7
2. TINJAUAN TEORITIS Bab ini dimaksudkan untuk memberikan landasan filosofis dan mahzab teori secara ringkas yang dapat digunakan untuk pengembangan kerangka pemikiran, untuk membedah permasalahan yang ada di wilayah penelitian, mengembangkan hipotesis dan pengujiannya serta penentuan metode serta alat ukur yang akan digunakan dalam operasionalisasi penelitian ini. Untuk memberikan landasan dalam pemilihan teori yang relevan, maka pada bagian pertama secara garis besar diuraikan mengenai realitas biofisik, sosial, dan budaya wilayah penelitian. Pada bagian ke dua diuraikan mengenai deforestasi sebagai penyebab degradasi fungsi intrinsik hutan dan juga hubungan deforestasi terhadap aglomerasi kegiatan ekonomi maupun dengan kesejahteraan masyarakat. Diuraikan pula adanya trade off antara pertumbuhan ekonomi (yang dilecut oleh aglomerasi) dengan kemerosotan fungsi intrinsik hutan, yang kemudian berujung pada stagnasi perekonomian wilayah dan relatif tertinggalnya kesejahteraan masyarakat. Pada bagian ke tiga ditinjau indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah penelitian termasuk pendapatan per kapita, tingkat kemiskinan, dan indeks pembangunan manusia (IPM), serta skala pengembalian (RTS= Return to Scale) sektor-sektor agroindustri dan stagnasi pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ke tiga ini juga dihadirkan data sebagai bukti ketertinggalan pertumbuhan sektor pertanian terhadap pertumbuhan sektor agroindustri yang menyebabkan adanya excess demand terhadap bahan baku bagi sektor-sektor agroindustri yang melampaui kapasitas wilayah dalam menyediakan bahan baku (sektor pertanian) tersebut yang akhirnya telah menekan capaian indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Pada bagian ini juga diuraikan secara ringkas hubungan antara degradasi fungsi intrisik hutan akibat deforestasi, kinerja resource endowment (Re), perkembangan kinerja pasar ekspor konvensional (seperti produk tambang, produk industri, produk pertanian dan kehutanan), serta ekspor non konvesional utamanya produk nirkayu dikaitkan dengan peranan faktor endogenik dalam perkembangan ekonomi wilayah.
8
Namun sebelum faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah diuraikan secara lebih rinci, pada bagian ke empat perlu diuraikan Teori Kendala Sumberdaya yang mendasari pemahaman akan fenomena Ricardian Trap ketika transformasi struktural perekonomian dari pola yang mengandalkan sumberdaya alam menuju negara industri melalui pengembangan sektor agroindustri di negaranegara berkembang. Pada bagian ke lima diuraikan peranan faktor-faktor endogenik dalam pembangunan ekonomi wilayah. Untuk itu, pada bagian ini juga diuraikan ketiga macam faktor endogenik pembangunan ekonomi wilayah yaitu: (L)eaderships, (I)nstitutions dan (E)ntrepreneurships serta cara-cara pengukurannya.
Ketiga
faktor endogen (L, I dan E ) ini dikaitkan dengan kinerja resource endowment (Re) dan kinerja pasar nirkayu, ekspor komoditas perkebunan (cash crop), ekspor agroindustri ataupun ekspor lainnya (M) dalam menentukan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kelima faktor tersebut dirangkum sebagai penentu pertumbuhan ekonomi wilayah secara endogenik. Namun sebelum diuraikan teori pertumbuhan endogenik, terlebih dahulu pada bagian ke enam diuraikan risalah teori pembangunan ekonomi wilayah mulai model Solow sampai dengan Model New Growth Theory (Lucas, 1988) dan
Romer (1990) serta New Economics
Geography (Krugman, 1991; 2010a, 2010b, dan Redding, 2009).
2.1 Realitas Sosial-Budaya dan Biofisik Provinsi Lampung Seperti dapat dirujuk dalam BPS Provinsi Lampung (1992) bahwa Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 18 Maret 1964 dengan Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Lampung. Provinsi ini merupakan hasil fragmentasi dari Provinsi Sumatera Selatan.
Kini Provinsi
Lampung memiliki populasi sekitar 7,6 juta jiwa dengan kepadatan populasi ratarata 2,1 juta jiwa/ha (BPS, 2010) yang berada dalam 2 kota dan 10 kabupaten lainnya.
Empat kabupaten terbaru dibentuk 4 belakangan yaitu Kabupaten
Pesawaran, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Mesuji, dan Kabupaten Tulang Bawang Barat belum mempunyai data sosial-ekonomi yang cukup. Karena itu
9
dalam analisis penelitian ini keempat kabupaten tersebut dimasukkan ke kabupaten induknya. Pada Gambar 1 disajikan Peta Administratif Provinsi Lampung sampai Tahun 2006. Dua wilayah yurisdiksi kota yang telah ada adalah Bandar Lampung (sebagai Ibu Kota Provinsi dengan populasi 812.133 jiwa dan kepadatan populasi 42,1 jiwa/ha) dan Kota Metro (dengan populasi 132.044 jiwa dan kepadatan populasi 21,4 jiwa/ha). Ke delapan kabupaten itu (dengan total populasi atau kepadatan populasi)-nya masing-masing adalah Kabupaten Lampung Selatan (1.341.238 jiwa atau 6,7 jiwa/ha); Kabupaten Tanggamus (826.610 jiwa atau 2,5 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Tengah (1.160.221 jiwa atau 2,4 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Timur (936.734 jiwa atau 2,2 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Utara (562.314 jiwa atau 2,1 jiwa/ha); Kabupaten Tulang Bawang (774.265 jiwa atau 1,0 jiwa/ha; Kabupaten Way Kanan (362.749 jiwa atau 0,9 jiwa/ha); dan Kabupaten Lampung Barat (381.349 jiwa atau 0,8 jiwa/ha). Kota Bandar Lampung merupakan wilayah yurisdiksi yang paling padat, disusul oleh Kota Metro, kemudian diikuti oleh 8 kabupaten dengan urutan seperti di atas. Distribusi tersebut secara umum dapat memberikan indikasi terjadinya konsentrasi dan intensitas yang padat akan rente ekonomi seluruh wilayah, yang juga dapat merefleksikan muara dari aliran manfaat sumberdaya dari daerah belakang atau hulunya. Bahkan juga dapat menggambarkan kualitas sumberdaya biofisik wilayah hulunya. Adapun realitas sosial budaya atau etnis di Provinsi Lampung juga merupakan melting pot dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Tetapi ada 5 etnis besar yang lebih dominan dari sisi jumlahnya.
Etnis Jawa merupakan etnis
dominan disusul oleh Sunda dan Bali. Ketiga etnis besar ini meliputi sekitar 70% dari seluruh total populasi, yang merupakan pendatang melalui transmigrasi mulai fase pertama pada masa kolonial Belanda sejak tahun 1905. Fase ke dua adalah melalui Program BRN (Biro Rekonstruksi Nasional), yaitu suatu program transmigrasi pada masa Pemerintahan Orde Lama pada dekade 1950-an. Urutan ke empat dan ke lima di provinsi ini adalah Etnis Lampung dan Etnis Semendo, yang populasinya kurang dari 30%. Distribusi kuantitas etnis ini dapat dijadikan
10
acuan dalam analisis sosial, budaya ataupun analisis kelembagaan yang dapat mempunyai peranan penting dalam pembangunan perekonomian wilayah.
Keterangan: {Jiwa/ha} 8
9 7 5
10
2
6
4 1
3
[1] Kota Bandar Lampung {42,1} [2] Kota Metro {21,4} [3] Kabupaten Lampung Selatan { 6,7 } [4] Kabupaten Tanggamus {2,5} [5] Kabupaten Lampung Tengah {2,4} [6] Kabupaten Lampung Timur {2,2} [7] Kabupaten Lampung Utara {2,1} [8] Kabupaten Tulang Bawang {1,0 } [9] Kabupaten Way Kanan {0,9} [10] Kabupaten Lampung Barat {0,8}
Gambar 1. Peta Administratif Provinsi Lampung Sampai Tahun 2006 dengan 2 Kota dan 8 Kabupaten di Dalamnya (Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2008)
Adapun realitas biofisik wilayah Provinsi Lampung ini antara lain dapat dirujuk melalui dokumen LREPP (Land Resource Evaluation and Planning Project) yang diterbitkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat atau Puslitanak (CSR, 1989). Dari dokumen tersebut dapat dilihat bahwa Provinsi Lampung secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu subwilayah hulu yang bersesuaian dengan Kabupaten Barat dan Kabupaten Tanggamus dengan subwilayah hilir yang meliputi 2 kota serta 8 kabupaten selainnya. Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus dapat dikatagorikan sebagai subwilayah hulu karena merupakan hulu dari daerah aliran sungai (DAS) utama seperti DAS Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulang Bawang, Way Semangka dan lain-lainnya. Pada Bagian Barat memiliki fisiografi perbukitan, dataran tinggi dan pegunungan yang merupakan rangkaian Pegunungan Bukit Barisan sebagai hasil dari up lift lempeng Sumatera akibat aktivitas subduction dari lempeng Samudera Indonesia (lihat CSR, 1989). Punggung Pegunungan Bukit Barisan ini berada pada sekitar sepertiga dari Pantai Barat membentang ke arah Barat Laut dengan puncak tertinggi pada Gunung Pesagi sekitar 2.239 m dpl dan Gunung Tanggamus sekitar 2.010 m dpl.
11
Dengan bentang alam seperti itu, setiap kali terjadi musim angin moonson Barat yang bergerak ke Timur, aliran massa udara terhalang oleh punggung Pegunungan Bukit Barisan, maka udara jenuh (yang membawa uap air dari Samudera Indonesia) tersebut seperti dipaksa naik di sepanjang Bukit Barisan. Akibatnya terjadi awan konvektif yang menyebabkan penurunan temperatur udara secara adiabatis dan akhirnya terjadi kondensasi dan jatuh sebagai hujan utamanya di Bagian Barat. Karena itu pada Bagian Barat Provinsi Lampung memiliki tipe iklim A. Semakin ke Timur menuju ke Pantai Timur provinsi ini maka curah hujan semakin rendah, bahkan ada yang beriklim D (Oldeman, 1982 seperti dapat diperiksa dalam CSR, 1989). Di Bagian Barat di bawah curah hujan yang tinggi telah berlangsung proses pembentukan tanah yang cepat, yang dalam keadaan alami dapat menghasilkan solum tanah yang tebal. Bersamaan dengan itu curah hujan yang tinggi dalam jutaan tahun lamanya telah menghasilkan suksesi vegetasi alami yang kuat, menghasilkan keragaman flora dan fauna yang tinggi. Atas pertimbangan curah hujan yang tinggi dengan elevasi yang tinggi pula, maka sejak masa Kolonial Belanda subwilayah hulu ini dalam proporsi yang besar telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Selain itu juga atas pertimbangan tingginya keanekaragama hayati dengan berbagai spesies endemiknya juga ditetapkan sebagai kawasan pelestarian yang sekarang merupakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Keberadaan semua hutan lindung maupun TNBSS di subwilayah hulu ini dimaksudkan juga untuk menjamin fungsi intrinsik hutan utamanya untuk perasapan air, untuk pencegahan erosi, dan untuk pengendalian debit agar tidak berfluktuasi secara besar sehingga dapat menjadi sumber air yang kontinyu bagi semua bendungan yang berada di Bagian Tengah Provinsi Lampung ini. Tujuan akhirnya adalah agar pada bagian hilir tidak terjadi banjir pada musim hujan dan terhindar dari kekeringan di musim kemarau, bermanfaat untuk irigasi dan suplai air berlangsung secara kontinyu sepanjang tahun bagi semua PLTA di Provinsi Lampung ini. Dengan begitu maka dapat diharapkan aktivitas perekonomian di subwilayah hilir dapat berkembang baik dan kesejahteraan masyarakat di provinsi ini diharapkan dapat ditingkatkan. Namun pada realitasnya seperti dilaporkan oleh Sihite (2004),
dan
Nurhaida et al. (2006), luasan tutupan hutan di sub wilayah hulu ini makin
12
berkurang dan berubah terutama menjadi pertanaman kopi, coklat, lada, dan karet (cash crop) dalam sistem wanatani yang sederhana. Bahkan sebagian besar hutan lindung di subwilayah resapan ini telah banyak berubah menjadi pertanaman kopi atau cash crop lainnya. Akibatnya, seperti dilaporkan Nurhaida et al. (2006) tingkat erosi sangat besar, fluktuasi debit semua aliran sungai juga besar. Pada saat musim hujan beberapa kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang, Way Kanan, Lampung Tengah dan Lampung Timur belakangan ini sering dilanda banjir yang sangat mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu, beberapa bendungan juga banyak mengalami sedimentasi sehingga menyebabkan kerugian produksi listrik, hasil pertanian maupun industri. Sebaliknya pada musim kemarau sering defisit air, baik bagi irigasi maupun untuk PLTA yang juga sangat menekan perekonomian masyarakat. Sebagai gambaran untuk kerusakan bendungan Way Besai telah menyebabkan kerugian pada Bagian Tengah dan hilir melebihi Rp 63M/tahun (Sihite, 2004). Diskusi pada bagian ini memperlihatkan bahwa sub wilayah hulu sebagai wilayah resapan tidak memperoleh kompensasi apapun atas pembebanan sebagai penyedia jasa resapan air maupun jasa lingkungan lainnya. Sementara wilayah Bagian Tengah dan Bagian Timur selama ini oleh otoritas publik telah dibiarkan menjadi sebagai ―free rider” dalam menikmati jasa lingkungan tersebut. Akibatnya kerusakan wilayah resapan ini telah banyak menimbulkan berbagai kerugian ekonomi di subwilayah hilir. Ketidakadilan antarsubwilayah ini telah mengarah pada pola hubungan hulu-hilir di Provinsi Lampung yang saling parasitik.
Semua itu pada akhirnya akan menekan kinerja ekonomi wilayah
Provinsi Lampung secara agregat bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi disertai pengangguran dan kemiskinan. Akibat dari degradasi sumberdaya biofisik wilayah ini, berarti resource endowment (Re) yang dimiliki Provinsi Lampung tidak dapat menjadi penggerak perkembangan ekonomi wilayah bahkan telah menimbulkan stagnasi.
13
2.2
Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai Penyebab Stagnasi Kinerja Perekonomian Wilayah
2.2.1 Fungsi Intrinsik Hutan sebagai Pembatas Perkembangan Ekonomi Wilayah Umumnya
negara-negara
berkembang
pada
awal
modernisasi
perekonomiannya selalu dihadapkan pada kendala penyusutan sumberdaya alam. Begitu pula wilayah Provinsi Lampung sebagai salah satu bagian wilayah lokal terpenting di Indonesia (outer island) yang paling dekat dengan P Jawa telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan sejak lama. Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Syam et al. (1997), Verbist dan Pasya (2004), Verbist et al. (2004), serta Nurhaida et al. (2006) dapat disimpulkan bahwa laju deforestasi hutan di Provinsi Lampung mulai meningkat pesat sejak dekade 1970-an, yaitu sejak Indonesia mengandalkan pemasukkan devisa dari ekspor hasil hutan utamanya hasil kayu. Deforestasi tersebut kemudian mencapai puncaknya ketika berlangsung reformasi dan desentralisasi tata pemerintahan. Sejalan dengan deforestasi di subwilayah hulu (sekarang sebagai Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus) tersebut, menurut catatan statistik, kini subwilayah hulu ini merupakan pemasok ekspor kopi utama (lebih dari 65%) dari total volumen ekspor kopi Provinsi Lampung (BPS, 2009; diolah). Dengan kinerja ekspor utama tersebut Provinsi Lampung menjadi provinsi ke 2 (atau sekitar 21,67%) sebagai pemasok ekspor kopi Indonesia setelah Provinsi Sumatera Selatan (sekitar 22,35%). Dengan kontribusi kinerja ekspor kopi tersebut Indonesia dewasa ini menjadi eksportir ke 3 dunia setelah Brasil dan Vietnam (Ditjenbun, 2009 diolah). Walaupun begitu tingginya kinerja ekspor biji kopi ataupun cash crop tersebut perlu dibayar mahal dengan mengorbankan deforestasi yang akut disertai dengan berbagai kerusakan fungsi intrisik hutan lainnya, seperti merosotnya kinerja
hidroorologi, kemerosotan keanekaragaman hayati dan kenyamanan
lingkungan maupun stok karbon. Lebih dari itu, semuanya itu berujung pada kemerosotan ekonomi wilayah serta yang paling mengkhawatirkan adalah sangat mengancam kebersinambungan aglomerasi agroidustri si subwilayah hilir, yang
14
berarti pula akan mengancam terhadap transformasi struktural perekonomian di wilayah Provinsi Lampung. Kini degradasi hutan di Provinsi Lampung sudah sangat akut. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2005 dikutip Watala, 2008) bahwa kerusakan hutan di Provinsi Lampung sudah meliputi seluruh kawasan hutan yaitu: (i) Hutan Produksi Tetap 76%, (ii) Hutan Produksi Terbatas 70%, (iii) Hutan Lindung 80%, (iv) Taman Hutan Raya 70%, (v) Taman Nasional Way Kambas 36% dan (vi) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 16%. Umumnya luasan degradasi kawasan hutan dengan proporsi tersebut telah berubah menjadi penggunaan lahan yang memiliki rente ekonomi yang relatif lebih tinggi dari pada untuk kehutanan yaitu tanaman kopi, lada, kakao, nilam, perkebunan tebu, tanaman pangan, pemukiman pemukiman, perdagangan, perindustrian maupun untuk jasa-jasa lainnya. Degradasi
hutan
ini
makin
memerosotkan
fungsi
hidroorologis,
keanekaragaman hayati, amenitas lingkungan serta turut menyumbangkan emisi karbon ke atmosfer. Lebih lanjut telah sangat menekan kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung. Merosotnya fungsi pengendali hidroorologis, misalnya antara lain telah dilaporkan oleh Sihite (2004) bahwa fluktuasi debit di DAS Tulang Bawang (yang salah satu dari dua DAS utama di Provinsi Lampung) yang sangat besar yaitu 40%. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa merosotnya tutupan hutan pada subwilayah hulu telah menyebabkan laju erosi tanah meningkat pesat, menyisakan lapisan tanah yang kedap, menurunkan laju infiltrasi tanah, memerosotkan cadangan air tanah, meningkatkan muatan sedimen serta menurunkan kualitas air. Lebih lanjut pada musim hujan sering terjadi banjir pada bagian hilir dan kekeringan pada musim kemarau. Semua fenomena itu telah menekan hampir setiap aktivitas perekonomian masyarakat seperti merosotnya hasil pertanian, perikanan darat, peternakan dan yang sangat penting adalah kemerosotan kinerja PLTA maupun kebutuhan air bersih bagi industri ataupun rumah tangga. Kecuali itu, kerugian ekonomi dapat berupa keperluan untuk rehabilitasi fasilitas irigasi, PLTA (seperti pengerukan endapan sedimen dalam bendungan) maupun fasilitas lainnya. Kerugian ekonomi tersebut diperberat oleh bahan-bahan
15
cemaran yang berasal dari semakin meningkatnya keperluan penggunaan pupuk (akibat tererosinya lapisan tanah yang subur) maupun penggunaan pestisida dengan semakin meluasnya aktivitas pertanian pada lahan-lahan yang telah tererosi seiring dengan semakin cepatnya laju konversi hutan menjadi areal budidaya pertanian ataupun penggunaan lahan lainnya yang memiliki land rent lebih besar dari pada digunakan sebagai hutan. Selain kemerosotan fungsi hidroorologis, fenomena kemerosotan fungsi ekologis kawasan di Provinsi Lampung dapat dicermati melalui penelitian Nyhus dan Tylson (2003 dan 2005).
Para pakar ekologi kawasan ini menunjukkan
bahwa pada kurun waktu antara 2000 sampai 2003 konflik antara manusia dengan mamalia besar (seperti harimau, gajah, babi hutan dll) di berbagai tempat di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) telah menunjukkan ekskalasi secara nyata. Para pakar tersebut berargumentasi bahwa konflik tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi kemerosotan kesetimbangan ekologis secara nyata. Mamalia besar (utamanya harimau) merupakan pucuk peramida rantai makanan. Bila populasi piramida yang ada di bawahnya tidak bisa menopang kebutuhan hidup komunitas karnivora ini, maka harimau akan keluar ke kawasan penyangga untuk mencari ternak penduduk yang ada di kawasan penyangga, yang akhirnya dapat terjadi konflik dengan manusia. Demikian juga dengan gajah, menurut Nyhus dan Tylson (2003, dan 2005) keadaan ekologis dalam kawasan TNWK tidak mendukung. Awalnya karena seringnya terjadi kekeringan akibat dari kemerosotan fungsi hidrologis hutan (karena deforestasi di subwilayah hulunya) sehingga persediaan pangan kurang mencukupi bagi herbivora ini. Akibatnya memaksa gajah harus keluar menuju kawasan penyangga dimana tanaman budidaya masih tumbuh dan terawat. Karena umumnya tanaman budidaya lebih mudah dicerma oleh sistem digesti herbivora ini, maka gajah menjadi lebih menyukainya dan makin sering keluar ke kawasan penyangga dan makin sering terjadi konflik dengan manusia. Begitu juga fenomena konflik manusia dengan herbivor lainnya seperti babi hutan, kera dan sejenisnya dapat dijelaskan.
16
Sekalipun konflik ataupun serangan mamalia terhadap properti petani (ternak dan tanaman budidaya) memang dapat membawa kerugian ekonomi secara langsung, tetapi yang lebih esensial adalah fenomena itu merupakan refleksi dari merosotnya kesetimbangan ekologi kawasan. Karena tidak kasat mata, maka kemerosotan kesetimbangan ekologis tersebut jauh lebih merugikan perekonomian dari sekedar konflik manusia dengan mamalia tersebut. Saling kebergantungan
antarmakluk
hidup
menjadi
makin
merosot
sehingga
keanekaragaman hayati juga makin merosot. Akibat kemerosotan keanekaragaman hayati tersebut antara lain fungsifungsi ekologis misalnya yang diperankan oleh golongan serangga dalam polenisasi atau penyerbukan (yang sangat penting bagi produktivitas berbagai tanaman budidaya) menjadi merosot juga. Menurut Warsito (dikutip Arief, 2011) bahwa 90% proses penyerbukan dalam kelompok serealia merupakan jasa dari lebah. Kerusakan ekologis kawasan telah sangat menekan fungsi-fungsi itu. Begitu juga golongan reptil seperti ular yang mempredasi tikus sebagai musuh alami (yang sangat penting sebagai pengendali hama tanaman) juga sangat terganggu. Peranan keanekaragaman hayati bagi penghidaran akan terjadinya ledakan hama (yang secara ekonomi tidak diragukan lagi pentingnya) juga dapat hilang. Demikian dengan pula keanekaragaman hayati dalam tanah (bellow ground diversity), juga sangat memegang peranan penting bagi biokatalisator penyerapan unsur hara oleh perakaran tanaman. Peranan mikoriza alam melarutkan fosfat (yang dijerap kuat dalam tanah-tanah masam) sangat melipatgandakan penyerapan tersebut merupakan salah satu contohnya. Masih ribuan lainnya jumlah peran jasad renik dalam tanah yang mengendalikan serapan hara dan akhirnya sangat menentukan produktivitas tanaman. Berbagai peran ekologis tersebut akan terdegradasi ketika terjadi accelerated erosion akibat dari deforestasi ataupun degradasi hutan. Seperti dapat dicermati dalam Hairiah et al. (2004) bahwa bellow ground diversity akan sangat tertekan dengan semakin cepatnya penyusutan kandungan bahan organik tanah akibat deforestasi. Semua fenomena tersebut akan sangat menekan perekonomian masyarakat (yang sebagian besar petani) melalui kemerosotan hasil maupun semakin frekuentifnya serangan hama-
17
penyakit yang akhirnya akan bermuara pada kerugian aktivitas perekonomian awalnya di sektor primer (sektor-sektor pertanian). Baik kerugian akibat kemerosotan fungsi hidroorologis maupun fungsi ekologis kawasan hutan terhadap berbagai sektor perekonomian tersebut tentu tidak linier karena adanya fenomena multiplier effect, yang berarti berlipat ganda karena tidak ada satu sektor perekonomian pun yang dapat berdiri sendiri. Muara dari kerugian ekononomi ini dapat kita saksikan pada kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung.
