MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA ATAU KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG MENYATAKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA UNTUK SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA DAN MENGUBAH KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT [DP MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)] DAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT KOMNAS PEREMPUAN (X)
JAKARTA SELASA, 4 OKTOBER 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab UndangUndang Hukum Pidana [Pasal 284 ayat (1) sampai dengan ayat (5)] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Euis Sunarti 2. Rita Hendrawaty Soebagio 3. Dinar Dewi Kania, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Pihak Terkait [DP Majelis Ulama Indonesia (MUI)] dan Keterangan Pihak Terkait Komnas Perempuan (X) Selasa, 4 Oktober 2016, Pukul 11.10 – 14.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Anwar Usman I Dewa Gede Palguna Suhartoyo Aswanto Maria Farida Indrati Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Manahan MP Sitompul
Fadzlun Budi SN
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Rita Hendrawati Soebagio 2. Nurul Hidayati Kusuma Hastuti Ubaya 3. Akmal 4. Sabriaty Aziz 5. Euis Sunarti B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Feizal Syah Menan 2. Anggi Aribowo 3. Aristya Kusuma Dewi 4. Evi Resnanti 5. Arah Madani C. Pemerintah: 1. Quarta Fitraza 2. Prautani Wira Swasudala 3. Hotman Sitorus 4. Rahayu 5. Fitri Nur Astari D. Pihak Terkait: 1. Dian Kartikasari 2. Lia Anggiasih 3. Titin Suprihatin 4. Nina Nurmila 5. Nur Herawati 6. Muhammad Baharun 7. Zainal Arifin Hoesein 8. Zafrullah Salim 9. Arwani Faisol 10. Mursyidah Thahir
(KPI) (KPI) (PERSISTRI) (Komnas Perempuan) (Komnas Perempuan) (MUI) (MUI) (MUI) (MUI) (MUI)
E. Kuasa Hukum Pihak Terkait: 1. Zunaerah Pangaribuan 2. Chaidir Napitupulu 3. Aspinawati 4. Naila Rizki 5. M. Afif Abdul Khoir 6. Syamsul Munir
(YPS) (YPS) (Komnas (Komnas (Komnas (Komnas
Perempuan) Perempuan) Perempuan) Perempuan) ii
7. Erasmus Napitupulu 8. Bahrain
(ICJR) (YLBHI)
iii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.10 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemohon dipersilakan untuk memperkenalkan diri lagi siapa yang hadir.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEIZAL SYAH MENAN Terima kasih, Majelis Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Pada pagi yang berbahagia ini dari Pemohon hadir 5 dari 12, yaitu Ibu Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si., Ibu Rita Hendrawati Soebagio, S.P., M.Si., Ibu Nurul Hidayati Kusuma Hastuti Ubaya, Ibu Dr. Sabriaty Azis, dan Bapak Akmal Syafril, S.T., M.Pdi. Adapun dari Kuasa Hukum hadir 5 orang, Yang Mulia. Yang pertama saya sendiri Feizal Syah Menan, kemudian Ibu Evi Resnanti, Bapak Arah Madani, Ibu Aristya K. Dewi, dan Bapak Anggi Aribowo. Demikian, Yang Mulia.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Dari DPR berhalangan. Dari Kuasa Presiden?
4.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir diwakili dari Kejaksaan, Bapak Quarta Fitraza bersama Ibu Prautani Wira Swasudala. Dan dari Hukum dan HAM, saya sendiri, Hotman Sitorus bersama Ibu Rahayu dan Ibu Fitri Nur Astari. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik, Pihak Terkait, Koalisi Perempuan Indonesia?
6.
PIHAK TERKAIT: KOALISI PEREMPUAN INDONESIA Terima kasih, Yang Mulia, dari Koalisi Perempuan Indonesia hadir, Dian Kartikasari dan Lia Anggiasih. Terima kasih. 1
7.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, dari Yayasan Peduli Sahabat?
8.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: (YAYASAN PEDULI SAHABAT)
CHAIDIR
NAPITUPULU
Terima kasih, Yang Mulia. Dari Yayasan Peduli Sahabat dihadiri oleh Kuasa Hukumnya, saya sendiri Chaidir Napitupulu dan di sebelah kiri saya Ibu Zunaerah Pangaribuan. Terima kasih, Yang Mulia. 9.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, dari Persatuan Islam Istri?
10.
PIHAK TERKAIT: TITIN SUPRIHATIN (PUSAT PERSATUAN ISLAM ISTRI) Terima kasih, Yang Mulia, dari Pimpinan Pusat Persatuan Islam Istri, saya Titin Suprihatin.
11.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Komnas Perempuan?
12.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Terima kasih, Yang Mulia, hadir bersama kami Komisioner dari Komnas Perempuan, Ibu Nina Nurmila, Ibu Nur Herawati, dan Kuasa Hukum Aspinawati, Naila Rizki, M. Afif Abdul Khoir, dan Syamsul Munir. 13.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik, dari International for Criminal Justice Form?
14.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: ERASMUS NAPITUPULU (ICJR) Yang Mulia, Institute for Criminal Justice Reform hadir, Kuasa, Erasmus Napitupulu.
15.
KETUA: ANWAR USMAN Dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
2
16.
MUI: ZAINAL ARIFIN HOESEIN Terima Kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Dari pihak Majelis Ulama ada 12 yang mestinya hadir dan saat ini hadir 5 orang, salam dari Bapak Ketua, Bapak Kyai Haji Ma’ruf Amin. Yang hadir sekarang adalah pertama Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Baharun, S.H., M.H. Kemudian saya sendiri Zainal Arifin Hoesein. Yang ketiga, Bapak Drs. H. Zafrullah Salim. Yang keempat, Bapak Kyai Haji Arwani Faisol, dan yang kelima, Ibu Dr. Hj. Mursyidah Thahir, M.H. Terima kasih, Yang Mulia.
17.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, dari YLBHI belum hadir, ya?
18.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: BAHRAIN (YLBHI) Sudah hadir, Yang Mulia.
19.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, sudah hadir, baik. Terima kasih. Silakan.
20.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: BAHRAIN (YLBHI) Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Yang hadir dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Saya Kuasanya, Bahrain, Yang Mulia. Terima kasih.
21.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Terima kasih. Di meja Hakim ada dua permohonan, ya mengajukan diri sebagai Pihak Terkait, yaitu dari seseorang bernama Abi Marutama. Kemudian yang kedua dari seorang bernama Prameswari Puspa Dewi, Koordinator Nasional Aliansi Remaja Independent. Mahkamah telah memutuskan bahwa dari kedua permohonan ini dijadikan bahan informan dulu saja, jadi tidak diterima, ya. Jadi, cukup dengan bahan ini. Jadi, sama sebenarnya ya, jadi tidak perlu dipanggil begitu maksudnya. Kemudian, acara hari ini Mahkamah akan mendengarkan keterangan dari Pihak Terkait, Majelis Ulama Indonesia dan 3 orang ahli dari Komnas Perempuan. Nah, sebelumnya dipersilakan maju ke depan, Prof. M. Mustofa, M.A., Prof. Irwanto, dan Ibu Kamala Chandrakirana. Disumpah dulu. Ya, untuk Prof. Mustofa dan Ibu Kamala Chandra Kirana disumpah menurut agama Islam, mohon kesediaan Yang Mulia Pak 3
Wahiduddin. Kemudian, untuk Prof. Irwanto, mohon kesediaan Yang Mulia Ibu Maria. 22.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik untuk Ahli Prof. Mustafa dan Ibu Gamala Chandra Kirana untuk mengikuti lafal sumpah yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
23.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
24.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Terima kasih, Yang Mulia.
25.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, mohon ikuti saya. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”
26.
AHLI BERAGAMA KATOLIK BERSUMPAH: Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
27.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
28.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Mohon kembali ke tempat duduk. Ya, kita dengar dulu keterangan Pihak Terkait Majelis Ulama Indonesia, siapa yang akan menyampaikan? Pak Zainal, silakan. Di podium.
4
29.
PIHAK TERKAIT: ZAINAL ARIFIN HOESEIN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Yang akan menyampaikan Ibu Mursyidah.
30.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya, baik. Silakan, nanti poin-poin saja ya, jadi tidak perlu dibaca semua supaya nanti ada waktu untuk pendalaman materi. Silakan.
31.
PIHAK TERKAIT: MURSYIDAH THAHIR (MUI) Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim Yang Mulia dan hadirin yang terhormat. Kami menyampaikan alasan permohonan pengujian dari Majelis Ulama Indonesia sebagai Pihak Terkait. Indonesia sebagai negara hukum Berketuhanan Yang Maha Esa bahwa sebagaimana telah terjadi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang cukup mendasar, yaitu pada Ketentuan Norma Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan di rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan seterusnya. Bahwa pernyataan kemerdekaan rakyat Indonesia untuk berdaulat dalam suatu negara di dasarkan pada niat yang luhur agar berkehidupan kebangsaan yang bebas dan terhormat, oleh karena itulah Alinea Ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 didahului dengan pernyataan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia dan seterusnya. Bahwa dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia kemajemukan masyarakat Indonesia dicerminkan oleh baik kondisi geografis, etnis, budaya, maupun agama, tetapi dari segi politis merupakan kesatuan yang saling melengkapi sebagaimana yang disimpulkan dalam semboyan negara Bhineka Tunggal Ika. Bahwa sejalan dengan itu dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia, hukum harus dipandang sebagai suatu kesatuan, hukum tidak berdiri sendiri melainkan ada kaitannya yang sangat erat, ada kaitannya yang sangat kuat dengan Tuhan bahkan Tuhan dilihat sebagai sumber hukum yang utama. Hal ini dinyatakan sendiri dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Alinea Ketiga yang menyatakan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan seterusnya. Bahwa pandangan tersebut memiliki konsekuensi yuridis terhadap segala peraturan perundang-undangan yang harus mengacu dan bersumber pada nilai-nilai teologis, yakni nilai Ketuhanan Yang Maha 5
Esa. Pandangan Majelis Ulama Indonesia seperti demikian itu sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009, Mahkamah menyatakan bahwa Pancasila telah menjadi dasar negara yang harus diterima oleh seluruh warga negara. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka negara hukum yang hendak dibangun dan ditegakkan adalah negara hukum yang bangunan hukumnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan bersesuaian dan mendasarkan perumusannya pada nilai-nilai Pancasila yang mengacu pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP tidak sejalan dengan nilai Pancasila. Sebagaimana diuraikan di atas, Majelis Ulama Indonesia berpendapat bahwa nilai Pancasila sebagai nilai filosofis bangsa telah dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada alinea ketiga. Bahwa dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia, hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan assunah Rasulallah S.A.W. dirumuskan oleh para ulama dengan metode ijtihad. Telah melahirkan produk hukum berupa fikih dan penetapan hukum (fatwa) yang bertujuan untuk mencapai 5 macam kemaslahatan. Huddin (kemaslahatan agama), hi lunas (pemeliharaan jiwa), hifdhul (pemeliharaan akal), hifdhul nasal (pemeliharaan keturunan), dan hifdulmal (pemeliharaan harta). Bahwa di luar tujuan pemeliharaan agama, apa yang dikehendaki oleh hukum Islam pada dasarnya sama dengan yang dikehendaki oleh hukum pidana produk zaman kolonial belanda. Mungkin juga oleh sistem hukum pidana lainya. Bahwa hukum Islam mengatur kebebasan pribadi dalam melakukan hubungan seksual. Yaitu hanya boleh dilakukan oleh suami-istri dalam ikatan perkawinan yang sah. Hukum Islam mengatur kebebasan seksual adalah untuk kepentingan pribadi dan sekaligus juga untuk kepentingan masyarakat. Sebab hubungan seksual di luar perkawinan yang sah dapat mengancam kehidupan masyarakat dan merendahkan martabat kemanusiaan. Larangan zina tidak semata berpotensi menimbulkan kekacauan garis keturunan anak atau nasab. Melainkan juga penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan seks bebas. Larangan hubungan seksual tidak semata-mata antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, melainkan juga hubungan seksual sesama jenis. Laki-laki dengan lakilaki, dan hubungan seks sesama perempuan atau sihak. Hubungan seks dengan binatang (suara tidak terdengar jelas), dan hubungan seks dengan perkosaan. Bahwa Pasal 284 KUHP menegaskan diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan. Seorang pria telah menikah atau beristri yang berbuat zina sedang diketahuinya. Bahwa Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berlaku padanya. 6
zina.
b. Seorang wanita telah menikah atau yang bersuami berbuat
2.A. Seorang pria yang turut melakukan perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah menikah. Dan seterusnya. Bahwa mencermati ketentuan Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHP adalah norma hukum pidana yang tidak mengancam setiap orang yang melakukan perbuatan zina tetapi hanya mengancam pria atau wanita yang berstatus dalam perkawinan. Sedangkan pria atau wanita yang tidak berstatus nikah, tidak diancam sanksi apa pun. Padahal perbuatannya adalah sama-sama merusak sendi-sendi moralitas masyarakat Indonesia. Tidak adanya sanksi tindak pidana zina bagi pria dan wanita yang tidak berstatus nikah menunjukkan kelemahan atas norma hukum tersebut. Dikarenakan jenis dan indikator perbuatan sama tetapi sanksinya berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya perluasan pengertian zina pada Pasal 284 KUHP agar sejalan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwa dikaitkan dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan rumusan Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHP jelas-jelas mencederai, mengancam, dan bahkan merusak nilainilai ketentuan Pasal 28B. Bahwa dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia, pengertian perbuatan zina atau perzinaan harus dikembalikan pada pengertian dasar. Yaitu senggama antara pria dan wanita di luar nikah. Baik dilakukan orang yang masih terikat dalam suatu perkawinan, maupun yang belum atau tidak terikat perkawinan atau pernikahan. Baik dilakukan di lokasi umum/pelacuran, maupun di ruang privat. Pengertian mendasar ini didasarkan pada Alquran surat Al Anam ayat 151, surat An Nur ayat 2 dan 3, surat Al Isra. “Wala Taqrabu fawahisa ma dhoharo minha wama baton, azani wazani fajlidu kula wahidin min huma miatakjaldah al ayah.” Dan surat Al Isra, “Wala taqrabu zina innahu kana fahisyah wasaa sabila.” Bahwa Majelis Ulama dapat memahami hukum pidana kolonial memang menyatakan bahwa zina merupakan delik kesusilaan. Oleh karena itu, dipandang sebagai salah satu bentuk tindak pidana yang melanggar kesusilaan. Bahwa oleh karena itu, pengertian Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sejalan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1) dan seterusnya. Bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memohon agar Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan hukum Islam sebagai landasan untuk memperluas pengertian zina sebagaimana diuraikan di atas sesuai dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Demikian pula asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa perubahan makna perzinaan yang tercantum dalam KUHP, berarti 7
negara membiarkan praktik hubungan bebas di luar perkawinan yang sah yang sudah terbukti banyak menimbulkan kemudaratan tidak hanya bagi keutuhan keluarga, melainkan juga merosotnya akhlak dan moral bangsa, serta munculnya berbagai perilaku sosial dan penyakit masyarakat yang disebabkan merajalelanya perbuatan zina di tengah masyarakat. Bahwa dengan demikian, Majelis Ulama Indonesia memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa norma zina dalam KUHP hanya terjadi apabila dilakukan oleh pria atau wanita yang terikat dengan perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai laki-laki dan perempuan yang melakukan zina. Bahwa dengan demikian, Majelis Ulama Indonesia sebagai Pihak Terkait sepaham dengan permohonan Para Pemohon yang menyatakan, “Pasal 284 ayat (1) angka 1A KUHP sepanjang frasa yang beristri dan frasa sedang diketahuinya.” Bahwa Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata … Perdata (Sipil) berlaku kepadanya adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibaca sebagai laki-laki berbuat zina. Pasal 284 ayat (1) angka 1B sepanjang frasa sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami adalah bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibaca sebagai laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu. Pasal 284 ayat (1) angka 2A sepanjang frasa padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibaca sebagai 2A, “Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu.” Pada 2 … Pasal 284 ayat (1) angka 2B sepanjang frasa padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibaca sebagai 2B, “Seorang wanita yang turut serta melakukan perbuatan itu.” Kita ke halaman 22. Bahwa ketentuan Pasal 285 KUHP merupakan peraturan yang membuka peluang dan membebaskan pelaku, baik lakilaki maupun perempuan untuk memaksa laki-laki bersetubuh dengan cara memaksa dan melakukan kekerasan karena di dalam pasal a quo hanya memberikan sanksi bagi pelaku yang memaksa seseorang wanita, tetapi seorang laki-laki yang diperkosa, pelakunya tidak dikenakan sanksi. Bahwa berdasarkan uraian di atas, ketentuan Pasal 285 KUHP tidak mampu lagi sebagai norma hukum tertulis yang dapat melindungi atau mencegah terjadinya tindak pidana seksual, baik secara heteroseksual maupun homoseksual.
