BAB II PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN PERAWATAN TAHANAN
A.
Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana
Istilah penahanan, asosiasi orang pemikiran biasanya tertuju pada tindakan aparat penegak hukum dalam mencabut kemerdekaan orang lain yang disangka / dituduh melakukan suatu tindakan pidana. Walaupun dalam arti luas istilah penahanan sebenarnya tidak hanya dikenal dalam hukum acara pidana tetapi dipergunakan juga diluar konteks hukum acara pidana. Dalam dinas militer misalnya dikenal “penahanan dalam dinas keprajuritan” (PDK) yang merupakan istilah resmi dari “perpanjangan dari masa dinas aktif” bagi para prajurit ABRI pangkat kolonel ke atas yang telah mencapai usia maksimum dinas ABRI, tetapi masih dibutuhkan dalam tugas-tugas keprajuritan. 26 Hukum acara pidana (KUHAP) penahanan merupakan salah satu upaya paksa di
antara
lima
upaya
paksa,
yakni
penangkapan,
penahanan,
penyitaan,
penggeledahan, dan pemeriksaan surat. Dikatakan sebagai upaya paksa karena biasanya dilaksanakan dengan cara menggunakan kekerasan atau kekuasaan paksa. Cara-cara menggunakan paksaan dan atau kekerasan dalam proses pidana dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) memasuki ruang; (2) langkah-langkah yang
26
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 Tentang Administrasi Prajurit ABRI
24 Universitas Sumatera Utara
dapat diterapkan pada benda; (3) langkah-langkah yang dapat diterapkan pada manusia, dalam bentuk pembatasan kemerdekaan, yaitu penangkapan dan penahanan. 27 Disamping sebagai salah satu instrument penegak hukum pidana, perlu diingat bahwa pada hakekatnya penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah. 28 Kitab undang-undang hukum pidana suatu tindakan penahanan dapat pula menjadi suatu tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana maksimum delapan tahun penjara sebagaimana diancam dalam beberapa pasal KUHP yang mengancam pidana bagi tindakan penahanan orang secara tidak sah atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Oleh karena itu dengan keluarnya KUHAP No. 8 Tahun 1981 aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana harus lebih berhati-hati dan selektif dalam melaksanakan penahanan. Berbagai persyaratan maupun prosedur yang telah ditentukan secara normative harus dipenuhi dan dipatuhi.
KUHAP adalah untuk mengatur perilaku dan tindakan para penegak
hukum. Ibarat suatu permainan, KUHAP diciptakan agar para penegak hukum yang
27
L. Hc. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Perbandingan Hukum, op.cit., hlm.
56 28
Luhut M. Pangaribuan, Penahanan Pada Dasarnya Merampas Kemerdekaan, Artikel, Suara Pembaharuan; Jakarta: 15 September 1994. Hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
bermain itu tidak bermain kayu yang mengakibatkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia. 29 Pelaksanaan penahanan ini, KUHAP benar-benar diuji apakah bisa membina sikap aparat penegak hukum sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat martabat manusia. 30 Dikatakan demikian karena dalam pelaksanaan penahanan terbuka kemungkinan yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang karena tersangka ditempatkan dibawah kekuasaan aparat yang melakukan penahanan terisolir dari masyarakat umum. Tidak saja hak asasi kemerdekaan manusia yang dapat dilanggar tetapi mungkin pula terjadinya peenyiksaan fisik, pemerasan ekonomi, teror mental, bahkan kematian tersangka, dimana hal itu tidak terjadi bila tersangka tidak dikenakan penahanan. Perlu pula dikemukakan, bahwa membicarakan penahanan erat kaitannya dengan penangkapan, sebab pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penangkapan dan sebaliknya tindakan penahanan selalu diikuti dengan penahanan. Dalam kehidupan sehari-hari orang (awam) sering menganggap bahwa penahanan sama dengan penangkapan karena pada dasarnya penangkapan dan penahanan merupakan perampasan hak asasi seseorang untuk waktu tertentu. Pada masa berlakunya HIR dikenal istilah penangkapan sementara yang jangka waktunya
29
J. E. Sahetapy, Quovadis Hukum Pidana? Artikel, Media Indonesia, Jakarta: 12 Agustus 1995, hlm.3. 30 Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994), hlm.59.
Universitas Sumatera Utara
20 hari (Pasal 27 HIR). Bagi polisi penangkapan dan penahanan adalah bagian dari wewenang yang sangat penting , sebagaiman ditulis A.C. Germann et al., “Both arrest and detention can certainly form a necessary and proper of police operations”. 31 Pandangan yang mempersamakan penangkapan dan penahanan sebenarnya kurang tepat, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan pengertian maupun konsekuensi yang diakibatkannya, 32 walaupun sebenarnya pemahaman demikian sebenarnya bukan tanpa dasar. Keduanya merupakan pranata hukum yang berbeda baik dalam teknis pelaksanaan serta syarat-syaratnya maupun konsekuensi hukumnya. Selanjutnya dalam memahami konsep penahanan dalam peradilan pidana perlu dipahami beberapa model yang bekerja dalam proses peradilan pidana. Menurut L. Packer bekerjanya proses peradilan pidana dapat dijelaskan melalui dua buah model, yaitu “crime control model” dan “due process model”. 33 Tetapi kedua model itu hanyalah sekedar “normative models” yang membantu kita dalam menganalisis bekerjanya proses peradilan pidana sehari-hari. Sistem yang bekerja pada”crime control model” didasarkan pada prinsip bahwa penekanan jumlah kejahatan merupakan fungsi utama peradilan pidana. Kegagalan fungsi ini merupakan gangguan terhadap ketertiban umum dan kebebasan. 31
A. C. Germann, et al, “Introduction To Law Enforcement And Criminal Justice”, (Springfield-Illionis USA: Charles C. Thomas Publisher). 32 Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang Ada dalam KUHAP, (Bandung : Alumni, 1982), hlm.26. 33 L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (Stanford California 1968), hlm.153
Universitas Sumatera Utara
Untuk mencapai tujuan demikian ini, proses criminal harus dilakukan secara efisien, segala rintangan prosedur yang dapat menjadi hambatan bagi pelaksanaan proses criminal harus disingkirkan. Proses peradilan pidana diibaratkan seperti ban berjalan, dimana masing-masing petugas penegak hukum berdiri pada posisinya sendiri. Dalam hal ini proses peradilan pidana merupakan suatu proses penyaringan dan dalam tiaptiap tahap dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat rutinitas. Keberhasilan pertamatama diukur sesuai dengan tindakan keberhasilan penyeleasaian kasus demi kasus untuk mencapai tujuan yaitu mengurangi atau menanggulangi kejahatan. Demikian “crime control model” didasarkan pada doktrin “Presumption of guilt” dimana dengan doktrin tersebut diyakini bahwa sejumlah besar perkara pidana dapat ditangani secara efisien.
Penyidik telah berkeyakinan akan kesalahan
seseorang, maka tahap-tahap proses berikutnya harus dianggap sebagai formalitas belaka. Hasil-hasil penyidikan telah dianggap cukup mengumpulkan semua fakta dan bukti dan proses di muka persidsangan dianggap tidak mungkin memunculkan fakta dan bukti-bukti yang baru yang penting. Packer menegaskan bahwa “preumption of innocence”. Kedua konsep tersebut memang berbeda, tetapi tidak berlawanan. 34 Perbedaan tersebut menurut penjelasan Reksodiputro dapat dicontohkan dengan perbedaan antara atas dengan kiri dimana atas dan kiri adalah dua konsep yang berbeda, tetapi bukan merupakan dua konsep yang berlawanan. 35 Untuk memahami perbedaan kedua konsep tersebut, orang harus dapat membedakan antara 34
Ibid, hlm.161. Mardjono Reksodiputro, materi ceramah. Dalam perkuliahan Sistem Peradilan Pidana, Angkatan XI Program Pascasajana Ilmu Hukum. UI, 1993. 35
Universitas Sumatera Utara
dua macam kesalahan-kesalahan nyata (factual guilt) dan kesalahan menurut hukum (legal guilt). Dengan suatu contoh Packer memberikan ilustrasi: seseorang dengan sebuah senjata dengan disajikan banyak orang telah melakukan pembunuhan. Ketika polisi datang ia langsung menyerahkan diri. Orang tersebut mengaku menembak korban dengan disajikan oleh saksi-saksi, apakah terhadap orang terseebut masih berlaku prinsip “presumption of innocence? Bukan begitu maksudnya, kata Packer, itu bukan merupakan kesalahannya melakukan pembunuhan (legal guilt), ia harus diperlakukan seolah-olah tidak bersalah. 36 Prinsip “presumption of innocence” merupakan intruksi kepada aparat penegak hukum untuk tidak menghiraukan prinsip “presumption of guilt” terhadap tersangka. Artinya terlepas dari kesalahan-kesalahan nyata (factual guilt), maka terhadapnya harus tetap diberlakukan seolah-olah tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan kesalahannya menurut hukum (legal guilt). Berbeda dengan “crime control model” yang menekankan pada efisiensi dan penghindaran terhadap segala prosedur yang dapat menghambat proses kriminal, maka “due process model” lebih menekankan pada jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kewenangan penguasa. Kekuasaan menurut “due process model” selalu dapat disalahgunakan untuk menindas seorang individu maka kekuasaan ituharus dikontrol dan diawasi. Efisiensi maksimal berarti
36
Packer, The Limits of The Criminal Sanction, op, cit, hlm 161.
