada sedikit tentang kronologi yang kami anggap dibacakan tentang proses yang terjadi di DPD tentang pembahasan peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib yang kemudian dalam proses tersebut terjadi banyak perdebatan dan kemudian menurut kami di sini terjadi kerugian konstitusional yang timbul dalam proses tersebut akibat ketiadaan norma-norma yang diatur dalam Undang-Undang MD3, Yang Mulia. Nah, pertama isu yang akan kami uraikan di sini pertama, Pemohon I bertindak sebagai warga negara perorangan, warga negara perorangan yang juga kemudian menjabat sebagai wakil ketua DPD RI dan juga sebagai anggota DPD RI. Kemudian di Pemohon II juga sebagai anggota DPD RI juga sebagai perorangan warga negara, kemudian Pemohon III juga anggota DPD RI yang juga bertindak sebagai perorangan warga negara dan Pemohon IV juga sebagai anggota DPD RI yang juga merupakan bertindak atas perorangan warga negara, Yang Mulia. Adapun rangkaian konstitusionalnya sudah kami uraikan semua di dalam uraian permohonan ini yang kemudian dalam pokok permohonan ini akan dilanjutkan oleh Bapak Andi Irman Putra Sidin, Yang Mulia. Terima kasih.
7.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia, Ketua dan anggota Majelis Panel. Jadi, maksud permohonan kami ini tidak semata Yang Mulia soal kekuasaan yang mau dipertahankan, tapi yang utama adalah gol-nya yang diinginkan adalah pembangunan sistem ketatanegaraaan seperti diketahui bahwa ternyata masa jabatan pimpinan lembaga parlemen sejak tahun 1970 itu tidak pernah diatur dalam undang-undang. Semuanya hidup berdasarkan (suara tidak terdengar jelas), konvensi ketatanegaraan yang lima tahun di situ, tapi kemudian tiba-tiba ada proses politik yang terjadi di internal DPD yang kemudian ternyata tiba-tiba berubaha menjadi 2,5 tahun di situ. Nah, hal inilah yang kemudian kami adukan permohonan di Mahkamah Konstitusi karena ternyata proses politik itu harus kita sepakati harus tunduk pada demokrasi konstitusional dimana proses politik itu tidak tunduk pada demokrasi mayoritas saja, tapi ada kualitas demokrasi yang penting di situ, seperti yang kita sepakati dalam 2
beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya bahwa ada demokrasi yang kualitatif tidak hanya pada kuantitatif di situ. Nah, kami mengajukan permohonan uji undang-undang ini tidak hanya menyangkut masa jabatan pimpinan DPD tapi juga pada rumpun pimpinan DPR dan pimpinan MPR. Sebenarnya juga kami menginginkan pimpinan DPRD, tapi nampaknya untuk legal standing ke arah sana kami masih jauh lompatnya di situ, tapi kalau pimpinan DPR dan pimpinan MPR masih satu rumpun dalam kamar MPR karena anggota DPD adalah anggota MPR sehingga kami pikir itu MPR juga kami dapat di situ dan anggota MPR adalah anggota DPR sehingga pimpinan DPR juga kami … kami mempersoalkan di situ. Nah, ketiadaan masa jabatan pimpinan, pimpinan parlemen diatur dalam undang-undang ini ternyata kemudian menimbulkan proses yang tidak kita anggap sepele begitu saja karena ternyata ini sudah menimbulkan efektivitas penyelenggaraan kekuasaan legislatif itu menjadi terancam, mungkin sekarang pimpinan ... mungkin sekarang DPD mengatur masa jabatannya 2,5 tahun atau 2,6 tahun, mungkin suatu saat bisa berubah menjadi satu tahun atau mungkin suatu saat mereka menginginkan bergiliran masing-masing satu minggu menduduki ketua, itu bisa terjadi seperti itu. Karena rupanya apa … nomor plat RI 7 ini juga menarik untuk digilir tiap minggu, bisa jadi seperti itu. Nah, ini kemudian yang kita pikir. Kalau kemudian ada ruang bagi peraturan internal parlemen untuk mengatur masa jabatan pimpinannya, akhirnya day to day parlemen itu akan berbicara tentang perebutan kekuasaan, sementara fungsi-fungsi utamanya, legislasi anggaran dan pengawasan yang mereka datang mewakili aspirasi daerah itu akan terbengkalai di situ. Maka kemudian kita berpikir bahwa ini harus untuk diberikan kepastian konstitusional di Mahkamah Konstitusi tentang masa jabatan ini. Ini pun kami berani untuk mengajukan gugatan ini di Mahkamah Konstitusi karena ada preseden, preseden berapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan tentang masa jabatan itu. Nah, pertama adalah Kasus Pimpinan KPK Busyro Muqoddas, ketika itu terjadi perbedaan penafsiran tentang masa jabatan pengganti, kemudian akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan masa jabatan itu. Kemudian dia ikuti dengan perkara Kasus BPK, kemudian masa jabatan ketua MK sendiri, kalau tidak salah, dan terakhir adalah masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang ketika itu diperdebatkan bisa seumur hidup karena tidak ada pengaturan dalam undang-undang di situ. Nah, dalam keempat putusan ini MK sudah memberikan penegasan bahwa memang penting untuk diatur tentang masa jabatan itu di situ. Nah, dari sinilah kemudian kami berpikir untuk bermohon kepada Mahkamah Konstitusi agar ada menjadi payung konstitusional bagi proses politik di DPD. Karena kami menyadari bahwa politik tanpa payung konstitusi politik itu akan menjadi anarki dan itulah yang dirasakan oleh Para Pemohon saat ini dan anggota-anggota DPD, 3
sehingga semuanya bisa kembali kepada proses konstitusi. Bukan hanya sampai tentang masa jabatan, rupanya juga ada perdebatan menginginkan agar laporan kinerja pimpinan DPD yang tadinya berpikir sebagai laporan kinerja kelembagaan, itu ternyata dimasukkan pada rezim pemberhentian pimpinan DPD. Karena gagal untuk memberhentikan apa ... gagal untuk memberhentikan di rezim masa jabatan, keinginan, rupanya diikuti lagi untuk membuat mekanisme pemberhentian baru di rezim menolak laporan pertanggungjawaban pimpinan. Ini yang kami dalilkan bahwa tidak bisa seperti itu. Karena itu bisa jadi DPD bisa membubarkan dirinya sendiri kalau ada laporan kinerja pimpinan yang kemudian ditolak, bisa berujung pada pemberhentian yang bersangkutan. Sebab apa? Laporan kinerja pimpinan adalah laporan kinerja kelembagaan yang bukan laporan kinerja personal, sebab itu adalah ada alat-alat kelengkapan yang kemudian dilaporkan oleh pimpinan ke paripurna yang kemudian tidak bisa ditolak dan berujung pemberhentian kepada pimpinan tersebut. Sama dengan kalau misalnya analoginya adalah presiden memberikan laporan pertanggungjawaban ke MPR, kemudian MPR menolak laporan pertanggungjawabannya, maka bubarlah presiden itu. Kalau mungkin sistem ini terjadi, maka mungkin presiden dibubarkan oleh parlemen. Tapi ini DPD membubarkan dirinya sendiri dan ini bisa berbahaya kalau seperti itu. Dan yang berikutnya lagi, yang kami gugat adalah ketentuan yang sifatnya sebenarnya adalah kita mengetahui bahwa ketentuan tersebut di mana-mana adalah peraturan perundang-undangan itu tidak boleh berlaku surut kecuali ada dalam keadaan-keadaan tertentu di situ. Namun nampaknya, ada libido politik yang begitu dahsyat untuk