MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA ATAU KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG MENYATAKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA UNTUK SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA DAN MENGUBAH KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PIHAK TERKAIT (PERSATUAN ISLAM ISTRI DAN YLBHI) (XVIII)
JAKARTA KAMIS, 19 JANUARI 2017
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab UndangUndang Hukum Pidana [Pasal 284 ayat (1) sampai dengan ayat (5)] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Euis Sunarti 2. Rita Hendrawaty Soebagio 3. Dinar Dewi Kania, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Pihak Terkait (Persatuan Islam Istri dan YLBHI) (XVIII) Kamis, 19 Januari 2017, Pukul 13.08 – 14.03 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Manahan MP Sitompul Patrialis Akbar Suhartoyo Wahiduddin Adams
Fadzlun Budhi SN
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Sabriaty Azis 2. Sri Vira Chandra 3. Rita Hendrawaty Soebagio B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Feizal Syah Menan 2. Evi Risna Yanti 3. Aristya Dewi 4. Anggi Wibowo 5. Arah Madani 6. Busyran C. Pemerintah: 1. Kuarta Vitraja 2. Hotman Sitorus 3. Surdiyanto D. Pihak Terkait: 1. Yonesta
(YLBHI)
E. Kuasa Hukum Pihak Terkait: 1. Zunaerah Pangaribuan 2. Erasmus Napitulu 3. Naila Rizki 2. Titin Suprihatin 4. Tuti Irawati
(YPS) (ICJR) (Komnas Perempuan) (Persistri) (Persistri)
F. Ahli dari Pihak Terkait: 1. Aliah B. Purwakania 2. Ahmad Sofian
(Persistri) (YLBHI)
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 13.08 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016, dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemohon dipersilakan siapa saja yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEIZAL SYAH MENAN Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Pada siang yang berbahagia ini hadir tiga orang Pemohon, yaitu Dr. Sabriaty Azis, Ibu Sri Vira Chandra, S.S., M.A., dan Ibu Rita Hendrawaty Soebagio, S.I., M.Si. Sementara dari kami Kuasa Hukum hadir saya sendiri Feizal Syah Menan, kemudian Ibu Evi Risna Yanti, Ibu Aristya Dewi, Bapak Anggi Wibowo, Bapak Arah Madani, dan Bapak Busyran. Demikian, Majelis.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Dari DPR berhalangan, dari Kuasa Presiden silakan.
4.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Kuasa Presiden hadir, Bapak Kuarta Vitraja dari Kejaksaan. Saya sendiri Hotman Sitorus dan Pak Surdiyanto dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Terima kasih. Dari Pihak Terkait, dari Koalisi Perempuan Indonesia berhalangan, ya? Belum hadir. Yayasan Peduli Sahabat?
6.
KUASA HUKUM PIHAT TERKAIT: ZUNAERAH PANGARIBUAN (YPS) Hadir, Yang Mulia, Kuasa Hukum Zunaerah Pangaribuan. Terima kasih.
7.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Persatuan Islam Istri?
1
8.
KUASA HUKUM (PERSISTRI)
PIHAK
TERKAIT:
TITIN
SUPRIHATIN
Hadir, Yang Mulia dari Persistri, saya Titin Suprihatin didampingi oleh Ibu Tuti Irawati. 9.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari Komnas Perempuan?
10.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Hadir, Yang Mulia. Saya Naila Rizki. 11.
KETUA: ANWAR USMAN Dari ICJR?
12.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ERASMUS (ICJR) Hadir, Yang Mulia. Kuasa Hukum Erasmus Napitulu.
13.
KETUA: ANWAR USMAN Dari MUI berhalangan ya atau belum hadir. Dari YLBHI?
14.
PIHAK TERKAIT: YONESTA (YLBHI) Hadir, Yang Mulia. Mewakili pengurus, (suara tidak terdengar jelas) Yonesta.
15.
KETUA: ANWAR USMAN Kemarin tidak hadir, ya. Ya, sesuai penundaan sidang yang lalu, hari ini kita dengar Ahli dari Persistri, menurut agenda tempo hari mengajukan dua, ternyata cuma satu ya.
16.
KUASA HUKUM (PERSISTRI)
PIHAK
TERKAIT:
TITIN
SUPRIHATIN
Ya, Yang Mulia. Pada hari ini baru satu orang karena satu orang lagi baru pulang umroh kemarin, jadi mohon diagendakan untuk sidang berikutnya.
2
17.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, begitu?
18.
KUASA HUKUM (PERSISTRI)
PIHAK
TERKAIT:
TITIN
SUPRIHATIN
Ya. 19.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dari Ahli YLBHI? Ada Ahli ya?
20.
PIHAK TERKAIT: YONESTA (YLBHI) Ada, Yang Mulia. Satu orang.
21.
KETUA: ANWAR USMAN Jadi, Ahlinya cuma satu ya?
22.
PIHAK TERKAIT: YONESTA (YLBHI) Kami memohon kesempatan untuk menghadirkan ahli lainnya di kesempatan yang lain juga, Yang Mulia.
23.
KETUA: ANWAR USMAN He em, baik. Ya, untuk Ahli Persistri dan Ahli YLBHI dipersilakan ke depan. Ya, kita ambil sumpah dulu, dua-duanya beragama Islam, ya. Yang Mulia Pak Wahiduddin, silakan.
24.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Untuk Ahli, ikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
25.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
3
26.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, dipersilakan kembali ke tempat. Ya, kita dengar keterangan dari Pihak Terkait ya, Ahli dari Pihak Terkait Persistri, Pak … eh, Ibu Aliah B. Purwakania, dipersilakan. Ya, di podium. Ya, masing-masing sekitar 15 menit, ya. Poin-poinnya saja, tidak perlu dibaca semua. Silakan.
