MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 34/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA KAMIS, 21 APRIL 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 34/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Hofni Simbiak 2. Robert D. Wanggai 3. Benyamin Wayangku ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Kamis, 21 April 2016, Pukul 15.07 – 15.59 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Manahan MP Sitompul 2) Wahiduddin Adams 3) Maria Farida Indrati Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Hofni Simbiak 2. Robert D. Wanggai 3. Benyamin Wayangkau B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Yance Salambauw 2. Aan Sukirman 3. Heru Widodo
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 15.07 WIB 1.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Sidang dalam perkara permohonan Nomor 34/PUU-XIV/2016, dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Kepada Pemohon, silakan dulu memperkenalkan siapa yang hadir pada hari ini, silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Assalamualaikum. wr. wb dan selamat siang. Pemohon dalam Perkara Nomor 34/PUU-XIV/2016, yang diajukan oleh Hofni Simbiak, Robert D. Wanggai, dan Benyamin Wayangkau, hadir di persidangan ini Para Kuasa Hukumnya, Yang Mulia. Berurutan dari sebelah kiri saya ada Rekan Yance Salambauw, sebelah kanan ada Aan Sukirman, dan saya sendiri Heru Widodo. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik, jadi yang hadir tiga orang Kuasa Hukumnya, ya. Nah kepada Kuasa Pemohon, kita sudah membaca sebenarnya permohonan dari ... permohonan dari Pemohon ini, namun agar Kuasa Pemohon membacakan secara singkat permohonannya agar kita nanti bisa mengerti dengan jelas isi permohonannya, dan selanjutnya nanti akan diberikan saran-saran oleh Majelis, untuk itu dipersilakan kepada Pemohon.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERU WIDODO Terima kasih, Yang Mulia. Sebelum kami sampaikan pokok-pokok permohonan, kami mohon izin ada renvoi di halaman 3, Yang Mulia. Di poin angka 4 ya, tertulis Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang seharusnya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Yang Mulia. Renvoinya hanya itu. Kemudian, perkenankan kami sampaikan pokok-pokok permohonan bahwa permohonan ini diajukan oleh tiga orang Pemohon, yang pertama Pemohon I, Hofni Simbiak, S.Th., pekerjaan Wakil Ketua 1 Majelis Rakyat Papua. Kemudian, Robert D. Wanggai selaku Pemohon II, pekerjaan Anggota Majelis Rakyat Papua, dan Pemohon III atas nama 1
Benyamin Wayangkau, S.E., pekerjaan wiraswasta. Ketiganya tinggal di Jayapura Provinsi Papua. Dengan alamat sebagaimana rinci dalam permohonan. Kemudian Yang Mulia, beberapa hal yang perlu kami kemukakan kepada ke hadapan Majelis Hakim Yang Mulia. Pertama mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi bahwa permohonan ini adalah untuk melakukan pengujian Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan juga Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, juga ditegaskan dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kemudian juga di dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001, maka menurut hemat Pemohon, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk memeriksa, dan mengadili permohonan ini. Kemudian mengenai legal standing atau kedudukan hukum Para Pemohon, sebagaimana kami kemukakan di dalam permohonan bahwa Para Pemohon adalah selaku perorangan warga negara Indonesia asli Papua, yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya potensial pasti dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal undang-undang yang diuji karena yang pertama sebagai perorangan warga negara Indonesia yang asli Papua, lahir dan besar di tanah adat Papua, sebagai provinsi dengan otonomi khusus, namun hak-haknya untuk bersaing maju mencalonkan diri menjadi Bupati atau Wakil Bupati, serta Walikota atau Wakil Walikota di wilayah Provinsi Papua tidak mendapat kekhususan sebagaimana hak untuk maju mencalonkan diri menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur Papua yang harus orang asli Papua. Kemudian, alasan berikutnya keberadan pasal yang diuji merugikan Para Pemohon atau setidak-tidaknya berpotensi merugikan karena membeda-bedakan persyaratan untuk menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota dengan tingkat provinsi serta berpotensi mempersempit daya saing Para Pemohon yang diakibatkan oleh adanya aturan dalam pasal yang diuji tentang dapat dipilh menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua. Sedangkan tujuan dari pemberlakuan UndangUndang Otonomi Khusus tidak lain untuk menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama, keberadaan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota serta perangkat di bawahnya semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Dengan demikian, maka Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum dan kerugian konstitusional atau setidak-tidaknya potensial pasti 2