8
Oleh karena itu, ketentuan Pasal 285 KUHP masih bersifat diskriminatif dan harus dipandang secara utuh dampaknya kepada masyarakat, baik perkosaan yang dilakukan secara heteroseksual maupun homoseksual. Sehingga dengan demikian, Pasal 285 KUHP tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 281 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa menurut Majelis Ulama, ketentuan hukum pidana Belanda yang baru tersebut sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang memandang perkosaan dapat terjadi antarlawan jenis maupun sesama jenis. Dengan demikian, perempuan atau laki-laki yang diperkosa bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa orang yang dipaksa adalah bebas dari tuntutan hukum. Bahwa menurut hukum Islam, perkosaan secara heteroseksual adalah termasuk tindak pidana zina. Selain heteroseksual, perkosaan juga dapat terjadi secara homoseksual. Bahwa menurur Majelis Ulama Indonesia, pengertian perkosaan yang tercantum dalam Pasal 285 KUHP perlu diperluas maknanya sehingga tidak terbatas hanya kepada perkosaan seorang laki-laki terhadap perempuan yang bukan istrinya, namun mencakup perkosaan dalam arti luas, baik laki-laki terhadap perempuan, laki-laki terhadap laki-laki, perempuan terhadap laki-laki, maupun perempuan terhadap perempuan. Atas dasar itu, Majelis Ulama Indonesia menyampaikan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memperluas makna norma Pasal 285 KUHP sehingga pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai perkosaan laki-laki terhadap perempuan, perkosaan laki-laki terhadap laki-laki, perkosaan perempuan terhadap laki-laki dan perempuan terhadap perempuan. Bahwa dengan demikian, Majelis Ulama Indonesia sebagai Pihak Terkait sepaham dengan permohonan Para Pemohon yang menyatakan Pasal 285 KUHP sepanjang frasa kata perempuan yang bukan istrinya adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga harus dibaca sebagai, barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia dihukum karena memerkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Dengan catatan kata dia dalam pasal tersebut menjadi kata seseorang. Pasal 292 KUHP merendahkan martabat manusia dan tidak memiliki kepastian hukum. Bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia sebagaimana yang dikehendaki dalam ketentuan Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain, dan seterusnya.” 9
Bahwa ketentuan Pasal 292 KUHP yang menyatakan bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, merupakan norma yang membuka peluang untuk melakukan perbuatan cabul seperti melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, yaitu antar sesama perempuan, sesama lelaki, perbuatan pencabulan sesama jenis sebagaimana ketentuan Pasal 292 KUHP hanya menekankan pada perbuatan cabul sesama jenis yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap orang yang belum dewasa. Ketentuan ini mengandung arti jika perbuatan cabul dilakukan sesama jenis dan sesama orang dewasa tidak mendapatkan ancaman hukuman. Ketentuan tersebut justru memberikan peluang dan melegalisasi hubungan orang dewasa sesama jenis, padahal perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sangat dilarang. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 292 KUHP pemaksaan ... pemaknaanya harus diperluas, yaitu pencabulan tersebut tidak terbatas pada korban pencabulan orang belum dewasa, tetapi juga kepada orang dewasa sesama jenis, laki-laki dan sesama jenis perempuan. Bahwa dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia, perbuatan cabul yang dilakukan antar sesama perempuan, sesama lelaki adalah perbuatan keji yang dilaknat Allah SWT. Hal ini telah ditegaskan di dalam beberapa ayat Alquran antara lain, “Innakum lata’tuna arrijala syahwatan min duni annisa bal antum qaumu musrifun.” Penegasakan ini diulang dalam Alquran sebanyak 8 kali, bandingkan dengan larangan membunuh hanya 7 kali. Bahwa ketentuan Pasal 292 KUHP yang memuat ketentuan pengaturan yang berpotensi mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum, sehingga dampaknya ketentuan a quo akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan cenderung mengakibatkan terlanggarnya warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil. Bahwa dengan uraian di atas, Majelis Ulama Indonesia memohon agar Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan adanya perluasan makna perbuatan cabul sejenis dalam Pasal 292 KUHP, yaitu tidak hanya terhadap orang belum dewasa, tetapi juga meliputi orang dewasa. Dengan demikian, Pasal 292 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun. Bahwa dengan demikian, Majelis Ulama Indonesia sebagai Pihak Terkait sepaham dengan permohonan Para Pemohon yang menyatakan, “Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang frasa dewasa, frasa yang belum dewasa, dan frasa sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Sehingga, harus dibaca sebagai orang yang melakukan perbuatan cabul 10
dengan orang dari jenis kelamin yang sama dihukum penjara selamalamanya 5 tahun. Terakhir, petitum. Berdasarkan dalil-dalil Pihak Terkait di atas, maka Pihak Terkait memohon agar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Pasal 284 ayat (1) angka 1a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab UndangUndang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai laki-laki berbuat zina. 3. Pasal 284 ayat (1) angka 1B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1958 Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958 bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai seorang perempuan berbuat zina. 4. Pasal 284 ayat (1) angka 2A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958 Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu. 5. Pasal 284 ayat (1) angka 2B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 11
1958 Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai perempuan yang turut melakukan perbuatan itu. 6. Pasal 284 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660 Tahun 1958 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7. Pasal 285 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lembaran … Indonesia Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660 Tahun 1958 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan seseorang dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
8. Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660 tahun 1958 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun.
9. Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 284 ayat (1) angka 1A Undang-Undang Dasar Nomor 1 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto UndangUndang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 12
Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958) Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958 sepanjang tidak dimaknai laki-laki berbuat zina. b. Pasal 284 ayat (1) angka 1b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab UndangUndang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958 sepanjang tidak dimaknai seorang perempuan berbuat zina. c. Pasal 284 ayat (1) angka 2A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau KITAB UndangUndang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab UndangUndang Hukum Pidana Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958 Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958 sepanjang tidak dimaknai laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu. d. Pasal 284 ayat (1) angka 2B Undang-Undang Nomor 1 dan seterusnya … pasal … maaf, lembaran negara tahun … sepanjang tidak dimaknai perempuan yang turut melakukan perbuatan itu. e. Pasal 284 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto UndangUndang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 1660 Tahun 1958. f. Pasal 285 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan 13
hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660 Tahun 1958 sepanjang tidak dimaknai barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan seseorang dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selamalamanya 12 tahun. g. Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958 Tambahan Lembaran Negara Indonesia … Republik Indonesia Nomor 1660 Tahun 1958 sepanjang tidak dimaknai orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama dihukum penjara selama-lamanya lima tahun. 10. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian. Assalamualaikum wr. wb. 32.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Walaikum salam. Ya, terima kasih. Selanjutnya, kita dengar keterangan Ahli dari Pihak Terkait Komnas Perempuan. Apa sesuai dengan nomor urut atau siapa yang didahulukan?
33.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Ya. Terima kasih, Yang Mulia. Hadir bersama kami tiga dari delapan ahli yang kami ajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Yang pertama adalah Prof. Irwanto di nomor 7, Yang Mulia. Kemudian, ada Prof. Muhammad Mustofa di nomor 6, kriminolog. Kemudian yang ketiga, adalah Kamala Chandrakirana, nomor 1. Untuk lima Ahli akan diajukan di sidang berikutnya. Terima kasih, Yang Mulia. 34.
KETUA: ANWAR USMAN Siapa yang didengar duluan hari ini?
14
35.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Berurutan Prof. Irwanto, kemudian Prof. Mustofa, dan yang terakhir adalah Kamala Chandrakirana. 36.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
37.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Ya. 38.
KETUA: ANWAR USMAN Silakan, Prof. Irwanto. Ya, di situ saja tempat duduk. Ya, silakan.
39.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: IRWANTO (KOMNAS PEREMPUAN) Terima kasih, Yang Mulia Para Hakim, Para Peserta sidang. Saya Irwanto sebagai Saksi Ahli Pihak Terkait, dalam hal ini yang akan memberikan keterangan Ahli sebagai Psikolog dan sebagai Ahli di bidang HIV dan AIDS. Yang kami kemukakan di dalam pe ... apa namanya ... penjelasan kami, berhubungan dengan pokok persoalan dan pemikiran yang terjadi di dalam persidangan selama ini. Bapak, Ibu sekalian, tujuan dari Pemohon adalah untuk memperkuat ketahanan keluarga dan untuk melindungi anak-anak kita dengan lebih baik. Persoalannya adalah apakah dengan permohonan yang dimohonkan, ketahanan keluarga akan lebih baik, atau justru akan lebih runyam dalam perlindungan anak apakah akan lebih baik, atau justru dikompromikan? Salah satu argumen yang dikemukakan kepada saya adalah bahwa Pemohon mempunyai pendapat, “Zina merupakan salah satu biang kerok penyebab ... penyebaran infeksi HIV/AIDS yang mengancam keluarga dan anak-anak.” Oleh karena itu, zina perlu dikriminalisasi tadi sudah kita dengar, bahkan diperluas dan dikriminalisasi. Saya berpendapat sebagai Ahli bahwa memang benar bahwa zina merupakan faktor yang penting, yang cukup kuat bahwa penyebaran HIV/AIDS, meskipun demikian perbuatan zina tersebut mempunyai unsur-unsur yang dapat merugikan keluarga jika dikriminalisasi. Yaitu, pertama. Tadi juga sudah dikemukakan bahwa penyebab utama infeksi HIV masuk ke dalam keluarga itu karena adanya kecerobohan atau kurang bertanggung jawabnya laki-laki beresiko tinggi. 15
Laki-laki beresiko tinggi di dalam survei Kemenkes, didefinisikan sebagai buruh termasuk bongkar muat, pelaut, supir truk, kemudian tukang ojek, dan sebagainya. Tetapi di dalam literatur HIV/AIDS ini termasuk pria beristri maupun tidak beristri yang mempunyai uang dan remaja yang mempunyai uang dengan mobilitas tinggi. Nah, dapat dikatakan bahwa perilaku laki-laki beresiko tinggi ini merupakan salah satu penyebab mengapa HIV/AIDS masuk ke dalam keluarga karena di dalam penelitian dijelaskan bahwa jika mereka berhubungan seks, baik … terutama dengan pihak yang bukan istrinya, maka kepatuhan mereka untuk melindungi dirinya sendiri yaitu memakai kondom hanya 14%. Tetapi ini lebih runyam karena ketika mereka berhubungan dengan istrinya sendiri, mereka cenderung tidak melakukan hubungan yang aman. Jadi tidak memakai kondom dengan istrinya, memakai kondom hanya sedikit sekali dengan pihak yang beresiko. Otomatis terjadi ada penularan penyakit kalau mereka tertular penyakitnya pada waktu melakukan hubungan seks dengan populasi yang juga beresiko. Jadi hanya 14% yang konsisten berhubungan menggunakan kondom. Jadi implikasinya karena driver utama atau ya penyebab utama penyebaran penyakit menular seksual termasuk HIV kepada istri dan anak-anak adalah pria beresiko tinggi, jika mereka kemudian memperoleh implikasi kriminalisasi sesuai yang diajukan oleh Pemohon, maka penjara akan penuh dan penuh dengan orang-orang yang sebetulnya bekerja dengan baik dan rumah tangga akan banyak kehilangan ayah yang sebetulnya pekerja keras untuk menghidupi mereka. Pendapat Pemohon yang berikutnya adalah bahwa pekerja seks, baik laki-laki maupun perempuan dan populasi kunci lainnya yaitu LGBT maupun pemakai narkotik suntik atau penasun adalah agen utama penyebaran infeksi HIV dan AIDS. Mereka disebut sebagai populasi kunci bukan karena cenderung menyebarkan ini kepada populasi umum. Mereka disebut sebagai populasi kunci karena mereka rentan terinfeksi untuk dirinya sendiri. Jadi posisi sosial, ekonomi, dan budaya merekalah yang menyebabkan mereka mudah terinfeksi karena mereka cenderung menderita stigma dan diskriminasi, dan ketika sakit mereka ... dan ketika mereka dalam suatu hubungan apalagi komersial, dalam hubungan seks komersial, mereka tidak dapat dengan semau mereka sendiri untuk memakai kondom karena pelanggan sering tidak mau, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa, posisi mereka sangat lemah, dan pada waktu mereka sakit mereka tidak serta-merta mendapat akses pada perawatan kesehatan. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak mempunyai informasi yang baik yang mereka butuhkan untuk melindungi diri mereka sendiri. Populasi kunci dengan demikian bukan penyebab utama penyebaran karena pada waktu mereka masuk ke industri seks, jadi 16
pada saat-saat seorang pekerja seks masuk ke industri seks, mereka itu sehat, mereka semua sehat. Mereka sakit justru karena tertular oleh pelanggan mereka. Berikutnya kalau LGBT merupakan bagian dari populasi kunci tadi yang berisiko dalam hal penyebaran HIV kepada keluarga, kelompok lesbian adalah bagian komunitas LGBT yang paling rendah risiko tertular oleh HIV. Data Kemenkes juga menunjukan bahwa jumlah kumulatif kasus HIV-AIDS yang dilaporkan, ya, sampai dengan Maret 2016 didominasi oleh kasus-kasus dari kalangan heteroseksual. Penyebabnya sudah dijelaskan di atas adalah laki-laki pembeli seks yang tidak melindungi dirinya sendiri dengan kondom, dan penasun yang tidak terbuka terhadap pasangannya bahwa mereka sudah terinveksi, lalu menularkan kepada istrinya. Ini datanya Bapak/Ibu sekalian, jadi data yang dilaporkan sangat apa ... jomplang justru pada kelompok heteroseksual, bukan pada kelompok yang disebut risiko tinggi. Infeksi di Indonesia disebut sebagai infeksi terkonsentrasi karena kebanyakan infeksi terkonsentrasi itu ada di dalam kelompoknya masing-masing. Tetapi kalau pria berisiko tinggi karena mempunyai pasangan di rumah, mereka menyebarkan ke dalam rumah tangga. Jika logika Pemohon digunakan, hasilnya konsisten dengan tanggapan kami di depan, yaitu kenyataan menunjukkan bahwa paling tidak laki-laki yang membeli seks lah yang patut dikriminalisasi sebagai biang keladi dari persoalan yang hendak dicegah. Akibatnya, sangat serius karena selain keluarga tanpa ayah menjadi banyak, anak mengalami stigma karena ayahnya dianggap pezina, dan ada kemungkinan ini hanya asumsi dengan stigma seperti itu banyak anak-anak akan keluar sekolah dan program kemiskinan kita, program penanggulangan kemiskinan kita akan berantakan kalau itu dilaksanakan sungguh-sungguh. Nah, tentunya pertanyaannya apakah negara siap menanggung konsekuensi seperti itu? Ya, ini dijelaskan bahwa populasi kunci selalu ... dalam berbagai riset, bahkan yang saya lakukan mereka pada waktu mengalami kekerasan tidak berani lapor kepada polisi karena mereka tahu kalau mereka melapor pun kepada polisi, mereka juga yang akan disalahkan. Ya, mereka lapor kepada apa namanya ... pihak pemberi layanan kesehatan, mereka juga masih disalahkan dan seringkali tidak dilayani. Pendapat Pemohon yang berikutnya adalah homoseksual merupakan penyakit jiwa yang dapat disembuhkan, di saat yang bersamaan Pemohon ingin mengkategorikan homoseksual sebagai sebuah kejahatan. Dan berikutnya memang ada kesan bahwa Pemohon tidak dapat membedakan apa yang disebut orientasi seksual dengan kekerasan seksual.
