HUKUM PROGRESIF ALA MAHKAMAH KONSTITUSI Telaah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pencabutan Pasal 32 UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Adminduk Oleh: Ainul Yaqin
Pengandaian penulis terkait tema di atas didasarkan pada 2 (dua) hal, yaitu; Pertama, putusan Mahkamah
Konstitusi
dengan
nomor
18/PUU-XI/2013
terkait
dengan
administrasi
kependudukan telah memberikan satu khazanah bagi institusi-institusi pemerintah yang lain terkait dengan pelayanan publik agar memberikan pelayanan publik secara cepat dan murah. Kedua, pada tataran filosofis, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah cermin bahwa sebuah hukum tidak an sich dipandang secara formalistik, melainkan harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XI/2013 dilatarbelakangi oleh fakta empirik di masyarakat yang mengalami kerugian materi dalam melakukan proses pencatatan akta kelahiran yang melampaui 1 (satu) tahun. Dijelaskan dalam pasal 32 ayat (1) UU 23/2006 tentang Administrasi kependudukan bahwa pelaporan kelahiran yang melampaui batas waktu 60 hari sampai dengan 1 tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi setempat. Kemudian pada pasal 32 ayat (2) UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dipersoalkan oleh pemohon menjelaskan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 tahun sebagaimana pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan.
Proses melalui pengadilan ini ternyata mempersulit secara birokrasi dan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dalam membuat akta kelahiran menjadi tidak terjangkau. Hal ini dialami oleh Mutholib (seorang tukang parkir di Surabaya) selaku pemohon dan beberapa masyarakat di daerah yaitu; masyarakat Kabupaten Tanjung Alang Timur, Sulawesi Barat, Kabupaten Karawang, DKI Jakarta, Kabupaten Padang Sidempuan, dan Medan.1
1
Beberapa daerah tersebut dalam Putusan MK No. 18/PUU-XI/2013dikutip dari beberapa media yaitu Jawa Pos tanggal 7 Januari 201, Jawa Pos tanggal 28 Desember 2012, Jawa Pos tanggal 6 Juni 2012, Surya tanggal 4 Januari 2013, Surya tanggal 3 Januari 2013, (Putusan MK No. 18/PUU-XI/2013, h. 8).
Menurut pengakuan Mutholib (sebagaimana terlampir dalam putusan) bahwa proses pengurusan akta kelahiran yang terlambat 1 (satu) tahun lebih, harus meminta surat pengantar kepada RT/RW, kemudian ke kelurahan, ke kantor pos besar, ke bank, dan membawa 2 (dua) orang saksi. Proses ini adalah bentuk birokrasi yang berlapis dan berbelit-belit. Hal ini tentu tidak sejalan dengan kebijaksanaan nasional untuk melakukan reformasi birokrasi dan pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945, sebagaimana konsideran UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Beberapa argumentasi yang diajukan oleh pemohon sebagai bahan diskusi dalam tulisan yaitu; Pertama, argumentasi yuridis bahwa pada dasarnya penerbitan akta kelahiran adalah hak seseorang penduduk, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 2 huruf a Undang-Undang ini bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan. Potensi hak setiap penduduk itu sebagai penjabaran dari: a. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) bahwa “setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan”. b. Keberadaan hak anak tersebut juga dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235), Pasal 5 yang berbunyi “setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Pada Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi “identitas setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya”. Identitas sebagaimana dimaksud dlama ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran. c. Status hukum hak anak tersebut, berasal dari muara hukum nasional yaitu Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.
Kedua, argumentasi empirik bahwa di level pelaksanaan ketiga undang-undang diatas ternyata justru mempersulit dan membebani masyarakat serta melanggar hak dan konstitusi. Ketiga undang-undang tersebut oleh pemohon diuraikan sebagai berikut;
a. Menimbulkan kesulitan, hambatan, keruwetan, beban biaya dan tambahan beban bagi Pengadilan Negeri dan telah membuat kesibukan tersendiri bagi Mendagri, sehingga dalam kurun waktu 5 (lima) terus menerus membuat Surat Edaran, dispensasi dan penangguhan pelaksanaan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang ini (bukti P-4). b. Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang ini telah melakukan pelanggaran hak yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa jaminan hak anak untuk memperoleh status kewarganegaraan telah dibebani kewajiban sekaligus sebagai sanksi bahwa bila terlambat melaporkan 1 (satu) tahun, maka ada syarat berat yakni harus dengan penetapan pengadilan negeri. c.
