BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Malaysia memiliki kultur dan dinamika politik yang unik dan berbeda dengan politik domestik negara-negara lain di kawasan. Struktur sosial masyarakat yang plural banyak mempengaruhi perkembangan demokrasi di Malaysia.
Dalam
beberapa
tahun
terakhir,
dinamika
politik
Malaysia
memperlihatkan beberapa perubahan dan perkembangan yang menarik khususnya dalam hal kontestasi politik. Pertarungan politik Malaysia yang sejak dahulu didominasi oleh Barisan Nasional, mendapatkan perlawanan kuat dari kelompok oposisi. Barisan Nasional mengalami pemilu terburuknya di tahun 2013 dimana hasil popular vote menunjukkan perolehan suara Barisan Nasional berada dibawah kelompok oposisi yaitu 5,22 juta melawan 5,489 juta suara1, namun Barisan Nasional berhasil menjaga perolehan kursi di angka 133 melawan 89 kursi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Malaysia menginginkan perubahan dalam pemerintahan dan sistem politik. Meskipun Barisan Nasional kembali memenangkan kursi perdana mentri, kepemimpinan perdana menteri Najib Razak terus mendapatkan tantangan dan kritik, seperti tuduhan korupsi, tuntutan transparansi, ham yang dikarenakan meningkatnya partisipasi publik. Barisan Nasional merupakan koalisi yang telah memimpin Malaysia sejak awal kemerdekaan. Pada awalnya koalisi tersebut bernama Perikatan yang dibentuk pada tahun 1952 dan kemudian pada tahun 1972 berubah menjadi Barisan Nasional. Terbentuknya Barisan Nasional tidak terlepas dari struktur masyarakat Malaysia yang plural. Barisan Nasional terdiri dari gabungan partai berbasis etnisitas dengan didasari prinsip political accommodation dalam bentuk consociationalisme. Kondisi tersebut telah menciptakan sistem politik dimana oposisi sulit untuk berkembang. Pada tahun 1969 mekanisme consociational 1
Wangke., Humphrey, Isu Rasial dalam Pemilihan Umun di Malaysia. Info Singkat Hubungan Internasional DPR RI Vol. V, No. 10/II/P3DI/Mei/2013., p. 1
1
mendapatkan tantangan dengan terjadinya konflik rasial yang merupakan puncak dari sentimen antar etnis pada pertengahan 1960-an. Insiden tersebut mengubah sistem politik Malaysia dari consociationalisme kepada Malay political hegemony2. Pemerintahan gabungan partai berbasis etnis masih bertahan meskipun asas multiple balance of power tidak ikut dipertahankan, dimana terdapat affirmative action yang diperuntukan kepada warga etnis Melayu. Tidak hanya dalam tataran elit, sebagian besar masyarakat Malaysia kembali mendukung Barisan Nasional. Dalam pemilu pertama pasca kerusuhan tahun 1974, Barisan Nasional mendapatkan kemenangan mutlak dengan memperoleh 104 kursi dari 114 total kursi. Dalam pemilu-pemilu berikutnya Barisan Nasional juga mendominasi perolehan suara dan kursi di parlemen. Setelah Kerusuhan, Malaysia memasuki fase kedua pemerintahan yang ditandai dengan ideologi pembangunan “developmental state model” yang identik dengan intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi melalui penerapan NEP sebagai kebijakan utama. Kebijakan tersebut merupakan tindakan affirmative action yang dirasa perlu dilakukan karena disparitas pendapatan etnis Melayu dan Cina yang telah menciptakan konflik besar ditahun 1969. Intervensi pemerintah dalam pembangunan membawa pengaruh positif dalam hal ekonomi dan juga politik. Dalam hal ekonomi, Jumlah kelas menengah khususnya etnis Melayu meningkat, Malaysia bertransformasi dari negara agraris menjadi Newly Industrialized Countries (NICs), selain itu Malaysia masuk dalam kategori East Asian Miracle yang dilaporkan Bank dunia tahun 19933. Dalam politik, sejak pelaksanaan NEP stabilitas politik Malaysia terjaga dengan sangat baik yang berpengaruh terhadap legitimasi dan efektifitas pemerintahan. Pemilu 1999 menjadi tantangan awal bagi Barisan Nasional. Apa yang terjadi dalam pemilu 1999, dapat dipahami dan dijelaskan dalam konteks perubahan sosial masyarakat Malaysia yang diperlihatkan dengan kebangkitan
2
Milne, R. S dan Mauzy, Diane. K. “Malaysian Politics Under Mahathir” Rodledge: London. 2002, hlm. 3 3
Yuniarti, Peran Negara Dalam Pembangunan Industri di Malaysia., Jurnal Sosial Politika Vol. 15 No. 2, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman, Desember 2008., p.21.