17
American Psychological Association pada tahun 2008 menyatakan bahwa orientasi seksual, dalam hal ini hetero maupun homoseksual adalah ketertarikan emosional, romantis, seksual, atau afeksional yang berlangsung terus menerus kepada orang lain. Nah, kepada orang lain tadi bisa sejenis atau lawan jenis. Orientasi seksual juga merujuk pada identitas seseorang pelaku ... seorang pelaku seksual maksudnya dan keanggotaannya di dalam komunitas yang memiliki ketertarikan yang sama, dalam hal ini hetero atau homoseksual. Kekerasan seksual adalah tindakan kekerasan yang dilakukan pada orang lain pada seseorang karena alasan-alasan yang bersifat seksual, termasuk orientasi seksual tadi. Nah, untuk menjawab apakah satu, homo seksual itu penyakit atau homo seksual itu kejahatan? Saya mengutip suratnya Sigmund Freud. Sigmund Freud adalah Bapak psikologi klinis yang diakui seluruh dunia. Dia memberikan surat kepada seorang ibu yang menitipkan anaknya untuk diterapi dan dia mengatakan, “Ibu, tidak perlu malu mempunyai anak yang homoseksual karena banyak sekali orang terkenal, yaitu Plato, Michael Angelo, Leonardo Da Vinci, dan sebagainya adalah homo seksual. Mereka menjadi orang yang baik, mereka menjadi terkenal, sangat produktif, sangat dihormati, oleh karena itu tidak perlu merasa malu mempunyai anak yang berorientasi seksual, homoseksual. Selain itu, dia mengatakan, “Saya hanya ... hanya sedikit yang saya dapat saya lakukan, tetapi yang ... tetapi saya tidak mungkin mengubah apa yang sudah terjadi pada anak Anda.” Jadi, artinya dia mengatakan homoseksual itu bukan penyakit, itu di dalam suratnya Floyd. Kemudian pada tahun 1973, American Psychiatrist Association telah mencabut homoseksualitas dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atas dasar tidak ditemukannya bukti-bukti ilmiah yang mendukung bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit. Kemudian, laporan ilmiah yang terbit di mana-mana, termasuk laporan ilmiah yang diproduksi oleh Kemenkes Uganda pada 10 Februari 2014 menyatakan bahwa homoseksual bukan penyakit. Di samping itu juga dijelaskan banyak sekali cabang ilmu pengetahuan yang mencoba untuk mencari tahu mengapa terjadi orientasi seksual yang berbeda-beda. Ternyata tidak satu pun cabang pengetahuan yang dapat menjelaskan itu dengan sendirinya. Oleh karena itu, hipotesis yang berlaku sampai hari ini orientasi seksual disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu genetik, pengalaman atau belajar, dan lain-lain. Karena ini menyangkut persoalan biologis, genetika, oleh karena itu teori kepribadian juga mendukung itu, kepribadian selalu merupakan kombinasi antara unsur nature, unsur alam, dengan unsur nurture, yaitu unsur asuhan. Kalau unsur asuhannya itu dicoba di ... apa namanya ... dicoba diatasi katakanlah kalau dianggap unsur asuhan itu yang salah, 18
unsur biologisnya masih belum dapat diatasi. Jadi, kombinasi di antara dua itu memang sangat complicated. Untuk perluasan Pasal 284 dan Pasal 292 KUHP, maka saya mengambil sebuah kesimpulan umum bahwa perluasan pasal-pasal tersebut bukan solusi untuk melindungi anak dari perilaku seks yang menyimpang dan mencegah anak menjadi korban kejahatan seksual. Beberapa alasan tambahan saya berikan di sini. Pertama, perilaku seksual berisiko, termasuk perilaku seks bebas berkaitan dengan beberapa faktor yang sudah diriset. Pertama, kurangnya monitoring orang tua terhadap anak. Monitoring itu penting sekali, mengetahui anak berada di mana, bersama siapa, sedang melakukan apa sangat penting dan kelemahan atau kekurangan dalam hal itu menjadi bagian dari anakanak mempunyai kesempatan untuk bereksperimentasi dengan perilaku berisiko. Kedua, gencarnya pemaparan informasi yang tidak disertai oleh kemampuan orang tua, guru, dan tokoh agama dalam membantu anak memahami informasi yang tersedia. Bayangkan kalau anak Anda yang masih kecil atau cucu atau seseorang yang dekat dengan kita bertanya mengenai seks atau mengenai homoseksualitas, saya berasumsi tidak semua di antara kita yang ada di ruangan ini akan siap menjelaskan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, terutama juga karena materi pendidikan seksual atau pendidikan reproduksi sehat di sekolah itu belum memadai dan hanya diajarkan dengan cara (suara tidak terdengar jelas) learning ya, dengan menghafal, tetapi tidak diajarkan secara kritis karena apa? Karena tabu yang berlebihan. Tabu yang berlebihan menyebabkan bertanya salah, menjelaskan pun salah. Nah, ini ... apa namanya ... membuat orang yang sedang belajar, anak-anak yang sedang ingin tahu menjadi akhirnya mencari informasi itu sendiri melalui lembar kuning, pornografi dan sebagainya tentu sangat merugikan. Kemudian, saya juga melihat lemahnya penerapan hukum yang mengatur sektor industri hiburan, pariwisata, dan media informasi. Kalau kita lihat di Jakarta itu ada dua koran besar yang iklannya di belakang jelas sekali ya, iklan-iklan tentang paraphilia seks, iklan-iklan seks itu ada di sana, tetapi yang jelas-jelas ada di publik pun itu tidak diatasi dengan baik menurut hukum yang berlaku. Bapak/Ibu sekalian, ini indikator yang sangat meresahkan. Dari data BKKBN tahun 2014, 40% remaja berusia 15 sampai 19 tahun yang belum menikah sudah pernah melakukan hubungan seksual. Oleh karena itulah maka perbuatan zina pada anak dan remaja harus dilihat sebagai akibat, bukan sebagai sebab dan tentunya karena itu tidak mungkin dikriminalisasi. Zina dan kemiskinan ada hubungannya, tidak adanya keadilan sosial dan kemiskinan absolut menyebabkan orang-orang tertentu kehilangan hak-haknya untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang bermartabat. Saya mau beri contoh yang paling jelas itu adalah 19
riwayat seorang waria. Waria sejak kecil merasa dirinya itu lahir dengan casing yang salah, dengan tubuh yang salah, tidak pernah mendapatkan jawaban mengapa mereka merasa seperti itu, bahkan mendapatkan bullying di keluarga maupun di sekolah, sehingga kebanyakan waria itu putus sekolah di tingkat SD. Tiga studi saya mengatakan hal yang sama, dan pada waktu mereka putus sekolah di tingkat SD, mereka tidak mempunyai keterampilan yang memadai untuk bekerja mendapatkan ... apa namanya ... penghidupan yang bermartabat. Dan pada waktu mereka berangkat mulai mencari pekerjaan, referensi utama mereka adalah waria-waria senior. Dan apa yang terjadi? Dengan mudah mereka akan melakukan pekerjaan yang selama ini memang menjadi pekerjaan survival, pekerjaan untuk bertahan hidup bagi waria itu, yaitu menjajakan diri di ... sebagai pekerja seks. Itu salah satunya, tetapi banyak sekali di komunitas di mana entah ibu, entah seorang laki-laki yang juga bekerja dengan ... apa namanya ... seks dalam industri seks komersial, bukan karena mereka mau bekerja seperti itu, tetapi karena tuntutan-tuntutan di dalam rumah tangga yang harus mereka atasi, antara lain dengan bekerja seperti itu. Sebagai penutup, Bapak, Ibu sekalian. Saya ingin menyatakan bahwa kebijakan publik termasuk dalam ranah hukum adalah produk negara untuk menyejahterakan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan sama di depan hukum. Usulan Pemohon akan memposisikan negara sebagai kekuatan yang memecah belah keharmonisan sosial yang selama ini telah terjalin dan bahkan berpotensi menghancurkan keluarga dalam ... dalam usulan yang seharusnya dilindungi. Ketiga, saya juga berpendapat bahwa untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak, cara terbaik adalah melakukan investasi yang sebesar-besarnya. Investasi yang signifikan pada pendidikan yang kritis, pada sektor kesehatan yang responsif, dan pada perlindungan hukum, dan menegakkan keadilan sosial bagi siapapun. Penghukuman atau kriminalisasi terhadap perbuatan yang dianggap zina atau menyimpang tidak akan memberikan efek jera dan tidak mengubah perilaku manusia secara signifikan, sebagaimana dibuktikan beribu-ribu tahun di banyak negara di dunia ini, tidak satupun yang berhasil mengatasi perbuatan itu secara sangat bermakna. Penghukuman dan kriminalisasi hanya menghilangkan gejala sementara dan belum menyentuh keakar permasalahannya. Demikian Bapak, Ibu sekalian yang ingin saya sampaikan di dalam sidang terhormat ini. Terima kasih atas waktu yang diberikan. 40.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Prof. Siapa lagi Kuasa Hukum?
20
41.
AHLI DARI PEREMPUAN)
PIHAK
TERKAIT:
M.
MUSTOFA
(KOMNAS
TERKAIT:
M.
MUSTOFA
(KOMNAS
Ya. Terima kasih (...) 42.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
43.
AHLI DARI PEREMPUAN)
PIHAK
Ya, Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi, perkenankan saya menerangkan zina dalam sudut pandang kriminologi sesuai dengan keahlian saya. Sebelum saya menjelaskan lebih jauh, saya perlu menjelaskan apa itu kriminologi. Tujuannya agar supaya bisa dipahami secara proporsional. Secara umum kriminologi didefisinikan sebagai kajian ilmiah tentang kejahatan. Sebagai kajian ilmiah di sini adalah kajian ilmiah empiris yang setiap pernyataannya didukung oleh realitas empiris. Kemudian setiap bidang ilmu pengetahuan, ada yang mempelajari masalah kejahatan menurut sudut pandang ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Nah, di dalam kriminologi yang modern, hanya dijalankan oleh ilmu pengetahuan ilmiah tertentu seperti sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi. Keahlian saya adalah di bidang kriminologi yang berbasis sosiologi dan ini merupakan bidang ilmiah modern yang paling berpengaruh di dalam kriminologi karena menghasilkan banyak sekali teori yang menjelaskan realitas sosial tentang kesehatan. Dan kriminologi sosial mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial yang ciricirinya dapat diamati dengan mempergunakan konsep-konsep sosial atau sosiologis. Nah, gejala sosial yang dipelajari di dalam krimonologi meliputi pola kejahatan, pola pelaku kejahatan, pola korban kejahatan, pola reaksi sosial terhadap kejahatan. Jadi, yang dipelajari bukan peristiwa tunggal, tetapi peristiwa yang merupakan indikator dari gejala sosial. Pola kejahatan yang dipelajari dibedakan dalam 2 kategori besar, yaitu kejahatan, yaitu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat secara ekonomi, secara fisik, secara psikologis, termasuk di dalamnya kerusakan alam. Yang kedua adalah perilaku menyimpang, yaitu pola tingkah laku yang bertentangan dengan moralitas masyarakat. Dalam kategori ini tidak ada kerugian yang diakibatkannya. Nah, objek-objek yang dipelajari tersebut tidak tergantung pada ada tidaknya rumusan hukum formal terhadapnya, tetapi tergantung pada bagaimana masyarakat 21
bereaksi terhadapnya. Nah, bagaimana pola reaksinya? Pola reaksi terhadap kejahatan dan pelaku menyimpang meliputi pola reaksi formal dalam bentuk adanya peraturan hukum, sanksi hukum, dan eksekusi sanksi hukum. Yang kedua, pola reaksi informal, yaitu reaksi yang sesungguhnya dilakukan oleh aparat formal, tetapi tidak mengacu pada aturan formal. Yang ketiga adalah reaksi nonformal, yaitu reaksi yang diberikan masyarakat secara langsung terhadap kejahatan atau terhadap perilaku menyimpang. Nah, bagaimana sudut pandang kriminologi terhadap zina? Zina atau perzinahan dikategorikan sebagai perilaku menyimpang, bukan kejahatan, atau perilaku yang tidak selaras dengan sentimen moral masyarakat. Nah, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa tidak ditemukan adanya persepsi yang sama tentang benar dan salah, termasuk terhadap perzinaan. Pengakuan perbedaan ini secara jelas tercantum di dalam pita yang dipegang oleh Garuda Pancasila dengan tulisan Bhineka Tunggal Ika. Nah, sekarang bagaimana reaksi sosial terhadap zina? Karena tidak terdapat adanya persepsi yang sama antarsuku bangsa yang ada di Indonesia tentang zina menjadi tidak relevan untuk membuat aturan atau reaksi formal yang tunggal terhadap zina. Durkheim sebagai salah satu tokoh sosiologi yang mempelajari masalah kejahatan mengatakan bahwa hukum atau reaksi formal mencerminkan moralitas masyarakat yang dapat berbeda-beda dari kelompok yang satu, dari kelompok yang lain. Kemudian, Gay, salah seorang ahli tentang sosiologi perilaku menyimpang mengatakan bahwa perilaku menyimpang sebagai not the lost business, ini urusan pribadi sepanjang tidak dilakukan di ranah publik. Menyikapi kekhawatiran maraknya perzinaan, kriminologi menawarkan pengendalian sosial yang komprehensif. Maraknya perzinaan dan kemaksiatan lebih dipengaruhi oleh melemahnya pengendalian sosial terhadapnya sebagai faktor penyebab. Dan pengendalian sosial diartikan sebagai berbagai mekanisme yang dibuat oleh masyarakat atau etnisitas dalam rangka memastikan bahwa warganya tidak melakukan pelanggaran nilai dan norma. Nah, unsurunsur dari pengendalian sosial itu sendiri meliputi nilai, norma, tadi saya sudah sebutkan. Di Indonesia ini setiap suku bangsa mempunyai nilai dan norma yang berbeda. Bahkan sebuah pepatah mengatakan lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Namun demikian, di setiap masyarakat, di setiap etnisitas mempunyai mekanisme menanamkan nilai dan norma sosial tersebut kepada generasi mudanya. Selain itu, juga dilengkapi dengan fasilitas agar supaya setiap warga negara dapat melakukan perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat tersebut, baru kemudian 22