2.2.2 Deforestasi dan Aglomerasi Kegiatan Ekonomi Secara umum deforestasi juga dapat dimaknai sebagai merosotnya fungsi intrinsik wilayah hutan yang ditandai oleh menurunnya stok karbon, fungsi jasa hidroorologis, disertai oleh kemerosotan keanekaragaman hayati maupun kemerosotan amenitas lingkungan (Toman, 2003). Sedangkan aglomerasi seperti diungkapkan oleh Montgomery (1998) dapat difahami sebagai konsentrasi spasial aktivitas perekonomian yang disebabkan oleh perilaku para agen ekonomi untuk mencapai penghematan melalui pemilihan lokasi agar saling berdekatan (economies proximity). Perilaku ini dapat membentuk klaster spasial antara perusahaan, pekerja dan konsumennya. Proses aglomerasi di suatu wilayah merupakan mekanisme yang menginisiasi bagi terbentuknya suatu kota ataupun wilayah urban yang utamanya digerakan oleh gaya sentrifugal. Ketika sekelompok warga urban tidak dapat berperilaku secara efisien di wilayahnya ―terdesak‖ keluar ke wilayah pinggiran (periferinya).
Gaya pendesak ini sering dikenal sebagai gaya sentripetal.
Program transmigrasi merupakan salah satu proses migrasi yang digerakkan oleh gaya sentripetal wilayah asalnya, walaupun program itu dilaksanakan secara terencana. Memang transmigrasi tidak selalu berujung pada proses deforestasi, tetapi tidak sedikit yang menjadi inisiasinya. Fenomena migrasi secara lokal pun juga sering demikian, yang dapat diinisiasi oleh desakan gaya sentripetal sehingga para warga yang tidak mampu berperilaku efisien, tidak mampu bertahan atas desakan ekonomi seperti mahalnya biaya hidup, tidak dapat bertahan hidup secara subsisten, menjadi miskin dan akhir ―terdesak‖ ke luar wilayah urban dan terpaksa
18
menjadi perambah hutan. Sekalipun begitu, perlu disadari bahwa fenomena seperti itu seringkali esensinya disebabkan ketidakadilan struktural akibat leadership yang lemah dan institusi sosial yang tidak efektif. Menurut Igliori (2008) pertumbuhan populasi dan migrasi seringkali menjadi variabel kunci yang dapat menjelaskan proses deforestasi maupun konversi lahan di berbagai negara berkembang yang dalam realitasnya deforestasi tersebut sangat tidak merata menurut wilayah atau ruang spasial. Dalam skala geografis, dapat ditemukan berbagai bentuk aglomerasi yang sangat berbeda. Pada satu sisi di pusat wilayah, aglomerasi dicerminkan oleh beragamnya jenis kota maupun wilayah-wilayah urban. Menurut Krugman (1991, 2010ª, 2010b) pola spasial berbagai aktivitas perekonomian merupakan hasil dari berbagai proses yang melibatkan dua macam kekuatan yang saling berlawanan yaitu: kekuatan aglomerasi (centifugal) dan kekuatan dispersi (centripetal). Kedua kekuatan tersebut berkaitan dengan increasing return to scale (IRS), eksternalitas, dan ketidaksempurnaan pasar. Gagasan dasar dari literatur tentang aglomerasi merupakan suatu pergeseran dari fokus sistem industri ke fokus sistem produktif dan suatu pemahaman terhadap fenomena kekompetitifan sebagai hasil ketimbang sebagai keluaran (outcome) dari proses-proses individual. Penggunaan fenomena IRS menjadi kunci dalam menjelaskan berbagai proses aglomerasi dengan latarbelakang ilmu ekonomi tanpa memandang atribut geografi fisiknya. Namun menurut Igliori (2008) dalam hal aktivitas pertanian maupun lingkungan pedesaan, maka realitas fisik geografi juga dapat memegang peranan yang sangat penting dalam menjelaskan proses aglomerasi, terutama bila ingin memahami dampak dari aglomerasi dengan deforestasi lajutan yang mengarah ke wilayah periferalnya. Eksternalitas dari proses aglomerasi juga punya peran yang mendasar untuk
mendeskripsikan
maupun
untuk
memahami
konsentrasi
aktivitas
perekonomian maupun konsentrasi penduduk. Ditinjau dari sisi mekanisme bekerjanya dalam mempengaruhi konfigurasi spasial ekonomi tersebut, maka ada dua macam ekternalitas yaitu eksternalitas teknologi (spillover) dan pecuniary (financial) externality. Eksternalitas teknologi berkaitan langsung dengan utilitas individual maupun fungsi produksi setiap perusahaan. Sedangkan eksternalitas
19
finansial adalah hasil by product dalam interaksi pasar, yang mana eksternalitas ini sangat berkaitan bila pasar beroperasi dengan tidak bersaing secara sempurna. Idenya adalah bahwa kota-kota, sistem-sistem produksi, ataupun aglomerasi dari berbagai macam ekternalitas mulai terkonsentrasi di suatu wilayah. Utamanya yang sangat penting adalah peranan dari eksternalitas komunikasi dan face to face interaction dalam peningkatan proses belajar maupun proses inovasi (Fujita dan Thisse, 2002), yang melandasi berlangsungnya proses penempaan jiwa entrepreneurship (lihat Hien, 2010). Menurut Igliori (2008) pemahaman awal dari eksternalitas positif ini dipandang sebagai suatu rangkaian yang pertamakali ditemukan dalam karya Alfred Marshall pada dekade 1920-an. Bahwa spesialisasi merupakan implikasi dari adanya pembagian tenaga kerja secara internal yang menjadi pengendali utama dalam peningkatan efisiensi, pengingkatan mutu proses produksi, maupun pertumbuhan perusahaan yang sering disebut sebagai penghematan internal (internal economies). Tetapi ketiga peningkatan (improvement) ini juga dipelihara (di-nurturing) oleh adanya konsentrasi geografi dari berbagai perusahaan maupun oleh penghematan eksternal (external economies) yang dibangkitkan karena integrasi dari berbagai pelaku (agent) ekonomi. Marshall mengidentifikasi ada 3 faktor yang berkaitan dengan penghematan eksternal, yang dapat menstimulasi konsentrasi yaitu (i) adanya pasar tenaga kerja yang terspesialisasi sangat lanjut, (ii) terjadi imbas teknologi (spill over technology) dan (iii) munculnya perdagangan susulan (ikutan). Dalam keadaan itu, konsentrasi industri bisa dipertahankan untuk tetap berkesinambungan sedangkan penghematan eksternal sangat menjadi pendorong kekompetitifannya. Marshall sangat memperhatikan eksternalitas yang dibangkitkan oleh perusahaan-perusahaan di dalam industri tertentu walaupun menurut Jacob (1984 dikutip Igliori, 2008) bahwa argumen yang sama bisa diterapkan untuk menderivasi proses aglomerasi dimana eksternalitas positif berlangsung itu kemudian dapat menjelaskan mengapa orang mau membayar biaya yang lebih mahal untuk hidup di perkotaan (Glaesser et al., 1992). Dewasa ini penjelasan tentang fenomena aglomerasi umumnya dengan menggunakan model-model formal, yaitu bahwa IRS (increasing return to scale)
20
dalam fungsi produksi perusahaan telah menyebabkan berbagai penghematan finansial maupun penghematan teknologi eksternal (Krugman, 1991, 2010ª; 2010b; dan Rendding, 2009). Literatur baru tersebut dikenal sebagai New Economics Geography (NEG).
Hasil karya besar dari NEG
adalah Core-
Periphey Model yang pertamakali diperkenalkan Krugman (1991). Walaupun penemukenalan (recognizing) terhadap peranan dari ketiga sumber eksternalitas tersebut pertamakali diajukan oleh Marshall, tetapi dalam Core-Periphery Model tersebut Krugman (1991, 2010a, 2010b) menggunakan suatu bentuk model yang sangat hemat (parsimonious) yang difokuskan pada IRS, pecuniary externality dan biaya-biaya transportasi. Menurut Igliori (2008) mekanisme dari model NEG tersebut dikendalikan oleh 3 pengaruh yaitu: (i) akses kepada pasar, (2) biaya hidup, dan (3) crowding market. Pengaruh akses kepada pasar menggambarkan tendensi dari perusahaanperusahaan monopoli dalam memilih lokasi untuk berproduksi di pasar yang besar dan mengekspor produknya ke pasar yang relatif lebih kecil (suatu perubahan eksogenus dalam lokasi demand mengarahkan kepada suatu yang lebih dari pada relokasi yang proporsional industri ke wilayah perluasan yang baru). Sedangkan pengendali yang ke dua, bahwa biaya hidup berdampak pada pemilihan lokasi perusahaan-perusahaan ke biaya hidup secara lokal (dimana barang-barang cenderung lebih murah di wilayah yang banyak industrinya karena para konsumen di wilayah ini akan mengimpor berbagai produk dalam jangkauan yang lebih dekat sehingga menekan biaya perdagangan). Adapun pengendali yang ke tiga, bahwa market crowding effect mencerminkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan yang berkompetisi secara tidak sempurna punya kenderungan untuk berlokasi dalam wilayah-wilayah yang punya intensitas kompetisi yang relatif lebih rendah. Efek dari akses kepada pasar dan efek biaya hidup mendorong terjadinya suatu konsentrasi spasial sendangkan crowding market cenderung mendorong dispersi. Kombinasi efek dari adanya akses pasar dan biaya hidup dengan migrasi antarwilayah akan menciptakan potensi circular causalty effect ataupun sering disebut cumulative causalty, atau backward and forward lingkages (Duranton dan Puga, 2003 dikutip Igliori, 2008). Akibat yang mendasar adalah bahwa biayabiaya perdagangan (break point) kekuatan-kekuatan aglomerasi akan melampaui
21
kekuatan-kekuatan dispersi dan penguatan kembali (self-reinforcing) dari migrasi dan akhirnya menggeser semua industri ke satu wilayah (sering disebut catastrophic agglomeration). Di satu sisi, ketika biaya perdagangan sangat murah dan perekonomian menunjukkan catastrophic agglomeration, maka peningkatan biaya perdagangan tidak akan mengubah formasi geografi sampai ke level ambang dimana biaya perdagangan sebegitu tinggi (sustain point) untuk membangkitkan daya dispersi yang lebih besar ketimbang daya-daya aglomerasi dalam proses distribusi industri secara spasial yang simetris (Igliori, 2008). Asumsi-asumsi perilaku dari Typical NEG belakangan ini telah diperluas ke penggabungan dengan beberapa alternatif pondasi mikro (micro-foundation) bagi penghematan aglomerasi. Duranton dan Puga (2003 dikutip Igliori, 2008) membedakan 3 jenis micro-foundations yaitu mekanisme sharing, matching, dan learning. Pondasi mikro dari berbagai bentuk penghematan aglomerasi di perkotaan terutama didasarkan pada mekanisme sharing, yang
mungkin
melibatkan: (i) sharing dalam pemanfataan fasilitas umum (indivisible public facility), sharing dalam memperoleh berbagai input yang dapat dipertahankan oleh suatu industri berproduk barang akhir yang besar jumlah outputnya, (ii) sharing dalam mendapatkan tingkat spesialisasi yang bersifat lanjut yang hanya dapat dipertahankan bila jumlah produksinya lebih besar; serta
(iii) sharing
dalam hal resiko. Adapun dalam hal matching menurut Duranton dan Puga (2003 dikutip Igliori, 2008) ada 2 yang menjadi sumber penghematan ekonomi: (i) peningkatan jumlah pelaku ekonomi yang berupaya untuk meningkatkan dalam me-match-kan setiap aspek, dan (ii) kompetisi yang lebih kuat untuk meningkatkan pengematan (save) biaya tetap (fix cost) dengan cara membuat sejumlah perusahaan meningkat yang kurang proporsional terhadap tenaga kerja (labor force). Dalam hal matching yang ke dua tersebut berasal dari asumsi bahwa, ketika terjadi pertumbuhan tenaga kerja, sejumlah perusahaan meningkat secara kurang proporsional yang disebabkan oleh kompetisi yang lebih besar dalam pasar tenaga kerja. Akibatnya, setiap perusahaan menghentikan untuk pencarian (hiring) tenaga kerja dengan jumlah yang lebih banyak lagi, yang berarti bahwa dengan biaya tetap dalam produksi (output per tenaga kerja) yang lebih tinggi.
22
Selain itu menurut Duranton dan Puga (2003 dikutip Igliori, 2008) bahwa micro-foundation yang ke tiga (yaitu learning) merupakan mekanisme yang didasarkan pada: (a) penciptaan, (b) difusi dan (c) akumulasi pengetahuan. Dalam setiap mekanisme itu, learning bukanlah suatu aktifitas yang berdiri sendiri (soliter). Melainkan bahwa learning merupakan aktivitas yang melibatkan interaksi dengan berbagai fihak lain dan seringkali berbagai interaksi tersebut pada awalnya berlangsung secara face-to-face. Menurut Igliori (2008) bahwa akibat dari karya asli dari Jacob (1969) banyak para pakar yang terus melakukan studi tentang bagimana berbagai kota dapat menyumbangkan kreasinya dengan berbagai macam ide baru. Selain itu, yang lebih penting lagi bahwa para pakar tersebut telah menekankan bahwa ada berbagai keuntungan bagi kota-kota yang belajar melibatkan diri bukan hanya pada cutting edge technologies, tetapi juga dalam melakukan akuisisi keahlian dan peningkatan hari demi hari dan sedikit demi sedikit dalam menangkap pengetahuan (everyday incrimental knowledge). Akumulasi pengetahuan telah menjadi aspek utama dalam proses pembelajaran karena eratnya kaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana disebutkan Duranton dan Puga (2003 dikutip Igliori, 2008) bahwa ada 2 pendekatan utama yang berkaitan dengan akumulasi pengetahuan. Pertama, adalah seseorang melihat efek dinamis dari eksternalitas statis dan yang ke dua seseorang fokus pada ekternalitas dinamik. Pada pendekatan yang pertama itu, pertumbuhan dikendalikan hanya oleh eksternalitas dalam fungsi produksi kota ataupun wilayah. Sedangkan yang ke dua bahwa pertumbuhan dikendalikan oleh suatu eksternalitas di dalam akumulasi human capital yang ada dalam wilayah tersebut. Kedua macam eksternalitas ini berperan ganda (play dual role) yaitu sebagai mesin pertumbuhan dan juga sebagai kekuatan aglomerasi. Model stándar NEG hanya fokus pada distribusi spasial aktivitas perekonomian dan tidak memperhatikan pertimbangan pertumbuhan. Namun, model-model tersebut telah dikembangkan kepada penggabungan pertumbuhan dengan geografi melalui kombinasi dengan aspeks ekternalitas teknologi dengan inovasi serta investasi. Pertumbuhan dan aglomerasi tidak mudah untuk dipisahkan dan korelasi positif antara keduanya telah banyak dilaporkan oleh berberapa peneliti dalam berbagai bidang (Fujita dan Thisse, 2002).
23
Model geografi dan pertumbuhan memperlihatkan adanya posibilitas dalam spatial equity efficiency trade off. Namun masalahnya adalah lebih pelik dan seringkali ambigious ketimbang situasi standar win-lose yang merupakan akibat dari proses aglomerasi dalam model geografi statik. Model dinamik dari pertumbuhan dan geografi semacam ini menunjukkan bahwa munculnya ketidakberimbangan regional, disebabkan oleh menurunnya biaya perdagangan disertai oleh pertumbuhan yang lebih cepat di semua wilayah dan oleh karena itu dapat membangkitkan suatu tensi antara static losses (relokasi aktivitas perekonomian) dan perolehan dinamik (pertumbuhan yang lebih cepat) di wilayah perbatasan atau periferi. Selain itu, dalam model tersebut pertumbuhan mempengaruhi geografi melalui penciptaan suatu growth-linked circular causalty, gaya-gaya yang membidani tumbuhnya lokasi industri dalam suatu wilayah dan juga merangsang untuk investasi. Terlebih lagi, berbagai proses aglomerasi dalam model-model tersebut beroperasi melalui penciptaan kutub-kutub pertumbuhan maupun kutub-kutub penyusutan. Umumnya perusahaan ingin berlokasi di wilayah yang sedang tumbuh, untuk kepentingan dalam melakukan investasi sehingga pada akhirnya perilaku inilah yang akan menyebabkan wilayah menjadi tumbuh lebih cepat lagi (Igliori, 2008). Dalam hal imbas pengetahuan (knowledge spillover), menurut Quah (2002) ada 2 macam model yang berbeda untuk menjelaskannya. Model pertama dengan global spillover dan yang ke dua dengan local spillover. Dalam global spillover model growth dapat berdampak geografis sebagaimana yang diuraikan di atas tetapi geografi tidaklah relevan bagi pertumbuhan karena transmisi pengetahuan dalam inovasi seringkali tidak dipengaruhi oleh jarak. Setiap wilayah belajar secara sama (equal) dari wilayah lain sebagai tempat asal munculnya suatu inovasi. Dalam hal local knowledge spillover model endegenous growth, menurut Igliori (2008) akumulasi pengetahuan merupakan daya aglomerasi. Wilayah yang memelopori
untuk
memulai
mencari
setiap
inovasi,
mengakumulasikan
pengalaman inovasi yang lebih cepat ketimbang wilayah lain. Dengan begitu akan mereduksi biaya modal yang pada gilirannya akan menarik sumberdaya yang lebih banyak, dan akan tumbuh secara cepat. Namun knowledge spillover
24
merupakan suatu daya dispersi: ketika spillover menjadi semakin kurang terlokalisir lagi, maka daya pertumbuhan yang dilecut oleh aglomerasi (the growth-linked agglomeration ) akan melemah. Kombinasi dari kedua daya kekuatan tersebut kemudian membangkitkan suatu tensi baru yang berkaitan dengan integrasi antara wilayah yang kaya dengan wilayah yang miskin. Dengan kata lain, dalam local spillover model integration bisa distabilisir ataupun didestabilisir dimana core-periphery model integration tersebut selalu merupakan destabilizing (integrasi perekonomian akan berakhir ketika tercipta divergensi secara ekstrim terhadap initially symetric region, yaitu bahwa integrasi selalu membidani aglomerasi). Pola penting lainnya dari local spillover model adalah bahwa ekonomi geografi dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Dengan menganggap intensitas konstan dalam proses learning spillovers, maka biaya inovasi akan menurun secara nyata (berbagai biaya inovasi menurun dengan ukuran perekonomian lokal) manakala perekonomian bergerak dari suatu keadaan semetri kepada keadaan yang berpola core-periphery. Karena itu, dengan memicu aglomerasi, maka integrasi perdagangan akan meningkatkan perekonomian sehingga pertumbuhan akan lebih cepat (growth take-off). Aglomerasi umumnya dapat membangkitkan eksternalitas positif sehingga mampu meningkatkan RTS berbagai perusahaan (Krugman, 1991, 2010ª, 2010b), terbentuknya niche learning región (Quah, 2002), proses penempaan jiwa kewirausahaan (Hien, 2010) dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja perekonomian lokal. Namun menurut Igliori (2008) aglomerasi seringkali juga membangkitkan eksternalitas negatif yang melebihi eksternalitas positifnya. Dalam keadaan ini berarti telah dicapai titik jenuh aglomerasi yang umumnya mulai terjandi fenomena congestion dan urban sprawl. Fenomena ini umum terjadi di berbagai wilayah urban di negara-negara berkembang seperti Brasilia. Selain itu, aglomerasi lebih jauh juga dapat menimbulkan tekanan pada terjadi deforestasi lebih lanjut utamanya kepada wilayah-wilayah hinterland-nya. Tambahan pula, menurut Igliori (2008) tentang fenomena kongesti bukanlah fenomena pada kota-kota besar di berbagai belahan dunia. Kongesti juga dapat terjadi pada wilayah suburban maupun perdesaan. Deforestasi lanjutan
25
terutama terjadi di wilayah perbatasan (interface) antara wilayah pertanian dengan wilayah urban dimana aglomerasi telah mulai mencapai titik jenuhnya. Dalam keadaan itu kongesti atau excess demand
bahan baku atau jasa amenitas
lingkungan sering dapat terjadi. Dengan begitu bisa terjadi trade off antara eksternalitas positif terhadap eksternalitas negatif dari fenonema aglomerasi kegiatan perekonomian.
2.3 Stagnasi Capaian Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung Secara
umum
kinerja
perekonomian
Provinsi
Lampung
berlangsungnya desentralisasi tata pemerintahan dapat digambarkan
sejak dengan
kinerja tingkat PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi dan IPM=indeks pembangunan manusia (HDI=Human Developmen Index). Keempat indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah Provinsi Lampung tersebut untuk periode 2000 sampai 2008 disajikan pada Tabel 1. Perlu ditegaskan di sini bahwa untuk memperlihatkan adanya stagnasi capaian indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah bagi Provinsi Lampung tersebut maka sebagai bandingan pada Tabel 1 tersebut juga disertakan nilai keempat kinerja ekonomi bagi nasional.
Tabel 1. Perbandingan Rataan Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung terhadap Nasional Periode Tahun 2000-2008 Indikator Kinerja
Rataan [Sd] Provinsi Lampung
Nasional
PDRB/Kpt (Rp Jt)*
4,41 [0,57]
8,08 [0,68]
Pertumbuhan Ekonomi** (%)
4,87 [2,89]
5,52 [0,65]
21,63 [1,23]
16,09 [0,69]
Kemiskinan (%)
IPM 68,25 [2,10] Keterangan: * =dihitung atas dasar harga konstan Tahun 2000, **=tanpa migas Sumber: BPS Provinsi Lampung (2001-2009 Diolah)
Seperti dapat dicermati pada Tabel 1, dalam periode
70,32 [0,64]
pendapatan per
kapita, pertumbuhan ekonomi, insidensi kemiskinan dan indeks pembangunan
26
manusia untuk Provinsi Lampung berturut-turut [dengan Sd]: 4,41[0,57] juta rupiah; 4,87[2,89]%; 21,63[1,23]%; dan 68,25[2,1]. Sementara untuk rata-rata nasonal dengan urutan yang sama telah mencapai posisi: Rp 8,08[0,68] juta; 5,52[0,65]; 16,09[0,69] dan 70,32 [0,64]. Sementara itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Verbist dan Pasya (2004), Verbist et al. (2004) ataupun lainnya bahwa deforestasi di Provinsi Lampung mengalami ekskalasi sejak awal dekade 1970-an ketika produk hutan kayu menjadi andalan devisa bagi negara. Deforestai ini memuncak ketika berlangsung desentralisasi tata pemerintahan. Pada tahun 2005 menurut Departemen Kehutanan Provinsi Lampung (2009) tutupan hutan hanya tinggal sekitar 7,40%. Tampaknya ada pertalian yang erat antara stagnasi keempat indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah tersebut dengan degradasi fungsi instrinsik hutan akibat deforestasi yang akut tersebut. Kecuali itu degradasi fungsi intrinsik hutan tersebut juga memperlihatkan pertalian yang erat dengan kinerja sektor-sektor agroindustri yang telah mulai beraglomerasi di sub wilayah hilir (Affandi, 2009) sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Elastisitas Output/Input & Skala Pengembalian (RTS: Return to Scale) Rataan dari 12 Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Selama Desentralisasi Tata Pemerintahan Sektor Kapital Rataan 12 Agroindustri [Stándar Deviasi] Industri Makanan
Elastisitas output/input: Bhn.Baku Tng. Kerja Energi
Total=RTS
0,05 [0,13]
0,32 [0,62]
0,34 [0,38]
0,17 [0,36]
0,88* [0,26]
0,10
0,93
-0,12
-0,01
0,89
Sumber: Affandi (2009, diolah) Keterangan: *berbeda nyata (pada Uji t taraf 10%) terhadap RTS=1 (Constant Return to Scale)
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 tersebut di atas bahwa kinerja skala pengembalian (RTS) dari ke-12 kelompok agroindustri mengalami skala pengembalian yang menurun (DRS: decreasing return to scale) yaitu rata-rata hanya sebesar 0,88. Artinya apabila keempat faktor produksi (kapital, bahan baku, tenaga kerja, dan energi yang masing-masing dinyatakan dalam satuan moneter) dinaikan sebesar 1%, maka total output hanya bertambah 0,88%.