27.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: ALIAH B. PURWAKANIA Bismillahirrahmaanirrahiim, assalamualaikum wr. wb. Ibu-Bapak Yang Mulia Hakim Agung dan Para Hadirin sekalian yang saya hormati. Pertama kali izinkanlah saya memperkenalkan diri saya, nama saya Aliah, saya adalah dosen pada Program Studi Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia dan dosen Fakultas Psikologi dan Pendidikan Universitas AlAzhar Indonesia. Pada kesemapatan ini, izinkanlah saya mencoba membahas tentang teori fitrah. Jadi, dalam konsep psikologi yang saya pelajari, manusia itu adalah pada dasarnya memiliki fitrah. Fitrah yang diberikan oleh Tuhan sebagai potensi dan di dalamnya ada ruh, nafs, dan akal, dan manusia itu terlahir di dalam keadaan fitrah. Nah, fitrah ini mengkukuhkan manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial sehingga kemudian ketika kita mencoba untuk memberikan konsep pendidikan dalam psikologi Islam, manusia itu bertugas untuk menjaga fitrahnya masing-masing yang sebetulnya dikaruniakan oleh Allah sebagai suci dan beriman. Bahwa kemudian dalam kehidupannya manusia mendapatkan godaan untuk berjalan lurus sesuai dengan fitrahnya, maka timbullah berbagai perilaku abnormal dan secara psikologis normal itu merupakan keadaan sehat, tidak patologis dalam hal fungsi keseluruhan, jadi ada normal normatif atau normal statistik. Nah, kalau kita bicara karena Pasal 292 itu berbicara tentang LGBT, maka konsep ini menunjukkan, teori fitrah menunjukkan bahwa LGBT itu bukan fitrah manusia. Jadi, kalau kita lihat acuan dalam Islam bahwa ini merupakan perbuatan yang tidak baik dan kemudian juga dinyatakan bahwa belum pernah ada pada nenek moyang sebelum Nabi Luth. Nah, kalau kita melihat secara empirik psikologi, maka sebetulnya masalah LGBT ini merupakan kontroversi yang cukup lama bahkan di tubuh APA sendiri, jadi APA atau American Psychiatrist Association itu memiliki sejarah panjang dan seringkali banyak orang yang mencoba untuk melihat apa yang terjadi di dalam APA sebagai rujukan ilmiah. Nah, yang menarik adalah bahwa Nicholas Cunningham yang merupakan presiden APA menyatakan bahwa gerakan LGBT ini memiliki muatan politik dan kemudian juga ada beberapa pihak yang kemudian mencoba untuk mengemukakan pentingnya objektifitas ilmu pengetahuan sehingga timbul yang disebut dengan Diana Taylor 4
Principles. Diana Taylor merupakan presiden APA tahun 1973. Yang paling menarik adalah Bapak dan Ibu Hakim Agung Yang Mulia dan hadirin sekalian bahwa ternyata pada tahun 2016 terjadi perubahan stance dari APA. APA pada sekarang lebih melihat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sehingga kemudian terjadi pergeseran dalam melihat LGBT sebagai sesuatu yang dianggap born that way. Nah, di APA sempat terjadi suatu ... ada dua pihak yang berbeda pendapat. Satu pihak mencoba untuk mendirikan yang disebut dengan National Association Research Therapy on Homosexuality (NARTH) dan kemudian perubahan ini menunjukkan penghargaan terhadap penelitianpenelitian yang dilakukan oleh NARTH, oleh APA. Karena itu, BapakBapak dan Ibu-Ibu sekalian, izinkanlah saya mencoba untuk memperlihatkan penelitian yang dilakukan oleh NARTH yang pada dasarnya menunjukkan bahwa LGBT itu bukan sesuatu yang merupakan fitrah manusia. Di sini kita lihat bahwa ada Kinsey Scale pada intinya ini menunjukkan bahwa permasalahan dari homoseksualitas itu derajatnya berbeda-beda dan kemudian juga tadi banyak ... sebetulnya penelitian tentang orientasi non heterosexual di Amerika Serikat cukup banyak dan kemudian salah satu yang memperlihatkan bahwa ini adalah politik adalah jurnal yang ditulis oleh Charles Silverstein yang menyatakan bahwa penting untuk melepaskan norma agama dalam ilmu psikiatri sehingga kemudian dia juga mengusulkan legalisasi homoseksualitas dalam jangka pendek dan juga pada jangka panjang melegalisasi semua parafilia, dan kemudian juga kita lihat bahwa komunitas LGBT aktif dalam berbagai kampanye HAM. Nah, artinya kemudian kita lihat bahwa hasil penelitian ilmiah tentang masalah heteroseksualitas-homoseksualitas ini menjadi berada di bawah tekanan politik tadi, kemudian ada berbagai pihak, jadi ada orang yang menjadi ilmuan yang mencoba mendekati APA, baik Little APA maupun Bigger APA, tapi kemudian juga ada pihak-pihak yang mencoba untuk mendirikan National Association Research Therapy on Homosexuality dan Alliance for Therapeutic Choice and Scientific Integrity. Nah, kalau kita lihat perbedaan ini adalah sebagai berikut. Perspektif APA sebelum terjadi perubahan stance menyatakan bahwa homoseksualitas semata-mata disebabkan oleh faktor genetik. Sementara dalam perspektif NARTH, mereka menyatakan tidak ada gen gay, jadi lingkunganlah yang berpengaruh. Kemudian juga dalam perspektif APA, perubahan orientasi seksual tidak mungkin dilakukan, sementara perspektif NARTH homoseksual dapat disembuhkan. Kemudian dalam perspektif APA, social orientation change itu berbahaya, tetapi kemudian perspektif NARTH terapi reparative, kita tidak membahas tentang hormonal terapi, itu tidak berbahaya. Kemudian 5
homoseksualitas tidak meningkatkan risiko penyakit, perspektif NARTH adalah penyakit tertentu yang risikonya meningkat karena homoseksualitas. Jadi, ada penyakit tertentu. Pada saat sekarang, APA kemudian memberikan penghargaan yang lebih baik pada tahun 2016 terhadap penelitian yang dilakukan NARTH dan melihat bahwa penelitian yang dilakukan NARTH ternyata juga memiliki bukti-bukti sebagai penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah yang seringkali membuat kita melihat apakah ini gen atau sebetulnya lingkungan adalah penelitian tentang twin studies. Yang bisa kita lihat bahwa ternyata angka dari twin studies itu berbeda. Ada yang memang kemudian menunjukkan pengaruh lingkungan lebih besar, tetapi kemudian juga sebetulnya banyak juga penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan lebih besar, tetapi juga ada yang menyatakan bahwa gen lebih besar. Nah, di sini saya menunjukkan beberapa penelitian yang dilakukan Bailey, Pillard, Bailey … Beaman, yang menunjukkan bahwa sebetulnya lingkungan punya pengaruh yang cukup. Dan sebelumnya kita tahu bahwa banyak pihak yang mencoba untuk menghilangkan pengaruh lingkungan ini. Padahal bahwa dari sini kita bisa melihat bahwa pengaruh lingkungan itu ada. Kemudian, tentang gay gene dan epigenetik. Penelitian tentang gay gene dengan marker Xq28 sebetulnya belum konklusif, jadi penelitian ini direplikasi oleh berbagai pihak dan ternyata boleh dikatakan ini gagal direplikasi. Dan kemudian juga kalau kita melihat penelitian Dean Hamer, dia menyatakan bahwa gay gene itu diturunkan dari ibu ke anak laki-laki. Jadi, jelas bahwa di sini yang menjadi temuan Dean Hamer itu adalah gay gene, walaupun kemudian kita tahu bahwa itu tidak bisa direplikasi, sehingga sampai sekarang marker epigenetik itu boleh dikatakan belum konklusif. Tetapi bahwa dia menggunakan istilah gay gene, bukan homoseksual gene, itu merupakan hal yang membuat kita bertanya-tanya dan kita menemukan jawabannya dari bagaimana itu diturunkan dari ibu ke anak laki-laki, sehingga jelas bahwa di sini penelitian gay gene tidak menemukan lesbian gene. Tetapi pada kenyataannya kemudian ini dipolitisasi menjadi homoseksual gene. Kemudian, penelitian neurosains memang menunjukkan bahwa terjadi perbedaan otak pada mayat orang homoseksual dan heteroseksual. Tetapi sekali lagi bahwa bahkan penemu ini pun menyatakan bahwa ini tidak menunjukkan bahwa homoseksual born that way. Jadi, perbedaan ini bisa terjadi karena peristiwa yang terjadi setelah kelahiran. Kemudian lingkungan sosial dan ternyata juga kita mendapatkan penelitian-penelitian bahwa LGBT itu lebih banyak terjadi pada lingkungan yang permisif sehingga kemudian juga pendidikan diarahkan, kalau itu diarahkan untuk menolerir perilaku homoseksualitas, itu akan menimbulkan homo permissiveness yang justru akan meningkatkan jumlah perilaku homoseksualitas.