memikirkan kebijakan pengendalian bahkan di dalam ilmu hukum dikatakan penghukuman adalah ultimum remedium (upaya yang paling akhir). Dengan demikian, kita harus mengkaji yang mengawalinya. Nilai norma itu apakah disosialisasikan dengan baik kepada generasi muda? Kemudian, apakah ada fasilitas agar supaya setiap individu tidak melanggar nilai dan norma bersama? Nah, agen-agen sosialisasi yang harus melakukan sosialisasi nilai dan norma seksualitas kepada anak-anak hingga menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab secara hukum, sosial, dan ekonomi adalah orang tuanya, guru dan sekolah, masyarakat lokal dan umum. Namun karena kemampuan agen-agen pengendalian sosial tersebut menurun atau tidak kompeten menjadi agen-agen sosialisasi dan pengendalian sosial, hasilnya adalah peningkatan masalah kemaksiatan. Saya skeptis bahwa setiap orang tua sekarang ini menjadi agen penanaman nilai norma sosial yang kompeten. Banyak yang tidak tahu bagaimana melaksanakan fungsinya sebagai agen sosialisasi nilai dan norma. Guru dan sekolah pun demikian. Bahkan yang ironis adalah untuk dapat diakui sebagai guru yang kompeten, baru akan dinilai setelah 5 tahun menjalankan fungsinya sebagai guru sehingga memperoleh sertifikat guru. Sebelum memperoleh sertifikat, siapa yang bertanggung jawab? Dan guru pada masa ini tidak dididik untuk menjadi pendidik yang kompeten menanamkan nilai norma sosial masyarakat. Masyarakat umum juga demikian. Kekuatan bisnis lebih kuat dibandingkan penanaman nilai norma sosial. Sebagai contoh, warnet menyebar dimana-mana. Tidak pernah peduli bahwa ada anak-anak yang masih belum dewasa tentunya berada di warnet sampai menginap, tidak pulang, dan seterusnya, tidak peduli bahwa konten yang ditawarkan di dalam internet tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai norma sosial masyarakat. Demikian juga media sosial amat sangat tidak terkendali di dalam menyebarkan pornografi yang berdampak negatif terhadap anakanak. Oleh karena itu, harus ada program pemberdayaan orang tua, pemberdayaan guru dan sekolah, serta masyarakat agar supaya mereka menjadi agen sosialisasi nilai dan norma seksualitas yang kompeten. Ketika sudah ditetapkan kapan dan bagaimana dorongan seksualitas dapat dilakukan sesuai dengan nilai dan norma etnisitas, harus diikuti dengan fasilitasi agar supaya individu yang sudah dewasa dapat memenuhi dorongan tersebut sesuai dengan nilai dan norma etnisitas. Dorongan seksual dan melakukan hubungan seksual tanpa diajari akan tahu sendiri, tapi bagaimana melakukan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada etnisnya, pada masyarakatnya? Itu harus ditanamkan, disosialisasikan karena dorongan seksualitas yang sesuai dengan nilai dan norma yang benar adalah dilakukan dalam lembaga perkawinan, maka harus ada penataran pranikah untuk menanamkan 23
nilai kesetiaan, menjelaskan hak dan kewajiban suami-istri, dan sebagainya. Sekarang ini, tidak jelas siapa yang berperan menjelaskan hak dan kewajiban suami-istri sebelum menikah. Orang yang menikah di dalam agama Islam perlu rekomendasi dari PP4, tapi sekarang sekadar formalitas, tiada mekanisme yang menjamin bahwa setiap orang yang menikah tahu hak dan kewajibannya. Kemudian karena peran utama suami dalam rumah tangga adalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, maka harus ada kepastian bahwa setiap orang dewasa akan memperoleh pekerjaan yang layak penghasilanya dan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sekarang tidak ada jaminan bagi mereka yang dewasa yang ingin memenuhi dorongan seksualnya untuk mampu secara ekonomi, secara sosial, menghidupi keluarganya karena mempunyai pekerjaan dan setiap rumah tangga baru harus dijamin kepastianya memperoleh tempat hunian yang layak bagi kemanusiaan. Pengaturan desain rumah harus mempertimbangkan bahwa ranah privat tidak sekadar rumah, tetapi kamar-kamar yang dimiliki oleh anakanak juga merupakan ranah privat. Bahkan di negara-negara barat yang sering kita katakan sebagai negara yang tidak peduli dengan hubungan seks sesuai dengan nilai norma. Setiap orang tua ketika mau memasuki kamar anaknya akan minta izin karena dia ranah privat. Dengan demikian, desain rumah harus sesuai dengan sistem sosial budaya Indonesia yang antara lain rumah juga merupakan tempat singgah kerabat dan sahabat yang perlu kamar khusus, tidak digabung dengan anak-anak atau anggota keluarga yang lain. Banyak kekerasan seksual, banyak perzinaan terjadi di wilayah domestik rumah. Tapi kita tidak pernah memikirkan desain rumah yang mampu mencegah terjadinya perzinaan, kekerasan seksual, pelecehan seksual terhadap anak-anak dan sebagainya. Sebagai penutup. Penghukuman yang keras bukan cara efektif dalam mengatasi masalah kejahatan dan kemaksiatan. Sosialisasi nilai dan norma serta fasilitasi agar setiap warga dapat bertingkah laku selaras dengan nilai dan norma merupakan upaya pencegahan yang lebih efektif dibandingkan menindak setelah peristiwanya terjadi. Ibarat mahasiswa tahun pertama, pada pertemuan awal, dan belum memperoleh materi kuliah sama sekali, diuji untuk menentukan kelulusan dan ini adalah kezaliman. Kebijakan pengendalian terhadap pelaku pelanggaran adalah memberikan resosialisasi yang berangkat dari pengakuan bersalah yang bersangkutan agar dapat terintegrasi kembali ke masyarakat, sehingga keadilan restoratif dapat terbentuk. Demikian secara garis besar apa yang dapat saya sampaikan. Terima kasih.
24
44.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Prof. Terakhir Ibu Kamala Chandrakirana. Ya waktunya hampir sama kira-kira 15 menit. Silakan.
45.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: (KOMNAS PEREMPUAN)
KAMALA
CHANDRAKIRANA
Terima kasih. Yang Terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan keterangan selaku Ahli dalam persidangan yang penting dan terhormat ini. Keterangan saya di sini mendukung permohonan oleh Pihak Terkait tidak langsung, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Keterangan ini didasarkan pada perspeketif yang terbangun sebagai sosiolog yang bekerja selama 30 tahun di lingkungan masyarakat dan lembaga-lembaga resmi negara, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Khusus terkait materi pembahasan kita hari ini, saya mengacu pada pengalaman 11 tahun masa bakti di Komnas Perempuan sebagai sekretaris jenderal selama 5 tahun dan ketua selama 6 tahun semenjak awal pendirianya pada tahun 1998 oleh Presiden B.J. Habiebie. Saya juga mengacu pada pengalaman sebagai anggota kelompok kerja yang dibentuk oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Diksriminasi Terhadap Perempuan Dalam Hukum Dan Praktik, posisi ini saya jalankan sejak tahun 2011 mewakili seluruh kawasan Asia dan Pasifik. Pandangan yang saya sampaikan hari ini berpijak pada UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya jaminan yang diberikan kepada setiap orang untuk bebas dari diskriminasi. Dengan penekanan khusus pada aspek penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang dimaksudkan dengan diskriminasi terhadap perempuan adalah pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin yang memiliki dampak dan/atau dengan tujuan untuk mengurangi atau mengabaikan pengakuan, penikmatan, dan penggunaan oleh perempuan terlepas dari status perkawinannya atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi, dan kemerdekaan fundamental mereka di bidang politik, ekonomi sosial, budaya, sipil, dan lainnya. Artinya, aturan hukum yang bersifat netral dalam tujuan bisa mempunyai dampak yang diskriminatif terhadap perempuan sebagai akibat pelaksanaannya di tengah kondisi dan praktik-praktik yang 25
berlaku di masyarakat. Dalam konteks ini, kesetaraan yang substantif menuntut adanya upaya-upaya khusus untuk menghilangkan seluruh hambatan yang ada dalam masyarakat, termasuk kondisi sosial ekonomi dan praktik-praktik budaya yang melanggengkan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Semesta upaya untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dijabarkan sesuai standar HAM internasional dalam kerangka tiga ranah kewajiban negara, yaitu sebagai berikut. Kewajiban untuk menghargai. Maksudnya, menghindari pembuatan peraturan perundangan, kebijakan, program-program, prosedur administratif, dan struktur kelembagaan yang mengakibatkan secara langsung atau tidak langsung terjadinya diskriminasi. Kewajiban untuk melindungi. Yang maksudnya adalah melindungi setiap orang dari tindakan diskriminasi oleh aktor-aktor privat mengambil langkah-langkah yang secara langsung bertujuan untuk menghapuskan praktik-praktik adat dan lainnya yang mengarah kepada … dan melanggengkan gagasan tentang inferioritas dan superioritas dan tentang peran-peran yang mengikuti pandangan stereotype. Dan terakhir, kewajiban untuk memenuhi. Yang maksudnya adalah kewajiban untuk mengambil beragam langkah untuk memastikan persamaan hak secara de jure dan de facto, termasuk melalui upayaupaya khusus sementara. Penghargaan terhadap universalisme hak asasi manusia merupakan bagian integral dari prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan yang tertera dalam kalimat pertama pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak terlepas dari niat dan upaya Indonesia untuk ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia. Yang kami muliakan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Salah satu pokok permohonan Pemohon adalah untuk melakukan perluasan makna perzinaan yang ada pada Pasal 284. Dari yang hanya terbatas pada ikatan perkawinan menjadi kepada siapa pun, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Perkenankanlah saya untuk mengajukan pertimbangan tentang siapa yang berpotensi menjadi korban jika permohonan Pemohon ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi? Untuk ini, saya akan mengacu kepada data-data sosial ekonomi yang menggambarkan kondisi nyata masyarakat Indonesia saat ini, khususnya terkait situasi pencatatan perkawinan. Saya mengacu kepada hasil penelitian yang diterbitkan tahun 2014 oleh sebuah konsorsium yang terdiri dari peneliti-peneliti sosial di kemitraan Indonesia ... Australia-Indonesia untuk keadilan, Pusat Kajian Perlindungan Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, Sekretariat Nasional Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), bersama Lembaga Penelitian Semeru. Untuk mendukung Pemerintah Republik Indonesia dalam pelaksanaan strategi nasional tentang akses pada keadilan, penelitian ini 26
membuat baseline study pada tahun 2012 sampai 2013 tentang akses pada identitas hukum dalam rangka penyelenggaraan kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya warga miskin dan marginal. Penelitian ini dilaku … dikerjakan melalui kerja sama dengan Bappenas, Mahkamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama. Dalam laporan penelitian ini, dinyatakan bahwa lebih dari separuh perkawinan di Indonesia tidak tercatat. Setiap tahun diperkirakan terdapat 2.000.000 pasangan yang berada dalam perkawinan tanpa memiliki akta nikah. Proporsi pasangan yang tidak mempunyai akta nikah semakin tinggi di kalangan penduduk miskin. Jika permohonan Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait perluasan pidana zina ke luar ikatan perkawinan yang sah, maka 2.000.000 pasangan per tahun akan mengalami kerentanan menjadi korban pidana zina. Mari kita simak lebih mendalam temuan-temuan penelitian ini. Dari survei yang dijalankan oleh PEKKA bersama Lembaga Penelitian Semeru di 17 kabupaten/kota di 19 provinsi yang mencakup 89.000 keluarga dan lebih dari 320.000 penduduk, ditemukan bahwa 36% pasangan yang tidak mempunyai … bahwa 36% pasangan tidak mempunyai akta nikah. Khusus di kalangan 30% keluarga termiskin di negeri kita, proporsi pasangan yang tidak memiliki akta nikah semakin tinggi, yaitu mencapai 55%. Kondisi ini semakin buruk di provinsiprovinsi termiskin kita, misalnya pasangan termiskin yang punya akta nikah hanya mencapai 6% di NTT dan 10% di NTB. Di antara perempuan kepala keluarga yang berstatus sebagai janda cerai hanya 24% yang punya akta cerai. Di NTB angka ini lebih kecil lagi, yaitu 7% ... hanya 7% janda cerai yang memiliki akta cerai. Sebagaimana kita ketahui tanpa akta cerai, maka mereka tidak bisa mendapatkan akta nikah jika pada suatu saat nanti mereka bermaksud menikah lagi. Menurut baseline study yang dibuat atas dasar data Susenas alasan tidak punya akta nikah mencakup beberap hal. Pertama, biaya yang terlalu mahal, 41% dari responden. Ini terkait biaya perkara di pengadilan, biaya bagi perempuan untuk mengurus mencatatan perkawinan atau perceraian bisa mencapai 10 kali pendapatan bulanan dari seseorang yang hidup di bawah garis kemiskinan, juga biaya yang terlalu mahal ini mencakup transportasi. Alasan kedua adalah jarak yang harus ditempuh terlalu jauh, 15% dari responden menyatakan ini. Untuk ke kantor kecamatan atau ke kabupaten misalnya, bisa mencapai 8 jam dan bisa menuntut kunjungan beberapa akali. Tentu hal ini memberi kesulitan khusus bagi para penyandang disabilitas. Alasan ketiga adalah tidak tahu, 12% dari responden tidak tahu bagaimana mendapatkan dokumen-dokumen identitas atau akta nikah tersebut.
27
Dan alasan terakhir, yaitu menyangkut 9% responden, mereka menganggap proses terlalu kompleks untuk mendapatkan dokumendokumen identitas dengan penanganan di tiga kantor pemerintahan yang berbeda. Baseline study ini juga menemukan 10% dari respondennya berada dalam perkawinan poligami. Di antara perempuan yang berada dalam perkawinan poligami, istri pertama 4 kali lebih mungkin memiliki akta nikah dibandingkan istri-istri berikutnya dalam perkawinan poligami yang sama. Semua ini berlaku dalam kondisi dimana jajaran pengadilan agama kita sudah sangat optimal menangani permintaan masyarakat untuk mencatatkan perkawinan dan perceraian mereka. Pada tahun 2013, tercatat 93% dari 430.000 perkara yang diterima oleh pengadilan agama adalah terkait perceraian dan pencatatan perkawinan. Perkara isbat nikah yang diputus oleh pengadilan agama sejak tahun 2008 hingga 2015 meningkat terus secara teratur dari 659 perkara pada tahun 2008 menjadi 44.962 perkara pada tahun 2015. Perkara putus isbat nikah di Aceh termasuk dalam 5 provinsi dengan angka tertinggi menurut data 2016. Hal ini menunjukkan bagaimana pencatatan perkawinan juga dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik yang lebih luas, dalam hal ini konflik bersenjata yang berkepanjangan. Tidak semua perkawinan yang tidak tercatat bisa diselesaikan melalui pengadilan agama. Laporan pemantauan Komnas Perempuan tentang diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh perempuan penghayat kepercayaan penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat yang diluncurkan pada bulan Agustus 2016 yang lalu, menyatakan bahwa dari 65 kasus diskiminasi yang didata lebih dari setengahnya atau 34 kasus adalah kasus pengabaian dalam administrasi kependudukan dimana 13 diantaranya terkait hambatan mencatatkan perkawinan karena agama dan kepercayaan yang tidak diakui oleh negara. Perkenankan saya mengutip laporan Komnas Perempuan tersebut.l Saya kutip, “Sebanyak 12 perempuan di dalam pemantauan ini melaporkan betapa penolakan negara untuk mencatatkan perkawinannya menyebabkan mereka menderita akibat ketidakadilan berkepanjangan. Tiga di antaranya adalah penganut Sunda Wiwitan yang tidak dapat memiliki surat nikah karena mereka melangsungkan pernikahan dengan cara adat Sunda Wiwitan. Mereka tidak rela berbohong dengan memilih salah satu agama yang diharuskan oleh negara yang bukan agama dan keyakinan mereka sendiri.” Jika permohonan Pemohon terkait perluasan cakupan Pasal 284 dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka kita juga harus menghadapi risiko reviktimisasi bagi perempuan korban kekerasan seksual yang tidak bisa memenuhi tuntutan pembuktian sesuai KUHP dan KUHAP yang berlaku.