27
Lebih lanjut dalam realitasnya, kini faktor input kapital dan energi hanya memberikan respon terhadap output yang relatif rendah yaitu masing-masing 0,05 dan 0,17; sedangkan faktor input bahan baku dan tenaga kerja memiliki respon yang cukup baik terhadap outputnya yaitu masing-masing 0,32 dan 0,34. Artinya secara rata-rata keduabelas sektor agroindustri tersebut masih relatif cukup responsif terhadap faktor tambahan input bahan baku maupun tenaga kerja tetapi kurang responsif terhadap tambahan input kapital maupun energi. Mengingat dasar análisis yang digunakan Affandi (2009) adalah data jangka panjang (yaitu tahun 1988-2005), maka fenomena ini dapat memberikan imajinasi tentang kendala kelangkaan bahan baku. Dalam istilah Igliori (2008) telah terjadi demand congestion terhadap bahan baku. Imajinasi ini didukung oleh kinerja elastisitas industri makanan. Elastisitas input bahan baku bagi industri makanan dapat mencapai 0,93 sementara untuk input kapital, tenaga kerja dan input energi masing-masing 0,10, -0,12 dan -0,01. Artinya input tenaga kerja maupun energi di dalam industri makanan telah jenuh, sedangkan kapital sudah mendekati jenuh dan bahan baku masih sangat responsif terhadap peningkatan input. Kongesti akan bahan baku ini telah menyebabkan sektor industri makanan ini juga turut mengalami skala pengembalian yang DRS yaitu hanya berkisar 0,89. Adanya fenomena kongesti ini juga diperlihatkan oleh statistik laju pertumbuhan PDRB sektor agroindustri ataupun industri pengolahan yang secara rata-rata lebih besar dari pada sektor pertanian sebagai sektor yang menjadi pemasok bahan baku bagi input agroindustri tersebut. Fakta ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Rataan Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian, Sektor Agroindustri, dan Industri Pengolahan pada Periode 2000-2008 di Provinsi Lampung No. Sektor (Subsektor) Pangsa (%PDRB) Pertumbuhan Sd (%) 1 Pertanian 43,19 4,34 1,66 (a) Tanaman Pangan 20,76 3,97 4,53 (b) Tanaman Perkebunan 10,54 2,86 3,17 (c) Peternakan 5,44 3,64 6,03 (d) Perikanan 6,00 7,80 7,37 (e) Kehutanan 0,45 29,69 32,15 2. Industri Tanpa Migas 13,79 3,49 13,68 3. Agroindustri 13,26 5,20 14,63 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung (2000-2004; 2005-2009, diolah) Analisis Indikator Ekon Makro Regional Provinsi Lampung
28
Seperti dapat dicermati pada Tabel 3 tersebut, bahwa laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian secara umum tertinggal dari sektor-sektor hilirnya yaitu utamanya sektor-sektor agroindustri. Dalam kurun waktu yang sama sektor pertanian tumbuh hanya sebesar 4,34(Sd=1,66) % sedangkan untuk agroindustri tumbuh secara rata-rata 5,20 (Sd=14,63)%. Dengan demikian tampak hubungan antara fenomena degradasi fungsi intrinsik dengan stagnasi pertumbuhan PDRB sektor pertanian. Lebih lanjut stagnasi sektor pertanian telah menimbulkan excess demand akan input bahan baku bagi sektor-sektor industri pengolahan ataupun agroindustri yang bermuara pada kinerja decreasing return sektor agroindustri sebagai sektor yang menjadi pijakan
penting
dalam
transformasi
struktural
perekonomian
menuju
perekonomian industri modern di Provinsi Lampung. Pada akhirnya serangkaian fenomena tersebut telah bermuara pada stagnasi indikator capaian kinerja pembangunan ekonomi wilayah Propisi Lampung pada masa desentralisasi tata pemerintahan selama ini. Benang merah yang sangat penting yang dapat ditarik dari sub bagian ini adalah bahwa telah muncul kendala sumberdaya dalam pembangunan ekonomi wilayah Popinsi Lampung semasa desentralisasi tata pemerintahan ini. Kendala sumberdaya yang diatribusi oleh degradasi sumberdaya alam semacam ini dikenal sebagai Ricardian trap. Fenomena Ricardian trap ini umum dijumpai pada negara-negara berkembang ketika mulai melakukan transformasi struktural dalam skenario pertumbuhan penduduk yang belum dapat ditekan. Tetapi untuk memperoleh gambaran yang lebih obyektif tentang ekstraksi sumberdaya anugerah alam (Resource endowment), sebelum melakukan kajian terhadap teori kendala sumberdaya
maka
perlu
ditinjau
dampak
deforestasi
terhadap
tingkat
kesejahteraan masyarakat.
2.4 Dampak Deforestasi pada Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Selain pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang umum digunakan sebagai indikator perkembangan kesejahteraan masyarakat di suatu negara ataupun wilayah. Namun dalam 2 dekade terakhir ini selain kedua variabel ekonomi tersebut juga mulai banyak digunakan Indeks Pembangunan
29
Manusia (IPM).
IPM atau HDI (Human Development Indeks) merupakan
indikator komposit dari indeks tingkat konsumsi, indeks kesehatanan, dan indeks pengetahuan. Dari komponen penyusunnya, maka IPM tampak merupakan suatu indikator kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dari pada pedapatan per kapita maupun pertumbuhan ekonomi. Setiap awal pembangunan ekonomi wilayah senantiasa memanfaatkan sumberdaya yang telah diwariskan sebagai anugerah [(Re)source endowment], seperti tambang, sumberdaya hutan, sumberdaya perikanan ataupun sumberdaya lainnya. Bagi negara-negara tropika basah, sumberdaya hutan seringkali menjadi andalan utama dalam memulai pembangunan perekonomiannya. Andalan tersebut sering dilakukan karena sumberdaya hutan sifatnya liquídate, tanpa banyak memerlukan investasi ataupun teknologi yang relatif tinggi sehingga biaya ekstraksi sumberdaya alam ini begitu relatif sangat murah untuk diekstraksi baik berupa kayu maupun nir kayunya (lihat Naidoo, 2004). Artinya ekstraksi hasil hutan kayu maupun nir kayu umumnya menjadi sasaran pertama. Dengan kata lain deforestasi merupakan suatu keniscayaan bagi negara-negara tropika basah pada awal pembangunan perekonomiannya. Sehubungan dengan itu, dalam penelitiannya untuk mengetahui dampak deforestasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang menggunakan panel data 77 negara, Naidoo (2004) membuat 2 kesimpulan. Pertama, bahwa deforestasi telah mempercepat pertumbuhan ekonomi, semakin awal dan semakin luas suatu negara melakukan deforestasi sumberdaya hutannya maka negara tersebut akan makin cepat tumbuh. Sebaliknya negara-negara yang lamban melakukan deforestasi dan banyak mensisakan sumberdaya hutannya maka akan tertinggal dan lambat dalam pertumbuhannya. Kedua, bahwa deforestasi akan menekan pertumbuhan ekonomi suatu negara jika pangsa ekspor hasil hutannya relatif kecil yaitu rata-rata 0,3%. Kedua kesimpulan ini kukuh (robust) terhadap perbedaan geografis, perbedaan tingkat perkembangan ekonominya, maupun perbedaan luasan awal sumberdaya hutan yang dimiliki oleh suatu negara. Namun terhadap kesimpulan dari penelitian Naidoo (2004) yang pertama tersebut kita perlu sangat berhati-hati, karena peneliti ini merupakan penganut mahzab technosentric_conurcopian yang menganggap bahwa antarsumberdaya
30
sebagai faktor produksi dapat saling disubstitusikan.
Pandangan itu juga
mengabaikan eksternalitas negatif yang merupakan dampak dari setiap aktivitas perekonomian, tidak terkecuali aktivitas yang menyebabkan deforestasi dan konversi penggunaan lahan. Tentu pandangan ini memiliki label keberlanjutan sebagai kebersinambungan yang lemah (weak sustainability). Hasil eksplorasi data yang ditampilkan oleh Indufor Forest Intelegence atau IFI (2010) juga mendukung kesimpulan yang pertama dari penelitian Naidoo (2004) tersebut. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2, bahwa data dari 44 negara menunjukkan semakin luas tutupan hutan semakin rendah tingkat PDB/kapita maupun IPM suatu negara. Sebaliknya makin besar tingkat deforestasi maka kedua indikator kesejahteraan masyarakat tersebut makin besar. Namun bila dari 44 negara tersebut dipilih dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah dari 10.000 USD, maka terjadi kesimpulan yang sebaliknya (Gambar 3). n=44 1400
1,20
Qatar
1,00 Islandia
400 200
Kwait
Turkministan Kwait Singapura Islandia Israel
-200 -
0,60 Banglades
Comoro
Yaman
0,40 Balbados
Afganistan
0,20
Comoro
0 Yaman
Israel
0,80
800 600
Balbados
Singapur Qatar
1000
IPM
PDB/Kpt (X100 USD)
1200
Banglades
Afganistan
20,0
40,0
%Tutupan Hutan
60,0
0,00
-
20,0
40,0
% Tutupan Hutan
60,0
Sumber: Indofur Forest Intelegence (2010, diolah)
Gambar 2. Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs (Low Forest Cover Countries)
31
Proporsi Tutupan Hutan≤20%; PDB/Kpt ≤ 10.000USD 120 Afrika Selatan
0.70 Tunisia
80
Tunisia
0.80
100
Maroko Tonga
40
Yaman
Maroko
Kenya Lesotho
0.50 0.40
Chad Mali
0.30
Afganistan
0.20
Yaman
20 Djiboti
Afrika Selatan
Tajikistan
Djiboti
60
Tonga
Kyrgistan
0.60
IPM
PDB/Kpt (X100 USD)
n=15
0.90
Kenya
0.10
Afganistan
0
0.00 -
10.0
20.0
30.0
% Tutupan Hutan
-
10.0
20.0
% Tutupan Hutan
30.0
Sumber: Indofur Forest Intelegence (2010, diolah)
Gambar 3. Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs dengan Proporsi Tutupan ≤20% dan PDB/Kpt ≤ 10.000USD
Merujuk hasil penelitian Mudiyarso et al. (2006) yang menggunakan panel data semua kabupaten yang ada di Indonesia, antara lain dapat analisis hubungan antara proporsi tutupan hutan terhadap IPM disajikan pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Indeks Pembangunan Manusia sebagai Fungsi dari Proporsi Luas Tutupan Hutan di Indonesia
No.
Wilayah
Regresi
Signifikansi
1.
Pulau Jawa
IPM = –76,9(%Hutan) + 69,6
Nyata
2.
Luar P Jawa*
IPM = 89,3 (%Hutan) + 24,1
Nyata
3.
Pulau Sumatera
IPM = 151,5(%Hutan) – 20,7
Nyata
Sumber: Mudiyarso et al. (2006;diolah). Keterangan: *Gabungan dari 6 Pulau Besar selain Jawa.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 4 untuk P Jawa, semakin luas tutupan hutan maka respon IPM semakin turun. Sedangkan untuk luar Jawa (termasuk Sumatera) adalah sebaliknya. Hubungan itu secara umum dapat mencerminkan peran intrinsik hutan sebagai pengendali pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya. Bahwa di P Jawa kepemilikan lahan sudah relatif sempit. Memperluas proporsi hutan di P Jawa berarti akan menurunkan proporsi
32
penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan yang mempunyai rente ekonomi (land rent) yang relatif lebih tinggi dari pada land rent untuk penggunaan hutan. Mengingat secara umum P Jawa telah mencapai kesejahteraan yang relatif lebih tinggi, maka mungkin sekali juga di P Jawa kebutuhan akan amenitas lingkungan (yang antara lain dapat disediakan oleh penggunaan lahan untuk hutan) sudah relatif tinggi dibandingkan pulau-pulau lain. Sebagaimana pandangan Kuznetsian (ECK: Environmental Kuznets Curve), proporsi hutan yang ada di P Jawa dapat dipelihara secara baik sehingga cukup dapat menyuplai kebutuhan akan amenitas lingkungan ataupun mungkin fungsi. Dengan begitu, nampaknya proporsinya tidak perlu diperbesar lagi agar penggunaan lahan untuk non hutan (yang memiliki land rent lebih tinggi) tidak tergusur. Sedangkan fenomena di luar P Jawa adalah sebaliknya. Karena pemilikan lahan ataupun peguasaan lahan secara rata-rata masih relatif besar, maka sumberdaya hutan masih menjadi andalan bagi penyumbang pendapatan masyarakat, sementara itu kebutuhan akan amenitas lingkungan (yang dapat disediakan oleh proporsi tutupan hutan yang ada) masih surplus. Karena itu deforestasi (untuk mengekstraksi manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan maupun untuk konversi ke penggunaan lahan dengan land rent yang lebih tinggi) masih memungkinkan sampai batas-batas tertentu. Sekalipun Provinsi Lampung merupakan anak gugus (sub set) dari P Sumatera, tetapi distribusi rata-rata pemilikan ataupun punguasaan lahan sudah mendekati di P Jawa.
Sehubungan dengan itu, eksplorasi hubungan antara
proporsi tutupan hutan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat juga menyerupai di P Jawa. Pada Gambar 4 dan 5 disajikan hubungan antara proporsi tutupan hutan di Provinsi Lampung terhadap kesejahteraan. Untuk Provinsi Lampung hubungan antara proporsi tutupan hutan terhadap PDRB/kapita bersifat negatif baik dengan ataupun tanpa menyertakan Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus yang masing-masing waktu itu memiliki proporsi tutupan hutan 66% dan 80% (Gambar 4). Fenomena ini menyerupai fenomena di P Jawa. Namun terhadap IPM, maka fenomenanya menjadi berbeda, dengan tidak menyertakan kedua kabupaten yang merupakan wilayah resapan tersebut maka IPM meningkat dengan bertambahnya proporsi tutupan hutan (Gambar 5).
33
5,0 Tulang Bawang
4,5
4,0
Lampung Utara Lampung Tengah
3,5
Lampun Selatan
3,0
Lampung Timur
2,5
Way Kanan
Tanggamus Lampung Barat
2,0
PDRB/Kpt Tahun 2002 (Rp Jt)
PDRB/KPT Tahun 2002 (Rp Jt)
5,0
Tulang Bawang
4,5
Lampung Utara
4,0
Lampung Tengah
3,5
Lampung Selatan
3,0
Lampung Timur
2,5
Way Kanan
2,0 10 20 30 40 50 60 70 80
10 20 30 40 50 60 70 80 % Tutupan Hutan 1988
% Tutupan Hutan 1988 (a) Dengan Subwilayah Resapan
(b) Tanpa Subwilayah Resapan
Sumber Mudiyarso dkk., (2006, Diolah)
68
68
67
67
66
Tanggamus
65 64
IPM Tahun 2002
IPM Tahun 2002
Gambar 4. Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan (1988) terhadap PDRB/Kapita (2002) di Provinsi Lampung
66 65
Lamp. Barat
64
63
63 10 20 30 40 50 60 70 80
%Tutupan Hutan Tahun 1988
(a) Dengan Subwilayah Resapan
10 20 30 40 50 60 70 80 % Tutupan Hutan Tahun 1988 (b)
Tanpa Subwilayah Resapan
Sumber: Mudiyarso dkk., (2006, Diolah)
Gambar 5. Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan (1988) terhadap IPM (2002) di Provinsi Lampung
Dari kedua gambar tersebut dapat ditarik pelajaran bahwa pada proporsi penutupan hutan lebih dari 66% tidak akan dapat meningkatkan pendapatan per kapita maupun IPM. Sekalipun pertambahan proporsi tutupan hutan tidak
34
memperlihatkan peningkatan PDRB/kapita tetapi kegiatan aforestasi/reforestasi (A/R) tetap masih sangat penting untuk dilakukan di Provinsi Lampung. Pentingnya kegiatan A/R tersebut ditunjukkan oleh peningkatan IPM dengan bertambahnya proporsi tutupan hutan (Gambar 5). Walaupun begitu hendaknya peningkatan proposi tutupan hutan tidak perlu mencapai tutupan 66% ataupun lebih. Selain itu, dari sisi indikator bahwa IPM merupakan indikator yang lebih dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat ketimbang PDRB/kapita berhubung IPM menggunakan indeks komposit yang lebih baik dari pada indikator tunggal berupa PDBR/kapita yang belum mencerminkan distribusi kepada siapa pendapatan tersebut berpolar.
Indeks komposit penyusun IPM
tersebut juga sering diproksi dengan indeks konsumsi indeks usia harapan hidup waktu lahir, dan indeks pendidikan.
2.5 Kendala Sumberdaya: Teori Moderenisasi Ekonomi Wilayah bagi Negara-negara Berkembang Fenomena stagnasi perkembangan kinerja ekonomi wilayah tersebut dapat dijelaskan secara memuaskan dengan menggunakan teori kendala sumberdaya dalam pembangunan wilayah di negara-negara berkembang. Ulasan teori tersebut adalah sebagai berikut. Menurut Hayami (2001), walaupun laju pertumbuhan populasi di berbagai negara berkembang telah menurun sejak dekade 1970-an, namun itu akan kembali muncul dan bersifat eksplosif setidaknya untuk 2 dekade mendatang, terutama pada masyarakat yang pendapatan perkapitanya rendah, yaitu suatu masyarakat yang dicirikan oleh tingginya dependensi kepada SDA. Dalam skenario pertumbuhan populasi yang terus meningkat, masalah yang umumnya muncul dalam masyarakat seperti ini adalah bagaimana untuk mempertahankan pertumbuhan pendapatan per kapita secara berkesinambungan dalam kondisi ketersediaan SDA yang terus menurun. Banyak para ahli yang berupaya untuk menjelaskan fenomena kendala sumberdaya bagi nasib keberlanjutan pembangunan ekonomi seperti Malthus dan kemudian pada awal 1970-an The Limit to Growth dari Kelompok Roma. Teori Malthus yang fokus pada sisi perilaku manusia yang dikendalikan oleh instinct
35
hewani (dalam berkembang biak) tanpa mempedulikan aktivitas pembentukan kapital, berarti teori itu hanya merupakan teori populasi dan sulit untuk dapat disebut sebagai teori ekonomi. Karena itu, ramalan teori ini belum pernah terbukti. Walaupun begitu, dunia belum pernah terlepas dari situasi trauma Malthusian tersebut. Trauma seperti itu kemudian muncul kembali pada dekade awal 1970-an, yaitu ketika Kelompok Roma mempublikasikan laporan The Limit to Growth (Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001). Laporan tersebut bukan hanya menyoroti krisis populasi-pangan, tetapi juga untuk krisis akibat penyusutan SDA dan degradasi lingkungan akibat overexploitation serta akibat dampak negatif dari limbah akibat terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi yang bersifat eksponensial. Laporan ini memprediksi, jika pertumbuhan ekonomi yang bersifat eksponensial ini tidak dicegah atau dikendalikan, maka industrisalisasi akan terhenti dan aktivitas perekonomian akan mulai menyusut paling lama dalam 2 dekade dalam abad 21 karena adanya pengurasan SDA. Akibatnya pertumbuhan populasi dunia akan menyusut karena peningkatan angka mortalitas yang dilecut oleh kekurangan suplai pangan dan degradasi lingkungan. Laporan tersebut sangat menyita perhatian publik dunia karena setahun setelah dipublikasikan karya tersebut kemudian ternyata terjadi: (i) krisis pangan dunia akibat gagal tanam dan (ii) munculnya pertamakali krisis minyak dunia yang dipicu oleh embargo OPEC sebagai respon dari Perang Timur Tengah. Harga kedua macam komoditas meningkat beberapa kali lipat. Namun krisis berakhir dan harga berbagai komoditas kembali menurun. Akibatnya efek publikasi tersebut terhadap perhatian publik menurun bahkan laporan Kelompok Roma tersebut menuai banyak kritikan utamanya karena ketiadaan landasan teori ekonomi maupun lemahnya dukungan data statistiknya. Menurut Hayami (2001) keterbatasan utama dari analisis dan simulasi yang dilakukan dalam laporan Kelompok Roma itu terletak pada asumsi yang bersifat eksponensial untuk pertumbuhan penduduk, tingkat produksi sektorsektor industri maupun untuk berbagai aktivitas perekonomian lainnya di masa lalu (periode 1900-1970-an) yang dianggap tetap tidak berubah di masa depan
36
dengan peningkatan yang proporsional terhadap kebutuhan pangan maupun bahan-bahan konsumsi akibat pertumbuhan populasi yang eksponsial tersebut. Menurut Sorensen dan Whitta-Jacobsen (2009) bahwa sebagaimana Malthus, analisis Kelompok Roma ini tidak mempertimbangkan respon yang rasional dari para pelaku ekonomi dalam menyelamatkan sumber daya yang semakin langka. Mereka hanya secara mekanis saja melakukan analisis proyeksi yang didasarkan pada trend di masa lalu, dengan pertimbangan posibilitas perubahan
koefisien
produksi
tersebut
dibatasi
dan
mengarah
kepada
pertumbuhan ekonomi yang terbentur pada kendala sumberdaya alam (SDA) yang tetap (fixed resource endowment). Baik asumsi yang sulit untuk dipenuhi maupun absennya pertimbangan tentang respon perilaku manusia rasional jika menghadapi kelangkaan sumberdaya tersebut, maka telah menyebabkan proyeksi Kelompok Roma ini melesat jauh ke atas (overshooting) sehingga banyak menuai banyak kritikan tersebut. Menurut Hayami (2001) sebenarnya pencerahan tentang mekanisme pertumbuhan ekonomi yang dibatasi oleh natural resource endowment (Re) tersebut dapat dirujuk kembaali pada teori pembangunan ekonomi dari Teori David Ricardo: Principle of Political Economy and Taxation yang diterbitkan pada tahun 1817, ketika Revolusi Industri telah mapan di Inggris. Fenomena ini terjadi
ketika
pertumbuhan
populasi
mencapai
puncaknya.
