PUTUSAN BEBAS MENGENAI TINDAK PIDANA MERUSAK BARANG (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 179 K/PID/2011)
SKRIPSI Disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh: AHMAD MUKTI WIBOWO E1A009124
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
PUTUSAN BEBAS MENGENAI TINDAK PIDANA MERUSAK BARANG (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 179 K/PID/2011)
SKRIPSI Disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh: AHMAD MUKTI WIBOWO E1A009124
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmatNya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dan tidak luput dari motivasi dan dukungan kedua orang tua, sahabat dan orang-orang yang sangat berjasa dalam penulisan skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Adapun judul skripsi ini adalah “Putusan Bebas Mengenai Tindak Pidana Merusak Barang (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 179 K/PID/2011). Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga atas motivasi dan dukungan, baik langsung maupun tidak langsung yaitu kepada yang terhormat: 1.
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh jajarannya;
2.
Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala bantuan, arahan, bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini;
3.
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala bantuan, arahan, bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini;
4.
Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi atas segala arahan dan masukan dalam skripsi ini;
iv
5.
Saryono Hanadi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala bimbingan, arahan dan masukan yang telah diberikan selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;
6.
Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto atas didikan dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;
7.
Seluruh Karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;
8.
Seluruh Keluarga Besar Maksus bin Maksum (Alm) dan Hj. Uminah (Yangti) yang tiada henti- hentinya memanjatkan doa kepada Allah SWT agar penulis menjadi anak yang berguna bagi kedua orang tua, keluarga, agama, bangsa dan negara;
9.
Ayahanda (Syaeful Anwar, S.H., M.H.) dan Ibunda (Mahmudah) terimakasih banyak atas doa yang terus terucap disetiap sujudmu, perhatian, dukungan moril maupun materil serta kasih sayang yang telah diberikan;
10. Kakak kand ung penulis Faris Satria Alam, adik kandung penulis Lia Hasanah, Mustofa Kamal (Ope), Aisyah Anwar (Dinda), Shofiyah Anwar terima kasih atas motivasi yang telah diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini;
v
11. Om Agus, Ghofar, Zarkasih, Carman, Hasbi, Mustakim, Affan serta Tante Endang, Rin, Ning, Nok, Nung, Ade dan Ikhah yang telah memberikan motivasi dan bantuan materil sehingga penulis bisa menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini; 12. Saudara sepupu penulis Anis, Rani, Iis, Athif, Rian, Jody, Faruq, Farhan, Samsul, Mujib, Ica, Azzam, Hanif dan Mahib tetap semangat dalam menuntut ilmu sampai pendidikan di Perguruan Tinggi; 13. Retno Suci Fadhillah yang selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini serta terima kasih banyak atas perhatian serta kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis; 14. Dimas (Capung) , Tyas, Danang, Remon, Rosi, Ali, Deda, Yanuar, Rizki, Bayu, Adit, Isnanda, Egi, Barkah, Rofi, Arif, Heri, Soleh, Agung, Rendy terima kasih atas persahabatan, kebersamaan, bantuan, canda dan tawa selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 15. Teman-teman Angkatan 2009 Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas persahabatan, kebersamaan, bantuan, canda dan tawa selama penulis menempuh studi serta saran, dukungan dan doa sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini; 16. Teman-teman Pengurus dan Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwokerto, HMI Komisariat Hukum UNSOED dan
vi
LKBHMI Purwokerto yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas pengalaman, persahabatan, diskusi, ilmu berorganisasi dan berpolitik selama penulis aktif di HMI; 17. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan, bantuan, saran serta doa demi kelancaran penulisan skripsi ini. Terima kasih dan semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan kepada penulis. Amin. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dan ber manfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap pembacanya.
Purwokerto,
Oktober 2013
Penulis
vii
ABSTRAK Putusan hakim yang dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana bisa berbentuk putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pemidanaan. Judul: PUTUSAN BEBAS MENGENAI TINDAK PIDANA MERUSAK BARANG (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 179 K/PID/2011). Perumusan Masalah: Mengapa dalam perkara Nomor: 179 K/Pid/2011 terdakwa dijatuhi putusan bebas?, dan Bagaimana akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi terdakwa dalam perkara Nomor: 179 K/Pid/2011? Pembahasan: Pada perkara Nomor: 179 K/PID/2011 alat bukti yang diajuk an dipersidangan yaitu alat bukti keterangan saksi SLM, MS, AAJ dan alat bukti keterangan terdakwa MFM serta didukung barang bukti. Majelis hakim Mahkamah Agung R.I. berbeda pendapat dengan hakim judex facti yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut sehingga membatalkan putusan hakim judex facti dan mengadili sendiri perkara tersebut. Dalam mengadili sendiri perkara tersebut majelis hakim Mahkamah Agung R.I. menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa. Simpulan: Majelis hakim judex facti telah salah dalam menerapkan hukum sehingga majelis hakim Mahkamah Agung R.I. membatalkan putusan majelis hakim judex facti. Meskipun asas minimum pembuktian telah terpenuhi, namun majelis hakim Mahkamah Agung R.I. tidak yakin akan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sehingga terdakwa dijatuhi putusan bebas. Akibat hukum dijatuhkannya putusan bebas kepada terdakwa yaitu penuntut umum dan terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali. Akibat hukum lainnya yaitu terhadap terdakwa diberikan rehabilitasi untuk memperbaiki nama baik terdakwa. Kata kunci: Putusan bebas, tindak pidana, merusak barang
viii
ABSTRACT The verdict handed down against a criminal case can be shaped acquittal, decisions free from all charges and sentencing decisions. Title: ACQUITTAL ON CRIMINAL DAMAGE GOODS (Judicial Review Against Supreme Court Decision No. 179 K/PID/2011). Problem Formulation: Why the Case Number: 179 K/Pid/2011 defendant was sentenced free?, and What about the legal consequences of the ruling for the defendant freely in case Number: 179 K/Pid/2011? Discussion : In Case Number: 179 K/PID/2011 evidence presented in court is evidence witnesses SLM , MS, AAJ and the evidence and testimony of the defendant MFM supported evidence. Supreme Court judges R.I. judges disagree with the facti judex examine and try the case so that the judge's decision to cancel judex facti and prosecute the case himself . In his own case the judge of the judges of the Supreme Court free verdict to the defendant. Conclusion: The judges judex facti been wrong in applying the law to the judges of the Supreme Court cancel the decision of the judges judex facti. Although the principle of minimum proof has been met, but the judges of the Supreme Court not sure of the errors of which the accused was sentenced defendant so that the defendant free. The legal consequences of the ruling that the defendant is free to the public prosecutor and the defendant can not file an extraordinary legal remedy in the form of judicial review. Other legal consequences that the defendant be given rehabilitation to correct the name of the defendant. Keywords: acquittal, crime, damage the goods
ix
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv ABSTRAK ..................................................................................................... viii ABSTRACT .................................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ..................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Merusak Barang 1. Pengertian Tindak Pidana Merusak Barang ............................. 7 2. Unsur -Unsur Tindak Pidana Merusak Barang ......................... 7 B. Pengertian, Tujuan dan Asas-Asas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................ 8 2. Tujuan Hukum Acara Pidana .................................................. 11 3. Asas-Asas Hukum Acara Pidana.............................................. 14 C. Pembuktian
x
1. Pengertian Pembuktian ............................................................ 26 2. Macam-Macam Teori Sistem Pembuktian .............................. 30 3. Pembuktian Menurut KUHAP ................................................ 35 D. Putusan 1. Pengertian Putusan .................................................................. 40 2. Bentuk-Bentuk Putusan ........................................................... 41 E. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ........................... 50 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan....................................................................... 54 B. Spesifikasi Penelitian ................................................................... 54 C. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 55 D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .......................................... 55 E. Metode Penyajian Bahan Hukum ................................................ 56 F. Metode Analisis Bahan Hukum ................................................... 56 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ............................................................................. 57 B. Pembahasan .................................................................................. 91 BAB V PENUTUP A. Simpulan ....................................................................................... 121 B. Saran ............................................................................................. 122 DAFTAR PUSTAKA
xi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penggolongan hukum menurut isinya dikenal adanya ketentuan hukum publik (public law) dan hukum privat (private law). Menurut pandangan para doktrina disebutkan bahwa hukum publik merupakan ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum (aglemene belangen) sehingga sifatnya memaksa. Sedangkan ketentuan hukum privat prinsipnya mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen) dan sifatnya sukarela/tidak memaksa. Selanjutnya, apabila ditinjau secara detail berdasarkan pembagian hukum menurut fungsinya, salah satu dimensi dari ketentuan hukum publik dapatlah dibagi lagi menjadi hukum pidana materiil (materieele strafrecht) dan hukum pidana formal/hukum acara pidana (formeel strafrecht).1 Dari pembagian hukum menurut fungsinya itu tampaklah bahwa antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formal/hukum acara pidana sama-sama merupakan rumpun hukum publik. Oleh karena itu, dapatlah disebutkan secara fundamental bahwasanya antara hukum pidana materiil dan hukum acara pidana terjalin hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Singkatnya, harus adanya saling menunjang karena hukum pidana materiil tanpa adanya dukungan hukum acara pidana akan menjadi “tidak berdaya”. Begitu pula sebaliknya, jika hukum
1
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 1.
2
acara pidana tanpa dukungan hukum pidana materiil, akan menjadi “tidak berdasar” penerapannya.2 Simons merumuskan hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.3 Hal – hal yang diatur dalam hukum acara pidana yaitu cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, namun juga bertujuan melindungi hak-hak asasi tiap-tiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum.4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur, apabila pemeriksaan sidang dinyatakan telah selesai seperti yang diatur dalam Pasal 182 ayat (1), maka tahap proses selanjutnya adalah penuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan. Ketika proses tersebut telah selesai, maka hakim ketua sidang menyatakan “pemeriksaan sidang dinyatakan ditutup”. Pernyataan ini yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan. Berkaitan dengan bentuk putusan yang akan dijatuhkan tergantung dari hasil musyawarah hakim yang didasarkan terhadap surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dan terungkap di dalam pemeriksaan sidang pengadilan.
2
Ibid, hlm. 2. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 4. 4 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 1. 3
3
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Jadi, putusan hakim yang dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana, bisa berbentuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van alle recht vervolging), dan putusan pemidanaan (veroordeling).5 Dari bentuk-bentuk putusan hakim terhadap suatu perkara pidana sebagaimana tersebut diatas, terdapat putusan bebas yang dijatuhkan oleh hakim Mahkamah Agung dengan putusan No. 179 K/Pid/2011, dimana kasus posisinya adalah sebagai berikut: Sekira jam 14.30 WITA pada hari Kamis, tanggal 21 Januari 2010 Terdakwa Muhammad Faisal alias Faisal bin Mamma menyemprot tanaman padi di areal sawah miliknya sendiri yang terletak di Lingkungan Alausalo, Kelurahan Anabanua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo yang termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Sengkang dengan obat pembasmi rumput yang bernama Gramoxon dengan menggunakan alat tangki semprot dengan tujuan agar rumput-rumput yang ada di areal sawah miliknya sendiri menjadi mati. Pada saat Terdakwa menyemprot padi di areal sawah miliknya sendiri, tiba-tiba berhembus angin kencang sehingga obat pembasmi rumput (Gramoxon) tersebut tertiup angin dan mengenai tanaman padi milik saksi korban Sumardi alias Lecceng bin Masse
5
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, PT Alumni, Bandung, 2007, hlm. 217.
4
yang terletak di sebelah areal sawah milik Terdakwa sehingga mengakibatkan sebagian tanaman padi milik saksi korban menjadi rusak.6 Pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Negeri Sengkang menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa Muhammad Faisal alias Faisal bin Mamma telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana merusak barang sebagaimana diatur dalam Pasal 406 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Sehingga Hakim Pengadilan Negeri Sengkang dengan putusan No. 61/Pid/B/2010/PN.SKG dalam kasus ini menjatuhkan putusan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan kepada Terdakwa karena Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Merusak barang”. Begitu pula dengan pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Tinggi Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut sependapat dengan alasan-alasan dan pertimbangan hukum Hakim tingkat pertama yang menjadi dasar dalam putusannya bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana merusak barang, sebagaimana dakwaan Penuntut Umum melanggar Pasal 406 Ayat (1) KUHP. Oleh karena itu Pengadilan Tinggi Makassar menganggap pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan Hakim tingkat pertama telah tepat dan benar berdasarkan hukum sehingga dapat disetujui dan diambil alih dijadikan dasar pertimbangan oleh Pengadilan Tinggi Makassar.
6
Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXVII, No. 311, Penerbit: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Oktober, 2011, hlm. 116.
5
Sehingga
Pengadilan
Tinggi
Makassar
dengan
putusan
No.
207/Pid/2010/PT.MKS dalam kasus ini menguatkan putusan Hakim Pengadilan Negeri Sengkang No. 61/Pid/B/2010/PN.SKG yang dimintakan banding tersebut. Namun Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan judex factie (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri). Hal ini terlihat dari pertimbanganpertimbangan hukum Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili perkara pidana sebagaimana tersebut diatas, sehingga Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya dengan putusan No. 179 K/Pid/2011 menjatuhkan putusan bebas kepada Terdakwa Muhammad Faisal alias Faisal bin Mamma. Putusan yang membebaskan terdakwa dan berbeda dengan dua putusan pengadilan sebelumnya inilah yang menjadi fokus perhatian penulis. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul:
PUTUSAN
MERUSAK BARANG
BEBAS
MENGENAI
TINDAK
PIDANA
(TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG R.I. NO. 179 K/PID/2011).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan suatu perumusan masalah yaitu: 1. Mengapa dalam perkara No. 179 K/Pid/2011 terdakwa dijatuhi putusan bebas oleh Mahkamah Agung ? 2. Bagaimana akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas oleh Mahkamah Agung bagi terdakwa dalam perkara No. 179 K/Pid/2011 ?
6
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui alasan terdakwa dijatuhi putusan bebas oleh Mahkamah Agung dalam perkara No. 179 K/Pid/2011. 2. Untuk mengetahui akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas oleh Mahkamah Agung bagi terdakwa dalam perkara No. 179 K/Pid/2011.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis, serta menambah pengetahuan bagi para pembaca terutama mengenai penjatuhan putusan bebas. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan terhadap aparat penegak hukum, khususnya hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi agar dalam membuat putusan sesuai dengan bukti-bukti dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sehingga putusannya tidak dibatalkan oleh hakim Mahkamah Agung dan hakim Mahmakah Agung tidak menjatuhkan putusan bebas.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana Merusak Barang 1. Pengertian Tindak Pidana Merusak Barang Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata perusakan merupakan
kata
benda
yang bermakna
proses,
perbuatan,
cara
merusakkan. Yang dimaksud perusakan dalam hukum pidana adalah melakukan perbuatan terhadap barang milik orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu.7 Tindak pidana merusak barang diatur dalam pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), rumusannya adalah sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Merusak Barang Dalam tindak pidana merusak barang yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP, terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 1. Barang siapa; 2. Dengan sengaja dan melawan hukum; 7
http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/04/penghancuran-dan-perusakan.html diakses pada tanggal 28 Mei 2013.