6
Kemudian juga dilihat di sini bahwa ternyata norma itu membantu untuk mencegah manusia ke dalam lingkaran LGBT dan kemudian juga banyak komunitas LGBT yang justru mencegah pengobatan bagi mereka yang ingin memiliki orientasi heteroseksual. Ini adalah hasil penelitian NARTH atau ATCSI tentang banyaknya terapi-terapi penyembuhan LGBT yang dikatakan cukup memiliki evidence based, baik dari hypnosis, psychoanalysis, behavior and cognitive therapies, grup therapies, hypnosis, sex therapies, pharmacological interventions, religiously spontaneous reorinentation, dan lain-lain. Dan kemudian, penelitian Nicholas Cunningham juga cukup menarik yang menyatakan bahwa pemberian kebebasan treatment itu hanya menarik 10% orang Amerika Serikat yang ingin sembuh. Dan dari 10% yang ingin sembuh itu menunjukkan kebahagiaan dan menunjukkan kemajuan. Kemudian, ini adalah kriteria kesembuhan yang diberikan. Jadi, ada beberapa tingkatan, yang pertama adalah sembuh. Sembuh itu adalah memiliki dorongan heteroseksual, dorongan homoseksualnya hilang dan terbangunnya identitas diri sebagai heteroseksual. Kemudian, semakin banyak yang … tahap kedua adalah semakin banyak perbaikan atau much improvement itu adalah timbul dorongan heteroseksual, tetapi dorongan homoseksual tidak hilang. Kemudian semakin baik atau improvement adalah dapat mengontrol dorongan homoseksual. Dan kemudian, Karten juga menyatakan ada empat yang menunjukkan suksesnya treatment. Yang pertama adalah meningkatnya perasaan seksual terhadap lawan jenis. Kemudian, berkurangnya perasaan dan perilaku seksual terhadap gender yang sama atau jenis kelamin yang sama. Kemudian, tubuhnya … identitas yang kuat akan heteroseksualitas dan kemudian meningkatnya kesejahteraan psikologis. Nah, kemudian juga, NARTH juga memperlihatkan bahwa banyak sebetulnya mitos tentang terapi orientasi yang menyatakan bahwa yang pertama adalah percaya bahwa genetik itu satu-satunya penyebab dari seksual sesama jenis (SSA) sexual attraction sesama jenis ini, Same Sexual Attraction. Kemudian, juga usaha untuk mengubah sexual orientation itu sangat berbahaya. Kemudian juga tadi menghindari itu juga bahkan menimbulkan bahaya yang banyak. Dan kemudian juga bisa dilihat bahwa prinsip-prinsip terapi pun kemudian dicoba untuk dimanipulasi sedemikian rupa sehingga kemudian misalkan terjadi ... dikatakan bahwa walaupun ada pelarangan terhadap hormonal repetitif terapi, tetapi kemudian itu digeneralisasi pada jenis-jenis terapi lainnya. Dan kemudian juga bahwa banyak sebetulnya masalah kesehatan mental yang dihadapi. Yang pertama adalah ketergantungan obat, alkohol, kemudian HIV aids, kemudian penyakit infeksi menular seksual dan risiko kesehatan lain, kanker anal, bunuh diri, kemudian juga kesulitan dalam
7
hubungan romantis, kemudian ada perasaan tidak suka dan depresi, dan kemudian diskriminasi. Nah, dalam teori fitrah, depresi misalkan itu sebetulnya lebih disebabkan oleh terjadinya penyimpangan dari fitrah manusia. Sementara posisi agama adalah sebagai pengingat manusia akan fitrahnya. Jadi, ketika seseorang misalkan mengalami depresi, itu lebih karena ada kebutuhan-kebutuhan dasar yang dia lawan, bukan karena tekanan agama. Kemudian pentingnya pendidikan fitrah sebagai upaya prefentif dan promotif dengan memerhatikan yang pertama adalah bagaimana tawakal dan kemudian bagaimana mengingat kematian. Kemudian juga ada (suara tidak terdengar jelas) psikologis perlu dilakukan upaya preventif. Jadi, ada tiga tingkatan pendidikan untuk populasi umum, deteksi dini, dan relapse prevention. Kemudian juga perlu diupayakan upaya promotif untuk meningkatkan kualitas hidup dengan memerhatikan unsur preventif di atas dan kemudian juga risetriset lanjut tentang treatment yang berfungsi untuk mengumpulkan lebih banyak bukti tentang terapi ini, kemudian harus diadakan lebih lanjut. Jadi, intinya adalah kalau misalkan kita lihat bahwa pemberian hukuman itu merupakan upaya untuk mendukung upaya preventif. Dan kemudian, pemberian hukuman secara teoritis dapat menurunkan perilaku dan pendidikan itu akan lebih kuat jika ada konsekuensi yang jelas. Dan kemudian juga sebetulnya pemberian hukuman itu juga akan membuat menghindari kriminalisasi para pendidik yang bebannya sebetulnya sudah berat. Tetapi kemudian bisa jadi ini dikriminalisasi karena ketidaksetujuan terhadap massa LGBT. Kemudian juga kesimpulannya adalah bahwa hukuman terhadap perzinaan itu bisa dilakukan dan sebetulnya itu yang kita harapkan. Kemudian juga kita juga bisa belajar pada kasus narkoba, bagaimana tentang hukuman ... pemberian hukuman pada LGBT. Jadi, saya pikir cukup sekian. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. 28.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Silakan kembali ke tempat dulu. Klarifikasi ... jadi yang duduk di depan ini bukan Hakim Agung, ya, Hakim Konstitusi. Baik, berikutnya Ahli Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., dipersilakan. Ya, waktu sekitar 15 menit, ya, supaya dipercepat.