Ricardo
mengidentifikasi akumulasi kapital dalam industri moderen, yang terjadi dalam Revolusi Industri, yang merupakan kekuatan pengendali pertumbuhan ekonomi. Kapital dalam pandangan Ricardo adalah wage fund (dana upah) yang didefinisikan sebagai jumlah pembayaran kepada buruh sebagai penjualan di depan (in advance of sale) dari komoditas yang diproduksi oleh buruh yang digunakan sebagai input dalam proses produksi. Wage fund juga pembayaran atas pembelian berbagai alat-alat maupun struktur yang komplementer untuk menggunakan buruh. Oleh karena itu permintaan terhadap tenaga kerja (TK) meningkat secara proporsional dengan meningkatnya wage fund tersebut. Di lain fihak, suplai TK ditentukan oleh buruh yang mau bekerja secara penuh waktu (full time) tanpa memandang berapa pun upahnya. Ini berarti bahwa suplai TK konstan dalam jangka pendek, yaitu suatu periode dimana populasi tetap konstan. Oleh
37
karena itu, ketika investasi yang baru itu diberikan kepada wage fund, maka permintaan buruh akan meningkat dengan meningkatnya tingkat upah sepanjang suplai yang inelastik selama jangka pendek. Jika tingkat upah meningkat di atas tingkat upah untuk kebutuhan hidup subsisten, populasi mulai meningkat diiringi oleh peningkatan angkatan kerja. Peningkatan populasi tersebut yang mendasari anggapan bahwa suplai TK dianggap elastik secara tidak terbatas dalam jangka panjang (didefinisikan sebagai periode yang cukup lama agar populasi dan angkatan kerja memungkinkan bisa untuk berubah), di bawah tingkat upah yang cenderung selalu ditekan balik kembali sampai ke tingkat upah subsisten. Artinya dalam jangka panjang wage cost bagi industri tidak meningkat, dan keuntungan para kapitalis meningkat secara proporsional dengan peningkatan kapital. Karena tingkat profit tidak menurun, sehingga selalu ada insentif yang selalu terus terpelihara untuk menginvestasikan kembali setiap keuntungan yang diperoleh, yang berarti pula produksi dan lapangan pekerjaan terus meningkat dalam sektor industri moderen. Walaupun begitu, upah subsisten bagi para pekerja industri tergantung pada harga pangan. Tidak seperti dalam sektor industri, sektor pertanian tidak dapat keluar dari perangkap skala pengembalian yang menurun (DRS: decreasing return to scale) dalam produksi karena selalu dibatasi oleh kendala (Re)source endowment sumberdaya lahan. Untuk melakukan perluasan agar permintaan pangan terus dapat dipenuhi, maka harus dipenuhi dengan menggunakan lahan yang paling subur, yang biaya marjinalnya konstan. Namun jika peningkatan permintaan akan pangan terus meningkat (akibat dari pertumbuah populasi) hingga melebihi output yang dapat diproduksi oleh lahan yang paling subur tersebut, maka perluasan usaha pertanian akan diarahkan kepada lahan-lahan yang kurang subur sehingga menyebabkan biaya marjinalnya meningkat berhubung akan lebih banyak dibutuhkan input tenaga kerja (TK) untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang sama. Akibatnya akan semakin banyak lahan yang kurang subur yang dibuka untuk produksi pertanian sehingga biaya marjinal meningkat secara progresif. Dalam proses ini demand terhadap lahan yang subur meningkat karena lebih menguntungkan untuk berbudidaya. Lebih lanjut, sewa yang lebih tinggi harus dibayar kepada tuan tanah untuk penggunaan lahan-lahan
38
yang subur sampai antara biaya produksi di lahan-lahan yang subur terhadap lahan-lahan marjinal (hampir semua lahan-lahan marjinal telah digunakan untuk produksi). Karena harga pangan naik sesuai dengan peningkatan biaya, maka nominal uang dari upah yang dibayarkan kepada para TK sektor industri perlu untuk dinaikkan agar dapat bertahan hidup pada level subsisten. Ketika upah meningkat, keuntungan tidak terus meningkat secara proporsional dengan peningkatan kapital. Jadi ketika demand terhadap pangan terus meningkat sesuai dengan akumulasi kapital dan pertumbuhan lapangan pekerjaan, harga pangan akhirnya akan meningkat sampai pada suatu level dimana tingkat profit akan menjadi begitu rendah sehingga tidak ada insentif untuk melakukan investasi lebih lanjut. Pertumbuhan ekonomi akan berhenti pada titik ini. Hayami (2001) melukiskan Teori Ricardo, menggunakan dua diagram yang dikonstruksi sebagai suatu model dalam perekonomian modern dalam Gambar 6. Diagram bagian kiri menyajikan pasar TK bagi sektor industri modern, dalam ukuran model kesetimbangan parsial Marshallian. Garis DD mewakili kurva demand TK, yang dianggap bersesuaian dengan suatu sekedul produk nilai marjinal dari TK untuk suatu stok kapital yang digunakan. Sementara diagram distrukturkan dalam kerangka pemikiran neoklasik, maka karakteristik dari Teori Ricardo diwakili oleh bentuk suplai tenaga kerja (TK). Dengan mengadopsi hukum Malthus, Ricardo menganggap suplai TK yang horisontal pada upah subsisten (Oŵ) dalam jangka panjang, seperti diwakili oleh garis LS. Namun, karena angkatan kerja tetap konstan dalam jangka pendek dan, karena marginal disutility dari TK relatif terhadap utilitas marjinal dan pendapatan dipandang begitu kecil sehingga dapat diabaikan oleh para TK yang hidup pada level yang mendekati subsisten, maka dalam jangka pendek suplai TK bisa dianggap menjadi inelastik terhadap tingkat upah, yang diwakili dengan garis tegak SS. Seperti dapat dilihat pada Gamber 2.6 bahwa awal permitaan (demand) terhadap tanaga kerja (TK) bagi sektor industri diberikan sebagai DD0 sesuai ketika stok kapital yang dimiliki oleh kaum wirausaha-kapitalis adalah K0, dan bahwa kesetimbangan jangka panjang pada periode permulaan berada pada titik A
39
dengan jumlah TK yang dipekerjakan adalah OL0 pada level upah subsisten. Kemudian, total nilai produk dalam sektor industri diwakili oleh luas ADOL0 dimana luas AŴOL0 dibayarkan kepada TK dan luas sisanya ADŴ menjadi keuntungan ataupun return bagi kapital.
Upah
(W)
Harga Pangan (P)
SS
HS
D d2 Ŵ’ Ws Ŵ
G E A
d1 B
C D1
Do
0
Lo L1 Tenaga Kerja
ko k1
LS D2
k2 (L)
P2
do
f
c
Po=P1 a (No)
b (N2)
(N1)
L2
WS
Q1
Q2
Ouput Bahan Pangan
Gambar 6. Konsepsi Teori Kendala Sumberdaya (Sumber: Hayami, 2001)
Sebagaimana asumsi yang umum diterima baik oleh kaum ekonom klasik maupun Marxian, bahwa TK mengkonsumsi seluruh upah pendapatannya, dan kaum kapitalis yang makmur (selalu mencari peningkatan keuntungan) melakukan reinvestasi hampir seluruh keuntungan yang telah didapatkan, sehingga stok kapital meningkat dari K0 imenjadi K1 (atau K0 + luas ADŴ). Bersamaan dengan itu produk marjinal bagi TK bergeser ke arah atas, meghasilkan suatu pergeseran ke arah kanan dalam kurva permintaan TK dari DD0 ke DD1 dan tingkat upah meningkat di luar OŴ ke OWs. Namun, karena tingkat upah naik di atas tingkat upah riil itu, maka hukum Malthusian mulai beroperasi (dengan meningkatnya populasi maupun angkatan kerja). Oleh karena itu, bersama berlalunya waktu, kurva short run labor suplay SS akan bergesar ke arah atas dan menurunkan tingkat upah ke sepanjang kurva permintaan TK yaitu DD1 pada titik B, dimana level kesetimbangan TK jangka panjang pada OL1 ditentukan. Jika skala netralitas produksi dan Hukum Say tentang produksi dalam penciptaan demand dianggap sesuai dengan Teori Ricardo, maka produk, kapital,
40
stok dan TK akan meningkat dengan laju yang sama dalam jangka panjang dalam situasi tingkat upah subsisten yang konstan yang dapat diukur dengan satuan produksi. Kemudian pembayaran upah (wL) dan total profit (Y-wL) meningkat pada laju yang sama seperti total output (Y) dan kapital (K), sehingga tingkat keuntungan ataupun return kapital [(Y-wL)/K] tetap konstan. Jadi suplai TK horisontal (didukung oleh Hukum Malthus tentang populasi) mencegah timbulnya insentif berupa keuntungan bagi wirausahawan-kapitalis untuk menginvestasikan terhadap penurunan, dan karena itu jaminan kelanjutan dalam akumulasi kapital maupun output dalam sektor industri moderen. Kendala terhadap pertumbuhan seperti itu dalam sektor moderen adalah DRS dalam produksi pangan yang beroperasi dalam sektor pertanian. Diagram sebelah kanan Gambar 6 menyajikan suatu pasar pangan yang diwakili oleh bijian, dimana sumbu horisontal mengukur output bijian ataupun konsumsi dan sumbu vertikal adalah harga. Garis HS mewakili sekedul suplai bijian yang ditentukan oleh biaya marjinalnya. Sekedul ini arah naik, karena sumberdaya lahan (SDL) didistribusikan dari yang paling subur sampai ke katagori yang paling marjinal dan luasan SDL tiap katagori kesuburan suplainya tetap (fixed). Biaya marjinal dalam produksi bijian tetap konstan pada OP0 (dimana OP0=OP1) sampai mencapai output maksimum yang bisa diproduksi oleh SDL kategori terbaik (OQ1) namun melompat sampai ke OP2 ketika output melebihi batas tersebut dan SDL kelas 2 mulai digarap. Peningkatan maju (stepwise) berlanjut ketika makin banyak SDL yang kesuburannya rendah (marjinal) mulai digunakan untuk budidaya. Karena bijian dikonsumsi oleh hampir semua TK dan karena pendapatan perkapitanya konstan pada level subsisten dalam jangka panjang, maka terjadi suatu pergeseran kurva permintaan dd sebagai respon dari pertumbuhan populasi itu sendiri. Dalam diagram sebelah kanan, d0d0 mewakili kurva permintaan yang bersesuaian terhadap lapangan kerja sektor industri yang ditunjukkan oleh OL0. Ketika lapangan kerja meningkat ke OL1, dan kemudian ke OL2, pertumbuhan populasi proporsional dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan menggeser kurva bijian ke d1d1, dan kemudian ke d2d2 berturut-turut. Untuk memperluas permitaan bijian dipenuhi dengan produksi hanya menggunakan katagori SDL terbaik,
41
seperti dalam kasus d1, harga bijian tetap pada OP0 (=OP1).
Namun ketika
permintaan bijian meningkat ke d2, harga bijian menjadi OP2; bersesuaian dengan biaya marjinal produksi menggunakan SDL kelas 2 untuk budidaya. Di sini dianggap bahwa peningkatan biaya marjinal dalam peningkatan produksi bijian dengan cara membawa SDL kelas 2 untuk budidaya adalah sama saja artinya dengan menggunakan jumlah kapital dan TK yang lebih banyak terhadap produksi dengan menggunakan SDL kelas 1. Ketika harga bijian meningkat dari OP1 ke OP2, maka tingkat upah subsisten OW0 yang digunakan untuk mencukupi buruh dalam membeli bijian dengan jumlah yang memadai untuk hidup subsisten pada level harga OP0 menjadi tidak cukup lagi. Oleh karena itu, tingkat upah dalam sektor industri harus ditingkatkan dalam jangka panjang ke level OW‟, yang memungkinkan para TK untuk membeli bijian yang cukup untuk bertahan hidup.
Kemudian
keuntungan dalam sektor industri (yang menggunakan jumlah kapital K2) menurun dari luasan CDŴ ke GDW‘. Oleh karena itu, tingkat profit kapital dalam sektor industri akan menurun secara progresif ketika SDL yang marginal mulai dibuka untuk dibudidayakan. Fenomena ini punya efek pada penurunan pendapatan wirausahawan kapitalis sekaligus juga penurunan insentifnya. Di lain fihak, ketika harga bijian naik dari OP1 ke OP2, maka para produsen bijian menggunakan SDL kelas satu dapat meraup ekses profit sebesar P1P2 per unit output. Karena ekses profit dapat diperoleh dengan menggunakan SDL kelas 1 daripada kelas 2, maka kompetisi diantara para produsen bijian untuk menggunakan SDL kelas 1 tersebut akan meningkatkan rentenya ke P1P2 dengan pendapatan tuan tanah menggunung, yang diwakili oleh areal P1bfP2 (Gambar 1). Jadi para tuan tanah dapat menangkap windfall gain dari akumulasi kapital di sektor industri melalui pertumbuhan populasi maupun permintaan pangan. Teori Ricardo memprediksi bahwa (di bawah Re SDA yang ada dalam ukuran luasan SDL yang tetap), maka harga pangan meningkat akibat dari pertumbuhan populasi akan mengendalikan perekonomian kedalam keadaan yang stasioner dimana tingkat keuntungan begitu rendah sehingga tidak ada insentif untuk melakukan investasi tambahan dan upah TK
tidak menjadi divergen
terhadap upah subsisten yang minimum, sementara itu para tuan tanah sendiri
42
memperoleh perluasan rent revenue dan menghamburkan konsumsinya yang mencolok mata. Mekanisme SDL yang tetap (fixed land resource endowment) yang membatasi pertumbuhan ekonomi pada fase awal industrialisasi terkenal dengan sebutan Ricardian Trap. Pilihan kebijakan (policy) yang diusulkan oleh Ricardo agar perekonomian Inggris waktu itu dapat terbebas dari perangkap kendala SDL adalah dengan melakuan liberalisasi impor bijian atau secara lebih khusus mencabut Corn Law yang telah banyak membebani hambatan tarif terhadap impor bijian murah dari luar negeri sebagai bagian dari sistem perdagangan (mercantile system) waktu itu. Ricardo berargumentasi bahwa SDL superior haruslah tersedia dalam luasan yang tidak terbatas, bukan hanya di Negara Inggris tetapi di seluruh dunia termasuk di benua baru. Akibat dari liberalisasi perdagangan itu, total suplai bijian baik dari dalam maupun dari luar negeri menjadi horisontal pada harga yang rendah (OP0), seperti diwakili oleh garis WS (Gambar 6, sebelah kanan). Sehingga suplai TK bagi sektor industri dapat berlanjut menjadi horisontal pada tingkat upah OŴ dimana akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri moderen dapat dipertahankan sutainable. Pencabutan Corn Law merupakan kondisi yang perlu untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan yang dimulai ketika Revolusi Industri. Model Ricardo memulai secara jelas persoalan kendala SDA yang harus dihadapi oleh low-income economy countries dalam melakukan pembangunan industri ketika pertanian mengalami stagnasi. Bila pertumbuhan populasi di fase awal industrialisasi tidak paralel dengan peningkatan suplai pangan, maka harga pangan akan meningkat secara tajam yang akan menyebabkan meningkatnya biaya hidup bagi masyarakat low-income yang dicirikan oleh tingginya Engle Coefficients. Fenomena ini akan menyebabkan tekanan yang kuat untuk kenaikan upah melalui serikat buruh dan juga dapat menyebabkan food riot. Resultansi dari peningkatan upah akan mempunyai implikasi terhadap goncangan serius (serious blow) bagi sektor industri di fase awal, yang tergantung kepada labour-intensive technologies.
43
Menurut Hayami (2001) Ricardian trap yang dihadapi oleh berbagai lowincome developing economies dewasa ini tidak dapat dipecahkan melalui liberalisasi impor pangan secara sendiri. Saran yang diberikan oleh Ricardo berupa perdagangan bebas hanya relevan bagi Inggris pada awal abad ke 19, ketika itu populasinya hanya merupakan bagian yang kecil saja dari populasi dunia dan juga supremasi Inggris dalam produktivitas di sektor industri telah membuat negeri ini mudah dalam mendapatkan nilai tukar asing dalam jumlah yang cukup untuk impor pangan. Namun tidak mudah bagi negara berkembang dewasa ini untuk mendapatkan nilai tukar asing dalam jumlah yang cukup yang bersumber dari barang-barang industri selama periode awal industrialisasinya. Kecuali itu juga begitu banyak negara berkembang berkompetisi dalam impor pangan, maka harga pangan internasional akan meningkat sebegitu besar sehingga harga dalam negeri akan tidak stabil. Bagi negara berkembang, tampaknya tidak ada jalan lain untuk melepaskan diri dari Ricardian Trap selain dengan mengembangkan teknologi budidaya pertanian yang diiringi dengan pembangunan sektor-sektor industri. Ricardo tidak mengelak posibilitas dalam pengembangan teknologi pertanian, tetapi menganggap bahwa hal itu akan sangat dibatasi oleh skala pengembalian yang menurun (decreasing retun to scale) dalam produksi sektor pertanian dalam jangka panjang. perkembangan
Lumrah saja anggapan itu terbentuk karena ketika itu teknologi
pertanian
utamanya
pengalaman maupun coba-coba dari para petani.
hanya
didasarkan
kepada
Namun fakta sejarah telah
membuktikan bahwa melalui penerapan ilmu pengetahuan secara terorganisir terhadap pemecahan masalah produksi pertanian (yang dimulai pada akhir abad ke 19), kemajuan teknologi dalam pertanian telah mengalami percepatan secara nyata sehingga tingkat pertumbuhan dalam produktivitas pertanian telah melebihi dari apa yang sebelumnya dicapai oleh negara-negara industri maju kala itu. Karena itu negara-negara berkembang menurt Hayami (2001) agar dapat eksit dari Ricardian trap, maka pola pertumbuhan produktivitas pertanian dari negaranegara maju di masa lalu dengan melakukan investasi dalam bidang sumberdaya manusia dan riset untuk mengembangkan akumulasi pengetahuan dalam teknologi
44
budidaya agar dapat melakukan transformasi strutural melalui batu pijakan sektorsektor industri pertanian. Dengan berlandasakan pada karya Stimson dan Stough (2008) dengan demikian bahwa kini proses transformasi struktural tersebut keberhasilnya sangat tergantung kemampuan wilayah untuk mencapai surplus produksi sektor pertanian dan ekstraksi SDA (sebagai resource endowment) agar mencapai keunggulan kompetitifnya sehingga mampu bersaing di pasar global. Karena itu tinjauan terhadap kinerja Re dan pasar ekspor (M) menjadi variabel yang sangat penting pada awal proses transformasi struktural tersebut.
2.6 Peran (Re)source Endowment dan Kinerja Ekspor dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah Sebagaimana dapat disarikan dari Hayami (2001), bahwa sumberdaya anugerah atau (Re)source endowment segala jenis sumberdaya yang tersedia sehingga untuk memperolehnya tanpa diperlukan investasi yang relatif besar. Re dapat berupa sumberdaya alam termasuk cadangan bahan tambang, sumberdaya lahan, pemandagan atau bentang alam, topografi, atmosfer, temperatur udara dsb. Re juga bisa berupa sumberdaya buatan seperti ilmu pengetahuan, teknologi yang telah tersedia, konstruksi bangunan fisik yang sudah ada (termasuk jalan, jembatan, pelabuhan, fasilitas jaringan irigasi), sistem komunikasi, pranata sosial, perangkat hukum dsb. Begitu beragamannya sistem Re yang ada dalam suatu wilayah, tak terkecuali di wilayah Provinsi Lampung. Namun dalam konteks penelitian ini yang dijadikan fokus adalah sistem sumberdaya hutan, yang di dalamnya terdapat subsistem sumberdaya lahan topografi, iklim dll. Fokus tersebut dipilih mengingat sistem hutan merupakan sistem yang sangat berperan dalam menopang keberlangsungan perikehidupan (life support system) dan mempunyai fungsi intrinsik dalam pengendalian aktivitas perekonomian wilayah. Lebih dari itu, khususnya di Provinsi Lampung sumberdaya hutan ini telah mengalami degradasi akut hingga proporsi tutupannya hanya tersisa sekitar 7,5% dari total wilayah Provinsi Lampung (Departemen Kehutanan, 2006). Bahkan menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2005 dikutip Watala, 2008) degradasi tersebut
45
untuk masing-masing fungsi hutan berturut-turut telah mencapai: 80% di hutan lindung, 76% di hutan produksi, 71% di hutan produksi terbatas, 70% di taman hutan raya, 36% di TNW, dan 16% TNBBS.
Umumnya sumberdaya hutan
tersebut telah banyak berubah fungsi menjadi pertanaman kopi, karet, coklat, lada, cengkeh, nilam (cash crop), perladangan, pertanian pangan dan pemukiman. Menurut Verbist dan Pasya (2004) deforestasi di Provinsi Lampung bermula pada tahun 1905, ketika Pemerintah Kolonial melakukan trasmigrasi pertama. Deforestasi ini meningkat pada dekade 1970-an ketika hasil hutan kayu menjadi andalan pemasukan devisa. Deforestasi terus berlanjut dan memuncak pada saat desentralisai tata pemerintahan dimana koordinasi tata pemerintahan menjadi simpul-simpul lemah (lihat Resosudamo, 2005).
Data beberapa titik
tahun tutupan hutan dan perkiraan laju deforestasiya disajikan pada Tabel 5. Merosotnya fungsi intrinsik hutan (sebagai pengendali siklus hidrologi wilayah, pengendali kesetimbangan ekologi kawasan, penambat karbon dan penyedia jasa amenitas lingkungan) akibat deforestasi tersebut telah menekan pertumbuhan kinerja perekonomian wilayah. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa yang sangat kritis adalah terjadinya stagnasi pertumbuhan ekonomi akibat aglomerasi agroindustri pada bagian Tengah dan Timur Provinsi Lampung yang malah mengalami decreasing return to scale seperti dilaporkan Affandi (2009). Tabel 5. Tutupan Hutan dan Laju Deforestasi Beberapa Titik Tahun di Provinsi Lampung Tahun
1985(a)
1991(b)
1997(b)
2005(c)
Luas Tutupan (ha)
647.800
570.060
361.319
236.400
19,10
15,80
10,80
7,40
-
12.957
34.790
20.820
Proporsi (% Provinsi) Laju Deforestasi (ha/th)
Sumber: (a) DepnakerTrans (1989), (b) Dept. Kehutanan (2006), (c) Kemenhut (2009).
Aglomerasi agroidustri (yang awalnya merupakan korbanan dari ekstraksi sumberdaya hutan maupun dari konversi luasan hutan melalui deforestasi di masa lalu) seharusnya dapat menampilkan kinerja dengan skala pengembalian yang meningkat (IRS: Increasing Retrun to Scale) sehingga korbanan deforestasi
46
tersebut dapat meghasilkan rente ekonomi yang lebih baik. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. endowment yang
Realitas merosotnya fungsi intrinsik dari (Re)source utama ini harus segera dipulihkan, agar sektor-sektor
agroindustri tersebut dapat berkembang sebagai pondasi yang sangat mendasar bagi pijakan untuk transformasi struktural dan modernisasi perekonomian di Popinsi Lampung.
Karena itu dalam perencanaan pengembangan ekonomi
wilayah Provinsi Lampung maka fokus kepada sumberdaya hutan sebagai Re menjadi prioritas pertama agar sumberdaya hutan ini dapat menjadi sistem penopang kehidupan yang kokoh, yang sekaligus juga berfungsi sebagai penopang sistem perekonomian secara menyeluruh. Sementara itu pula, mengingat dewasa ini dunia sudah mengalami globalisasi kuat sehingga hampir tidak ada satu wilayahpun yang tersekat dari perdagangan internasional, dalam perencanaan pembagunan ekonomi wilayah kinerja ekspor komoditas utama haruslah menjadi pilar penting. Bila dengan kinerja Re dapat dikelola menjadi produk yang kompetitif di pasaran internasional, maka kinerja ekspor merupakan saluran ataupun outlet bagi produk (yang dihasilkan dari ekstraksi Re tersebut) ke pasar ekspor (Stimson et al., 2006). Peran ekspor bagi pengembangan ekonomi wilayah setidaknya dapat diproksi dari pangsa ekspor tersebut terhadap PDRB. Adapun peran ekspor tersebut di Provinsi Lampung pada masa desentralisasi tata pemerintahan secara ringkas disajikan pada Tabel 6. Sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 6, bahwa meskipun berfluktuasi, baik total nilai ekspor, pertumbuhan nilai total ekspor, pertumbuhan nilai ekspor setiap jenis produk, pangsa ekspor tiap produk terhadap PDRB, maupun total pangsa ekspor terhadap PDRB secara rata-rata tidak ada yang bernilai negatif. Gambaran ini memberikan indikasi bahwa sebenarnya pasar ekspor bagi Provinsi Lampung secara umum cukup baik bagi pengembangan perekonomian wilayah yang dewasa ini semakin perlu untuk mengandalkan pasar ekspor. Tumpuan harapan kepada pasar ekspor bagi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah ke depan juga cukup didukung oleh pangsa ekspor terhadap PDRB Provinsi Lampung.
47
Tabel 6.
Nilai Total Ekspor, Pangsa Ekspor Sektoral terhadap PDRB dan Pertumbuhannya di Provinsi Lampung Periode 2000-2008
No. Indikator
Rataan
Sd
I. Total Nilai Ekspor (Jt USD)
1 633
1 185
II. Total Pertumbuhan Nilai Ekspor (%/th) III. Pertumuhan Nilai Eskpor Tiap Produk (%/th) 1. Tambang 2. Industri 3. Pertanian 4. Kehutanan IV. Pangsa Ekspor Tiap Produk (%PDRB) 1. Tambang 2. Industri 3. Pertanian 4. Kehutanan Total Pangsa Ekspor (%PDRB)
29,13
37,34
233,39 43,66 29,20 21,73
545,90 91,83 48,15 63,67
2,62 17,71 12,73 0,05 33,11
1,52 6,36 3,71 0,03 11,63
Pertumbuhan Total Pangsa Ekspor (%)
11,33
31,25
PDRB (Jt USD); 1 USD=Rp 9,000.-
4 534
2 122
Sumber: BPS (2001-2009, Diolah)
Sebagaimana dapat dicermati pada Bagian IV Tabel 6 di atas bahwa secara rata-rata ekspor Provinsi Lampung memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB yaitu sebesar 33,11 [Sd=11,63]%. Adapun pangsa terbesar disumbangkan oleh ekspor dari produk-produk industri 17,71[Sd=6,36]%; disusul produk pertanian 12,730[Sd=3,71]%; produk tambang 2,62[Sd=1,52]% dan terakhir produk hasil hutan 0,05[Sd=0,03]%. Adanya realitas bahwa produk dari sektor industri yang menjadi penyumbang terbesar dalam ekspor (yang disusul oleh ekspor dari produk-produk primer
tersebut)
merupakan
gambaran
yang
sangat
prospektif
bagi
berlangsungnya transformasi struktural perekonomian wilayah Provinsi Lampung. Sejalan dengan inisiasi proses transformasi struktural (dari sektor primer ke sektor-sekor industri) tersebut, pertumbuhan nilainya ekspor dari produk-produk industri juga meningkat secara rata-rata 43,66%. Namun sungguh disayangkan punya fluktuasi yang sangat tajam yang ditunjukkan oleh nilai Sd-nya yang cukup besar yaitu 91.83%, seperti dapat dilihat pada Bagian III Table 2.6.
