4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Susu Industri pengolahan susu merupakan salah satu industri yang terus bertumbuh di Indonesia. Asosiasi Industri Pengolah Susu (AIPS) memproyeksikan tahun 2012 industri pengolahan berbahan baku susu sapi bisa tumbuh antara 6,8 persen sampai 7 persen. AIPS beranggotakan sejumlah perusahaan pengolah susu besar seperti Nestle, Sari Husada, Frisian Flag, Ultra Jaya, Indolacto, dan lain-lain. Tahun 2011 nilai penjualan industri pengolah susu sapi sekitar Rp 31 triliun (AIPS, 2012). Pendorong pertumbuhan industri susu ini salah satunya adalah meningkatnya konsumsi perkapita penduduk terhadap produk susu seperti digambarkan pada Tabel 2. Menurut BPS (2013), terjadi peningkatan konsumsi rata-rata per kapita seminggu produk susu di Indonesia. Tabel 2 Konsumsi rata-rata per kapita seminggu produk susu di Indonesia (rupiah) tahun 20012 - 2013 (BPS, 2012) Item Susu kental manis/Sweet canned liquid milk Susu bubuk kaleng,bayi/Canned, babypowder milk
Unit (397 gr) Kg
2012 0,056 0,018
2013 0,058 0,025
2.2 Limbah Padat Organik Industri Susu Bubuk Susu merupakan bahan pangan yang mengandung nilai gizi yang baik. Komposisi susu bubuk dipasaran bervariasi tergantung dari formulasi produsen produk tersebut. Secara umum komponen yang utama adalah karbohidrat, protein, lemak, P, K dan unsur lainnya. Nilai gizi susu bubuk tergambarkan dalam syarat mutu susu bubuk sesuai standar SNI (Tabel 3).
Gambar 1 Limbah padat organik susu bubuk Hasil studi yang dilakukan oleh The UNEP Working Group for Cleaner Production in the Food Industry (Australia) menyatakan bahwa limbah padat yang dihasilkan dari industri susu cukup besar yaitu 168 kg/1000 produk susu yang
5
dihasilkan. Dari 168 kg limbah padat yang dihasilkan tersebut, sejumlah 31 kg merupakan limbah padat organik. Jadi persentase limbah padat organik yang dihasilkan adalah 3.1%. Limbah padat organik tersebut direcycle sebagai kompos, pupuk atau pakan ternak (Prasad et al. 2004) Tabel 3 Sumber limbah padat organik pada industri susu (Prasad et al. 2004)
No 1 2 3 4 5 6 7
Sumber Limbah Padat Organik Produk reject (tidak sesuai mutu) Produk return dari agen/outlet Bahan baku (misal flavor, dll) Material kadaluarsa Sampel laboratorium sampel produk Separator de sludge Product hasil pembersihan filter dan dryer
8
Sludge sisa proses
9 10
Sludge pembersihan membran Hancuran keju Lemak yang dikumpulkan dari sisa proses
11
Pengelolaan pakan ternak proses ulang pakan ternak pakan ternak pakan ternak pakan ternak pakan ternak pakan ternak atau kompos pakan ternak atau kompos pakan ternak pakan ternak
Metode paling umum dalam penanganan limbah padat organik industri susu adalah sebagai pakan ternak (babi). Penanganan yang lain adalah dikirim ke luar pabrik untuk dijadikan kompos atau dijadikan pupuk. Pengomposan merupakan teknologi yang penting dalam pengolahan limbah padat industri susu. Namun demikian hanya sedikit informasi mengenai proses pengomposan dan nilai agronomis dari komoditi hasil pertanian yang mengaplikasikan kompos tersebut (Allinson et al. 2007).
6
Gambar 2
Jumlah limbah padat yang dihasilkan oleh industri susu dan proporsi pengelolaannya (Prasad et al. 2004)
Menurut Prasad et al. (2004), limbah padat organik yang dihasilkan pabrik pengolahan susu meliputi : biosolids, separator de-sludges dan bagian produk yang tidak lolos saringan. Biosolid adalah bagian dari aliran limbah setelah pengolahan air limbah (misal : sludge/lumpur). Limbah padat organik ini kaya akan nitrogen, phosporus (P), potassium (K) dan nutrisi lain yang dapat dimanfaatkan sebagai soil additive. Sebagai tambahan, tingginya kandungan bahan organik dari biosolid dapat digunakan sebagai stabiliser tanah. Pilihan untuk pengelolaan limbah padat organik prosesing susu meliputi : pakan ternak, pengomposan, injeksi ke tanah atau dibuang langsung ke tanah. Pabrik harus memperhatikan bahwa limbahnya diklasifikasikan sebagai limbah industri dan memenuhi ketentuan regulasi yang berlaku.
Gambar 3 Gambaran umum terjadinya limbah padat organik susu bubuk pada industri pengolahan susu bubuk.