29.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Ya, terima kasih. Yang Mulia Hakim Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi dan Para Anggota yang saya hormati, Para peserta, Kuasa 8
Hukum Pemohon, dan Pemohon, Kuasa Hukum Pihak Terkait, Pemerintah yang saya hormati, dan hadirin. Saya ingin menyampaikan permasalahan yang kita diskusikan hari ini dari perspektif hukum pidana karena memang background saya S1 pidana, S2 kriminologi, dan S3 hukum pidana. Jadi, konteksnya adalah konteks hukum pidana. Nah, ada topik yang ingin saya angkat dalam kasus ini, dalam persoalan ini. Delik zina dan hubungan seksual sesama jenis dalam KUHP. Saya menyoroti apa yang ada di dalam KUHP dan dikaitkan dengan teori-teori yang ada di dalam hukum pidana. Nah, sebelum saya menguraikan tentang perbuatan pidana, maka saya mengutip pandangan seorang ilmuwan hukum pidana Douglas Husak dalam bukunya Overcriminalization yang terbit tahun 2008 pada halaman 3 dan 4. Dia mengatakan, “Di banyak negara terjadi kecenderungan terhadap apa yang disebutnya dramatik en expansion. Expansion in the substantive criminal law dan extraordinary rise in the use of punishment.” Dengan kata lain, terjadi ekspansi yang berlebihan dalam penggunaan hukum pidana dan sudah melampaui batas-batas yang dikehendaki oleh hukum pidana dalam memberikan sanksi atau punishment kepada orang yang melakukan tindak pidana. Dalam mengkriminalisasi sebuah perbuatan seharusnya tidak saja didasarkan pada tercela atau tidak tercelanya perbuatan tersebut, tetapi juga harus didasarkan pada sejumlah pembenaran dalam teori-teori yang berkembang dalam hukum pidana atau dalam bahasa Husak dia sebutnya, “Theory of criminalisation.” Teori pemidanaan ini dibungkus oleh sebuah normative framework dalam rangka membatasi penggunaan hukum pidana yang melampaui batas. Teori ini juga berperan dalam memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar hukum pidana dipatuhi, sehingga tidak menimbulkan apa yang disebutnya dengan terlalu banyak hukum pidana pada akhirnya menimbulkan overcriminalization. Pandangan Douglas Husak ini sebenarnya pernah juga dikemukakan oleh ahli hukum terkemuka Indonesia Prof. Moeljatno. Dia mengatakan bahwa untuk menyatakan sebuah perbuatan menjadi tindak pidana, tidak selamanya didasarkan pada tercela atau tidak tercelanya perbuatan itu. Dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, Prof. Moeljatno menyatakan di ... yang terbit di tahun 2002 halaman 1 s.d. halaman 4, ada banyak faktor untuk menentukan bahwa sebuah perbuatan masuk dalam kategori perbuatan pidana. Di antaranya delik tersebut mudah diterapkan dalam praktik penegakan hukum, bisa dirumuskan unsurunsurnya, menimbulkan kerugian besar dalam masyarakat. Selain itu, kebijakan pemerintah juga menentukan apakah suatu perbuatan dapat diberikan sanksi pidana atau tidak. Beliau juga mengatakan bahwa tidak semua perbuatan yang tercela itu harus mendapat sanksi pidana, bisa 9
saja perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan pidana, tapi menurut beliau, tidak harus diberikan sanksi pidana. Nah, saya lanjutkan. Penggunaan hukum pidana yang berlebihan cenderung menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian yang lain. Ketidakadilan ini berada pada lapisan-lapisan yang tidak terdeteksi pada hukum pidana. Dan yang akhirnya, menimbulkan ekses negatif. Ada banyak perbuatan yang seharusnya tidak menggunakan hukum pidana, tetapi hukum pidana dipaksa untuk digunakan, seolah-olah hukum pidana akan mampu menjaga moral dan mengubah perilaku seseorang dari yang baik menjadi tidak baik, tidak selamanya hukum pidana akan mengubah perilaku, tidak selamanya hukum pidana akan menyebabkan orang taat pada moral yang dikehendaki. Moralitas adalah unsur perseorangan dan bukan sesuatu yang dipaksakan oleh hukum pidana, dan sarana pidana. Nah, dari ulasan-ulasan tersebut di atas, ya, perlu dikritisi apakah dengan semakin banyaknya hukum pidana lalu diikuti dengan banyaknya sanksi pidana akan menimbulkan semakin banyaknya keadilan, akan semakin tegaknya keadilan, akan semakin berhentinya orang untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak ... yang bertentangan dengan nilai-nilai ketercelaan, seperti yang dikemukakan oleh Moeljatno tadi. Nah, saya ambil dalam permohonan yang dikemukakan ini, saya hanya menyoroti dua pasal, terkait pertama adalah Pasal 284 Zina. Nah, secara teoretis, ada banyak definisi zina. Bisa dilihat dari perspektif sosial, bisa dilihat dari perspektif hukum, bisa juga dilihat dari perspektif agama. Dari perspektif hukum misalnya, bisa juga dilihat dari berbagai sistem hukum, baik sistem hukum common law maupun civil law. Saya melihat satu definisi, ya, secara yang biasa digunakan oleh mahasiswamahasiswa di fakultas hukum, yang sering digunakan sebagai rujukan, yaitu Black's Law Dictionary yang ditulis oleh Bryan A Garner. Dalam halaman ... dalam Black's Law Dictionary yang terbit tahun 2004, halaman 56-57, zina itu didefinisikan ... bukan didefinisikan, tapi diartikan dalam bahasa hukum menurut beliau adalah adultery. Adultery ini didefinisikan oleh beliau dalam kamus tersebut adalah voluntary sexual intercourse between a married person and someone other than the person's spouse. Artinya, kalau kita artikan secara umum adalah sebuah hubungan seks, ya, antara seseorang yang menikah dan seseorang lain dengan yang pasangannya, jadi ada yang menikah dan ada seseorang lain. Di banyak yurisdiksi, menurut beliau, adultery ini adalah sebuah kejahatan, tetapi di banyak negara lain, walaupun ini dianggap sebagai kejahatan, jarang dituntut ke pengadilan. Kemudian, penerapan adultery di banyak undang-undang ternyata juga dipengaruhi atau dalam rangka mencegah terjadinya, atau sebagai alat bukti untuk gugatan pihak lain, misalnya gugatan untuk perceraian. 10