48
Bila dibandingkan dengan produk primer, pertumbuhan nilai ekspor dari produk industri juga cukup menggembirakan. Namun tidak demikian jika dibandingkan dengan pertumbuhan nilai-nilai ekspor dari produk tambang yang secara rata-rata naik 233,39 [Sd=545,90]% per tahun. Dari kenaikan ini juga berarti bahwa kebocoran nilai tambah dari produk-produk tambang masih terus berlangsung. Ke depan perlu dikembangkan industri pengolahan untuk menekan kebocoran semacam ini agar nilai tambah (yang umumnya berlipat ganda) dapat dicegah. Untungnya pangsa ekspor produk primer dari hasil-hasil tambang ini relatif kecil saja yaitu rata-rata sekitar 2,62[Sd=1,52]% saja dari total PDRB Provinsi Lampung. Kecuali itu suatu fenomena yang menarik lagi yang dapat dicermati dari Tabel 6 tersebut adalah relatif sangat rendahnya pangsa ekspor produk-produk yang bersumber dari hasil hutan yaitu rata-rata hanya 0,05[Sd=0,03]%. Kontribusi tersebut menjadi fenomena biasa saja bila diingat degradasi hutan akibat deforestasi di Provinsi Lampung telah mencapai taraf yang akut. Namun angka tersebut menjadi menarik bila dikaitkan temuan Naidoo (2004) bahwa deforestasi akan sangat menekan pertumbuhan ekonomi suatu negara manakala pangsa ekspor dari hasil hutan kurang dari 0,3%. Artinya angka pangsa ekspor yang berasal dari produk-produk hasil hutan di Provinsi Lampung sudah memasuki kategori itu. Dengan fakta ini berarti bahwa stagnasi pertumbuhan ekonomi wilayah Provinsi Lampung semasa desentralisasi menjadi tervalidasi oleh temuan Naidoo (2004) tersebut. Sehubungan dengan itu, maka kegiatan aforestasi/reforestasi (A/R) menjadi mendesak untuk segera dilakukan agar stagnasi pertumbuhan ekonomi dapat diatasi. Pada hakekatnya kegiatan A/R itu sendiri merupakan mekanisme pemulihan fungsi ekonomi melalui restorasi fungsi intrinsik hutan yang telah terdegrasi akibat deforestasi yang akut. Dengan pulihnya fungsi intrinsik tersebut maka life support system ke depan diharapkan akan menjadi viable bagi berlangsungnya semua proses kehidupan. Namun demikian untuk dapat memberikan gambaran peranan dari nilai ekspor yang berasal dari produk-produk hasil hutan terhadap kesejateraan masyarakat maka pada bagian berikut diuraikan secara lebih detil. Berkaitan
49
dengan itu mengingat deforestasi di Provinsi Lampung juga telah menyebabkan konversi hutan menjadi perkebunan, pertanian pangan, pemukiman, untuk pedagangan maupun indusri maka tinjauan ini juga perlu dilengkapi dengan peranan ekspor komoditas tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung. Secara agregat hubungan peranan ekspor yang berasal dari produk-produk bahan tambang, industri, pertanian dan kehutanan terhadap PDRB/kapita dan terhadap IPM di Provinsi lampung disajikan pada Gambar 7 dan 8.
PDRB/Kpt (Juta Rp)
PDRB/Kpt Rp juta)
4,3 4,2 4,1 3,9 3,8 3,7 3,6
50,0
100,0
PDRB /Kpt (Jua Rp)
150,0
4,2 4,1
4,1 4,0 3,9 3,8 3,7
4,0
3,6
3,9
300,0
400,0
500,0
600,0
Industri (Juta USD)
3,8 3,7
4,3
3,6
4,2
500,0
4,1
1.000,0
Total Ekspor (Juta USD)
4,0 3,9 3,8 3,7
1.500,0
4,3 4,2 4,1 4,0 3,9 3,8 3,7
3,6 500,0 Pertanian (Juta USD)
4,3
4,2
PDRB/Kpt (Juta Rp)
-
Tambang (Juta USD)
PDRB/Kpt (Juta Rp)
4,0
4,3
3,6 1.000,0
-
20,0
40,0
Hasil Hutan (Juta USD)
Gambar 7. Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan PDRB/Kpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 (Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah)
Seperti dapat dilihat pada Gambar 7, bahwa semua komoditas ekspor memperlihatkan hubungan positif dengan PDRB/Kpt pada periode waktu tersebut. Namun perlu dicatat, bahwa secara kasar (dengan memperbandingkan kemiringan masing-masing kurva) ekspor bahan tambang tampak yang paling rendah peranannya disusul ekspor produk-produk industri. Adapun sektor pertanian dan kehutanan tampak lebih besar peranannya dibandingkan terhadap ekspor bahan tambang maupun produk-produk industri. Bahkan lebih jauh peranan ekspor total
50
terhadap PDRB/Kpt tampak mirip dengan peranan hasil-hasil pertanian maupun
70,0
IPM 2001- 2005
69,5 69,0 68,5 68,0 67,5 67,0 66,5 66,0 65,5 65,0 64,5 64,0
70,0
50,0 100,0 150,0 Tambang (Juta USD)
IPM 2001 - 2005
IPM 2001 -2005
kehutanan tersebut.
69,0 68,0
69,0 68,0 67,0 66,0 65,0 64,0
67,0
300,0 400,0 500,0 600,0 700,0
66,0
Industri (Juta USD)
65,0
63,0 500,0
69,0
1.000,0
Total (Juta USD)
68,0 67,0 66,0 65,0
70,0
1.500,0
69,0
IPM 2001 - 2005
IPM 2001 - 2005
64,0 70,0
68,0 67,0 66,0 65,0 64,0
64,0 -
500,0
1.000,0
Pertanian (Juta USD)
63,0 5,0
15,0
25,0
35,0
Hsl. Hutan (Juta USD)
Gambar 8. Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 (Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah)
Seperti dapat dicermati dalam Gambar 8, berbeda hubungannya dengan PDRB/Kpt, di sini hanya ekspor bahan tambang yang memiliki hubungan negatif terhadap IPM di Provinsi Lampung pada masa desentralisasi. Artinya semakin besar nilai ekspor bahan tambang telah memberikan kontribusi pada penurunan IPM. Nampaknya bahan ekspor bahan tambang lebih banyak memberikan eksternalitas negatif bagi kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung selama periode tersebut. Sebaliknya untuk ekspor produk-produk yang berasal dari pertanian, kehutanan dan dari produk-produk industri berperan positif terhadap IPM. Oleh karena itu atas peran ekspor ketiga asal produk yang disebutkan terakhir ini, maka secara total nilai ekspor Provinsi Lampung pada periode tersebut masih tetap memperlihatkan hubungan yang positif terhadap IPM sekalipun ekspor dari produk-produk tambang memperlihatkan hubungan yang negatif tersebut. Kecuali itu yang menarik adalah besarnya kemiringan kurva hubungan nilai ekspor total terhadap IPM tampak relatif sejajar dengan kemiringan kurva
51
hubungan nilai ekspor produk pertanian dengan IPM. Sedangkan kemiringan kurva hubungan antara nilai ekspor hasil hutan dengan IPM tampak relatif sejajar dengan kemiringan kurva hubungan antara ekspor hasil industri dengan IPM. Sementara itu pula kedua kelompok kurva tersebut juga relatif sejajar. Dari sini tampaknya adanya relasi yang erat antara peranan sektor kehutanan dengan sektor industri. Karena pangsa sektor kehutanan terhadap PDRB relatif kecil (hanya 0,45%) untuk periode 2000-2008, maka berarti bukan produk kayu hasil hutan yang mengendalikan peranan tersebut melainkan yang paling mungkin adalah peranan fungsi intrinsik hutan. Untuk memeriksa peranan fungsi intrisik hutan terhadap kesejahteraan masyarakat maka perlu digunakan proksi nilai ekspor produk nir kayu yang tersusun dari nilai eskpor getah damar, kulit kayu manis dan rotan. Proksi ini dipandang tepat sebagai penduga viabilitas fungsi intrinsik hutan, mengingat ketiga tumbuhan penghasil produk-produk nir kayu tersebut tumbuh secara alami dalam ekosistem hutan tanpa banyak dikenai perlakuan budidaya. Dengan begitu adanya keberlanjutan ekspor ketiga macam produk nir kayu tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk tinggi-rendahnya fungsi intrinsik hutan, yang pada gilirannya juga akan memberikan kesejahteraan masyarakat. Karena pangsa eskpor hasil hutan di Provinsi Lampung kecil (0,45% dari PDRB/Kpt) maka dapat dipastikan pangsa nilai ekpor produk nir kayu lebih kecil dari nilai itu. Oleh karena itu, maka peranan produk nir kayu terhadap kesejahteraan masyarakat bukan melalui nilai ekpornya tetapi karena jasa lingkungnya. Pada Gambar 9 dan 10 disajikan hubungan antara nilai produk nir kayu terhadap PDRB/Kpt dan terhadap indek pembangunan manusia (IPM). Tetapi mengingat deforestasi di Provinsi Lampung juga telah menyebabkan konversi lahan kepada penggunaan cash crop maka pada Gambar 9 dan 10 tersebut juga disertakan hubungan antara nilai ekspor produk cash crop terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung selama periode desentralisasi. Seperti dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10, hubungan antara nilai ekspor getah damar, kulit kayu manis, rotan, nilai ekspor total produk nir kayu dan nilai total ekspor produk cash crop terhadap PDRB/Kpt maupun IPM semuanya menunjukkan hubungan positif. Lebih lanjut bila dicermati semua kemiringan
52
kurva-kurva tersebut semuanya tampak relatif sejajar. Untuk komoditas nir kayu (baik masing-masing maupun secara total) mudah difahami karena ketiga jenis tumbuhan penghasil produk-produk nir kayu tersebut tumbuh secara alami, tanpa banyak proses budidaya. Tetapi tidak untuk tanaman penghasil produk cash crop (kopi, coklat, karet dan lada) adalah tanaman budidaya. Namun demikian perlu diingat bahwa di Provinsi Lampung hampir semua
cash crop tidak ditanam
secara monokultur, melainkan bersama-sama komoditas penghasil kayu dalam
4,2 4,1
4,3
3,9 3,8 3,7 3,6
0
500
1000
Kayu Manis (Ribu USD)
PDRB/Kpt (juta Rp)
4,3
4,2 4,1
500 1.000 1.500 2.000 2.500 Total Cash Crop (Jt. USD)
3,7
3,6
4,0 3,9 3,8 3,6 0
1000
2000
3000
Damar (Ribu USD)
3,7
4,1
3,8
4,1
3,8 3,6
3,9
4,2
3,9
4,2 4,0
4,3
3,7
4,0
PDRB/Kpt (Juta Rp)
4,0
PDRB/Kpt (Juta Rp)
4,3
PDRB/Kpt (Ribu Rupiah)
PDB /Kpt (juta Rp)
sistem multistrata (agroforestry).
4,3 4,2 4,1 4,0 3,9 3,8 3,7 3,6
500
1000
Rotan (Ribu USD)
1500
2000
1000 2000 3000 4000 5000
Total Nir Kayu (Ribu USD)
Gambar 9. Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu & Cash Crop dengan PDRB/Kpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 (Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah)
Karena itu di Provinsi Lampung pertanaman cash crop sangat sulit untuk dibedakan dengan hutan rakyat. Dengan kata lain bahwa cash crop umumnya ditanam dalam sistem wanatani (multistrata atau agroforestry). Oleh karena itu, dengan realitas ini maka tidak sulit memahami fenomena kemiringan kurva hubungan nilai ekspor cash crop terhadap PDRB/Kpt dan terhadap IPM terhadap ketiga jenis kurva nir kayu tersebut. Berkaitan itu, untuk memeriksa hubungan konversi lahan dengan akumulasi kapital yang melandasi berlangsungnya
53
transformasi struktural perekonomian di setiap wilayah, maka pada bagian berikut
70,0
IPM 2001 - 2005
69,0 68,0 67,0 66,0
64,0
0
200
400
600
800
Kayu Manis (Ribu USD)
IPM 2001 - 2005
69,0 68,0 67,0
4,3 4,2 4,1 4,0 3,9 3,8 3,7 3,6
68,0 67,0 66,0
64,0
Damar0(Ribu1000 USD) 2000
3000
69,0
500
66,0
69,0
65,0
1.000 1.500 2.000 2.500
Total Cash Crop (Juta USD)
IPM 2001 - 2005
65,0
PDRB/Kpt (Ribu Rupiah)
IPM 2001 - 2005
diuraikan tentang risalah teori pertumbuhan ekonomi.
68,0 67,0 66,0 65,0
65,0
64,0
64,0 500
1000
Rotan (Juta USD)
1500
2000
1000
2000
3000
Total Eksp. Nir Kayu
4000
5000
Gambar 10. Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu & Cash Crop dengan IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 (Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah)
2.7 Risalah Teori Pertumbuhan Ekonomi: Dari Model Solow ke Model Baru Pertumbuhan Endogenik Inti dari setiap teori ekonomi adalah penjelasan tetang pertumbuhan atau akumulasi kapital (Hayami, 2001). Robert Solow merupakan seorang begawan yang memenangkan Hadiah Nobel tahun 1985 atas keberhasilannya dalam menjelaskan teori pertumbuhan ekonomi dari unsur-unsur penentunya. Ada 3 tema besar yang dapat disarikan dari Model Solow (1956; 2000). Pertama, dalam jangka panjang bahwa tingkat tabungan (s) merupakan ukuran persediaan modal maupun tingkat output yang dapat dicapai dari suatu sistem perekonomian. Adanya kenaikan tingkat tabungan dapat menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi yang cepat tetapi kemudian berangsur-angsur menurun dan kemudian konstan. Pada keadaan konstan tersebut berarti perekonomian berada dalam kondisi mapan (staedy state), yang dicirikan oleh total depresiasi modal (δk) sama dengan total investasi. Investasi itu sendiri merupakan fungsi dari jumlah output yang disisihkan untuk tabungan [sy=sf(k)]. Jadi sekalipun tingkat tabungan yang
54
tinggi dapat menyebabkan tingkat perekonomian pada kondisi mapan yang tinggi pula, tetapi tabungan tidak akan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, karena efek dari tabungan tersebut akan selalu berakhir pada kondisi mapan tersebut. Tema yang ke dua dari Model Solow (1956 dan 2000) adalah bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan determinan penting bagi peningkatan standar kehidupan. Makin tinggi tingkat pertumbuhan populasi (n), maka akan semakin rendah output per pekerja (y=Y/L). Secara diagramatik kedua tema dari Model Solow dapat ditunjukkan dalam Gambar 11 dan 12.
Investasi
δk s1f(k)
BIE1
s0f(k)
S1>S0 BIE0
k0*
Output/pekerja [y=f(k)] sebagai fungsi dari kapital/pekerja [k]. Total investasi adalah sy=sf(k). Tingkat tabungan (s) smenjadi penentu saat kondisi mapan tercapai (k*). Jika s1>s0 maka k1*> k0*. Di sini δk adalah total penyusutan. Kurva investasi yang konveks menunjukkan: pada awalnya tabungan menyebabkan pertumbuhan yang pesat, berangsur-angsur menuju konstan saat tercapai kondisi mapan. BIE: break event investment yang diperlukan pada saat kondisi mapan dicapai.
k1* Modal/Pekerja (k)
Gambar 11. Model Pertumbuhan Solow (Mankiw, 2007).
Adapun tema yang ke tiga dari Model Solow (1956 dan 2000) adalah bahwa pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan teknologi (g). Akumulasi kapital (Δk) dalam kondisi mapan dibawah pengaruh kemajuan Ipteks adalah: Δk= sf(k) – BIE (break event investment). Dalam hal ini k=K/EL adalah modal per pekerja efektif. Untuk mempertahankan agar k tetap konstan dari penyusutan (δk) maupun untuk menyediakan modal bagi masuknya tenaga kerja baru (nk) akibat pertumbuhan populasi serta untuk memfasilitasi kebutuhan para pekerja efektif yang baru (gk), maka diperlukan investasi sebesar BIE= (δk + nk + gk). Sehingga akumulasi kapital menjadi:
55
Δk= sf(k) – (δ + n + g)k
{2.1}
Secara diagramatik realitas ini disajikan pada Gambar 13. Seperti dapat diperiksa pada Gambar 13 tersebut, bahwa dalam kondisi mapan, tingkat pertumbuhan modal/tenaga kerja efektif (atau keff) maupun output/keff (atau y) memiliki tingkat pertumbuhan nol. Adapun output per pekerja (atau Y/L=yE) tumbuh pada tingkat g dan output total tumbuh sebesar n+g. Dengan demikian dapat difahami bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan standar kehiduan secara berkelanjutan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan output per pekerja di bawah pertumbuhan populasi. Namun demikian, menurut Solow (1956) kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks) tersebut sifatnya berasal dari luar sistem perekonomian (exogenous).
S
(δ+ n1)k
Ketika populasi meningkat dari n0 ke n1, maka saat tercapai kondisi mapan tingkat modal per pekerja turun dari ko* menjadi k1*. Dalam hal ini investasi selain untuk mengimbangi depresiasi (δk) modal juga untuk menyediakan modal bagi pekerja baru (δn) akibat dari pertumbuhann populasi tersebut.
Investasi=sf(k)
(δ+ n0)k
Kk1*
k0*
Gambar 12. Pengaruh Pertumbuhan Populasi (n) terhadap k*.(Mankiw, 2007)
56
Tingkat Pertumbuhan:
Investasi
(δ+n+g)k
Δk=K/(ExL)=0
sf(k)
BIE
Δy=Y/(ExL)=0 Δ[Y/L]=yxE =g ΔY=yx(ExL)= n+g
Modal/pekerja
keff*
Gambar 13. Dampak Ipteks dalam Model Solow (Mankiw, 2007)
Karakter sumber pertumbuhan dari Ipteks yang berasal dari luar sistem suatu perekonomian (eksogenus) ini yang kemudian mendatangkan banyak kritikan seperti dari Lucas (1988), Romer (1990) dll. Kemudian para begawan ini mengusulkan pertumbuhan yang berasal dari dalam sistem perekonomian: New Endogenous Growth (NEG) Theory, yang secara ringkas dapat disarikan dari Hayami (2001) seperti berikut:
Fungsi produksi individu perusahaan ke-i: Yi= (ELi)αKiβ
{2.2}
Asumsi yang harus dipenuhi bahwa efisensi tenaga kerja bagi perusahaan ke-i tidak tergantung pada produksi pengetahuan dari suatu perusahaan tertentu saja, tetapi bergantung pada produksi pengetahuan yang berasal dari investasi semua perusahaan yang ada dalam suatu sistem perekonomian atau suatu wilayah, yang dapat diungkapkan sebagai berikut:
E=aK
{2.3}
57
yang dalam Pers. [2.3] tersebut a adalah konstanta yang menentukan hubungan yang paralel antara stok kapital (K) dengan rataan efisiensi tenaga kerja (E) dalam suatu sistem perekonomian atau wilayah. Dengan memasukkan Pers.[2.3] ke dalam Pers. [2.2] dan membagi kedua ruas dengan L maka diperoleh: yi=aαLiαKαkiβ
{2.4}
dalam hal ini yi=Yi/(Ki/Li) dan aα =A dan karena k=K/L maka diperoleh: y=ALiαkαkiβ
{2.5}
Lebih lanjut dapat dianggap bahwa dalam kesetimbangan kompetisi jangka panjang seluruh perusahaan mendapatkan nilai optimalitas yang sama dalam melakukan alokasi sumberdaya yang dimilikinya, sehingga ki=k dan yi=y. Oleh karena itu Pers.{2.4} dapat diungkapkan menjadi: Yy=(ALα)k
{2.6}
Dalam skenario populasi yang konstan, produk marjinal kapital per tenaga kerja (MPK) tetap konstan untuk seluruh kisaran k sehingga baik k maupun y secara kontinyu akan terus meningkat secara tidak terbatas. Bahkan jika populasi meningkat, maka y dan k akan terus semakin besar (Gambar 14). Karena itu Pers. [2.6] dapat diubah menjadi berikut: Y/K= ALα
{2.7}
Ungkapan dalam Pers.[2.7] tersebut di atas memberikan makna bahwa pertumbuhan populasi (yang dicirikan oleh petumbuhan L) akan mereduksi capital-output ratio (Y/K) yang berarti pula meningkatkan keefektifan kapital dalam proses produksi dlm suatu sistem perekonomian.
Karena peningkatan
populasi (n) juga berarti meningkatkan jumlah pelaku aktivitas perekonomian yang dapat menemukan berbagai ide baru yang sangat penting bagi setiap proses
58
produksi dalam sistem perekonomian di suatu wilayah. Ini merupakan suatu pandangan yang optimistik sifatnya tentang peranan pertumbuhan penduduk dalam pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.
y=Y/L
y=Ak S sAk
Menurut Hayami (2001) bentuk Pers. [2.7] adalah ekivalen dengan Model Harold-Domar, tetapi asumsi yang melandasi berbeda, yang mana dalam Model Harold_Domar K tidak meliputi intangible capital.
nk
Moda/Pekerja (k=K/L)K
k1
Gambar 14. Kurva Pertumbuhan Ekonomi secara Endogenik (Hayami, 2001)
Untuk lebih memahami terhadap pandangan yang optimistik ini dapat dirujuk uraian dari Mankiw (2007).
Perekonomian secara sederhana dapat
dikatagorikan menjadi dua sistem. Sistem pertama adalah yang memproduksi barang manufaktur dan yang satunya lagi yang memproduksi Ipteks sebagai berikut:
Fungsi produksi manufaktur:
Y=f[K,(1-µ)EL)
{2.8}
Fungsi poduksi Ipteks
: ΔE=g(µ)E
{2.9}
Akumulasi Modal
: ΔK=sY - ðK
{2.10}
Ipteks dalam pandangan Hayami (2001) disebut sebagai kapital yang tidak kasat mata (intangible capital). Sedangkan produksi barang adalah kapital yang kasat mata (tangible capital). Dalam Pes. [2.8] sampai [2.10] tersebut, µ adalah proporsi penduduk yang bekerja di sistem perekonomian yang memproduksi
59
Ipteks seperti universitas, lembaga penelitian dsb. Sedangkan (1-µ) proporsi penduduk yang pekerja dalam sistem perekonomian yang memproduksi barang. Sedangkan E adalah persediaan Ipteks yang sagat menentukan efisiensi tenaga kerja. Dari Pers.[2.8] sampai [2.10] tersebut tampak bahwa akumulasi kapital (ΔK) sangat ditentukan oleh kinerja output Y, sementara Y sangat ditentukan oleh tenaga kerja yang di-augmented oleh Ipteks (EL) dan semuanya itu sangat tergantung dari proporsi penduduk yang berkerja untuk memproduksi Ipteks (µ). Apabila tidak ada orang yang memproduksi Ipteks, maka µ=0. Dalam keadan ini berarti Pers. [2.8] identik model Solow (1956) dimana faktor Ipteks bersifat eksogenik. Namun bila µ>0,
maka berarti faktor Ipteks menjadi
endogenik. Dalam model pertumbuhan endogenik tersebut, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan penduduk secara optimistik akan mendorong pertumbuhan akumulasi modal secara berkesinambungan, berhubung di dalam bagian pertumbuhan populasi tersebut juga akan lahir berbagai Ipteks baru melalui daya cipta manusia yang tidak pernah mengalami depresiasi, bahkan terus berkembang. Namun Hayami (2001) memperingatkan bahwa pandangan optimis saja belum cukup, bahkan sangat berbahaya untuk menyimpulkan kalau pertumbuhan ekonomi dapat dicapai hanya dengan melalui akumulasi kapital (baik yang tangible maupun yang intangible) saja.