2
gerakan masyarakat sipil dan perubahan perilaku politik masyarakat. Krisis 1997 telah mendorong konsolidasi gerakan sosial masyarakat dengan partai politik oposisi yang kemudian menciptakan gerakan oposisi Barisan Alternatif. Dalam Pemilu 1999 kepemimpinan Barisan Nasional mulai diperdebatkan, karena kebijakan pembangunannya yang cenderung tidak demokratis dan ditenggarai telah membawa Malaysia dalam krisis pada tahun 1997. Pada tahun 1999, BN mengalami kemerosotan suara yang cukup drastik. Meskipun BN memenangkan dua pertiga mayoritas kursi di parlemen, namun hanya mendapat 56,3% perolehan suara. Tahun tersebut menjadi awal dari perubahan politik Malaysia sekaligus menjadi tantangan bagi Barisan Nasional untuk terus memimpin Malaysia. Pasca krisis tersebut popularitas dan kekuatan politik Barisan Nasional terus menurun. Tantangan terbesar Barisan Nasional adalah pelaksanaan pemilu ke-13 yang dilaksanakan pada tahun 2013 dimana untuk pertama kalinya Barisan Nasional kalah dalam perolehan suara dari oposisi meskipun berhasil mengamankan kursi mereka di parlemen. Dalam pemilu tersebut Barisan Nasional kehilangan sebagian besar suara warga Melayu di perkotaan dan yang paling buruk sekitar 90% masyarakat etnis Cina beralih kepada kelompok oposisi yang disebut oleh para elit sebagai “Chinese Tsunami”. Krisis ekonomi
tahun 1997 telah membawa babak baru dalam
perkembangan politik Malaysia. Muncul beragam kritik terhadap pemerintah, dimana banyak kalangan memandang krisis tersebut antara lain bersumber dari begitu besarnya peran negara dalam proses pembangunan. Momentum tersebut membuka
peluang
gerakan
oposisi
untuk
melakukan
propaganda
dan
mengumpulkan kekuatan melawan dominasi politik Barisan Nasional. Propaganda tersebut semakin menguat ketika World Bank, IMF, dan WTO turut melakukan kritik dan menyalahkan pelaksanaan pembangunan negara-negara Asia dan menekan mereka untuk menerapkan konsep good governance dan liberalisasi ekonomi sebagai solusi. Krisis finansial 1997 tidak hanya mempengaruhi perekonomian Malaysia namun juga berpengaruh signifikan terhadap struktur sosial dan politik Malaysia. Dalam sudut pandang politik internasional, fenomena tersebut dapat dijelaskan
3
dengan konsep globalisasi dimana adanya upaya untuk menciptakan dunia yang tunggal melalui liberalisasi ekonomi dan demokratisasi dalam politik. Krisis 1997 merupakan dampak dari globalisasi finansial dimana pergerakan bebeas barang, jasa, buruh dan modal menciptakan satu pasar tunggal. Selain itu aktivitas pasar modal dan pasar uang memberikan pengaruh terhadap nilai tukar mata uang suatu negara. Krisis 1997 telah menciptakan depresiasi mata uang di beberapa negara Asia termasuk Malaysia. Krisis 1997 tidak hanya mempengaruhi perekonomian Malaysia namun juga kondisi politik Malaysia khususnya dukungan masyarakat terhadap pemerintahan Barisan Nasional. Dalam permilu-pemilu pasca krisis finansial 1997 dukungan masyarakat terhadap Barisan Nasional terus menurun puncaknya dalam pemilu 2013. Apa yang terjadi dalam pemilu 2013 dapat dijelaskan dengan memahami fenomena yang terjadi ketika krisis finansial melanda negara-negara di Asia khususnya Malaysia.