kemudian memberlakukan peraturan tersebut kemudian menjadi berlaku surut di situ, menjadi berlaku surut. Nah, kemudian kita memberikan konfirmasi konstitusional di Mahkamah Konstitusi ini, walaupun kita tahu bahwa perkembangan sejarah ketatanegaraan memang semakin hari semakin memang membutuhkan tulisan-tulisan negara terhadap kepastian hukum itu. Karena kita tahu dulu DPR tidak bisa, presiden tidak bisa membubarkan DPR. Tapi kenyataannya terjadi ketika masa Gusdur dulu presiden membubarkan parlemen, kemudian konstitusi kemudian harus menulisnya dalam Undang-Undang Dasar bahwa DPR tidak bisa dibubarkan oleh presiden. Nah, fenomena seperti ini kemudian diikuti lagi oleh undangundang berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang MD3 kemudian Pasal 300 ayat (1) mengatakan bahwa peraturan tata tertib DPD disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan. Seharusnya memang begitu tidak perlu ditulis, tapi perlu ditulis. Nah, pada Pasal 300 ayat (2) nampaknya karena peraturan DPD berlaku pada internal DPD, ini kemudian muncul tafsir-tafsir politik karena berlaku di internal, 4
maka bisa diberlakukan sampai kapan saja di situ. Bahkan sebelum orang itu menjadi anggota DPD, bisa saja diberlakukan di situ. Dan walhasil adalah ada tindakan eksesif politik kemudian terjadi, ketika pergantian pimpinan parlemen, ketika ketua DPD menjadi apa ... kena operasi tangkap tangan, kemudian berujung pada pergantian, tiba-tiba keluar keputusan Ketua DPD pengganti dengan masa jabatan enam bulan, gitu. Jadi SK ketua DPD baru itu adalah 2016 dan 2017 di situ, ini menimbulkan kontradiksi, ini menimbulkan komplikasi. Apakah dia pengganti? Apakah dia masa jabatan berapa? Apakah dia masa jabatan berapa? Dari fenomena fakta inilah kemudian tidak ada jalan lain adalah kami mempercayai ... apa ... kami mencoba membangun kepercayaan diri untuk meyakinkan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa ada problem masa jabatan parlemen yang mungkin perlu diatur karena kami juga menyadari bahwa sekarang pun ada masa jabatan kekuasaan kehakiman yang juga sedang mau ditata oleh Mahkamah Konstitusi di situ. Nah, masa jabatan parlemen ini menjadi penting untuk diatur karena tampaknya ada proses politik yang terus bergerak ingin mencungkil pimpinan DPD dengan rezim masa jabatan. Hal ini bisa terjadi suatu saat kalau suatu saat misalnya MPR melakukan sidang, melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, presiden juga bisa dicungkil di tengah jalan oleh MPR dengan mengurangi masa jabatan yang tadinya lima tahun menjadi dua setengah tahun, tiga tahun, atau satu tahun, di situ, kemudian presiden berhenti di tengah jalan. Hal inilah yang kemudian kita mau menata kembali, kami mau menata kembali mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi ini dan Yang Mulia Ketua dan Anggota Panel Mahkamah Konstitusi bahwa proses politik di DPD ini berjalan begitu cepat sehingga ada antisipasi bahwa April, 1 April ini kemungkinan akan terjadi eksekusi secara politik terhadap ketentuan ini sehingga kami dengan segala kerendahan hati memohon kepada Mahkamah Konstitusi dengan meminta pertama adalah putusan provisi. Kami sangat menyadari bahwa putusan provisi ini mahal harganya di Mahkamah Konstitusi walaupun kami juga sadar pernah keluar satu putusan provisi di Mahkamah Konstitusi waktu kasus Bibit-Chandra kalau tidak salah di situ, tapi kami menganggap bahwa kami harus yakin bahwa putusan kami minta ini tidak mengada-ada karena pertama adalah kami hanya meminta tentang putusan provisi menyangkut konfirmasi antara ... apa ... conditionally unconstitutional, yaitu menunda keberlakuan Pasal 300 ayat (2) bahwa tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD sepanjang tidak dimaknai itu tidak berlaku surut di situ. Jadi, kami meminta conditionally unconstitutional dalam bentuk putusan provisi. Jadi kami mempelajari berapa permintaan yang dulu-dulu karena mereka meminta tindakan-tindakan yang kemudian bisa menghentikan 5
sistem yang berjalan, maka kami percaya bahwa putusan yang kami minta ini tidak menghentikan sistem yang berjalan pertama karena ketentuan tatib ini hanya berlaku di internal DPP, tidak berlaku secara luas seluruh di Indonesia di situ dan keinginan kami ini pun hanya menyangkut dihentikan sementara jikalau ditafsirkan diberlakukan surut oleh DPD melalui peraturan tata tertib itu, ini putusan provisi yang kami minta karena ada proses politik yang sedang berjalan, bahkan yang kami dengar mungkin nanti akan diperjelas oleh Pemohon Prinsipal kami selanjutnya tanggal 20 Desember, lima hari ke depan itu, kemungkinan akan ada eksekusi di paripurna terhadap tata tertib ini untuk memberlakukan apa yang kami dalilkan di permohonan itu dan seandainya pun ... seandainya pun ternyata putusan provisi yang kami anggap memang mahal harganya ini, tak mampu kami beli di Mahkamah Konstitusi, maka kami minta ... apa ... kami minta mohon izin kalau katakata saya agak tanda kutip, ya, kalau seandainya putusan provisi ini tidak ... saya ralat kalimatnya, seandainya putusan provisi ini ternyata sulit untuk dikabulkan di Mahkamah Konstitusi, maka kami minta perkara prioritas, ya. Prioritas di Mahkamah Konstitusi karena putusan yang kami harapkan ini adalah sebelum Maret pertengahan, paling lambat Maret 2017, maka kami percaya bahwa ada sistem yang berlaku di Mahkamah Konstitusi untuk tidak harus membuka sidang, tidak harus membuka sidang dan itu pernah terjadi walaupun mungkin tingkat kegentingannya tidak seperti pernah yang diputuskan, tapi mungkin bisa dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa kami rela untuk melepaskan, pertama, hak-hak kami untuk memperbaiki permohonan ini selama 14 hari karena kami menyadari kami memiliki hak untuk memperbaiki itu. Kalau memang Yang Mulia Mahkamah Konstitusi mengabulkan, kami rela untuk melepaskan hak-hak tersebut. Nah, jikalau kemudian ternyata memang ini memang perlu untuk dipercepat, maka kami pun rela, Yang Mulia, untuk perkara ini tidak perlu masuk kepada sidang pembuktian guna memberikan kesempatan kepada Mahkamah Konstitusi di situ. Tapi kalau ternyata juga memang perlu untuk masuk sidang pembuktian, maka kami pun akan siap untuk menyiapkan ... apa ... satu kali sidang untuk menyiapkan alat-alat bukti seperti keterangan ahli yang kami mungkin sampaikan nanti. Kira-kira itu, Yang Mulia, permohonan kami. Mohon maaf kalau ada pilihan kata yang agak sedikit nendang gitu, itu kami ralat ya pilihan kata tersebut karena kebiasaan di luar di situ, masuk ruang formal agak-agak lupa kata-katanya, gitu. Nah, sebelum kami menutup, Yang Mulia, kami bermohon ada Prinsipal kami yang mau berbicara langsung terhadap permohonan kami ini. Silakan.
6
8.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, silakan siapa yang mau bicara.
9.