Universitas Sumatera Utara
tirani maksimal. Dalam rangka membatasi tindakan sewenang-wenang dari aparat, maka “due process model” sangat menekankan asas “preumption of innocence”. 37 Crime control model peradilan pidana bekerja seperti ban berjalan, maka pada “due process model” proses peradilan pidana bekerja seperti melewati batas-batas pada lari gawang. Masing-masing gawang dirancang untuk mengarahkan tersangka pada proses lebih lanjut. Untuk memenuhi prosedur yang ditentukan sesuai dengan undang-undang merupakan
hal yang sangat penting. Kesalahan dalam prosedur
penangkapan atau penahan misalnya akan berakibat pada keabsahan proses pemeriksaan. Due process model proses kriminalitas kelihatan berjalan agak lamban, walaupun demikian diharapkan dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang oleh aparat negara terhadap tersangka, sehingga setiap tindakan penguasa itu harus dapat dikontrol dan diawasi. Untuk itu sebagaimana dianut oleh “due process model” dianjurkan adanya konsep “presumption of innocence”. Apapun juga kompetensi untuk menetapkan adanya suatu fakta tentang suatu kesalahan, maka kesalahan berdasarkan hukum (legal guilt) lewat suatu peradilan tetap merupakan bukti terakhir. 38 Perkembangannya
sistem
peradilan
pidana
yang
mendasarkan
pada
“adversary sistem” baik yang bercorak ”crime control model” maupun “due process model” mendapatkan kritik. Salah seorang yang mengkritik dan mengajukan
37
Ibid., hlm. 166. 38 Ibid., hlm. 166.
Universitas Sumatera Utara
alternative adalah Jhon Griffithst. 39 Menurutnya apapun bentuk dari ”adversary model”, tetap merupakan sistem pertempuran antara dua kepentingan yang berlawanan. Oleh karena itu Griffithst mengajukan model ketiga yang disebutnya “family model” (model kekeluargaan). Menurut Griffithst, dalam suatu keluarga mungkin terjadi seorang anggota keluarga melakukan kesalahan dimana terhadap anggota keluarga yang bersangkutan tetap diberi sangsi tersebut tidak boleh menjadikan ia sebagai orang jahat, melainkan agar anggota keluarga tersebut mampu mengendalikan dirinya dan setelah diberi sangsi anggota keluarga yang melakukan kesalahan tetap berada dalam lingkupan kasih saying keluarga. Adversary model proses criminal bekerja atas dasar anggapan bahwa pelaku tindak pidana adalah musuh masyarakat dan dengan demikian ia harus disingkirkan, maka menurut “family model” pelaku tindak pidana adalah bagian dari suatu keluarga, jika ia melakukan kesalahan harus diingatkan terlebih dahulu. Tindakan terhadap pelaku tindak pidana bukan berupa pengasingan dari pergaulan masyarakat tetapi mengingatkan atas dasar cinta kasih sesama hidup atas dasar Saling menguntungkan. 40 Menurut “crime control model”, (penangkapan) dan penahanan serta pembinaan harus dilakukan sebisa mungkin atau sebanyak mungkin. Packer menulis bahwa “the model, in order to operate succesfull, must produce a high rate of apprehension and conviction” 41. Dengan demikian salah
satu indikasi
39
Jhon Griffithst, Ideologi in Criminal Procedural or A Third Model of The Criminal Processil, The Yale Law Journal, (Volume 79, Number 3, January 1970) hlm.367-368. 40 Ibid, hlm. 171-172. 41 Packer, The Limits of The Criminal Sanction, op, cit. hlm.159.
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan sistem peradilan pidana menurut ideology “crime control model” adalah banyaknya jumlah penahanan yang dilakukan oleh aparat berwenang. Penahanan harus dilakukan segera setelah penangkapan, tanpa harus membuang-buang waktu dan biasanya penahanan itu dilakukan oleh polisi. Menurut “crime control model” penahanan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah tersangka mempunyai kesempatan membuat cerita yang tidak benar dan untuk mencegah campur tangan orang lain yang dapat mempengaruhi kerja sama tersangka dengan polisi. 42 Sistem nilai yang membuat pra anggapan tersangka atau terdakwa dianggap penjahat dan penahanan perlu segera dilakukan sesudah penangkapan yang sah dalam “crime control model” adalah untuk keperluan praktis agar peradilan pidana sebagai suatu ban berjalan itu dapat bergerak maju dengan cepat. Bila diberi kebebasan terdapat resiko terssangka/terdakwa tidak muncul di pengadilan tepat pada waktunya. Bahkan untuk para pelanggar hukum, pemula dan orang yang kelihatannya tidak mungkin mengulangi tindak pidana, menurut “crime control model” masih ada alasan yang baik agar penahanan tetap dilakukan dalam arti tidak diberikan “pretrial liberty”. Selanjutnya nilai-nilai yang bekerja dalam “due process model” dalam hal penahanan pertama-tama harus lebih dahulu ada “probable cause” (bukti-bukti yang kuat) sebelum dilakukan tindakan penahanan. Tersangka dibawa ke pengadilan sesegera mungkin tanpa melakukan penundaan yang tidak penting untuk segera 42
Ibid, hlm.175
Universitas Sumatera Utara
disidangkan oleh hakim. Tersangka berhak menguji keabsahan penangkapan dan penahanannya termasuk ada tidaknya “probable cause”. Menurut pandangan “due process mode” dikemukakan bahwa “it is never proper for the police to hold a suspect for the purpose of integration or investigation”. Oleh karena itu terhadap tersangka harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan
kebebasan
misalnya
dengan
penagguhan
penahanan
(bail). 43
Selanjutnya walaupun telah ada suatu “probable cause” penahanan ini harus dibatasi sedapat mungkin. Dalam kasus Miranda V. Arizona, hakim berpendapat bahwa polisi tidak boleh melakukan interogasi terhadap seseorang dalam tahanan sampai ia diberitahu tentang hanknya untuk diam dan ia berkonsultasi dengan penasehat hukumnya. Apabila dikaitkan dengan due model dalam proses peradilan pidana yang dikemukakan Packer, maupun model kekeluargaan yang diajukan Griffithst, maka proses peradilan pidana menurut KUHAP tidak dapat digolongkan dalam “crime control model”, “due process model” ataupun “family model”. Pandangan Sahetapy KUHAP mendapat ide dan mengemban amanat dari undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan Kehakiman agar proses peradilan pidana dilaksanakan dengan landasan penganyoman. Sahetapy mengemukakan lebih tepat untuk mempergunakan apa yang disebutnya dengan “model penganyoman”. 44 Dengan demikian dalam proses peradilan pidana
43
Ibid, hlm 190-191 Model Penganyoman sebagai model yang dianut KUHAP dikemukakan oleh Sahetapy dalam beberapa tulisan antara lain ”Pendayagunaan Sistem Kamtibmas dalam Tertib Hukum dan Tertib Sosial”. Makalah pada Diskusi Hukum, Integrated Criminal Justice System. Yogyakarta: Juli 1990, 44
Universitas Sumatera Utara
penganyoman diberikan baik terhadap masyarakat (public), korban tindak pidana maupun terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Penulis setuju atas pendapat tersebut sebab dengan adanya menghayati dan menempatkan diri sebagai penganyom masyarakat, maka aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan tidak akan keluar dari kerangka proses hukum yang adil. Adapun pengertian penahanan itu sendiri pertama-tama dapat dilihat dalam pasal 1 butir 21 KUHAP sebagai berikut :` Pasal 1 butir 21: Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Substansi ketentuan pasal 1 butir 21 KUHAP dapat dilihat bahwa pelaksanaan harus memenuhi tiga unsur elemen, bila tidak dipenuhi maka suatu tindakan bukan penahanan atau paling tidak bukan penahanan yang menurut hukum acara pidana. Ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan surat perintah oleh penyidik dan penuntut umum dan dengan penetapan oleh hakim. 2. Menurut hal-hal dan tata cara yang diatur dalam KUHAP 3. Tersangka/terdakwa ditempatkan disuatu tempat tertentu. Penahanan sebagai suatu upaya paksa yang pelaksanaannya dengan menggunakan kekerasan itu perlu dan diatur dalam undang-undang dan mengapa
hal. 18. Lihat pula Sahetapy, Hukum dalam Konteks Sosial Politik dan Budaya, Artikel, Analisis CSIS, Tahun XXII No. 1 Januari-Februari 1993, hlm. 55.