28
Para korban kekerasan seksual ini dapat dipidana … dapat dipidanakan sebagai zina di luar perkawinan dalam konteks dimana sasaran penghukuman adalah kedua belah pihak yang diputuskan sebagai pelaku zina. Menurut data tahunan Komnas Perempuan, cukup banyak di antara mereka adalah perempuan yang belum menikah dan mengalami kekerasan seksual dalam pacaran. Data catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa gejala kekerasan dalam pacaran terus terjadi setiap tahun. 1.405 kasus pada tahun 2011, 2.507 tahun 2013, dan 2.734 kasus pada tahun 2015. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia. Menyimak realita sosial ini, saya meminta agar pertimbangan … dipertimbangkan potensi korban dari pengabulan permohonan Pihak Pemohon terkait Pasal 284 akan mencapai jutaan penduduk miskin dan marginal di seluruh pelosok negeri ini, khususnya perluasan pidana zina ke pasangan yang berada di luar perkawinan yang sah membawa resiko kriminalisasi warga negara Indonesia yang termiskin dan termarginal. Padahal justru merekalah yang sewajarnya mendapatkan perlindungan dan dukungan negara. Melalui data-data ini saya bermaksud menekankan bahwa pertimbangan yang penting dilakukan dalam perkara ini tidak semata di bidang norma-norma kesusilaan dan agama, tapi juga berkaitan dengan efektifitas hukum di tengah fakta-fakta sosial dalam hal ini fakta-fakta kemiskinan dan fakta keberagaman yang hidup di masyarakat kita. Yang Terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, perkenankan saya juga menanggapi permohonan Pemohon untuk mengubah pidana zina dari delik aduan menjadi delik biasa. Jika dikabulkan, perubahan ini akan berdampak pada pembatasan hak diri pribadi untuk menentukan pilihan sendiri terkait tindakan yang akan diambil di hadapan terjadinya pengingkaran terhadap ikatan perkawinan oleh pasangan. Sementara itu, konstitusi Indonesia menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi pada Pasal 28G ayat (1). Sebagaimana kita ketahui, pengemban hak asasi manusia adalah diri perseorangan sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dalam hukum HAM internasional. Jika menjaga ketahanan intitusi keluarga merupakan salah satu niat dari Pemohon, maka perlunya … perlu kiranya dicatat bahwa hal ini dapat dicapai justru dengan melindungi hak perseorangan untuk memutuskan nasibnya sendiri. Cukup banyak perempuan yang suaminya berselingkuh kemudian memilih untuk tidak membawa pasangannya ke pengadilan demi ketahanan keluarga. Perkenankan saya mengutip testimoni dari seorang perempuan yang membuat pilihan yang banyak diambil oleh perempuan-perempuan lain yang senasib. Sebagai gambaran atas kedalaman pertimbangan yang dilakukan oleh seorang istri yang dimadu, simaklah kata-katanya, 29
“Saya marah, sedih, kecewa, dan merasa sangat terpukul, orang yang saya anggap selama ini tegas, jalannya lurus, dan selalu menjadi panutan untuk adik-adiknya, sekarang terbukti tidak setia. Saya ingin sekali pergi meninggalkan rumah dan dengan anak-anak saya, toh rumah orang saya … orang tua saya tidak jauh dari rumah kami. Tapi saya bingung, anak-anak masih perlu perhatian bapaknya, mereka terutama yang kecil juga sangat dekat dan segan dengan bapaknya. Meskipun anak yang pertama akhirnya tahu keburukan bapaknya, tetapi anak perempuan saya tetap tidak ingin kami berpisah. Anak saya bilang malu kalau ketahuan bahwa ibu dan bapaknya berpisah karena bapaknya mau kawin lagi dengan orang lain. Kami sempat 3 bulan tidak saling bicara karena masalah ini. Tapi mungkin karena rahmat Allah-lah dari doa-doa saya, saya seperti mendapat petunjuk untuk mendengarkan suara anak-anak saya bahwa mereka ingin bapaknya dan ibunya tetap di rumah. Akhirnya suami saya yang berawal juga tidak berani mengajak saya bicara duluan, memulai bicara dan kembali menyampaikan maaf dan penyesalannya. Dia berjanji akan memperbaiki semua, menyampaikan bahwa mulai saat itu saya boleh datang ke tempat kerjanya, boleh tanya berapa gaji dan penghasilannya dan akan diserahkan semua penghasilannya, sehingga tidak akan ada curiga kalau ada orang lain yang juga ikut menikmati. Saya memutuskan untuk memaafkan kesalahan ini karena anak-anak menjadi pertimbangannya.” Sebagai informasi, kini perkawinan sang ibu sudah memasuki usia 45 tahun. Jika Pasal 284 bersifat delik biasa, maka ketahanan keluarga ibu ini tidak mungkin terselamatkan. Kapasitas seseorang untuk mengambil keputusan yang membela ketahanan keluarganya dikuatkan oleh institusi-institusi sosial yang ada dalam masyarakat, baik di lingkungan keagamaan dan kekerabatan maupun melalui jasa konseling perkawinan atau keluarga yang disediakan oleh kalangan profesi, psikologi, dan pekerja sosial. Dalam konteks ini … dalam konteks tertentu, lembaga keagamaan juga membangun mekanisme-mekanisme khusus untuk ikut merawat ketahanan keluarga termasuk melalui pemberian sanksi sosial kepada pelaku perselingkuhan dalam perkawinan. Artinya, niat untuk menjaga ketahanan keluarga dapat dijawab dengan baik melalui modal sosial yang tersedia dalam masyarakat tanpa harus bergantung pada berlakunya delik biasa pada pidana zina. Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, akhir kata sebagaimana diketahui DPR RI telah menetapkan Rancangan Undang-Undang Kekerasan Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu prioritas agenda legislasi nasional. Rancangan undang-undang ini menjanjikan sebuah sistem penanganan yang konprehensif dan sesuai standar HAM serta tanggap terhadap konteks nasional kita. Tentu kita berharap dengan adanya Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan
30
Seksual kita dapat menjawab kebutuhan perlindungan hukum terkait persoalan yang sangat kompleks ini. Sejalan dengan itu tugas kita bersama di lingkungan lembagalembaga negara dan masyarakat adalah untuk terus memperkuat penerapan hukum yang sudah tersedia termasuk aturan hukum tentang larangan cabul yang memang sudah tersedia pada KUHAP. Bagi para Pemohon, Pihak Terkait dalam perkara ini proses deliberasi di parlemen nasional akan segara dimulai dan memberi mereka peluang untuk mengajukan segala pemikiran dan kekhawatirannya terkait persoalanpersoalan sosial yang diangkat dalam perkara ini kepada DPR Republik Indonesia. Terima kasih. 46.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Terima kasih karena jam 13.30 nanti ada sidang. Jadi, kita masih ada waktu kira-kira 15 menit, paling telat, paling lama untuk mendalami atau mengajukan pertanyaan sekirannya ada ya, terutama kepada Pihak Terkait. Silakan.
47.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Oke. Terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih kepada ketiga ahli sudah menyampaikan keterangannya yang sangat penting dan saya rasa sudah hilang dari perdebatan kita di sidang-sidang sebelumnya terutama mengenai perdebatan data dan scientific evidence yang kita perlukan dalam persidangan ini. Pertanyaan saya, saya ingin ajukan kepada ketiga ahli. Yang pertama kepada Prof. Ir, saya mohon pendalaman mengenai tadi Prof. Ir menyampaikan bahwasanya tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang dianggap sebagai populasi kunci itu menyebabkan mereka tidak mau mengungkapkan atau tidak terbuka mengenai status kesehatannya kepada pasangan sehingga kemudian penyebaran menjadi tinggi. Apakah dengan dikriminalisasi dengan adanya kriminalisasi terhadap hubungan sex konsensual maupun pencabulan terhadap sesama jenis ini dapat menekan angka penyebaran HIV? Atau justru sebaliknya, sebagaimana selaras dengan hasil penelitian dari UN AIDS bahwa 73 negara di dunia ini yang mengkriminalisasi hubungan seksual ternyata prevalensi HIV-nya semakin meningkat karena menurut data tersebut orang-orang menjadi ter-discourage atau enggan untuk melaporkan ataupun memeriksa kesehatannya sehingga penyebaran menjadi tidak terdeteksi. Apakah itu benar? Itu untuk Prof. Ir. Kemudian yang kedua kepada prof. Mus. Prof. Mus menyampaikan mengenai pentingnya pengendalian sosial dan agen sosial. Saya secara pribadi merasa sangat terpukul dan malu begitu ya, ketika prof. Mustofa 31
menyadarkan bahwa sebenarnya saya sebagai individu mempunyai tanggung jawab untuk menjadi agen pengendali sosial. Kemudian saya tidak tahu, apakah semua hadirin yang ada di ruangan ini merasa punya kesalahan yang sama seperti saya karena kita telah gagal begitu karena kita tidak mampu menjadi mengemban agen tanggung jawab sebagai agen pengendali sosial. Lalu kemudian melepas tanggung jawab itu dengan menggunakan reaksi formal, melepas tanggung jawab untuk menjadi pengendali sosial dengan bilang, “Berikan saja kepada hukum, biar saja hukum yang mengkriminalkan pelakupelaku zina, begitu.” Ini saya mohon pendalaman juga dari prof. Mus apakah benar ada legitimasinya menggunakan reaksi formal atas kesalahan yang justru ada pada si agen pengendali sosial ini? Kemudian yang terakhir, kepada Mba Kamala Chandrakirana. Saya sepakat bahwa sepertinya ada yang luput dari persidangan ini bahwasanya dampak dari kriminalisasi ini adalah bahwa ada banyak perempuan yang perkawinanya tidak dicatatkan, termasuk ... bisa jadi adalah pernikahan-pernikahan yang dilakukan oleh tokoh agama atau pun oleh tokoh-tokoh publik, pernikahan sirri, begitu yang tidak didaftarkan maupun yang tidak mendapatkan izin dari istri yang pertama, apakah itu kemudian bisa berpotensi juga untuk dikriminalkan? Karena saya rasa banyak juga tokoh publik dan tokoh agama yang mempunyai istri, mohon maaf, simpanan mungkin atau istri sirri begitu. Apakah bisa hukum formal kita membuktikan ketika mereka berhubungan seksual padahal mereka melakukan perkawinan berdasarkan agama, tetapi tidak dicatatkan kemudian itu menjadi legitimasi mereka tidak dapat dikriminalkan, begitu? Terima kasih, Yang Mulia. 48.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari Pemohon mungkin ada satu/dua silakan.
49.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEIZAL SYAH MENAN Terima kasih, Yang Mulia. Saya ada tiga pertanyaan untuk masingmasing ahli. Yang pertama untuk yang saya hormati Bapak Prof. Irwanto dari Universitas Katolik Atmajaya. Prof, saya mau bertanya, terkait disiplin ilmu Profesor sebagai seorang ahli psikologi. Tadi Prof. mengatakan dalam presentasinya bahwa perbuatan zina pada anak dan remaja merupakan akibat dan bukan sebab. Saya pikir, saya bisa sependapat dengan pendapat Prof. Namun yang menggoda saya untuk bertanya adalah bagaimana secara psikologi anak? Kita bisa menjelaskan kepada anak-anak kita yang masih anak-anak maupun remaja bahwa zina itu tidak boleh kalau ternyata hukum positifnya membolehkan. Nah, ini mungkin problem yang dihadapi oleh bangsa kita selama 70 tahun ini,
32
Prof, ya tentu sangat sulit menjelaskannya kalau kita bilang, “Enggak boleh zina.” Kemudian anak-anak sekarang kan, pintar-pintar, mereka baca KUHP, “Lho, Bu, Pak, boleh Bu, sama KUHP zina itu.” Nah, tolong jelaskan, Prof. Kemudian yang kedua, kepada yang saya hormati Prof. Muhammad Mustofa yang sama-sama satu almamater dengan saya dari Universitas Indonesia. Profesor Mustofa, saya hanya ingin bertanya, tadi Prof menjelaskan bahwa hukum itu adalah ultimum remedium, khususnya hukum pidana, saya juga sangat sependapat dengan Prof, ya karena itulah yang diajarkan oleh Prof. Luby Lukman (alm) kepada saya, ketika saya kuliah hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dulu. Nah, pertanyaan saya, bagaimana kita bisa menempatkan hukum sebagai ultimum remedium terhadap satu penyimpangan sosial ya, kalau hukumnya tidak ada? Nah, kemudian mohon izin saya bertanya satu lagi Prof, terkait dengan hal yang tadi, masalah hukumnya itu tadi. Prof. Mustofa juga menyampaikan dalam persentasinya bahwa Prof menyampaikan, “Zina itu tidak ada keseragaman penilaian di nusantara ini.” Nah, ini yang saya agak bingung jadinya, Prof karena dalam persidangan sebelumnya, ahli hukum yang menjelaskan dalam persidangan yang terhormat ini, itu menjelaskan bahwa hukum adat dari Sabang sampai Merauke, itu seragam semuanya, Prof, menghukum ini sebagai tindak pidana. Dan saya sudah puluhan tahun jadi Advokat itu menemukan juga banyak yurisprudensi, Prof, di Mahkamah Agung, ya yang menghukum perzinahan dengan hukum adat. Artinya, secara hukum ternyata ada kesamaan pandangan tentang zina ini. Jadi kalau tadi Prof mengatakan tidak ada keseragaman pandangan, saya jadi bingung. Seperti itu, Prof. Kemudian, kepada Ibu Kemala yang saya hormati ya, dan saya juga bangga pada Ibu, ya karena bagaimanapun Ibu adalah orang yang pertama ... termasuk pertama kali yang dipercaya oleh negeri ini untuk memimpin sebuah lembaga yang melindungi perempuan. Dan itu berarti Ibu sangat concern kepada ketahanan keluarga. Sama seperti Pemohon di sini, yaitu Prof. Euis Sunarti yang merupakan seorang Guru Besar Ketahanan Keluarga, satu-satunya yang dimiliki Indonesia sampai hari ini. Pertanyaan saya Ibu Kemala, tadi Ibu di akhir paparan Ibu menyampaikan mengenai ketahanan keluarga. Yang saya ingin tanyakan ya, bagaimana kita bisa mengatakan ada ketahanan keluarga dalam sebuah keluarga yang semu? Dimana suaminya berzina setiap hari dan istrinya demi tetap mendapat nafkah dari suaminya bersikap nrimo, seperti itu. Dan anak-anaknya yang sudah tahu keadaan itu, juga hanya
33
bisa berdoa. Nah, apakah keluarga seperti itu bisa dibilang memiliki ketahanan keluarga? Dan terakhir, saya mau menyampaikan kepada Majelis Yang Mulia bahwa saya percaya kita semua di ruangan ini sama-sama punya kepedulian terhadap ketahanan keluarga, namun kita di sini memposisikan dan memanifestasikan kepedulian kita dengan cara yang berbeda. Jadi, kalau Para Pemohon di sini menyampaikan permohonannya, ini justru membuktikan bahwa Para Pemohon sangat peduli dengan ketahanan keluarga karena bahaya yang mengancam ketahanan keluarga Indonesia, itu sudah luar biasa. Dan saya perlu menyampaikan di sini bahwa Para Pemohon mengajak semua yang ada di ruangan ini untuk sama-sama menjadikan hukum sebagai alat social engineering. 50.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Itu saja, ya?