1. 2 RUMUSAN MASALAH Permasalahan utama dalam karya tulis ini adalah: “Mengapa dukungan masyarakat terhadap pemerintah Malaysia berkurang pasca krisis finansial tahun 1997?” 1. 3 LANDASAN KONSEPTUAL Untuk menjawab pertanyaan diatas penulis akan menggunakan tiga konsep yang akan menguraikan lebih lanjut tentang permasalahan tersebut. 1. 3. 2. Klientelisme Pada awal kemerdekaan, Malaysia menerapkan mekanisme consociational untuk mengakomodasi pluralitas etnis masyarakat. Kondisi tersebut tidak terlepas dari peran pemerintahan kolonial dalam mendorong terbentuknya partai-partai berbasis etnisitas yang dapat bekerjasama membentuk pemerintahan pasca kolonial. Consociational Democracy merupakan sebuah sistem politik yang dibentuk sebagai upaya penyelesaian konflik dalam masyarakat yang sangat pluralistik, dimana masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan
4
agama, etnik, bahasa, ras dan ideologi dengan cara kerjasama antara elit yang mewakili kelompok-kelompok tersebut dalam pemerintahan. Pelaksanaan mekanisme consociational merupakan refleksi dari social cleavage di Malaysia. Mekanisme tersebut berakhir pasca kerusuhan antar etnis terjadi tahun 1969. Milne dan Mauzy menyebut sistem poltik Malaysia pasca kerusuhan tersebut sebagai hegemonic consiciationalism karena adanya hegemoni partai UMNO4. Meskipun telah terjadi pergeseran dalam sistem politik Malaysia, keberadaan partai politik berbas etnis masih dipertahankan begitu juga dengan koalisi Barisan Nasional yang berhasil memenangkan pemilu hingga saat ini. Terdapat beberapa perbedaan yang menonjol dalam kebijakan publik di Malaysia pasca kerusuhan, yaitu agenda-agenda pembangunan dengan New Economic Policy (NEP) sebagai program utama. Kebijakan tersebut berhasil meningkatkan perekonomian sekaligus popularitas Barisan Nasional, selain itu secara tidak langsung membentuk pola patron-client dalam sistem politik Malaysia. Popularitas Barisan Nasional mulai menurun dalam dua pemilu terakhir khususnya pemilu 2013, dimana perolehan suara Barisan Nasional berada dibawah oposisi. Pertanyaannya, mengapa partai berbasis etnis berhasil mempertahankan kekuatan politik, legitimasi dan koalisinya dalam waktu yang lama meskipun consociationalisme Malaysia sudah berakhir? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menggunakan konsep “clientelistic linkage” untuk memahami sistem politik Malaysia dan relasi antara masyarakat, politik dan pemerintahan. Linkage merupakan ragam bentuk ikatan atau koneksi yang terjalin antara warga negara secara individual, organisasi sosial, dan sistem politik. Dalam politik domestik, linkage mengacu pada perasaan dan ketertarikan individu kepada organisasi-organisasi yang ada dalam sistem politik. Pada era politik modern, partai politik merupakan agen kunci intermediary yang menghubungkan masyarakat
dengan
menitikberatkan
pemerintah.
kajian
tersebut
Oleh
karena
kepada
itu
partai
para politik.