Universitas Sumatera Utara
seseorang ditahan sedang yang lain tidak? Pembicaraan mengenai hal ini berkaitan dengan dasar pemikiran atau rasional dari tindakan penahanan. Sebagaimana telah disinggung dalam bab terdahulu, banyak pemikiran atau pandangan mengenai hal ini. Banyak alasan yang dikemukakan dan dirumuskan baik oleh para ahli maupun oleh para pembuat undang-undang sebagai justifikasi atas keberadaan lembaga penahanan ini, masing-masing bertolak dari asumsi ataupun dasar filosofis yang dianut. Misalnya ada yang menyatakan asumsi dasar penahanan adalah bahwa kebebasan seseorang itu tidak disukai. 45 Selamanya penahanan itu atas inisiatif aparat penegak hukum, adakalanya tersangka meminta sendiri untuk kepentingan keamanan diri pribadi. Tetapi apakah ia ditahan atau sekedar diamankan tentu tergantung surat perintah yang dikeluarkan. Permadi melakukan hal yang sama ketika menjadi tersangka dalam kasus penghinaan agama beberapa waaktu yang lalu. Andi Hamzah mengemukakan bahwa dalam beberapa kondisi dapat terjadi penahanan dengan alasan demi kepentingan tersangka sendiri. Pasal 20 KUHAP dapat dilihat bahwa dasar pemikiran atau alasan perlunya penahanan yaitu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan hakim di sidang pengadilan maupun mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana sebagaimana dalam pasal 21 ayat 4 yaitu: 45
Wawancara dengan Kalitbang LBHI Cabang di Jakarta Timur tanggal 11 Februari 1995, mengemukakan bahwa dewasa ini dalam praktek proses kriminal ada tendensi bahwa seseorang ditahan adalah karena kebebasannya tidak disukai. Ada kalanya dalam kasus yang sama bahkan tersangkanya lebih pantas ditahan, ternyata tidak dikenakan penahanan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan perlakuan untuk itu menurut beliau terutama daktor nonjudisial.
Universitas Sumatera Utara
1. Tersangka atau terdakwa melarikan diri 2. Tersangka atau terdakwa merusak menghilangkan barang bukti atau 3. Tersangka atau terdakwa mengulangi melakukan tindakan pidana. Bertolak dari rumusan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dasar pemikiran perlunya keberadaan upaya paksa penahanan ini adalah untuk: 1. Kepentingan pemeriksaan peradilan pidana 2. Memelihara ketertiban umum, mencegah diulangnya tindak pidana atau oleh tersangka atau terdakwa Dalam visi siapa lebih luas bila dikaitkan dengan adanya perkembangan pemikiran bahwa pengamanan masyarakat mulai dipandang tergantung dari perbandingan narapidana secara dini dari pada, penggunaan kekerasan dan peningkatan keamanan dalam lembaga secara maksimum, maka tidak terlebih bila dikatakan bahwa asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban membina, warganya untuk menjadi lebih baik tidak hanya sekedar untuk kepentingan pemeriksaan perlindungan masyarakat secara represif.
1.
Proses Penerimaan, Pendaftaran, dan Penempatan Tahanan di RUTAN
Universitas Sumatera Utara
Penetapan tahanan yang baru masuk di RUTAN dilakukan oleh anggota regu jaga yang sedang bertugas di pintu utama atau pintu gerbang. Kegiatan dipintu utama atau pintu gerbang dalam menerima tahanan adalah: a) Mempersilahkan pengawal atau yang mengantar tahanan disertai tahanan yang bersangkutan keruang tunggu I yang khusus dipergunakan untuk menerima tahanan; selanjutnya diminta untuk mengisi buku tamu yang khusus dipergunakan untuk keperluan mengantar tahanan baru. b) Meneliti kembali sah tidaknya surat perintah/penetapan penahanan serta jumlah tahanan baru c) Mencocokkan nama dan jumlah tahanan baru dengan surat perintah/ penetapan penahanan yang sah dengan disaksikan oleh pengawal. d) Menyerahkan surat-surat dan tahanan baru tersebut kepada kepala regu jaga Setelah itu, Kepala Regu Jaga menerima surat-surat dan tahanan baru diruang tunggu II, kemudian melakukan kegiatan : a) Meneliti kembali sah tidaknya surat perintah/penetapan penahanan serta jumlah tahanan baru b) Mencocokkan nama dan jumlah tahanan baru disaksikan oleh pengawal c) Melakukan penggeladaan terhadap barang atau uang yang dibawa dan badan tahanan, disaksikan oleh pengawal. Penggeledahan tahanan wanita dilakukan oleh pegawai wanita dan dalam hal tidak ada pegawai wanita, bisa dimintakan istri pegawai. d) Membuat berita acara penggeledahan dan menandatanganinya bersama pengawal dan tahanan yang bersangkutan e) Mengantar pengawal dan tahanan baru ke unit pendaftaran. Kegiatan Kepala Unit Pendaftaran setelah menerima surat-surat dan tahanan baru serta isi catatan barang/uang yang dibawa dan yang diperoleh dari hasil penggeledahan badan yang terdapat pada Berita Acara Penggeledahan:
Universitas Sumatera Utara
a.
Meneliti dan mencocokkan surat perintah/penetapan penahanan dan isi catatan barang/uang yang dibawa dari hasil penggeledahan badan yang terdapat dalam Berita Acara Penggeledahan
b.