PEMOHON: DJASARMEN PURBA Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua. Yang Mulia Majelis Hakim, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama, Djasarmen Purba. Anggota DPD RI dari Provinsi Kepulauan Riau, periode 2014-2019. Kami hanya menyampaikan tentang fakta yang telah disampaikan oleh Penasihat Hukum kami. Bahwa faktanya kami sangat merasa galau, bahkan sangat merasa tidak nyaman sebagai Anggota DPD RI saat ini. Kenapa? Kami izinkan untuk menyampaikan kronologisnya. Ketika kami diambil sumpah dan dilantik, pemahaman kami bahwa kami itu masa keanggotaan adalah lima tahun. Nah, kemudian yang kedua, demikian juga masa jabatan pimpinan ketika dilantik dan diambil sumpah jabatannya juga lima tahun. Dengan demikian, dalam masa lima tahun ini ada sesuatu yang memang betul-betul kami pahami. Namun, di dalam perjalanannya ketika awalnya membentuk pansus tata tertib dalam rangka mengatur internal, yaitu pada 17 April 2015 dalam rangka mengatur tata tertib internal, kemudian dibentuklah pansus yang berjarak jangka waktu enam bulan. Di dalam proses perjalanan tatib ini, ternyata muncul pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa jabatan pimpinan yang lima tahun pemahaman saya itu, itu boleh diubah menjadi 2,5 tahun. Bahkan ada juga pandangan yang mengatakan cukup satu tahun saja. Jadi, itulah terjadi pandanganpandangan yang berbeda. Sehingga apa? Sehingga fokus kami sebagai wakil aspirasi daerah sama sekali jadi berkurang karena tertuju kepada fakta-fakta itu. Nah, kemudian dengan kondisi seperti itu ternyata enam bulan perjalanan pansus ternyata tidak cukup, kemudian oleh pansus diperpanjang lagi menjadi tambah tiga bulan, yaitu sampai dengan tanggal 17 Oktober 2015. Nah, Yang Mulia Majelis Hakim. Nah, ternyata dalam tiga bulan ini terjadi sesuatu ada dua draft yang diajukan pada waktu itu. Yaitu, draft pertama menyangkut tentang 2,5 tahun, draft yang kedua menyangkut yang lima tahun. Nah, terjadi perdebatan yang sangat panjang, bahkan terjadi kubu-kubu yang kami alami. Sehingga apa? Sehingga ada ketidakpastian di sana, ada instabilitas dari sisi kerja kami selaku fungsi DPD RI. Nah, akhirnya voting memutuskan bahwasanya kemenangan itu ada di pihak A. Namun, berlanjut sesudah itu ada lagi hal yang sangat memprihatinkan ketika ada terjadi mosi tidak percaya oleh karena peraturan tata tertib ini belum ditandatangani. Nah, mosi tidak percaya 7
ini mengakibatkan dunia di luar daripada DPD mengetahui bahwa DPD ini kenapa begini. Nah, ketika itulah yang kami anggap bahwa kami dirugikan secara konstitusional. Kenapa dirugikan? Terus terang saja kami tidak bisa fokus untuk menjalankan tugas kami. Kemudian yang kedua, kami yang memperjuangkan aspirasi daerah juga tidak fokus. Inilah harapan kami menguji Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ini tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD agar kami mohon ada kepastian hukum yang bisa dikeluarkan, diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi ini. Itu yang pertama tentang masa jabatan. Yang kedua, tentang tadi sudah dijelaskan faktanya lagi, yaitu tentang pelantikan ketua DPD. Pelantikan ketua DPD itu terjadi pada tanggal 12 Oktober 2016 sebagaimana halnya itu tadi dan masa berlakunya di … hanya 30 Maret 2017 yang akan datang. Artinya, ini retroaktif dan akhirnya dia dihitung 2,5 tahun sejak tahun 2016. Nah, inilah kerugian konstitusional kami. Kenapa? Karena terus terang saja ini menjadi debat panjang. Sehingga apa? Sehingga ini meresahkan bagi kami sendiri. Jadi, harapan kami dengan adanya putusan daripada MK ini bisa menimbulkan kepastian hukum, menimbulkan kepastian konstitusional. Sehingga apa? Kami juga bisa bekerja dengan baik. Nah, itulah kira-kira gambaran sekilas fakta yang kami hadapi, sehingga mohon dengan sangat Yang Mulia bisa segera sebagaimana yang dikatakan tadi bisa segera atau secepatnya dengan segala kerendahan hati bisa memutuskan ini, sehingga sebelum bulan Maret yang akan datang ketika akan diadakan pemilihan ketua kembali itu tidak akan terjadi. Itulah kira-kira gambaran kami, jadi mohon izin, Yang Mulia, kalau boleh ditambahkan dengan Rekan kami. Terima kasih. 10.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, silakan, tapi jangan hal yang sama, ya. Kalau hal yang sama sudah kita dengar.
11.
PEMOHON: ANANG PRIHANTORO Yang saya hormati, Yang Mulia Majelis Hakim Ketua dan Anggota. Saya ingin menambahkan karena alasan di Undang-Undang MD3 tidak diatur tentang masa jabatan pimpinan, maka ruang paripurna meskipun dengan ketentuan suara lebih banyak menghendaki sesuatu termasuk pengurangan masa jabatan, itu menjadikan instabilitas di lingkungan DPD-RI. Nah, oleh karena itu, situasi yang ada di internal tadi sudah disampaikan Pak Jasarmin, saya kira menjadikan keterbelahan dan tidak efektifnya kerja kami memperjuangkan aspirasi daerah, Yang Mulia. Oleh karena itu, sekali lagi saya hanya memohon kepada Yang Mulia, kiranya ada ketentuan yang jelas di Undang-Undang MD3 untuk terkait dengan 8
masa jabatan pimpinan sehingga ini tidak menjadi “mainan” dan “bulanbulanan” kekuasaan di internal DPD RI. Demikian, Yang Mulia. 12.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, cukup. Satu lagi, Pak. Silakan, Pak.
13.
PEMOHON: MARHANY VICTORY POLY PUA Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Perkenankan saya Marhany Pua, Anggota DPD RI dari Sulawesi Utara menempatkan singkat alasan mengapa kami menyampaikan permohonan pengujian di Mahkamah Konstitusi ini. Memang karena ketiadaan norma yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan, maka memang secara kondisi di parlemen kami, itu khususnya di DPD RI memang terjadi pertengkaran-pertengkaran yang mengakibatkan memang seperti penjelasan tadi tugas pokok parlemen itu terabaikan. Dalam dimensi yang khusus sebagai lembaga parlemen, kami melihat pengambilan keputusan, khusus terkait dengan masa jabatan pimpinan ini tampaknya didasarkan atas tafsir semata lalu didorong oleh mayoritas anggota parlemen, semangat mayoritas yang mungkin ada deal-deal politik serta kepentingan jangka pendek semata yang mengakibatkan fungsi parlemen tidak bisa berjalan secara efektif. Dalam kondisi yang khusus, Yang Mulia, perdebatan-perdebatan tentang tata tertib terkait dengan pemangkasan jabatan pimpinan dari 5 tahun ke 2,5 tahun, dan bahkan berlaku surut karena tidak diatur normanya di Undang-Undang MD3 itu telah menyita waktu, dan memang perdebatan ini mengakibatkan image parlemen Indonesia itu melemah di mata masyarakat. Saya ketika turun ke daerah, reses, lalu dikritisi oleh masyarakat daerah karena masyarakat daerah berpendapat bahwa apa yang ditunjukkan melalui pertikaian antaranggota, perdebatan, kegaduhan parlemen, dan juga substansi materi yang diperdebatkan sungguh tidak elok di mata masyarakat karena ternyata parlemen mempersoalkan hal-hal yang tidak subtantif dalam tugas pokok parlemen, bukan soal bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat, bagaimana membangun daerah, dan bagaimana memajukan bangsa yang merupakan tugas pokok parlemen Indonesia. Karena itu, Yang Mulia, dengan hormat kami menaruh harapan besar kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami kenal baik sebagai negarawan, pakar hukum, dan pakar konstitusi untuk kiranya berkenan melakukan uji material terhadap materi yang kami sampaikan, sambil dengan hormat kami mohon bila berkenan untuk dapat mengabulkan permohonan kami guna terwujudnya tatanan sistem ketatanegaraan yang makin memperkokoh Indonesia sebagai negara demokratis yang konstitusional. 9
Ini yang dapat kami tambahkan pada kesempatan ini. Terima kasih, Yang Mulia. 14.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Baik. Cukup, Pak ya. Ibu Hemas cukup, ya? Baik. Terima kasih, kami (...)
15.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Izin, Yang Mulia. Petitumnya kami mohon dianggap dibacakan saja, Yang Mulia.
16.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Petitum dianggap dibacakan, ya? Persis, sama, ya?
17.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Ya. Terima kasih, Yang Mulia.
