RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah
I.
PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu 1/2014) dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) terhadap UUD 1945.
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:
kewenangan
1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 2. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD RI Tahun 1945”. 3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan, “Dalam hal suatu UndangUndang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”. 5. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon. 1
(Penulis mencantumkan dalam permohonan bahwa Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah tentang Peradilan Umum). IV.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon memiliki hak-hak konstitusional sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang hendak mencalonkan diri menjadi Bupati Sidoarjo Periode 2015-2020. Perpu 1/2014 memberlakukan sistim pemilihan kepala daerah tidak satu paket, yaitu kepala daerah yang terpilih mengusulkan wakil kepala daerah ke menteri dalam negeri melalui gubernur. UU 23/2014 mengatur jabatan wakil kepala daerah menjadi tidak harus karena frasanya tertulis ‘dapat’. Bila kepala daerah terpilih mempunyai ego tinggi merasa mampu bekerja dengan seorang wakil saja maka dia tidak akan mengusulkan beberapa wakil sebagaimana diperintahkan oleh Perpu 1/2014 sehingga merugikan Pemohon. Kemudian apabila partai yang mengusung Pemohon tidak mendapat minimal perolehan kursi 20% dan perolehan suara 25% maka partai tersebut tidak dapat mengajukan calon kepala daerah sehingga merugikan Pemohon.
V.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu: -
Pasal 40 ayat (1) Perpu 1/2014 “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.”
-
Pasal 40 ayat (3) Perpu 1/2014 “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di DPRD”.
-
Pasal 157 ayat (1) Perpu 1/2014 “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung”.
-
Pasal 168 ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d serta ayat (2) huruf c Perpu 1/2014 (1) Penentuan jumlah Wakil Gubernur berlaku ketentuan sebagai berikut: 2
a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa tidak memiliki Wakil Gubernur; c. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) jiwa dapat memiliki 2 (dua) Wakil Gubernur; d. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 10.000.000 (sepuluh juta) dapat memiliki 3 (tiga) Wakil Gubernur”. (2) Penentuan jumlah Wakil Bupati/Wakil Walikota berlaku ketentuan sebagai berikut: c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk di atas 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa dapat memiliki 2 (dua) Wakil Bupati/Wakil Walikota. -
Pasal 63 ayat (1) UU 23/2014 (1) Kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dapat dibantu oleh wakil kepala daerah.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu: Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, mengkaji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang”. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. (3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 (2) “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Berdasarkan Perpu 1/2014, pemilihan kepala daerah tidak berpasangan dengan wakil kepala daerah dengan pertimbangan bahwa selama ini kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sering tidak sejalan; 2. Pemohon menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah tanpa wakil kepala daerah tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebab UUD 1945 tidak pernah menyebut frasa wakil kepala daerah namun hal tersebut tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemohon. Jika sistim satu paket antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat berbagi territorial dan dana dalam 3
