Lex Privatum Vol. IV/No. 8/Okt-Nov/2016 EKSPLOITASI ANAK SEBAGAI KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA1 Oleh : Harry A. G. Tendean2 ABSTRAK Peneliti ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan keputusan-keputusan pengadilan (yurisprudensi) serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistimatika, dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisanya kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang mempengaruhi eksploitasi anak dalam kejahatan perdagangan manusia dan bentuk perlindungan hukum hak asasi manusia terhadap anak dalam kejahatan perdagangan manusia, sehingga bentuk perlindungan hukum hak asasi manusia terhadap anak korban perdagangan manusia atas trafficking, kekerasan, perkosaan, penculikan, prostitusi, eksploitasi dalam KUHP memberi perlindungan secara abstrak/perlindungan tidak langsung terutama perlindungan kekerasan seksual (Pasal 281, 289, 290, 294 dan Pasal 295. Kata kunci : eksploitasi, anak, kejahatan, perdagangan, hukum hak asasi manusia PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu: Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasa, penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan,
penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau penjeratan uang atau manfaat, sehingga dapat memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan antarnegara maupun di dalam Negara, demi untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan, pelacuran, atau praktik serupa perbudakan, kerja atau pelayanan paksa, pemanfaatan fisik, penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksusl, atau secara melawan hukum. Mentransplantasi atau memindahkan organ dan/atau jaringan tubuh, atau kemampuan seseorang atau tenaga seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun immaterial.3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Perlindungan non diskriminasi, perlakuan eksploitasi, penelantaran merupakan hak asasi anak sehingga harus dipenuhi, dihargai dan dilindungi, baik keluarga, masyarakat pemerintah kabupaten/kota, maupun negara. Selain sebagai pemenuhan hak asasi anak, perlindungan ini untuk mengayomi anak-anak dalam mewujudkan kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.4 Adanya pekerja anak merupakan wujud pelanggaran terhadap hak asasianak, sebab hal itu akan berdampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun jiwa. Anak yang mendapatkan perlindungan hukum dari eksploitasi dan penelantaran serta mendapatkan hak-hak lainnya untuk tumbuh kembang yang optimal akan menjadi manusia yang berkualitas secara fisik, mental, emosional maupun spiritual. Pertanggungjawaban orang 3
1
Artikel Tesis. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. J. Ronald Mawuntu, SH. MH; Dr. Jemmy Sondakh, SH. MH 2 Mahasiswa pada Pascasarjana Unsrat.
34
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. 4 Darwin Prinst, 2006, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 40
Lex Privatum Vol. IV/No. 8/Okt-Nov/2016 tua, keluarga dan masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara seimbang dan berkelanjutan demi terlindunginya hak-hak anak. Kegiatan itu harus terarah dan berkelanjutan guna memberikan jaminan pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Fenomena perdagangan manusia saat ini kian marak terjadi di Indonesia khususnya sehingga menjadikan negara kita ini menjadi sorotan berbagai lembaga Internasional. Data yang dirilis International Organization for Migration (IOM) Indonesia tahun 2011, Indonesia menempati peringkat teratas dengan jumlah 3.943 korban perdagangan manusia.5 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan Trafficking sebagai:Perekrutan, pengiriman, pemindahan/penampungan, atau penerimaan seseorang,dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.6 Upaya pencegahan kasus trafficking perlu upaya yang terpadu dari berbagai pihak baik pemerintah, orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pihak-pihak lainnya. Adapun upaya yang dapat dilakukan adalah sbb: 1. Menciptakan lapangan kerja guna menampung para pencari kerja, baik sektor formal maupun non formal. 2. Memberikan pendidikan kewirausahaan kepada para pencari kerja sehingga diharapkan terbentuk para wirausaha yang dapat membangun usaha bagi dirinya sendiri dan sekaligus membuka lapangan kerja bagi orang lain disekitarnya. 3. Memberikan pengarahan kepada masyarakat terutama para pencari kerja tentang berbagai modus yang biasanya dipakai sebagai trik untuk mendapatkan 5