8
3. Menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Mengingat
dalam tindak pidana merusak barang sebagaimana
tercantum pada Pasal 406 ayat (1) KUHP tersebut diatas salah satu unsurnya adalah dengan sengaja dan melawan hukum, maka suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana merusak barang apabila dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan atau dengan sengaja dan melawan hukum merusakkan atau dengan sengaja dan melawan hukum membikin tidak dapat dipakai atau dengan sengaja dan melawan hukum menghilangkan barang sesuatu baik seluruhnya atau sebagiannya milik orang lain. Berkaitan dengan tindak pidana merusak barang sebagaimana diatur Pasal 406 ayat (1) KUHP, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa: “Seorang hakim harus sangat awas kalau dalam suatu pasal suatu perbuatan hanya dilarang apabila dilakukan dengan sengaja seperti halnya dengan Pasal 406 KUHP tentang merusak barang orang lain. Jika kesengajaan dianggap ada, orang akan dihukum; jika tidak ada, orang itu sama sekali tidak dihukum.”8
B. Pengertian, Tujuan dan Asas-Asas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana
8
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm. 65.
9
Hukum acara pidana merupakan salah satu hukum acara di Indonesia untuk menegakkan hukum pidana materiil yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Meskipun hukum acara pidana diatur dalam KUHAP, namun KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam Pasal 1 KUHAP.9 Beberapa ahli hukum memberikan definisi hukum acara pidana antara lain sebagai berikut: Mengenai
definisi
hukum
acara
pidana,
Van
Bemmelen
berpendapat sebagai berikut: “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran undangundang pidana, yaitu sebagai berikut: 1) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. 4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada saat penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5) Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6) Upaya hukum melawan keputusan tersebut. 7) Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.”10
9
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 4. Ibid, hlm. 6.
10
10
Wirjono
Prodjodikoro,
mantan
Ketua
Mahkamah
Agung
menyatakan hukum acara pidana sebagai berikut: “Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturanperaturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.”11 Simons berpendapat bahwa: “Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan pemidanaan; mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.”12 Mengenai definisi hukum acara pidana, Moeljatno berpendapat bahwa: “Hukum acara pidana ialah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan yang menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.”13 Mochtar Kusuma Atmadja berpendapat bahwa: “Hukum acara pidana adalah peraturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memproses bagaimana menghukum atau
11
Ibid, hlm. 7. Muhammad Taofik Makarao dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 1. 13 Ramelan, Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 2. 12
11
tidak menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana (makanya disebut sebagai hukum acara pidana).”14 Menurut J. De Bosch Kemper, hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan undang-undang yang mengatur hak
negara
untuk
menghukum
bilamana
undang-undang
pidana
dilanggar.15 Sedangkan menurut L.J. Van Apeldoorn, hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur cara pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana materiil.16 Meskipun definisi hukum acara pidana yang dibuat oleh para ahli hukum berbeda-beda, namun inti dari pendapat para ahli hukum tersebut mengenai definisi hukum acara pidana sama yaitu hukum acara yang bertujuan untuk menegakkan hukum pidana materiil.
2. Tujuan Hukum Acara Pidana Pada hakikatnya, tujuan dan fungsi hukum acara pidana erat korelasi antara satu dengan yang lain. Aspek “tujuan” mempunyai dimensi terhadap apa yang hendak dituju sehingga merupakan titik akhir dari hukum acara pidana. Sedangkan aspek “fungsi” tendensi kepada tugas pokok yang diemban dari apa yang menjadi tujuan dan fungsi hukum acara
14
http://pengertianpendidikan.com/pengertian-hukum-acara-pidana diakses 28 Mei 2013. http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-hukum-acara-pidana.html diakses pada 28 Mei 2013. 16 http://mbegedut.blogspot.com/2012/09/pengertian-definisi-hukum-acara-pidana.html diakses pada 28 Mei 2013. 15
12
pidana. Tegasnya antara tujuan dan fungsi hukum acara pidana tidak dapat dipisahkan nuansanya antara satu dengan lainnya.17 Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang rumusannya sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”18 Tetapi Andi Hamzah berpendapat bahwa: “Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.”19 Hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi, antara lain adalah fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam hukum acara pidana adalah adanya upaya menegakkan ketentuan pidana dan melaksanakan hukum pidana. Penegakkan ketentuan pidana berarti pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam hukum pidana terhadap suatu perbuatan pidana.20
17
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 9-10. Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 7-8. 19 Ibid, hlm. 9. 20 http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html diakses pada 28 Mei 2013. 18
13
Sementara fungsi preventif dalam hukum acara pidana adalah fungsi pencegahan dan upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi preventif dalam hukum acara pidana ini dapat berjalan dengan baik apabila seluruh proses hukum acara pidana dapat diselenggarakan dengan baik pula agar dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam masyarakat.21 Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu sebagai berikut: 1.
Mencari dan menemukan kebenaran.
2.
Pemberian keputusan oleh hakim.
3.
Pelaksanaan keputusan.22
Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.23 Sedangkan mengenai fungsi hukum acara pidana, Nikolas Simanjuntak berpendapat bahwa fungsi hukum acara pidana ada 5 (lima) yaitu: 1. 2. 3. 4. 21
Mencari dan menemukan kebenaran hukum; Memberikan suatu putusan hakim; Melaksanakan (eksekusi) putusan hakim; Mengadakan tindakan penuntutan secara benar;
Loc.cit. Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 8-9. 23 Ibid, hlm. 9. 22
14
5. Memperjuangkan untuk melaksanakan perlindungan yang adil dan berkepastian bagi korban dan/atau saksi/pelapor terjadinya perbuatan pidana itu.”24
3. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Pada dasarnya ada korelasi erat antara tujuan, sifat dan asas-asas hukum acara pidana. Asas-asas umum hukum acara pidana secara global diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari titik tolak optik kedua undang-undang tersebut terdapat beberapa asas-asas hukum acara pidana sebagai berikut: 1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuan asas “praduga tidak bersalah” eksistensinya tampak pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Dikaji dari perspektif praktik peradilan, manifestasi asas ini dapat dijabarkan bahwa selama proses peradilan masih berjalan, baik di tingkat yudex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) maupun di tingkat yudex yuris (Mahkamah Agung RI) dan belum memperoleh kekuatan 24
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm. 27.
15
hukum
tetap
(inkracht
van
gewijsde),
terdakwa
belum
dapat
dikategorisasikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut haruslah mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur dalam undang-undang, yaitu hak untuk segera mendapatkan
pemeriksaan
dalam
tahap
penyidikan,
hak
segera
mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan seadil-adilnya, hak mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh bantuan hukum dan sebagainya.25
2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Pada dasarnya asas ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 serta Penjelasan Umum angka 3 huruf e KUHAP. Secara konkret, apabila dijabarkan, dengan dilakukannya peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan supaya terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut sehingga sifatnya efektif dan efisien; kenudian memperoleh kepastian prosedural hukum; serta proses administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu membebaninya sehingga biaya perkara dapat dijangkau oleh masyarakat. Apabila bertitik tolak pada Penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa: “Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.” 25
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 9-10.
16
Terhadap penerapan asas ini dalam praktik peradilan dapatlah diberikan nuansa bahwa peradilan cepat dan sederhana tampak dengan adanya pembatasan waktu penanganan perkara, baik perdata maupun pidana pada tingkat yudex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) masing-masing selama enam bulan. Apabila dalam waktu enam bulan belum selesai diputus, ketua Pengadilan Negeri/ ketua Pengadilan Tinggi harus melaporkan hal-hal tersebut beserta alasan-alasannya kepada ketua Pengadilan Tinggi atau ketua Mahkamah Agung RI (Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992 jo. SEMA RI Nomor 3 Tahun 1998 tanggal 10 September 1998. Dikaji dari perspektif historis, secara kronologis mengenai penyelesaian perkara telah diatur dalam SEMA RI Nomor 1 Tahun 1962 tentang Cara Penyelesaian Perkara, SEMA RI Nomor 4 Tahun 1962 tentang Penyelesaian Perkara-Perkara, SEMA RI Nomor 2 Tahun 1963 tentang Penyelesaian Perkara, SEMA RI Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA RI Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara dan SEMA RI Nomor 10 Tahun 2005 tentang Bimbingan dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan Terhadap Hakim/ Majelis Hakim dalam Menangani Perkara. Sedangkan terhadap peradilan dengan biaya ringan khususnya dalam perkara pidana berorientasi pada pembebanan biaya perkara bagi terdakwa yang dijatuhkan pidana (Pasal 197 ayat (1) huruf i jo. Pasal 222 ayat (1) KUHAP) dimana berdasarkan SEMA RI kepada Ketua Pengadilan
17
Tinggi Seluruh Indonesia Nomor KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981 jo. SEMA RI Nomor 17 Tahun 1983 tanggal 8 Desember 1983 dan angka 27 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.14PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditentukan pedoman biaya perkara minimal Rp500,00 dan maksimal Rp10.000,00 dengan penjelasan bahwa itu adalah Rp7.500,00 bagi pengadilan tingkat pertama dan Rp2.500,00 bagi pengadilan tingkat banding.26
3. Asas Hak Ingkar Pada asasnya “hak ingkar” diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 157 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa: “Hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.” Hak ingkar bagi hakim jika terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau adanya hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera serta dengan terdakwa atau penasihat hukum (Pasal 17 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 157 ayat (1) dan (2) KUHAP) atau ada kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung (Pasal 220 KUHAP). Apabila terjadi pelanggaran
26
Ibid, hlm. 10-11.
18
dimana seorang hakim dan panitera tidak mengundurkan diri dari persidangan, padahal mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dalam perkara yang sedang diperiksanya, baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan pihak yang diadili atau advokat menurut ketentuan Pasal 17 ayat (6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengakibatkan putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak ingkar sebagai saksi karena adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas ataupun ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa, saudara terdakwa, saudara ibu/bapak dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga dan suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama terdakwa (Pasal 168 KUHAP).27
4. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Pada
dasarnya
keterbukaan
dari
suatu
proses
peradilan
(openbaarheid van het proces) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini secara eksplisit tercermin dari ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Penjelasan Umum angka 3 huruf i KUHAP, dan diuraikan dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa:
27
Ibid, hlm. 11-12.
19
“Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” Jika sidang tidak dilakukan demikian, hal ini akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 153 ayat (4) KUHAP, Pasal 13 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009) karena terhadap semua perkara pidana, putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 195 KUHAP).28
5. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya Kehadiran Terdakwa Asas ini termaktub pada ketentuan Pasal 154, Pasal 176 ayat (2) dan Pasal 196 ayat (1) KUHAP serta Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 khususnya terhadap perkara-perkara yang diajukan secara biasa (Pidana B) dan singkat (Pidana S). Asas kehadiran terdakwa, pemeriksaan pengadilan secara in absentia sebagaimana dikenal tindak pidana khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht) pada tindak pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7/Drt./1995), Tindak Pidana Terorisme (UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25
28
Ibid, hlm. 12-13.
20
Tahun 2003) dalam konteks ini tidak diperkenankan, terkecuali dalam acara cepat khususnya acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Bagian Keenam Paragraf 2 Pasal 214 KUHAP). Akan tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa ini, kenyataannya “diperlemah” dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 dimana menurut Pasal 12 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 dinyatakan bahwa: “Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.” Dikaji dari perspektif praktik peradilan, apabila terdakwa pernah hadir di sidang pengadilan kemudian berikutnya tidak pernah hadir lagi sampai penjatuhan putusan, putusan terhadap terdakwa tetap dijatuhkan (bukan putusan in absentia) karena menurut Mahkamah Agung RI putusan tersebut adalah tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP, sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 413 K/Kr/1980 tanggal 26 Agustus 1980, serta SEMA RI Nomor 1 Tahun 1981 tangal 22 Januari 1981 Nomor MA/Pem/006/81 yang menyatakan “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”.29
6. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Hadapan Hukum (Equality Before The Law)
29
Ibid, hlm. 13-14.
21
Kalau dapat disebutkan asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum (rechtstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van leder voor de wet). Pada asasnya elemen yang melekat mengandung makna perlindungan sama di depan hukum (equal protection on the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice under the law). Tegasnya, hukum acara pidana tidak mengenal adanya peraturan yang memberi perlakuan khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatum). Dengan demikian “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 dan Penjelasan Umum angka 3 huruf a KUHAP. Oleh karena itu, untuk menjamin eksistensi peradilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, kemudian undang-undang memberi jaminan kepada badan peradilan agar segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya.30
7. Asas Bantuan Hukum Asas bantuan hukum ditegaskan pada Penjelasan Umum angka 3 huruf f KUHAP dengan redaksional bahwa:
30
Ibid, hlm. 14-15.
22
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan.” Selain itu, asas bantuan hukum juga diatur dalam Bab XI Pasal 56 serta Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang dirumuskan dengan redaksional: “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum, kemudian negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu, berikutnya pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu memperoleh bantuan hukum serta bantuan hukum tersebut diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat pemeriksan peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Lebih lanjut lagi, asas bantuan hukum ini dapat dilihat pada KUHAP khususnya Pasal 56 dan 69 sampai dengan 74 KUHAP dan imperatif sifatnya sebagaimana digariskan oleh Mahkamah Agung RI serta beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI seperti, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 510 K/Pid/1998 tanggal 28 April 1988 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993.31 Mengenai bantuan hukum bagi orang miskin diatur lebih jelas dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menyatakan bahwa: “Penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.”
31
Ibid, hlm. 15-16.
23
Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menyatakan bahwa: “Penerima bantuan hukum berhak mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama penerima bantuan hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa.”
8. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Pada asasnya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksisaksi serta dilaksanakan dengan lisan dalam bahasa Indonesia. Tegasnya hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal pemeriksaan perkara pidana dengan acara mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum perdata. Implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari Penjelasan Umum angka 3 huruf h serta Pasal 153, 154 dan 155 KUHAP dan seterusnya.32
9. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi Secara limitatif asas ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 serta Pasal 95, 96 dan 97 KUHAP. Jika dijabarkan dapat disebutkan bahwa kalau seseorang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan, baik mengenai orangnya maupun penerapan hukum, ia wajib memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas (vrijspraak)
32
Ibid, hlm. 16.
24
atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya” (Pasal 97 ayat (1) KUHAP, Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, pendapat doktrina dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI) dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan (Pasal 97 ayat (2) KUHAP).33
10. Asas
Pengawasan
dan
Pengamatan
Pelaksanaan
Putusan
Pengadilan Pada dasarnya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilakukan oleh jaksa (Bab XIX Pasal 270 KUHAP dan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) dan kemudian pelaksanaan pengawasan dan pengamatan ini dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang didelegasikan kepada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan. Dalam praktik hakim tersebut lazim disebut sebagai “hakim wasmat” atau “kimwasmat” (Bab XX Pasal 277 ayat (1) KUHAP, Bab VI Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, SEMA RI Nomor 7 Tahun 1985 tanggal 11 Februari 1985).34
11. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan 33 34
Loc.cit. Ibid, hlm. 17.