Untuk dapat melakukan eksploitasi
terhadap kedua jenis kapital tersebut (demi untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi), maka diperlukan pengembangan setting kelembagaan (institution) agar mampu menfasilitasi bagi berlangsunganya perubahan sikap danpeilaku sesuai dengan tuntutan aspirasi masyarakat sebagai damapak dari perkembangan tingkat kesejahteraan yag dicapai dari hasi-hasil akumulasi kapital. Sejalan dengan ini menurut Stimson et al. (2003, 2005, dan 2006) serta Stimson dan Stough (2008) bahwa pertumbuhan Ipteks, tidak serta-merta akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Suatu Ipteks baru akan akan memiliki kontribusi nyata bagi pertumbuhan perekonomian wilayah manakala suatu Ipteks telah dapat dieksploitasi oleh para wirausahawan atau (E)ntrepreneurs untuk menghasilkan keuntungan yang sama sekali baru melalui sistem pasar. Kecuali itu, menurut para pakar ini agar (E)ntrepreneurships dapat
60
berkembang maka harus ditopang oleh (I)nstitution yang efektif dan (L)eaderships yang kuat di suatu wilayah. Ketiga faktor ini oleh Stimson et al (2003, 2005, dan 2006) dan Stimson dan Stough (2008) disebut bagi faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah. Mengingat begitu sentral ketiga faktor endogenik tersebut, maka ketiga faktor ini perlu diulas lebih mendalam peranannya dalam pertumbuhan ekonomi wilayah.
2.8 Peran Faktor Endogenik Pembangunan Ekonomi bagi Pembangunan Wilayah Pendekatan tradisional dari berbagai teori pembangunan ekonomi wilayah utamanya didasarkan pada teori pertumbuhan eksogenus ekonomi neoklasik yang esensinya terkandung dalam Model Solow (1956) seperti diuraikan di atas. Namun evolusi dalam teori maupun strategi perencanaan pembangunan ekonomi wilayah kini telah mencapai pada perkembangan pada pentingnya peranan faktorfaktor endogenik (Stimson et al., 2006; Stimson et al., 2009). Perkembangan ini terjadi merupakan turunan dari munculnya (N)ew (G)rowth (T)heory yang dipelopori antara lain oleh Romer (1990), Lucas (1988) dan lainnya. Walaupun begitu menurut Stimson et al. (2009) sampai kini belum ada suatu definisi baku tentang pertumbuhan ekonomi secara endogenik tersebut. Begitu pula belum ada standar operasional yang spesifik yang dapat mengintegrasikan faktor-faktor endogenik yang telah banyak dihipotesiskan sebagai penentu bagi adanya keragaman kinerja pertumbuhan endogenik ekonomi menurut spasial.
Tetapi
menurut Stimson et al., (2009) kepeloporan dalam menggunakan faktor-faktor (E)ntrepreneurships, (L)eaderships dan (I)nstitutions yang diajukan oleh Stimson et al., (2003 dan 2005) patut untuk dicatat sebagai model yang mampu menjelaskan bekerjanya faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi wilayah secara endogenik tersebut. Karena itu ketiga faktor tersebut dianggap sebagai faktor-faktor endogenik. Argumentasi yang diajukan oleh Stimson et al, (2005) adalah bahwa ketiga faktor tersebut merupakan faktor yang menjadi penentu bagi akumulasi pengetahuan untuk menangkap peluang pasar (M=market) dengan melakukan realokasi sumberdaya yang tersedia (Re=resource endowment) di wilayah yang
61
bersangkutan. Model tersebut sudah diuji di Australia oleh Stimson et al., (2009) untuk menjelaskan pertumbuhan dan penyusutan tenaga kerja. Karena itu pemahaman mengenai ketiga faktor endogenik tersebut menempati tema sentral dalam penelitian ini.
2.8.1 Pengertian dan Peranan Faktor Leadership dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah (1) Pengertian Faktor Leadership Sebagaimana dikemukakan oleh Parkinson (1990 dikutip Stimson et al., 2003) bahwa (L)eaderships dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi wilayah bukanlah suatu konsep yang leksikal, tetapi harus dipandang sebagai suatu suasana kapasitas untuk menciptakan dan melanggengkan berbagai mekanisme maupun aliansi untuk mempromosikan regenerasi perekonomian dan mengidentifikasi sampai jangkauan micro-level skills maupun macro-level resource yang dapat membangkitkan kapasitas tersebut. Sementara ini banyak yang menganggap L sebagai ‖orang besar‖. Namun dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah, L
lebih tepat jika dipandang sebagai ekspresi dari suatu
collective action. Dengan demikian L umumnya bukan dipandang sebagai ―peran bintang‖ tetapi sebagai ―collective action”. Oleh karena itu L bisa didefinisikan sebagai ―tendensi komunitas untuk berkolaborasi dalam berbagai sektor kehidupan sehingga dapat meningkatkan kinerja perekonomian di suatu wilayah” (De Santis dan Stough, 1999). Lebih lanjut (De Satis dan Stough, 1999) menunjukkan bahwa dalam abad perekonomian yang baru seperti dewasa ini, meningkatnya saling kebergantungan dan perubahan teknologi yang sangat cepat telah membuat kolaborasi bukan saja merupakan suatu keinginan melainkan merupakan suatu keputusan yang kritis sifatnya.
Sebelumnya,
pengaruh
power
dan
decision-making
seringkali
digantungkan hanya pada seorang individu tunggal saja dan dalam keadaan seperti itu, L sepenuhnya hanya didasarkan pada suatu kekuasaan tradisional yang memisahkan secara tegas antara pemimpin terhadap pengikutnya. Namun kini, baik power, pengaruhnya, maupun proses pembuatan keputusan (decision making)-nya kini lebih terdispersi ke berbagai stake holders yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama (common goal). Harus dengan
62
melalui proses kolaborasi dan proses kolektifitas agar suatu wilayah dapat mencapai fleksibilitas maupun pengetahuan yang cukup dalam melakukan penyesuaian terhadap setiap guncangan (shock) maupun dalam mengikuti perubahan lingkungan yang terus berlanjut (Stough et al., 2001).
Dengan
demikian L dalam pembangunan ekonomi wilayah tidak akan bisa bertumpu pada relasi hirarki tradisional tetapi harus lebih bergantung: (i) pada hubungan kolaboratif antara para aktor yang terlibat sektor-sektor publik, privat, maupun komunitas; dan (ii) juga harus didasarkan pada mutual trust dan kooperasi (Stimson et al., 2006). Keadaan seperti itu akan selalu mengharuskan situasi pelibatan power sharing, fleksibilitas, dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurial) yang kuat agar dapat mengaktifkan tenaga (energizing) kepada wilayah sehingga dapat mengejar tantangan kekompetitifan dan agar dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya demi memenuhi tantangan tersebut. Semua persoalan tersebut melibatkan kapasitas yang ulet dalam berperilaku untuk menghadapi resiko (De Santis dan Stough, 1999).
(2) Peranan Faktor Leadership dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah Karena L memegang peranan yang utama dalam formulasi framework, maka sangat penting untuk membuat spesifikasi catatan mengenai atribusi bagi L yang dinilai baik untuk
pembangunan ekonomi wilayah.
Atribusi tersebut
meliputi: (i) menemukenali dan mengantisipasi berbagai problema, terutama kesetimbangan dalam skala besar yang dapat mengancamnya, (ii) memberikan induksi agar terjadi kolaborasi dan membangun konsensus diantara beragam pemangku kepenting, (iii) memberikan guidance bagi strategi pembangunan, (iv) menggalang
partispasi
yang
luas
dalam
strategi
pelaksanaannya,
(v)
membangkitkan (elicits) komitmen terhadap kekosongan (slack) sumberdaya kelembagaan untuk tujuan yang strategis, dan (vi) pada perlunya melakukan monitoring terhadap implementasinya untuk mengkaji kemajuannya (Stimson et al., 2005). Dengan demikian dan dalam pengertian secara umum bahwa (Re)source endowment di suatu wilayah dipandang bisa berkonotasi baik kepada keunggulan ataupun ketidakunggulan dari setiap wilayah. Namun suatu wilayah mungkin bisa
63
sukses sekalipun relatif miskin sumberdaya (Re)source endowment yaitu jika mampu menangkap oportunitas untuk ekspansi perkonomian dan oportunitas ini bisa dicapai melalui (L)eadership yang kuat dalam seting (I)nstitution yang efektif yang
bertindak
sebagai
katalisator
dalam
pengembangan
aktivitas
(E)ntepreneurial untuk merentangkan dan mengontrol Re yang ada dan untuk meningkatkan daya tangkap terhadap peluang pasar (M)arket tapping. Sebaliknya kinerja L yang buruk dan dengan I yang tidak sesuai atau tidak efektif maka seringkali menyebabkan Re tersebut digunakan secara tidak efektif pula dan oportunitas pasar pun tidak dapat dikejar atau ditangkap secara efektif pula (Stimson et al., 2003; 2005).
2.8.2 Pengertian dan Peran Faktor Institution dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah (1) Pengertian Faktor Institution Kelembagaan atau (I)nstitution merupakan suatu faktor yang kritis sifatnya dalam menyediakan ―struktur tata aturan” dan ―organisasi” yang berada dalam masyarakat. ―Government‖ merupakan suatu sistem yang mengatur wilayah, Provinsi, kabupaten, kota ataupun negara. Sedangkan “governance” adalah tata cara (tata kelola) ataupun proses bagi berjalannya tata pemerintahan ataupun berfungsinya pemerintahan (Stimson et al., 2005). Menurut Stimson et al. (2003) bahwa kerangka kelembagaan (institutional framework) akan sangat menentukan struktur insentif dan pada akhirnya akan menentukan berbagai oportunitas bagi setiap anggota dalam suatu masyarakat. Kinerja perekonomian dari suatu wilayah setiap saat pada dasarnya selalu dipengaruhi oleh bagaimana cara keterlibatan institusi, cara institusi menekan ketidakmenentuan (uncertainty), cara bagaimana institusi memperkenankan individu untuk dapat mengakses informasi, dan cara bagaimana institusi menekan ketidaksempurnaan pasar sehingga dapat menekan biaya transaksi (transaction cost). Institusi itulah yang dapat memberikan stabilitas dalam collective choices. Bila tidak ada mekanisme seperti itu, maka akan menyebabkan kekacauan dalam masyarakat. Pilihan yang diambil oleh para aktor politik
maupun agen ekonomi
dibentuk oleh peraturan, konvensi sepert nilai-nilai dan keyakinan yang melekat
64
dalam berbagai aspek seperti konstitusi, kepemilikan (property right) dan kendala-kendala informal, yang pada gilirannya akan menentukan kinerja suatu perekonomian. Keadaan awalnya dari faktor-faktor institusi dan derajat ke arah mana institusi membebankan kendala ataupun memfasilitasi tindakan untuk mencari oportunitas, merupakan aspek yang dipandang sebagai pengkondisian dalam proses akumulasi kapital dan merupakan hasil (outcome) dari suatu proses pembangunan ekonomi wilayah (Stimson dan Stough, 2008). Hal ini bisa terjadi karena karakter atau perilakunya dapat: (i) mereduksi biaya transformasi dan biaya produksi, (ii) meningkatkan trust diantara para aktor sosial maupun agen ekonomi, (iii) meningkatkan kapasitas entrepreneurial, (iv) meningkatkan proses pembelajaran dan mekanisme rasionalitas, dan (v) memperkuat jaringan dan kerjasama diantara para aktor (Stimson et al., 2005).
(2) Peranan Faktor Institusi dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah Dalam pembangunan ekonomi wilayah menurut Stimson et al., (2006) menunjukkan tentang pentingnya pengaturan kelembagaan yang memadai untuk mengelola proses dan strategi pembangunan wilayah dan untuk meyakinkan implementasinya. Jadi kapasitas dan kapabilitas dari institusi lokal untuk melakukan inisiasi, menjalankan dan untuk membuat perencanaan maupun untuk pengambilan keputusan itu semua merupakan aspek yang fundamental dalam proses tersebut. Pembangunan kapasitas kelembagaan sekarang dipandang sebagai faktor yang mendasar dalam setiap pembangunan ekonomi wilayah. Dewasa ini sedang banyak kajian yang berfokus pada konteks bagaimana untuk menciptakan ‖infrastruktur pembelajaran‖ dan ―learning region‖. Putnam et al. (1993) dan Fukuyama (1999) tidak membedakan antara (L)eadership dengan kelembagaan atau (I)nstitution. (L)eadership lebih dipandang sebagai suatu karakter dasar yang diberikan oleh kelembagaan dan bukan sebagai variabel yang terpisah. Pendek kata bahwa kinerja (baik ataupun buruknya) kelembagaan akan memberikan kondisi, insentif, maupun akan menguatkan (L)eaderships bagi kegiatan pembangunan ekonomi wilayah. Menurut Stimson dan Stough (2008), mungkin benar bila dipandang sebagai kinerja jangka panjang tetapi mungkin keliru untuk jangka pendek dimana kondisi
65
seperti kesetimbangan ditempatkan seperti telah melampaui 30 tahun ataupun bila telah terjadi peningkatan informasi atau umur pengetahuan. Dengan situasi seperti itu, kemampuan untuk merespon terhadap setiap kondisi perubahan harus dikendalikan oleh suatu agen. Dalam hal ini, dapat difahami argumentasi bahwa bila agen tersebut adalah faktor (L)eaderships dan berafiliasi dengan (E)ntrepreneurships karena semua agen tersebut secara inheren merupakan variabel yang berubah lebih cepat dari pada semua variabel selain dari variabel yang didefinisikan sebagai (I)nstitution tadi. Pada saat yang sama perlu dicatat bahwa wilayah-wilayah yang memiliki kelembagaan dan modal sosial yang kuat, ceteris paribus, maka mungkin bisa lebih cepat menciptakan (L)eaderships dan (E)ntrepreneurships yang dibutuhkan bagi keperluan adanya kondisi-kondisi agar terjadi perubahan ke arah yang diinginkan (Stimson dan Stough, 2008). Namun demikian pada saat yang sama juga dapat dipahami adanya argumentasi lainnya yaitu bahwa tingginya kualitas kelembagaan maupun sosial kapital mungkin telah membuat penyesuaian kepada kondisi seperti kondisi kesetimbangan (atau perubahan secara perlahan) yang menciptakan kemampuan yang kuat untuk dapat berlangsung dalam situasi tersebut. Tetapi mungkin menjadi kurang pas dalam merespon berbagai konteks perubahan seperti deindustrialisasi, perubahan teknologi (seperti ICT) dan perang ataupun epidemik (pestilence).
Dalam situasi seperti itu dapat diajukan argumentasi bahwa
(L)eadership dan (E)ntrepreneurships merupakan agen untuk mengarahkan dan membimbing ke jalan bagi institusi lainnya (seperti nilai, budaya, konstitusi, undang-undang dan peraturan ataupun konvensi) untuk berubah maupun untuk berdaptasi. Ringkasannya, (L)eadership dan (E)ntrepreneurship sebagai bagian dari stok kelembagaan yang cepat berubah sehingga dapat memberikan dinamika penyesuaian dalam menghadapi perubahan keadaan (Stimson et al., 2003).
2.8.3
Pengertian dan Peranan Faktor Entrepreneurship dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah
(1) Pengertian Faktor Entrepreneurships Menurut Kitzner (1973 dikutip Hien, 2010) bahwa kewirausahaan atau (E)ntrepreneurships adalah kesiagaan (alertness) terhadap adanya oportunitas
66
akan kemungkinan munculnya suatu profit baru.
Lebih lanjut menurut Hien
(2010) bahwa definisi yang kini telah diterima secara meluas tentang (E)ntrepreneurships adalah definisi yang dikemukakan oleh (Shane dan Venkataraman, 2000 dikutip Hien, 2010): adalah suatu proses penemuan dan proses eksploitasi terhadap oportunitas kemungkinan munculnya suatu profit baru yang belum diketahui oleh siapapun di dalam pasar. Oportunitas akan keuntungan baru berarti bukan yang muncul dari kerangka cara-akhir dari tindakan orang yang sudah ada (existing means-end framework). Di sini mean-end frame perlu difahami sebagai cara berfikir tentang hubungan antara aksi dengan output (Hien, 2010). Mengingat faktor E berkaitan erat dengan berbagai oportunitas yang baru, maka oportunitas tersebut memerlukan tindakan orang secara aktif dalam menciptakan suatu means-end framework ketimbang hanya mengoptimalkan framework lama yang sudah ada. Kata kesiagaan (alertness) dalam definisi yang dikemukan oleh Kizner punya implikasi bahwa E harus ‗menemukan‘ (discover) oportunitas baru dari stok pengetahuan yang ada. Dalam pengertian ini juga berarti bahwa oportunitas yang ditemukan oleh para entrepreneur itu ―sudah ada di sana‖, yang merupakan produk dari suatu proses pasar. Para partisipan pasar yang lain tidak menemukenalinya (recoginezed) terhadap means-end framework yang ada, dan oleh karena itu, oportunitas itu sebenarnya sedang menunggu orang lain yang menggunakan local knowledge yang dimiliki untuk menemukannya melalui penciptaannya (Acs dan Storey, 2004). Menurut Hien (2010) walaupun konseptualisasi E dari Shane dan Venkataraman (2000, dikutip Hien, 2010 ) secara luas sudah banyak diterima, namun operasionalisasi dari konsep ini sulit dilakukan dalam riset empiris. Oportunitas merupakan sesuatu yang tidak dapat diobservasi. maupun eksploitasinya pun demikian, tidak dapat diamati.
Penemuannya
Karena itu para
peneliti berupaya untuk menemukan indikator yang mencerminkan sebanyak mungkin keluaran yang menciri/efek dari proses entreprenuerial itu. Indikator tersebut
meliputi
inovasi,
risk-taking,
ataupun
berbagai
perkembangan
perekonomian di suatu wilayah. Dengan begitu maka kini ada banyak perbedaan di dalam conceptual frameworks tentang E diantara para teoritikus terhadap para
67
peneliti empiris dalam menggunaan indikator untuk mengukur E. Ada suatu rentang indikator dalam pengukuran yang dapat dipilih oleh para peneliti yang salah satunya ataupun beberapa untuk melakukan studi empiris, tak masalah dengan kerangka teori yang mereka pegang: apakah beraliran Schumpeterian, Kiznerian ataupun Knightian ataupun aliran lainnya. Dalam riset empiris, konsep kinerja entrepreneurial umumnya sering digunakan. Kinerja entreprenuerial umumnya mencerminkan upaya proses entrepreneurial. Dalam pengertian ini, kinerja entrepreneurial merupakan suatu outcome dari berbagai proses. Sehubungan dengan ini, maka pengukurannya bisa bertindak sebagai proksi bagi E. Namun ada beberapa indikator yang digunakan hanya untuk kinerja E tetapi bukan untuk kinerja enterpreneurial karena berbagai indikator
tersebut
hanya
menunjukkan
munculnya
berbagai
aktivitas
entrepreneurial ketimbang sebagai upaya-upaya entreprenuerial. Misalnya, selfemployment dan new firm entry merupakan 2 macam ukuran yang digunakan untuk merefleksikan kinerja E. Sementara itu, survival, growth, profitability dan initial public offering seringkali diadopsi untuk mengukur kinerja entrepreneurial. Secara simultan, aspek-aspek tersebut juga dapat digunakan untuk mengukur E (Shane et al., 2003 dikutip Hien, 2010). Dalam konteks ini indikator E dapat dibagi kedalam 2 kelompok menurut unit analisis yang digunakan: (i) pada level individual yang diturunkan dari karakteristik individual seperti self-employment atau kepemilikan bisnis, dan (ii) pada level bisnis yang didasarkan pada catatan statistik perusahaan seperti laju entri-eksit dalam bisnis.
Pengukuran Faktor Entreprenuership pada Tataran Individual Ukuran pertama E pada tataran individual adalah banyaknya orang atau tingkat memperkerjakan diri sendiri (self-employment).
Dalam tataran ini E
didefinisikan sebagai rasio jumlah self-employment terhadap angkatan kerja. Cara ini telah digunakan untuk membandingkan E antarnegara atau antarwilayah. Penggunaan yang meluas ukuran E pada level individu ini sebagian didorong oleh keserupaan defisini antarnegara (OECD, 2000). Keuntungan utama penggunaan self-emplyoment ini setidaknya dapat menangkap sebagian dari sejumlah orang yang telah melakukan aktivitas tahap
68
awal dengan cara membuat pilihan pekerjaan untuk dirinya sendiri. Namun ada beberapa keterbatasannya di sini. Pertama, laju self-employment dapat dikendalikan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi orang untuk pindah dari orang upahan ke self-employment ini; misalnya menjadi self-employment disebabkan oleh ketiadaan oportunitas pekerjaan, bukan karena memang pilihannya untuk menjadi self-employment. Kedua, ada masalah statistik dalam laju self-employment yang sangat dipengaruhi oleh struktur industri dan komposisi demografi tiap wilayah yurisdiksi (Hien, 2010). Sejumlah alternatif indikator didasarkan
pada perubahan dalam self-
employment yaitu ukuran transisi. Ukuran yang paling mendasar adalah laju entri-eksit ke self-employment sebagaimana yang digunakan oleh OECD (2000). Indikator lain yang mencerminkan dinamisnya pendekatan E adalah Total Entrepreneurial
Activity
(TEA)
indeks
yang
dihitung
oleh
Global
Entrepreneurship Monitor (GEM). Ukuran ini ditentukan oleh pangsa populasi dewasa yang terlibat dalam penciptaan enterprise dalam periode waktu tertentu. Jika dibandingkan dengan laju entri ke self-employment, maka keuntungan dari survai GEM adalah bahwa isu owner-manager dari penggabungan bisnis (incorporated business) bisa diminimalisir seperti survai yang fokus pada seluruh individu yang terlibat dalam fase start-up. Ukuran lain bagi aktivitas entreprenuerial lebih berfokus kepada penciptaan pertumbuhan seperti pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan profit dan pertumbuhan lapangan pekerjaan adalah dengan cara untuk mendefinisikan dan untuk melakukan pengukuran E sebagai orang-orang utama pada saat pre-startup, saat startup dan fase awal dari suatu bisnis. Definisi ini lebih condong ke arah entreprenuerial awal dan startup karena ukuran-ukuran itu merupakan target untuk pengukuran kebijakan.
Namun ada perubahan yang cukup besar dan
inovasi yang disumbangkan oleh incumbent entreprise kepada semua ukuran, ataupun apa yang seringkali ditunjukkan sebagai E (Acs dan Storey, 2004).