ilmuan
politik
Kay
Lawson
4
Hefner, Robert. “Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan”, Kanisius; Yogyakarta, 2011. Hlm 57
5
mengkategorikan linkage dalam lima tipologi, yaitu: participatory, electoral, policy responsive, clientelistic dan directive5. Dari tipe-tipe tersebut, sistem politik Malaysia pasca kerusuhan rasial menunjukkan kecenderungannya kepada polapola klientelistik. Menurut Lawson elemen paling utama dalam klientelisme adalah pertukaran kepentingan antara individu dengan partai politik dimana adanya “reward” yang diperuntukan kepada individu karena telah memberikan dukungan kepada partai, dengan kata lain relasi yang terjalin sangat “oportunis”. Herbert Kitschelt dan Steven I. Wilkinson menjelaskan klientelisme merupakan hubungan antara agen politik dengan konstituennya dengan cara pertukaran kepentingan secara transaksional6. Pola hubungan seperti itu juga disebut patronase, dimana negara sebagai patron dan masyarakat (konstituen) sebagai client. Menurut mereka negara-negara di kawasan Amerika Latin, Asia Selatan dan Asia tenggara banyak yang ditemukan pola-pola klientelisme dalam periode pra-industri dan menghilang secara bertahap melalui modernisasi 7. Klientelisme tercermin dalam penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik melalui pola pertukaran yang bersifat langsung dan partikular antara klien dengan politisi atau fungsionaris partai politik. Klientelisme politik, dalam pengertian yang paling sederhana digambarkan sebagai distribusi keuntungan-keuntungan kepada individu atau kelompok yang teridentifikasi secara jelas yang akan ditukar dengan dukungan politik dari penerimanya. Jonathan Hopkin menyatakan bahwa klientelisme merupakan sebuah bentuk pertukaran yang sifatnya personal dan biasanya dicirikan dengan adanya sejumlah kewajiban dan bahkan juga adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang diantara mereka yang terlibat. Menurutnya, klientelisme akan hadir dan menguat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sumberdaya-sumberdaya penting dikelola dan dikontrol oleh kelompok tertentu dalam masyarakat. Kedua, sang patron mensyaratkan adanya layanan balik yang diberikan oleh klien sebagai bentuk 5
Modul Mata Kuliah Partai Politik Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. “Political Linkage”, hlm 10 6 Kitschelt, Herbert dan Wilkinson, Steven I, “Patron, Client, Patron, Clients, and Policies: Pattern of Democrtic Accountability and Political Competition”, Cambridge University Press: New York. 2007, hlm 7 7 Ibid., hlm 3
6
imbalan jasa dari patron. Ketiga, kelompok-kelompok klien akan dicegah untuk memperoleh akses sumberdaya secara penuh agar memiliki ketergantungan terhadap patron. Keempat, pengalokasian sumberdaya tidak diimplementasikan secara profesional melainkan bergantung pada kedekatan patron dengan client 8. Dalam perkembangannya klientelisme bertransformasi sesuai dengan kondisi sosial yang ada. Perkembangan klientelisme dalam demokrasi modern biasanya, hubungan antara patron dengan klien tidak terlalu hirarkis dalam artian klien tidak terlalu bergantung pada patron. Dalam kasus Malaysia, pemerintahan pasca kerusuhan rasial memiliki beberapa karakter dalam sistem politik diantaranya, hegemony UMNO dalam koalisi Barisan Nasional, penerapan internal security act dan ideologi “developmentalism” dimana pemerintah memprioritas aktifitas negara pada pembangunan ekonomi, peran negara yang besar dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi, serta kontrol yang kuat terhadap sektor swasta9. Dalam beberapa tulisannya, Khanchan Chandra menjelaskan adanya keterkaitan antara politik etnis dengan klientelisme politik salah satunya dikarenakan terbatasnya akses informasi kepada masyarakat. Keterbatasan informasi mempengaruhi perilaku politik individu, dimana individu dalam masyarakat yang multi-etnis akan mempercayakan suaranya kepada partai berbasis etnis dengan mengharapkan partai tersebut memperjuangkan kepentingan mereka. Menurut Khancan Chandra, minimnya informasi akan menciptakan loyalitas individu kepada partai berbasis etnis dan kelompok etnisnya dengan pola transaksional atau klientelistik10. Masyarakat Malaysia khususnya etnis Melayu memercayakan UMNO sebagai pelindung dan juga perwakilan mereka dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga Melayu. Penerapan NEP