25
Pada KUHAP secara limitatif batas waktu penahanan dalam setiap tingkat pemeriksaan telah dibatasi jangka waktunya. Misalnya, penyidik secara kumulasi dapat melakukan penahanan sampai 60 (enam puluh) hari dengan perincian wewenang menahan atas perintahnya sendiri selama 20 (dua puluh) hari dan permintaan perpanjangan kepada Penuntut Umum selama 40 (empat puluh) hari (Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Kemudian Penuntut Umum dapat menahan selama 20 (dua puluh) hari dan perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri selama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP) dan Hakim Pengadilan Negeri dapat menahan selama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 60 (enam puluh) hari (Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Dengan demikian asas kepastian jangka waktu penahanan ini secara limitatif seorang terdakwa selama proses persidangan dari tingkat penyidik sampai Mahkamah Agung RI hanya dapat ditahan paling lama 400 (empat ratus) hari dengan perincian 200 (dua ratus) hari dari tingkat penyidik sampai Pengadilan Negeri dan 200 (dua ratus) hari untuk tingkat banding dan kasasi. Apabila asas ini dilanggar, akan berakibat terdakwa harus “dilepaskan demi hukum”.35
C. Pembuktian Pembuktian memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
35
Loc.cit.
26
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.36
1. Pengertian Pembuktian Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.37 Dikaji secara umum, “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi
36
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 273. 37 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, hlm. 21.
27
(memperlihatkan)
bukti,
melakukan
sesuatu
sebagai
kebenaran,
melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Menurut makna leksikon, “pembuktian” adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.38 Dilihat dari perspektif yuridis, M. Yahya Harahap mengatakan bahwa: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.”39 Sedangkan pengertian pembuktian menurut Darwan Prinst adalah sebagai berikut: “Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya dan untuk membuktikan kesalahan terdakwa pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuanketentuan pembuktian sebagaimana diatur oleh undang-undang.”40 Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa mengemukakan pembuktian mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran
38
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, cetakan keempat, Jakarta, 2005, hlm. 172. 39 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 273. 40 Darwan Prinst, Hukum acara pidana dalam praktik, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 13.
28
atas sesuatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.41 Subekti berpendapat bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau pun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan.42 Dari beberapa pengertian pembuktian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembuktian untuk membuktikan kesalahan yang telah didakwakan kepada terdakwa dan mencegah agar orang-orang yang tidak bersalah menjadi terpidana
karena adanya tindakan
kesewenang-wenangan dalam membuktikan suatu kesalahan. Proses “pembuktian” hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiel akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiel melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspekaspek sebagai berikut: a) Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti; b) Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatanperbuatan yang didakwakan kepadanya;
41
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-pembuktian-hukum-acara.html diakses pada tanggal 28 Mei 2013. 42 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 1.
29
c) Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatanperbuatan itu; d) Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.43 Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Yang dinilai sebagai
alat
bukti
dan
yang dibenarkan
mempunyai
“kekuatan
pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebutkan pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.44 Pasal 184 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: “Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.” 43
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 99. 44 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 285.
30
2. Macam-Macam Teori Sistem Pembuktian Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, ada baiknya ditinjau beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian. Gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Untuk itu, secara teoritis guna menerapkan sistem pembuktian asasnya dalam ilmu pengetahuan hukum acara pidana dikenal adanya tiga teori tentang sistem pembuktian. Selengkapnya, ketiga teori tersebut akan diuraikan lebih lanjut berikut ini: a. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Positif (Positif Wettelijke Bewijs Theorie) Pada dasarnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif berkembang sejak Abad Pertengahan. Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif dalam undang-undang. Konkretnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini hakim terikat pada adagium jika alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim “berkeyakinan” bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Begitupun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat bukti sebagaimana diterapkan undang-undang,
31
hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenarnya terdakwa bersalah. Dengan demikian, pada hakikatnya, menurut D. Simons bahwa: “Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.”45 Hal ini dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam hukum acara pidana. Lebih lanjut lagi, jika dikaji secara hakiki, ternyata sistem pembuktian positif mempunyai segi negatif dan segi positif. Hal ini tampak melalui asumsi M. Yahya Harahap sebagai berikut: “Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim suatu kewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh dipersidangan dengan unsur-unsur subyektif keyakinannya.”46 Kemudian, dalam perkembangannya dengan titik tolak aspek positif dan negatif maka secara teoritis dan praktik sistem pembuktian
45 46
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 119-120. Ibid, hlm. 120-121.
32
menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie) sudah terasa mulai ditinggalkan. b. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theorie) Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif tentulah melekat adanya anasir-anasir prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim yakin, baik secara materil maupun secara prosedural. Selanjutnya, perpaduan antara sistem pembuktian negatif dan keyakinan hakim ini melekat pula adanya unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan terdakwa bersalah atau tidak. Hal ini lebih lanjut ditegaskan oleh M. Yahya Harahap sebagai berikut: “Sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Karena kalau salah satu unsur diantara kedua unsur itu tidak ada, berarti belum cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa jelas cukup terbukti, hakim sendiri tidak yakin akan kesalahan terdakwa yang sudah
33
terbukti tadi. Maka, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian menurut tata cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.”47 c. Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction Intime/ Conviction Raisonce) Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim maka hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dalam perkembangannya lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai dua bentuk polarisasi, yaitu “conviction intime” dan “conviction raisonce”. Melalui sistem pembuktian “conviction intime” kesalahan terdakwa bergantung pada “keyakinan” belaka sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dengan demikian, putusan hakim disini tampak timbul nuansa subjektifnya. Misalnya, dalam putusan hakim dapat berdasarkan pada mistik, keterangan medium, dukun dan sebagainya sebagaimana pernah diterapkan dahulu pada praktik peradilan distrik dan pengadilan kabupaten. Dalam sistem pembuktian conviction intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat 47
Ibid, hlm. 123-124.
34
dikesampingkan
oleh
keyakinan
hakim.
Sebaliknya,
walaupun
kesalahan terdakwa „tidak terbukti‟ berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas „dasar keyakinan‟ hakim. Keyakinan hakimlah yang „dominan‟ atau yang paling menentukan salah tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. Sedangkan pada sistem pembuktian “conviction raisonce” asasnya identik dengan sistem “conviction intime”. Pada sistem pembuktian “conviction raisonce” keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam artian keyakinan hakim”dibatasi” dengan harus didukung oleh “alasanalasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan. Jika kita perbandingkan lebih lanjut, sebenarnya sistem pembuktian “conviction raisonce” teorinya hampir mirip dengan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie). Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama-sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi
35
keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturanaturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undangundang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu yang pertama pangkal tolaknya pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada ketentuan undang-undang. Kemudian, pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan pada undangundang, sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.”48
3. Pembuktian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Sebagaimana telah diuraikan diatas, pada hakikatnya secara teoritik dikenal adanya 3 (tiga) teori tentang sistem pembuktian yaitu sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Dari ketiga teori tersebut, perlu dikaji sistem pembuktian manakah yang dianut menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Terhadap hal ini marilah kita lihat dari 2 (dua)
48
Ibid, hlm. 121-123.
36
kajian. Pertama, terhadap sistem pembuktian menurut Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dengan titik tolak ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, dalam kriteria menentukan
bersalah
tidaknya
seorang
terdakwa,
hakim
harus
memperhatikan aspek-aspek: a. Kesalahan terdakwa haruslah terbukti dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah Terhadap hal ini dalam pandangan doktrina dan para praktisi, lazim disebut dengan terminologi asas “minimum pembuktian”. Asas minimum pembuktian ini lahir dari acuan kalimat “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” haruslah berorientasi kepada 2 (dua) alat bukti sebagaimana ditentukan limitatif oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Apabila hanya ada 1 (satu) alat bukti saja, dengan demikian asas “minimum pembuktian” tidak tercapai sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana. Aspek ini dapat kita lihat misalnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1704 K/Pid/1986 tanggal 7 Januari 1987 bahwa pada pokoknya putusan Yudex Facti
dibatalkan karena hanya
didasarkan alat buki berupa petunjuk semata-mata tanpa didukung oleh
37
alat bukti lainnya, hal mana tidak memenuhi syarat-syarat pembuktian yang mengharuskan hakim untuk menjatuhkan pidana berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah seperti dikehendaki oleh Pasal 183 KUHAP yang dimaksudkan untuk menjamin kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Bahwa, karena terdakwa telah memungkiri semua dakwaan, sedangkan bukti para saksi tidak satupun yang mendukung kebenaran dakwaan, dakwaan harus dinyatakan tidak terbukti. Sehingga dengan alasan ini, Mahkamah Agung RI memberikan putusan bebas (vrijspraak) kepada terdakwa serta memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan, harkat serta martabatnya.49 b. Bahwa atas “dua alat bukti yang sah” tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya Dari aspek ini dapatlah dikonklusikan bahwa adanya “dua alat bukti” yang sah tersebut adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila hakim tidak memperoleh “keyakinan” bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, apabila keyakinan hakim saja adalah tidaklah cukup jikalau keyakinan itu tidak ditimbulkan oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
49
Ibid, hlm. 197-199.
38
Kedua, terhadap penerapan sistem pembuktian yang terjadi dalam praktik peradilan tampaknya akan mengarah kepada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Hal ini disebabkan aspek “keyakinan” pada Pasal 183 KUHAP tidak diterapkan secara limitatif. Apabila dalam suatu putusan hakim pada “diktum/amar” tidak mencantumkan rumusan keyakinannya yang berupa “secara sah dan meyakinkan”, kelalaian tersebut tidak menyebabkan putusan batal demi hukum. Akan tetapi, praktiknya dalam tingkat banding atau kasasi hanya akan “diperbaiki” dengan penambahan kata-kata “secara sah dan meyakinkan” dalam amar/diktum putusan. Atau contoh lainnya dapat kita lihat pada Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 664 K/Pid/1986 tanggal 29 November 1990 dengan kaidah dasar bahwa tidak dapat dibenarkan adanya pendirian bahwa keterangan seorang saksi dengan profesi Wanita Tuna Susila (WTS) yang diberikan di depan persidangan diragukan dan tidak diyakini kebenarannya oleh hakim walaupun hakim yakin keterangan WTS tersebut tidak akan menyadari apa arti sumpah yang telah diucapkannya. Selain itu, juga eksistensi “keyakinan” hakim tentang kesalahan terdakwa baru timbul setelah adanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap sebagai berikut: “Pada lazimnya, jika kesalahan telah benar-benar terbukti menurut ketentuan cara lewat alat-alat bukti yang sah menurut undangundang, keterbuktian kesalahan tersebut akan membantu dan mendorong hati nurani hakim untuk meyakini kesalahan terdakwa. Apalagi bagi seorang hakim yang memiliki sikap hati-hati dan bermoral baik. Tidak mngkin keyakinannya yang muncul ke
39
permukaan mendahului keterbuktian kesalahan terdakwa. Mungkin pada tahap pertama sang hakim sebagai manusia biasa, bisa saja terpengaruh oleh sifat prasangka. Akan tetapi, bagi seorang hakim yang jujur dan waspada, prasangkanya baru semakin membentuk suatu keyakinan, apabila hal diprasangkainya itu benar-benar terbukti di persidangan berdasarkan ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.”50 Akhirnya, dari argumentasi diatas, nyatalah sudah sebenarnya praktik peradilan selintas dan tampak penerapan Pasal 183 KUHAP pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif bahwa unsur “sekurang-kurangnya dua alat bukti” merupakan aspek dominan, sedangkan
segmen
“keyakinan
hakim”
hanyalah
bersifat
“unsur
pelengkap” karena tanpa adanya aspek tersebut tidak mengakibatkan batalnya putusan dan praktiknya hanya “diperbaiki” dan “ditambahi” pada tingkat banding atau kasasi.51 Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sebaliknya kalau kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dapat dibuktikan dengan berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dan akan dijatuhkan putusan pemidanaan. Hasil pembuktian di sidang pengadilan tersebut dituangkan dalam putusan hakim/putusan pengadilan.
50 51
Ibid, hlm. 199-200. Ibid, hlm. 200.
40
D. Putusan 1. Pengertian Putusan Eksistensi putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah “putusan pengadilan” sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya “putusan hakim” ini, diharapkan para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain yang berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum banding/kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Apabila ditinjau dari optik hakim yang mengadili perkara pidana tersebut, putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara mapan dan faktual serta visualisasi etika beserta moral dari hakim yang bersangkutan.52 Mengenai pengertian putusan, Leden Marpaung berpendapat bahwa: “Putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan”.53 Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan “Putusan Pengadilan” adalah: 52 53
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 201. Ibid, hlm. 202.
41
“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Menurut pendapat Lilik Mulyadi, jika ditinjau dari visi teoritik dan praktik, “Putusan Pengadilan” itu adalah: “Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.”54
Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim/putusan pengadilan merupakan akhir dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan atau pembuktian di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
2. Bentuk-bentuk Putusan a. Putusan Bebas Putusan bebas atau disebut juga vrijspraak diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” 54
Ibid, hlm. 203.
42
Penjelasan Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini.”
M. Yahya Harahap berpendapat bahwa: “Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak/acquittal). Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa tidak dipidana.”55
Begitu pula dengan Lilik Mulyadi, mengenai putusan bebas ia berpendapat bahwa: “Pada asasnya esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan. Konkretnya, terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Atau singkatnya lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana”.56
Lebih lanjut Lilik Mulyadi dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beserta penjelasannya mengatakan putusan bebas dapat terjadi apabila: 55 56
M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 347. Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 178.
43
1. Dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan. 2. Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum karena: a. Tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) sebagaimana dianut oleh KUHAP. Misalnya, hakim dalam persidangan hanya menemukan satu alat bukti berupa keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). b. Majelis hakim berpendirian terhadap asas minimum pembuktian sesuai undang-undang telah terpenuhi, misalnya adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). Akan tetapi, majelis hakim tidak dapat menjatuhan pidana karena tidak yakin akan kesalahan terdakwa. 3. Oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) kepada terdakwa.57
b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum Secara fundamental putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) diatur dalam Pasal 191 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Apabila dikonklusikan dan dijabarkan lebih jauh, baik secara teoritis maupun praktik, pada ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP terhadap putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum terjadi jika:
57
Ibid, hlm 179.
44
1) Dari hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan; 2) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana, melainkan misalnya termasuk yurisdiksi hukum perdata, adat atau dagang; 3) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi amar/diktum putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar, seperti: a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana); b) Keadaan memaksa atau overmacht (Pasal 48 KUH Pidana); c) Pembelaan darurat atau noodwer (Pasal 49 KUH Pidana); d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUH Pidana); e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 KUH Pidana).58
58
Ibid, hlm. 187.
45
Jika ditinjau dari segi pembuktian, pada putusan pembebasan perbuatan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan. Jadi tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Lain halnya pada putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup “terbukti” secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang secara negatif maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi, perbuatan yang terbukti itu “tidak merupakan tindak pidana”. Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan telah terbukti itu, tidak ada dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana. Tetapi mungkin termasuk ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum dagang atau hukum adat.59
c. Putusan Pemidanaan Putusan pemidanaan (veroordeling) pada dasarnya diatur dalam Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang
menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
59
M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 352.
46
Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin
berdasarkan
alat-alat
bukti
yang
sah
serta
fakta-fakta
dipersidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih tepatnya lagi, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP. Selain itu, dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, jikalau terdakwa itu tidak dilakukan penahanan, Majelis Hakim dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2) KUHAP). Sedangkan terhadap lamanya pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan.60
d. Penetapan Tidak Berwenang Mengadili Dalam suatu perkara pidana, kemungkinan bisa terjadi sengketa mengenai wewenang mengadili terhadap suatu perkara. Itu sebabnya Pasal 147 KUHAP memperingatkan Pengadilan Negeri, setelah
60
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 231-232.