Meneliti kembali ada tidaknya surat perintah/penetapan penahanan (dari penyidik, penuntut umum atau hakim) tentang: 1) Nomor dan tanggal penahanan 2) Nama dan tanda tangan yang menahan 3) Cap Instansi yang menahan
Setelah meneliti sebagaimana dimaksud pada surat perintah/penetapan penahanan dan telah diyakini kebenarannya, memerintahkan agar tahanan berikut barang –barang yang dibawa dan diperbolehkan dari hasil penggeledahan, untuk dihadapkan guna keperluan pencocokkan lebih lanjut. Hal-hal yang dinyatakan kepada tahanan yang disaksikan oleh pengawal. a. Dari surat perintah/penetapan: 1) Nama alias bin 2) Umur dan tanggal lahir 3) Tempat kelahiran 4) Jenis kelamin 5) Kewarga negaraan 6) Tempat tanggal lahir terakhir (alamat orang tua, wali) 7) Agama 8) Pekerjaan terkhir (jika ia bekerja)
Universitas Sumatera Utara
9) Tindak pidana yang dituduhkan/pasal 10) Lama ditahan 11) Nama penahanan (penyidik, penuntut umum atau hakim yang menahan) 12) Tanggal diterima atau didaftarkan di RUTAN 13) Penahanan sebelumnya 14) Masih ada perkara lain atau tidak b. Dari isi catatan barang/uang yang dibawa dan yang diperoleh dari hasil penggeledahan
badan
yang
terdapat
dalam
Berita
Acara
Penggeledahan 1) Nama dan jumlah barang 2) Uang logam, uang kertas, mata unag dengan jumlahnya 3) Surat-surat atau barang-barang berharga Setelah itu, menyerahkan tahanan baru kepada regu jaga untuk memeriksakan kesehatannya ke Balai Pengobatan atau Rumah Sakit RUTAN. Hasil pemeriksaan kesehatan dituangkan dalam Beritan Acara Pemeriksaan Kesehatan: 1. Semua hasil penelitian dan pencocokan dituangkan dalam Berita Acara Penerimaan Tahanan dan setelah ditanda tangani oleh Kepala Unit Pendaftaran atas nama Kepala RUTAN serta pengawal selanjutnya lembar pertama diserahkan kepada pengawal dan diberitahukan bahwa pengawal dapat meninggalkan RUTAN 2. Memerintahkan kepada anggota staf pendaftaran untuk:
Universitas Sumatera Utara
a. Mencatat data surat/penetapan penahanan pada daftar
(buku
pendaftaran) sesuai dengan golongan tahanan yangbersangkutan b. Mencatat barang-barang pada daftar/buku pencatatan barang titipan dan menyimpan ditempat yang sesuai dengan jenis barang c. Membuat cap sidik jari : 1) Sepuluh jari lengkap pada kartu daktiloskopi (untuk dikirimkan kepada Direktorat Pidanda Direktorat jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman) 2) Tiga jati tengah tangan kiri pada surat perintah/penetapan penahanan
dan
daftar/buku
pendaftaran
sesuai
dengan
penggolongan d. Mengambil photo hitam putih tahanan, dari bagian muka, samping kiti dan kanan dan menempelkannya pada daftar/buku pendaftaran. e. Memusnahkan
barang-barang
terlarang
atau
berbahaya
atau
menyerahkannya kepada pihak yang berwenang dan dibuatkan Berita Acaranya f. Barang-barang terlarang yang berupa pakaian, perhiasan, senjata tajam disimpan di RUTAN atau diserahkan kepada keluarganya. Penyerahan langsung
kepada
keluarganya
disaksikan
oleh
tahanan
yang
bersangkutan dan dibuatkan Berita Acara. Sedangkan penyerahan tidak langsung wajib dibuatkan tanda bukti pengiriman dalam rangkap dua masing-masing untuk RUTAN dan tahanan yang bersangkutan
Universitas Sumatera Utara
g. Membuat catatan : 1) Tanggal habis masa tahanan 2) Tanggal peringatan akan habisnya surat perintah/penetapan penahanan h. Mencatatat atau memberitahukanuntuk mencatat jumlah tahanan baru pada papan di unit pendaftaran, ruang di kantor Kepala RUTAN i. Memberitahukan kepada unit perawatan untuk menyiapkan : 1) Pemberian dan penjatahan awal barang-barang perlengkapan 2) Penyediaan jatah makanan pada hari itu dan di hari-hari selanjutnya j. Memberitahukan kepada Kepala Blok Pengenalan Lingkungan untuk mempersiapkan tempat 3. Untuk keperluan pencatatan tahanan, pada unit pendaftaran tahanan harus disediakan daftar-daftar catatan antara lain: a. Daftar nama menurut abjad ialah daftar yang berisi nama-nama tahanan yang disusun berdasarkan abjad b. Daftar harian yang berisi catatan tentang isi RUTAN dan pengubahannya setiap hari c. Daftar A I, untuk mencatat tahanan tingkat penyidikan (pasal 24 KUHAP) d. Daftar A II, untuk mencatat tahanan tingkat penuntutan (Pasal 25 KUHAP)
Universitas Sumatera Utara
e. Daftar A III, untuk mencatat tahanan tingkat pemeriksaan pengadilan negeri (Pasal 26 KUHAP) f. Daftar A IV, untuk mencatat tahanan tingkat pemeriksaan pengadilan tinggi (Pasal 27 KUHAP) g. Daftar A V, untuk mencatat tahanan tingkat pemeriksaan mahkamah agung (Pasal 28 KUHAP) h. Daftar D, untuk mencatat barang/uang titipan tahanan i. Daftar E, untuk mencatat kunjungan terhadap tahanan j. Daftar F, untuk mencatat pelanggaran yang dilakukan oleh tahanan k. Daftar G, untuk mencatat tahanan yang sakit l. Daftar H, untuk mencatat tahanan yang diasingkan m. Daftar Ekspirasi tahanan, untuk mencatat tanggal habisnya penahanan n. Daftar peringatan akan habisnya masa penahanan untuk mengingatkan Instansi yang menahan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum habisnya surat perintah/penetapan penahanan sesuai pasal 19 ayat 7, PP 27 tahun 1983. Penempatan penahanan di dalam RUTAN harus dipisahkan : a. Antara pria dan wanita b. Antara tahanan dewasa dan anak-anak c. Dipisahkan juga berdasarkan tingkat pemeriksaannya kecuali apabila pemisahan tersebut dapat mengganggu keamanan dan ketertiban
Universitas Sumatera Utara
Tahanan dipisahkan berdasarkan pada: a. Berdasarkan jenis perkara 1) Tahanan dengan tindak pidana umum 2) Tahanan dengan perkara tindak pidana khusus b. Berdasarkan kewarganegaraan 1) Tahanan warga negara Indonesia 2) Tahanan warga negara asing 3) Tahanan tanpa kewarga negaraan Tahanan yang sakit penempatannya diatur sebagai berikut: a. Tahanan yang sakit menular atau berbahaya dan dalam keadaan khusus wajib ditempatkan secara terpisah b. Tahanan yang sakit jiwa harus dikonsultasikan dengan Dolter jiwa dan dilaporkan kepada Pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis sesuai dengan tingkat pemeriksaannya, untuk mendapatkan perawatan sebagai mana mestinya c. Tahanan yang sakit dapar dirawat di rumah sakit atau balai pengobatan RUTAN d. Tahanan yang sakit keras dapat dirawat di rumah sakit di luar dari RUTAN, atas nasehat dokter RUTAN setelah dilakukan pemeriksaan secara teliti dan jika perlu dengan bantuan penelitian laboratorium pemerintah dan seijin pihak yang menahan dengan pengawalan polri
Universitas Sumatera Utara
Tahanan yang perlu diasingkan karena dianggap akan membahayakan ketertiban dalam RUTAN maupun membahayakan dirinya, tetapi bukan merupakan hukuman disiplin ditempatkan secara terpisah. Pengasingan ini dapat dilakukan atas permintaan tahanan ataupun atas pertimbangan Kepala RUTAN 2.
Orang-Orang Yang Diterima di RUTAN Orang yang diterima di RUTAN adalah sebagai berikut, mereka yang ditahan
secara sah oleh pihak yang berwenang, dan terpidana penjara dengan masa tahanan tertentu Tahanan sebagaimana dijelaskan, digolongkan berdasarkan kepada: a.
Jenis kelamin yaitu; Tahanan pria, Tahanan wanita
b.
Perbedaan usia meliputi; Tahanan dewasa, Tahanan anak-anak
c.
Tingkat pemeriksaan terdiri dari ; Tahanan tingkat penyidikan, Tahanan tingkat penuntutan, Tahanan tingkat pemeriksaan pengadilan negeri, Tahanan tingkat pemeriksaan pengadilan tinggi, Tahanan tingkat pemeriksaan mahkamah agung
d.
Jenis perkara yaitu; Tindak pidana umum, Tindak pidana khusus (subversi, ekonomi korupsi)
e.
Kewarganegaraan meliputi; Tahanan warga negara Indonesia, Tahanan warga negara asing, Tahanan tanpa kewargaan negara
Universitas Sumatera Utara
Potensi Rutan Dalam Melakukan Pelayanan Tahanan
B.
Pertanyaan yang dikedepankan dalam konteks tema diatas adalah, apakah tahanan dapat dan berhak mendapatkan pelayanan? Hal ini merupakan persoalan yang cukup rumit apalagi dalam kenyataannya jarang sekali yang melihat keperluan penahanan ini dari sisi pelayanan perawatan tahanan. Disamping itu tersangka belum diputus bersalah berdasarkan keputusan hakim dan oleh karena itu harus diperlakukan sesuai dengan azas praduga tak bersalah. Apalagi terminology pelayanan perawatan tahanan selama ini biasanya hanya dikaitkan dengan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. 46 Data tentang lamanya masa penahanan tersangka yang dijalani tersangka adalah wajar timbul tentang apakah yang sebaiknya dilakukan oleh tahanan selama masa penahanan dan bagaimana sebaiknya memperlakukan tahanan itu. Dibiarkan duduk termenung sepanjang hari dalam kegelisahan dan ketidakpastian? Atau apakah ia diberi kebebasan berinteraksi dengan para tahanan dari berbagai jenis kejahatan
46
Dalam RUU Baru seperti tercantum dalam BAB III Buku I Pasal 50 ayat (1 dan 2) disebutkan bahwa pemidanaan bertujuan untuk : Ayat (1) Ke-1 mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan hukum demi penganyoman masyarakat; Ke-2 memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna Ke-3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai kepada masyarakat ; Ke-4 membebaskan rasa beraslah pada narapidana. Ayat (2) Pasal ini menentukan, bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa pasal ini memuat tujuan ganda yakni perlindungan masyarakatdan kedua untuk merehabilitasi, mensosialisasi dan mengintegrasikan yang bersangkutan dalam masyarakat; tujuan ketiga adalah mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu; keempat bersifat spiritual dicerminkan dalam Pancasila sebagai Dasar Negara RI.