menderita kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian undang-undang ini. Kemudian yang ketiga, Yang Mulia. Poin tentang alasan Pemohon mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Di dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Otsus diatur bahwa yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat. a. Orang asli Papua. b. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan seterusnya c sampai dengan huruf g. Adanya pembatasan tentang penentuan syarat menjadi kepala daerah di Papua yang harus orang Papua asli merupakan amanat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, yang menetapkan perlunya pemberian status otonomi khusus kepada provinsi Irian Jaya. Bahwa otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan. Undang-Undang Otsus Papua ... Undang-Undang Otsus maksud kami adalah menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua sebagai subjek utama. Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan produk politik dalam rangka untuk menjaga integritas nasional sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan derajat hidup dan mensejahterakan masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua secara berkeadilan dan berkemanusiaan. Namun, Yang Mulia, pada kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sejak diberlakukannya undang-undang tersebut, belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Provinsi Papua khususnya masyarakat Papua. Kecenderungan yang memprihatinkan pada saat ini nampak pula dalam hal rekrutmen politik dalam rangka pencalonan dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di Provinsi Papua. Partai politik dalam hal perekrutan bakal calon pasangan baik bupati dan wakil bupati serta wakil walikota ... walikota dan wakil walikota tidak memprioritaskan orang asli Papua, 3
namun yang terjadi adalah sebaliknya, yakni yang menjadi calon prioritas adalah orang non Papua. Orang asli Papua diposisikan hanya sebagai calon cadangan yang ikut meramaikan pesta demokrasi pemilihan dan hanya sebagai pendulang suara pemilih. Pemohon menyampaikan contoh perbandingan mengenai kenyataan dalam aspek sosial politik representasi orang asli Papua sangat rendah dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Di mana representasi orang asli Papua dalam lembaga legislatif dengan perbandingan rata-rata antara 30 sampai dengan ... 30 berbanding 70%. Yang Mulia, pengutamaan orang asli Papua dalam konteks pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Papua sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana tersirat dalam bagian penjelasan umum yang menyatakan bahwa undang-undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Keberadaan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota serta perangkat di bawahnya semuanya diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Adanya perlakuan khusus bagi orang asli Papua secara konstitusional dapat dibenarkan. Bahwa realita masyarakat Indonesia, Yang Mulia, menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Perbedaan kemampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri atau kelompok tertentu, namun karena struktur sosial yang berkembang cenderung meminggirkannya. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut dengan sendirinya akan mempertahankan bahkan memperjauh perbedaan tersebut. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama perlu diberlakukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hal ini karena hanya dengan perlakuan khusus tersebut, maka dapat tercapai persamaan perlakuan dalam perlindungan hak konstitusional setiap warga negara. Tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan afirmatif action bertujuan untuk mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang kebanyakan sudah jauh lebih maju bukan merupakan pengertian diskriminatif. Kemudian, Yang Mulia. Dalam rangka memberikan tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan, ketentuan dalam norma yang diuji dalam Pasal 12 Undang-Undang Otsus hanya mengatur syarat untuk dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur sebagai pimpinan 4
pemerintah provinsi adalah orang asli Papua. Sedangkan untuk pimpinan pemerintah kabupaten/kota tidak diatur demikian, sehingga persyaratan untuk menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota di Provinsi Papua tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015. Dengan pemberlakuan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang tidak secara khusus mensyarakatkan orang Papua asli, maka kiprah orang asli Papua dan penduduk Papua sebagai subyek utama dalam menjalankan pemerintahan kabupaten/kota menjadi berpotensi terhalang, kalah bersaing, dan tidak mendapat kekhususan mengingat setiap warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai pasangan calon dapat mengikuti pemilihan pimpinan tingkat kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat. Yang Mulia, dengan dibukanya pintu persaingan secara terbuka tersebut tidak selaras dengan tujuan pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang semakin menjauhkan dari maksud awal untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua yang juga bertentangan dengan norma Pasal 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Guna memberikan pengakuan serta penghormatan atas satuan pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat yang bersifat khusus dan istimewa, maka selain untuk jabatan gubernur dan wakil gubernur sebagai pimpinan tingkat provinsi seharusnya, Yang Mulia, untuk jabatan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota sebagai pimpinan tingkat kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat juga diberlakukan persyaratan yang sama, yakni harus orang asli Papua. Atas dasar argumentasi sebagaimana Pemohon kemukakan, maka beralasan hukum bagi Para Pemohon untuk meminta kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan ketentuan dalam Pasal 12 Undang-Undang Otsus adalah konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. Orang asli Papua. b. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. c. Dan seterusnya sampai dengan huruf h. Berdasarkan argumentasi dan alasan yang dikemukakan Para Pemohon memohon kepada Yang Mulia dalam permohonan pemeriksaan, prioritas pemeriksaan sebelum dimulainya tahapan pendaftaran bakal pasangan calon untuk pemilihan serentak Februari 2017. Yang Mulia. Bahwa tujuan Para Pemohon sebagai orang asli Papua mengajukan permohonan ini adalah agar dapat ikut serta dalam 5
pemilihan kabupaten/kota dalam suasana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat tahun 2017 secara serentak. Pelaksanaan pemilihan tahap kedua secara serentak meskipun itu berlangsung Februari 2017, namun KPU telah menetapkan tahapan pendaftaran pasangan calon perseorangan mulai bulan Juni 2016. Agar supaya hak konstitusional Para Pemohon dan juga warga negara Indonesia yang berstatus orang asli Papua lainnya yang juga berpotensi dipersempit ruang pencalonannya dengan berlakunya pasal yang dimohonkan dalam pengujian ini tidak hilang, maka beralasan menurut hukum bagi Pemohon untuk dengan segala kerendahan hati memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk berkenan memberikan prioritas dalam pemeriksaan perkara a quo. Terakhir, dalam petitum, kami memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan. 1. Mengabulkan permohonan pengujian Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan seterusnya terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 2. Menyatakan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan seterusnya konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan Wakil Walikota adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. Orang asli Papua. b. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. c. Dan seterusnya sampai dengan huruf h. 3. Memerintahkan penguatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Sebagai penutup, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Hormat kami, Kuasa Hukum Para Pemohon. Demikian Yang Mulia, pokok-pokok permohonan yang sudah coba kami uraikan, selanjutnya kami mohon saran-saran untuk perbaikan, terima kasih. 5.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik. Kita sudah mendengarkan apa yang telah disampaikan oleh Kuasa Pemohon. Untuk selanjutnya Majelis akan nanti memberikan saran-saran, ya. Ini kami persilakan, Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams, pertama.
6
6.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, terima kasih, Yang Mulia Ketua Majelis. Pada kesempatan untuk memberikan saran atau nasihat, ya, saya ingin nanti untuk di dalam posita dan pokok permohonan ini betul dipertajam. Pertama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, ini kan dulu sama sejajar dengan Nomor 19 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Khusus Nangroe Aceh Darussalam, ya, dan ini Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Undang-undang ini sudah berjalan, nanti coba dikritisi, diurai, dan sekarang sudah berusia 15 tahun dan pelaksanaan terkait kepala daerah, ini juga sudah berjalan. Tadi disinggung disampaikan oleh, Mas Heru. Bahwa terjadi tidak seperti yang diharapkan, dimana maksud otonomi khusus ini adalah untuk lebih memberikan kemajuan di bidang ekonomi dan sosial budaya masyarakat Papua. Ini coba nanti diuraikan lebih lengkap apa yang disampaikan tadi, diberi kuantifikasi begitu. Dari pemilihan-pemilihan itu, ya, gubernur … kalau gubernur, wakil gubernur jelas, kan, sudah di undang-undang ini adalah orang Papua asli. Tapi yang di kabupaten/kota itu bagaimana? Apa posisi kenyataannya yang selama ini dan bahkan, ya, memang ini tidak terkait dengan Papua Barat, ya, itu bisa disinggung juga Papua Barat bagaimana kondisinya. Nah, kenapa? Karena undang-undang ini memang mengatur lingkup provinsi, lihat saja itu apa … arsitektur perundang-undangannya. Pertama, dia mengatur tentang gubernur dan wakil, tentang kepolisian yang di sana harus ada … Kapolda itu harus ada persetujuan gubernur. Kemudian untuk DPR-nya, kan, DPRP. Tapi ketika kabupaten, kembali jadi DPRD karena dia akan diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Kemudian peraturannya, kan ada Perdasus dan itu hanya untuk peraturan provinsi, sehingga partner-nya adalah Perdasi (peraturan daerah provinsi). Ketika kabupaten/kota, dia kembali kepada tata urutan peraturan perundang-undangan, Perda biasa, tidak ada Perdasus di kabupaten/kota, tidak ada. Di DPR kabupatennya DPRD, tidak DPRP atau DPR daerah Papua. Nah, ini jadi kalalu dilihat, itu semua yang diatur di undangundang ini memang ini untuk provinsi. Nah, oleh sebab itu, yang didorong di sana yang orang harus Papua asli, itu kan kelembagaannya pertama gubernur, wakil gubernur orang Papua asli. Yang kedua MRPnya (Majelis Rakyat Papua) dimana itu represati kultural dan itu harus orang Inbdonesia asli … orang Papua asli, disebutkan di sana untuk MRP. MRP ini kan berperan memberikan pertimbangan dalam hal termasuk apa … memberi persetujuan terhadap perdasus, ya, betapa pentingnya ini. Dan dari 42 anggota itu, kan, ada 1/3 … 13-nya unsur tokoh agama, kemudian 13 unsur tokoh adat, 13 unsur perempuan. Nah, memang ini pada provinsi yang dijaga harus tetap Papua asli. Adapun kabupaten/kota, ini ada di realitas di kabupaten itu 7