47
menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mempelajari berkas perkara. Yang pertama dan utama diperiksanya; apakah perkara yang dilimpahkan penuntut umum tersebut termasuk wewenang Pengadilan Negeri yang dipimpinnya. Seandainya Ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 84 KUHAP: 1) Karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, atau; 2) Sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tetapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan, dan sebagainya (lihat Pasal 84 KUHAP). Maka dalam hal tersebut diatas, Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut, tidak berwenang mengadili. Pengadilan Negeri yang lain yang berwenang mengadili. Apabila Pengadilan Negeri berpendapat tidak berwenang mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya, Pasal 148 KUHAP telah memberi pedoman kepada Pengadilan Negeri untuk menyerahkan surat pelimpahan
perkara
tersebut
kepada
Pengadilan
Negeri
yang
48
dianggapnya berwenang mengadilinya. Untuk itu Pengadilan Negeri mengeluarkan “surat penetapan” yang berisi pernyataan tidak berwenang mengadili.61
e. Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan sebagai berikut: “Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.” Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut. Sebaliknya jika hakim menyatakan keberatan tersebut tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.
f. Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan penuntut umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat (3)
61
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 357-358.
49
dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Dengan menghubungkan Pasal 143 ayat (3) dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. Baik hal itu oleh karena atas permintaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum dalam eksepsi maupun atas wewenang hakim karena jabatannya. Alasan utama untuk membatalkan surat dakwaan demi hukum, apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Surat dakwaan tidak menjelaskan secara terang segala unsur konstitutif yang dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Ada beberapa alasan pokok yang dapat dijadikan dasar menyatakan dakwaan penuntut umum batal demi hukum, yaitu: 1) Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan; 2) Atau tidak merinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan; 3) Dakwaan kabur atau obscuur libel, karena tidak dijelaskan cara bagaimana kejahatan dilakukan. Bisa juga surat dakwaan dinyatakan batal, apabila penuntut umum melanggar ketentuan Pasal 144 KUHAP. Misalnya perubahan surat dakwaan dilakukan satu atau dua hari lagi sebelum hari persidangan, atau perubahan surat dakwaan dilakukan lebih dari satu
50
kali. Hal-hal tersebut yang dapat mengakibatkan dakwaan dapat dinyatakan batal.62
E. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa: “Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Berkaitan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Begitu pula Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas menyatakan bahwa:
62
Ibid, hlm. 358-359.
51
”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Jadi dari ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya terdiri atas: 1. Lingkungan Peradilan Umum; 2. Lingkungan Peradilan Agama; 3. Lingkungan Peradilan Militer; 4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Mengenai Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan-badan peradilan sebagaimana tersebut diatas, Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan dengan tegas: “Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan-badan peradilan yang berada dilingkungan keempat peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.” Berkaitan dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi, M. Hatta Ali mengemukakan bahwa Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi, yaitu : 1. Fungsi mengadili, yaitu memeriksa dan memutus perkara permohonan kasasi dan peninjauan kembali; 2. Fungsi menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang;
52
3. Fungsi pengaturan, yaitu untuk mengisi kekosongan hukum; 4. Fungsi memberi nasihat dan pertimbangan hukum, yaitu memberi nasihat hukum kepada Presiden dalam hal permohonan grasi dan rehabilitasi serta memberi pertimbangan hukum kepada lembaga tinggi negara yang lain; 5. Fungsi membina dan mengawasi, yaitu membina dan mengawasi peradilan dan hakim dibawahnya; 6. Fungsi administrasi, yaitu mengelola administrasi, keuangan dan organisasinya sendiri.63
Berkaitan dengan fungsi mengadili dalam tingkat kasasi dalam perkara pidana, Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Pasal 253 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.”
63
M. Hatta Ali, Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi. Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 84.
53
Pasal 255 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: “Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.”
54
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas64 dengan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu-isu dan permasalahan-permasalahan hukum yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan.65
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitian ini adalah preskriptif karena Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu
64
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 118. 65 Zufli Diane Zaini, “Implementasi Pendekatan Yuridis Normatif dan Pendekatan Normatif Sosiologis Dalam Penelitian Ilmu Hukum”, Jurnal Ilmu Hukum Pranata Hukum, Juli 2011 volume 6 No.2, hlm. 129. http://www.lib.law.ugm.ac.id/ojs/jurnal/pranatahukum/volume.6/juli/2011.html diakses pada 24 September 2013
55
hukum menciptakan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.66
C. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder. Data sekunder tersebut terdiri dari 3 bahan hukum yaitu: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer dari penelitian ini diperoleh dari Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 179 K/Pid/2011. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, yurisprudensi, hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.67
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
66
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 91. 67 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2008, hlm. 295-296.
56
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan metode studi dokumenter. Metode studi kepustakaan yaitu akan mencari berbagai kemungkinan jawaban permasalahan dalam penelitian ini dari buku-buku literatur, jurnal ilmiah dan sebagainya. Metode studi dokumenter yaitu suatu cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah berupa Surat Keputusan, Memo, Konsep pidato, Buku harian, Foto, Risalah Rapat, Laporan-laporan, Mass Media, Internet, pengumuman, Instruksi, Aturan suatu instansi, Publikasi, Arsip-arsip Ilmiah, Putusan Pengadilan dan sebagainya.
E. Metode Penyajian Bahan Hukum Penelitian ini akan menyajikan bahan hukum dalam bentuk teks naratif yaitu dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara sistematis dan logis.
F. Metode Analisis Bahan Hukum Metode analisis bahan hukum dalam penelitian ini yaitu normatif kualitatif. Normatif artinya penelitian ini akan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan kualitatif yaitu dengan menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak timpang tindih, efektif dan kemudian dilakukan pembahasan untuk memperoleh kesimpulan sebagai jawaban permasalahan
57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Penelitian yang dilakukan terhadap putusan Nomor: 179 K/Pid/2011 dapat diperoleh data-data sebagai berikut: 1. Duduk Perkara Sekira jam 14.30 WITA pada hari Kamis, tanggal 21 Januari 2010 Terdakwa MFM menyemprot tanaman padi di areal sawah miliknya sendiri yang terletak di Lingkungan Alausalo, Kelurahan Anabanua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo yang termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Sengkang dengan obat pembasmi rumput yang bernama gramoxone dengan menggunakan alat tangki semprot dengan tujuan agar rumput-rumput yang ada di areal sawah miliknya sendiri menjadi mati. Pada saat Terdakwa MFM menyemprot padi di areal sawah miliknya sendiri, tiba-tiba berhembus angin kencang sehingga obat pembasmi rumput gramoxone tersebut tertiup angin dan mengenai tanaman padi milik Saksi Korban SLM yang terletak di sebelah areal sawah milik Terdakwa MFM sehingga mengakibatkan sebagian tanaman padi milik Saksi Korban SLM menjadi rusak. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan
duduk
perkara
tersebut
diatas,
maka
dalam
persidangan Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan kepada
58
Terdakwa MFM dengan dakwaan tunggal yaitu melakukan tindak pidana merusak barang (melanggar Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 3. Pembuktian Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya telah mengajukan alat-alat bukti berupa saksi-saksi yaitu; SLM, MS dan AAJ. Saksi-saksi tersebut telah diperiksa keterangannya dimuka persidangan dibawah sumpah menurut cara agama yang dianutnya. Saksi ke-1 : SLM disumpah yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: -
Bahwa pada kejadiannya pada Hari Kamis, tanggal 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA bertempat di Lingkungan Alausalo, Kelurahan Anabanua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo;
-
Bahwa pada waktu itu Saksi SLM melihat Terdakwa MFM menyemprot rumput pada pematang sawah antara sawah Saksi SLM dengan sawah milik Terdakwa MFM;
-
Bahwa pada waktu itu Saksi SLM melihat Terdakwa MFM menyemprot rumput dengan menggerakkan ujung selang tabung diangkat keatas dan pada waktu itu angin berhembus kencang sehingga cairan racun rumput gramoxone yang keluar mengenai tanaman padi milik Saksi SLM yang bersebelahan dengan pematang yang disemprot;
59
-
Bahwa Terdakwa MFM menyemprot rumput pada pematang sawahnya ada 4 petak dimana semuanya bersebelahan dengan tanah sawah milik Saksi SLM yang ditanami padi;
-
Bahwa bila cairan racun rumput gramoxone yang dicampur air bila mengenai padi maka tanaman padi tersebut akan mati sama halnya seperti rumput;
-
Bahwa setelah sehari Terdakwa MFM menyemprot rumput di pematangnya, Saksi SLM melihat tanaman padi miliknya berwarna kekuning-kuningan setelah beberapa harinya tanaman padi tersebut mati;
-
Bahwa
akibat
dari
penyemprotan
Terdakwa
MFM
mengakibatkan tanaman padi milik Saksi SLM ada 3 petak mengalami mati dengan lebar 2 meter dari pematang milik Terdakwa MFM disebelah utara sedangkan sawahnya Saksi SLM disebelah timur tanaman padi mengalami mati sekitar 4 meter dari pematang; -
Bahwa tanaman padi yang berumur 15 hari mati sehingga Saksi SLM mengalami kerugian sekitar Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah);
-
Bahwa Saksi SLM melihat Terdakwa MFM menyemprot rumput di pematangnya tersebut walaupun melihatnya akan tetapi tidak berani memberitahukan kepada Terdakwa MFM
60
karena punya permasalahan dengannya yaitu masalah air sawah. Atas keterangan Saksi SLM diatas, Terdakwa MFM mengatakan ada yang benar dan ada yang salah yaitu bahwa Saksi SLM tidak ada ditempat kejadian dan juga Terdakwa MFM tidak mengangkat keatas ujung semprot sehingga mengenai tanaman padi milik Saksi SLM yang mengakibatkan tanaman padi milik Saksi SLM menjadi rusak dan mati; Saksi ke-2 : MS disumpah yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: -
Bahwa pada kejadiannya pada Hari Kamis, tanggal 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA bertempat di Lingkungan Alausalo, Kelurahan Anabanua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo;
-
Bahwa pada waktu itu Saksi MS melewati sawahnya Saksi SLM untuk pergi ke sawahnya dan pada waktu itu Saksi MS melihat Terdakwa MFM menyemprot rumput pada pematang sawah antara sawah milik Saksi SLM dengan sawah milik Terdakwa MFM;
-
Bahwa pada waktu itu Saksi MS melihat Terdakwa MFM menyemprot rumput dimana pada waktu itu angin bertiup sangat kencang dari arah barat;
61
-
Bahwa setelah Terdakwa MFM menyemprot rumput di pematangnya mengakibatkan tanaman padi milik Saksi SLM rusak atau mati dengan warna daun kekuning-kuningan;
-
Bahwa Saksi MS baru tahu jenis cairan yang disemprotkan ke rumput adalah cairan racun rumput jenis gramoxone setelah Saksi MS diperiksa sebagai Saksi di Kantor Polisi;
-
Bahwa dari 4 sawah yang berbatasan dengan pematang sawah milik Terdakwa MFM dimana 3 petak tanaman padi milik Saksi SLM;
-
Bahwa Saksi MS melihat setelah 2
hari Terdakwa MFM
menyemprot rumput di pematangnya, tanaman padi di sawah milik Saksi SLM rusak atau mati dengan berwarna kekuningkuningan; -
Bahwa luasnya tanaman padi yang rusak kira-kira sekitar 3 sampai 4 meter dari pematang sawah milik Terdakwa MFM untuk disebelah timur, sedangkan disebelah utara lebarnya 2 meter dari pematang sawah milik Terdakwa MFM;
-
Bahwa tanaman padi milik Saksi SLM baru ditanam sekitar 15 hari dan Saksi SLM mengalami kerugian sekitar Rp.2.000.000,(dua juta rupiah);
-
Bahwa sawah Saksi MS juga berbatasan dengan tanah sawah milik Terdakwa SLM akan tetapi tanaman Saksi MS tidak mati;
62
-
Bahwa
biasanya
dipakai
menyemprot
rumput
adalah
gramoxone untuk mematikan rumput dan kalau mengenai tanaman padi menyebabkan mati pula; Atas keterangan Saksi MS diatas, Terdakwa MFM mengatakan ada yang benar dan ada yang salah yaitu bahwa Saksi MS tidak ada ditempat kejadian dan juga tanaman padi milik Saksi SLM tidak mati dan bisa tumbuh lagi; Saksi ke-3 : AAJ disumpah yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: -
Bahwa pada kejadiannya pada Hari Kamis, tanggal 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA bertempat di Lingkungan Alausalo, Kelurahan Anabanua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo;
-
Bahwa pada waktu itu Saksi AAJ ada disawah untuk menebar pupuk dimana melihat Terdakwa MFM sedang menyemprot disawahnya;
-
Bahwa Saksi AAJ hanya melihat Terdakwa MFM menyemprot rumput dari sawah Saksi AAJ yang jaraknya dengan Terdakwa MFM menyemprot kira-kira 100 meter;
-
Bahwa pada waktu itu Saksi AAJ melihat Terdakwa MFM menyemprot rumput dimana pada waktu itu angin bertiup sangat kencang dari arah barat;
63
-
Bahwa
setelah
Terdakwa
MFM
menyemprot
rumput
dipematangnya mengakibatkan tanaman padi milik Saksi SLM rusak atau mati dengan warna daun kekuning-kuningan; -
Bahwa Saksi AAJ baru tahu jenis cairan yang disemprotkan ke rumput adalah cairan racun rumput jenis gramoxone setelah Saksi AAJ diperiksa sebagai Saksi di Kantor Polisi;
-
Bahwa dari 4 sawah yang berbatasan dengan pematang milik Terdakwa MFM dimana 3 petak tanaman padi milik Saksi SLM;
-
Bahwa Saksi AAJ melihat setelah 2 hari Terdakwa MFM menyemprot rumput dipematangnya, tanaman padi disawah milik Saksi SLM rusak atau mati dengan berwarna kekuningkuningan;
-
Bahwa luasnya tanaman padi yang rusak kira-kira sekitar 3 sampai 4 meter dari pematang sawah milik Terdakwa MFM untuk disebelah timur sedangkan disebelah utara lebarnya 2 meter dari pematang sawah milik Terdakwa MFM;
-
Bahwa tanaman padi milik Saksi SLM baru ditanam sekitar 15 hari dan Saksi SLM mengalami kerugian sekitar Rp.2.000.000,(dua juta rupiah);
Atas keterangan Saksi AAJ diatas, Terdakwa MFM mengatakan ada yang benar dan ada yang salah yaitu Terdakwa MFM tidak
64
mengangkat keatas ujung semprot sehingga mengenai tanaman padi milik Saksi SLM sehingga menjadi mati. 4. Alat Bukti Petujuk Selain alat bukti keterangan saksi, Jaksa Penuntut Umum juga mengajukan alat bukti petunjuk yaitu barang bukti berupa; 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plastik berwarna kekuningkuningan, penutupnya berwarna merah, tabung angin berwarna hitam yang telah diperlihatkan di depan persidangan dibenarkan oleh Saksi-saksi dan juga Terdakwa. Dalam persidangan juga diperlihatkan foto tanaman padi yang rusak atau mati milik Saksi SLM akibat terkena semprotan racun rumput yang diperlihatkan kepada Saksi-saksi dan juga Terdakwa dan dibenarkan oleh Saksi-saksi dan Terdakwa. 5. Keterangan Terdakwa Keterangan
Terdakwa
:
MFM
yang
pada
pokoknya
menerangkan sebagai berikut: -
Bahwa pada kejadiannya pada Hari Kamis, tanggal 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA bertempat di Lingkungan Alausalo, Kelurahan Anabanua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo;
-
Bahwa
Terdakwa
MFM
pada
waktu
itu
melakukan
penyemprotan rumput supaya rumputnya tidak naik dan waktu itu angin bertiup sangat kencang;
65
-
Bahwa Terdakwa MFM pada waktu menyemprot rumput tidak pernah mengangkat angkat ke atas ujung semprotnya sehingga cairan racun rumput gramoxone itu terbawa angin;
-
Bahwa pematang sawah Terdakwa MFM berdekatan dengan sawah milik Saksi SLM yang ditanam padi yang umurnya kurang lebih 15 hari;
-
Bahwa Terdakwa MFM tidak naik ke pematang waktu menyemprot rumput namun disawah miiknya yang jaraknya ada sekitar 2 meter;
-
Bahwa setelah beberapa hari tanaman padi milik Saksi SLM berwarna kuning atau rusak akan tetapi tidak mati dan Terdakwa MFM tidak merasa menyemprot tanaman padi milik Saksi SLM;
-
Bahwa Terdakwa MFM pernah memberitahukan Saksi SLM untuk mengganti tanaman padinya yang rusak dan Saksi SLM mengatakan Terdakwa MFM akan mengetahui secara hukum perbuatannya;
-
Bahwa pada waktu itu Terdakwa MFM menyemprotkan racun rumput jenis gramoxone untuk rumput disawahnya sebanyak 10 tangki mulai dari jam 10.00 WITA sampai dengan jam 15.00 WITA;
66
-
Bahwa tanaman padi milik Saksi SLM rusak menurut Terdakwa MFM karena pengaruh angin yang membawa cairan racun yang disemprotkan ke sawahnya Terdakwa MFM;
-
Bahwa bukan Terdakwa MFM yang punya masalah dengan Saksi SLM melainkan Bapaknya Terdakwa MFM mengenai masalah penampungan air yang rusak;
-
Bahwa Terdakwa MFM menyesali akibat dari penyemprotan itu sehingga tanaman padi milik Saksi SLM menjadi rusak.
6. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengkang yang mengadili perkara ini memutuskan: a. Menyatakan Terdakwa
MFM
terbukti
secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Merusak Barang” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dalam surat dakwaan; b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa MFM berupa pidana penjara selama 5 (lima) bulan; c. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plastik berwarna kekuning-kuningan, penutupnya berwarna merah, tabung angin berwarna hitam dirampas untuk dimusnahkan;
67
d. Menetapkan agar Terdakwa MFM membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah). Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut, Terdakwa MFM mengajukan pembelaan (pledoi) secara tertulis tertanggal 18 Februari 2010 yang dibacakan dipersidangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Bahwa cara Terdakwa MFM menyemprot rumput disawah tidak dengan cara melakukan atau mengangkat ujung semprot keatas dan adapun tanaman padi milik Saksi SLM yang terkena semprotan bukanlah disengaja namun terbawa angin yang kencang pada waktu Terdakwa MFM menyemprot dengan menggunakan racun rumput gramoxone; Bahwa tanaman padi yang terkena semprotan warnanya kemerahmerahan dan masih bisa tumbuh kembali dan juga yang kena tidaklah luas hanya 5 sampai 8 baris saja dan banyaknya 3 petak dan Terdakwa MFM hendak mengganti tanaman padi tersebut akan tetapi Saksi SLM tidak mau menerima; Bahwa Terdakwa MFM memohon keringanan hukuman oleh karena Terdakwa MFM memiliki seorang isteri dan anak serta menjadi tulang punggung keluarganya mencari nafkah dan juga Terdakwa MFM menyesali perbuatannya yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; Jaksa Penuntut Umum dalam Repliknya yang diajukan secara lisan pada pokoknya menyatakan tetap pada tuntutannya semula dan Terdakwa
68
MFM dalam Dupliknya yang diajukan secara lisan pada pokoknya menyatakan tetap pada pembelaannya (pledoi) semula. 7. Putusan Hakim a. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri Sengkang Menimbang,
bahwa
berdasarkan
keterangan
Saksi-saksi,
petunjuk berupa barang bukti dan keterangan Terdakwa MFM yang satu dengan yang lainnya saling berkesesuaian, maka dapatlah diperoleh fakta hukum sebagai berikut: -
Bahwa pada kejadiannya pada Hari Kamis, tanggal 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA bertempat di Lingkungan Alausalo, Kelurahan Anabanua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo;
-
Bahwa
Terdakwa
MFM
pada
waktu
itu
melakukan
penyemprotan rumput yang ada disawahnya dan juga di pematang-pematang sawahnya; -
Bahwa pada waktu itu Terdakwa MFM menyemprot rumput dengan menggunakan racun rumput jenis gramoxone dimana Terdakwa MFM dengan menggerakkan ujung selang tabung diangkat keatas kebawah dan pada saat itu angin bertiup kencang dari arah barat ke timur;
-
Bahwa percikan racun rumput gramoxone yang disemprotkan Terdakwa MFM tersebut mengenai tanaman padi milik Saksi
69
SLM yang terletak sebelah timur dan utara dari sawah Terdakwa MFM; -
Bahwa dari 9 petak sawah Saksi SLM dimana ada 4 petak yang berbatasan dengan sawahnya Terdakwa MFM yaitu disebelah barat, disebelah utara dan disebelah timur;
-
Bahwa Terdakwa MFM beberapa hari setelah Terdakwa MFM menyemprot rumput tanaman padi milik Saksi SLM yang disebelah utara dengan pematang sawah Terdakwa MFM dan juga disebelah timur pematang sawah Terdakwa MFM berubah warnanya menjadi kuning;
-
Bahwa luasnya tanaman padi yang berubah warnanya adalah kira-kira sekitar 3 sampai 4 meter dari pematang sawah milik Terdakwa MFM untuk disebelah timur sedangkan disebelah utara lebarnya 2 meter dari pematang sawah milik Terdakwa MFM;
-
Bahwa tanaman padi milik Saksi SLM yang berwarna kuning dan tanaman tersebut mati hal ini dipengaruhi oleh racun rumput gramoxone yang disemprotkan oleh Terdakwa MFM;
-
Bahwa tanaman padi milik Saksi SLM baru ditanam sekitar 15 hari dan Saksi SLM mengalami kerugian sekitar Rp.2.000.000,(dua juta rupiah). Menimbang,
bahwa
selanjutnya
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta hukum tersebut diatas,
70
Terdakwa MFM dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Menimbang,
bahwa
untuk
menyatakan
seseorang
telah
melakukan suatu tindak pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Menimbang, bahwa Terdakwa MFM telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan tunggal dalam Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: a) Barang siapa; b) Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat digunakan atau menghilangkan barang sesuatu; c) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut: Ad. a. Unsur “Barang Siapa”; Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur “barang siapa” adalah siapa saja yang pada saat ini sedang diajukan sebagai Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum karena melakukan suatu tindak pidana yang harus dipertanggungjawabkan kepadanya dan yang pada
71
saat ini diajukan sebagai Terdakwa berdasarkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum No.Reg.PDM-60/Senk/Ep.1/03/2010 tertanggal 22 Maret 2010 adalah seorang Laki-laki yang bernama MFM; Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Saksi-saksi dan keterangan Terdakwa MFM yang telah dikonfirmasikan keterangannya dipersidangan, bahwa benar Terdakwa bernama MFM, yang mana identitasnya bersesuaian dengan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka dengan demikian, unsur pertama telah terpenuhi. Namun mengenai apakah Terdakwa MFM dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya, akan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan unsur selanjutnya; Ad. b. Unsur “Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusakkan,
membikin
tidak
dapat
digunakan atau menghilangkan barang sesuatu”; Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “kesengajaan” sebagaimana dimaksud dalam Memory Van Toelichting (MVT) adalah “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya. Sengaja sama dengan willens en weten veroorzaken van een gevolg yaitu seseorang yang melakukan sesuatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsyafi tindakan tersebut dan atau akibatnya;
72
Menimbang, bahwa dalam teori perkiraan (voorstelling theori), gradasi kesengajaan dapat dibagi menjadi tiga kelompok sebagai berikut: (1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk), yaitu apabila si pembuat atau pelaku (dader) menghendaki akibat dari perbuatannya, andaikata si pembuat sudah mengetahui sebelumnya bahwa akibat dari perbuatannya tidak akan terjadi, maka tentu pelaku tidak akan melakukan perbatan itu; (2) Sengaja sebagai kepastian atau keharusan (opzet bij zekerheids bewustzijn), yaitu apabila si pelaku (dader) dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi pelaku tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu, kalau ini maka sesuai teori kehendak menganggap akibat itu juga dikehendaki oleh pelaku; (3) Sengaja sebagai kesadaran akan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn), yaitu apabila seorang pelaku (dader) melakukan sesuatu perbuatan dan menimbulkan sesuatu akibat tertentu, dalam hal ini pelaku mempunyai opzet sebagai tujuan, akan tetapi ia insyaf guna mencapai maksudnya itu kemungkinan menimbulkan akibat lain yang
73
juga dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang; Menimbang, bahwa oleh karena unsur ini bersifat alternatif jika sub unsur ini terpenuhi maka dianggap unsur ini terpenuhi; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan pada kejadiannya pada Hari Kamis tanggal 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA bertempat di Lingkungan Alausalo, Kelurahan Anakbanua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo pada waktu itu Terdakwa MFM melakukan penyemprotan rumput yang ada disawahnya
dan
juga
dipematang-pematang
sawahnya
dengan
menggunakan racun rumput jenis gramoxone dimana Terdakwa MFM dengan menggerakkan ujung selang tabung diangkat keatas kebawah dan pada saat itu angin bertiup kencang dari arah barat ke timur; Bahwa dari 9 petak sawah Saksi SLM dimana ada 4 petak yang berbatasan dengan sawahnya Terdakwa MFM yaitu disebelah barat, disebelah utara dan disebelah timur dan beberapa hari setelah Terdakwa MFM menyemprot rumput, tanaman padi milik Saksi SLM yang disebelah utara selebar 2 meter dengan pematang sawah Terdakwa MFM dan juga disebelah timur selebar 4 meter dari pematang sawah Terdakwa MFM berubah warnanya menjadi kuning dan akhirnya tanaman padi tersebut mati;
74
Bahwa tanaman padi milik Saksi SLM yang berwarna kuning dan mati tersebut telah membuat Saksi SLM mengalami kerugian sekitar Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah); Menimbang, bahwa dalam persidangan Terdakwa MFM telah melakukan pembelaan (pledoi) yang pada pokoknya mengatakan bahwa Terdakwa MFM yang melakukan penyemprotan rumput dengan menggunakan racun rumput jenis gramoxone dimana Terdakwa MFM mengatakan tidak ada keinginan untuk menyemprot tanaman padi milik Saksi SLM kalaupun kena itu disebabkan oleh angin yang bertiup kencang; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dihubungkan dengan teori kesengajaan itu sendiri maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa MFM yang menyemprot rumput dengan mengangkat ujung semprotan tinggi keatas kebawah saat angin bertiup kencang dari arah barat ke timur maka cairan racun rumput gramoxone yang bercampur air yang keluar pasti mengenai tanaman padi milik Saksi SLM yang berbatasan dengan pematang sawah Terdakwa MFM yaitu disebelah utara sepanjang 2 meter dari pematang sedangkan disebelah timur mencapai 4 meter dari pematang sehingga tanaman padi milik Saksi SLM yang baru berumur 15 hari berubah warnanya menjadi kuning dan akhirnya mati dan Saksi SLM mengalami kerugian sekitar Rp.2000.000,- (dua juta rupiah);
75
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut perbuatan Terdakwa MFM yang menyemprot rumput dengan menggunakan racun rumput gramoxone kemudian mengangkat tinggi ujung semprotannya maka hal tu patutlah disadari oleh Terdakwa MFM bahwa cairan racun rumput gramoxone yang akan keluar dari ujung semprotan tersebut terbawa angin sehingga mengenai tanaman padi milik Saksi SLM yang akhirnya mati dan merugikan Saksi SLM Rp.2000.000,- (dua juta rupiah) tersebut merupakan “kesengajaan akan kemungkinan akan terjadi yang melawan hukum” maka alasan pembelaan (pledoi) Terdakwa MFM patutlah dikesampingkan dan unsur ini telah dipenuhi oleh perbuatan Terdakwa MFM; Ad. c. Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain Menimbang, bahwa yang dimaksud “yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” adalah suatu barang baik sebagian atau seluruhnya yang terkena akibat dari perbuatan si pelaku adalah milik orang lain selain pelaku; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan tanaman padi yang mati terkena percikan racun rumput gramoxone yang disemprotkan oleh Terdawa MFM yang terletak sebelah utara dengan lebar 2 meter dan disebelah timur dengan lebar 4 meter dari sawah milik Terdakwa MFM adalah tanaman padi milik Saksi SLM, maka Majelis Hakim berpendapat unsur “yang seluruhnya
76
atau sebagian kepunyaan orang lain” telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa MFM; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata perbuatan Terdakwa MFM telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari Dakwaan Tunggal dari Jaksa Penuntut Umum sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Terdakwa MFM telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); Menimbang, bahwa dari kenyataan yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini, Majelis Hakim tidak menemukan halhal yang dapat melepaskan Terdakwa MFM dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan alasan pemaaf, oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan Terdakwa MFM harus dipertanggungjawabkan kepadanya; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa MFM mampu bertanggungjawab, maka Terdakwa MFM harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan terhadap diri Terdakwa MFM oleh karena itu harus dijatuhi pidana; Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa MFM, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan; Hal-hal yang memberatkan:
77
- Perbuatan Terdakwa MFM merugikan Saksi SLM sebesar Rp.2.000.000,- (dua jua rupiah); - Terdakwa MFM berbelit-belit dalam memberikan keterangan sehingga mempersulit jalannya persidangan; Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa MFM belum pernah dihukum; - Terdakwa MFM berlaku sopan dalam persidangan; - Terdakwa MFM menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi dikemudian hari serta mempunyai tanggungan keluarga; Menimbang, bahwa dalam persidangan mengenai status barang bukti berupa 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plastik berwarna kekuning-kuningan, penutupnya berwarna merah, tabung angin berwarna hitam yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dibenarkan oleh Saksi-saksi dan juga keterangan Terdakwa MFM bahwa barang bukti tersebut dipakai Terdakwa MFM menyemprot rumput disawahnya maka Majelis Hakim berpendapat oleh karena barang bukti tersebut dipakai untuk kejahatan maka barang bukti tersebut haruslah dirampas untuk dimusnahkan; Menimbang, oleh karena Terdakwa MFM dijatuhi pidana dan Terdakwa
MFM
sebelumnya
tidak
pembebasan dari pembayaran biaya ditentukan dalam amar putusan ini;
mengajukan
permohonan
perkara yang besarnya akan
78
Mengingat, Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan perkara ini.