Jadi dengan adanya hukuman kepada pelaku zina, ini bisa dijadikan bukti, proof of adultery sebagai dasar bagi pengadilan untuk melakukan gugatan perceraian. Nah, saya lanjutkan. Konsep adultery ini, kalau kita lihat di Amerika Serikat, di 21 negara bagian, ya, masih dianggap atau masih dianggap dinilai sebagai perbuatan pidana dengan konsep seperti yang ada di dalam Black's Law Dictionary. Masih dikategorikan sebagai hukum pidana, masih digolongkan sebagai tindak pidana atas pengaduan dari salah satu pasangannya. Meskipun dia yang dituntut di Amerika Serikat, tetapi ancaman hukuman bagi pelaku zina bisa sampai denda maksimum 500 US Dollar dan kurungan maksimum sampai dengan 90 hari. Nah, kemudian dalam konteks sosial, saya mengutip pandangan seorang Kriminolog Indonesia Muhammad Mustofa. Dia mengatakan bahwa zina merupakan perilaku menyimpang dari norma-norma hidup yang hidup dalam masyarakat. Tingkat penyimpangannya tergantung dari norma yang hidup tersebut, apakah rendah atau tinggi. Menurut pengamatan beliau yang dikutip oleh Dian Andriasari dalam jurnal yang terbit di Fakultas Hukum Unisba bahwa persepsi masyarakat terhadap tingkat penyimpangan perbuatan zina itu berbeda-beda. Kemudian dalam konteks hukum Islam, saya pikir Pemohon lebih paham soal ini. Tapi saya ingin mengutip pandangan Ziba Mir Hossseini, sebuah artikel yang terbit tahun 2010. Dipandang sebagai hubungan seksual yang terlarang antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar pernikahan dan dipandang sebagai kejahatan, dan sanksi pidananya bisa sampai 100 cambukan bagi yang belum menikah dan dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah. Ziba menambahkan bahwa meskipun sanksi pidana cukup khas, hukuman tersebut jarang didokumentasikan dalam berbagai literatur sejarah. Penerapan sanksi pidana zina dalam praktiknya jarang sekali diterapkan dan menjadi hukum yang tidak hidup lagi di sebagian negara Islam. Nah, dari uraian-uraian di atas terjadi perbedaan konsepsi tentang pemaknaan zina dan unsur-unsurnya karena dalam hukum pidana yang paling penting adalah bagaimana mendefinisikan sebuah perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Kemudian, apa unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut sehingga bisa dikatakan sebuah perbuatan adalah perbuatan pidana. Karena ada perbedaan konsepsi, maka penyusun KUHP itu ya, juga menempatkan zina sebagai … ditempatkan zina sebagai kejahatan kesusilaan. Dalam konteks kesusilaan ini maka KUHP memberikan batasan zina sebagai perbuatan hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang terhadap orang lain dimana salah satu pihak sudah menikah. Nah, apa tafsir yang bisa diberikan? Karena saya diminta untuk memberikan pandangan, tafsir yang bisa diberikan terhadap KUHP. Jadi, KUHP ternyata mengambil posisi pada perlindungan pernikahan atau perlindungan keluarga. KUHP memberikan perlindungan atas ikatan lahir 11
batin sehingga ketika salah satu pihak melakukan perbuatan menyimpang, zina, maka KUHP memberikan peluang bagi salah satu pihak untuk menuntutnya. Tuntutan itu sifatnya tidak mutlak, opsional karena tergantung pada pengaduan. Dan sangat ditentukan oleh salah satu pasangan yang dinilai menjadi korban dan bukan orang lain yang bisa mengadukan itu. Perlindungan terhadap pernikahan atau keluarga merupakan filosofis dipidananya perbuatan zina. Nah, argumentasi di atas sebetulnya tidak bertolak belakang dari pandangan seorang profesor hukum pidana, Prof. Marita Carnelley yang saya kutip pandangannya yang menyatakan bahwa secara historis dimasukkannya delik zina dalam KUHP di banyak negara adalah dalam rangka melindungi stabilitas institusi pernikahan dan munculnya potensi ketidakpastian dari asal-usul keturunan dari perbuatan zina tersebut. Pemidanaan zina tidak dimaksudkan untuk mengatur soal moralitas seseorang karena akan menimbulkan banyak kesulitan terutama beragamnya nilai-nilai dan ideologi yang dianut dalam suatu masyarakat. Marita Carnelley dalam sebuah jurnal yang terbit tahun 2013 halaman 185. KUHP tidak ingin membenturkan semua perilaku menyimpang untuk dibawa ke ranah hukum pidana karena pada akhirnya akan membuat banyaknya tugas-tugas yang harus dibebankan pada hukum pidana. Pemidanaan terhadap perbuatan zina yang tidak diikat oleh pernikahan akan membuat terjadinya apa yang disebut dengan Douglas Husak sebagai over criminalization. Makin banyak hukuman, makin banyak pidana dan belum tentu akan membuat rasa tertib dan damai. Pada akhirnya negara akan menjadi penjaga moral individu, bukan menjaga ketertiban masyarakat. Ada sebuah pandangan dalam hukum pidana, saya tidak mengutip dari pandangan seseorang karena literaturnya sudah cukup tua. Zina atau delik-delik kesusilaan menyatakan … ini sebuah pandangan dalam hukum pidana, the criminal law dictatorial power must end at the door of bedroom or barn door. Tafsirkan secara umum adalah hukum pidana harus berhenti ketika berada di depan pintu kamar. Dengan demikian, jika klausula ini … jika penafsiran atau tafsir terhadap Pasal 284 lebih kepada melindungi sebuah ikatan lahir batin, melindungi keluarga, memastikan keturunan yang sesuai dengan pernikahan tersebut, maka itulah filosofis disusunnya Pasal 284 KUHP tersebut. Kemudian, komentar saya terhadap Pasal 292 KUHP yang memberikan sanksi pidana kepada perbuatan cabul sejenis yang korbannya adalah anak-anak. Dalam konteks ini dapat ditafsirkan bahwa anak-anak merupakan kelompok orang yang belum bisa melindungi dirinya, melindungi dirinya sendiri. Belum mampu memikirkan secara mendalam konsekuensi yang terjadi ketika anak tersebut melakukan hubungan seksual sesama jenis. 12
Oleh karena itu, negara patut dan wajib memberikan perlindungan terhadap anak tersebut. Tidak dipidananya hubungan seksual sesama jenis yang dilakukan oleh orang dewasa lebih disebabkan karena hubungan seksual tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka, dalam ranah privat, dan orang dewasa sudah dapat mempertimbangkan segala konsekuensi yang terjadi ketika hubungan seksual tersebut dilakukan. Ranah privat ini sepatutnya tidak perlu diintervensi negara terlepas dari apakah perbuatan tersebut menyimpang atau tidak menyimpang. Saya pikir ini pandangan-pandangan saya ya, tafsir saya sebagai apa ... Pasal 284 dan Pasal 292. Saya tidak ... tidak ingin menjustifikasi persoalan-persoalan yang muncul, tetapi lebih kepada bagaimana sebenarnya hukum pidana itu berfungsi dan digunakan dalam rangka memastikan nilai-nilai moral suatu bangsa ada di dalam hukum pidana? Tetapi, nilai-nilai moral itu tidak selamanya harus dipaksakan dalam hukum pidana dan negara bertindak untuk memastikan bahwa warga negaranya patuh dan tunduk kepada moralmoral yang ada tersebut. Saya pikir ini, Yang Mulia. Terima kasih. Wabillahi taufik wal hidayah assalamualaikum wr. wb. 30.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam wr. wb. Ya, terima kasih. Untuk Pihak Terkait Persistri, mungkin ada yang perlu didalami dari Ahlinya atau yang ditanyakan lebih lanjut? Silakan.