18.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Oh, baik. Ya, setelah kami mendengar apa yang disampaikan secara lisan pada dasarnya hampir sama dengan inti permohonan yang tertulis. Kami ingin barangkali menanyakan beberapa hal, kalau untuk menjelaskan lagi tentang masalah Mahkamah Konstitusi, saya kira Kuasa Hukumnya Pak Irman Putra Sidin sudah lebih paham, jadi kita tidak mau buang air ke dalam laut juga ini. Tapi arus ... ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi, ya, untuk lebih meyakinkan permohonan, harapanharapan dari Para Pemohon. Nanti kami gantian. Pertama tadi Kuasa Hukum mengatakan bahwa tentang masalah masa jabatan pimpinan ini tidak diatur di dalam undang-undang, tapi lebih pada konfensi ketatanegaraan yang ada selama ini. Pertanyaannya berkaitan dengan ini, kalau demikian apakah Para Pemohon meminta agar Mahkamah ini berperan serta untuk menentukan masa jabatan “sebagai Positive legislator” agar adanya satu kepastian hukum. Walaupun terjadi perbedaan pandangan dalam perkembangan Mahkamah ini, ada yang mendukung, pada satu sisi Mahkamah menjadi positive legislator pada hal-hal yang tertentu dibutuhkan, yang bersifat insidentil dan memerlukan waktu yang cepat untuk kepentingan yang lebih besar. Tapi ada juga yang berpendapat, MK tidak boleh sama sekali. Jadi, itu pertanyaan pertama, Pak Irman, ya. Yang kedua, yang menjadi objek di dalam permohonan ini sesungguhnya apa? Apakah Undang-Undang MD3 atau lebih kepada 10
peraturan tata tertib DPD itu sendiri? Ya, setelah kami mendengarkan tadi, kemudian juga membaca, kelihatannya fokus lebih banyak kepada program tata tertib. Tapi, nanti bisa dijelaskan kembali, ya, supaya menjadi catatan bagi kami. Tentu ini berkaitan dengan persoalan payung konstitusional yang disampaikan oleh Kuasa Hukum. Yang ketiga, kami ingin mendapatkan satu gambaran, ya. Para Pemohon Prinsipal tadi banyak bicara tentang masalah bagaimana keributan yang terjadi di DPD. Ini sesuatu yang baru kami ketahui juga. Sebab selama ini DPD terkenal aman-aman saja, ya. Aman dan nyaman. Tapi karena ini berasal dari Para Pemohon di dalam ruangan sidang ini, ya, kami tentu ikut prihatin, ya. Karena disebabkan oleh adanya peraturan tata tertib. Pertanyaannya adalah terhadap tata tertib yang dibuat oleh DPD, itu ditentukan oleh siapa? Apakah melalui proses ... satu proses mekanisme demokrasi? Ataukah memang absolutely diputuskan oleh pansus atau badan apa punlah namanya yang dibentuk? Apakah semua peraturan tata tertib DPD ini diputuskan secara demokratis dengan pemahaman deokratis yang sudah kita pahami secara resmi di dalam DPD atau bagaimana, ya? Kemudian, di dalam permohonan ini kami melihat bahwa Ibu Hemas adalah sebagai salah seorang Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah yang ada sekarang, ya. Pertanyaan yang lain adalah apakah pimpinan DPD yang lain merasa keberata apa enggak dengan tata tertib yang juga memiliki masa jabatan yang sama diatur di dalam tata tertib ini? Kalau mereka keberatan, bisa saja mereka nanti pada saatnya diminta menjadi Pihak Terkait, ya, atau memang masuk pada Pemohon, atau memang tidak mempersoalkan sama sekali karena merasa tidak dirugikan? Karena pimpinan DPD itu ada berapa orang, ya, Ibu? Ada tiga? Ada tiga. Berarti ada yang enggak ikut? Siapa yang enggak ikut DPD ... pimpinan DPD, Pak Irman? 19.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Yang enggak ikut sebagai Pemohon, Yang Mulia?
20.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya.
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Bukan enggak ikut mungkin, ya (...)
22.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya. 11
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Mungkin suatu saat mau ikut atau bagaimana (...)
24.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Bukan, sekarang saja yang kita bicara.
25.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Dua, Yang Mulia.
26.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Yang tidak ikut siapa?
27.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Ketua DPD sendiri dan Wakil Ketua Pak Farouk Muhammad, gitu.
28.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Oh, jadi dua tidak ikut?
29.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Ya.
30.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Oke. Nah, ini kan satu persoalan juga. Ya, kan? Nah, berkaitan dengan itu, kalau Ibu Hemas kan memang pimpinan DPD, ya, pimpinan DPD. Bagaimana Pemohon II, III, dan IV kan bukan pimpinan DPD, dari posisi mana keberatannya Pemohon II, III, dan IV ketika bicara tentang masalah kursi pimpinan DPD ini? Enggak apa-apa, berikan satu keyakinan kepada kami, supaya kami tahu gambarannya bagaimana suasana di sana. Dan ini khusus buat Pak Irman barangkali, ya, bukan kepada Pemohon Prinsipal. Karena yang mengetahui persoalan persyaratan kerugian konstitusional yang menjadi syarat utama di dalam Mahkamah ini, kita kan mengacu kepada Putusan MK Nomor 006 Tahun 2005 sama Putusan MK Nomor 11 Tahun 2007, ada lima syarat. Kira-kira bisa dijelaskan ... bisa tertulis, enggak apa-apa, ya, kapan perlu ... kan, gitu, ya. Coba tolong dijelaskan agak lebih rinci kaitannya dengan persyaratan kerugian konstitusional ini. Karena terus terang, kalau kerugian 12
konstitusional itu ... tadi memang sudah dijelaskan, ya, sudah dijelaskan tentang masalah adanya kerugian konstitusional karena ada yang bersifat retroaktif, tapi itu kan kaitannya dengan tata tertib, ya. Ya, tentu kita harus kembali kepada hakikat keberadaan Mahkamah. Pak Irman sebagai pakar, saya kira kami tidak mau me, me … apa namanya ... mengajari, gitu kan. Di sini kan kita bicara tentang masalah norma, ya, norma aturan hukum yang mana? Ya, memang sebetulnya ada PR Sendiri juga enggak jelas, ya, masa pimpinan lima tahun di dalam MD3. Buktinya dalam beberapa bulan saja ketua DPR ganti-ganti, ya, kan? Kemudian, pertanyaan kami kepada Prinsipal nanti juga tolong dibantu, ya, Pak Purba, Pak Marhany, sama Pak Anang, ya. Apakah betul, ya, apakah betul kinerja DPD sebagai anggota DPD merasa terganggu, ya, merasa terganggu gara-gara persoalan masa jabatan pimpinan ini? Apa hubungan Pemohon II, Pemohon III, dan IV yang bukan pimpinan merasa terganggu dengan masa jabatan pimpinan yang kaitannya dengan kinerja DPD, sementara II, III … Pemohon II, III, dan IV kan bukan pimpinan? Ini perlu supaya positioning terhadap kerugian konstitusional tadi jelas. Masa gara-gara persoalan pimpinan itu sehingga Pemohon II, III, dan IV tidak fokus melaksanakan tugas. Coba nanti dijelaskan karena kita di Mahkamah ini kan harus lebih terbuka, ya sehingga memang kami memahami bahwa sekarang ini masyarakat memiliki harapan yang luar biasa kepada Mahkamah ini, apa pun, ya, bahkan hal-hal yang bersifat constitutional complain pun juga luar biasa karena memang enggak ada lagi tempat masyarakat mengadu karena banyak masalah, cuma persolaannya kan Mahkamah ini punya keterbatasan. Itu yang bisa saya sampaikan dari paparan yang disampaikan secara live tadi oleh Kuasa Hukum dan Prinsipal. Silakan, Yang Mulia. Prof. Aswanto. 31.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Ketua, Yang Mulia, Pak Dr. Patrialis. Para Pemohon, Prinsipal, maupun Kuasa. Secara sistematika, saya kira permohonan ini sudah memenuhi persyaratan sistematika hukum acara kita. Kemudian, legal standing, nah ini yang … karena permohonan ini cukup panjang, ya, ini memang harus dibaca berulang-ulang, tapi sebenarnya secara substantif kita bisa menangkap apa yang diminta oleh Pemohon, gitu. Nah, kalau bisa dipersingkat seperti yang disampaikan secara lisan tadi oleh Pak Irman, itu menurut saya lebih mudah dipahami lagi, ini banyak yang redundant. Saya sadar bahwa mungkin redudancy itu tujuannya untuk lebih meyakinkan, tapi kemudian bisa menjadi … ada beberapa yang kemudian menjadi bias, gitu. Nah, beda dengan yang, yang diuraikan secara lisan tadi dengan mudah kita bisa menangkap bahwa sebenarnya yang dipersoalkan adalah bahwa ada kekosongan hukum, ada kekosongan hukum yang mengatur soal masa jabatan 13
pimpinan baik MPR, DPR, DPD yang kemudian karena kekosongan itu berimplikasi kepada kebebasan untuk membuat tatib yang kemudian merugikan, dianggap merugikan Para Pemohon, gitu. Nah, itu kita bisa tangkap itu. Pada bagian legal standing, pada bagian legal standing. Saya paham bahwa tujuannya untuk me ... lebih meyakinkan atau untuk lebih memperkuat dalil-dalil yang disampaikan di dalam … apa namanya ... permohonan ini, tetapi kemudian mungkin perlu ini saran, ini saran sesuai dengan Pasal 39 kita punya kewajiban untuk memberikan saran, memberikan masukan. Nah, pada bagian kedudukan hukum (legal standing) ini, itu banyak uraian yang sebenarnya lebih tepat dimasukkan pada bagian posita atau alasan permohonan. Misalnya, pada halaman 10, gitu ya, halaman 10 penjelasan terkait kronologi pembahasan dan penetapan Peraturan DPD Nomor 1, itu bisa dipindah ke apa ... posita … ya memang kadang-kadang susah, banyak permohonan yang mencampuradukan antara materi yang masuk di dalam atau pembahasan yang ada pada kedudukan hukum atau legal standing dengan uraian tentang posita karena dua-duanya ingin menunjukkan bahwa di sana terdapat kerugian konstitusional, nah ini kalau bisa lebih dipilah nanti sehingga jelas, “Oh, ini masih pada bagian legal standing, dan ini lebih fokus lagi, lebih fokus lagi menujukkan bahwa memang dengan norma yang diuji ini terdapat atau paling tidak menurut nalar itu bisa terjadi kerugian konstitusional.” Nah, sebenarnya sudah ada di dalam semua tinggal dipilah-pilah sehingga kita lebih mudah memahami itu. Nah itu yang catatan menurut saya mungkin yang perlu. Selanjutnya, ini kalau kita melihat pasal yang digunakan sebagai dasar pengujian, pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar, atau norma yang ada di dalam Undang-Undang Dasar yang dijadikan sebagai dasar pengujian itu ada 12 norma, ya memang kalau kita melihat normanorma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yang sering juga diistilahkan dengan batu uji, itu memang pada dasarnya juga ada hubungan ... ada hubungannya memang, tapi mungkin bisa Pak Irman, bisa lebih fokus mana yang paling relevan terkait dengan norma yang diminta untuk diujikan itu. Nah saya kira yang lain-lain kita bisa tangkap, walaupun memang menyita waktu yang sangat banyak untuk memahami secara betul apa yang diinginkan oleh Para Pemohon, dan tadi saya kira Pak Irman juga sudah ralat ada harga yang mahal, begitu ya. Kami bisa memahami itu, bukan itu maksudnya, bukan hal yang negatif maksudnya, itu karena memang Mahkamah tidak punya kebiasaan untuk memberikan putusan seperti itu, dan itu saya kira yang saya tahu Pak Irman ini satu kampung dengan saya, sehingga seringkali memang bicaranya apa yang ada di dalam itu sama dengan yang keluar, tapi sebenarnya bukan itu maksudnya, kita bisa tangkap itu. Saya kembalikan ke Pimpinan. 14
32.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Prof. Silakan, Yang Mulia Pak Palguna.