8
Hanif, Hasrul. “Politik Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Vol 12. No. 3 (2009), hlm. 331 9 Winanti, Poppy Sulistyaning. “Developmental State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Vol 7, no 2 (2003), hlm 178 10 Chandra, Kanchan. “Counting Heads: a Theory of Voters and Elite Behavior in Patronage Democracies”, (dalam Kitschelt, Herbert dan Wilkinson, Steven I. Op cit), hlm 85
7
merupakan bentuk dari affirmative action dan pembelaan terhadap etnis Melayu sehingga loyalitas etnis Melayu terhadap UMNO semakin terjaga terlebih setelah kerusuhan rasial 1969. Disisi lain pemerintah menutup rapat informasi dan menindak tegas apabila terdapat pergerakan oposisi dan berkembangnya gerakan politik baru diluar politik etnis melalui internal security act. Ideologi developmentalism akan menciptakan ketergantungan kelas menengah terhadap pemerintah karena kontrol pemerintah terhadap akses dan sumber daya ekonomi. Dalam kasus Malaysia, kebijakan developmentalist berhasil menciptakan kelompok kelas menengah baru khususnya masyarakat etnis Melayu. Ide tentang developmental state telah berhasil menjadikan kemajuan pesat Malaysia dalam ekonomi dan industri, namun disisi lain IMF berargumen bahwa developmental state model akan dapat berjalan efektif hanya pada tahap awal pembangunan ekonomi dan akan tidak relevan ketika proses pembangunan ekonomi tersebut telah mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi 11. Richard Robinson juga mengungkapkan hal yang sama, fenomena pembangunan di negara industri baru dimana peran dominan negara dalam hal ekonomi lambat laun dianggap tidak dibutuhkan bahkan mengganggu seiring dengan berkembangnya kelas menenggah yang semakin tidak tergantung pada negara atau patron 12. Melalui konsep klientelisme, penulis akan menjelaskan sistem politik Malaysia khususnya dalam periode pembangunan dan juga korelasinya terhadap perubahan kultur politik Malaysia saat ini.
1. 3. 2 Globalisasi Dalam studi hubungan internasional globalisasi menjadi konsep yang sering digunakan untuk mengambarkan fenomena dunia kontemporer sehingga mendorong banyak peneliti untuk mendefinisikan tentang globalisasi. Lodge (1991) mendefinisikan globalisasi sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia dapat menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungan dalam semua aspek kehidupan mereka baik dalam budaya, ekonomi, 11 12
Winanti, Poppy Sulistyaning . Op Cit., hlm. 198 Mas’oed, Mohtar. Op cit., hlm 55
8
politik, teknologi maupun lingkungan 13. Dalam pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat dunia hidup dalam era dimana sebagian besar kehidupan mereka sangat ditentukan oleh proses-proses global, apa yang terjadi dalam suatu negara dapat berpengaruh terhadap negara lain. Globalisasi merupakan proses interkoneksi yang terus meningkat di antara berbagai masyarakat sehingga kejadian-kejadian yang berlangsung disebuah negara mempengaruhi negara dan masyarakat lainnya 14. Globalisasi tidak hanya dikenal sebagai konsep dalam studi hubungan internasional, politik maupun ekonomi karena fenomena globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Banyak ahli yang menaruh minat dalam kajian globalisasi mendefinisikan globalisasi sebagai proses ekonomi meskipun pada dasarnya globalisasi tidak semata proses ekonomi. Sebaliknya, konsep globalisasi digunakan untuk menjelaskan bidang-bidang kegiatan ekonomi, politik, dan sosial yang melintasi batas-batas teritorial yang mengakibatkan keputusan dan aktivitas dalam suatu wilayah akan dapat mempunyai dampak yang signifikan terhadap individu di dunia yang mempunyai jarak cukup jauh. Jan Aart Scholtc menggambarkan secara garis besar ada 5 definisi luas tentang globalisasi: 1. Globalisasi sebagai internasionalisasi, semakin intensnya hubungan dan kegiatan antar negara sehingga terjadi saling tukar menukar dan saling ketergantungan antar negara khususnya perihal perdagangan. 2. Globalisasi sebagai liberalisasi, yakni merujuk pada proses pemusnahan berbagai proteksi negara sehingga ekonomi dunia menjadi lebih terbuka dan tanpa batas. 3. Globalisasi sebagai universalisasi informasi, komunikasi dan transportasi. 4. Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi, yaitu merebaknya ke seluruh dunia struktur modernitas barat yang menyangkut kapitalisme,
