RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara
I.
PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 6 Februari 2014.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945.
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 4. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 5. Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, “Dalam hal Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah”. 6. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon. IV.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang telah mengalami penahanan dalam kasus tindak pidana korupsi terhitung sejak tanggal 26 September 2012 s.d. 27 November 2012 dibebaskan berdasarkan putusan praperadilan, namun kemudian dipaksakan untuk ditahan lagi sejak tanggal 17 Mei 2013 s.d. saat ini dan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor untuk diadili sejak tanggal 22 mei 2013 dan Pemohon ditahan sampai pengajuan Permohonan ini diajukan. Pemohon
merasa
dirugikan
atau berpotensi
dirugikan
hak-hak
konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kerugian konstitusional yang dimaksud
adalah
Pemohon
telah
kehilangan hak untuk bekerja serta melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi karena status Tersangka/Terdakwa tindak pidana korupsi yang disandang oleh Pemohon pada saat penahanan hingga saat ini.
V.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu: − Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. − Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. − Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. − Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. − Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. 3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat : a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri; b. pemeriksaan
di
pengadilan
negari
diberikan
oleh
ketua
pengadilan tinggi; c. pemeriksaan banding-diberikan oleh Mahkamah Agung; d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung. 4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab. 5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi. 6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. 7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat: a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi; b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung. − Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah
atau
tidaknya
penangkapan,
penyidikan atau penghentian penuntutan;
penahanan,
penghentian
− Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan. 4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima olah pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas
hari,
membatalkan
pengadilan putusan
tinggi
dengan
surat
penetapannya
pengadilan negeri dan memerintahkan
pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : − Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. − Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. − Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. − Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dam memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
2) Setiap
orang
memperjuangkan
berhak haknya
untuk secara
memajukan kolektif
dirinya
untuk
dalam
membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya. − Pasal 28G ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UUD 1945 1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip begara hukum yang demokratis, maka pelaksanaa hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan peundang-undangan. − Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. − Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
VI.
ALASAN-ALASAN
PEMOHON
UNDANG-UNDANG
A
QUO
BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan
kesewenang-wenangan yang bertentangan dengan prinsip due process of law serta pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum yang adil. 2. Pasal 1
angka 2
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun 1981
dapat
diinterpretasikan dan diberi makna bahwa seseorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan. Menurut Pemohon penyidikan bukan merupakan proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhir. Penyidikan secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup. 3. Bahwa Pasal 1 angka14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) UUD 1945 karena
terdapat
makna
multitafsir
sehingga
dalam
penegakannya
menimbulkan ketidakpastian hukum. 4. Frasa ‘bukti permulaan’ Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak hanya sebatas dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetapi juga meliputi barang bukti dalam pembuktian universal atau physical evidence/real evidence. 5. Frasa ‘bukti permulaan yang cukup’ Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menimbulkan perdebatan terkait dua alat bukti, yaitu secara kualitatif atau kuantitatif. Secara kualitatif adalah dua dari lima alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Secara kuantitatif, dua orang saksi sudah dihitung sebagai dua alat bukti. 6. Frasa ‘bukti yang cukup’ Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai harus ada dua alat bukti secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi. Artinya, ‘bukti yang cukup’ juga merujuk pada minimum dua alat bukti atas kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. 7. Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 harus diberi makna dan dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ’bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang
cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti secara kualitatif, kecuali dalam hal keterangan saksi. 8. Pasal 21 ayat (1) juncto 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) UUD 1945 karena karena ada pemaknaan atau interpretasi yang sangat longgar untuk melakukan perpanjangan penahanan bahkan penahanan oleh hakim, tidak ada mekanisme koreksi selain keberatan meskipun penahanan tersebut dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. 9. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena konsep praperadilan yang terbatas pada memberikan penilaian
terhadap
penghentian
sah
penyidikan
atau atau
tidaknya
penangkapan,
penghentian
penuntutan,
penahanan, jelas
tidak
sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi Tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia 10. Bahwa Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dapat diinterpretasikan tanpa batasan yang jelas oleh hakim yang memeriksa perkara setelah memberikan putusan sela. 11. Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan asas legalitas dan asas peradilan yang cepat. Perlawanan atas penolakan terhadap keberatan terdakwa atau penasehat hukum tidak boleh ditafsirkan harus dilakukan secara bersama-sama dengan banding. Saat berkas perkara dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi, maka persidangan harus dihentikan dan hakim wajib mengabulkan perlawanan yang dilakukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya. VII. PETITUM 1. menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. menyatakan Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan a quo dan PEMOHON mempunyai keduukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
3. Menyatakan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan
dengan
UUD
1945
secara
bersyarat
(conditionally
unconstitutional), yaitu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ‘dan guna tersangkanya’ tidak dimaknai sebagai ‘untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya’ sehingga ketentuan tersebut selengkapnya definisi penyidikan harus dibaca dan dimaknai sebagai ‘serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya’; 4. Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 harus diberi makna dan harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali sepanjang frasa ‘berdasarkan bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, ‘bukti yang cukup’ harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi; 5. menyatakan Pasal 21 ayat (1) juncto 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan UUD 1945 yaitu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang digunakan untuk melakukan penahanan dan atau perpanjangan penahanan tanpa adanya ‘keadaan yang faKtual dan dapat diukur yang menjadikan penilaian atas keadaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia; 6. menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan
dengan
UUD
1945
secara
bersyarat
(conditionally
unconstitutional) yaitu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak ditambahkan rumusan normanya sehingga menjadi berbunyi; “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan” 7. Menyatakan bahwa Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang ada perlawanan yang
diajukan oleh terdakwa seketika setelah putusan sela dibacakan hakim tidak menangguhkan proses persidangan; 8. Menyatakan bahwa Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, mengikat bagi hakim untuk menghentikan persidangan sepanjang ada perlawanan yang diajukan oleh terdakwa seketika setelah putusan sela dibacakan 9. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).