31.
KUASA HUKUM (PERSISTRI)
PIHAK
TERKAIT:
TITIN
SUPRIHATIN
Tidak, Yang Mulia, sudah cukup. 32.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, sudah cukup jelas, ya. Baik. Untuk YLBHI, ada yang didalami atau sudah jelas?
33.
PIHAK TERKAIT: YONESTA (YLBHI) Ada yang didalami kepada Ahli lain.
34.
KETUA: ANWAR USMAN Lho, enggak bisa, Ahlinya sendiri.
13
35.
PIHAK TERKAIT: YONESTA (YLBHI) Oke. Baik, terima kasih. Cukup, Yang Mulia.
36.
KETUA: ANWAR USMAN Enggak ada? Cukup. Pemohon?
37.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEIZAL SYAH MENAN Ada, Yang Mulia.
38.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
39.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEIZAL SYAH MENAN Kepada Ahli dari Persistri, Ibu Dr. Aliah. Saya ingin Ibu Doktor untuk memberikan pendalaman mengenai satu hal, ya.
40.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
41.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEIZAL SYAH MENAN Di sini Ibu menulis, ya, di presentasi Ibu. Bahwa norma sangat membantu untuk mencegah manusia ke dalam lingkaran LGBT. Nah, ini berarti maksud Ibu kan ... apa ... perlu adanya perubahan ... apakah maksud Ibu adalah perlu diadakannya perubahan terhadap bunyi pasalpasal? 284, Pasal 285, Pasal 292 itu, atau bagaimana, Ibu? Mohon Ibu jelaskan ini ... kalimat ini, ya. Sebentar, Ibu, saya belum selesai. Kemudian, untuk Ahli dari YLBHI, saya juga ada pertanyaan ... apa ... tadi saya mencermati uraian dari Bapak Dr. Ahmad Sofian, ya. Uraiannya bagus dan ... apa ... fokus dari sisi hukum pidana itu, ya. Pertanyaan saya sederhana saya, Dr. Ahmad. Bagaimana pandangan Doktor mengenai pendapat bahwa hukum itu adalah alat untuk rekayasa sosial terkait dengan juga ... sayang Doktor tidak hadir dalam persidangan-persidangan sebelumnya, gitu, ya. Bahwa para ahli lain itu sudah menguraikan dengan panjang lebar. Betapa masyarakat itu sudah sangat resah karena kerusakan yang terjadi di masyarakat itu sudah sedemikian rupa. Sehingga jika di sini dalam uraian Dr. Ahmad Sofian 14
mengatakan bahwa masalah ... apa ini ya ... masalah zina dan kesusilaan ini adalah masalah privat, gitu, ya. Nah, dari uraian para ahli yang lain, ya, kita sidang dari bulan April sampai sekarang, itu jelas sekali dijabarkan. Bahwa masalah kesusilaan ini sudah bukan lagi masalah privat, gitu lho, tapi ini sudah masalah publik. Karena negara sudah harus menanggung jutaan dolar untuk pengobatan masyarakat, ya. Belum lagi kerusakan-kerusakan yang sangat potensial bisa menghancurkan generasi muda dan masa depan bangsa ini, gitu. Apakah kita ... apakah Bapak Ahmad Sofian masih bisa mengatakan itu merupakan wilayah privat, gitu? Nah, mohon penjelasan dari Bapak Dr. Ahmad Sofian terkait tadi, yang bahwa hukum itu adalah alat rekayasa sosial, gitu. Jadi, kalau kita melihat masyarakat memang membutuhkan sesuatu, maka negara harus bertindak, gitu. Kalau negara diam, sama saja negara menghancurkan negara ini sendiri, gitu. Nah, itu saja pertanyaan dari kami. Terima kasih. 42.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari Kuasa Presiden?
43.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia, cukup.
44.
KETUA: ANWAR USMAN Cukup, baik. Dari meja Hakim? Ya, Yang Mulia Pak Patrialis.
45.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima, Pak Ketua. Saya kepada Saudara Ahmad Sofian, ya. Di sini antara lain Saudara mengatakan, “Pada akhirnya negara akan menjadi penjaga moral individu, bukan menjaga ketertiban masyarakat.” Ini antara lain. Pertanyaannya adalah pertama apakah Saudara setuju atau memang mengharuskan dipisah secara jelas posisi negara agar menjaga atau tidak menjaga moral individu? Itu satu. Yang kedua, bukankah persoalan-persoalan penyimpangan terhadap moral-moral individu justru pada saatnya bisa mendatangkan satu kekacauan di dalam masyarakat? Karena ada persoalan-persoalan yang berangkat dari persoalan-persoalan individu, tetapi tidak bisa pasti dipisahkan dari persoalan masyarakat karena individu yang satu pasti ada kaitan dengan individu yang lain.