33.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, terima kasih Pak Ketua. Ya saya juga kaget ketika disebut harga mahal itu karena kami tahu Irman, kami kenal baik Irman. Tapi orang luar tidak, dan ini adalah sidang terbuka, nah itu yang masalahnya. Nah oleh karena itu, walaupun sudah diklarifikasi, saya kira nanti perlu dijelaskan di bagian akhir, apa ... bahwa yang dimaksud mahal itu karena itu adalah Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan secara eksplisit itu untuk memberikan putusan provisi, tetapi pernah beberapa kali ada putusan tentang itu, mahal itu konteksnya itu, bukan kami disuap. Kalau kami disuap, silakan undang KPK untuk masuk ke sini. Kan gitu, Prof konteksnya, bukan itu anunya. Kami tahu itu, kami kenal Irman, seperti yang disampaikan oleh Yang Mulia tadi, tetapi orang luar tidak tahu, belum tentu paham, atau mungkin Viktor tahu, atau mungkin Iqbal tahu. Yang para apa ... pemberi Kuasa Hukum tahu, tetapi orang yang di luar yang mendengar konteksnya bisa berbeda. Karena “tidak terlihat di suara lisan.” Nah, itu yang menjadi persoalan, sama juga ekspresi teks tidak bisa melihat ekspresi kita ketika mengucapkan. Oleh karena itu, bahaya dari tulisan adalah karena dia tidak bisa melihat ekspresi kita, maka bisa menimbulkan salah paham. Itu yang jadi persoalan juga, demikian juga kalau konteksnya lisan, orang yang mendengar karena tidak melihat ekspresi kita mungkin juga akan ini, tapi itu sudah disampaikan, bagi kami itu tidak ada apa ... soal dengan itu, tetapi orang lain mungkin akan mempersoalkan, “Oh, ternyata kalau minta putusan provisi mahal ya di Mahkamah Konstitusi.” Supaya enggak ada kesan begitu. Tapi okelah, itu nanti ada karena sudah diklarifikasi, saya kira maksudnya bukan itu, tapi mungkin perlu nanti dijelaskan menjelang akhir sidang ini. Begini, Prinsipal, saya ingin menyampaikan sesuatu. Andai kata saja Mahkamah Konstitusi ini mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa internal lembaga negara, barangkali selesai kasus ini. Barangkali selesai karena pada esensinya apa yang dipersoalkan adalah konflik internal, di antara para anggota DPD. Tetapi sayangnya, Mahkamah Konstitusi itu memutus adalah sengketa kewenangan lembaga negara, antar lembaga negara menyangkut kewenangan yang itupun kewenangannya yang diberikan oleh UndangUndang Dasar. Itu kalau kita lihat esensinya, tetapi karena Pemohon tahu khususnya, Pak Irman Kuasa Hukum tahu bahwa itu tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, ya dibawalah silakan normanya yang anu ini kan, yang dipersoalkan. Jadilah pengujian undang-undang, itu kalau kita lihat dari satu sisi, kalau kita lihat sisi yang lain sebenarnya ini 15
juga ada aspek constitutional complaint karena pada dasarnya pimpinan DPD itulah yang merasa dirugikan oleh ketentuan yang katakanlah di dalam persidangan itu kemudian lalu dibuat tata tertib, lalu digorenggoreng itu seperti keterangan itu tadi kan, esensinya kan constitutional complaint sesungguhnya juga. Sayangnya lagi bahwa kewenangan itu pun tidak ada di Mahkamah Konstitusi, kan itu. Masuklah permohonan judicial review ini. Oleh karena itu, kemudian, maka menjadi soal lalu ketika tadi sudah ditanyakan sebenarnya oleh Yang Mulia apa sebenarnya kerugian konstitusional dari anggota DPD ini? Karena ini mengatur soal masa jabatan ketua. Apa betul kemudian itu mengganggu, itu kan? Apalagi ketua ... apalagi pimpinan DPD itu seperti juga pimpinan DPR, bahkan juga pimpinan Mahkamah Konstitusi itu ada primus inter pares, dia bukan sebagai kepala dan dia tidak bisa mengatasnamakan DPD ataupun DPR misalnya itu, lalu apa kerugiannya? Ya kalau misalnya pimpinannya berkonflik, anggota DPD mau bekerja baik, silakan saja, kan begitu misalnya. Itu yang tadi mau ditanyakan oleh Yang Mulia. Ini bukan untuk ... apa ... tapi penjelasan tentang legal standingya itu maksud saya, kerugian konstitusional itu bagaimana itu kita menjelaskan supaya pertanyaan-pertanyaan itu tidak tampak? Bukankah tadi Pemohon Prinsipal sendiri yang menerangkan ke daerah bahwa di daerah itulah kritik yang muncul, gitu kan. Itu kritik yang muncul, tapi persoalannya apakah kritik itu lahir karena pasal ini? Kan bukan, tapi kan karena perdebatan mengenai tata tertib yang ada di DPD yang ditafsirkan itu yang menyebabkan kritik itu muncul sehingga tidak bisa bekerja misalnya tadi itu. Oke, itu saya hanya mengembalikan logika yang dibangun oleh Pemohon sendiri dalam konteks ini sehingga bagaimana supaya dalam permohonan ini menjadi jelas. Pertanyaan krusial berikutnya kan kemudian adalah bagaimana kalau kemudian sebagian anggota DPD yang berada di pihak lain, kemudian menjadikan Pemohon ini juga di sini? Inilah yang kami tanyakan esensinya mengapa kami mengganggap ini sebagai sebenarnya persoalan internal dari DPD sehingga memang ada persoalan kalau mau masuk ke sini tentu memang harus lewat pintu judicial review. Tapi saya kira kalau misalnya kelompok yang lain misalnya dari DPD yang tidak berada di pihak Para Prinsipal sekarang ini, Pemohon Prinsipal sekarang ini, mungkin dia akan mengajukan juga permohonan yang menerangkan hal yang sebaliknya dengan yang dimohonkan dengan permohonan ini. Kalau itu yang terjadi, persislah apa yang saya katakan semula bahwa ini adalah andai kata Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili persoalan internal lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, itu mungkin selesai masalah ini, tapi kan itu tidak terjadi. Tapi karena ini persoalan sudah diajukan sebagai permohonan pengujian 16
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, itu sebabnnya menjadi penting untuk menegaskan tentang legal standing itu, Ibu ... Para Pemohon. Pak Irman pasti sudah tahu persis mengenai soal itu, supaya tidak tampak bahwa ini adalah persoalan konflik internal. Kalau pengujian Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kan warga negara juga punya hak untuk mengajukan itu sebagai perorangan, kalau memang hak konstitusionalnya dirugikan. Berbeda halnya kalau permohonan ini diajukan oleh DPD sebagai lembaga yang memandang bahwa persoalan ini konstitusional, itu memang ada dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, tetapi kalau di sini adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai anggota DPD, maka persoalannya jadi lain karena perorangan warga negara anggota DPD yang lain juga bisa mengajukan permohonan yang sama tapi membangun argumentasi yang sebaliknya. Itu mungkin yang perlu klarifikasi nanti di dalam permohonan. Nah, selanjutnya mengenai yang tadi sebenarnya sudah disampaikan juga oleh Yang Mulia Pak Patrialis maupun ... Pak Ketua maupun ... Ketua Panel maupun Yang Mulia Prof. Aswanto, bagaimana caranya supaya permohonan ini memang fokusnya adalah ke pengujian undang-undang, bukan yang menjadi fokus itu adalah perdebatan dan perbedaan tafsir anggota DPD perihal tata tertib yang dibuat oleh DPD sendiri dan berlaku untuk DPD sendiri. Jadi bagaimana caranya membuat itu supaya permohonan yang diajukan memang persoalan konstitusionalitas, bukan argumentasi yang membawa kesan ataupun memang bagian terberatnya, itu titik beratnya itu ada pada persoalan yang justru mempersoalkan aturan yang dibuat oleh DPD sendiri. Itu adalah dua hal yang berbeda saya kira. Yang terakhir yang mau saya sampaikan kepada Pemohon, ada permohonan mengenai di sini Pasal 84 ayat (2), ya, yang pasalnya mengatur dengan pimpinan DPR, itu konteksnya dengan legal standing bagaimana juga itu nantinya? Kalau Anda memohonkan ini, nanti kalau anggota DPR-nya memohonkan yang berbeda bagaimana? Kan soal yang anu lagi itu. Karena itu yang diatur adalah soal pimpinan, pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR. Ini kalau mau dimakna-maknai yang berbeda nanti anggota DPRnya yang marah bagaimana? Umpamanya itu, persoalan konstitusional ... walaupun ini adalah persoalan konstitusionalitas, tapi persoalan ... apa namanya ... relevansinya dalam hubungannya dengan legal standing Pemohon itu bagaimana? Apa kerugiannya dengan ketentuan yang mengatur rumah tangga DPR itu dengan para anggota DPD yang sebagai Pemohon ini, itu mungkin nanti bisa dijelaskan. Ya, tentu sebagai saran, apa yang kami sampaikan ini tidak mengikat Para Pemohon, tetapi kalau kami tidak menyampaikan ini kami salah karena kami diwajibkan oleh Pasal 39 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