Universitas Sumatera Utara
dan jenis watak manusia yang melakukan tindak pidana? Apakah negara boleh dan berhak membiarkan orang untuk jadi lebih jahat ditempat yang oleh kaum abolisionis dan para pengkritik pidana penjara lainnya disebut sebagai sekolah tinggi kejahatan itu? 47 Para penegak hukum tidak mempunyai kesatuan pendapat dalam hal pembinaan terhadap tahanan ini. Sebagian besar berpendapat bahwa walaupun belum ada putusan hakim tentang kesalahan tetapi pembinaan perlu dilakukan. Oleh karena itu melakukan pelayanan perawatan tahanan/pembinaan menurut sebagian sumber responden yang setuju terbatas hanya : 1. Untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan peradilan pidana yaitu mengarahkan tahanan agar tidak mempersulit jalannya pemeriksaan dengan menekankan bahwa siapa berani berbuat harus berani bertanggung jawab 2. Untuk menghindarkan timbulnya pemikiran-pemikiran negative dari tahanan, seperti melarikan diri, perilaku sexual menyimpang dan sebagainya 3. Pembinaan terhadap tahanan adalah dalam spectrum yang luas berarti mereka dibina sebagai warga negara biasa bukan sebagai narapidana. 48 Tetapi
sebenarnya
pemikiran
mengenai
perlunya
tahanan/pembinaan terhadap tahanan diatas bukan akademik
undang-undang
permasyarakatan
pelayanan
perawatan
hal baru. Penyusunan naskah
departemen
kehakiman
telah
merumuskan masalah ini dengan menyatakan bahwa “mengingat telah lama
47
Pergaulan yang bebas antara sesame tahanan selama 12 jam dari pukul 6 pagi sampai pukul 18 sore memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan dan ketrampilan tersebut. Menurut pengakuan beberapa responden yang penulis wawancarai, mereka mendapat pengetahuan dan ketrampilan tentang berbagai modus operandi maupun keberanian dari “tukar pengalaman” dengan sesame teman satu sel. Penulis yang sekitar satu bulan mengadakan penelitian mendapat penjelasan tentang cara-cara membuka gembok besi yang cukup mudah, semakin besar gembok tersebut ternyata semakin mudah membukanya. 48 Wawancara terbuka tanggal 14 Juli 2004 di Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM di Jakarta
Universitas Sumatera Utara
pelayanan perawatan tahanan /pembinaan terhadap orang tahanan ini dikehendaki dan melihat kenyataan banyak para tahanan yang ada dalam lembaga telah dilaksanakan pelayanan perawatan tahanan/pembinaanya, maka penyusunan naskah akademik pemasyarakatan ini mengharapkan agar kepada orang tahanan diberikan pelayanan perawatan
tahanan/pembinaan. 49
Konsepsi
pembinaan
pemasyarakatan
yang
diusulkan mencakup bidang yang luas di bawah spectrum pencegahan kejahatan. 50 Dari pernyataan diatas nampak bahwa kehendak pelayanan perawatan tahanan/membina mereka yang berstatus tahanan, bukan merupakan pemikiran baru. Apalagi melihat kenyataan yang ada, disamping narapidana sebagai penghuni rutan/lembaga pemasyarakatan, juga masih terdapat para tahanan. 51 Hanya kesulitannya adalah sebagaimana dikemukakan pula dalam naskah akademis tersebut: Fasilitas-fasilitas berupa bangunan yang dipergunakan untuk menahan orang biasanya tidak berada dalam suatu administrative, begitu pula pengurusnya dan treatment polici-nya (dalam arti kata perlakuan) berbeda-beda, sehingga kalau nantinya terjadi bahwa yang bersangkutan harus menjadi narapidana, maka kelainan-kelainan dalam treatment policy itu mempunyai efek yang tidak menguntungkan dalam pembinaan sebagai terpidana. Yang paling menyusahkan bagi pembinaan narapidana adalah kalau masa penahanannya itu diperhitungkan sebagai bagian dari masa pidananya. 52
49
Team pengkajian Pemasyarakatan, Hasil Pengkajian Naskah Akademis PeraturanPerundang-undangan Tentang Pemasyarakata, (Jakarta: Proyek Pusat Perencanaan dan Kondifikasi BPHN Departemen Kehakiman RI: 1979 – 1980), hlm.5 50 Konsepsi pemasyarakatan tidak hanya semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, malinkan merupakan suatu sistem pembinaan terhadap pelanggaran hukum yang mencakup bidang yang luas di bawah spectrum pencegahan dan sekaligus membawakan suatu metodologi dalam bidang “treatment of offenders” yang “multilateral oriented” yang berpusat pada potensi sumber daya yang ada, baik pada individu yang bersangkutan? Ataupun (dan lain-lain) yang ada ditengah-tengah masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Ibid, hlm.5 51 Bahrudin Soejobroto, Polisi dan System Pemasyarakatan, Prasarana dalam Pemasyarakatan, (Bandung: 1971). 52 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu kesulitan berkaitan pula pada masalah waktu yang tersedia dengan pendapat Sudarto bahwa tidak mungkin dilakukan pembinaan dengan baik bila masa pembinaannya terlalu singkat. Selengkapnya beliau menulis : Sudah jelas didalam konsep itu dianut filsafat pembinaan dalam pemidanaan si penjahat. Konsekuensinya adalah bahwa tidak dikehendaki pidana pencabutan kemerdekaan jangka pendek, karena memang tidak mungkin dilakukan pembinaan dengan hasil baik apabila pembinaanya terlampau singkat. 53 Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pencegahan sebagai tujuan pelayanan perawatan tahanan/pembinaan tahanan seperti dikemukakan dalam Naskah Akademis Pemasyarakatan. Dalam ilmu hukum pidana pencegahan adalah merupakan salah satu tujuan pemindanaan, yakni mencegah pelaku tindak pidana tersebut maupun orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan seperti itu. Selanjutnya pencegahan dapat digolongkan atas dua yaitu pencegahan yang bersifat khusus dan pencegahan umum. Dikatakan pencegahan khusus bilamana seorang penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan dikemudian hari apabila dia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya. Disini pidana dianggap mempunyai daya untuk mendidik dan memperbaiki. Pencegahan khusus ini di dalam bekerjanya bersangkut paut dengan beberapa faktor yakni jenis dan tipologi kejahatan, karakter dan personalitas pelaku kejahatan dan kepastian serta kecepatan penjatuhan pidana.