13
Winarno, Budi. “Pertarungan Negara vs Pasar”. MedPress: Jakarta. 2009, hlm 19 Rais, Mohammad Amien. “Selamatkan Indonesia: Agenda Mendesak Bangsa”. PPSKPress: Yogyakarta. 2008, hlm. 13 14
9
rasionalisme, industrialisme, birokratisme dan lain sebagainya yang cenderung merusak daya lokal yang sudah ada lebih dahulu. 5. Globalisasi sebagai deteritorialisasi15. Pasca perang dunia II kepemimpinan ekonomi global beralih ke tangan Amerika Serikat yang mulai menguasai ekonomi global dan berakhirnya perang dingin menjadikan agenda globalisasi semakin massif. Kemenangan Amerika dalam persaingan dunia telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada kelompok-kelompok neoliberal untuk mempengaruhi dan meyakinkan negaranegara di dunia bahwa liberalisasi dan kapitalisme merupakan satu-satunya pilihan bagi pencapaian hidup yang lebih tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi. Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul “The end Of History and The Last Man” menjelaskan berakhirnya perang dingin telah mengakhiri pertarungan ideology-ideologi besar di dunia. Fukuyama berpendapat bahwa demokrasi liberal yang didukung oleh system ekonomi kapitalis merupakan titik balik dari evolusi ideologis umat manusia dan bentuk final pemerintahan. Kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme semakin dikuatkan dengan keberadaan tiga institusi pilar yang menopang globalisasi sejak 1980-an yaitu IMF, World Bank dan WTO. Pada tahun 1990-an ketiga institusi tersebut kemudian mengeluarkan sebuah konsep pemerintahan yang dinamakan good governance yang dijadikan sebuah doktrin untuk negara-negara dunia ketiga untuk ikut mengikuti bentuk demokrasi liberal dan kapitalisme. Konsep good governance menganjurkan agar pemerintahan menjalan kan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik yang erat kaitannya dengan demokrasi dan kapitalisme.
Jadi
Globalisasi
secara
konseptual
merupakan
integrasi,
kesalinghubungan dan interdependensi dengan nilai-nilai demokrasi liberal dan kapitalisme. Huntington dalam bukunya “The Third Wave; Democratization in thr Late Twentieth Century” menjelaskan fenomena gelombang demokratisasi yang bersifat global yang mempengaruhi banyak negara khususnya negara-negara 15
Ibid., hlm 14
10
berkembang dengan rezim otoritarian dan totaliter. Ia menjelaskan tiga negara penghasil minyak dengan GNP tinggi (Arab Saudi, Libya dan Kuwait) masih belum dapat dikatakan demokratis. Namun, proses perkembangan ekonomi di beberapa negara yang melibatkan industrialisasimelahirkan masyarakat yang lebih kompleks, kompetitif, dan juga kelas menengah yang semakin sulit dikontrol oleh rezim otoriter16. Bergeraknya negeri-negeri memasuki rentang zona transisi ekonomi berpendapatan menengah menimbulkan perubahan-perubahan pada struktur sosial, kepercayaan dan kultur yang kondusif bagi munculnya demokrasi17. Menurutnya demokratisasi merupakan fenomena global yang tidak dapat dihindari oleh negara-negara termasuk dunia ketiga. Salah satu faktor dominannya adalah perkembangan ekonomi global dimana persoalan ekonomi di sebuah negara ternyata berpengaruh terhadap negara lainnya. Krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara-negara di Asia pada tahun 1997 telah memberikan kesempatan pada agen-agen global untuk mempengaruhi pemerintahan Malaysia. Meskipun pemerintah Malaysia sewaktu itu dengan tegas menolak bantuan finansial dari IMF, agenda-agenda globalisasi secara empirik memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat Malaysia. Dengan konsep ini penulis akan menyampaikan bagaimana pengaruh ekternal terhadap perubahan kultur sosial dan politik di Malaysia.