17
untuk memberikan nasihat dan/atau klarifikasi, meminta klarifikasi. Terima kasih, Pak Ketua. 34.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, terima kasih, Pak I Dewa Gede Palguna. Jadi, Pak Irman, Mahkamah Konstitusi ini juga Pimpinannya masa jabatannya sama dan alhamdulillah kita bekerja dengan baik. Bahkan dulu pernah undang-undang mengatur masa jabatan Pimpinan MK itu hanya satu tahun. Dengan latar belakang, orang yang masuk menjadi Hakim Konstitusi pada dasarnya dia punya kemampuan untuk memimpin. Yang kedua, setiap orang yang mau menjadi Hakim Konstitusi, dia tidak boleh mengejar jabatan di sini, posisinya, sehingga satu tahun. Ini background, ya, saya menyampaikan, tapi saya tidak ingin mengatakan itu. Sehingga ... tapi sekarang masa jabatan Hakim Konstitusi 2,5 tahun dan semuanya bekerja dengan baik. Kemudian, Pak Irman, tadi yang disampaikan oleh Pak Aswanto dan Pak Palguna, “Kenapa harus lebih hati-hati?” Karena memang ada pihak lain juga di luar Mahkamah ini yang sudah mendikte Mahkamah Konstitusi ini harus seperti ini, putusannya harus begini. Jadi kalau ada judicial review, mereka enggak masuk sebagai pihak di sini, tapi mereka bikin putusan di luar sana dan Mahkamah Konstitusi harus mutuskan seperti ini. Bayangkan, luar biasanya, euforia kebebasan dan itu jelas sesuatu yang liar kan? Itu terjadi, Pak Irman, ya. Termasuk beberapa pikiran-pikiran Pak Irman di sini sebagai ahli, berkenaan dengan masa jabatan Hakim Konstitusi, ya kan? Tapi itulah suasananya. Bahkan secara terbuka juga orang sudah berani sekarang mencemarkan, kualifikasinya maksud saya, bahkan memfitnah bahwa Hakim MK ini telah melanggar kode etik, apapun yang dilakukan adalah salah, gitu. Jadi memang ... tapi saya kira kita paham, ya, yang sampaikan Pak Irman tadi. Dan Pak Irman di mata MK kan orang yang selama ini pikirannya justru dijadikan rujukan, selama ini kalau menjadi ahli. Itu yang bisa kami sampaikan dulu, sebelum kita masuk pada yang lain-lain, provisi dan putusan segala macam. Kalau ada tanggapan, silakan.
35.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Terima kasih, Yang Mulia, atas tanggapannya. Jadi salah satu alasan kami ‘menyeret’ sengketa politik ini masuk ke Mahkamah Konstitusi karena kita sangat yakin bahwa inilah wasit yang paling bisa kita percaya, di situ. Kalau di area politik kita tidak tahu apa yang terjadi di belakang sana, tapi di Mahkamah Konstitusi ini betul-betul kita bisa ada sembilan perdebatan Hakim Konstitusi yang tidak ada yang bisa 18
mencampurinya, tidak ada yang bisa mengintervensinya, kecuali dirinya sendiri dan Tuhannya. Termasuk logika-logika kami yang kami bangun di sini. Jadi maksud perkataan kami itu, kami ralat sebelumnya itu slip of the tongue, di situ. Yang kami maksud adalah bahwa putusan provisi ini memang jarang sekali Mahkamah Konstitusi mengabulkan. Kecuali di pilkada ... di pilkada itu, tapi dipengujian undang-undang nampaknya ini sangat jarang, tapi kita bisa coba, berharap siapa tahu Tuhan mengabulkan, di situ. Jadi, Yang Mulia Ketua, MK memiliki masa jabatan pernah 2,5 tahun, gitu. Bahkan yang pernah melakukan masa jabatan itu tiga tahun itu MK itu. Selain dengan masa jabatan keanggotaan, Undang-Undang MK yang pertama. Keluar dari rezim lima tahun, tapi MK ini diatur di undang-undang, Yang Mulia, kelir persoalan. Ada Presiden, ada DPR yang membentuknya. Ini dirinya sendiri di situ. Lembaga ini sendiri di situ yang mengaturnya. Dan saya yakin MK tidak pernah mengatur masa jabatan Ketua MK di peraturan PMK itu, Yang Mulia, gitu. Itu problemnya, perbedaannya di situ. Di KY ada 2,5 tahun juga, di undang-undang diatur. Ini peraturan tata tertib yang mengaturnya. Di sinilah kemudian kita pikir, wah enggak bisa begini. Pernah kita berpikir juga menyarankan lebih bagus ke DPR saja sana untuk membuat anunya ... undang-undangnya. Mau 2,5 tahun, siapa tahu satu hari mau dikabulkan Presiden, DPR, sudah silakan saja bergiliran RI 7 itu, kan kira-kira begitu kasarnya. Tapi kalau DPD sendiri yang kemudian membuat aturan itu secara internal, kita tahu, Yang Mulia, politik di parlemen itu mayoritas yang berkuasa, di situ. Kita sedang mau memasukkan kualitas dari demokrasi itu ke dalam parlemen, di situ. Makanya ketika kemudian Yang Mulia menganggap ini nampak-nampaknya sengketa di sini. Kami tidak ... kami tidak menafikan bahwa ini bukan sengketa karena di mana-mana yang namanya kerugian konstitusional pasti diawali dengan sebuah sengketa. Ketika orang ditangkap, tiba-tiba disewenang-wenangkan, ketika dia mengajukan ini tiba-tiba dise ... dia bersengketa sama negara. Inilah kemudian menjadi kerugian konstitusional dia, kemudian dibawa ke MK. Gitu, Yang Mulia. Jadi ... apa ... kita tidak nafikan. Kalau kami ... kalau tidak ada kejadian di DPD, mungkin kita dianggap, “Kamu mimpi ini Irman bahwa anggota DPD ... tidak ada problem di sana ... di situ. Tidak ada problem di situ.” Karena ada memang problem dan kita lihat bahwa problemnya ini bukan dipembentukan undang-undangnya, tapi dipembentukan tatib DPD itu. Yang Mulia Pak Patrialis, bekas anggota parlemen sangat mengetahui bagaimana ... bagaimana parlemen membentuk keputusan mayoritas, di situ. Ah, ini yang kami ... yang kami kemudian teringat sabda-sabda Mahkamah Konstitusi bahwa demokrasi itu tidak hanya
19