Kompas, 26 Agustus 2011 Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan/Lintas Batas Negara), hlm. 132 6
korban dari kasus perdagangan manusia ini sehingga diharapkan mereka tidak begitu saja tergiur oleh ajakan bekerja dari pihak tertentu. 4. Fungsi penegakan hukum yang harus lebih dipertegas bagi pelaku trafficking baik pelaku perorangan maupun pelaku dari sebuah sindikatperdagangan manusia.7 Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah terjadinya praktek perdagangan manusia. Secara normatif, aturan hukum telah diciptakan guna mencegah dan mengatasiperdagangan manusia. Akan tetapi perdagangan manusia masih tetap berlangsung khususnya yang berkaitan dengan anak-anak. Permasalahan yang berkaitan dengan anak tidak lepas dari perhatian masyarakat internasional. Isu-isu seperti tenaga kerja anak. perdagangan anak dan pornografi anak merupakan masalah yang dikategorikan sebagai eksploitasi. B. Perumusan Masalah 1. Faktor apakah yang mempengaruhi eksploitasi anak dalam kejahatan perdagangan manusia? 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum hak asasi manusia terhadap anak dalam kejahatan perdagangan manusia? Metode Penelitian Metode penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan (yurisprudensi) serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat.8 Sebagai obyek penelitian eksploitasi anak sebagai kejahatan perdagangan manusia perspektif hukum hak asasi manusia. Penelitian tesis ini memakai metode penelitian hukum normatif, sebagaimana dikemukakan oleh Soejono Soekamto dan Sri 7
Abdul Rachmad Budiono, Op-cit, hlm. 38. Abdullah Sulaiman,2012,Metode Penulisan Ilmu Hukum, PPSDM, Jakarta,hlm. 25. 8
35
Lex Privatum Vol. IV/No. 8/Okt-Nov/2016 Mamuji yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut menyakup asas-asas hukum. Hasil Penelitian Dan Pembahasan A. Pengaruh Eksploitasi Anak Dalam Perdagangan Manusia. Laporan trafficking perdagangan manusia (TIP) yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat tahun 2005, ada 14 negara yang dianggap tidak berupaya untuk memberantas trafficking (TIER 3). Keempat belas negara itu adalah Bolivia, Ekuador, Qatar, Uni Emirat Arab, Myanmar, Jamaika, Arab Saudi, Venezuela, Kamboja, Kuwait, Sudan, Kuba, Korea Utara, dan Togo. Negara-negara itu dituduh tidak berupaya keras mencegah prostitusi, menggunakan anak-anak di bawah umur untuk prostitusi, dan bekerja di pabrik-pabrik.9 Perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial terhadap anak terus mengalami peningkatan. Anak-anak dijadikan komoditas perdagangan dan objek seks orang dewasa sehingga banyak anak kehilangan masa depannya. Semakin meningkatnya jumlah kasus perdagangan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran, upaya penanggulangannya tidak hanya cukup dengan memberi sanksi (hukuman) yang tegas bagi para pelakunya, tetapi harus mengetahui sebab-sebab atau faktor-faktor terjadinya perdagangan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran sebagai berikut: 1. Faktor individual Setiap individu pada dasarnya telah pernah menjadi korban dari satu atau lebih bentuk kekerasan ataupun eksploitasi, karena manusia pada dasarnya makhluk sosial, makhluk yang selalu berada dalam berbagai interaksi dan relasi dengan individu-individu yang lain dan dibesarkan dalam suatu kelompok atau golongan sosial tertentu dan dengan pola budaya tertentu pula. Setiap orang memiliki kepribadian dan karakteristik tingkah laku yang berbeda satu sama lainnya. Kepribadian seseorang ini dapat dilihat dari tingkah laku seseorang di dalam pergaulannya di tengah 9
Media Indonesia, Kemiskinan Menjadi Perdagangan Anak, Sabtu, 20 Mei 2005.