15
Oleh karena itu, bukankah persoalan-persoalan individu yang menyimpang tadi justru akan mengganggu pada ketertiban masyarakat? Jadi, itu saja saya ingin memahami karena ini saya lihat ini adalah bagian dari pendapat Saudara, bukan dari pendapat ahli yang lain, ya, tapi pendapat Saudara sebagai Ahli. Ini tentu kita kaitkan dengan persoalan delik zina tadi. Di sisi lain, Saudara juga mengutip terhadap bagaimana zina dalam pandangan Islam, dicambuk 100 kali, bahkan juga hukuman mati bagi mereka yang sudah berkeluarga. Persoalannya adalah kalau kita bicara hukum Islam, tentu kita bicara masalah Alquran karena hukumannya ada dalam Alquran. Allah Yang Maha Pencipta Langit dan Bumi ini saja, dan menciptakan seluruh isi-isinya, termasuk kita yang bicara ini, di ruangan ini, telah mengatur posisi bagaimana kalau terjadi persoalan perzinaan itu? Bayangkan, Yang Maha Kuasa saja, yang sebentar lagi juga nyawa kita di tangan-Nya akan dicabut sudah bicara tentang masalah hukuman, bahkan hukumannya Saudara sudah sampaikan, dicambuk maupun hukuman mati. Apakah kita sebagai manusia dalam kehidupan bernegara lebih hebat dari Yang Maha Kuasa menciptakan kita? Itu saja, Pak Ketua. 46.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, ya. Silakan, Ahli untuk menjawab apa yang ditanyakan oleh baik Pemohon maupun dari Pihak Terkait, ya. Dan … enggak, di situ saja duduk. Ya, Ahli Ibu Aliah dahulu, silakan, ya langsung to the point, apa (...)
47.
AHLI DARI (PERSISTRI)
PIHAK
TERKAIT:
ALIAH
B.
PURWAKANIA
Terima kasih, Yang Mulia, Bapak, Ibu Hakim Konstitusi. Ya, pertanyaan dari Bapak Faisal adalah apakah saya kemudian mencoba untuk menyatakan bahwa norma membantu untuk mencegah perilaku itu. Jadi, pernyataan ini diturunkan dari riset mengenai jumlah … apa … pelaku LGBT pada wilayah-wilayah, pada kelompok-kelompok masyarakat yang pada normanya ada atau membiarkan dengan masyarakat yang pada normanya tidak ada atau tidak membiarkan. Nah, ternyata memang jumlahnya itu lebih banyak pada masyarakat yang membiarkan. Misalkan, kalau kita lihat berapa jumlah Amerika Serikat dengan di Indonesia, memang kemudian menjadi pertanyaan apakah ada unsur iceberg atau gunung es di sini, tapi setidaknya dari permukaan kita bisa melihat hal ini. Jadi, kemudian juga kita lihat bahwa bagaimana sih sebetulnya norma atau aturan-aturan ada … yang di … ada masyarakat bisa mengajak seseorang untuk melihat apakah … untuk 16
mengambil keputusan, apakah dia akan melakukan sesuatu atau melakukan yang lain? Jadi, ini sebetulnya mendukung apa yang ditanyakan oleh Pak Faisal, terima kasih. 48.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Ahli Pak Dr. Ahmad Sofian, silakan.
49.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Terima kasih, Yang Mulia. Ya, saya akan meng … merespons, ya, saya tidak mau menyatakan bahwa ini menjawab, ya. Merespons pertama dari Kuasa Hukum Pemohon, terima kasih, Pak, atas pertanyaannya. Terkait dengan apakah hukum bisa melakukan rekayasa sosial, tentu secara akademik jawabannya bisa, ya. Mungkin ilmuwan lain tidak sependapat dengan ini atau ada yang sependapat dengan ini, tapi di banyak literatur, menyatakan bahwa hukum memang bisa melakukan rekayasa sosial. Nah karena saya adalah hukum pidana, apakah hukum pidana itu juga bisa melakukan rekayasa? Hukum pidana fungsinya adalah menjadikan sebuah perbuatan, ya, yang ada dalam masyarakat dan perbuatan itu menyimpang di dalam masyarakat, tercela di dalam masyarakat, kemudian dirumuskan sebagai delik, ya, delik yang bisa dipidana. Bagaimana mengabstraksikan perbuatan-perbuatan yang menyimpang itu? Tertentu akan dikembalikan kepada politik hukum pidana. Politik hukum pidana siapa yang menyusun? Yang menyusun adalah pemerintah atau badan-badan yang dikasih mandat untuk menyusun undang-undang, pemerintah dan parlemen tentunya. Jadi, mengabstraksikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, kemudian dijadikan sebuah norma. Nah, apakah norma itu nanti akan mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan mengandung elemen dapat dipidananya perbuatan tersebut. Itu ... jadi, konteksnya pasti sesuai dengan bidang saya, yaitu hukum pidana. Yang kedua, tentang privat atau tidak privat, ya. Apakah masih perlu diperdebatkan antara privat dan tidak privat? Dalam hukum kita yang diajarkan di fakultas hukum memang masih ada jenis-jenis hukum pidana masuk dalam sarana publik, hukum perdata masuk dalam sarana privat. Hubungan seks, apakah itu masuk dalam sarana privat atau sarana publik? Nah, hukum pidana menafsirkan bahwa hubungan seks itu tidak semuanya masuk dalam koridor delik, ya, tidak semuanya masuk dalam koridor delik, ada yang delik, ada yang diserahkan kepada masyarakat untuk menilainya, delik atau tidak delik, ya. Misalnya sederhana saja, pelacuran, tidak ada dalam KUHP itu adalah sebuah delik, tetapi orang yang mengambil manfaat dari pelacuran bisa dikatakan delik, ya. Nah, 17
jadi, bisa ada sanksi masyarakat yang menilai bahwa perbuatan yang bertentangan dengan moral dan dicela, masyarakat yang menilai dan masyarakat yang mencelanya. Jadi, hukum pidananya tidak harus diformulasikan dalam sebuah kitab, lalu negara memberikan sanksi pidana kepada orang yang melanggar perbuatan tersebut. Tapi, masyarakat juga kalau dianggap sebagai perbuatan menyimpang, masyarakat juga memberikan sanksi kepada perbuatan yang menyimpang, tentu kategorinya adalah dimana dan nilai-nilai yang dianut tersebut masih hidup di dalam masyarakat. Itu pandangan saya. Nah, yang berikutnya pertanyaan dari Yang Mulia Bapak Patrialis Akbar tentang apakah perlu dipilah, ya, secara jelas tentang menjaga … apakah negara itu menjaga … turut menjaga moral sebuah atau perilaku masyarakat? Ya, tentu, ya. Negara bertanggung jawab untuk menjaga moralitas yang ada yang hidup di dalam masyarakat. Saya setuju dengan pandangan itu pasti ya, ketika ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan moral, maka tentu negara harus menegur, menyatakan bahwa itu adalah perbuatan yang salah atau tercela. Namun, sekali lagi ketika diformulasikan dalam hukum pidana, apakah semua perbuatan yang tercela harus