Pengukuran Faktor Entrepreneurships pada Tataran Bisnis Suatu keunggulan pengukuran dalam level bisnis adalah dalam hal penyertaan pemilikan tunggal selain dari incorporated business. Laju lahir-
69
matinya bisnis ataupun jumlah (turnover) dan perbedaan (net birth) merupakan indikator umum yang sering digunakan pada level bisnis. Indikator-indikator ini mencerminkan proses memulainya suatu enterprise yang baru. Keunggulan utama penggunaan laju kelahiran bisnis sebagai indikator E adalah pada keterwakilannya dari cara-cara utama dari berbagai macam orang yang membawa berbagai ide kedalam pasar. Perlu dibedakan di sini, penciptaan bisnis yang baru adalah untuk merepresentasikan suatu mekanisme yang digunakan oleh para entrepreneur dalam mengumpulkan, menggabungkan dan dalam mengkombinasikannya untuk membuat ide-ide agar mempunyai nilai komersial (Hien, 2010). Keterbatasan utama penggunaaan kreasi bisnis sebagai indikator E adalah tidak diketahuinya kelas ukuran bisnis seberapa yang paling sesuai. Di lain fihak, ketika kembali ke tataran empiris, beberapa persoalan sering muncul. Misalnya, sulitnya menemukan apakah suatu entri itu merupakan fakta suatu perusahaan baru ataukah merupakan hasil dari suatu merger; ataupun masuknya perusahaan hanyalah salah satu dari tugas-tugas entreprenuerial yang tidak perlu menunjukkan derajat yang sama dari inovasi diantara berbagai Negara (Hien, 2010). Kepemilikan bisnis (yang menjadi ukuran jumlah ataupun laju employerowned business), sering digunakan sebagai alternatif bagi self-employment. Serupa dengan laju self-employement, indikator ini sering digunakan untuk mengukur jumlah orang yang telah meninggalkan wage-based employment dan telah mengambil resiko untuk memulai kepemilikan bisnisnya. Penting untuk membedakan antara self-employment terhadap kepemilikan bisnis. Keduanya merupakan konsep yang berbeda dengan beberapa interseksi. Self-employment didefinisikan sebagai penampilan kinerja pekerjaan untuk keuntungan secara personal ketimbang bekerja karena dibayar oleh orang lain; self-employed person adalah bekerja untuk dirinya sendiri ketimbang untuk orang lainnya ataupun untuk perusahaan/kompanion (Shane dan Echardt, 2003 dikutip Hien, 2010). Sementara itu ownership merujuk kepada bagaimana suatu bisnis didirikan secara legal. Suatu kepemilikan bisnis tidak memerlukan penanganan langsung (hand-on approach) dalam operasionalnya sehari-hari bagi kompaninya, sedangkan untuk self-employed person harus memanfaatkan pendekatan yang
70
sangat memerlukan penanganan langsung agar dapat survive. Akibatnya, studi tentang self-employment
dapat meliputi stituasi dalam self-employed person
incorporate suatu bisnis dan memperkerjakan orang lain, juga dalam berbagai situasi yang mana hal-hal tersebut tidak muncul. Sedangkan studi tentang kepemilikan bisnis mencakup suatu rentang dari yang biasanya small selfemployer owned bussiness (kepemilikan tunggal) sampai ke rentang bentukbentuk kepemilikan bisnis yang besar yang terdaftar secara legal seperti kemitraan (partnership), koperasi, dan korporasi (Hien, 2010). Lebih lanjut menurut Hien (2010), bahwa secara empiris ada dua macam konsep yang seringkali digunakan dan saling dipertukarkan sebagai ukuran E. Beberapa peneliti memfokuskan pada studi tentang self-employment; sedangkan beberapa peneliti lainnya mendefinisikan entrepreneur sebagai pemilik bisnis. Perbedaan antarkedua kelompok tersebut tidak begitu penting untuk diterapkan di negara-negara maju. Namun secara empiris memperlihatkan bahwa kepemilikan bisnis berbeda dalam cara-cara yang penting terhadap self-employment di negaranegara berkembang. Oleh van Praag et al., (2002) ditunjukkan kasus di Kolombia bahwa self-employment dalam sektor-sektor informal lebih prevalen dari pada kepemilikan bisnis di sektor-sektor informal, dan kepemilikan bisnis berasosiasi dengan E sedangkan self-employment secara mendasar merupakan suatu aktivitas yang subsisten sifatnya. Harapan yang diinginkan ketika indikator kepemilikan bisnis ini digunakan adalah bahwa pada level yang lebih tinggi kepemilikan bisnis menunjukkan suatu wilayah entrepreneurial yang lebih banyak yang dimana orang lebih siaga terhadap berbagai oportunitas entrepreneurial yang mungkin muncul. Kepemilikan bisnis merupakan ukuran yang ideal karena dapat meniadakan akan keperluan untuk mengukur kelas (besar-kecilnya) perusahaan. Ukuran ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan derajat aktivitas entrepreneurial (Hien, 2010). Menurut Fritsch (2008) ukuran tersebut merupakan proksi yang sangat bermanfaat bagi aktivitas entrepreneurial ketika melakukan pembandingan lintas negara maupun antarwaktu. Namun hal itu tidaklah jelas bagaimana caranya untuk membedakan struktur kepemilikan dan pengaturan yang akan diukur.
71
Ketika melakukan interpretasi terhadap ukuran-ukuran itu, maka pembuatan bersama semua tipe terhadap berbagai aktivitas yang heterogen sifatnya untuk sepanjang spektrum sektor yang luas dan konteksnya dalam ukuran yang terpisah ataupun ukuran yang tersendiri. Ukuran tersebut memandang semua bisnis adalah sama, baik itu bisnis yang menggunakan teknologi tinggi maupun teknologi sederhana. Dalam hal ini tidak memperhitungkan pengaruh besarnya industri ataupun dampak dari industri yang ukurannya beragam. Di lain fihak, itu hanya mengukur stok bisnis dan bukanlah start up yang baru. Laju pertumbuhan dan survivalnya perusahaan baru juga merupakan ukuran yang umum untuk menggambarkan kuat-lemahnya suatu E di suatu wilayah. Rasio pertumbuhan bisnis baru terhadap total bisnis yang ada dalam suatu perekonomian telah digunakan untuk melakukan karakterisasi E. Namun landasan teori terhadap ukuran-ukuran tersebut agak terbatas. Tidaklah pasti, apakah suatu tingkat survive yang besar merupakan suatu indikator besar-kecilnya kekuatan E. Memang benar bila suatu tingkat survival yang lebih lama itulah yang bisa dijadikan indikator bagi cerminan tingginya jiwa entrepreneurial perekonomian di suatu wilayah (van Praag et al., 2002). Ukuran-ukuran lain bagi E lebih difokuskan pada perubahan yang berasosiasi dengan berbagai aktivitas inovasi dalam suatu industri. Ukuran-ukuran tersebut mencakup indikator aktivitas R & D, jumlah penemuan paten, dan produk inovasi baru yang diperkenalkan ke dalam pasar. Ukuran-ukuran ini punya keunggulan
termasuk
hanya
perusahaan-perusahaan
yang
secara
aktual
membangkitkan perubahan inovatif pada level industri saja yaitu pada level di luar perusahaan itu sendiri. Namun, berbagai ukuran semacam itu harus selalu dikuantifikasi oleh kegagalannya dalam menggabungkan jenis-jenis yang signifikan tentang aktivitas yang inovatif dan perubahan tidak dicerminkan oleh ukuran-ukuran semacam itu (Hien, 2010).
Peranan Faktor (E)ntrepreneurship dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Menurut Hein (2010) meskipun peranan (E)ntrepreneurships telah ditemukenali oleh beberapa ekonom terkenal seperti Schumpeter, Knight, dan Mises tetapi baru beberapa tahun belakangan saja secara sistematis E diusulkan
72
sebagai faktor tambahan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi. Beberapa ahli belakangan ini memposisikan faktor E pada bagian utama sebagai komponen yang ke empat yang baru dari ―New Growth Theory‖ yang dikenal sebagai entrepreneurial capital (EC), selain traditional capital, labor, knowledge pada tatanan riset regional. EC dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem perekonomian di suatu wilayah dalam membangkitkan segala aktivitas entrepreneurial. Pengertian ini mencerminkan begitu luasnya rentang aspek legal, faktor (I)nstitusi maupun faktor sosial. Unit spasial yang relevan untuk melakukan pengukuran terhadap EC biasanya bisa negara, wilayah ataupun kota sebagai unit analisisnya. Walaupun pengukuran EC bersifat multifaset dan heterogen sifatnya, tetapi pengukuran tersebut mengejawantah (manifests) dengan sendirinya dalam munculnya berbagai perusahaan baru (the start up new enterprises). Ada 3 saluran bagaimana E yang secara positif dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu: (i) meningkatkan inovasi dan knowledge spillover, (ii) meningkatkan kompetisi, serta (iii) meningkatkan keragaman dalam berbagai sektor perekonomian maupun melalui munculnya keragaman perusahaan. Melalui saluran yang pertama, E merupakan mekanisme yang dapat meningkatkan permeabilitas kedapnya filter pengetahuan, memfasilitasi the spillover of new knowledge yang pada akhirnya membangkitkan aktivitas perekonomian untuk mencapai surplus dan pertumbuhan ekonomi Acs dan Storey (2004). Pengetahuan baru punya suatu pengaruh positif secara langsung pada perekembangan perekonomian wilayah dan secara tidak langsung punya pengaruh positif terhadap perilaku enterpreneurial. Sebagai bagian dari pengetahuan baru yang akan digunakan oleh para entrepreneur, maka (E)ntrepreneurship akan meningkatkan daya eksploitasinya terhadap pengetahuan baru sebegitu rupa sehingga punya dampak positif terhadap kinerja perekonomian di suatu wilayah. Namun, kapasitas suatu perekonomian dalam membangkitkan perilaku entrepreneurial yang produktif tersebut dibentuk oleh perluasan EC yang melandasinya. Perilaku entrepreneurial melibatkan start up and growth of new enterprises yang bertindak sebagai suatu mekanisme bagi knowledge spill-over dari sumber asalnya. Teori imbasan pengetahuan (knowledge spill-over) telah memposisikan entrepreneurship sebagai hasil dari oportunitas yang tercipta
73
melalui aktivitas kreatif dalam suatu usaha atau ventura. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan
yang
baru
mengembangkan
kapasitasnya
dalam
mengadaptasi cara-cara baru maupun ide-ide yang telah ada sebelumnya (yang telah dikembangkan oleh perusahaaan-perusahaan lainnya) dengan resource endowment berupa pengetahuan ekonomi yang baru yang umumnya dihasilkan dari penelitian universitas (Agarwal et al., 2007). Melalui
saluran
yang ke dua,
bahwa (E)ntrepreneurship
dapat
meningkatkan kompetisi untuk ide-ide baru yang melekat dalam agen-agen ekonomi, yang memfasilitasi masuknya berbagai perusahaan baru yang melakukan proses spesialisasi untuk beberapa produk baru yang berceruk (niche) di dalam suatu wilayah ataupun kota. Pada gilirannya proses ini dapat meningkatkan pertumbuhan kinerja perekonomian suatu wilayah ataupun kota. Akhirnya, E meningkat kerena karagaman lingkungan regional akan pengetahuan pertukaran dengan berbagai keragaman industri maupun perusahaan yang menyebabkan
eksternalitas pengetahuan dan pada ujungnya meningkatkan
aktivitas inovasi maupun pertumbuhan ekonomi (Hien, 2010). Menurut Fritsch (2008) pengaruh EC terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah berlangsung melalui mekanisme: (i) efek turbulen pada pertumbuhan ekonomi, (ii) efek perubahan ukuran distribusi dalam suatu wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengiringnya, dan (iii) efek dari banyaknya partisipan pasar dalam suatu industri terhadap pertumbuhan ekonomi (efek kompetisi); dan (iv) efek dari banyaknya self-employed terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengiringinya. Efek turbulen terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengiringinya bersifat bauran (mixed) dan tak tersimpulkan (inconclusive). Pada tataran industri bahwa entry-exit turnover hanya punya dampak nyata terhadap pertumbuhan produktivitas industri dalam jangka panjang (Hien, 2010). Brixy and Grotz (2006 dikutip Hien, 2010) mengklaim bahwa efek turbulensi secara positif mempengaruhi pertumbuhan TFP (total factor productivity) untuk sektor jasa namun tidaklah demikian untuk sektor manufaktur. Pada tataran wilayah, beberapa studi yang relevan telah berusaha untuk menghubungkan terhadap berbagai ukuran tentang aktivitas E, hampir semua mencirikan tingkat start up
74
terhadap pertumbuhan ekonomi, umumnya dalam ukuran pertumbuhan lapangan pekerjaan (Acs dan Storey, 2004).Efek perubahan dari ukuran distribusi perusahaan-perusahaan terhadap kinerja pertumbuhan yang mengiringinya appears clear-cut. Mayoritas dari berbagai studi tersebut memposisikan bahwa saham dari UKM baik pada tataran industri maupun tataran wilayah punya efek yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi tahun-tahun yang mengiringi (OECD, 2000). Menurut Hien (2010) cukup banyak studi terbaru yang mengkaji dampak E terhadap pembangunan ekonomi.
Namun, hasilnya masih baur (mixed)
tergantung pada ukuran yang digunakan untuk mengukur pembangunan ekonomi yang digunakan (GDP per kapita, pertumbuhan pekerjaan ataupun pertumbuhan produktivitas) dan ukuran E (self-employed rate ataupun indeks pembentuk perusahaan yang baru). Seperti Acs dan Storey (2004) menyatakan bahwa áda bukti dari beberapa negara tentang suatu link antara peningkatan dalam hal formasi perusahaan baru dengan perkembangan ekonomi yang mengiringinya. Namun, hubungan ini tidak selalu muncul dalam setiap studi. Kemudian nonappearence dari link bisa mencerminkan error pada variabel kunci. Hal ini juga mencerminkan varibel bias yang terhilangkan. Namun ini mungkin juga disebabkan oleh perbedaan riil antarnegara ataupun antarwaktu studi.
2.9
Risalah Teori Pembangunan Ekonomi Wilayah Menurut Stimson dan Stough (2008) bahwa strategi perencanaan
pembangunan ekonomi wilayah tidak terlepas dari evolusi paradigma ilmu ekonomi wilayah yang melatarbelakanginya. Secara ringkas dari perubahan paradigma yang dibentuk oleh teori pembangunan ekonomi wilayah disajikan dalam Gambar 15. Penting untuk disadari bahwa dalam perkembangan tersebut terdapat horison waktunya yang overlap antara kebijakan ekonomi dengan paradigma strategi pembangunan ekonomi wilayah, keduanya baik yang sifatnya filosofis ataupun pragmatis, mencerminkan realitas evolusi perubahan dalam pendekatan-pendekatan paradigma yang digunakan.
75
Fokus dalam Kebijakan Ekonomi Pemikiran dari Keynisian Setelah Perang Dunia II
1960 Public Economic Development Agency
1970 Regulatory Economic Development Mixed Economic Development
Focus on Vule-adding strategies Incorporating workforce & technology change
Pemikiran regim Moneterism Mid1970-an-90-an
Pemikiran Rasionalisme Akhir 1980an90an
Sustainablity
1980
1990
2000
Innisiative to reduce social desparities by incorporating disadvantaged group into the mainstream economy
Initiative to improve enviromental and overall quality of life to attract hilly skilled workers and firms
Sustainable development
Fokus dalam Strategi Perencanaan Ekonomi Comparative Advantage Competitive Advantage Collaborative Advantage Master Planning Infrastructure Oriented
Goals & Objectives Planning
Structural Planning
Strategic Planning
Integrated Planning
Multisector Integrated Strategic Planning
Sumber: Stimson dan Stough (2008).
Gambar 15. Perubahan fokus kebijakan pembangunan ekonomi dan strategi perencanaan
Seperti dapat dilihat dalam Gambar 15 tersebut, pada separo bagian diagram bagian atas untuk menunjukkan fokus perubahan paradigma pemikiran kebijakan ekonomi dan separo bagian bawah untuk perubahan fokus dalam strategi Perencanan Ekonomi Wilayah. Dalam hal ini dapat diidentikkan bahwa fokus kebijakan ekonomi merupakan penyebab, sedangkan fokus strategi perencaan ekonomi adalah akibat. Kedua pakar ini membuat periodisasi sepuluh tahunan mulai tahun 1960-an sampai periode 2000-an. Periodisasi ini dimaksudkan untuk memudahkan sekalipun dalam realitasnya yang sebenarnya terjadi overlapping waktu. Untuk menunjukkan overlapping itu dibantu dengan petunjuk anak panah. Fokus kebijakan ekonomi berevolusi dalam 4 pemikiran, yaitu: Keynesian (setelah Perang Dunia II sampai dekade 1970-an), ke moneterism (dekade 1970-
76
an sampai 1990-an), ke rationalism (1980-an sampai 1990-an) dan pada dekade 2000-an kini pada Pemikiran Kebersinambungan. Keempat pemikiran tersebut menurunkan perkembangan lima praksis kebijakan ekonomi secara berturut-turut: kebijakan ekonomi publik, ke pengaturan pembangunan ekonomi (mix economic development), ke suatu strategi tambah nilai (value added), ke inisiatif untuk menekan kesenjangan dengan cara melibatkan kelompok yang kurang beruntung, ke inisiatif perbaikan lingkungan dan kualitas hidup dan kebijakan pembangunan berkesinambungan.
kini
pada praksis
Perkembangan teori dan praksis
kebijakan ekonomi tersebut, sesuai dengan periodenya telah melahirkan sekuen perkembangan Fokus Strategi Perencanaan yaitu Comparative Advantage (awal dekade 1970-an sampai akhir 1980-an), disusul dan overlap dengan Competitive Advantage (akhir dekade 1970-an sampai awal 2000-an, kemudian disusul Collaborative Advantage pada awal 2000-an sampai sekarang. Sebagaimana dengan perkembangan pada fokus Kebijakan Ekonomi, pada fokus Strategi Perencanaan Ekonomi Wilayah juga menurunkan lima sekuen praksis Strategi Perencanaan yaitu: Master Planning (awal-akhir 1960-an); Goals and Objectives Planning (awal-akhir 1970-an); Structural Planning (awal-akhir 1980-an); Strategic Planning (akhir 1980-an sampai awal 1990-an); Integrated Strategic Planning (awal-akhir 1990-an) dan Multisector Integrated Strategic Planning mulai dari akhir 1990-an sampai sekarang. Stimson et al. (2006) sebelumnya mendiskusikan risalah ini secara garis besar, yang esensinya berkisar tidak terlepas dari persoalan-persolan tentang: (1) Kemampuan teori ekonomi neoklasik yang memberikan layanan sebagai dasar bagi teori pengembangan ekonomi wilayah, (2) Evaluasi terhadap kebijakan ekonomi dari pemikiran Keynesian dan dikaitkan dengan paradigma master planning, (3) Pergeseran menurut waktu dari fokus keunggulan komparatif ke keunggulan kompetitif dan kemudian ke keunggulan kolaboratif, (4) Berbagai proses globalisasi dan munculnya perhatian untuk mencapai pembangunan berkesinambungan, dan yang fokus pada self-help dalam mengejar pertumbuhan endogenik wilayah.
77
2.9.1
Dari Keunggulan Komparatif ke Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Kolaboratif Berkaitan dengan perkembangan fokus Strategi Perencanaan Ekonomi
Wilayah dalam konteks penelitian ini penting untuk dikaji lebih jauh. Menurut Stimson et al. (2006) ada 5 dekade yang diwakili oleh transformasi dari ‗the post industiral„ atau oleh fordist‟ era, sampai ke post industrial era dari new knowledge economy, telah terjadi perubahan fokus pada keunggulan komparatif ke fokus keunggulan kompetitif ketika moneterisme mulai mempengaruhi kebijakan ekonomi makro, dan kemudian ke keunggulan kolaboratif. Pergeseran itu dicerminkan dalam evolusi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah. Evolusi dari keungulan komparatif ke kompetitif dan akhirnya ke keunggulan kolaboratif perlu didiskusikan di sini untuk menggambarkan bagaimana satu instrumen dari strategi pengembangan ekonomi wilayah itu muncul dan karena itu lebih lanjut untuk menggambarkan lebih luas tentang proses pembuatan strateginya. Pandangan yang paling tua (yaitu keunggulan komparatif) dibangkitkan oleh teori ekonomi perdagangan internasional, yang menunjukkan bahwa suatu bangsa atau wilayah perlu atau harus melakukan spesialisasi dalam industri yang mempunyai keunggulan komparatif terutama resource endowment yang dimiliki sehingga punya keunggulan faktor biaya dalam melakukan suatu produksi barangbarang tertentu. Hingga pertengahan 1970-an fokus dari paradigma master planning, goal and objective planning¸ serta structural planning dalam melakukan kebijakan perencanaan telah mempertahankan prinsip-prinsip dari keunggulan komparatif ini. Kebijakan perencanaan utamanya diarahkan kepada pencapaian biaya-biaya produksi relatif paling murah (dalam hal tenaga kerja, material, energi, pajak-pajak dan infrastruktur) dibandingkan terhadap kompetitornya. Keunggulan komparatif berakar secara kuat pada ilmu ekonomi sisi suplay, yang menjelaskan bahwa barang dan jasa diproduksi dan surplusnya dijual (seringkali dengan dukungan subsidi dan insentif) untuk tujuan pasar internasional maupun domestik. Belakangan selama dekade 1980-an, melalui pengaruh penulis seperti Porter (1990) fokus strategi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah
78
berubah ke arah keunggulan kompetitif yang menempatkan fokus yang sifatnya kurang kasat mata atau ‗value factor‟ yang di dalamnya termasuk faktor efisiensi, faktor kinerja dan atribut kualitatif seperti kualitas hidup, human and social capitals, dan trust
(Putnam, 1993; Fukuyama, 1995) ketimbang pada hanya
menonjolkan faktor perbedaan biaya dari konsep keunggulan komparatif tersebut. Jadi keunggulan kompetitif penekanannya telah berubah ke arah pandangan bahwa wilayah perlu memfasilitasi berbagai kebijakan dan strategi pelaksanaan untuk mempromosikan keunggulan kompetitif yang dimilikinya. Kebutuhan itu tidak hanya terletak pada cost advantage (terutama yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas barang dan jasa yang diperdagangkan) tetapi juga pada competitive advantage yang bertalian dengan faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan pengembangan bisnis dan untuk meminimalisir berbagai resiko. Namun menurut Stimson et al., (2009) dewasa ini masih banyak pemerintahan terus mempromosikan perbedaan
keunggulan komparartif
(comparative advantage) dan menyediakan insentif untuk menarik kegiatan ekonomi agar mau masuk ke wilayahnya. Perilaku pemerintah seperti ini masih tetap terpaku pada kebijakan strategi keunggulan komparatif, bukan strategi keunggulan kompetitif. Strategi dari kedua macam keunggulan itu berarti masih berkutat pada penerapan secara kuat tentang strategi kalah/menang (win/lose scenario). Belakangan ini perencanaan dan pengembangan ekonomi telah mempromosikan berbagai strategi untuk mencari pengembangan dan mempromosikan keunggulan saling bekerjasama (collaborative advantage), dimana berbagai perusahaan perlu berkolaborasi dalam berkompetisi sebagai suatu strategi keunggulan terutama melalui kemitraan dan aliansi (partnership and alliance).
Perkembangan itu
mencerminkan sikap bisnis (business attitude), dalam hal ini kalangan bisnis dan organisasi yang telah memiliki pertimbangan rivalnya sendiri-sendiri, sekarang secara aktif mencari mitra strategik dan beraliansi, maupun bentuk-bentuk kolaborasi lainnya untuk mengeksplorasi berbagai oportunitas dan secara sinergi dapat menginduksi benefit untuk memenangkan, mengkreasikan dan memperluas kesempatan bisnisnya.
79
Dalam skema keunggunlan kolaboratif itu menurut Stimson dan Stough (2008) telah muncul
keinginan untuk
mencari kebersinambungan dan
pertumbuhan ekonomi secara menang/menang (win/win scenariao) sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan ekonomi.
Strategi ini adalah loosely
refered bagi keunggulan kolaboratif. Strategi ini mewakili suatu paradigma yang belakangan muncul dalam strategi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah dan strategi ini tergantung pada suatu integrasi yang lebih besar, kerjasama (cooperation), diantara berbagai kalangan bisnis, pemerintah dan komunitas. Ini juga merupakan bentuk new trust menuju kenunggulan kolaboratif. Bagaimana untuk mencapainya itu telah menjadi suatu elemen yang umum dalam pendekatan baru dan yang sedang berkembang dalam memformulasikan strategi perencanaan pembangunan wilayah dan implementasinya pada sejak pertengahan dekade 1990an. 2.9.2
Globalisasi, Pembangunan Berkesinambungan dan Gagasan tentang Regional Self-Help
Terjadinya kelimpahan modal di pasar uang pada decade 1980-an diikuti dengan guncangan tahun 1987 dan resesi di tahun 1989, telah mengarah pada pergeseran paradigma yang berfokus pada pembangunan yang berkesinambungan. Pada dekade 1980-an dan memasuki dekade awal 1990-an, berbagai peristiwa telah terjadi secara paralel yang kemudian memberikan dampak nyata terhadap pemikiran ekonomi dan evolusi tentang the best practice dalam strategi perencanaan
pembangunan
wilayah.