konstruksinya, ya. Nah, ini coba diurai supaya nanti tidak salah tempat, ya. Nah, sehingga ketika terkait dengan apa … bupati, walikotanya, ini dia ikut di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, di ketentuan peralihan undang-undang itu disebutkan bahwa apa … ketentuan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 berlaku bagi penyelenggara pemilihan di Provinsi Aceh, Daerah Khusus Ibukota, DI Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat, kecuali ditentukan lain. Nah, demikian juga lihat itu syarat di apa … pejabat pimpinan daerah. Kalau di undang-undang lain, syaratnya kan SMA, eh salah, di sini syaratnya sarjana. Nah, di … apakah nanti … yang diajukan juga untuk syarat apa bupati, walikota juga sarjana sementara di tempat lain itu cukup SLA? Nah, ini sebetulnya ingin memicu atau memacu kemajuan lebih tinggi tapi pada tingkat apa … provinsinya itu yang memang ini otonomi khususnya. Jadi, otonomi khususnya pada provinsi, bukan pada kabupaten/kotanya. Sehingga ini nanti supaya pas, sehingga kalau mau dikatakan ya, kalau mau memasukkan itu ya di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015-nya, di Pasal 7 itu, khusus untuk di mana … untuk di Papua itu, tidak di sininya karena konstruksi undang-undang itu sedikit sekali menyinggung tentang apa … DPR dan masalah bupati, walikota. Sehingga yang diatur dalam undang-undang ini dibentuk susunan pemerintahan itu pertama badan legislasi yang diatur hanya DPRP, tidak saja DPRD diatur. Badan eksekutifnya itu gubernur, syarat-syaratnya, tugas, wewenangnya, masa jabatannya. MRP juga begitu, tugasnya, perangkat kepegawaiannya, peraturannya bukan perdasus, perdasi, pergub. Mengenai perda, tidak diatur di sini, jadi memang begitu. Kemudian, kepolisian daerah, kepolisian daerah provinsi ya harus ada persetujuan dari gubernur, peran gubernur, pengangkatan kapoldanya. Kemudian, kekuasaan kehakimannya, kan di sana ada boleh hakimhakim adat, bahkan sudah ada perdasusnya. Jadi, ini supaya nanti tidak salah tempat mengajukannya, walaupun konstitusional bersyaratnya itu di apa … Pasal 12, ya. Sebab ketika aturan yang lain dia tidak ada di dalam Undang-Undang Otsus itu, dia kembali kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Misalnya, terkait dengan bupati, walikota, semuanya tidak ada di undang-undang ini, bupati, walikota di Papua itu tidak ada satu pun diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus, semuanya kembali ke Undang-Undang tentang Pilkada, sejak dulu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2006 itu, ya, tidak ada, semuanya di sana jadi. Sehingga kalau lihat ininya, kalaupun memang gagasan seperti ini diajukan, itu akan lebih kena tadi oleh Mas Heru itu Pasal 7 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 itu, memang mengkhususkannya itu, tidak di sini. Tapi ini sekadar ini saja, coba dibedah itu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini, ininya provinsi, mengatur badan legislasi di provinsi, badan eksekutif disebut di sini di provinsi, tidak diaturnya bagaimana
8
bupati, walikota syaratnya tidak diatur di sini karena dia akan tunduk kepada peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah itu, ya. Kemudian, yang terakhir ini mungkin perbaikan, ya, Mas Heru, halaman 15 itu kok apa … angka 2 itu menyatakan Pasal 12 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 … ya, mungkin kalau pun ini tetap di … ini kan sama dengan konstruksi di atas, kan, menyatakan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21, kan ya. Saya itu saja untuk kalau supaya di positanya di … nanti uraikan demikian mendalam, tajam karena latar belakang dari undang-undang ini dan bisa dibaca di memorie van toelichting pembahasan di DPR ketika menyusun UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 ini tentang otonomi khusus ini, kan ini belum pernah diubah, hanya diubah tahun 2008 karena keterkaitan dengan Provinsi Papua Barat kan, yang ingin sama-sama otonomi khusus, sehingga tidak perlu Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Barat dan MRP-nya kan langsung dibuat, padahal tadinya MRP Papua itu juga ya mewakili Papua Barat tadinya, kan. Nah, tapi dengan Provinsi Papua Barat, dibikin lagi di sana MRP-nya 42 orang lagi, gitu ya, ya. Baik, terima kasih, Pak. 7.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Terima kasih, Yang Mulia Dr. Wahiduddin Adams. Akan kami beri kesempatan kepada Yang Mulia Ibu Prof. Maria. Saya persilakan.