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri Sengkang 1) Menyatakan Terdakwa MFM terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Merusak Barang”; 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa MFM oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan; 3) Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plasik berwarna kekuning-kuningan, penutupnya berwarna merah, tabung angin berwarna hitam dirampas untuk dimusnahkan; 4) Membebankan Terdakwa MFM untuk membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
c. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Tinggi Makassar Menimbang,
bahwa
Terdakwa
MFM
diajukan
didepan
persidangan atas Dakwaan Penuntut Umum tertanggal 22 Maret 2010, No.Reg. Perkara: PDM-60/Sengk/Ep.1/03/2010; Menimbang, bahwa terhadap tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum tersebut Pengadilan Negeri Sengkang telah menjatuhkan
79
putusan Nomor: 61/Pid/B/2010/PN.SKG tanggal 6 Mei 2010, yang amar putusannya sebaga berikut: 1) Menyatakan
Terdakwa
MFM
terbukti
secara
sah
dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Merusak Barang”; 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa MFM oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan; 3) Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plasik berwarna kekuning-kuningan, penutupnya berwarna merah, tabung angin berwarna hitam dirampas untuk dimusnahkan; 4) Membebankan Terdakwa MFM untuk membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah); Menimbang, bahwa dari akta permintaan banding yang ditandatangani oleh Andi Surya Nusa, S,H. Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Sengkang, Terdakwa telah mengajukan permintaan banding pada tanggal 10 Mei 2010 terhadap putusan Pengadilan Negeri Sengkang, tanggal 6 Mei 2010, Nomor: 61/Pid/B/2010/PN.SKG, permintaan banding tersebut telah diberitahukan secara seksama berdasarkan akta pemberitahuan permintaan banding kepada Penuntut Umum pada tanggal 12 Mei 2010, oleh Mustamin Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri Sengkang;
80
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan banding tersebut, Terdakwa MFM telah mengajukan memori banding tertanggal 24 Mei 2010 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sengkang pada tanggal 25 Mei 2010, memori banding tersebut telah diberitahukan kepada Penuntut Umum berdasarkan akata penyerahan memori banding pada tanggal 27 Mei 2010 oleh Mustamin Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri Sengkang; Menimbang, bahwa sehubungan dengan memori banding tersebut Penuntut Umum mengajukan kontra memori banding tertanggal 7 Juni 2010 yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Negeri Sengkang tanggal 7 Juni 2010 dan telah diberitahukan dengan seksama berdasarkan akta pemberitahuan dan penyerahan kontra memori banding kepada Terdakwa MFM pada tanggal 9 Juni 2010 oleh Samanhudi Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri Sengkang; Menimbang, bahwa sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, telah diberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa MFM akan haknya untuk mempelajari berkas perkara berdasarkan surat pemberitahuan untuk mempelajari berkas pada tanggal 3 Juni 2010 yang ditandatangani oleh Andi Makmur, S.H. Wakil Panitera Pengadilan Negeri Sengkang; Menimbang, bahwa permohonan akan pemeriksaan tingkat banding oleh Terdakwa MFM diajukan dalam tenggang waktu dan
81
menurut tata cara serta persyaratan yang telah ditentukan oleh undangundang, maka permintaan bandng tersebut dapat diterima; Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi telah mempelajari dengan seksama berkas perkara secara keseluruhan dan turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Sengkang tanggal 6 Mei 2010 Nomor: 61/ Pid/B/2010/PN.SKG, memori banding yang diajukan Terdakwa MFM dan kontra memori banding yang diajukan Penuntut Umum tersebut; Menimbang, bahwa memori banding yang diajukan Terdakwa MFM pada pokoknya berpendapat dan sebagai keberatan pembanding yang menyatakan bahwa unsur sengaja tersebut terbukti ternyata setelah Pengadilan Tingi meneliti dan mencermati berkas perkara dari keterangan saksi-saksi yang menerangkan bahwa saat Terdakwa MFM melakukan penyemprotan rumput angin bertiup kencang sehingga mengenai tanaman padi Saksi SLM hal mana tentu dapat disadari oleh Terdakwa MFM pembanding bahwa menyemprot pada saat angin bertiup kencang dapat mengenai tanaman yang ada disekitarnya selain rumput yang akan disemprot sebagai unsur sengaja sebagaimana telah dipertimbangkan Hakim Tingkat Pertama telah tepat menurut hukum dan selanjutnya memori banding tersebut tidak mengandung hal-hal baru yang dapat membatalkan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama, oleh sebab itu memori banding tersebut tidak perlu dipertimbangkan ditingkat banding;
82
Menimbang, bahwa mengenai kontra memori banding yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menyatakan bahwa apa yang telah dipertimbangkan oleh Hakim Pengadilan Tingkat Pertama telah tepat dan benar; Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi sependapat dengan alasan-alasan dan pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang menjadi dasar dalam putusannya bahwa Terdakwa MFM telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP; Menimbang, bahwa oleh karena itu pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan Hakim Tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi menganggap sudah tepat dan benar berdasarkan hukum maka alasan dan pertimbangan Hakim Timgkat Pertama tersebut dapat disetujui dan diambil alih dijadikan dasar pertimbangan sendiri Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara ini ditingkat banding oleh karena itu putusan Pengadilan
Negeri
Sengkang
tanggal
6
Mei
2010
Nomor:
61/Pid/B/2010/PN.SKG tersebut dapat dipertahankan dan haruslah dikuatkan; Menimbang, bahwa karena Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka kepadanya dibebani untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat pengadilan; Mengingat, ketentuan Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
83
Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan perkara ini.
d. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Makassar 1) Menerima permintaan banding Terdakwa MFM tersebut; 2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sengkang, tanggal 6 Mei 2010, Nomor: 61/Pid/B/2010/PN.SKG, yang dimintakan banding tersebut; 3) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa MFM tersebut dalam kedua tingkat pengadilan, yang dalam tingkat banding sebesar RP.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
e. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung R.I. Mengingat
akan
akta
tentang
permohonan
kasasi
No.13/AKTA.PID/2010/PN.SKG yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Sengkang yang menerangkan, bahwa pada tanggal 18 Oktober 2010 Terdakwa MFM mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Makassar tersebut; Memperhatikan memori kasasi tanggal 28 Oktober 2010 dari Terdakwa
MFM
sebagai
Pemohon
Kasasi
yang
diterima
di
kepaniteraan Pengadilan Negeri Sengkang pada tanggal 28 Oktober 2010; Membaca surat-surat yang bersangkutan; Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Makassar tersebut telah diberitahukan kepada Terdakwa MFM pada tanggal 8
84
Oktober 2010 dan Terdakwa MFM mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 18 Oktober 2010 serta memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sengkang pada tanggal 28 Oktober 2010 dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasanalasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima; Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi pada pokoknya adalah sebagai berikut: - Bahwa putusan Hakim judex facti dalam hal ini Hakim banding Pengadilan
Tinggi
Makassar
dalam
putusannya
yang
menguatkan putusan Hakim pertama Pengadilan Negeri Sengkang dalam perkara ini salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya dalam menilai dan menyimpulkan alat bukti dan fakta atau kejadian yang terungkap di depan persidangan selama proses pemeriksaan perkara ini; - Bahwa selama proses pemeriksaan perkara ini di depan persidangan telah didengar keterangan Saksi-saksi yaitu Saksi SLM, Saksi MS, Saksi AAJ dan keterangan Terdakwa MFM; - Bahwa fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan selama proses pemeriksaan perkara ini, bahwa sesuai alat bukti yang diajukan di depan persidangan bahwa pada hari Kamis, tanggal
85
21 Januari 2010 Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi menyemprot rumput pada pematang sawah miliknya yang berbatasan dengan sawah milik SLM dan sementara Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi menyemprot sawah miliknya yang sudah ditanami padi ketika itu bertiup angin kencang, sehingga ketika Terdakwa MFM /Pemohon Kasasi menyemprot terbawa angin dan mengenai tanaman padi milik SLM di pinggir pematang yang berbatasan dengan tanah sawah milik Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi dan sama sekali tidak pernah Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi
bertujuan
dan
tidak
pernah
bermaksud
untuk
menyemprot tanaman padi milik SLM yang berbatasan langsung dengan tanah sawah milik Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi; - Bahwa Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi hanya semata-mata bermaksud untuk menyemprot rumput pada pematang sawah miliknya yang berbatasan langsung dengan sawah milik SLM yang sudah ditanami padi dan pada waktu Terdakwa MFM/Pemohon
Kasasi
sementara
menyemprot
rumput
pematang sawah miliknya, lalu angin bertiup sangat kencang sehingga mengenai tanaman padi milik SLM yang berbatasan langsung dengan sawah milik Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi tersebut; - Bahwa dengan menyimak fakta-fakta hukum yang terungkap di depan persidangan berdasarkan keterangan Saksi-saksi dan
86
keterangan Terdakwa yaitu keterangan Saksi SLM, keterangan Saksi
MS,
keterangan
Saksi
AAJ
dan
keterangan
Terdakwa/Pemohon Kasasi MFM telah terungkap fakta bahwa Terdakwa/Pemohon Kasasi MFM sama sekali tidak bermaksud dan bertujuan untuk menyemprot tanaman padi yang ada pada sawah milik SLM yang berbatasan langsung dengan sawah milik
Terdakwa
MFM/Pemohon
Kasasi
yang
rumput
pematangnya disemprot oleh Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi; - Bahwa karenanya menurut hukum dengan berdasarkan faktafakta hukum yang terungkap di depan persidangan tersebut, maka sekalipun tanaman padi milik SLM terkena racun rumput gramoxone pada waktu Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi menyemprot rumput yang ada pada pematang sawah milik Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi yang berbatasan langsung dengan sawah milik SLM, tidaklah dapat dipandang memenuhi unsur Pasal 406 ayat (1) KUHP tidak terbukti menurut hukum, maka Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi seharusnya dinyatakan bebas dari segala dakwaan/tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum; - Bahwa dengan berdasarkan fakta hukum yang terugkap di depan persidangan, sehingga menurut hukum Hakim Judex Facti dalam putusannya dalam perkara ini in casu Hakim banding Pengadilan Tinggi Makassar yang menguatkan putusan Hakim
87
pertama Pengadilan Negeri Sengkang dalam perkara ini salah menerapkan hukum dalam menilai dan menyimpulkan fakta hukum yang terungkap di depan persidangan selama proses pemeriksaan perkara ini, karena perbuatan yang didakwakan oleh
Jaksa
Penuntut
Umum
terhadap
diri
Terdakwa
MFM/Pemohon Kasasi tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 406 ayat (1) KUHP terutama unsur “Dengan Sengaja”; - Bahwa selanjutnya jika sekiranya masih ada salah penerapan hukum Hakim Judex Facti dalam putusannya dalam perkara ini yang Hakim Agung temukan yang tidak sempat kami kemukakan dalam memori kasasi, maka sudilah kiranya Hakim Agung yang terhormat memperhatikan kesalahan penerapan hukum tersebut dan memasukkannya sebagai bagian dalam memori kasasi ini; Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat: - Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena tidak menjelaskan apakah perbuatan Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi memenuhi unsur sengaja merusak sawah milik orang lain; - Bahwa pertimbangan Judex Facti tidak memadai (Onvoldoende gemotiveerd) untuk mengkategorikan adanya kesengajaan
88
Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi merusak untuk membinasakan tanaman milik orang lain; - Bahwa Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi memang telah menyemprot racun rumput diwilayah sawahnya sendiri, tetapi kemudian merambat ke tanaman di tanah milik orang lain sehingga terjadi kerusakan tanaman Saksi Korban SLM; - Bahwa pengertian sengaja harus ditujukan kepada objek yang dirusak sehingga perbuatan Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi yang menyemprot racun rumput gramoxone disawahnya sendiri tidak dapat dikategorikan sengaja merusak tanaman orang lain; - Bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan, Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi hanya menyemprot di areal sawah sendiri, namun karena adanya angin, obat racun rumput gramoxone merambat ke tanah milik Saksi Korban SLM; - Bahwa suatu perbuatan sengaja harus ada suatu motif, kenapa seseorang melakukan perbuatan itu, hal mana tidak terungkap dalam perkara ini; - Bahwa dari fakta-fakta yang ada, matinya tanaman korban dikarenakan sama sekali tidak kesengajaan dari Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi, namun mungkin ada kelalaian tetapi kelalaian tidak dapat ditemukan dalam pasal yang didakwakan kepada Terdakwa MFM/Pemohon Kasasi;
89
- Bahwa
berdasarkan
pertimbangan
diatas,
Terdakwa
MFM/Pemohon Kasasi tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan oleh karenanya putusan Judex Facti harus dibatalkan; Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
diatas
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Makassar No. 207/Pid/2010/PT.MKS tanggal 31 Agustus 2010 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut seperti tertera dibawah ini; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi Terdakwa MFM dikabulkan, maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada Terdakwa MFM; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
f. Amar Putusan Mahkamah Agung R.I. Mengadili:
90
1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa MFM tersebut; 2) Membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Makassar
Nomor:
207/Pid/2010/PT.MKS tanggal 31 Agustus 2010 yang menguatkan putusan
Pengadilan
Negeri
Sengkang
Nomor:
61/Pid/B/2010/PN.SKG tanggal 6 Mei 2010; Mengadili Sendiri: 1) Menyatakan Terdakwa MFM tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan; 2) Membebaskan Terdakwa MFM dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut; 3) Memulihkan
hak-hak
Terdakwa
MFM
dalam
kemampuan,
kedudukan harkat dan martabatnya; 4) Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plastik berwarna kekuning-kuningan, penutupnya berwarna merah, tabung angin berwarna hitam dikembalikan kepada Terdakwa MFM; 5) Membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa MFM untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
91
B. Pembahasan 1. Alasan Terdakwa Dijatuhi Putusan Bebas Oleh Mahkamah Agung Dalam Perkara No. 179 K/Pid/2011. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebutlah yang menjadi patokan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil musyawarah mufakat majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut yang didasarkan pada penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Dikaji dari sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya, aspek pembuktian memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim.68 Oleh karena itu pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan 68
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 158.
92
hukuman. Sehingga hakim harus hati-hati, cermat, teliti dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek aspek sebagai berikut: a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti; b. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya; c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbutan itu; d. Putusan apakah yang harus diajtuhkan kepada terdakwa.69 Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh digunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Jadi persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.70 Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana antara lain: 69 70
Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hlm. 99. M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 273.
93
Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan
dengan
undang-undang.
Terdakwa
tidak
bisa
leluasa
mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar diluar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan
mempertimbangkan
kekuatan
pembuktian
yang
ditemukan
selama
pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman.71 Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus
71
Ibid, hlm. 274.
94
dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasar hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian.72 Tujuan pembuktian yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran materiil yang terdapat dalam suatu perkara dipersidangan. Selain itu pembuktian juga bertujuan untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Oleh karena itu hakim dalam mengambil keputusan pasti berusaha agar putusannya itu adil dan mengandung kebenaran materiil agar mencegah orang yang tidak bersalah dijatuhi hukuman pidana dan orang yang bersalah lepas dari jeratan hukum. Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, yaitu: a. b. c. d. e.
Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa.
Dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011 majelis hakim Mahkamah Agung ketika proses pembuktian di persidangan memeriksa alat-alat bukti yang sah berupa: a. Keterangan saksi sebanyak 3 (tiga) orang yakni SLM, MS dan AAJ. b. Keterangan terdakwa 1 (satu) orang yakni MFM. Serta dilengkapi dengan adanya barang bukti berupa 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plastik berwarna kekuning-kuningan, penutupnya
72
Loc.cit
95
berwarna merah, tabung angin berwarna hitam serta foto tanaman padi yang rusak atau mati milik saksi SLM akibat terkena semprotan racun rumput gramoxone.
a. Keterangan saksi Pasal 1 Angka 26 KUHAP menyebutkan bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Menurut sifat dan eksistensinya, keterangan saksi A Charge adalah keterangan seorang saksi dengan sifat memberatkan terdakwa dan lazimnya diajukan oleh jaksa/penuntut umum. Sedangkan saksi A de Charge adalah keterangan seorang saksi dengan sifat meringankan terdakwa dan lazim diajukan oleh terdakwa/penasihat hukum.73 Dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011, saksi yang diajukan ke persidangan hanya saksi A Charge. Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Karena hampir tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Pada dasarnya menjadi saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila seseorang dipanggil secara sah oleh hakim ketua sidang untuk menjadi saksi namun menolak atau tidak mau hadir di persidangan, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya
73
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 178
96
saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 159 Ayat (2) KUHAP. Meskipun menjadi saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang, namun ada pengecualian dimana seseorang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai seorang saksi. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 168 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut: “Kecuali ketentuan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.” Agar keterangan seorang saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Dalam Pasal 160 Ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberi keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Menurut Pasal 185 Ayat (1) KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Jadi keterangan yang saksi nyatakan diluar sidang pengadilan bukan
97
merupakan alat bukti yang sah sehingga tidak dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Pengertian keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Dengan demikian pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukanlah keterangan saksi. Keterangan saksi baru dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila saksi yang memberikan keterangan itu mendengar sendiri, mengalami sendiri atau melihat sendiri. Jadi “testimonium de auditu” atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.74 Dalam Pasal 185 Ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku jika disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011 ketentuan Pasal 185 Ayat (2) KUHAP yang menyatakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi telah terpenuhi karena saksi yang diajukan kepersidangan berjumlah tiga orang yaitu saksi SLM, MS dan AAJ. 74
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 287.
98
Selanjutnya di dalam Pasal 185 Ayat (6) KUHAP disebutkan sebagai berikut: “Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya; b. Persesuaian antar keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.” Keterangan saksi dalam putusan perkara Nomor 179 K/Pid/2011 adalah sebagai berikut: 1. Saksi SLM Dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan bahwa peristiwa tindak pidana tersebut terjadi pada hari Kamis, 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA, saksi SLM melihat terdakwa MFM menyemprot rumput dengan racun rumput gramoxone pada pematang sawah antara sawah milik saksi SLM dan sawah milik terdakwa MFM, terdakwa MFM menyemprot rumput dengan cara menggerakkan ujung selang tabung semprot diangkat keatas dan pada waktu itu angin berhembus kencang sehingga racun rumput gramoxone tersebut mengenai tanaman padi milik saksi SLM dan mengakibatkan tanaman padi milik saksi SLM menjadi rusak dan mati sehingga saksi SLM mengalami kerugian sebesar Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah).
99
2. Saksi MS Dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan bahwa peristiwa tindak pidana tersebut terjadi pada hari Kamis, 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA, pada waktu itu saksi MS melewati sawahnya saksi SLM untuk menuju ke sawah milik saksi MS dan melihat terdakwa MFM menyemprot rumput pada pematang sawah antara sawah milik saksi SLM dan
sawah
milik
terdakwa
MFM,
terdakwa
MFM
menyemprot rumput pada waktu angin berhembus kencang dari arah barat, saksi MS baru tahu kalau jenis cairan yang disemprotkan ke rumput adalah racun rumput jenis gramoxone setelah saksi MS diperiksa dikantor polisi, biasanya
racun
rumput
gramoxone
digunakan
untuk
mematikan rumput dan kalau mengenai tanaman padi menyebabkan mati pula. 3. Saksi AAJ Dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan bahwa peristiwa tindak pidana tersebut terjadi pada hari Kamis, 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA, pada waktu itu saksi AAJ ada disawah untuk menebar pupuk dan dari jarak kirakira 100 meter melihat terdakwa MFM sedang menyemprot rumput pada pematang sawah antara sawah milik saksi SLM dan
sawah
milik
terdakwa
MFM,
terdakwa
MFM
100
menyemprot rumput dengan cara mengangkat keatas ujung semprot pada waktu angin berhembus kencang dari arah barat, saksi AAJ baru tahu kalau jenis cairan yang disemprotkan ke rumput adalah racun rumput
jenis
gramoxone setelah saksi AAJ diperiksa dikantor polisi. Berdasarkan ketentuan Pasal 164 Ayat (1) KUHAP, setiap kali saksi selesai memberikan keterangan maka hakim ketua sidang memberikan
kesempatan
kepada
terdakwa
untuk
menanggapi
keterangan saksi tersebut. Atas keterangan saksi SLM diatas, terdakwa MFM mengatakan keterangan saksi SLM ada yang salah yaitu bahwa pada waktu itu saksi SLM tidak berada di tempat kejadian dan juga terdakwa MFM tidak mengangkat ke atas ujung selang semprotan sehingga mengenai tanaman padi milik saksi SLM yang mengakibatkan tanaman padi milik saksi SLM menjadi rusak dan mati. Terhadap keterangan saksi MS diatas, terdakwa MFM mengatakan keterangan saksi MS ada yang salah yaitu bahwa pada waktu itu saksi MS tidak berada di tempat kejadian dan juga tanaman padi milik saksi SLM tidak mati dan bisa tumbuh lagi. Sedangkan terhadap keterangan saksi AAJ diatas, terdakwa MFM mengatakan keterangan saksi AAJ ada yang salah yaitu bahwa pada waktu itu terdakwa MFM tidak mengangkat ke atas ujung selang
101
semprotan sehingga mengenai tanaman padi milik saksi SLM dan mengakibatkan tanaman padi milik SLM menjadi mati. Jika yang dikatakan oleh terdakwa MFM bahwa saksi SLM dan Saksi MS pada saat itu tidak berada di tempat kejadian adalah benar, maka kesaksian saksi SLM dan saksi MS tidak memiliki nilai pembuktian karena kesaksian saksi SLM dan saksi MS merupakan testimonium de auditu dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP karena tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri. Namun mengenai penilaian yang benar adalah keterangan saksi atau keterangan terdakwa, semua diserahkan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut. Dengan adanya keterangan saksi SLM, MS dan AAJ yang dibantah oleh terdakwa MFM maka terdapat ketidaksesuaian antara keterangan saksi-saksi dengan keterangan terdakwa. Berdasarkan ketentuan Pasal 185 Ayat (6) huruf b KUHAP, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. Oleh karena itu hakim harus cermat dan teliti dalam mempertimbangkan pembuktian yang terungkap dipersidangan agar tidak salah dalam menerapkan hukum dan bisa mendapatkan kebenaran materiil. Sehingga orang yang bersalah tidak lepas dari jeratan hukum dan orang yang tidak bersalah tidak dijatuhi hukuman pidana.
102
b. Keterangan terdakwa Pasal 1 Angka 15 KUHAP menyatakan bahwa: “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.” Ketentuan lebih lanjut mengenai terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan atau pengakuan mengenai perbuatan atau keadaan. Namun
majelis hakim tidak perlu menggunakan seluruh
keterangan terdakwa karena tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undangundang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan, antara lain: 1) Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.
103
2) Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.75 Keterangan terdakwa dalam putusan perkara Nomor 179 K/Pid/2011 adalah sebagai berikut: Dipersidangan terdakwa MFM pada pokoknya menerangkan bahwa pada hari Kamis, 21 Januari 2010 sekitar jam 14.30 WITA terdakwa MFM melakukan penyemprotan rumput dengan menggunakan racun rumput gramoxone di areal sawah miliknya sendiri yang bersebelahan dan berdekatan dengan sawah milik saksi SLM, pada waktu menyemprot terdakwa tidak mengangkat ke atas ujung selang semprotan dan ketika sedang menyemprot rumput dengan racun rumput gramoxone tiba-tiba bertiup angin kencang sehingga racun rumput gramoxone tersebut terbawa angin, setelah beberapa hari kemudian tanaman padi milik saksi SLM berwarna kuning atau rusak tetapi tidak mati dan terdakwa MFM tidak merasa menyemprot tanaman padi milik saksi SLM, terdakwa MFM pernah memberitahukan saksi SLM akan mengganti tanaman padi milik saksi SLM yang rusak yang mungkin terkena racun rumput gramoxone terdakwa MFM yang terbawa angin namun saksi SLM mengatakan terdakwa MFM akan mengetahui secara hukum perbuatannya,
75
Ibid, hlm. 320.
104
terdakwa MFM menyesali akibat penyemprotan itu sehingga tanaman padi milik saksi SLM menjadi rusak. Berdasarkan keterangan terdakwa yang diberikan dipersidangan tersebut serta disesuaikan dengan keterangan saksi-saksi maka unsur pokok “dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu” yang termuat dalam Pasal 406 Ayat (1) KUHP yang didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa MFM tidak terpenuhi karena rusaknya tanaman padi milik saksi SLM bukan disebabkan oleh kesengajaan yang dilakukan terdakwa MFM dengan maksud dan bertujuan untuk merusak tanaman padi milik saksi SLM, melainkan disebabkan oleh angin yang tiba-tiba bertiup kencang ketika terdakwa MFM sedang menyemprot racun rumput gramoxone diareal sawah miliknya sendiri sehingga racun rumput gramoxone tersebut terbawa angin dan mengenai tanaman padi milik saksi SLM yang sawahnya
bersebelahan
dengan
sawah
terdakwa
MFM
dan
mengakibatkan tanaman padi milik saksi SLM menjadi rusak. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa, seorang hakim harus sangat awas kalau dalam suatu pasal suatu perbuatan hanya dilarang apabila dilakukan dengan sengaja seperti halnya dengan Pasal 406 Ayat (1) KUHP tentang merusak barang milik orang lain. Jika kesengajaan
105
dianggap ada, orang akan dihukum; jika tidak ada, orang itu sama sekali tidak dihukum.76 Perbuatan terdakwa yang mengakibatkan rusaknya tanaman padi milik orang lain yaitu milik saksi korban SLM mungkin masuk dalam kategori kelalaian, akan tetapi kelalaian tidak dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 406 Ayat (1) KUHP yang didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa. Karena unsur yang paling utama dalam Pasal 406 Ayat (1) KUHP yaitu dengan sengaja dan melawan hukum tidak terpenuhi, maka perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana merusak barang yang diancam dengan Pasal 406 Ayat (1) KUHP. c. Barang bukti Barang bukti memang bukan merupakan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP namun barang bukti dapat digunakan untuk tambahan alat bukti yang sah lainnya bagi hakim. Barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum dalam putusan perkara Nomor 179 K/Pid/2011 adalah sebagai berikut: 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plastik berwarna kekuning-kuningan, penutupnya berwarna merah, tabung angin berwarna hitam. Menurut Evi Purnama Wati, Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab undang-
76
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm. 65.
106
undang (wet en wetboeken). Strukturnya dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan sifat perkara dan bidang hukum yang terkait. Ada perkara yang cukup diselesaikan melalui peradilan pertama dan sekaligus terakhir, ada pula perkara yang diselesaikan dalam dua tingkat, dan ada pula perkara yang diselesaikan dalam tiga tahap, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi.77 Dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai lembaga kehakiman negara tertinggi di semua lingkungan peradilan yang melakukan pemeriksaan ditingkat kasasi yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab undang-undang, mendasarkan pada pembuktian alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP maka menganggap bahwa pertimbangan hukum hakim judex facti yaitu hakim Pengadilan Negeri Sengkang dan Pengadilan Tinggi Makassar yang menyatakan terdakwa MFM terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana merusak barang milik orang lain yang diatur dalam Pasal 406 Ayat (1) KUHP dan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa MFM haruslah dibatalkan karena dalam hal ini judex facti salah dalam menerapkan hukum. Berdasarkan Pasal 255 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), apabila suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya maka Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
77
Evi Purnama Wati, “Analisis Kedudukan Dan Fungsi Yudikatif Sebagai Pemegang Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem Negara Hukum Di Indonesia”, Jurnal Solusi, Januari 2013 Volume 1, hlm. 104. http://www.portal.kopertis2.or.id/jurnal/solusi/volume.1/januari/2013.html diakses pada 24 September 2013
107
Dalam mengadili sendiri perkara tersebut, hakim Mahkamah Agung harus mendasarkan pada sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dengan titik tolak ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, dalam kriteria menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa, hakim harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: 1) Kesalahan terdakwa haruslah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Terhadap hal ini dalam pandangan doktrina dan para praktisi, lazim disebut dengan terminologi asas “minimum pembuktian”. Asas minimum pembuktian ini lahir dari acuan kalimat “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” haruslah berorientasi kepada 2 (dua) alat bukti sebagaimana ditentukan limitatif oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Apabila hanya ada 1 (satu) alat bukti saja, dengan demikian asas “minimum pembuktian” tidak tercapai sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana.78
78
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 198.
108
2) Bahwa atas “dua alat bukti yang sah” tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya. Dari aspek ini dapatlah dikonklusikan bahwa adanya “dua alat bukti” yang sah tersebut adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan
pidana
terhadap
terdakwa
apabila
hakim
tidak
memperoleh “keyakinan” bahwa tindak pidana tersebut memang benarbenar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Sebaliknya, apabila keyakinan hakim saja adalah
tidaklah cukup jikalau keyakinan itu tidak ditimbulkan oleh sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah.79 Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sebaliknya kalau kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dapat dibuktikan dengan berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dan akan dijatuhkan putusan pemidanaan. Hasil pembuktian di sidang pengadilan tersebut dituangkan dalam putusan hakim/putusan pengadilan. Berkaitan dengan perkara Nomor 179 K/Pid/2011, dalam mengadili sendiri perkara tersebut hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa meskipun asas minimum pembuktian sesuai undang-undang (KUHAP) telah terpenuhi, yaitu
79
Ibid, hlm. 199.
109
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP seperti keterangan saksi dan keterangan terdakwa serta ditambah barang bukti. Akan tetapi majelis hakim Mahkamah Agung tidak yakin akan kesalahan terdakwa karena unsur utama dalam tindak pidana merusak barang yang diancam dengan Pasal 406 Ayat (1) KUHP yaitu dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu tidak terpenuhi dan tidak terbukti. Oleh karena itu majelis hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa terdakwa MFM tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana merusak barang sebagaimana dakwaan penuntut umum, maka terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan penuntut umum dan dijatuhi putusan bebas. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Selain sesuai dengan ketentuan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP, hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Lilik Mulyadi yang menyatakan bahwa putusan bebas dapat terjadi apabila: 1. Dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan. 2. Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum karena: a. Tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) sebagaimana dianut oleh KUHAP. Misalnya, hakim dalam persidangan hanya menemukan satu alat bukti berupa keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP).
110
b. Majelis hakim berpendirian terhadap asas minimum pembuktian sesuai undang-undang telah terpenuhi, misalnya adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). Akan tetapi, majelis hakim tidak dapat menjatuhan pidana karena tidak yakin akan kesalahan terdakwa. 3. Oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) kepada terdakwa.80
2. Akibat Hukum Dijatuhkannya Putusan Bebas Oleh Mahkamah Agung Bagi Terdakwa Dalam Perkara No. 179 K/Pid/2011. Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam putusan pembebasan ialah perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan. Perintah pembebasan dari tahanan dikeluarkan hakim ketua sidang bersamaan dengan pada saat putusan diumumkan, jika seandainya terdakwa yang diputus bebas itu berada dalam tahanan.81 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 191 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.” Selain diatur dalam Pasal 191 Ayat (3) KUHAP, ketentuan mengenai putusan pembebasan harus dibarengi dengan surat perintah agar terdakwa yang ditahan harus segera dikeluarkan seketika itu juga dari tahanan juga diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan yang menyatakan bahwa: 80 81
Ibid, hlm 179. M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 350.