51.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEIZAL SYAH MENAN Terima kasih, Majelis.
52.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik.
53.
KUASA HUKUM PEMOHON: FEIZAL SYAH MENAN Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb.
54.
KETUA: ANWAR USMAN Waalaikumsalam wr. wb. Dari Kuasa Presiden, silakan, ada?
55.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah tidak dalam posisi bertanya tapi ingin menyampaikan rasa terima kasih atas keterangan Ahli yang menambah keyakinan terhadap posita Pemerintah. Demikian yang kami ingin sampaikan, Yang Mulia. Terima kasih.
56.
KETUA: ANWAR USMAN dulu.
Baik, terima kasih. Dari meja Hakim? Yang Mulia Pak Wahiduddin
34
57.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih, Pak Ketua Majelis Sidang. Saya ingin sedikit gambaran dari Bu Kamala Chandrakirana terkait bahwa perluasan delik zina yang di 284 KUHP ini terutama tidak saja perluasannya tetapi posisinya sebagai delik biasa, ini disebutkan sebagai suatu hal yang nanti punya dampak akibat apa ... sosial, mungkin keutuhan keluarga, ya. Karena ketahanan keluarga itu dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 justru tidak seperti itu. Justru ketahanan keluarga itu dari aspek ekonomi, aspek moral, spiritual, dan aspek apa ... masa depan, ya, mungkin akan lebih dalam artian keutuhan keluarga. Nah, sekarang ini di DPR sudah mulai dibahas, yaitu Rancangan Undang-Undang tentang KUHP. Di Pasal 483 rancangan undang-undang itu, ya, persis apa ... seperti yang digambarkan Ibu, yaitu perluasan itu. Jadi perzinaan itu tidak lagi seperti Pasal 284 KUHP yang sekarang tapi tidak dibedakan antara orang yang terikat perkawinan atau tidak mereka dikualifikasi kalau mau hubungan seksual itu adalah perbuatan zina. Dan ini rumusan ini sudah disiapkan oleh para pakar bidang-bidang sosial tertentu, kriminologi yang sudah sejak tahun 1979 disiapkan. Yang pada tahun 2013 yang lalu sudah disampaikan ke DPR dan sekarang dibahas, bahkan perkembangannya buku satu sudah apa ... ya, dilewati pembahasannya walaupun belum 100% selesai. Nah, untuk buku kedua dan dirancangan itu, ya, persis apa yang dimohonkan intinya oleh Para Pemohon. Nah, apa tanggapan Ibu, ya bahwa ini hasil kristalisasi dari berbagai pemikiran pakar terutama hasil penelitian monografi-monografi adat yang diteliti oleh pengadilan-pengadilan kita di berbagai apa ... pengadilan tingkat pertama terutama itu menjadi bahan bagi pakar untuk merumuskan, sehingga perluasan itu. Nah, yang kedua terkait dengan deliknya. Memang perkembangan dari pembahasan itu adalah beralih. Dulu delik aduan, kemudian delik biasa. Nah, terakhir itu bahwa ini adalah delik aduan, penuntutan tidak akan dilakukan dengan perluasan zina seperti di Pasal 483 rancangan itu, kecuali ada penuntutan dari suami atau istri dan pihak ketiga yang tercemar. Nah, ini artinya ini menunjukan bahwa norma yang ada di dalam apa ... sistem pidana kita tidak terlepas dari perhatian masyarakat, kepedulian masyarakat, dan sampai ... jangan sampai mengganggu ketertiban masyarakat. Ya, oleh sebab itu ada apa ... ya, pengaduan dari pihak ketiga yang tercemar atau mungkin juga dalam keluarga itu, ya, dalam hal, ya, misalnya suaminya atau istrinya karena pasangannya melakukan perbuatan zina yang sudah mencemarkan nama baik, misalnya menghamili orang lain. Nah, ini kan ada unsur hal itu. Oleh sebab itu, dirumuskanlah tentang pihak ketiga yang tercemar. Ya, ini terkait juga dengan tesis Ibu yang mengatakan bahwa ya masyarakat itu harus punya perhatian. Karena kita titik tolak aturan hukum kitalah 35
pertama moral yang hidup di bangsa kita, etik yang berkembang dalam masyarakat kita, dan apa ... perkembangan spiritual. Saya kira moral, etik, spiritual itu harus tidak lepas dari kalau kita menyusun suatu kebijakan walaupun mungkin nanti memang itu harus pada ultimum remedium, tapi dia harus tidak lepas bahwa dia apa ... melekat dengan moral, etik, spiritual bangsa kita. Nah, ini bagaimana? Karena ini sudah di DPR berarti juga sudah menjadi wacana publik, pemerintah sudah menyampai, mengantarkan dan dibahas, ya di sana ada landasan filosofis, yuridis, sosiologis, dan tinggal nanti putusan politisnya, bagaimana ini ... apa ... Ibu Chandrakirana yang saya juga sudah lama mengenal punya perhatian yang tidak terputus terkait masalah-masalah perlindungan terhadap ... apa ... HAM dan juga khususnya perempuan. Terima kasih. 58.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, Yang Mulia Pak Palguna, silakan.
59.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya juga mulai dari Bu Kamala dulu, ya. Andaikata ini adalah sidang pembentuk undangundang, saya kira pembentuk undang-undang dihadapkan pada dua suasana yang dilematis dalam persoalan ini atau (suara tidak terdengar jelas) yang dikemukakan oleh Pemohon. Kemudian yang kedua adalah karena ini hasil penelitian, berarti ini adalah fakta yang sudah terverifikasi secara empirik yang disampaikan oleh Ibu Kamala. Pertanyaannya begini, Bu, saya mungkin agak kembalikan ke teoritik saja karena ini, ini kan nanti apa pun dari hasil perdebatan ini, kalau pembentuk undang-undang nanti akan merumuskan ini dalam bentuk criminal policy yang wujudnya nyatanya nanti adalah dalam bentuk norma hukum, dalam hal ini norma hukum yang paling keras, yaitu hukum pidana. Pertanyaan saya begini, Ibu sebagai aktifis ya mungkin salah satu pionir pendirian Komnas Perempuan dan sebagai sekjen lama sekali, dalam konteks demikian dari dua suasana yang berkembang dalam persidangan sekarang ini, apabila ini dikaitkan dengan tiga standar kewajiban negara untuk melindungi warganya terutama dalam hal ini perempuan, ya, obligation to respect, obligation to protect, obligation to fulfill, bagaimana Ibu melihat ini suasana yang dua soal yang agak bertabrakan padahal tujuannya sama, perlindungan keluarga semua? Ini. Untuk Bu Kamala satu saja Kemudian untuk Prof. Mustofa, saya jadi menarik ini karena ini kajian kriminologi memang ... anu ya ... memang menarik untuk dilihat karena inilah sebenarnya salah satu apa yang disebut sebagai alasan untuk menjawab pertanyaan sampai tingkat di mana sebenarnya 36
efektifitas hukum pidana dalam menjawab persoalan-persoalan patologi sosial khususnya yang tergolong crime. Saya ingin menanyakan begini, Prof, kalau ada hasil studi barangkali akan lebih bagus. Misalnya dalam kajian kriminologi apakah ada data hasil riset misalnya atau hasil kajian mungkin masih berupa ... apa ... semacam hipotesis atau apa, tapi kalau ada tentu hasil riset, ya. Seberapa besar sebenarnya peran reaksi formal, dalam hal ini hukum, khususnya hukum pidana dalam keberhasilan untuk melakukan pengendalian sosial, untuk melakukan pengendalian sosial terhadap patologi sosial baik patologi sosial itu masih berupa perbuatan menyimpang (deviant behavior) ataupun yang sudah tergolong crime? Ini besar sebenarnya peran reaksi formal ini atau hukum ini, khususnya hukum pidana ini karena ini kan hukum pidana kan di ... apa ... ya hukum yang paling keras ya karena dia bisa merenggut kemerdekaan orang lain dan sebagainya. Nah mungkin juga kalau bisa ada kajian misalnya, ini sudah menjadi teori klasik dalam pendidikan khususnya, secara pedagogi kita mengenal tiga lingkungan pendidikan. Lingkungan keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama, kemudian lingkungan sekolah, kemudian lingkungan masyarakat. Tiga soal ini kemudian menurut saya ini atau paling tidak kita bisa melihat tali menalinya dalam munculnya deviant behavior maupun crime di dalam masyarakat. Saya mohon pendapat Prof mengenai soal itu, konteksnya kembali lagi kepada peran reaksi formal tadi di dalam pengendalian patologi sosial. Itu yang terakhir untuk Prof. Irwanto, yang di dalam ... anunya itu ... di dalam CV-nya saya lihat ada kurungnya no last name, gitu ya, Prof. Begini, Prof, saya mau bertanya ini dari perspektif psikologi sosial. Bagaimana sebenarnya Prof melihat materi atau substansi masalah ini? Bukan substansi hukumnya yang saya tanyakan, ya, substansi masalah yang diajukan oleh Pemohon ini bagaimana kalau Prof melihat ini dari perspektif psikologis sosial? Itu ... apa yang sesungguhnya terjadi pada masyarakat kita dengan kondisi yang seperti ini? Ada dua fakta-fakta antagonis yang di ... yang mengemukan dalam persidangan ini, dari perspektif psikologi sosial apa ... gejala apa sesungguhnya ini? Fenomena apa ini? Dan tentu kemudian saya ... pertanyaan berikutnya, solusinya secara psikologi sosial apa? Mungkin nanti akan berkaitan dengan pertanyaan kepada Prof. Mustofa tadi, apakah memang benar solusinya reaksi formal yang akan menyelesaikan masalah atau misalnya ada perangkat norma yang lain kan kita mengenal ada perangkat norma pribadi, antarpribadi, yang antarpribadi bisa norma kesopanan, norma hukum, termasuk salah satunya yang norma kesusilaan termasuk dalam norma antarpribadi. Itu yang jadi tiga pertanyaan saya. Terima kasih, Yang Mulia.
37
60.
KETUA: ANWAR USMAN Baik , masih Yang Mulia Ibu Maria.
61.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, Pak Ketua. Saya akan menanyakan kepada Prof. Irwanto. Di beberapa keterangan Ahli yang lalu, ada yang mengatakan bahwa homo seksualitas adalah suatu penyakit. Tapi Prof mengatakan di sini, “Berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti genetika telah berusaha untuk mencari sebab-sebabnya, tapi gagal. Orientasi seksual tidak dapat ditentukan berdasarkan satu penyebab tunggal. Oleh karena itu, hipotesis yang berlaku saat ini orientasi seksual ditentukan oleh kombinasi dari berbagai faktor seperti genetik, hormonal, psikologis, dan lingkungan sosial,” sehingga Prof berkesimpulan bahwa homoseksualitas bukan sebuah penyakit yang dapat diobati. Ada Ahli lain yang mengatakan itu bisa diobati. Nah, di sini kita ... saya menjadi suatu permasalahan bahwa kalau memang itu bukan sebuah penyakit ... kalau bukan sebuah penyakit berarti bisa ditangani atau ditanggulangi. Tapi apakah ditanggulanginya itu selalu dengan suatu kriminalisasi? Bahwa kemudian kalau yang menyatakan itu penyakit ya, maka itu kemudian harus bisa disembuhkan. Kalau disembuhkan tidak perlu ada kriminalisasi atau pidana. Tapi kalau bukan penyakit, apakah kemudian itu menjadi suatu yang dapat dipidanakan? Karena kita mengetahui bahwa … kita selalu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan dua orang itu pria dan wanita, tapi kita melihat ada hal yang seperti ini. Tapi Ahli ada yang mengatakan bukan penyakit ... Prof mengatakan bukan penyakit, tapi ada Ahli yang mengatakan juga itu adalah penyakit. Terima kasih, Prof.
62.
KETUA: ANWAR USMAN Terakhir, Yang Mulia Pak Patrialis.