8.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih, Pak Ketua. Menarik sekali permohonan ini, ya. Tapi seperti tadi dinyatakan oleh Yang Mulia Pak Wahiduddin, kalau dulu dikatakan bahwa yang gubernur dan wakil gubernur memang orang asli Papua. Nah, sekarang hak konstitusional apa yang terlanggar oleh Undang-Undang Papua ini atau undang-undang dimohonkan pengujian ini terhadap orang-orang asli Papua yang mau mendaftarkan sebagai calon bupati dan wakil bupati atau calon walikota dan wakil walikota. Hak konstitusional apa yang terlanggar? Ya, kan. Kalau undang-undang ini Pasal 12 hanya mengatakan yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat orang asli Papua. Tapi sekarang permasalahannya adalah bahwa orang asli Papua ini mohon supaya tidak gubernur dan wakil gubernur, tapi juga bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, ya. Nah, untuk gubernur, Pasal 12 ini. Tapi kalau seandainya sekarang orang asli Papua akan menjadi walikota dan wakil walikota, bupati dan wakil bupati tidak boleh atau boleh, gitu ya. Jadi, 9
konstitusionalnya adalah boleh tidak sekarang ini dengan undangundang yang ada baik Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Undang-Undang Pemilu itu orang asli Papua tidak boleh. Kalau orang asli Papua tidak boleh menjadi bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota, maka hak konstitusionalnya memang terlanggar, ya. Tapi ini kita bisa lihat di sini memang tadi dikatakan kekhususannya memang pada provinsi. Nah, saya melihat lagi kalau Anda melihat pada halaman 7, sebetulnya yang diinginkan otonomi khusus Papua itu bagaimana? Nomor 3, ya. Bahwa adanya pembatasan tentang penentuan syarat menjadi kepala daerah di Papua yang harus orang Papua asli merupakan amanat dari Majelis Musyawarah Rakyat (MPR RI) yang menetapakan perlunya pemberian status otonomi khusus kepada Provinsi Irian Jaya, seperti dalam TAP MPR Nomor 4 MPR Tahun 1999 tentang GBHN, dan kemudian TAP 4 MPR Tahun 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dan Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jadi, di sini adalah perlunya pemberian status otonomi khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Kalau Anda melihat lagi pada halaman 8, angka 8A, di sini dikatakan bahwa pada garis besarnya mengatur empat hal untuk otonomi khusus Papua ini. Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah Provinsi Papua, serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan. Jadi, kekhususannya memang pada provinsi, tidak pada kabupaten/kota dan wakil … bupati dan wakil bupati nantinya. Oleh karena kalau ini diikuti seperti ini, nanti di Yogyakarta juga meminta bahwa kalau gubernur dan wakil gubernurnya sekarang adalah sultan dan paku alam, nanti bupati dan wakil bupatinya juga harus keturunan mereka, gitu. Apa, ya? Padahal mereka, semua orang bisa selain hanya gubernur dan wakil gubernur saja. Nah, ini juga terlihat lagi, misalnya nomor 10 ya, dalil Anda nomor 10, halaman 9. Bahwa Undang-Undang Khusus Papua tersebut menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Orang Papua yang asli Papua. Tapi penduduk Papua adalah juga orang asli Papua dan orang yang lain. Nah, jadi dari legal standing-nya tidak mungkin ini masuk karena tidak ada yang hilang, orang asli Papua tetap bisa masuk. Dan yang ini lebih jelas lagi di dalam halaman 10 ya bahwa kemu … nomor 15. Bahwa pengutamaan orang asli Papua dalam konteks pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota di Provinsi Papua sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 dan seterusnya, dalam penjelasan umumnya menyatakan undang-undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Keberadaan pemerintah provinsi, pemerintah kota, serta
10