53
Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, hlm. 10-11, dalam Muladi dan Arief, Op cit, hlm.81
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan umum mempunyai arti bahwa pidana yang dijatuhkan dimaksudkan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah tipe kejahatan yang dilakukan dan diferensiasi pelaku tindak pidanan. 54 Dalam hal pencegahan umum penulis mengutip pendapat Muladi yang menyatakan bahwa dalam pidana penjara jangka pendek kesulitannya adalah dari segi menyatakan bahwa dalam pidana penjara jangaka pendek kesulitannya adalah dari segi waktu yang sangat singkat kurang menunjang secara efektif fungsi pidana penjara sebagai sarana pencegahan umum dibandingkan pidana penjara yang lebih lama. 55 Penahanan tersebut dimanfaatkan untuk mendidik dan memperbaiki, maka pencegahan yang dimaksudkan oleh penyusun naskah akademin undang-undang pemasyarakatan diatas adalah pencegahan khusus. Bila demikian penanganan suatu perkara harus secara cepat dan masa penahanan tidak boleh terlalu lama. Adapun data lamanya pidana penjara yang dijatuhkan hakim dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
54
Johannes Andenaea, Punishment and deterrence, dalam Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 82. 55 Muladi, Ibid, hlm. 81-85
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Rekapitulasi Narapidana Di Indonesia Menurut Lamanya Pidana Penjara Bulan Desember Tahun 2009 - 2010 Tahun/jumlah /% Tahun/jumlah /% No Lama Pidana 2009 % 2010 % 1 Seumur hidup 2 5 tahun lebih 3 1 – 5 tahun 83 33,33% 101 53,43% 4 0 – 1 tahun 166 66,66% 88 46,56% Jumlah 249 100 189 100 Sumber: Kantor Wilayah Propinsi Sumatera RUTAN Klas 1 Medan Dari data diatas dapat dikatakan bahwa untuk pidana seumur hidup dan 5 tahun lebih pada tahun 2009 – 2010 tidak ada. Tetapi untuk lama pidana 1 – 5 tahun sekitar 33,33% ditahun 2009, dan meningkat pada tahun 2010 sekitar 53,43%. Tetapi untuk lama pidana kurang dari 1 tahun pada tahun 2009 sekitar 66,66% menurun pada tahun 2010 menjadi 46,56%. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pidana singkat (kurang dari satu tahun) sampai saat decade ini masih tetap merupakan hal yang selalu ada dari sistem pidana Indonesia. Dengan demikian pembinaan terhadap tahanan adalah suatu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan kriminal dengan tetap mengingat bahwa upaya paksa penahanan maupun RUTAN adalah salah satu saran politik kriminal dalam mencapai tujuan pemidanaan. Sesuai pula dengan filsafat pembinaan yang dikemukakan Sudarto, maka mereka yang dipidana penjara singkat tetap berhak mendapatkan pembinaan. Apabila dinilai pembinaan terhadap mereka tidak mungkin dilakukan secara efektif, maka sebagai alternatifnya jenis pidana mereka jangka pendek itu yang harus dihapuskan atau dikurangi penerapannya, bukan
Universitas Sumatera Utara
pembinaan terhadap mereka yang ditiadakan. Sebagai alternatif pola pembinaan yang sesuai dengan jangka waktu pidana. Pentingnya agar aparat penegak hukum selektif dalam melakukan penahanan sehingga penahanan rumah tahanan negara hanya dikenakan terhadap tersangka bila diperlukan dengan didukung bukti yang cukup. Andenaes menuliskan bahwa ia tidak menolak untuk mempertahankan pidana penjara jangka pendek sebagai tulang punggung dari sistem pidana, bilamana pidana denda atau probation dianggap tidak memadai. 56 Masalah penahanan dan pembinaan tahapan ini semestinya dilihat sebgai dari keseluruhan upaya pengendalian kriminalitas dalam proses peradilan pidana tetapi kemudian undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Lembaga Negara Tahun 1995 No. 77, tidak memasukkan tahanan sebagai salah satu warga binaan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1 butir 7 undang-undang Pemasyarakatan tersebut. Hanya ada satu pasal yang khusus mengatur mengenai masalah penahanannya yaitu pasal 50 yang berbunyi : 1. Kewenangan, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan ada pada materi 2. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Apabila diamati isi undang-undang permasyarakatan menilai bahwa pembinaan tahanan tidak perlu diatur secara eksplisit dalam undang-undang, tetapi
56
Muladi dan Arief, Teori-Teori Pidana, edisi Revisi Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.
80.
Universitas Sumatera Utara
cukup dengan peraturan pelaksanaan saja. Hal ini dapat disimpulkan antara lain dari isi Pasal 51 yang memungkinkan peraturan dan keputusan menteri yang berkaitan dengan pembinaan tahanan terus berlaku. Pasal 51” Pada saat berlakunya undang-undang ini semua peratutan pelaksana yang berkaitan dengan pemasyarakatan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undangundang ini. Peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan pembinaan, pelayanan dan perawatan tahanan dalam berbagai Keputusan Menteri Kehakiman yang telah dikeluarkan, tetapi berlaku dan relevan dibicarakan. Selain itu menurut penulis, berdasarkan rumusan masalah Pasal 1 undang-undang pemasyarakatan mengenai warga binaan masih membuka kemungkinan tahanan menjadi warga binaan dengan syarat tersangka (tahanan) tersebut menjadi klien BAPAS (Balai Pemasyarakatan) baik atas inisiatif pejabat RUTAN maupun
inisiatif pejabat yang melakukan
penahanan. 57
57
Dalam Reglemen Penjara Stb. 1997 No. 78, masalah tahanan diatur lebih lengkap dan mendetail. Hal ini dapat dilihat Pasal 1 ayat (2,3 dan 4). (2) Penjara distrik dan tempat menahan orang tidak dipandang sebagai penjara yang dimaksudkan dalam peraturan ini; (3) Apabila bangunan-bangunan yang disebut dalam (2) tidak ada dan sebagai gantinya buat sementara digunakan satu atau beberapa ruangan dari sesuatu penjara, tata usaha tentang orang-orang yang ditutup di ruangan itu harus diuras masing-masing dan ketentuan-ketentuan dalam peraturan penjara ini tidak berlaku terhadap orang-orang itu. Dengan demikian terdapat dua jenis orang tahanan, yaitu (a) tahanan polisi, yaitu orang yang ada ditahan oleh polsis untuk dibuat proses verbalnya; dan (b) tahanan preventif, yaitu orang yang ditahan atas perintah kejaksaan atau pengadilan dimana terhadap tahanantahanan tersebut belakangan ini boleh dimasukkan dalam penjara yang diatur menurut peraturan penjara ini. Hal ini diperjelas lagi dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa orangorang yang ditahan untuk sementara (tahanan preventif, yaitu atas perintah jaksa/hakim karena dituduh menjalankan sesuatu yang melanggar hukum sementara menunggu putusan pengadilan) merupakan orang-orang terpenjara. Perlakuannya dan ketentuan terhadap orang tahanan preventif ini juga dipersamakan dengan narapidana. Dengan keluarnya KUHAP,
Universitas Sumatera Utara
Keuntungan yang diperoleh dengan melakukan pembinaan terhadap tahanan RUTAN adalah bahwa pembinaan itu dilakukan sejak dini. Dalam pidana penjara singkat hal ini penting karena pada umumnya sebagian besar masa pemidanaan telah dijalani tersangka dalam masa penahanan. Apabila harus ditunggu adanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti maka tidak mungkin dilaksanakan suatu
program pembinaan. Apalagi adakalanya terpidana langsung
bebas sebab lamanya pidana penjara yang dijatuhkan sama dengan masa tahanan yang dijalani. Pembinaan yang dilakukan sejak dini yakni sejak masuknya tersangka ke dalam RUTAN sesuai pula dengan kondisi kejiwaan tersangka yang baru memasuki alam baru (terutama yang baru pertama kali ditahan) sehingga biasanya mereka lebih mudah diarahkan. Menurut informasi beberapa responden tahanan di RUTAN klas I Medan, hal ini karena tahanan masih dalam suasana yang tidak pasti dan lebih tertekan sehingga mereka lebih menurut dan patuh. Hal ini Psikolog Sartono Mukadis menulis bahwa masa-masa krisis yang dialami seseorang tersangka ada sebelum vonis hakim jatuh atau selama masa penahanan pada tingkat penyidikan. Dalam hal ini menurut psikolog tersebut aparat penegak hukum terutama polisi harus lebih menampilkan sisi persuasiveinverstigatif. 58 Masih dalam suasana ketidak pastian itu, umumnya para tahanan cenderung memperkecil kesalahannya atau berusaha menjawab agar terkesan ia tidak bersalah apabila ditanya latar belakang ia masuk RUTAN. Masa penahanan adalah ketentuan mengenai orang tahanan preventif ini tidak berlaku lagi dan tidak dimasukkan dalam penjara atau lembaga pemasyarakatan, tetapi ke dalam RUTAN. 58 Forum Keadilan No. 24 Oktober 1990, hlm. 25
Universitas Sumatera Utara
masa awal seseorang tersangka masuk dalam kehidupan dan suasana pemidanaan. Oleh karena itu masa penahan ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pelacakan dan penelitian oleh para ahli diluar hukum pidana terhadap diri pribadi tahanan baik untuk kepentingan kelancaran proses peradilan pidana maupun untuk menentukan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya. 59 Dengan adanya kegiatan seperti diatas tahanan dapat dipersiapkan baik secara fisik maupun mental bila akan masuk dalam lembaga pemasyarakatan demikian pula bila nantinya kembali ketengah-tengah masyarakat. Pertanyaan tentang bagaimana kelanjutannya setelah ia keluar dari lembaga adalah spekulatif, sebab harus ada penelitian intensif dan kontiniu. Dari sudut pandang kebijakan kriminal maka pembinaan tahanan merupakan masalah yang perlu dipikiran secara serius, sebab merupakan salah satu sarana mencapai tujuan proses pemidanaan itu sendiri baik tujuan jangka pendek, jangka menngah maupun jangka panjang. 60 Adanya pola pembinaan tahanan masa penahanan dapat diisi dengan hal-hal yang positif dan bertujuan. Kehidupan yang terisolasi dalam RUTAN mudah menimbulkan kebosanan dimana hal itu paling 59
Materi perkuliahan Sejarah Hukum Pidana di Program Pascasarjana UI pada tanggal 31 Oktober 1992. 60 Politik kriminal adalah usaha rasional untuk menaggulangi kejahatan. Politik kriminal atau kebijakan kriminal merupakan bagian dari politik penegak hukum (law inforcement policy) sedangkan politik penegak hukum ini merupakan bagian dari politik atau kebijakan sosial yaitu keseluruhan usaha masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Muladi dan Barda Nawawi. A. “Politik Kriminal dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Perbankan dalam Kerangka Tindak Pidana Ekonomi”, dalam Buncta Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 1. Menurut Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational organization of the control of the crime by society, Marc Ancel, Social Defence: a Modern Approach to criminal problems, dalam Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Kriminil (Criminil Policy)”, (Semarang; Fakultas UNDIP, tanpa tahun), hlm.1-4.