111
“Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan didepan sidang terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan putusan (extract vonis) guna dapat segera dieksekusi oleh jaksa dalam kedudukannya selaku eksekutor dari putusan hakim.” Ketentuan dalam Pasal 191 Ayat (3) KUHAP dan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan sesuai dengan ketentuan Pasal 199 Ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: “(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 Ayat (1) kecuali huruf e, f dan h; b. Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; c. Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 Ayat (2) dan berlaku juga bagi pasal ini.” Akan tetapi dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011 ketika proses pemeriksaan kasasi atau proses persidangan di Mahkamah Agung sedang berlangsung dan pada saat putusan dijatuhkan oleh majelis hakim Mahkamah Agung, status terdakwa MFM berada diluar tahanan atau tidak ditahan. Padahal pada saat proses pemeriksaan kasasi atau proses persidangan di Mahkamah Agung jika hakim Mahkamah Agung menganggap perlu untuk menahan terdakwa, hakim Mahkamah Agung berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penahanan
112
terhadap terdakwa. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari.” Selain diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) KUHAP, ketentuan mengenai selama proses pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa dapat ditahan juga diatur dalam ketentuan Pasal 190 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa; “Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk itu.” Dalam mengeluarkan surat perintah penahanan tersebut juga harus disertai alasan subyektif dan obyektif yang didasarkan pada ketentuan Pasal 21 Ayat (1) dan (4) KUHAP. Pasal 21 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.” Selanjutnya Pasal 21 Ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa: “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, dan pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 25 dan 26 Rechtenordonantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan
113
Cukai, terahir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), pasal 1, pasal 2 dan pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).”
Namun karena hakim Mahkamah Agung menganggap bahwa terhadap terdakwa tidak perlu dilakukan penahanan, maka pada saat pemeriksaan kasasi terhadap terdakwa tidak dilakukan penahanan. Sehingga ketika putusan bebas dijatuhkan oleh hakim Mahkamah Agung kepada terdakwa MFM status terdakwa MFM tidak berada dalam tahanan, maka mengakibatkan dalam amar putusan tidak dicantumkan memerintahkan terdakwa MFM untuk segera dibebaskan dari tahanan tetapi dalam amar putusan hanya dicantumkan membebaskan terdakwa MFM dari segala dakwaan penuntut umum. Setelah majelis hakim membacakan putusannya maka baik penuntut umum atau terdakwa mempunyai hak untuk menolak atau menerima putusan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 196 Ayat (3) KUHAP. Jika penuntut umum atau terdakwa menerima putusan tersebut maka putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap, akan tetapi jika penuntut umum atau terdakwa menolak putusan tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan undang-undang maka putusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang tetap. Apabila penuntut umum atau terdakwa menolak putusan karena menganggap putusan tersebut belum adil, maka baik penuntut umum atau terdakwa dapat mengajukan upaya hukum. Menurut Luhut M.P. Pangaribuan, upaya hukum adalah hak yang diberikan hakim kepada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju
114
dengan suatu putusan pengadilan.82 Sedangkan pengertian upaya hukum menurut Pasal 1 Angka 12 KUHAP yaitu: “Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Di dalam KUHAP ditentukan bahwa upaya hukum yang diajukan dapat berupa upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa yaitu berupa pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi atau pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung ketika putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu berupa peninjauan kembali ketika putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap serta pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum ketika putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tingkatan upaya hukum yang panjang tersebut berakhir dengan dikeluarkannya putusan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung merupakan puncak dari upaya (hukum) dalam mencari keadilan melalui proses peradilan baik sebagai pengadilan tingkat kasasi maupun pengadilan untuk pemeriksaan peninjauan kembali. Putusan Mahkamah Agung ini menjadi penting baik bagi para pencari keadilan (justiabelen) itu sendiri, bagi para hakim maupun bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia. Pertama, bagi para pencari keadilan, putusan Mahkamah Agung merupakan akhir dari perjalanan panjang dalam rangka mencari keadilan bagi dirinya. Kedua, bagi para hakim dapat merupakan “pedoman" dalam memeriksa dan mengadili perkara 82
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 76.
115
yang sama dengan perkara yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Ketiga, bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia dapat menjadi sumber pembentukan hukum.83 Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa kalau lazimnya pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim dimungkinkan pula membentuk hukum. Pembentukan hukum diperoleh melalui proses penemuan hukum oleh hakim melalui putusan pengadilan.84 Pembentukan hukum melalui putusan pengadilan dapat sekaligus mengandung dua unsur, yaitu di satu pihak putusan merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkret dan di pihak lain merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang.85 Berhubung putusan bebas dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011 dijatuhkan oleh Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan maka hal tersebut mengakibatkan terhadap putusan yang dijatuhkan baik penuntut umum maupun terdakwa tidak dapat menolak putusan tersebut. Dengan demikian maka putusan Nomor 179 K/Pid/2011 yang menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa MFM langsung memiliki kekuatan hukum tetap. Mengenai Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan diatur dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
83
Rusdi Pieter Johan, “Putusan Pengadilan Sebagai Alternatif Pembentukan Hukum Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex et Societatis, Juli 2013 Volume 1, hlm. 1. http:/www.ejournal.unsrat.ac.id/jurnal/lexetsocietas/volume.1/juli/2013.html diakses pada 24 September 2013. 84 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 37. 85 Ibid, hlm. 147.
116
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa: “Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.” Selain mengakibatkan putusan Nomor 179 K/Pid/2011 langsung berkekuatan hukum tetap, juga mengakibatkan penuntut umum atau terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum biasa karena upaya hukum biasa hanya dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Andi Hamzah yang menyatakan bahwa upaya hukum biasa terdiri menjadi dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi dan bagian kedua pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung.86 Dengan demikian maka baik jaksa penuntut umum maupun terdakwa harus menerima keputusan tersebut. Selain tidak dapat mengajukan upaya hukum biasa, dengan dijatuhkannya putusan bebas oleh Mahkamah Agung terhadap terdakwa MFM dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011 maka mengakibatkan baik penuntut umum atau terdakwa juga tidak dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum serta peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Alasan tidak dapat diajukannya upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali karena upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Karena
86
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 285.
117
putusan perkara Nomor 179 K/Pid/2011 merupakan putusan bebas maka tidak dapat dilakukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” Sedangkan alasan tidak dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum karena kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain Mahkamah Agung. Berhubung putusan bebas Nomor 179 K/Pid/2011 dijatuhkan oleh hakim Mahkamah Agung maka mengakibatkan baik penuntut umum maupun terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 259 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.” Adapun akibat hukum lain dari dijatuhkannya putusan bebas oleh Mahkamah Agung terhadap terdakwa MFM dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011
yaitu dalam
amar
putusan dicantumkan rehabilitasi
untuk
memperbaiki nama baik dan harkat martabat terdakwa MFM. Pengertian rehabilitasi diatur dalam ketentuan Pasal 1 Angka 23 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang
118
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Ketentuan lebih lanjut yang mengatur tentang rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 KUHAP yang menyatakan bahwa: “(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam pasal 77.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.87 Pemulihan kembali nama baik dan martabat tersangka atau terdakwa di dalam pergaulan masyarakat sangat penting guna menghapuskan cacat yang dideritanya akibat penangkapan, penahanan atau penuntutan dan pemeriksaan penadilan yang dilakukan terhadap dirinya. Dengan adanya rehabilitasi, dapat diharapkan sebagai upaya membersihkan nama baik dan harkat martabat tersangka atau terdakwa maupun keluarganya di mata masyarakat.88
87 88
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 69. Ibid, hlm. 70.
119
Berkaitan dengan putusan bebas Nomor 179 K/Pid/2011 yang dijatuhkan terhadap terdakwa MFM karena judex facti (Pengadilan Negeri Sengkang dan Pengadilan Tinggi Makassar) telah salah dalam menerapkan hukum dan hakim Mahkamah Agung tidak yakin akan kesalahan terdakwa telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka mengakibatkan dalam amar putusan dicantumkan rehabilitasi yang bertujuan untuk memperbaiki nama baik dan harkat martabat terdakwa MFM maupun keluarganya di mata masyarakat yang sempat tercoreng sebagai akibat pemeriksaan pengadilan. Bunyi redaksi pemberian rehabilitasi diatur dalam Pasal 14 PP Nomor 27 Tahun 1983 yang menyatakan sebagai berikut: “Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya.” Adapun amar putusan majelis hakim Mahkamah Agung Nomor 179 K/Pid/2011 adalah sebagai berikut: Mengadili: 1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa MFM tersebut; 2) Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor: 207/Pid/2010/PT.MKS tanggal 31 Agustus 2010 yang menguatkan putusan
Pengadilan
Negeri
Sengkang
61/Pid/B/2010/PN.SKG tanggal 6 Mei 2010; Mengadili Sendiri:
Nomor:
120
1) Menyatakan Terdakwa MFM tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan; 2) Membebaskan Terdakwa MFM dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut; 3) Memulihkan
hak-hak
Terdakwa
MFM
dalam
kemampuan,
kedudukan harkat dan martabatnya; 4) Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) unit tangki semprot tabung air terbuat dari plastik berwarna kekuning-kuningan, penutupnya berwarna merah, tabung angin berwarna hitam dikembalikan kepada Terdakwa MFM; 5) Membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa MFM untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). Jika dilihat dari amar putusan Nomor 179 K/Pid/2011 maka amar putusan tersebut sudah tepat karena memuat rehabilitasi bagi terdakwa MFM sebagai akibat dari dijatuhkannya putusan bebas oleh Mahkamah Agung. Hal tersebut juga sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 97 Ayat (2) KUHAP dimana rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.
121
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan perkara Nomor 179 K/Pid/2011, maka disimpulkan sebagai berikut: 1. Alasan hukum dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011 terdakwa dijatuhi putusan bebas oleh Mahkamah Agung, yakni: a. Majelis hakim judex facti (Pengadilan Negeri Sengkang dan Pengadilan Tinggi Makassar) telah salah dalam menerapkan hukum sehingga majelis hakim Mahkamah Agung membatalkan putusan judex facti yang menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa MFM dan mengadili sendiri perkara tersebut. b. Meskipun asas minimum pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP telah terpenuhi akan tetapi majelis hakim Mahkamah Agung tidak memperoleh keyakinan akan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa MFM. 2. Akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas oleh Mahkamah Agung bagi terdakwa dalam perkara Nomor 179 K/Pid/2011 adalah: a. Dalam amar putusan tidak dicantumkan memerintahkan terdakwa MFM untuk segera dibebaskan dari tahanan tetapi dalam amar putusan hanya dicantumkan membebaskan terdakwa MFM dari segala dakwaan penuntut umum karena ketika putusan bebas dijatuhkan status terdakwa tidak sedang berada dalam tahanan.
122
b. Penuntut umum dan terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum biasa karena berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan. c. Penuntut umum dan terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali karena berdasarkan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. d. Dalam amar putusan dicantumkan rehabilitasi yang bertujuan untuk memperbaiki nama baik dan harkat martabat terdakwa MFM di mata masyarakat yang sempat tercoreng sebagai akibat pemeriksaan di pengadilan. B. Saran Untuk mencegah majelis hakim agar tidak menjatuhkan putusan bebas, penuntut umum dalam membuat surat dakwaan dan tuntutan harus lebih cermat dan teliti dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Jakarta, Raih Asa Sukses. Ali, M. Hatta, 2010, Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi. Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Faisal Salam, Moch., 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek , Bandung, Mandar Maju. Hamzah, Andi, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta, Sinar Grafika. Harahap, M.Yahya, 2000, Pembahasan Permasalahan Pelaksanaan KUHAP Jilid II, Jakarta, Pustaka Kartini. . 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta , Sinar Grafika. Ibrahim, Johny, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media Publishing. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Perdana Media Group. Mertokusumo, Sudikno, 2000, Penemuan Hukum, Yogyakarta, Liberty. Mulyadi, Lilik, 2007, Hukum Acara Pidana Permasalahannya, Bandung, PT Alumni.
Normatif,
Teoritis,
Praktik
dan
. 2010. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Pangaribuan, Luhut M.P., 2002, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat, Jakarta, Penerbit Djambatan. Prinst, Darwan, 2002, Hukum Acara Pidana d alam Praktik , Jakarta, Penerbit Djambatan.
Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), Bandung, CV. Mandar Maju. Prodjodikoro, Wirjono, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia , Bandung, Refika Aditama. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ramelan, 2006, Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi, Jakarta, Sumber Ilmu Jaya. R.M., Suharto, 2002, Hukum Pidana Materiil, Jakarta, Sinar Grafika. Simanjuntak, Nikolas, 2009, Acara Pidana dalam Sirkus Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia. Subekti, 2007, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita. Taofik Makarao, Mohammad, Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktik , Jakarta, Ghalia Indonesia. B . Majalah Majalah Hukum Varia Peradilan, Nomor: 311, Oktober 2011, Penerbit: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta. C. Peraturan Perundang -Undangan Indonesia . Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. .Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). .Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). .Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. .Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. .Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
.Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan. D. Internet http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/04/penghancuran-dan-perusakan.html diakses pada tanggal 28 Mei 2013. http://mbegedut.blogspot.com/2012/09/pengertian-definisi- hukum-acara-pidana.html diakses pada tanggal 28 Mei 2013. http://pengertianpendidikan.com/pengertian- hukum-acara-pidana diakses pada tanggal 28 Mei 2013. http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html diakses pada tanggal 28 Mei 2013. http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-hukum-acara-pidana.html tanggal 28 Mei 2013.
diakses
pada
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-pembuktian-hukum-acara.html diakses pada tanggal 28 Mei 2013. Johan, Rusdi Pieter, Putusan Pengadilan Sebagai Alternatif Pembentukan Hukum Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex et Societatis (Online), 2013. Tersedia: http:/www.ejournal.unsrat.ac.id/jurnal/lexetsocietas/volume.1/juli/2013.html diakses pada 24 September 2013. Wati, Evi Purnama, Analisis Kedudukan Dan Fungsi Yudikatif Sebagai Pemegang Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem Negara Hukum Di Indonesia , Jurnal Solusi (Online),2013.Tersedia:http://www.portal.kopertis2.or.id/jurnal/solusi/volume.1/janua ri/2013.html diakses pada tanggal 24 September 2013. Zaini, Zulfi Diane, Implementasi Pendekatan Yuridis Normatif dan Pendekatan Normatif Sosiologis Dalam Penelitian Ilmu Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Pranata Hukum (Online),2011.Tersedia:http://www.lib.law.ugm.ac.id/ojs/jurnal/pranatahukum/volum e.6/juli/2011.html diakses pada tanggal 24 September 2013. E. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Sengkang No. 61/Pid/B/2010/PN.SKG. Putusan Pengadilan Tinggi Makassar No. 207/Pid/2010/PT.MKS. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179 K/Pid/2011.