perangkat di bawahnya semuanya diharapkan untuk memberikan pelayanan terbaik pada pemberdayaan rakyat. Di sini selalu dikatakan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya. Jadi enggak ada hak konstitusional Pemohon yang terkesampingkan karena dia tetap bisa untuk mengajukan permohonan ini, dan kalau misalnya permohonan ini dikabulkan menurut saya, ya, bukan menurut, menurut saya ini sudah melampaui kewenangan yang diberikan oleh MPR karena TAP MPR yang mengatakan otonomi khusus untuk Provinsi Papua. Nah, otonomi khusus itu yang utama adalah adanya MRP, perdasus, dan perdasi, dan juga bagaimana syarat-syarat gubernurnya, dan yang lainnya. Tapi untuk daerah provinsi … di bawah provinsi walikota dan itu tentunya dengan undang-undang yang lain. Karena kalau semua dikhususkan, nanti di Papua yang boleh hanya orang Papua sendiri pemimpinnya, gitu kan. Nah, ini nanti ada raja-raja kecil nanti di daerah. Ya, saya rasa dari legal standing, saya mengatakan kalau legal standing-nya enggak mungkin masuk karena dia tetap bisa mencalonkan. Bahwa adanya persaingan memang ya, biasanya orang mengatakan bahwa pendatang itu semua yang jadi pimpinan, begitu, bagaimana masyarakat Papua asli mencoba untuk meraih hal itu. Tentunya tidak otomatis langsung harus dengan mengubah pasal ini, tapi bagaimana masyarakat asli Papua berusaha untuk mencapai itu. Ya, saya rasa itu. 9.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Terima kasih, Yang Mulia. Saya hanya menambahkan bahwa tadi sudah dikemukakan tentang otonomi khusus fokusnya itu adalah provinsi, itu tadi ya, penjelasannya yang dijelaskan oleh kedua ... kebetulan ini Ibu dan Bapak ini ahli-ahli perundang-undangan ini teori dan praktiknya, ya. Saya hanya mau menambahkan penyebutan tentang peraturan yang diuji ini saya lihat agak sedikit mengganggu, ya, baik di hal itu, coba dicermati dulu, diikuti saja judul daripada undang-undang itu yang sudah dibuat jadi bukti di sini karena saya baca begini, “Permohonan Pengujian Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua Lembaran Negara, ini sudah betul sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan,” nah di sini mulai ada sedikit nanti harus diubah ini, “Tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang,” nah ini langsung, ya, “Tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang,” nah itu langsung ke perubahan, jangan lagi ada ini, peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu tadi sudah ke atas itu. Jadi, “Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi 11
Khusus bagi Provinsi Papua menjadi,” nah ada tambahannya, “Menjadi undang-undang,” judul undang-undangnya kan begitu kan? Di undangundang ... perpu-nya pun seperti itu supaya nanti … apa namanya ... penyebutan peraturan itu juga penting lho. Nah, terus itu di petitumnya juga sama, ya, supaya diperjelas itu di petitumnya nanti juga seperti itu. Nah, kemudian tadi sudah disinggung oleh Yang Mulia Pak Wahid ini harus jelas bahwa di dalam pokok permohonan ini, ya, sebelum pokok permohonan dulu ada permintaan prioritas, ya? Ya, memang masih asing ini prioritas ini biasanya kan minta provisi, gitu ya, ini minta prioritas memang sudah perlakuan khusus minta prioritas lagi, begitu ya. Nah, ini nanti bisa saja saya pertimbangkan tapi itu tidak akan … apa namanya ... sistem kita di Mahkamah Konstitusi ini kan sudah ada, ya … apa namanya ... sistematikanya atau pun aturan-aturannya menyelesaikan perkara itu sudah ada, jadi jangan nanti gara-gara melayani prioritas ini sehingga kita jadi lari dari jadwal, nah itu. Kalau memang benar nanti bisa sebelum tanggal berapa, ya? Bulan Juli 2016, ya. Nah, ini kalau kemungkinannya bisa, ya itu enggak apa-apa, tapi kalau bisa ya jangan kami ini, kami tidak akan berjanji, gitulah. Kemudian dalam pokok permohonan, tadi kembali kepada apa yang sudah kita jelaskan tadi, pertama itu di situ cocoknya disebut mengabulkan permohonan Pemohon, ya, baru masuk ke angka 2, yaitu bahwa pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal ini, undang-undang ini, ini, ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kan itu yang harusnya dikemukakan dulu baru bahwa supaya tidak … supaya tidak bertentangan, tentu ada yang Saudara mintakan tadi konstitusional bersyarat, ya. Nah, barulah dikemukakan bagaimana supaya konstitusional dia. Di atas tadi pernyataannya kalau hanya begitu saja itu, rumusannya kan inkonstitusional, begitu ya. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Nah, bagaimana supaya jangan inkonstitusional? Maka ada konstitusional bersyarat. Tentu apa? Nah, baru dikemukakanlah menyatakan pasal ini, ini, ini, tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945 sepanjang dimaknai … nah, baru kena dia. Sepanjang dimaknai kemudian diteruskanlah yang ke bawah. Itu kirakira yang saya lihat perlu kami sarankan. Sedangkan … apa namanya … intinya tadi ataupun substansinya ya, sudah dikemukakan. Nah bagaimana mengelaborasi tentang dua peraturan perundangundangan tadi? Satu, Undang-Undang Perlakuan Khusus kepada provinsi. Satu lagi tentang undang-undang tentang pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten yang konon sudah diatur dalam Pasal 7 tadi ya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Nih, bagaimana menyeimbangkan ini? Karena syaratnya saja pun beda. Untuk jadi gubernur itu syaratnya sarjana. Untuk bupati/walikota 12
tadi itu cukup dengan SMA. Nah, itu barangkali. Nah, apakah memang sekarang ini bertahap bahwa untuk … untuk pelayanan khusus atau pun … apa namanya … pengaturan khusus itu selayaknya hanya bagi provinsi dulu sekarang ini. Sedangkan untuk kabupaten/kota, ya itu bersaing seperti apa yang dikatakan Ibu tadi untuk majunya … apa namanya … Saudara-Saudara kita yang di Papua, di Kabupaten itu ya silakan saja bersaing. Barangkali itu yang bisa memacu bahwa Irian Jaya … yang dulu Irian Jaya sekarang Papua itu bisa maju. Bersama dengan rekanrekannya yang bukan orang asli Papua. Barangkali itu kira-kira saya lihat dari segi edukasinya, ya. Dari segi edukasinya barangkali seperti itu. Tapi kalau bisa dielaborasi sebagaimana tadi usulkan oleh Yang Mulia Wahiduddin Adams, boleh dielaborasi, kira-kira apa kira-kira yang membuat supaya itu dianggap bahwa itu adalah tidak apa … ketidaksetaraan, barangkali begitu. Atau tidak ada keadilannya, barangkali begitu. Barangkali cukup dari saya, masih ada tambahan, Yang Mulia? 10.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Tolong juga dicermati kan kawu provinsi, terdiri dari kabupaten, kabuaten terdiri dari distrik. Di sana kan distrik terdiri dari kampung atau sebutan lainnya, ya. Nah, untuk apa … kepala kampung di sana kan juga tunduk kepada Undang-Undang Desa, kan ya. Tidak disyaratkan harus orang Papua asli juga, kan. Walaupun tentu kalau kita sedang melihat ke kampung-kampungnya agak … agak dipastikan ya. Jadi supaya sinkron ininya. Di Undang-Undang Desa atau nama lain kan … kalau kelurahan sama kan ya. Tapi desa kalau di sana ada kampung, kalau untuk kecamatan distrik tadi di Papua itu. Nah, itu juga di untuk desanya dia tunduk kepada sekarang Undang-Undang Desa. Syarat kepala desa ya tidak mensyaratkan di sana orang Papua asli di Undang-Undang Desanya. Nah, ini coba di … dibahas betul supaya ini kalau memang ingin tetap coba diajukan, ya supaya sinkron dengan konstruksi apa … undang-undang ini. Dan coba juga didalami, dulu ketika pembahasan Undang-Undang Otonomi khusus Papua itu, mengapa itu hanya untuk provinsinya. Yang ditekankan betul itu ya apa gubernur atau gubernur. MRP itu mutlak harus seorang Papua asli. Nah, kemudian kekhususannya dia ada perdasus, kemudian kapolda di sana harus ada persetujuan. Sebenarnya itu memang pada provinsi itu. Nah, tapi untuk kabupaten/kotanya itu tidak ditentukan syarat harus orang Papua asli itu. Diurai dulu juga, begitu. Supaya ini kenapa kabupaten/kota? Tapi walikota? Tapi ketika desa ya tidak ada ketentuan harus seorang Papua asli. Ini kan seolah-olah kita hanya pada aturan yang di kabupaten/kota yang akan kita lihat. Dan yang kedua tadi ini terkait ketentuan apa … 13