Akibat adanya kewajiban dan sanksi dalam UU a quo, maka pengurusan akta kelahiran telah menimbulkan biaya besar, apalagi bagi masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan, yaitu antara lain: biaya transportasi beberapa kali ke pengadilan, mengurus leges ke kantor pos, menghadirkan 2 saksi, mengurus surat kenal lahir ke kepala desa, dan lain-lain. Hal tersebut telah merugikan dan melanggar hak konstitusional warga negara khususnya para Pemohon akta kelahiran. Contoh biaya sidang Pengadilan Negeri Malang berkisar sekitar Rp.177.000,sampai Rp. 236.000,- sesuai dengan jarak jauh dekat, dan biaya itu disetorkan lewat rekening bank. ntuk penyiapan proses persidangan dan penetapan di Pengadilan Negeri Kepanjen Malang, harus membuat 8 jenis surat termasuk surat penetapan sebanyak 8 halaman, adapun bagi Pemohon harus menyiapkan 7 jenis surat di luar perjalanan ke kantor pos besar di kota.
Dari uraian fakta dan argumentasi yang diajukan oleh pemohon diatas, penulis berkesimpulan bahwa permasalahan yang terjadi di atas diakibatkan oleh kebijakan pelayanan publik yang seharusnya memudahkan secara birokratis dalam melayani masyarakat, ternyata justru mempersulit dan membebani masyarakat sebagaimana pengaturan pada Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Berdasarkan fakta empiris dan argumentasi yang diajukan oleh pemohon di atas, maka Mahkamah Konstitusi merespon dengan beberapa pertimbangan hukum yang dalam dan luas dari aspek tinjauan kajian masyarakat hukum.2 Secara yuridis, Mahkamah Konstitusi
2
Masyarakat hukum adalah sekelompok orang dalam wilayah tertentu dimana berlaku serangkaian peraturan yang jadi pedoman bertingkah laku bagi setiap anggota kelompok dalam pergaulan hidup yang jadi
berpendapat bahwa berdasarkan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tentang kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga rakyatlah yang menentukan di dalam suatu negara. Otonomi daerah adalah bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat, sehingga negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat (3) dan (4) serta pasal 28 ayat (1) UU 23/2002 3 Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pelayanan akta kelahiran merupakan kewajiban pemerintah di bidang administrasi kependudukan yang diselenggarakan dengan sederhana dan terjangkau. Pada sisi lain, setiap penduduk wajib melaporkan setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya, termasuk kelahiran.
Pada tataran implementasi undang-undang terkait dengan pelayanan publik, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa penyelenggara pelayanan publik (pemerintah) masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga menimbulkan dampak terjadinya berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Kesadaran masyarakat yang semakin tinggi untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik dan berkualitas seringkali terhambat oleh berbagai persoalan teknis administratif yang tidak dapat segera diatasi karena masih adanya ketentuan hukum yang tidak kondusif bagi pelayanan publik yang cepat, sederhana, dan murah.
Secara sosiologis, Mahkamah Konstitusi menguraikan urgensi akta kelahiran bagi penduduk dan menjelaskan dampak domino apabila akta kelahiran tersebut dikelola secara berbelit-belit. Bagi Mahkamah Konstitusi, administrasi Kependudukan (akta kelahiran) sangat penting bagi penduduk, karena dengan akta kelahiran penduduk akan memperoleh dokumen kependudukan pedoman bertingkah laku bagi setiap anggota kelompok dalam pergaulan hidup mereka (http://www.kumpulanistilah.com/2012/11/pengertian-masyarakat-hukum.html) 3 Pasal 27 ayat (3) UU 23/2002 bahwa “Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran”. Pasal 27 ayat (4) UU 23/2002 menyatakan, “Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.” Pasal 28 ayat (1) UU 23/2002 menyatakan, “Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.”