36
Pemicu
masyarakat. Seseorang yang tingkah lakunya baik akan mengakibatkan orang tersebut mendapat penghargaan dari masyarakat. Akan tetapi sebaliknya jika seseorang bertingkah laku tidak baik maka orang itu akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.10 2. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi adalah pendorong terjadinya kejahatan sekaligus dapat menjadikan seseorang itu korban kejahatan itu sendiri, karena adanya tekanan ekonomi maka sebagian anak dijadikan pelacur. Dijadikannya anak sebagai pelacur maka dapat menghasilkan keuntungan yang besar sehingga kebutuhan yang diinginkan terpenuhi.11 Di samping itu, minimnya lapangan pekerjaan bagi orang tua ataupun orang lain sehingga untuk memenuhi hidup keluarga, para orang tua dengan sangat mudahnya menjual anak kepada para trafficker sehinggaakan mendapatkan keuntungan dari perbuatan tersebut tanpa memikirkan lagi kelangsungan hidup dan masa depan anak itu sendiri. Dengan demikian, karena keadaan yang tidak memuaskan bagi keluarga ataupun dalam memenuhi kebutuhan keluarga itu dijerat hutang yang begitu besar sehingga faktor ekonomi inilah yang menyebabkan meningkatnya perdagangan terhadap anak yang dijadikan pelacur. 3. Faktor Keluarga Keluarga mempunyai peranan yang cukup besar dalam menentukan pola tingkah laku anak sekaligus bagi perkembangan anak, karena tidakseorang pun dilahirkan langsung mempunyai sifat yang jahat tetapi keluargalah yang mempunyai sumber pertama yang mempengaruhi perkembangan anak.12 Di dalam keluarga, pembinaan terhadap anak haruslah sebaik mungkin dilakukan. Akibat kurangnya pemahaman keluarga terhadap anak sehingga anak tersebut mudah terpengaruh pada lingkungan di sekelilingnya, tanpa menggunakan nalarnya secara baik akan tetapi 10
Francis T. Miko, Perdagangan Wanita dan Anak-Anak, Artikel, Progressia, Jakarta, hlm. 3-12 11 Andi Hamzah, 1999, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 59 12 Sulaiman Zuhdi Manik at.all. Op-cit, hlm. 37
Lex Privatum Vol. IV/No. 8/Okt-Nov/2016 emosi yang dimiliki anak itu sangat berperan dan dengan mudahnya terikat pada tawaran pekerjaan dengan diimingi gaji yang besar. Di samping itu, ketidaktahuan dari orang tua dan keluarga tentang hak-hak yang harus dilindungi, sehingga dalam keluarga itu juga sering terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak itu sendiri tentang cara-cara mendidik anak yang baik. Hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua membuat anak melarikan diri dari keluarga dan mencari pelampiasan kepada teman-temannya, merupakan faktor yang sangat penting bagi kejiwaan anak tersebut, apabila terjadi perubahan kondisi rumah tangga seperti perceraian, sehingga membuat anak mengalami “broken home”. Faktor lain di dalam keluarga yang dapat mendorong anak menjadi korban perdagangan untuk prostitusi atau pelacuran adalah penerapan disiplin di dalam keluarga itu sendiri. 4. Faktor Pendidikan Salah satu penyebab terjadinya perdagangan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran adalah faktor pendidikan dari korban ataupun pelaku itu sendiri. Peranan pendidikan dari korban ataupun pelaku itu sendiri akan sangat berpengaruh menumbuhkan perilaku yang rasional dan menurunkan atau mengurangi bertindak secara irrasional.13 5. Faktor Kemiskinan Kemiskinan yang parah dan tidak tersedianya peluang jutaan orang Indonesia untuk bermigrasi, luar negeri.Biasanya negaranegara miskin berperan sebagai penyedia anakanak yang akan diperdagangkan sekaligus sebagai tempat transit sebelum mereka dikirim ke negara penerima. Sedangkan negara-negara yang relatif lebih kaya berperan sebagai tempat transit dan penerima anak-anak tersebut untuk dipekerjakan. Menurut hasil penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) tahun 2004, negara-negara di Asia Tenggara yang memiliki GDP per kapita tahun 2002 antara US$1.000–10.000 berperan sebagai pengirim. Negara-negara tersebut adalah Filipina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Sementara itu, negara-negara yang relatif lebih kaya di Asia Tenggara, seperti
Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia berperan, baik sebagaitempat transit maupun pasar penerima anak-anak yang diperdagangkan.14 6. Perkawinan Dini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun. Namun, dalam kenyataannya mereka yang belum berumur 16 tahun dengan izin dari orangtua atau pengadilan bahkan dengan cara menaikkan umur tetap dapat melangsungkan perkawinan. Perkawinan yang terlalu dini dapat menyebabkan tingginya perceraian dan kondisi ini, sangat rentan untuk terjadinya trafficking.Dengan bercerai maka perempuan harus menghidupi dirinya sendiri (bersama anak-anaknya) seta dengan keterbatasan pendidikan dan keterampilan mereka hanya me milik, sedikit: pilihan untuk kerja, terlebih lagi karena kemudaan mereka yang sering kali, tidak disiapkan secara emosi, ekonomi, dan sosial untuk hidup dan menghidupi diri sendiri. Perkawinan usia muda ini banyak mengundang masalah, karena perkawinan berisiko tinggi, terutama ketika diikuti dengan kehamilan. Secara sosial, anak perempuan yang menikah pada usia muda cenderung mengalami banyak kesulitan terutama bila mereka diceraikan oleh suami. Ketika seorang anak perempuan bercerai, ia kehilangan status haknya sebagai anak. Hal ini menghalanginya untuk memasuki sistem pendidikan formal apabila ia menginginkannya. Lebih buruk lagi adalah sejak iamenikah, seorang anak perempuan dianggap sebagai orang dewasa yangmandiri dan tidak lagi menjadi tanggungan orang tuanya. Apabila iabercerai dengan suaminya, orang tuanya tidak lagi bertanggung jawab untuk memberinya nafkah atau menanggung hidupnya. Akibatnya banyak anak perempuan yang telah dikembalikan oleh suaminya cenderung memberanikan diri pergi ke kota-kota besar untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik dan untuk bertahan hidup. Sayangnya anak perempuan itu tidak mempunyai keterampilan atau ijazah yang memungkinkan mendapatkan pekerjaan yang 14
13
Abdul Rachmad Budiono, Op Cit, hlm. 37
Media Indonesia, “Kemiskinan Menjadi Perdagangan Anak”, Sabtu, 2 Mei 2005
Pemicu
37
Lex Privatum Vol. IV/No. 8/Okt-Nov/2016 layak sehingga mereka akhirnya masuk ke lingkungan prostitusi atau pelacuran.15 7. Faktor Lingkungan Suatu kejahatan manusia di dalam hidupnya akan selalu berdampingan dengan masyarakat sekitar. Tidak ada manusia yang hidup tidak bergantung atau membutuhkan orang lain. Semua orang untuk memenuhi segala keperluannya harus selalu membutuhkan orang lain. Di dalam masyarakat, seorang itu harus mentaati segala peraturan yang hidup di dalam masyarakat termasuk juga norma hukum yang berlaku. Di tengah masyarakat itu pula terdapat orang-orang yang menghormati dan menaati hukum tersebut dan juga dikelilingi oleh mereka yang tidak mentaati hukum. 8. Faktor Lemahnya Penegakan Hukum Kasus-kasus perdagangan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran sekarang ini sudah pada tahap tingkatan yang mengkhawatirkan. Akan tetapi pemerintah dan masyarakat pada umumnya masih banyak yang menganggap persoalan perdagangan anak untuk prostitusi atau pelacuran merupakan masalah pelacuran biasa, bukan merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap manusia. Hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap masalah perdagangan anak sangat kurang di dalam masyarakat. Kurangnya pemahaman ini juga terjadi pada tingkat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan). Di samping lemahnya pemahaman tentang perdagangan anak ini, produk yang ada juga masih sangat minim dalam memberikan perhatian terhadap perdagangan anak ini untuk dilakukan.Perangkat hukum di Indonesia masih terlalu lemah dalam memberikan perhatian terhadap masalah perempuan dan anak ini, karena pengaturan yang bersifat global dan tidak spesifik mengatur tentang perdagangan perempuan dan anak ini, sehingga tidak menyentuh segmen perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran (trafficking on women and children), dan membawa akibat banyak kasus tidak
terselesaikan secara hukum dan adanya ketidakmampuan aparat hukum untuk membongkar dan memutus mata rantai perdagangan atau eksploitasi anak untuk tujuan pelacuran/prostitusi anak. B. Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Terhadap Anak Korban Perdagangan Manusia Dasar Pelaksanaan perlindungan anak adalah: a. Dasar Filosofis,Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak. b. Dasar Etis,pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak. c. Dasar Yuridis,pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1 945 dan berbagai peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundangundangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.16 Prinsip-prinsip Perlindungan Anak adalah: a. Anak tidak dapat berjuang sendiri; Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah: Anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hakhak anak. b. Kepentingan terbaik anak; Agar perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik, dianut prinsip yang 16
15
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak
38
Diedit dari makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Balige 12 Desember 2005,hlm. 261.