kuantitatif, tapi yang pertama adalah kualitatif. Inilah prinsip demokrasi konstitusional, di situ. Masa jabatan kemudian ditanya, apakah ini konvensi? Kita menyadari bahwa kenapa ya, ternyata setelah kita buka semua itu sejarah tentang masa jabatan pimpinan parlemen, mulai dari Idham Chalid, ketuanya, memang tidak pernah diatur tentang masa jabatan pimpinan di undang-undang itu, begitu, yang diatur masa jabatan keanggotaan, tetapi pimpinannya semuanya lima tahun, Yang Mulia. Mulai dari Idham Chalid sampai apa semua di parlemen itu di situ, lima tahun semua di situ. Lalu pertanyaan-pertanyaan bodoh lagi kami hidup, kenapa sih undang-undang mengatur masa jabatan keanggotaan lima tahun, sementara masa jabatan pimpinan dia tidak atur? Padahal masa jabatan keanggotaan, ya pasti lima tahun durasi pemilu, enggak mungkin diatur dua setengah tahun masa jabatan keanggotaan. Yang paling penting diatur adalah masa jabatan pimpinan, di situ. Nah, inilah yang kemudian apa … kami bawa ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta Mahkamah Konstitusi, bermohon kepada Mahkamah Konstitusi memberikan kepastian konstitusional. Kita tidak memaksa Mahkamah Konstitusi menjadi positif legislator yang kemudian DPR dan Presiden akan marah sama Mahkamah Konstitusi, tidak, Yang Mulia. Tapi kita meminta kepada Mahkamah Konstitusi memberikan apa … keputusan conditionally unconstitutional atau conditionally constitutional atau kepastian hukum terhadap apa yang kami alami di sini bahwa kenyataannya memang yang kami persoalkan di sini tidak memberikan kepastian hukum kepada pimpinan DPD, di situ. Pimpinan DPD apa … terdiri atas satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD, tidak ada masa jabatan. Lalu, kata dipilih ini dimensinya apa? Inilah yang kami bilang bahwa kata dipilih ini ada dua dimensi, hak memilih dan hak dipilih. Pemohon I kami yang memberikan kuasa kepada kami ketika dia mengikuti kontestasi pemilihan dipilih dengan peraturan tata tertib 2014, masa jabatan lima tahun, Yang Mulia. Ikutlah pemilihan di situ, ah ini masa jabatan lima tahun sesuai kontrak SK, kemudian ikut pemilihan, terpilih diberikan SK lima tahun, Yang Mulia, di situ, dipilih. Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, dan seterusnya anggota DPD ikutan juga memilih karena yakin lima tahun. Lima tahun saja, sekali saja kita memilih pemimpin karena kita mau fokus ini pekerjaan kita. Karena kalau kita tiap tahun memilih pemimpin, ini orang tiap tahun kubu a, kubu b, kubu c, kubu d, secara psikologis itu mempengaruhi kinerja dia di situ. Nanti mungkin tadi sudah diceritakan bagaimana ketika sekarang ada istilah kubu merah, kubu ini, kubu putih, kubu ini, dalam pembahasan sudah mulai saling intip, ini begini, ini begini, ini begini. Rasanya mungkin mereka tidak merasakan efektif sehingga kemudian apa … inti dari persoalan hak konstitusional dari Para 20
Pemohon adalah hak dipilih, hak memilih dan hak dipilih. Sebab pasal yang kami uji, pimpinan MPR, pimpinan DPR, pimpinan DPD itu pimpinan DPR dimaksud dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket. Pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR. Pimpinan … terdiri dari satu orang ketua dan dua orang wakil ketua dipilih dari … ini inti dan kami sangat yakin, kami sangat memahami, kami sangat sadar bahwa pasti Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi sudah mengetahui tentang hak konstitusional memilih dan dipilih, itu sudah diulang dalam berbagai macam putusan MK. Kemudian, pertanyaan yang berikutnya, Yang Mulia. Apakah objek permohonan ini Undang-Undang MD3 atau tatib? Tatib adalah bagian dari realitas yang kami harus ungkapkan di situ, Yang Mulia. Kalau kami tidak berbicara mengenai sengketa, maka pasti orang bilang ini tidak ada kerugian konstitusionalnya. Bahasa Bugisnya, katulu tulu, itu orang mimpi saja ini, di situ. Jadi, terpaksa kami bercerita karena sengketa itu bisa dalam berbagai dimensi. Sengketa internal antaranggota atau sengketa warga negara dengan negara. Ketika negara mensewenangwenangkan dia melaksanakan undang-undang, kemudian dia datang ke Mahkamah Konstitusi untuk menggugat sengketa sebenarnya yang ingin dia bawa di situ. Karena sengketa itulah dia ada potensi, ada real kerugian konstitusional yang dia bawa, makanya kami memberikan insight di situ. 36.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, tapi Pak Irman, itu kan yang dipersoalkan bukan hanya masa jabatan, tapi kan juga ada tatib yang retroaktif, ya kan? Itu kan bukan norma. Itu lho, maksudnya kita kaitkan dengan tiga hal yang menjadi masalah itu.
37.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Ya, termasuk Pasal 300 ayat (3) itu, Yang Mulia, Yang Mulia sebutkan … Pasal 300 ayat (2) bahwa tata tertib sebagaimana dimaksud ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD. Kelihatan ternyata ini enggak ada problem kok ini, pasal ini normal-normal saja, tapi kok ternyata oh karena seolah-olah berlaku di lingkungan internal DPD sehingga bisa diberlakukan kapan saja, bahkan sebelum orang anggota DPD itu bisa berlaku di situ sehingga muncul kebutuhan-kebutuhan konstitusional untuk kami minta kepastian bagi Mahkamah Konstitusi bahwa ini tidak berlaku surut. Sama dengan ketika undang-undang ini pun menegaskan sesuatu yang sudah jelas, Pasal 300 ayat (1) Yang Mulia, disebutkan dalam Undang-Undang MD3 ini bahwa tata tertib DPD disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan di atasnya. Norma ini kan sebenarnya tidak perlu ditulis, sudah jelas, tapi ternyata undang21
undang menulisnya di situ. Nah, ini yang kemudian kami anggap kok tidak ... tidak berlaku surut, ini mau diberlakukan surut di situ. Ah, ini bahaya ini di situ, kalau seperti itu untuk kemudian tidak terjadi kekosongan, di situ. Ah, ini sebenarnya perlu untuk kemudian MK memberikan conditionally constitutional atau conditionally unconstitutional tergantung dari apa ... ke ... ke apa ... kemurahan hati MK untuk menilainya apa kira-kira yang terbaik untuk mendapatkan. Tapi kami menyadari ini problem inilah yang kemudian berlaku seolah-olah di internal DPD. DPD bisa mengatur, “Oh karena tidak berlaku di luar, kita berlakukan di dalam saja di situ.” Secara eksesif, di situ. Begitu, Yang Mulia. Nah, pertanyaan berikutnya, Yang Mulia, saya kira ini pertanyaan yang sangat memang menarik bagi kami adalah apakah pimpinan DPD yang lain merasa keberatan? Mungkin siapa tahu tidak keberatan. Pertanyaan konstitusionalnya juga adalah tidak semua undang-undang itu, kita mengetahui bahwa undang-undang ketika diundangkan mungkin jutaan bahkan ratusan juta orang dirugikan, Yang Mulia. Tapi biasa hanya satu orang datang di Mahkamah Konstitusi. Yang lain mungkin menunggu, semoga dikabulkan, semoga ... yang lain mungkin mendoakan dia di situ, dan tidak harus pula yang lain yang merasa dirugikan cari teman mana lagi, mengumpul, ayo kita ramai-ramai. Tidak ... tidak harus begitu, Yang Mulia, gitu. Maka kami ... maka Pemohon kami, Pemohon I kami memberanikan diri. Mungkin yang lain sedang mendoakan, semoga ini dikabulkan, kan kira-kira seperti itu. Karena tidak ada kewajiban untuk semua yang dirugikan harus ramai-ramai datang ke Mahkamah Konstitusi untuk mengatakan bahwa kami juga rugi, di situ. Nah, inilah yang dilakukan oleh Pemohon I kami, di situ. Apakah Pemohon II, III, dan IV, apa kerugiannya terhadap pimpinan DPD? Sekali lagi, Yang Mulia, Pemohon II, III, dan IV sekali lagi memilih ... ikutan memilih di situ. Ketika dia memilih, tatib yang dia pakai lima tahun di situ. Yang memang di kepalanya, ya memang lima tahun. Tapi kok tiba-tiba hak memilihnya dipangkas di tengah jalan terhadap apa yang dipilihnya. Belum lagi mengakibatkan berbagai efek lain di situ. Inilah kerugian konstitusional yang dialami oleh anggotaanggota yang lain yang kemudian berimplikasi kepada fungsi-fungsi konstitusional dia sebagai anggota dewan, sebagai anggota dewan fungsi legislasinya, fungsi anggarannya, bahkan masuk kepada ranahranah yang mungkin sifatnya menjadi kehormatan dan martabat dia sebagai anggota karena situasi sudah menjadi semakin tidak kondusif secara politik di situ. Tentang kinerja yang ... kinerja terganggu masa jabatan pimpinan, ini Yang Mulia, putusan MK terhadap masa jabatan Ketua MK juga menegaskan bahwa masa jabatan itu harus dipertegas karena ini menyangkut merugikan kinerja efektivitas kelembagaan dan itu putusan MK itu dirasakan juga oleh Para Pemohon kami. Kalau orang berdebat 22