63.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Pertama, untuk ketiga Ahli. Tadi ketiganya lebih banyak bicara tentang masalah kekhawatiran terhadap persoalan kriminalisasi dari perbuatan zina. Kita ketahui bahwa sebetulnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang yang masih merupakan peninggalan Belanda itu, itu sesungguhnya juga sudah secara tegas dengan ancaman hukuman yang begitu keras terhadap perbuatan zina yang dilakukan. Jangan dianggap KUHP sekarang tidak ada ancaman hukuman, banyak sekali memang yang sudah dijatuhkan
38
oleh Hakim. Jadi, bukan persoalannya berkaitan dengan legalisasi zina, ini harus paham dulu. Jadi, KUHP yang ada sekarang pun itu sebetulnya telah memberikan hukuman, cuma pemahaman zina yang dimaksudkan itu hanya terbatas pada salah satu di antara pasangan calon yang punya istri atau suami. Itu jelas. Akan tetapi Pemohon menginginkan tidak hanya itu, ini kan, berkaitan dengan persoalan-persoalan kemaksiatan. Jadi, tidak ada legalisasi perzinaan yang diinginkan, gitu ya? Jadi, KUHP yang dipersoalkan sekarang itu sebetulnya walaupun itu peninggalan Belanda, itu sudah ada ancaman hukumannya. Saya ingin kepada Prof. Irwanto ya, sebagai seorang profesor, ya. Statement yang menarik saya tadi adalah bahwa Prof mengatakan bahwa benar zina itu merupakan biang kerok dalam penyebab penyakit AIDS. Ini statement yang luar biasa, muncul dalam persidangan Mahkamah Konstitusi oleh seorang profesor. Oleh karena itu, secara akal sehat saya ingin menanyakan kepada Prof. Mana yang Saudara pilih ... karena tadi juga bicara masalah ultimum remedium, mana yang Saudara pilih secara psikologi antara penjara akan penuh sebagai suatu hukuman sehingga orang takut melakukan perbuatan zina, daripada tidak ada larangan sama sekali, akan tetapi penyakit AIDS dan HIV itu justru merajalela? Yang akibatnya bukan hanya penjara yang penuh, kuburan yang akan penuh karena mati langsung. HIV/AIDS itu, saya pernah menangani dan menyaksikan betul langsung di penjara-penjara bagaimana orang penyakit AIDS dan HIV itu. Itu jangankan Ibu, saudaranya dekat, mendekat saja sudah enggak boleh karena itu bisa pindah. Ya? gitu. Kemudian, tadi Saudara di ... saya juga menyambung apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Bunda Maria bahwa dalam persidangan ini seorang dokter mengatakan bahwa juga berdasarkan penelitian. Penelitiannya luar biasa dan punya data disampaikan di sini bahwa ternyata kondom itu tidak menjamin tidak tertularnya HIV dan AIDS, sebab kondom itu mudah tembus karena HIV/AIDS itu sangat luar biasa tajamnya, ya. Dan di situ juga dinyatakan bahwa perpindahan penyakit AIDS itu tidak hanya dengan hubungan kelamin, dengan air ludah pun juga bisa. Oh itu ada datanya. Bahkan … bahkan orang tukar piring makan pun duduk dengan orang yang HIV/AIDS pun juga akan bisa pindah penyakit itu. Ini penelitian, ya, penelitian. Kemudian, tadi Saudara juga mengatakan bahwa ada yang menarik agar anak tidak melakukan perilaku menyimpang. Jadi, kita mesti ingatlah kepada anak-anak kita, tidak melakukan perbuatan menyimpang. Kemudian, juga Saudara menyoroti lemahnya penegakan hukum, bahkan Saudara melihat ada 2 ukuran besar yang selalu beriklan besar, tapi tidak diatasi secara hukum. Jadi, Saudara memang … di satu sisi saya lihat memang Prof. ini sangat baik, cara berpikirnya. Bahwa hal-
39
hal seperti ini saja yang tidak dilakukan penindakan itu adalah bagian dari keprihatinan seorang profesor. Kemudian, kepada Profesor Mustafa. Tadi Saudara paparkan bahwa Saudara menyetarakan antaranya maraknya perzinaan atau kemaksiatan. Jadi, Saudara menyejajarkan antara perzinaan dengan kemaksiatan. Apakah Saudara sependapat bahwa perzinaan itu memang perbuatan maksiat? Karena dalam Alquranul Karim menyatakan, “Wala taqrabul dzina, innahu kana fahisyatan.” Mungkin ayatnya nanti disempurnakan oleh MUI. Jadi, perbuatan zina itu kekejian yang nyata. Kalau saya lihat dari referensi yang Saudara sampaikan memang orientasinya ke Barat, saya tidak melihat satu pun referensinya dari aspek agama, apalagi Saudara sebagai seorang yang beragama Islam. Apakah Saudara pernah mendengar ayat itu sebagai seorang muslim? Kemudian, di dalam paparan Saudara sama sekali itu tidak menyinggung, terutama unsur-unsur pengendalian sosial, tidak menyinggung sedikit pun bahwa pengendalian itu juga tidak bisa dilepaskan dari norma-norma agama dan moral, agama dan moral tidak ada sama sekali. Jadi, haus, padahal kita ini kan … Indonesia ini kan adalah bangsa yang beragama. Seperti tadi Bunda Maria mengatakan bahwa sebagai penganut Katolik juga beliau mengatakan bahwa dalam kitabnya laki-laki dan perempuan, dijadikan oleh Tuhan laki-laki dan perempuan. Nah, saya juga tanya sama Prof. Irwanto tadi, apakah Saudara juga pernah mendengar dari kitab agama Saudara seperti yang dikatakan Bunda tadi? Kemudian, kepada Ahli Kamala Chandarakirana, ini bagus sekali Saudara sudah berada pada kelompok kerja Dewan HAM PBB, ya. Jadi, tarafnya sudah internasional dan membela hak-hak perempuan agar tidak dilakukan terjadi diskriminasi. Dengan tidak jelasnya hukuman di Indonesia terhadap perbuatan perzinaan yang dilakukan tidak ada perlindungan oleh hukum terhadap perbuatan itu, yang korbannya menurut Saudara, siapa? Laki-laki atau perempuan? Begitu dengan rayuan gombal, orang melakukan perzinaan, punya anak, tidak ada tanggung jawab, bahkan juga tidak sedikit yang dibunuh. Korbannya itu laki-laki atau perempuan? Sebagai penggiat, pembela perempuan, bagaimana sikap Saudara terhadap itu? Kemudian, Saudara juga mengatakan aturan hukum yang bersifat netral saja masih bisa menjadikan diskriminasi terhadap perempuan dalam praktik. Jadi, hukum yang netral saja masih bisa mendiskriminasi, apalagi kalau tidak ada ancaman hukuman, paling tidak bagi laki-laki pezina. Jadi ada apa namanya … ya, kalau boleh dikatakan kepada lakilakinyalah diancam, kalau laki-lakinya enggak mau, kan perempuannya juga pasti enggak bisa. Bagaimana pandangan Saudara? Supaya ada affirmative action kepada perempuan.
40
Tadi Saudara mengatakan bahwa ada perkawinan sekitar 2 juta yang dilakukan secara adat, saudara mengkhawatirkan itu jadi korban kriminalisasi. Tentu sebaiknya Saudara memahami juga namanya Undang-Undang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan itu dianggap sah apabila dilakukan menurut ajaran agamanya masing-masing, tapi kalau dia sudah dilakukan menurut ajarannya agamnya di satu sisi dia sudah punya keabsahan, kemudian kewajiban mendaftarkan kepada negara itu persoalan administrasi, kalau dia tidak mau lakukan pendaftaran maka kerugian secara keperdataan akan dialami oleh yang bersangkutan maupun juga oleh anak-anak keturunannya, tapi kalau perkawinan dilakukan secara adat agamanya artinya enggak ada dong kualifikasi perzinahan. Bagaimana Saudara bisa mengatakan dua juta yang melakukan perkawinan menurut agamanya ada kawin sirih itu akan dikriminalisasi, dari mana itu data-datanya? Atau mungkin itu hanya sebagai asumsi. Nah, pertanyaan saya terakhir bagaimana kalau suami Saudara misalnya, ya, mendapatkan penyakin AIDS (HIV) setiap hari Saudara tidak mampu untuk melarang karena ancaman hukumannya tidak ada karena Saudara tidak melaporkan atau (...) 64.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Mohon maaf, Yang Mulia. 65.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ini saya bicara, jangan.
66.
KETUA: ANWAR USMAN Enggak boleh, jangan, dengarkan dulu.
67.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Maaf, Yang Mulia. Saya (...) 68.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar, biar bicara dulu.
41
69.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Bagaimana sikap Saudara terhadap suami yang seperti itu yang selalu duduk bergandengan dengan anak-anaknya setiap saat makan bersama, piringnya gantian, cuci tangannya gantian, bahkan juga kadang-kadang dia bisa tidur bersama orang tua, bapak-ibu tidur bareng. Bagaimana sikap Saudara sebagai seorang ibu rumah tangga? Saya kira begitu, Pak, terima kasih.
70.
KETUA: ANWAR USMAN Tadi kenapa? Enggak sebentar, mau menanggapi ini. Oh, ya, silakan.
71.
KUASA HUKUM PEREMPUAN)
PIHAK
TERKAIT:
ASPINAWATI
(KOMNAS
Ya, terima kasih, Yang Mulia pemimpin persidangan. Kami yang membawa Para Ahli ingin bertanya kepada Yang Mulia. Pertama, kami ingin kejelasan apakah Mahkamah Konstitusi memeriksa hanya berdasarkan konstitusi dan bukan yang lain? Yang kedua (...) 72.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar, sebentar. Berarti kan benar juga itu menanggapi ini (...)
73.
KUASA HUKUM PEREMPUAN)
PIHAK
TERKAIT:
ASPINAWATI
(KOMNAS
Tapi kami ingin bertanya, kami tidak ... kami bertanya kepada pihak otoritas yaitu Yang Mulia sebagai pemimpin persidangan. Yang kedua, kami meminta kepada Yang Mulia Pemimpin Majelis persidangan ini bahwa Ahli tidak perlu menjawab pendapat ... pertanyaan mengenai pendapat, keyakinan, apalagi keyakinan yang di luar keilmuan yang bersangkutan, terima kasih. 74.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Begini, jadi begini, nanti Mahkamah akan menilai apa yang disampaikan oleh Para Ahli termasuk nanti dalam menanggapi pertanyaan baik dari Pihak Terkait, Pemohon, maupun Termohon, Kuasa Presiden, maupun dari Para Majelis, ya. Jadi nanti silakan mengajukan jawaban atau menanggapi apa yang disampaikan oleh para penanya tadi secara tertulis saja karena waktunya juga tidak memungkinkan. Kalau mau menyampaikan secara lisan, ya, masing-masing dua menit. Silakan. 42
75.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: IRWANTO (KOMNAS PEREMPUAN) Terima kasih, Yang Mulia. Satu hal yang penting saya klarifikasi adalah persoalan HIV-AIDS. Jadi berdasarkan data medis yang ada sampai hari ini HIV-AIDS tidak menular melalui air liur, kalaupun air liur dapat menularkan, jumlah air liur yang dibutuhkan adalah 7 gelas air liur. Oleh karena itu, tidak mungkin dalam bersentuhan dengan piring segala macam menular. Oleh karena itu, juga perlu dicatat di sini sentuhan biasa, tidur bersama, mandi bersama tidak menularkan HIVAIDS. Yang kedua, persoalan LGBT atau homoseksual itu jika dibawa ke ranah agama, maka persoalannya menjadi bukan lagi benar atau salah, tetapi persoalan umat yang sejarah pernah mencatat. Galileo bertanya kepada Paus Urban mengenai kebenaran Copernicus yang mengatakan bahwa dunialah yang memutari matahari bukan matahari yang memutari dunia. Paus Urban bertanya kepada Galileo, “Anda bertanya kepada saya sebagai kepala umat Katolik atau sebagai dosen?” “Dua-duanya.” Lalu dijawab oleh Paus Urban, “Jika Anda bertanya kepada saya sebagai umat Katolik maka saya mengatakan Copernicus salah, karena kalau gereja Katolik mengatakan dunia yang berputar pada matahari, umat saya habis.” Itu yang terjadi sebetulnya adalah persoalan mempertahankan umat bukan benar atau salah. Yang berikutnya karena dua menit masih punya waktu Bapak-Ibu sekalian ahli-ahli di bidang genetika bahkan psikologi di bidang personality. Jadi apa yang membentuk saya hari ini itu ada dua, dua besar, yaitu apa yang saya alami sehari-hari sebagai manusia bersama dengan manusia lainnya, kedua adalah apa yang saya bawa secara biologis dan genetik. Paling tidak dua hal besar itu. Oleh karena itu, terapi yang hanya mencoba untuk memperbaiki saya prilaku psikologis saja tidak cukup, sedangkan secara biologis tidak mungkin itu dilakukan. Jadi, ini yang menyebabkan kemudian apa yang disebut sebagai reparatif treatment, reparatif terapi itu dikatakan hanya menghasilkan hasil semu. Seolah-olah manusianya berubah, tetapi kalau kita amati terus-menerus ternyata tidak berubah. Hal lain yang dikemukakan oleh American Physiologic Associations adalah reparatif treatment karena disertai dengan stigma berpotensi merugikan klien. Klien menjadi tertraumatisasi justru karena treatment itu, begitu. Yang terakhir. Saya adalah orang yang paling yakin karena dalam bidang kami di bidang psikologi dan psikiatri, kami mempunyai tokoh yang mempersoalkan tentang punishment. Ada buku oleh Menninger yang diberi judul The Crime of Punishment. Karena punishment tidak selalu dapat mengubah situasi sosial tertentu, bahkan punishment dapat menyebabkan crime itu sendiri. Itu terutama jika dilakukan pada pihakpihak terutama anak-anak dan remaja karena ini sejarahnya seperti itu 43
di Chicago karena penjara tidak pernah memberikan tempat dimana ada contoh keadilan itu ditegakkan. Penjara bukan tempat menegakkan keadilan. Penjara bukan tempat orang belajar tentang virtue, tentang nilai-nilai baik. Penjara bukan tempat untuk memberikan contoh kepada anak-anak kita seharusnya dalam menghargai orang lain itu seperti apa. Itu bukan itu. Oleh karena itu, memang hukuman dan sudah dibuktikan juga oleh statistik dari … apa namanya … biro … saya lupa biro justice dari Amerika Serikat bahwa ada sekitar 18 negara bagian di Amerika Serikat yang mempunyai hukuman-hukuman berat termasuk hukuman mati, tingkat kriminalnya ternyata lebih tinggi dibanding negara bagian lain. Jadi, lagi-lagi pendekatan hukuman bukan pendekatan yang terbaik untuk … apa namanya … mendapatkan hasil yang sama-sama kita inginkan, begitu. Jika seorang anak itu bertanya kepada saya bahwa di hukum Indonesia zina tidak diatur, kan jawabannya tidak selalu bahwa harus dijawab melalui ranah hukum, ranah moral, ranah … apa … tadi nilai sudah mengatakan bahwa itu tidak boleh. Tetapi lebih penting dari itu yang tidak terlalu abstrak adalah akibat-akibat dari misalnya perbuatan seks di luar nikah. Seks sebelum atau … sebelum di luar nikah. Akibatnya apa? Itu yang jauh lebih penting. Tetapi orang tua, guru, tokoh agama, tidak berani melangkah itu karena tabu. Jadi, ini persoalannya. Jadi, menurut saya jika kita semua mempunyai skill, dibantu dengan buku panduan yang baik bagaimana menjelaskan persoalan itu kepada anak-anak kita, itu adalah pendekatan yang paling baik daripada kemudian menghukum anak-anak itu ketika ketahuan hamil atau mendapat infeksi seksual menular. Pendekatan yang lebih empatik menurut saya jauh lebih penting daripada pendekatan yang membuat anak merasa dendam dan marah kepada orang tuanya. Diberi tahu saja enggak, tetapi saya justru mendapat hukumannya. Terima kasih. 76.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, Prof. Nanti mungkin keterangan selanjutnya bisa secara tertulis. Ya, silakan, Prof. Mustofa.
77.
AHLI DARI PEREMPUAN)
PIHAK
TERKAIT:
M.