Lex Privatum Vol. IV/No. 8/Okt-Nov/2016 menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai prioritas tertinggi dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip ini digunakan karena dalam banyak hal anak “korban”, disebabkan ketidaktahuan anak, karena usia perkembangannya. Jika prinsip ini diabaikan, maka masyarakat menciptakan monster-monster yang lebih buruk di kemudian hari. c. Ancangan daur kehidupan; Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan anak harus dimulai sejak dim dan terus-menerus. Janin yang berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik melalui ibunya. Jika ia telah lahir, maka diperlukan air susu ibu (ASI) dan pelayanan kesehatan primer dengan memberikan pelayanan imunisasi dan lain-lain, sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan cacat dan penyakit. Masa-masa prasekolah dan sekolah, diperlukan keluarga, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial/keagamaan yang bermutu. Anak memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan norma-norma yang mengandung nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi martabat manusia dan menjamin HAM, berkembang terus sesuai dengan tuntutan hati nurani manusia. Menurut saya, HAM menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan, yang harus dihormati dan dijamin oleh hukum. Pada tahun 2014 pemerintah telah mengadakan perubahan dan penambah-an terhadapUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang telah berlaku sejak diundangkannnya, yaitu pada tanggal 17 Oktober 2014. Penambahan substansi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, di antaranya, penambahan definisi kekerasan, perlindungan hak-hak anak dari segala bentuk kekerasan di satuan pendidikan, pemenuhan hak anak untuk tetap bertemu dan berhubungan pribadi dengan kedua orang
tuanya setelahterjadi perceraian, larangan untuk memperlakukan anak secara diskriminatif dan segala bentuk kekerasan. Konvensi hak anak dapat dilihat bahwa, Hak anak merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan bagian integral dari instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Konvensi Hak Anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai hak-hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan unsur-unsur hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun. Bertitik tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif maka Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asasasas: 1. Asas Nondiskriminasi Asas nondiskriminasi adalah asas yang tidak membedakan, membatasi, atau mengucilkan anak, baik secara langsung maupun tidak ; langsung berdasarkan agama, suku, ras, status sosial, status ekonomi, budaya, ataupun jenis kelamin .yang dapat mempengaruhi pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. 2. Asas Kepentingan yang Terbaik bagi Anak Asas demi kepentingan terbaik anak adalah asas yang menekankan bahwa dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang di-lakukan oleh pemerintah, masyarakat, ataupun badan legislatif dan yudikatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. 3. Asas Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan. Asas yang mendasarkan pada hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah asas yang menekankan bahwa setiap anak mempunyai hak untuk hidup dengan aman, tenteram, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, serta berhak atas pemenuhan
39
Lex Privatum Vol. IV/No. 8/Okt-Nov/2016 kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak, danhak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang disebutkan oleh UUPA memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk itu, yaitu orang tua, masyarakat, dan pemerintah. 4. Asas Penghargaan terhadap Pandangan/Pendapat Anak Asas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak adalah asas yang memberikan hak kepada anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak, meliputi: 1. Hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya; 2. Hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekspresikan; 3. Hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung; dan 4. Hak untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat.17 Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak Indonesia dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan dipertegas. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 telah menambahkan definisi kekerasan yang sebelumnya tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Tujuan dibentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Anak adalah untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik, emosional, sosial dan seksual, penelantaran, tindakan membahayakan, eksploitasi: ekonomi, seksual, dan diskriminasi karena latar belakang ekonomi, politis, agama, sosial budaya, dan orang tuanya se-hingga hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi agar terwujud anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, dan sejahtera. C. Penutup 17