Universitas Sumatera Utara
menderitakan bagi tahanan. Bila dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan ide atau pemikiran negatif seperti keinginan melarikan diri, penyimpangan perilku seksual dan sebagainya. Bahkan adakalanya tahanan lebih menderita dari pada narapidana karena narapidanan dapat bekerja diluar maupun didalam gedung, sedangkan para tahanan tidak dimungkinkan melakukan hal demikian. Sebenarnya dengan berbagai kegiatan yang ada dimungkinkan untuk melakukan cuci otak yang bersifat individual sehingga berbagai pemikiran dan ideide negatif tersebut dapat dihilangkan. Tetapi khusus pembinaan terhadap tahanan politik amat sulit, meski metode pembinaannya masih ada, seperti dengan diskusi untuk melakukan brain washing. Pemerintah sendiri memahami adanya kebutuhan itu dan terbukti akan suatu metode pembinaan terhadap tahanan. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-PK.04,10 Tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana/tahanan yang dimaksudkan sebagai penduan dalam menyukseskan pembinaan narapidana/tahanan. Menurut Keputusan Menteri Kehakiman diatas, dengan kegiatan yang ada tidak hanya dimasukkan untuk mengisi waktu luang tetapi harus dikaitkan dengan upaya merawat dan melayani tahanan agar dalam kondisi sehat jasmani maupun rohaniah. Asas yang dianut dalam pola pembinaan tersebut adalah mendapatkan tahanan, narapidana, anak negara dan klien pemasyarakatan sebagai subyek dan dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan. Dalam pola
Universitas Sumatera Utara
pembinaan tersebut dikemukakan beberapa prinsip umum pembinaan terhadap tahanan: 1. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (termasuk tahanan) disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan standart minimum rules yang kesemuanya tercermin dalam 10 prinsip pemasyarakatan, yakni: a. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. b. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara c. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat d. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari sebelum mereka dijatuhi pidana. e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan lingkungan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh sekedar prngisi waktu g. Pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus didasarkan Pancasila h. Narapidana dan anak didik sebagbai seorang tersesat adalah manusia dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia, martabat dan harkatnya sebagai manusia harus dihormati’ i. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialami j. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitasi, koreksi dan edukasi sistem pemasyarakatan. 2. Arah pelayanan perawatan tahanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan agar tujuan pembinaan dapat tercapai 3. Tujuan umum adalah agar mereka dapat menjadi manusia Indonesia yang baik dan berguna seutuhnya dan ikut serta dalam pembangunan nasional
Universitas Sumatera Utara
4. Bimbingan kegiatan hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela dan bersifat jangka pendek. Sebelumnya Menteri Kehakiman telah mengeluarkan beberapa ketentuan pengolahan tahanan dengan mempergunakan istilah perawatan tahanan, seperti Petunjuk Pelaksana No. E.76-UM.01.06 Tahun 1986 tentang Perawatan Tahanan Negara. Menurut petunjuk Pelaksana tersebut terdapat tiga asas yang melandasi perawatan tahanan, yaitu: 1. Praduga tak bersalah; 2. Kesamaan dimuka hukum; 3. Ketentuan
yang
mengatur
secara
limitative
atas
tindakan
pembatasan/pengekangan hak asasi. Dalam pola pembinaan Tahanan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Bab VII huruf C disebutkan bahwa bentuk pembinaan tahanan adalah pelayanan tahanan yang meliputi: 1. Bantuan hukum; 2. Penyuluhan rohani; 3. Penyuluhan jasmani; 4. Bimbingan bakat; 5. Bimbingan ketrampilan; 6. Perpustakaan.
Universitas Sumatera Utara
Diperhatikan bentuk pembinaan tahanan dalam bentuk keputusan Menteri Kehakiman tersebut tidak lain merupakan pelaksanaan hak-hak tersangka dalam tahanan antara lain disebutkan bantuan hukum, perawatan rohani dan perawatan jasmani. Tanpa pemberian hak-hak tersebut pembinaan tidak akan mempunyai arti penting bagi tahanan. Dengan demikian pada saat ini di Indonesia telah ada pembinaan terhadap tahanan, hanya saja pola atau pedoman mengenai pembinaan terhadap tahanan tersebut tidak diatur dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah, melainkan dalam bentuk Keputusan Menteri Kehakiman diatas tidak begitu dikenal ada petugas yang mengatakan masih berpedoman pada Regleman Penjara dengan menunjukkan fotokopinya. Selanjutnya dalam tabel berikut tergambar kegiatan yang diikuti tahanan di RUTAN Klas I Medan. Tabel 2 Kegiatan Rutin Tahanan Berdasarkan Jenis Dan Frekuensi No Jenis Kegiatan Frekuensi/Minggu 1 Olahraga 1. Volleyball 7 kali 2. Tenis Meja 6 kali 3. Bulu Tangkis 6 kali 2 Keagamaan 1. Islam 6 kali 2. Kristen dan katolik 4 kali 3. Hindu/budha 2 kali 3 Bimbingan Kegiatan kerja 1. Prakarya 3 kali 2. Kebersihan 4 kali Sumber : Data Sekunder dari Kementerian Hukum dan HAM Kanwil SUMUT RUTAN Klas I Medan
Universitas Sumatera Utara
Dari tabel diatas terlihat bahwa sudah mulai lumayan banyak dan sering kegiatan rutin yang dilakukan RUTAN Klas I medan. Pada umumnya kegiatan pembinaan rohani RUTAN adalah kegiatan keagamaan berupa ceramah-ceramah dan ibadah baik secara bersama-sama maupun yang bersifat pribadi. Dalam hal mengikuti ceramah agama para tahanan lebih menyenangi dan serius bila penceramah dari luar RUTAN dari pada penceramah dari dalam yaitu sesama tahanan, hanya masalahnya menurut kepala Sub. Bagian Bimbingan Kegiatan Tahanan RUTAN Klas I Medan, pengadaan penceramah dari luar dibatasi hanya sekali atau dua kali sebulan dengan alasan keterbatasan dana. Sedangkan untuk
kegiatan fisik kepada para tahanan
diwajibkan mengikuti senam kesegaran jasmani dipagi hari yang dilakukan dua minggu sekali. Ditambah lagi fasilitas keolahragaan, misalnya volleyball yang dilakukan setiap hari, tenis meja dan bulu tangkis setiap hari senin s/d rabu, dan kesemua aktivitas olahraga itu dilakukan pada saat pembukaan kereng. Kereng dibuka pada pukul 6 pagi sampai dengan 18 tepat. Selain olahraga dan keagamaan, kegiatan bimbingan kerja dilakukan oleh para tahanan dimana kegiatan bimbingan kerja itu dilakukan pada setiap waktu, tetapi ini juga masih sedikit tahanan yang ikut berpartisipasi. Kepartisipasian tahanan ini akan memberikan modal buat mereka pada saat mereka telah keluar dari RUTAN nantinya. Kegiatan bimbingan kerja itu diantaranya adanya kegiatan prakarya, kegiatan jasa meliputi pemangkasan rambut, bengkel motor dan elektronik, kegiatan bersih-bersih seperti kerbersihan lingkungan sekitar RUTAN, dan bagian dapur RUTAN. Fasilitas dan jenis kegiatan yang dapat diikuti tahanan sudah sangat membantu tahanan
Universitas Sumatera Utara