MUSTOFA
(KOMNAS
Ya, terima kasih. Yang ingin saya tekankan pertama adalah bahwa zina itu setara dengan kemaksiatan dalam kategori dia bertentangan dengan sentimen moral masyarakat. Bertentangan dengan nilai norma masyarakat yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Tidak berarti ada masyarakat yang membenarkan, tapi disikapi secara berbeda-beda. Bahkan salah satu etnis di Papua, saya tidak perlu sebut 44
nama etnisnya, perkosaan menjadi salah satu cara di dalam mengungkapkan rasa cinta. Tetapi tidak berarti tidak ada sanksi. Bahkan di dalam masyarakat itu sendiri, di dalam etnis itu sendiri hubungan sah suami-istri dipersulit karena masyarakat tadi memandang bahwa mereka sangat tergantung hidupnya dari alam. Kalau jumlah warganya tidak dibatasi, mereka khawatir suku bangsa tadi akan punah karena daya dukung alamnya terbatas. Kemudian yang dipikirkan adalah mempersulit hubungan seksual suami-istri. Bahkan kalau ada suami-istri melakukan hubungan seksual yang sah, digunjing. Namun demikian karena dorongan seksual ini dorongan yang alamiah, tidak dapat dibendung. Ketika laki-laki aktivitasnya di ladang pada hari … setiap hari, yang perempuan aktivitasnya selalu bersama di kali, ada saja orang yang mencari peluang. Yang laki-laki suka mengintip aktivitas kebersamaan perempuan di kali. Kemudian, kalau ada perempuan yang keluar dari aktivitas bersama dipandang dia siap “untuk diperkosa”. Dan sanksinya adalah pelaku wajib membayar denda dalam bentuk babi. Dan semakin tinggi derajat sosial perempuan, semakin banyak babi yang harus dibayarkan. Dan itu dibayarkan kepada keluarga atau suaminya. Dan mereka menerima mekanisme ini sebagai cara hidupnya. Ketika mereka masih terisolasi, tidak berkomunikasi, berinteraksi dengan suku bangsa lain, tidak ada masalah. Memang kita tidak akan membenarkan cara-cara seperti itu, bukan dengan cara memidana. Bagaimana rekayasa sosial memperkenalkan teknologi keluarga berencana agar supaya mereka bisa mengendalikan warganya secara lebih bertanggung jawab? Itu yang harus diperkenalkan, bukan dengan memidana. Cara pidana tidak akan menyelesaikan akar masalahnya. Kemudian, di beberapa tempat … beberapa tempat perzinaan dipandang merusak kesucian lingkungan. Oleh karena itu, sanksi yang akan diberikan biasanya setelah sanksi fisik, yang bersangkutan harus menikah agar lingkungannya kembali suci. Jadi, mekanisme ini yang berbeda-beda, tidak bisa diseragamkan hanya menjadi satu cara penghukuman. Bahkan, menurut agama juga konsep zina ini berbeda. Dalam agama Katholik, mudah-mudahan saya benar, hanya menganut sistem monogami. Kalaupun kemudian salah satu pihak diam-diam menikah atau sesama laki-laki menikah lagi walaupun pernikahannya tadi sah menurut agamanya yang lain barangkali, tetap dikategorikan sebagai perzinaan. Beda halnya dalam agama Islam. Menikah lagi secara sah tidak disebut sebagai perzinaan. Ini cara menyikapinya, cara memandanginya tidak bisa dianggap sebagai sama. Kemudian, menyangkut pertanyaan dari Yang Mulia Bapak Palguna tentang apakah ada penelitian tentang bagaimana pengaruh penghukuman, gitu ya. Ada beberapa penelitian di bawah tema deterrence. Apakah pengukuman mempunyai dampak bagi tidak 45
dilakukannya pengulangan perbuatan? Atau membuat orang-orang lain yang belum melakukan menjadi gentar untuk melakukan? Sudah banyak penelitian yang dilakukan dan hasilnya tidak ditemukan hubungan antara penghukuman dengan penjeraan, dengan perasaan gentar untuk melakukan perbuatan yang diancam dengan hukuman tadi. Bahkan, ancaman yang paling serius, hukuman mati. Diteliti berdasarkan data statistik di Amerika sepanjang kurang-lebih 60 tahun, setiap selesai eksekusi hukuman mati … di Amerika, hukuman mati pada waktu itu diberikan kepada orang-orang yang melakukan pembunuhan. Setelah eksekusi hukuman mati, peristiwa pembunuhan bukan berkurang, tetapi malah bertambah. Ini data sepanjang kurang-lebih 60 tahun. Dan disimpulkan, ini adalah dampak brutalisasi, bukan dampak deterrence. Demikian juga kalau kemudian kita berpikir, “Kalau begitu, setelah dihukum, kita bina.” Penelitian-penelitian juga menunjukkan hanya terdapat sedikit bukti bahwa pembinaan pelanggar hukum di lembaga pemasyarakatan berhasil guna. Yang berhasil adalah apabila narapidananarapidananya yakin bahwa pembinanya adalah orang-orang yang memang diyakini orang-orang baik. Nah, oleh karena itu di dalam kriminologi amat sangat diutamakan mengatasi akar masalahnya sebelum peristiwanya itu terjadi, dalam hal ini adalah sosialisasi nilai norma seksualitas. Karena saya skeptis bahwa setiap orang … setiap orang tua sekarang ini merupakan agen sosialisasi yang kompeten. Oleh karena itu, negara harus mempunyai program, bagaimana meningkatkan kemampuan orang tua di dalam menanamkan nilai norma seksualitas karena selama ini dianggap sebagai hal yang tabu. Bisa dilakukan dengan tayangan sinetron yang mendidik daripada sinetron yang selama ini ada. Demikian juga guru dan masyarakat lainnya. Nah, bagaimana kita bisa menghukum orang padahal dia enggak tahu bahwa yang dilakukan adalah salah. Berlaku yang salah tadi dipelajari dari lingkungan sosialnya yang salah. Oleh karena itu, struktur sosial ini harus dibenahi bagaimana mekanisme penanaman nilai norma seksualitas ini ditanamkan, termasuk di dalamnya memberikan fasilitasfasilitas. Pada masyarakat yang masih sederhana, seorang laki-laki dinyatakan dewasa dan boleh menikah kalau yang bersangkutan sudah bisa menunjukkan bisa memberi nafkah untuk keluarganya bukan sekadar ukuran usia, tetapi tanggung jawab sosial. Sementara yang perempuan, ketika itu masih peran domestik juga disosialisasikan norma, nilai norma bagaimana, mengurus rumah tangga bukan karena usia kematangan sosial lebih diutamakan. Nah, tidak ada mekanisme sekarang ini bagaimana kita meyakini bahwa 2 insan yang mau menikah itu memang sudah siap secara sosial, secara ekonomi, secara psikoligis, bahkan nilai-nilai LGBT itu pun juga bisa diakses dari sumber-sumber yang saya katakan sumber subservis 46
karena mudah sekali didapat. Kalau tidak ada pihak yang mengoreksi, apa jadinya generasi muda kita? Barangkali itu pesan yang ingin saya sampaikan, ketika kita membicarakan masalah zina, LGBT yang penting buka ... buat masa depan negeri kita ini terutama generasi muda. Terima kasih. 78.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Baik, terima kasih. Terakhir, Ibu Kamala.
79.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: (KOMNAS PEREMPUAN)
KAMALA
CHANDRAKIRANA
Terima kasih. Mengingat waktu, saya akan fokus pada poin-poin inti. Pertanyaan pertama tentang nikah siri, benar nikah siri merupakan salah satu fenomena yang termasuk dalam estimasi angka 2.000.000 per tahun yang perkawinan yang tidak tercatat yang tidak mempunyai akta nikah. Dan terkait dengan ini, saya kira ini kita bisa mempunyai pemaknaan baru terhadap gagasan peran ganda perempuan, ya, atau beban ganda perempuan. Karena perempuan terutama perempuan dalam nikah siri ini, pertama bebannya adalah mereka tidak mempunyai ... mendapatkan perlindungan hukum karena perkawinannya tidak sah secara hukum dan ditambah dengan itu, mereka bisa menjadi sasaran kriminalisasi jika definisi dari ... dari zina diperluas menjadi pidana di luar untuk kasus–kasus di luar perkawinan ... ikatan perkawinan. Untuk pertanyaan dari pihak Pemohon maupun dari Yang Mulia Bapak Wahiduddin, saya satukan karena menyangkut hal yang sama, yaitu terkait catatan saya tentang delik aduan yang dimintakan oleh Pemohon untuk diubah menjadi delik biasa. Sebenarnya, inti perhatian saya bukan soal ketahanan keluarga dalam komentar saya tadi itu adalah terkait hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri yang merupakan satu hak yang dijamin oleh konstitusi kita pada Pasal 28G ayat (1), yaitu hak atas perlindungan diri pribadi. Jadi, yang saya tadi komukasikan adalah bahwa dengan kita melindungi dan menjaga menegakkan hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri, bisa mendapatkan outcome/hasil, yaitu ketahanan keluarga. Jadi, itu sebagai hasilnya, dan lewat cerita testimoni seorang ibu itu, saya ingin menggambarkan betapa faktor ekonomi, kalau definisi ketahanan keluarga ada faktor ekonomi ada di pertimbangannya artinya dia mendapatkan akses terhadap gaji dari suaminya dari kehidupan keluarganya. Dimensi moral dan spiritual, maaf, dengan maaf adalah dan menyatakan penyesalan itu adalah bagian dari etika dan untuk masa depan, saya perlu catatkan dalam testimoni panjangnya yang nanti juga akan diserahkan ibu ini merasa sangat aman, nyaman dengan pilihannya, dan sebagai bukti ketahanan keluarga adalah 45 tahun, 45 47
tahun keluarga ini bisa hidup secara ekonomi secara moral dan untuk membuat ... membangun masa depan yang lebih baik. Yang saya ingin tekankan di sini juga adalah jika permohonan dari Pemohon ini dikabulkan terkait perubahan delik aduan menjadi delik biasa, maka bukannya kita mendapat keuntungan, kita malah kehilangan sebagai masyarakat kehilangan sumber ketahanan keluarga itu sendiri, yaitu individu yang berpikir demi kebaikan keluarga dan bukan hanya dirinya, dan modal sosial yang terus menerus memang aktif untuk ikut membangun dan mempertahankan ketahanan keluarga. Jadi … apa … catatan saya demikian. Untuk catatan atau pertanyaan dari Yang Mulia Bapak Palguna tentang kewajiban negara … tiga kewajiban negara, saya ingin menekankan kewajiban negara untuk menghargai adalah menghindari pembuatan peraturan perundangan kebijakan … dan kebijakan yang bisa mengakibatkan secara langsung atau tidak langsung terjadinya diskriminasi. Dan tadi saya sudah menyampaikan data bahwa dampak dari mengabulkan permohonan Para Pemohon akan dirasakan oleh 2.000.000 pasangan setiap tahun. Jadi, ini dampak diskriminatif karena mereka menjadi rentan menjadi sasaran kriminalisasi padahal mereka adalah orang-orang yang termiskin dan termarginal yang sebenarnya sudah mengalami diskriminasi itu sendiri. Saya juga ingin menekankan kewajiban negara untuk melindungi, maksudnya adalah melindungi setiap orang dari tindakan diskriminasi dan dalam hal ini secara khusus hak individual termasuk hak atas privasi. Dua itu yang paling utama, kewajiban untuk memenuhi menyatakan bahwa negara perlu mengambil langkah yang beragam untuk memastikan persamaan de jure dan de facto. Artinya, segala inisiatif kebijakan tidak cukup dengan satu tindakan pemidanaan, tapi juga dengan langkah-langkah yang menguatkan institusi-institusi sosial kita sebagaimana tadi sudah dijelaskan oleh para ahli sebelum saya. Poin atau pertanyaan keempat dari Yang Mulia Pak Patrialis Akbar. Saya ingin menegaskan kembali bahwa sama sekali saya tidak menyatakan tidak ada kejelasan hukuman terhadap zina di Indonesia. Ada dan apa yang ada saat ini, itulah yang perlu untuk kita tegakkan dan kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Justru jika hukum … jika aturan hukum tentang zina ini diperluas dan diubah delik aduan menjadi delik biasa, justru itulah sumber permasalahannya. Justru pada saat itulah hukum yang netral bisa berdampak diskriminatif terhadap perempuan dan ini termasuk diskriminatif terhadap 2.000.000 warga miskin dan marginal dan juga menunjukkan bahwa aturan hukum ini bisa unenforceable, tidak bisa dijalankan dengan baik. Saya sudah bicara tadi di awal tentang … bahwa perempuan dalam perkawinan yang dilindungi secara hukum adalah yang
48
perkawinannya tercatat secara sah. Itu ada dalam Undang-Undang Perkawinan kita. Dan Pak Patrialis, jika suami saya dapat AIDS dan suka makan bersama dengan penyandang HIV/ AIDS, saya tidak punya masalah sama sekali karena tidak mungkin kita tertular itu … oleh itu dan bahkan saya ikut … akan ikut bersama … makan bersama dengan penyandang HIV/ AIDS itu. Tapi sebenarnya pada hari ini yang kita bahas bukan tentang saya dan suami saya, tapi adalah tentang bangsa Indonesia. Terima kasih. 80.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Terima kasih, Para Ahli. Nanti keterangan tambahan bisa secara tertulis. Ini sudah mau pukul 14.00 WIB, persidangan yang … apa namanya … boleh dikatakan cukup komprehensif ya, walaupun mungkin nanti dari adik-adik Komnas Perempuan kalau ada hal-hal yang ini bisa dimasukkan dalam keterangan … kesimpulannya nanti, ya. Sidang berikutnya ini kita … ini di meja Hakim sudah ada 3 ahli yang diajukan oleh Persatuan Islam Istri. Ya, jadi ada 3 ahli. Nanti CVnya disusulkan, ya. Untuk itu, sidang berikutnya ditunda hari Senin, tanggal 17 Oktober 2016, pukul 11.00 WIB untuk mendengarkan keterangan ahli, ya. Kemudian … ya, silakan.
81.
KUASA HUKUM PEREMPUAN)
PIHAK
TERKAIT:
ASPINAWATI
(KOMNAS
Maaf, Yang Mulia. Kami mau mengingatkan bahwa kami mengajukan beberapa ahli lagi dan juga saksi terkait dengan pertanyaan tadi. Justru Pak Patrialis, bagaimana orang yang sudah menikah secara adat, tapi tidak diakui oleh negara? Jadi, kami bisa berharap kalaupun tidak bisa minggu depan tidak apa-apa, kami akan mengikuti jadwal persidangan, tapi masih ada beberapa. Terima kasih. 82.
KETUA: ANWAR USMAN Ya. Sebentar, kira-kira berapa lagi?
83.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Kalau dalam catatan kami ada 8 ahli, jadi masih ada 5 ahli lagi untuk kami ajukan. Begitu, Yang Mulia. Terima kasih.
49
84.
KETUA: ANWAR USMAN
85.
Oh, baik. PIHAK TERKAIT: ZAINAL ARIFIN HOESIN (MUI) Yang Mulia, Majelis Ulama, Yang Mulia.
86.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, silakan.
87.
PIHAK TERKAIT: ZAINAL ARIFIN HOESIN (MUI) Majelis Ulama juga ingin mengajukan ahli, hanya 3 orang.
88.
KETUA: ANWAR USMAN Betul. Tadi saya sudah baca, makanya saya sampaikan tadi.
89.
PIHAK TERKAIT: ZAINAL ARIFIN HOESIN (MUI) Oh, ya.
90.
KETUA: ANWAR USMAN Tapi jadwalnya belum ini, gantianlah. Nah, kalau begitu, Komnas Perempuan biar diselesaikan dulu, ya. Untuk sidang yang berikutnya (…)
91.
KUASA HUKUM PIHAK PEREMPUAN)
TERKAIT: NAILA RIZKI (KOMNAS
Terima kasih, Yang Mulia. 92.
KETUA: ANWAR USMAN Dari LBH, ya? Siapa? Dari LBH, ya? Silakan.
93.
PIHAK TERKAIT: CHAIRUL N. Dari Yayasan Peduli Sahabat, Yang Mulia.
94.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya. Silakan.
50
95.
PIHAK TERKAIT: CHAIRUL N. Mohon izin, Yang Mulia.
96.
KETUA: ANWAR USMAN Ya.
97.
PIHAK TERKAIT: CHAIRUL N. ahli?
98.
Kepada kita katanya juga diberi kesempatan untuk menghadirkan
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya semua. Nanti, ya.
99.
PIHAK TERKAIT: CHAIRUL N. Kita ada tiga orang ahli yang sudah kita siapkan, Yang Mulia.
100. KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Untuk sidang berikutnya. Jadi, ini kita tuntaskan. 101. PIHAK TERKAIT: CHAIRUL N. Terima kasih, Yang Mulia. 102. KETUA: ANWAR USMAN He eh, baik. Ya, yang belum menyampaikan, atau mengajukan ahli, atau saksi, silakan saja, ya. Jadi, begitu untuk Pihak Terkait Komnas Perempuan, sidang berikutnya, ya. Ahlinya … ya karena ini memang kalau untuk mendalami masalah yang terkait dengan masalah seperti ini, ini itu memakan waktu. Mungkin tiga dulu, ya untuk sidang berikut. Baik dan pada kepada ini Para Ahli, Prof., terima kasih atas keterangannya yang luar biasa untuk menjernihkan persidangan ini, ya. Dan untuk Pemohon, begitu ya. Sidang ditunda tanggal 17 Oktober 2016. Sekali lagi Senin, 17 Oktober 2016, jam 11.00 WIB, ya. Kuasa Presiden, ya. Ya, baik. Sudah tidak ada lagi ya? Ya, baik.
51
Dengan demikian sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.00 WIB Jakarta, 4 Oktober 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
52