UU No. 35 Tahun 2014
40
1. Kesempulan. a. Kehidupan bermasyarakat tidak jarang terjadi benturan kepentingan dari berbagai pihak, dan penyimpangan terhadap norma-norma hukum yang hidup dan tumbuh berkembang yang timbul di tengah masyarakat, tidak terlepas pada kehidupan berkeluarga. Belakangan ini banyak terjadi kekerasan terhadap anak, diawali dari perdagangan anak (terutama) untuk tujuan eksploitasi berbagai pekerjaan salah satunya eksploitasi seksual komersial terhadap anak, terus mengalami peningkatan, berdampak anak kehilangan masa depannya, perdagangan anak (komersial) obyek seks, bertujuan prostitusi (pelacuran) hal mana disebabkan dari berbagai faktor antara lain : Faktor individu/ person; Faktor ekonomi, faktor keluarga, faktor pendidikan, faktor kemiskinan; faktor perkawinan dini, faktor lingkungan, faktor lemahnya penegakkan hukum. Faktor di atas merupakan pendukung kejahatan terhadap anak (perdagangan anak/trafficking). Tujuan prostitusi/pelacuran masyarakat tidak memahami betapa buruknya/naifnya akibat timbulnya korban perdagngan anak untuk tujuan prostitusi/pelacuran bisa jadi korbannya adalah keluarga, lingkungan masyarakat itu sendiri. b. Perlindungan terhadap anak sebagai anak binaan LP, ditempatkan dalam LP khusus untuk anak binaan baik tempat, perlakuan, penjagaan maupun pengawasannya, yang pengelolaannya pemerintah/negara berpegang kepada prinsip transparansi, akuntabel dan memperhatikan hak-hak sesuai hak asasi manusia. 2. Saran a. Sangat diharapkan kepada semua pihak, diawali dari individu/person, keluarga, pemerintah/negara hindarilah sedapat mungkin berbuat
Lex Privatum Vol. IV/No. 8/Okt-Nov/2016 kekerasan terhadap anak; apalagi sampai melakukan kejahatan yang berkenaan dengan penggelapan; membujuk dengan janji-janji yang berakibat merumuskan anak (diperdagangkan), dieksploitasi (dipekerjakan) sebagai pelacur, karena hal tersebut di atas dilarang bahkan merupakan kejahatan, pelanggaran hak asasi manusia. b. Sangat diharapkan kepada pemerintah/negara melindungi atas hak anak khususnya korban kekerasan; perdagangan anak, eksploitasi (pelacuran) sebagaimana diatur dalam instrumen karena perlindungan atas hak tersebut adalah hak asasi yang dimiliki oleh korban. Sangat diharapkan para penegak hukum, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya mampu menegakkan keadilan, secara profesional dan bertanggung jawab kepada publik dan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Mustafa dan Ruben Achmad, 1983, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Altson P., 1997, The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dalam Manual on Human Rights Reporting. Arief Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Bawengan Gerson,1977,Pengantar Psikologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta. Black Henry Cambell, 1979, Black’s Law Dictionary, West Publishing, Co, St. Paul. Blagbourgh, 2003, dalam Ruth Rosenberg (Ed.), Trafficking of Women and Children in Indonesia, Jakarta: ICMC. Budiono Abdul Rachmad, 2008, Hukum Pekerja Anak, Penerbit Universitas Negeri, Malang, Malang. Crause Catarina, 2001, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Oslo, Norwegia.
Hamzah Andi, 1999, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2000,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta. Sulaiman Abdullah,2012,Metode Penulisan Ilmu Hukum, PPSDM, Jakarta. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang Republik Indonesia. 2007, Perlindungan Saksi dan Korban, Penghapusan 'Kekerasan dalam Rumah Tangga. Perlindungan Anak, HakAsasi Manusia, Peradilan Anak, BP.Panca Usaha, Jakarta. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak Makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Balige 12 Desember 2005. Media Indonesia, “Kemiskinan Menjadi Pemicu Perdagangan Anak”, Sabtu, 2 Mei 2005. Protokol Opsional tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak, ditetapkan pada bulan Mei 2000
41