terus tentang masa jabatan pimpinan DPD, maka ini day to day akan berbicara tentang kekuasaan. Day to day ini orangnya, ini siapa orangnya, ini siapa orangnya, ini siapa, sehingga situasi bekerja parlemen itu tidak optimal dan tidak maksimal. Inilah yang kemudian kami dalilkan, Yang Mulia, bahwa kinerja ini juga bisa terganggu karena semuanya saling mengintip di situ, saling mengintip secara politik. Ini yang ... yang dirasakan oleh Para Pemohon kami di situ. Berikutnya, Yang Mulia Prof. Aswanto, terima kasih. Saya kira masukan-masukan banyak di situ. Kami memang sebenarnya mau membedakan antara batu uji dan hak konstitusional di situ yang dirugikan, Yang Mulia, karena hak konstitusional yang dirugikan biasanya tidak simetris dengan batu uji. Tapi batu uji yang utama adalah tentang ... tentang Negara Indonesia adalah negara hukum, tentang kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945, tentang pemilu lima tahunan karena kami mendalilkan bahwa masa jabatan anggota ini sesungguhnya ... masa jabatan pimpinan ini sama dengan masa jabatan anggota karena masa jabatan anggota itu tunduk pada durasi politik pemilu lima tahunan. Nah, kenapa anggota dan pimpinan kami samakan masa jabatannya? Karena kami anggap tidak mungkin ada lembaga negara majemuk itu ada anggota, tidak ada pimpinan. Antara pimpinan dan anggota pasti satu kesatuan di situ, sehingga pimpinan dan anggota ini kalau masa jabatan anggotanya di durasi pemilu ini lima tahun, maka ini adalah juga masa jabatannya lima tahun, dan kami merujuk kepada ketentuan pemilu Pasal 22E ketentuan tentang masa jabatan presiden yang bisa disamakan sebagai rumpun, sama-sama kekuasaan rumpun hasil pemilu, yang juga putusan MK beberapa kali menegaskan tentang rumpun kekuasaan politik ini yang kami kutip dali ... dalam putusan ini. Nah, terakhir, Pak Palguna … Yang Mulia Pak Palguna, sengketa internal DPD. Jadi, sekali lagi, Yang Mulia Pak Palguna, kita tidak nafikan mungkin ada sengketa internal politik di situ, tapi itu realitas yang memang kami harus sampaikan karena kalau kami tidak sampaikan, maka kami dianggap tidak memiliki kerugian konstitusional yang real. Sekali lagi bahwa orang datang ke Mahkamah Konstitusi ini pasti karena rata-rata kalau kerugian real-nya adalah pasti sedang bersengketa, gitu. Apakah sengketa sama perguruan tingginya? Apakah sengketa sama perusahaannya? Apakah sengketa antarwarga negara? Apakah sengketa antar itu semuanya? Di situ. Karena dari sengketa itulah, kemudian penerapan undang-undang itu yang kemudian dianggap merugikan hak konstitusional dari yang bersengketa itu, kan tidak mungkin MK, “Wah, ini sengketa perdata, kamu ke pengadilan negeri saja sana,” kan seperti itu atau begini, atau begini, tapi yang paling kami pasti bisa berusaha adalah ada problem undang-undang memang di sini. Itu yang sedang kami yakinkan kepada, Yang Mulia, di situ bahwa ada problem undang-undang ini sehingga 23
kemudian sengketa ini timbul berlarut-larut dan butuh kepastian segera. Sama siapa lagi kami ini parlemen menghamba kalau kemudian proses politik ini karena kami minoritas tiba-tiba dikisas oleh mayoritas di situ, tiba-tiba kami karena suara mayoritas ... inilah yang terjadi hak-hak konstitusional kami dipilih kemana kami menghamba di situ? Hanya satu jawabannya kami harus ke Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia, karena kami percaya sembilan Hakim ini tidak ada satu pun kekuatan politik yang bisa mengintervensinya di situ, dan kita di sini bebas untuk meyakinkan sembilan orang Hakim itu. Ada kualitas demokrasi yang kita harapkan “masuk pada proses apa ... di DPD”. Kalau tadi Yang Mulia juga mengatakan, “Bagaimana kalau pihak lain masuk juga?” Bagi kami lebih bagus supaya perdebatan politik yang seolah-olah menafikkan hukum kita bawa perdebatan konstitusional di sini karena politik tanpa hukum, anarki, Yang Mulia, itu dalam putusan MK, kami kutip di situ. Kalau berdebat di sana terus di situ sudah lebih bagus, pihak lain sana yang tidak setuju masuk Pihak Terkait untuk kemudian men-challenge di sini terhadap apa yang kami inginkan di situ. Di sinilah kita tunggu wasit sembilan pintu kebenaran, sembilan jubah merah kebenaran itu yang akan memutuskan. 38.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Baik, Pak Irman, mungkin cukup kali, ya. Sudah masuk semua, ya? Ini masih ada sidang lain soalnya.
39.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Sekaligus saya klarifikasi terakhir yang tentang pernyataan yang keliru tadi, Yang Mulia, itu tidak ada maksud seperti itu.
40.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, sudah paham kita.
41.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Tidak ada maksud seperti itu (...)
42.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Tidak mungkinlah Irman Putra Sidin seperti itu.
24
43.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI IRMANPUTRA SIDIN Kami sangat percaya dan semua orang yang datang sama kami saya bilang, “Jangan coba-coba main di Mahkamah Konstitusi.” Di situ, kita hanya bisa bertarung logika dan doa di Mahkamah Konstitusi, di situ. Saya kira itu, Yang Mulia.
44.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya, terima kasih. Pak Irman meskipun tadi sudah dijelaskan, tapi kami tetap mengikuti perintah undang-undang. Ini adalah hak Pemohon dan kewajiban kami, kewajiban kami adalah memberikan kesempatan kalau ingin diperbaiki, silakan. Kalau enggak, juga enggak apa-apa, tapi ada waktu 14 hari, ya, yaitu paling lambat tanggal 28 Desember 2016. Tapi kalau Pak Irman tadi mengatakan seperti yang sudah disampaikan, kalau memang ada perubahan nanti sore mau selesai, ya, silakan ya, tapi ini tenggang waktu paling lama. Enggak diperbaiki juga enggak apaapa, kalau enggak diperbaiki berarti kita pakai yang lama, ya, tapi kewajiban kami untuk menyampaikan itu. Kemudian tentang masalah putusan provisi, kami nanti akan laporkan dulu ke Rapat Permusyawaratan Hakim, kami bertiga tidak mempunyai kewenangan untuk itu tapi argumentasinya sudah cukup jelas, ya, kemudian apakah perkara ini langsung diputus tanpa pleno juga nanti kami bicarakan, tapi yang jelas kami sudah mengagendakan bahwa sudah ada agenda untuk sidang perbaikan, ya. Jadi, sekarang pendahuluan, sidang perbaikan. Terserah itu kepada Pak Irman paling lama 28 Desember, kami juga ... ini kan juga sudah memasuki bulan Desember, ya, kami juga harus men-draft banyak sekali putusanputusan yang belum selesai, kami juga mungkin akan fokus juga karena masing-masing Hakim ada 10, 5, 6, 7, untuk bikin draft putusan, ya. Jadi sidang selanjutnya nanti kita beritahukan, ya, selanjutnya. Ada tambahan, Pak? Jadi demikian, ya, Pak Irman ya, dan Para Pemohon, Prinsipal ya, kami menghormati, menghargai apa yang menjadi concern untuk datang ke Mahkamah Konstitusi.
25
Demikian sidang pendahuluan kita dan sidang hari ini cukup, dan sidang kita tutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.38 WIB Jakarta, 15 Desember 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
26