dijadikan sebagai delik? Menurut saya tidak semudah itu, Bapak … Yang Mulia. Ya, tidak semudah itu, kita harus melihat filosofis untuk apa itu dijadikan delik? Ada manfaatnya atau tidak? Apakah yakin dengan mempidana perbuatan zina yang diperluas, orang akan berubah perilakunya menjadi tidak zina? Nah, tidak ada jaminan, tidak ada literatur, tidak ada studi yang memastikan itu, gitu. Menurut saya, ya, dari banyak literatur yang saya baca tidak ada jaminan bahwa dengan menakut-nakuti perbuatan dengan ancaman hukuman yang tinggi, orang akan takut untuk tidak berbuat salah, ya, tetap ada … negara yang kuat sekalipun hukum pidananya tetap akan ada orang yang mencari celah-celah untuk melanggar hukum pidana. Nah, sekali lagi bahwa perbuatan tersebut, perbuatan tercela menurut nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, ya. Banyak ahli yang menyatakan bahwa zina memang perbuatan yang tercela, Yang Mulia. Nah, apakah mau dijadikan sebuah rumusan delik pidana? Nah, kembali kepada political, government political, apakah itu menjadikan hukum pidana atau tidak? Karena nilai-nilai itu di tiap wilayah berbeda-beda, di masyarakat Padang berbeda nilai-nilai itu dengan di masyarakat Papua, itu kesulitannya mengabstraksikan nilai norma menjadi sebuah perbuatan hukum dalam hukum pidana, tidak semudah itu. Prof. Moeljanto, Prof. Mulyadi, Prof. Bahder Nawawi Arief berdebat soal itu, bagaimana meformulasikan sebuah norma di dalam hukum pidana bahwa perbuatan itu tercela, tapi di masyarakat lain tidak tercela atau dianggap tingkat ketercelaannya rendah, gitu. Apakah kita mau mengeneralisasi karena masyarakat kita sangat heterogen dengan nilainilai dan ideologi yang dianutnya, itu pandangan saya. 18
50.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
51.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Saya pikir ini, terima kasih, Yang Mulia. Karena waktunya terbatas.
52.
KETUA: ANWAR USMAN Baik.
53.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Sebentar, Pak. Tapi Saudara secara pribadi, secara pribadi apakah Saudara setuju di satu sisi memang itu merupakan delik? Secara pribadi, ya? Kan hadir kan, tadi Saudara menggambarkan berbagai macam masyarakat memandang itu berbeda? Ya, itu tergantung masyarakatnya yang mana, ya? Saya bertanya secara pribadi.
54.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Kalau sebuah delik yang diformulasikan dalam KUHP saya tidak setuju, Pak, Yang Mulia.
55.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Tidak setuju?
56.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Ya, saya tidak setuju. Tapi biarkan delik itu hidup di dalam masyarakat nanti penyusun undang-undang yang melihatnya. Tapi kalau menurut saya itu akan menimbulkan kesulitan besar jika itu diformulasikan di dalam KUHP, bisa menjadi bahan negoisasi (...)
57.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Walaupun tadi (...)
58.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Ya. 19
59.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Saudara mengatakan ada masyarakat yang menghendaki untuk menuntut?
60.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Ya.
61.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Nah, kalau memang masyarakat menghendaki untuk menuntut, berarti itu kan bagian dari delik?
62.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Ya. Ya, masyarakat ini kan kalau kita lihat, Yang Mulia. Punya segmen-segmen yang berbeda-beda (...)
63.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya, yang menuntut, ya?
64.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Ya, ada masyarakat-masyarakat tertentu (...)
65.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya.
66.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: AHMAD SOFIAN (YLBHI) Yang memang menilai ini sebagai karena ini tadi menuntut di dalam ... di awal saya menjelaskan bahwa konsepsi zina itu berbedabeda, itu ahli kriminologi, bukan saya yang menyatakan berbeda-beda tangkapan masyarakat terhadap makna zina itu. Nah, sekarang karena berbeda-beda, itu akan menyulitkan kita dalam menyusun unsurunsurnya, unsur-unsur zina itu, untuk dikodifikasi dan diunifikasi. Itu masalahnya, Yang Mulia. Kesulitannya ada di situ, ya. Karena itu, Prof. Moeljatno mengatakan ... dan Douglas, “Kita harus kembali lagi pada teori-teori hukum pidana ketika menyusun sebuah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat menjadi sebuah delik yang diatur di dalam hukum pidana dan delik itu terkodifikasi dan terunifikasi yang berlaku secara menyeluruh.” 20
Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 67.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Untuk Ahli ... eh, apa ... Pihak Terkait Persistri masih satu lagi, ya?
68.
KUASA HUKUM (PERSISTRI)
PIHAK
TERKAIT:
TITIN
SUPRIHATIN
Mohon maaf, Yang Mulia. Kami mohon izinkan untuk menambah satu lagi dari agama lain. Jadi satu yang sudah diagendakan kemarin. 69.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, ya, makanya saya tanya masih satu lagi ahlinya?
70.
KUASA HUKUM (PERSISTRI)
PIHAK
TERKAIT:
TITIN
SUPRIHATIN
TERKAIT:
TITIN
SUPRIHATIN
TERKAIT:
TITIN
SUPRIHATIN
Jadi dua. 71.
KETUA: ANWAR USMAN Dua.
72.
KUASA HUKUM (PERSISTRI)
PIHAK
Ya. 73.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, gitu. Jadi dua lagi, ya?
74.
KUASA HUKUM (PERSISTRI)
PIHAK
Ya, ya. 75.
KETUA: ANWAR USMAN Kemudian dari YLBHI ada berapa lagi?
21
76.
PIHAK TERKAIT: YONESTA (YLBHI) Ada sekitar dua lagi, Yang Mulia.
77.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, baik. Kalau begitu pada sidang berikutnya, dua dari Persistri, dua dari YLBHI bisa dihadirkan sekaligus. Untuk itu sidang ditunda hari Rabu, tanggal 1 Februari 2017, pukul 11.00 WIB, dan kepada Para Ahli terima kasih atas keterangannya, dan tentu akan bermanfaat untuk Mahkamah dalam mengambil keputusan. Sudah jelas, ya, Pemohon, Kuasa Presiden, dan Para Pihak Terkait? Dengan demikian, sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.03 WIB Jakarta, 19 Januari 2017 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Elisabeth NIP. 19640906 198603 2 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
22