tersebut untuk memberikan dampak positif bagi tahanan. Hal ini terlihat dari rekapitulasi pendapat tahanan tentang manfaat pembinaan sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3 Tabel Tahanan Tentang Manfaat Pelayanan Di Rutan Klas I Medan No Kualifikasi manfaat F % 1 Sangat bermanfaat 8 36,36 2 Bermanfaat 7 31,81 3 Kurang bermanfaat 1 4,54 4 Tidak Bermanfaat 12 54,54 Jumlah 22 100 Sumber: Hasil Kuesioner terhadap tahanan di RUTAN Klas I Medan. Maret 2011 Terdapat 8 orang (36,36%) responden tahanan yang menjawab bahwa pembinaan di RUTAN sangat bermanfaat. Sebanyak 7 orang (31,81%) yang menjawab bermanfaat. Responden tahanan yang menjawab kurang bermnafaat sebanyak 1 orang (4,54%), dan responden tahanan yang menjawab tidak bermanfaat sebanyak 12 orang (54,54%). Sebagian responden tahanan yang menjawab bahwa pembinaan sangat bermanfaat mengemukakan alasan bahwa di dalam RUTAN mereka merasa terdorong dan mempunyai kesempatan yang cukup untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan juga keberadaan RUTAN sebagai tempat pembinaan saat ini dapat bermanfaat tetapi terbatas pada kategori “person” tertentu, yakni mereka yang tergolong tahanan kantoran, tetapi bagi pnejahat kambuhan maupun para pelaku tindak pidana yang tergolong ”street crime” yang umumnya berpendidikan rendah
Universitas Sumatera Utara
perlu pengarahan yang serius agar mereka dapat memandang permasalahan yang dihadapinya secara benar dan bersikap secara benar pula serta siap untuk berbuat yang terbaik bila kembali ketengah-tengah masyarakat. Mereka yang aktif dalam aktivitas ibadah di gereja dan mengikuti ceramah-ceramah keagamaan terutama dari golongan orang “kantoran” atau orang-orang yang mempunyai pekerjaan tetap. Adanya berbagai keterbatasan baik dalam hal sarana, metode kegiatan dan kemampuan sumber daya manusia sebagaiman diuraikan diatas, maka pembinaan terhadap para tahanan pada saat ini cukup memadai dan perlu ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan hasil kuisioner terhadap petugas RUTAN Klas I Medan yang dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 4 Pendapat Petugas Rutan Klas I Medan Tentang Kualitas Pelayanan Perawatan Terhadap Tahanan No Kualifikasi Manfaat F % 1 Telah Memadai 2 Cukup Memadai 8 61,53 3 Kurang memadai 5 38,46 4 Tidak Memadai Jumlah 13 100 Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Petugas RUTAN Klas I Medan, Maret 2011
Petugas RUTAN Klas I Medan yang menjawab bahwa kualitas pelayanan perawatan terhadap tahanan sudah cukup memadai sebanyak 8 orang (61,52%), dan yang menjawab masih kurang memadai sebanyak 5 orang (38,46%) petugas RUTAN Klas I Medan. Namun terlepas dari berbagai keterbatasan tidak berarti suatu proses pelayanan perawatan dan pembinaan tidak dapat dilaksanakan. Sesuai asas praduga
Universitas Sumatera Utara
tak bersalah yang harus dijunjung tinggi disamping kebutuhan akan pengaruh tahanan yang tidak dapat diabaikan, penulis mencoba mengajukan usul dalam penanganan tahanan dipergunakan pendekatan proses terapeutik. Pendekatan ini sebenarnya bukan hal baru tapi pernah dicantumkan dalam surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI, No. Kp.10.13/3/1, tanggal 8 Februari 1965 yang antara lain menyebutkan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses, yaitu proses terapeutik dimana narapidana waktu masuk lembaga pemasyarakatan berada dalam keadaan tidak harmonis dengan beberapa unsur masyarakat. Konsep proses terapeutik ini tercantum pula dalam pola pembinaan narapidana/tahanan berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02PK.04.10 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu “therapheutics process”. 61 Apabila dibandingkan dengan dunia kesehatan, konsep proses terapeutik itu sudah lama dipergunakan dalam membina hubungan kerjasama dengan pasien untuk keperluan penyembuhan pasien itu sendiri. Menurut Stuart dan Sundeen, secara umum tujuan hubungan terapeutik adalah untuk perkembangan klien yaitu: 1. Kesadaran diri, penerimaan diri dan penghargaan diri yang meningkat; 2. Pengertian yang jelas tentang identitas diri dan itegrasi diri ditingkatkan; 3. Kemampuan untuk membina hubungan intim, interdependen, pribadi dengan kecakapan menerima dan member kasih saying; 61
Mardjono Reksodiputro, Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia: Akademi Ilmu Pemasyarakatan Menghadapi Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Makalah, dalam rangka Dies Natalis XXVII Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta:24 Desember 1992, hal. 4, mengemukakan bahwa dalam tahun 1990-an dan 1970-an dilakukan usaha-usaha di penjara Amerika Serikat untuk secara lebih benar dan ilmiah melakukan teknik-teknik “therapheautic” dalam pembinaan narapidana.
Universitas Sumatera Utara
4. Meningkatkan fungsi dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan pribadi yang relistik. 62
Hubungan ini para professional akan memberi alternatif pada klien dan membantu klien dalam proses pemecahan masalah. 63 Dengan bertolak dari pengertian di atas, pengertian terapeutik yang umumnya digunakan dalam konteks dunia kesehatan itu dapat pula diterapkan dalam komunikasi antar aparat penegak hukum dengan tahanan pada setiap kesempatan yang ada. Pada pendekatan proses terapeutik ini dapat diterapkan dalam berbagai kontak antar tahanan dengan aparat penegak hukum baik oleh petugas di RUTAN maupun oleh polisi dan jaksa. Dengan terlebih dahulu memahami situasi yang dihadapi klien luar dan dalam maka komunikasi akan menjadi baik dan perilaku meladaptif akan dapat berubah jika tahanan ( sebagai klien) terdorong mencoba pola perilaku dan koping baru yang lebih konstruktif. Anna keliat mengemukakan bahwa dalam hubungan terapeutik klien harus didorong untuk mengekspresikan berbagai aspek kehidupannya selama berhubungan dan selanjutnya dikaitakan dnegan perilaku yang tampak. Area yang perlu diidentifikasikan sebagai konflik dan kecemasan perlu diklasifikasikan. 64 Penerapan proses terapeutik tidak bertentangan dengan azas praduga tak bersalah dan disamping itu penggunaannya tidak terbatas pada aparat atau instansi
62
Cook dan Fontaine, 1987, hlm. 14 dalam Anna Keliat, SKp, MSc., Hubungan Terapeautik, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1992, hlm. 1. 63 Cook dan Fontaine, 1987, hlm.14, dalam Anna Keliat, SKp, MSc., Ibid, hlm.2. 64 Ibid, hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
tertentu. Seperti RUTAN atau LAPAS. Seluruh aparat dalam sistem peradilan pidana seperti polisi dan jaksa dalam proses penyidikan dan penuntutan dalam setiap kesempatan berkomunikasi dengan tahanan dapat menggembangkan proses terapeutik ini. Tentu saja dalam melakukan proses terapeutik ini perlu kecakapan dari aparat penegak hukum sebab proses ini sulit diterapkan bila apa yang dikatakan petugas berbeda dengan kenyataan, bahwa hal itu justru akan menimbulkan ketidakpercayaan. Oleh karena itu dalam melakukan pembinaan terhadap tahanan maupun narapidana yang terpenting terlebih dahulu adalah pembinaan terhadap aparat agar dapat mengahayati tugas dan kekuasaanya sesuai dengan prinsip dan azas yang terkandung dalam KUHAP. Pendekatan proses terapeutik ini tidak mungkin dijalankan tanpa adanya penghayatan akan martabat kemanusiaan yang kuat dalam diri aparat penegak hukum. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa suatu peradilan pidana yang humanis merupakan kondisi terapeutik bagi peningkatan dan perbaikan pribadi tersangka.
Universitas Sumatera Utara