yang dapat menjadi bukti yang sempurna sebagai sebuah akta autentik, yang menjadi bukti jati diri seseorang, hubungan seseorang dengan keluarganya yang akan memiliki rentetan akibat hukum baik tanggung jawab perdata orang tua kepada anak, maupun hak waris seseorang. Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaannya. Akibat terburuk adalah adanya manipulasi identitas anak yang semakin mempermudah eksploitasi anak, seperti perdagangan anak, pemanfaatan tenaga kerja anak, dan kekerasaan terhadap anak. Akta kelahiran juga berkaitan dengan syarat legal-formal identitas seseorang di hadapan hukum, karena salah satu di antaranya terkait dengan penentuan batasan usia seseorang untuk dikatakan sebagai dewasa menurut hukum, dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri.
Di sisi yang lain, penataan administrasi kependudukan bukan semata-mata demi kepentingan penduduk atau warga negara itu sendiri, melainkan juga kepentingan birokrasi. Menurut Mahkamah Konstitusi, negara membutuhkan data kependudukan untuk merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan yang terarah dan tepat sasaran. Salah satu standar birokrasi yang berkarakter good governance adalah dapat dilihat kualitas pelayanan publik sekaligus penyelenggaraannya.
Secara filosofis, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa keberatan masyarakat dalam pengurusan akta kelahiran melalui mekanisme penetapan pengadilan serta keharusan melalui prosedur administrasi dan waktu yang cukup panjang dan biaya yang lebih banyak dapat menimbulkan tertundanya keadilan atau keadilan yang terabaikan (justice delayed, justice denied). Keberatan tersebut bukan saja bagi mereka yang tinggal jauh di daerah pelosok tetapi juga bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap kepastian hukum.
Uraian pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis di atas, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan bahwa pasal 32 ayat (1) dan (2) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat atau mengabulkan permohonan pemohon. Dengan demikian pengurusan akta kelahiran dapat dilakukan langsung di tingkat dinas kependudukan dan catatan sipil setempat tanpa melalui proses pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi ini jika dimaknai lebih dalam, sebenarnya mencerminkan corak hukum (produk hukum) yang berkarakter hukum progresif. Sajtipto Raharjo menjelaskan bahwa secara moral, hukum progresif itu mendorong agar cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik.4 Apa yang dilakukan Mahkamah Konstitusi sebenarnya mengarah pada bagaimana reformasi pelayanan publik dalam hal ini adalah pengurusan akta kelahiran menjadi lebih baik. Ketika layanan akta kelahiran diproses melalui lembaga peradilan ternyata melahirkan kerumitan-kerumitan (hal yang tidak baik) bagi masyarakat, maka dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut layanan akta kelahiran bisa menjadi murah dan mudah (hal yang lebih baik).
Hukum progresif juga memberikan gagasan yaitu kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo.5 Putusan Mahkamah Konstitusi di atas selain berlandaskan aspek yuridis juga melandaskan pada aspek sosiologis, yaitu kerumitan pengurusaan akta kelahiran di pengadilan ternyata memberatkan masyarakat dari sisi waktu dan biaya. Uraian keberatan masyarakat ini diulang-ulang oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, artinya Mahkamah Konstitusi hendak memberikan pesan kepada kita semua bahwa ketika aturan hukum itu bertentangan dengan kepentingan hak asasi manusia, maka yang harus diunggulkan adalah kepentingan hak asasi manusia. Nilai kemanusiaan ini juga menjadi ciri dari hukum progresif. Satjipto mengatakan, hukum dianggap profesional jika hukum tersebut mengarah pada tujuan kemanusiaan.6
4
http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/01/12/hukum-progresif-prof-satjipto-rahardjo/ Status quo : adalah membiarkan keadaan yang sekarang seperti keadaan yang sebelumnya (http://berbagitentanghukum.blogspot.com/2011/12/arti-status-quo_22.html), "Status quo" berasal dari bahasa Latin, artinya 'keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan sebelumnya'. Jadi, mempertahankan status quo berarti mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya. (http://id.wikisource.org/wiki/Buku_Praktis_Bahasa_Indonesia_2/61-90) 6 http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/01/12/hukum-progresif-prof-satjipto-rahardjo/ 5