1. 4. Hipotesis Perubahan perilaku politik di Malaysia sangat dipengaruhi oleh transformasi sosial yang ada. Kegagalan Barisan Nasional untuk mendapatkan suara mayoritas dalam pemilu 2013 disebabkan karena adanya kekuatan masyarakat sipil yang bergabung dengan partai politik dengan tujuan menjatuhkan rezim Barisan Nasional. Kondisi tersebut disebabkan beberapa hal diantaranya perubahan sosial dalam masyarakat Malaysia seiring dengan pertumbuhan ekonomi pasca
16
Huntington, Samuel P. “Gelombang Demokratisasi Ketiga”. Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. 1995, hlm 80-81 17
Ibid hlm 83
11
penerapan NEP yang sekaligus mengakhiri pola-pola klientelisme dan pengaruh globalisasi yang berhasil mempengaruhi pandangan masyarakat dunia tentang konsep pemerintahan yang baik “good governance”. Gerakan reformasi yang terjadi di Negara-negara tetangga mempengaruhi semangat gerakan masyarakat sipil di Malaysia. Lebih jauh lagi globalisasi telah memberikan dasar perjuangan bagi masyarakat sipil yaitu demokratisasi dan penerapan good governance. Meskipun tidak terjadi keruntuhan rezim seperti yang dialami Indonesia doktrin global tersebut berhasil menciptakan kekuatan baru yang dalam oerkembangannya dapat mengimbangi kekuatan Barisan Nasional. Globalisasi dan konsep good governance dapat diterima mayarakat dikarenakan kemajuan dibidang teknologi dan informasi dan juga masyarakat Malaysia yang sudah mulai mengalami perubahan sosial dalam masyarakat yang dikarenakan agenda pembangunan. Peningkatan pendapatan dan perekonomian Malaysia menjadikan masyarakat semakin mudah untuk menerima demokrasi dan konsep good governance yang inti didalamnya adalah transparansi dan partisipasi public. Keputusan gerakan-gerakan tersebut untuk melakukan perubahan melalui mekanisme pemilu membuat pergerakan tersebut masih bertahan hingga saat ini dalam bentuk koalisi oposisi Pakatan Rakyat. Masyarakat Malaysia sudah dipengaruhi melalui fase baru dalam perubahan sosial diantaranya semakin berkurangnya penerimaan masyarakat terhadap politik berbasiskan etnis dan juga mulai aktif terlibat dalam berbagai persoalan politik. Tentunya hal tersebut memberikan tantangan dan juga sedikit demi sedikit melemahkan legitimasi Barisan Nasional dan pola klientelistik yang diterapkan sejak pelaksanaan NEP. Apa yang terjadi dalam pemilu 2013 dan setelahnya menggambarkan bahwa telah terjadinya krisis kepemimpinan dalam pemerintahan yang dipimpin oleh UMNO dan Barisan Nasional. Dari tersebut terdapat beberapa poin yang dapat dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana pengaruh gerakan reformasi tersebut yang muncul pasca krisis 1997 masih mempengaruhi sistem politik dan kontestasi politik dalam pemilihan umum di Malaysia di tahun 2013.
E.
METODE PENELITIAN
12
Untuk menyempurnakan tulisan ini, penulis akan menggunakan data-data kualitatif yang kemudian akan dianalisis dengan metode deskriptif. Data-data yang diperoleh berasal dari sumber-sumber primer dan sekunder.Sumber data yang primer yaitu seperti laporan pemerintah atau factsheet dari lembaga-lembaga formal dan pemerintah, yang tersedia secara online di internet maupun studi pustaka. Sedangkan sumber data yang sekunder yaitu berasal dari jurnal dan karya ilmiah, sumber pustaka seperti buku, majalah, dan koran serta artikel dan berita di internet yang terpercaya.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan berupa susunan bab dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : Bab I, merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang mengapa penulis mengambil tema ini, rumusan masalah yang akan diteliti, landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan, kerangka berpikir berupa hipotesis atau argumen utama sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, metode penelitian, dan sistem penulisan. Bab II, akan menjelaskan bagaimana pengaruh globalisasi dan krisis finansial 1997 terhadap perubahan peran negara dalam pengendalian ekonomi pada kasus negara Malaysia. Bab III, akan menjelaskan bagaimana dampak perubahan peran negara pasca krisis 1997 terhadap politik etnis dan kekuatan politik Barisan Nasional. Bab V, BAB V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atas pembahasan di bab-bab sebelumnya
13