bupati/walikota ini di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Terbaca, diuraikan saja itu untuk pelengkapnya supaya nanti bisa dilanjutkan pembahasannya misalnya ke apa … keterangan Pemerintah atau DPR. Nah, nanti sudah … sudah lengkap, begitu kan? Pasti DPR akan menyampaikan apa yang latar belakang penyusunan Rancangan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini, ya. Itu saja tambahan dari saya, Pak. 11.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Ya. Barangkali, Ibu? Cukup. Barangkali itu yang bisa kami sarankan. Ini … saran itu sifatnya adalah … apa namanya … itu namanya juga saran, ya? Boleh diikuti, boleh tidak. Jadi, sudah banyak tadi disarankan. Kebetulan dari saya tadi mengenai petitum itu sangat penting, ya. Kalau ini bertentang dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bagaimana supaya tidak bertentangan? Baru harus dimaknai seperti ini. Kira-kira itu tadi intinya, ya. Nah, barangkali seperti itu, ya, saran kami. Ada tanggapan dari Pemohon? Silakan.
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: YANCE SALAMBAUW Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Pertama-tama, kami sampaikan terima kasih atas saran-saran yang baik. Kami juga mengakui apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Majelis. Juga dalam kesempatan ini, kami hendak meminta atau katakanlah kami hendak bertanya kepada Yang Mulia Majelis. Apakah juga turut serta kami menguji Pasal 7 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 yang disebutkan itu? Atau hanya nanti di dalam uraian-uraian kami dalam bentuk komparisi atau perbandingan? Sedangkan norma yang diuji, khususnya norma dalam Pasal 12 UndangUndang Otsus. Apakah kami masukkan juga secara tegas tentang pengujian Pasal 7 itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015? Ataukah hanya khusus? Dengan mempertimbangkan segala hal yang telah disampaikan oleh Yang Mulia Majelis.
13.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik. Untuk ini (…)
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: YANCE SALAMBAUW Terima kasih.
14
15.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Ibu Yang Mulia Ibu Prof. Maria akan menjawab.
16.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi itu menguji undangundang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Tidak menguji undang-undang dengan undang-undang yang lain. Akan tetapi, kalau ada hal-hal dimana kemudian ada beberapa undangundang yang kemudian bisa menimbulkan sinkro … tidak ada harmonisasi atau sinkronisasi, maka menjadi ketidakpastian hukum. Maka karena ketidakpastian hukum itu, Anda bisa melihat pada Pasal 28D, kan? Kalau ada dua … nah, tidak hanya sekarang, biasanya memang Pemohon mengajukan beberapa undang-undang yang sangat erat kaitannya, di mana kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum. Terserah Anda, apakah Anda hanya mau mengelaborasi saja? Bahwa yang dimohonkan adalah Undang-Undang Otsus Papua, UndangUndang Nomor 21. Tapi kemudian, Anda memberikan satu elaborasi bahwa ini ada pertentangan dengan undang-undang ini, tapi yang saya mohon ini saja. Atau Anda melihat pada kedua undang-undang itu, terserah Anda, ya.
17.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Barangkali cukup, ya.
18.
KUASA HUKUM PEMOHON: YANCE SALAMBAUW Terima kasih, Yang Mulia.
19.
KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Sesudah nanti, itu menjadikan dasar untuk perbaikan nanti yang kami akan terima di Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan itu, yaitu di hari Rabu, tanggal 1 Mei paling lambat, ya. Hari Rabu, tanggal … tanggal 1, apa tanggal 4 ini? Tanggal 4, ya? Oh, ya. Tanggal 4, ya? Tanggal 4 Mei 2016, pukul 10.00 WIB. Itu paling lambat. Kalau lebih cepat, lebih bagus, gitu katanya. Jadi, saya umumkan sekali lagi. Hari Rabu, tanggal 4 Mei 2016, pukul 10.00 WIB, itu paling terakhir, ya. Kalau sebelumnya diserahkan lebih bagus.
15
Maka oleh karena pemeriksaan kita anggap sudah selesai, maka sidang kami nyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.59 WIB Jakarta, 22 April 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
16