kampanye. Pilkada tidak melibatkan calon wakil tertentu akan menyebabkan semua pengeluaran ditanggung sendiri oleh Pemohon; 3. Pasal 40 ayat (1) Perpu 1/2014 menjadikan kedudukan Pemohon sebagai warga negara Indonesia tidak sama di depan pemerintahan. Pasal tersebut memuat batasan pencalonan kepala daerah minimal perolehan kursi 20% dan perolehan suara 25%, Hak konstitusional Pemohon terlanggar karena kesempatan Pemohon menjadi kepala daerah semakin sulit. Pasal tersebut menguntungkan calon dari partai yang memperoleh kursi 20% dan perolehan suara 25% sehingga tidak perlu meminta dukungan dari partai lain. Sementara Pemohon jika hanya didukung oleh partai yang memperoleh kursi di bawah 20% dan perolehan suara di bawah 25%, harus melakukan transaksi politik dengan partai lain. Pemohon lebih setuju jika syarat dukungan partai politik terhadap calon kepala daerah adalah semua partai politik peserta pemilihan umum legislatif; 4. Pasal 40 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena memberikan perlakuan yang tidak sama bagi semua partai politik yang ikut pemilu legislatif. Hak antara partai politik yang mendapatkan kursi dan partai politik yang tidak mendapatkan kursi adalah sama, yaitu berhak mengajukan mencalonkan kepala daerah. Aturan yang meniadakan hak partai non parlemen untuk mencalonkan kepala daerah jelas mendiskriminasi partai non parlemen; 5. Pasal 157 ayat (1) Perpu 1/2014 merupakan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 namun sepanjang belum ada lembaga yang menangani sengketa Pemilukada maka tetap ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa Pemilukada banyak melakukan terobosan hukum. Jika sengketa Pemilukada ditangani oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi, tentu kasus-kasus Pemilukada tidak bisa menjadi jurisprudensi karena Mahkamah Agung bukan penjaga konstitusi padahal sengketa Pemilukada banyak mengandung hal-hal yang berkaitan dengan hukum tata negara; 6. Sepanjang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) tidak mengatur kewenangan menangani sengketa Pemilukada maka Pasal 157 ayat (1) Perpu 1/2014 bertentangan degan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 sebab UU MA adalah lex specialis derogate lex generalis, tidak bisa kewenangan Mahkamah Agung diatur oleh Undang-Undang lain yang bersifat umum. Mahkamah Agung dapat menolak menyidangkan sengketa Pemilukada dengan dalih UU MA tidak memberikan kewenangan tersebut; 7. Pasal 168 ayat (1) huruf a Perpu 1/2014 sepanjang frasa ‘tidak’ mengandung ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena di satu sisi pembuat Undang-Undang menentukan kebutuhan wakil kepala daerah diukur dari jumlah penduduk, untuk kabupaten/kota berpenduduk di atas 100.000 harus ada wakil bupati/wakil walikota sedangkan provinsi berpenduduk tidak sampai 1.000.000 tidak perlu wakil gubernur. Jabatan wakil bupati/walikota dan wakil gubernur itu sama untuk membantu menyelesaikan tugas kepala daerahnya; 8. Pasal 168 ayat (1) huruf c Perpu 1/2014 sepanjang frasa ‘dapat’ dan Pasal 168 ayat (2) huruf c Perpu 1/2014 sepanjang frasa ‘dapat’ mengandung tidak ada jaminan dan kepastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Frasa ‘dapat’ menjadi hak prerogatif kepala daerah terpilih.
4
Pembentuk Undang-Undang harus memberikan garis arahan yang jelas kepada kepala daerah terpilih. Bila kepala daerah terpilih mempunyai ego tinggi merasa mampu bekerja dengan seorang wakil saja maka dia tidak akan mengusulkan beberapa wakil sebagaimana diperintahkan oleh Perpu 1/2014 sehingga merugikan Pemohon; 9. Pasal 63 ayat (1) UU 23/2014 sepanjang frasa ‘dapat’ tidak mengandung jaminan dan kepastian hukum sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sejak UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sudah mengenal dan mengakui keberadaan wakil kepala daerah yang menandakan keberadaannya cukup penting membantu kerja-kerja kepala daerah; 10. Pasal 63 ayat (1) UU 23/2014 sepanjang frasa ‘dapat’ tidak singkron dengan Pasal 168 ayat (1) dan ayat (2) Perpu 1/2014 karena menjadikan posisi wakil kepala daerah tidak penting, tergantung kepala daerah.sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya; 2. Menyatakan: Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (3), Pasal 157 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) huruf a sepanjang frasa ‘tidak’, huruf c sepanjang frasa ‘dapat’, huruf d sepanjang frasa ‘dapat’, dan Pasal 168 ayat (2) huruf c sepanjang frasa ‘dapat’, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sepanjang frasa ‘dapat’ bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 3. Menyatakan: Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (3), Pasal 157 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) huruf a sepanjang frasa ‘tidak’, huruf c sepanjang frasa ‘dapat’, huruf d sepanjang frasa ‘dapat’, dan Pasal 168 ayat (2) huruf c sepanjang frasa ‘dapat’, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sepanjang frasa ‘dapat’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
5