Ini
termasuk
dalam
globalisasi,
pembangunan berkesinambungan dan ekonomi rasionalisme. Pertama kali perlu melihat berbagai kekuatan interaksi bersama dan kemudian melakukan analisis imperatif dari semua pengaruh itu dalam strategi perencanaan pembangunan dan upaya-upaya yang berkaitan (Stimson dan Stough, 2008). Pertama, bahwa globalisasi terus berlangsung mempunyai dampak utama dalam restrukturisasi perekonomian dari suatu wilayah yang bisa positif maupun merugikan terhadap kinerjanya ataupun kemungkinan di masa depan. Pada awal dekade 1990-an, dampak globalisasi telah mengubah wajah dan lokasi produksi, menyebabkan terjadinya spesilaisasi lanjut ataupun terjadinya klastering (Dicken, 1992 dikutip Stimson dan Stough, 2008). Globalisasi telah menyebabkan
80
munculnya masyarakat yang bersifat borderless disertai dengan bebasnya arus informasi, dan mobilitas dana antarnegara secara cepat. Adanya transparasi dana yang lebih baik dalam proses bisnis ataupun dalam pemerintahan. Berbagai perubahan tersebut mereduksi pentingnya nation state dan meningkatnya arah fokus ke berbagai kota maupun wilayah-wilayah utama sebagai pusat dan mesin pertumbuhan. Terutama, beberapa wilayah metropolitan dunia dipandang menjadi fokus dominan dari kekuatan-kekuatan yang mengendalikan pertumbuhan lapangan pekerjaan, investasi, dan distribusi jaringan tempat pasar global yang sedang berlangsung. Dengan berbagai perubahan itu maka muncul fokus baru kepada wilayah ketimbang fokus kepada perekonomian nasional, seperti pemerintah meletakkan penekanan pada kebutuhan akan keahlian dari tenaga kerja (yaitu kualitas buruh) dan penekanan pada technology driven investment. Sebagai tambahan bahwa dengan globalisasi tersebut, korporasi tranasional kemudian melakukan eksploitasi terhadap adanya perbedaan regional yang tercipta,
baik oleh karena strategi keunggulan
komparatif maupun keunggulan kompetitif, seperti kebijakan-kebijakan proteksi dan intervensionist yang ditarik oleh pemerintah (Stimson dan Stough, 2008). Kedua, adanya berbagai isu yang berhubungan dengan pembangunan berkesinambungan dan kualitas hidup mulai punya pengaruh nyata terhadap pengembangan ekonomi lokal dan kibijakan perencanaan. Tumbuhnya kesadaran akan
lingkungan,
masalah-masalah
sosial,
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkesinambungan telah mengarahkan kepada integrated strategic planning untuk pengembangan ekonomi pada dekade 1990, seperti Gambar 15 (Stimson dan Stough, 2008). Selama dekade 1990-an dan memasuki dekade milenium baru, maka mulai muncul clash antara globalisasi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu-isu untuk melakukan pembangunan berkesinambungan dan peningkatan kualitas hidup. Fenomena itu mengarahkan munculnya paradigma baru dalam pemikiran ekonomi, yaitu bagaimana untuk mencapai pembangunan secara berkesinambungan. Untuk mencapai pembangunan berkesinambungan sekarang menghadapi tantangan yang mengerikan (formidable) bagi para pembuat kebijakan ekonomi regional karena mereka harus mencari formula strategi dalam
81
suatu lingkungan yang baru dan cepat berubah, ketidakmenentuan juga berhubungan dengan pencapain pemeliharaan secara kontinyu, renewable dan berkaitan dengan sistem sosial serta lingkungan yang berkesinambungan pula. Ketiga, antara dekade 1980-1990-an juga merupakan abad ekonomi rasionalisme dengan penekanan pada kebijakan publik akan korporatisasi dan privatisasi terhadap aset-aset publik dan fungsi-fungsinya. Ideologi neoliberal yang menjadi batu loncatan bagi pengembangan ekonomi wilayah dan strategi perencanaan di berbagai negara difokuskan pada pandangan bahwa kebijakan sentral ataupun nasional harus mencari kondisi fasilitasi yang akan mampu mendorong pengembangan kapasitas dan kapabilitas lokal dalam tiap wilayah dengan mengandalkan pada strategi self-help. Hal itu mewakili pergeseran nyata pada penekanan proses-proses endogenik bagi pertumbuhan dan perkembangan wilayah. Jadi dari dekade 1990-an, peningkatan fokus pada integrated strategic planning sebagai suatu paradigma yang pervasive bagi pengembangan ekonomi telah mengarahkan suatu interest baru dalam klaster-klaster industri dan peranan dari smart and soft infrastructure dalam berbagai proses penyusunan perencanaan dan pengembangan ekonomi wilayah. Sebagiamana dibahas oleh Stimson et al. (2006) munculnya perhatian kepada keberkesinambungan telah mengarahkan pada evolusi dari suatu paradigm baru
untuk
memandang
pertumbuhan
dan
pembangunan.
Model-model
pertumbuhan tradisional didasarkan pada premis-premis lama seperti: (i) tujuan maksimalisasi keuntungan, (ii) produksi masyarakat dan konsumsi yang merupakan sumberdaya intensif dan konsentrasi di pusat-pusat kota besar, (iii) teknologi berbasis energi fosil, (iv) pemusatan skala besar sistem industri, (iv) asumsi bahwa manusia dominan terhadap sumberdaya alam (yang dianggap melimpah dan tak terbatas) maupun terhadap lingkungan (v) maksimalisasi tujuan dari sosial benefit. Namun paradigma pembangunan berkesinambungan yang baru tersebut adalah didasarkan pada premis: (i) tujuan yang viable bagi pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan, (ii) konservasi sumberdaya dalam proses produksi melalui efisiensi energi, teknologi, dan penyebaran pusat-pusat produksi pada skala yang lebih lokal, (iii) suatu pergeseran ke arah energi alternatif, daur ulang dan konservasi sumberdaya yang dapat habis berpaham bahwa
82
kebergantungan sumberdya yang dapat habis dan sering tidak dapat digantikan, dan bahwa konservasi merupakan suatu prinsip long term viability. Jadi perbaikan dalam kinerja regional mungkin tidak perlu didefinisikan ataupun dipandang dalam ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi saja sebagaimana definisi tipikal dalam ukuran pertumbuhan PDB perkapita. Lebih lanjut bahwa tidak ada pertumbuhan tidak sama dengan tidak ada pengembangan.
Lebih
merupakan pada apa yang dipandang sebagai yang menjadi penting oleh sasaran pembangunan berkesinambungan, walaupun pembangunan yang demikian ini harus meminimalkan biaya
(baik itu biaya ekonomi, sosial, maupun biaya
lingkungan) dan eksternalitas negatif, serta maksimalisasi manfaat. Ini melangsir isu-isu trade off yang menantang bagi para perencana maupun para pengambil kebijakan (Stimson dan Stough, 2008). 2.9.3 Kebutuhan terhadap Adanya The New Growth Theory Selama dekade 1980-an (saat fokus paradigma kebijakan ekonomi telah bergeser ke moneterisme dan ekonomi rasionalisme), telah terjadi pergeseran dari keunggulan komparatif suatu wilayah ke keunggulan kompetitif, dan telah terjadi pergeseran strategi perencanaan dari Master Planing dan Struktural Planing kepada Pardigma Startegic Planning. Berkaitan dengan itu perlu konseptualisasi pertumbuhan ekonomi regional dan pembangunan telah mulai muncul apa yang sekarang dikenal dengan ‗New Growth Theory‘ (Stimson dan Stough, 2008). Rees (1979 dikutip Stimson et al., 2006) mengusulkan bahwa teknologi merupakan pengendali utama dalam pembangunan ekonomi wilayah. Sejak itu hingga 2 sampai 3 dekade, ternyata literatur ilmu regional telah memperlihatkan bagaimana teknologi secara langsung banyak dikaitkan dengan konsep aglomerasi perekonomian dalam pengembangan ekonomi wilayah. Setelah periode tersebut banyak dikaitkan ke konsep baru yaitu konsep tentang kewirausahaan atau entrepreneurship lama (yang dikemas kembali), kelembagaan dan leadership (Stimson et al., 2006). Lucas, (1988) dan Romer (1990) telah mencari hubungan untuk menjelaskan perkembangan teknis (technical progress) dalam perannya sebagai generator perkembangan ekonomi yang merupakan pengaruh endogenik
83
(ketimbang eksogenus) sebagai faktor yang diyakini oleh ekonom neoklasik dalam periode yang sangat lama.
Erickson (1994) adalah diantaranya yang
menunjukkan bahwa perubahan teknologi berkaitan dengan kekompetitifannya suatu wilayah. Selain itu, siklus produk, bila digabungkan kedalam spatial setting secara berbeda dalam suatu wilayah maka ada melalui 3 tahap yaitu: (i) tahap inovasi, (ii) tahap pertumbuhan, (iii) tahap standarisasi (Stimson et al., 2006). Selama periode transisi, suatu produksi akan bergeser dari wilayah asal yang berbiaya tinggi ke wilayah dengan biaya produksi yang lebih rendah. Pergeseran tempat produksi ini seringkali bahkan harus merelokasi ke luar negeri, dengan cara mempercepat evolusi proses internasionalisasi dalam proses produksi. Dengan begitu beberapa wilayah merupakan innovator, sementara wilayah lainnya menjadi cabang pabriknya ataupun resipien dari inovasi tersebut, dan ini mungkin menjadi inovator melalui pertumbuhan endogenik. Markusen (1985 dalam Affandi, 2009) memperluas penerapan teori siklus produk dengan cara mengartikulasikan bagaimana siklus profit dan oligopoli dalam berbagai jenis organisasi dan pengembangan korporasi bisa melipatgandakan perbedaan pengembangan wilayah. Konsep
tentang
innovative
mellieu
harus
diformulasikan
untuk
menjelaskan : how, when and why dari suatu generasi teknologi baru. Gagasan itu berhubungan
kembali
tentang
pentingnya
untuk
melakukan
aglomerasi
perekonomian dan lokalisasi ekonomi yang telah dipandang lebih maju dalam pengembangan ruang-ruang industri baru (Krugman, 1991, 2010a, dan 2010b). Fukuyama (1999) telah menunjukkan bahwa bukan hanya faktor ekonomi saja penentunya tetapi juga faktor-faktor nilai dan kultur – termasuk modal sosial dan trust— yang sangat penting bagi peningkatan aglomerasi teknologi tersebut. Fenomena pada Silicon Valley merupakan contoh nyata, di sana terjadi kolaborasi diantara berbagai pengusaha kecil dan menengah melalui jejaring dan aliansi serta hubungan dengan universitas, meniru suatu Research & Development serta iklim bisnis entrepreneurships. Namun Ress (2001 dikutip Stimson et al., 2006) menunjukkan bahwa teori yang didasarkan pada teknologi untuk pengembangan ekonomi wilayah perlu mengintegrasikan peranan entrepreneurships dan leaderships utamanya sebagai
84
faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah dan oleh karena itu link antara peranan perubahan teknologi dan leadership yang dapat diarahkan ke pertumbuhan wilayah industri baru dan untuk melakukan regenerasi terhadap industri yang lebih tua. Menurut Stimson dan Stough (2008) bahwa New Growth Theory Model memungkinkan dan mempunyai implikasi bahwa ada dua aspek penting yaitu: (i) efek aglomerasi (skala ekonomi dan eksternalitas) dan (ii) ketidaksempurnaan pasar, dengan mekanisme harga tidak perlu membangkitkan terhadap pilihan outcome melalui alokasi sumberdaya yang efisien. Selain itu juga bahwa proses akumulasi kapital dan perdagangan bebas tidak perlu mengarah ke konvergensi upah dan level harga diantara semua wilayah, dengan efek aglomerasi yang positif serta dengan konsentrasi aktivitas ke beberapa wilayah saja melalui efek selfenforcing yang menarik bagi investasi baru. Artinya yang paling penting, dalam konsep New Growth Theory memungkin terjadi aglomerasi maupun divergensi. 2.9.4 Implikasi dari The New Growth Theory dalam Penyusunan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Menurut Stimson dan Stough (2008), bahwa tantangan yang dihadapi oleh para perencana pengembangan ekonomi wilayah ke depan adalah bagaimana untuk merumuskan kebijakan yang akan memberikan respon kepada: (i) adanya dinamika global, dan (ii) adanya kekosongan kebijakan pemerintah yang mampu mempercepat adopsi kebijakan makro yang berorientasi untuk kepentingan regional. Pada kenyataanya sampai kini bahwa pada satu waktu wilayah diproteksi terhadap adanya serangan kompetisi dari luar, dan untuk beberapa konteks perekonomiannya bisa dimanipulasi oleh pemerintahan pusat. Tetapi bahwa kemampuannya adalah untuk berkompromi dalam mengatasinya sebagai ekonomi rasionalisme yang dikejar oleh pemerintah pusat telah meninggalkan banyak wilayah yang mengekang dirinya sendiri. Beberapa wilayah terus mencari dukungan dan mencari sumberdaya kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi agar mengarahkan perekonomian dan investasinya untuk merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun sayangnya banyak sekali wilayah yang gagal untuk memahami bahwa globalisasi telah meninggalkan pemerintahan yang
85
levelnya lebih tinggi manakala power-nya lemah yang sering dapat menyebabkan gagalnya peningkatkan daya kompetisi dari ekonomi wilayah. Sehubungan dengan itu menurut Stimson et al., (2006) bahwa dalam era kebijakan kontemporer itu nampaknya bahwa akan semakin dan semakin terserah kepada masing-masing wilayah untuk berkembang ke arah mana dan untuk pemanfaatan apa semua sumberdaya yang dimiliki sendiri dalam rangka berkompetisi secara internasional agar dapat survive dalam pembangunan ekonomi. Jadi sekarang kelenturan dalam proses endogenik harus didukung oleh kebijakan pengembangan ekonomi regional masing-masing. Untuk melakukan itu, suatu wilayah harus memahami faktor-faktor apa saja yang menyusun dinamika abad perekonomian baru yang telah muncul di akhir abad ke 20 ini.Menurut Stimson et al., (2009) beberapa tema kunci muncul berkaitan dengan faktor penyusun pertumbuhan dan pembangunan regional serta daya kompetisinya dari suatu wilayah. Beberapa diantaranya berhubungan dengan peranan proses dan faktor-faktor endogen. Namun sekarang mulai nyata adanya kesadaran universal seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa peneliti yaitu faktor institutional embededness dan faktor endogen serta proses endogen dalam pembangunan ekonomi wikayah.
Menurut Stimson dan Stough (2008) kinerja dan
perkembangan faktor-faktor endogen itu merupakan penentu bagi daya kompetitif setiap wilayah. Karena itu sekarang inisiatif kebijakan pembangunan ekonomi wilayah cenderung lebih berorientasi ke kota ataupun ke suatu wilayah yang mampu merespon perubahan yang cepat dalam situasi perubahan lingkungan global yang makin cepat seperti dewasa ini. Sementara teori pertumbuhan endogenik mensyaratkan pentingnya faktor leadership, entrepreneurship dan kelembagaan, tetapi menurut Stimson et al., (2006) tidak banyak analisis yang mau melakukan konseptualisasi secara menyeluruh apalagi sampai mengukur faktor-faktor
tersebut
sebagai
pembangunan ekonomi wilayah.
faktor
endogenik
penentu
dalam
proses
86
2.9.5 Bentuk Model dari The New Growth Theory Pembangunan Ekonomi Wilayah Stimson et al., (2003 dan 2005) telah mengusulkan model framework baru seperti digambarkan dalam Gambar 16.
RED = f [Re, M…. mediated by… (L, I, E)]
[2.11]
Outcome dari RED (Regional economic development) adalah tingkat kinerja kompetitifnya, enterprenuership-nya, dan yang telah mencapai pembangunan berkesinambungan.
Jadi semua
keadaan outcome
dapat ditetapkan sebagai
dependent variable. Kerangka pemikiran yang diajukan pada Gambar 16 bergabung dengan efek langsung maupun tak langsung dalam interaksi antara Re dengan M (quasi independent variables) dan L, I dan E variabel antara (intervening variables). Juga interaksi antara intervening variables atau mediating variable L, I dan E baik secara langsung ataupun tidak.
Stimson et al., (2005) mengajukan sejumlah
variabel berikut yang mungkin bisa digunakan untuk mengoperasionalkan model pertumbuhan dan pengembangan wilayah secara endogenik. Keadaan suatu outcome dikonseptualisasikan sebagai dependent variables pada segugus quasi-independentt variable berkaitan kepada kota ataupun wilayah yang memiliki Re dan kecocokannya dengan kondisi pasar (M), yang memediasi seluruh interaksi dengan semua intervening variable yaitu I, dan L yang bisa memfasilitasi entrepreneurship (E).
87
Quasi-Independent Variable
Resource Endowment & Kondisi Pasar
Intervening Variables
Dinamika Antarrelasi dari Faktor yang Bertindak dan yang Menciptakan Katalis Pembangunan Ekonomi Wilayah: Enterprenuership (E); Kelembagaan (I) dan Leadership (L)
Dependent Variable(s)
Out come: RED (Regional Economic Developed)
Institution
(Re, M)
Entreprshp. Leadership
Dirrect Effect Indirect Effect
Mengukur & Evaluasi Perubahan tiap Periode Waktu
Sumber: Stimson, Stough dan Salazar (2003)
Gambar 16. Kerangka Pemikiran dari Model Baru Proses Pembangunan Ekonomi Wilayah
(1) Variabel respon dan pengukuran pertumbuhan endogenik Salah satu pendekatan adalah seperti yang diajukan oleh Stimson et al. (2005) untuk mengukur kinerja variabel RED di seluruh wilayah ataupun negara bagian ataupun nasional sebagai independent variable dari model tersebut. Caranya adalah dengan melakukan proksi dari pertumbuhan endogenik, yaitu regional atau differential shift component yang diturunkan dari shift share analysis bagi
perubahan tenaga kerja regional sepanjang waktu dengan cara
menjumlah pergeseran tenaga kerja regional secara keseluruhan untuk semua sektor ekonomi stándar ataupun dengan memboboti ukuran angkatan kerja regional. Dengan demikian Endogenous Growth, maka RED bisa diukur sebagai: (i) nilai komponen pergeseran diferensial secara agregat regional atau dengan, dan (ii) skala tenaga kerja yang diboboti dengan perubahan location quotient menurut runtun waktu.
88
Dengan begitu, bahwa komponen pergeseran regional merupakan pewakil ukuran yang masuk akal untuk mengukur derajat pertumbuhan atau penurunan yang mana pertumbuhan ataupun penurunan dalam suatu wilayah itu disebabkan oleh proses-proses dan faktor-faktor endogenik atau di dalam wilayah melawan perubahan yang disebabkan oleh efek pergeseran nasional dan mix industry.
(2) Variabel Penjelas and Variabel Intervening Beberapa variabel potensial yang diusulkan oleh Stimson et al., (2005) yang mungkin bisa disesuaikan sebagai ukuran independen dan faktor yang memediasi dalam model seperti berikut: Variabel Re= resource endowment dapat diukur dengan: (i) luas wilayah, (ii) iklim, (iii) topografi, (iv) aglomerasi sektor-sektor kunci industri (dengan mengukur LQ untuk pekerjaan sektor industri), (v) ukuran populasi dan laju perubahannya, (vi) tingkat pendidikan (diturunkan dari human capital index) dan literasi, (v) perkapita income, distribusi income, dan perubahannya sepanjang waktu, (vi) kepemilikan rumah, (vii) investasi dalam sektor industri dan kontruksi komersial, benchmark terhadap share nasional vis a vis terhadap nasional sharenya populasi, (viii) investasi infrastruktur per kapita, seperti jalan raya, sekolah, rumah sakit dll, (ix) struktur industri dan perubahannya (diukur dengan indeks keragaman industri) dan (x) regional organizational slack (idle) resource. Variabel M= market fit diukur dengan sejumlah variabel seperti; (i) aktivitas ekonomi basis dalam sektor-sektor industri utama (diukur dengan LQ dalam sektor industri), (ii) koneksitas penerbangan dengan wilayah lain, (iii) pergerakan/jalan kargo keluar/masuk (road freight in/out movement), (iv) volume and value of key product and service.
Juga akan sangat bermanfaat untuk
menggunakan variabel yang dapat memberikan ukuran derajat kekocokan wilayah terhadap perubahan demand dan terkait dengan pasar (jasa lingkungan misalnya) terhadap penentuan
derajat mana yang pas dengan pasar lokal, dan untuk
melakukan evaluasi ekstensi ke arah mana infrastruktur lokal memberikan keperluan linkage ke pasar ekspor (pasar karbon misalnya). Inilah serangkaian masalah yang sangat sulit bila dihadapkan dengan keputusan untuk mengukur M.
89
Faktor L= Leaderships dapat diukur dengan segugus variabel: (i) perkiraan keahlian dari kualitas leadership, (ii) tingkat relatif dari kepala korporasi yang berkantor di wilayah itu, (iii) kepadatan (jumlah, budget dan /atau tenaga kerja) dari bisnis yang luas bagi wilayah dan organisasi kemasyarakatan (atau organisasi pengembangan ekonomi) per 10,000 populasi, (iv) derajad perubahan/stabilitas leadership dari politik lokal. Faktor I= Institution diukur dengan variabel seperti: (i) kepadatan institusi (korporate dan ormas/10.000 penduduk), (ii) level of government fragmentation, (iii) kelembagaan formal dari pemerintah (diukur dengan publik agensi per 10.000 penduduk), (iv) banyaknya kantor pusat dari korporasi utama (misalnya Fortune 1000 firm), (v) nilai kapitalisasi yayasan per 10.000 penduduk, (vi) fragmentasi pemerintahan, (vii) level organisasi regional (jumlah dan budget level), dan (vii) social capital index. Faktor E= Enterpreneurship diukur dengan variabel: (i) churn rate (rasio yang mulai buka terhadap yang gulung tikar perusahaan) atau business start-up rate, (ii) aktivitas modal ventura, (iii) aktivitas corporate venturing, (iv) paten yang diperoleh per 10,000 pekerja, (v) LQ dari tenaga kerja dalam ‗anilisis simbolik‘ dari okupasi, (vii) banyaknya warung, kelompok usaha ekonomi dll). Stimson et al. (2005) berpendapat bahwa RED secara positif berhubungan dengan Re, M, I, L, dan E, tetapi mungkin lead ataupun lag dan efek interaksi dalam jangka pendek ataupun jangka menengah dan mungkin mempunyai efek siklis dalam jangka panjang. Oleh karena itu RED dapat diungkapkan seperti dalam Persamaan [2.11]:
RED = Ω1+ Ω2Ret-n+Ω3 Mt-n+( Ω4It-1 sampai ξ10It-10/10)+ Ω11Lt-n+ Ω12Et-n+e
{2.11}
Pendekatan pemodelan ini telah diusulkan oleh Stimson dan Stough, (2008) untuk mengevaluasi proses-proses pertumbuhan endogenik dan untuk menjelaskan bagaimana pengembangan wilayah bisa dipengaruhi oleh, dan juga difasilitasi oleh faktor-faktor leadership, institutional, dan enterpreneurship sebagai variabel intervening atau memediasi variabel yang dihipotesiskan bisa
90
menjadi katalisator yang mempengaruhi proses-proses endogenik tersebut tetapi juga tetap memperhatikan Re dan M dari suatu wilayah, mewakili model operational untuk mengukur dan memeriksa dampak faktor-faktor endogen terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi regional. Penting ditekankan di sini bahwa menjaga dengan argumen kita bahwa strategi pembangunan ekonomi wilayah telah menjadi lebih endogenik dewasa ini, bahwa model framework telah dikembangkan secara eksplisit untuk melakukan konseptualisasi berbagai interaksi dalam proses-proses endogenik. Sehubungan dengan itu Stimson dan Stough (2008) menyatakan masih memerlukan data empiris untuk menguji model tersebut. Faktor endogenik (L, I, E) di setiap wilayah selalu ada sejauh wilayah tersebut didiami oleh masyarakat dan dalam jangka pendek ketiga faktor endogenik tersebut given sifatnya sebagai aset bagi wilayah yang bersangkutan. Sedangkan untuk faktor Re tidak setiap wilayah memilikinya, apalagi bila faktor ini dikaitkan dengan demand-nya (M). Karena itu keterhandalan faktor endogenik itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi setiap wilayah, apakah wilayah dengan Re yang dimiliki dapat dikelola dengan sehingga dapat menjadi suatu demand ataukah tidak. Bahkan seperti diungkapkan Stimson et al. (2005) banyak wilayah yang miskin akan Re tetapi menjadi makmur karena karena kuatnya L, yang membuat I menjadi efektifnya sehingga E menjadi berkembang pesat dan selalu dalam kesiagaan (alertness) untuk meraih peluang pasar (M) dan siap mengeksploitasi setiap peluang itu menjadi profit, yang pada akhir bermuara pada pesatnya pertumbuhan ekonomi wilayah yang miskin akan Re tersebut. Namun banyak juga yang sebaliknya, wilayah dengan kekayaan Re yang melimpah, malah menjadi kutukan sumberdaya atau resource curse (lihat Hayami, 2001) sehingga akhirnya wilayah tersebut terbelakang.