7
Menurut Wilkinson et al. (2011) dairy processing sludge adalah padatan yang menggumpal dan mengendap yang dihasilkan oleh instalasi pengolahan limbah cair dan dipisahkan menggunakan flow tangensial separator. Sludge ini bisa di ‘cocomposted’ dengan green waste berupa cacahan rumput. Pada konsentrasi sludge sebesar 25 % (berat) dan lama pengomposan 21 hari dan menggunakan reaktor eksperimental diperoleh kompos tanpa efek yang merugikan ditinjau dari bau yang ditimbulkan dan VOC (Volatile Organic Compund) yang dihasilkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah aerasi yang baik untuk meminimalkan bau tak sedap dan kehilangan nutrisi. Tabel 4 3. Syarat Syarat Mutu Susu Bubuk sesuai SNI 01-2970-2006 (SNI, 2006) Tabel mutu susu bubuk sesuai SNI 01-2970-2006 (SNI, 2006) Persyaratan No
Kriteria Uji
Satuan
Susu Bubuk Berlemak
Susu Bubuk Kurang Susu Bubuk Bebas Lemak Lemak
% b/b % b/b % b/b
normal normal Maks 5 Min. 26 Min. 23
normal normal Maks. 5 1,5 - 26,0 Min. 23
normal normal Maks. 5 Maks. 1.5 Min. 30
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 20.0 Maks. 0.3 Maks 40.0/250.0* Maks. 0.03 Maks. 0.1
Maks. 20.0 Maks. 0.3 Maks 40.0/250.0* Maks. 0.03 Maks. 0.1
Maks. 20.0 Maks. 0.3 Maks 40.0/250.0* Maks. 0.03 Maks. 0.1
Koloni/g APM/g APM/g
Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3
Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3
Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3
Maks. 5 x 102 Staphylococcus aureus Koloni/g Salmonella Koloni/100 g Negatif * untuk kemasn kaleng ** dihitung terhadap makanan yang siap dikonsumsi
Maks. 5 x 102 Negatif
Maks. 5 x 102 Negatif
1 Keadaan Bau Rasa 2 Kadar Air 3 Lemak 4 Protein (N x 6.38) 5 Cemaran Logam ** Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Timah (Sn) Raksa (Hg) 6 Cemaran Arsen (As)** 7 Cemaran Mikroba Angka lempeng total Bakteri coliform Escherichia coli
2.3 Pengomposan Miller (2003) menyatakan bahwa sejak 20 tahun terakhir pengomposan berkembang cepat menjadi teknologi pengolahan limbah yang handal dan menghasilkan bahan penyubur tanah yang berharga. Pada proses pengomposan juga terjadi pengurangan bakteri pathogen dan parasit karena adanya kenaikan suhu setidaknya 131 oF selama 3 hari pada kondisi ‘aerated pile’ atau 131 oF selama 2 minggu pada zona panas pada kondisi windrow pile yang di balik sebanyak 5 kali. Menurut National Organic Standards Board (2002), kompos adalah bahan organik berasal dari tanaman atau hewan yang diolah dengan dekomposisi aerobik dan peningkatan suhu untuk memperbaiki sifat fisik, kandungan nutrisi yang bisa memperbaiki tanah serta meminimalkan organisme yang merugikan (pathogen).
8
Kompos harus bisa mencapai suhu paling rendah 131 oF atau 55 oC selama minimal 3 hari (Gambar 6). US EPA (2011) mendifinisikan kompos sebagai material organik yang bisa digunakan untuk memperbaiki kualitas tanah atau digunakan sebagai media tanam. Kompos yang matang adalah bahan stabil yang mengandung humus yang berwarna kehitaman seperti tanah. Kompos bisa dibuat dari berbagai kombinasi limbah organik (sampah kebun, sisa makanan, kotoran hewan, dan lain-lain). Menurut Munawar (2011), humus tanah merupakan kombinasi sisa bahan organik dan jaringan jasad renik yang disintesis kembali dan resisten terhadap serangan mikrobial. Bahan ini merupakan komponen tanah yang mempengaruhi sifat-sifat fisika-kimia tanah.
Gambar 4 Gambaran singkat fortifikasi limbah susu bubuk pada pengomposan sampah kebun. Tavarini et al. (2011) menyatakan bahwa pengomposan merupakan kegiatan yang ramah lingkungan, menguntungkan pertanian dan relatif murah sebagai upaya untuk memperbaiki komponen organik tanah. Kompos yang berasal dari sisa-sisa tanaman (green compost) bisa memperbaiki karakteristik fisika dan kimia tanah. Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain : (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah Setyorini et al. (2006). Menurut Setyorini et al. (2006). Kompos berfungsi dalam hal (1) memperbaiki kualitas kesuburan fisik, (2) memperbaiki kualitas kesuburan kimia dan (3) memperbaiki kualitas kesuburan biologi tanah. 1. Memperbaiki kualitas kesuburan fisik tanah Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur sehingga mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir menjadi lebih kompak dan tanah lempung menjadi lebih gembur. Penyebab kompak dan gemburnya tanah
9
ini adalah senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan mikroorganisme pengurai atau miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Dengan struktur tanah yang baik ini berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses fisiologis di akar akan lancar. Perbaikan agregat tanah menjadi lebih remah akan mempermudah penyerapan air ke dalam tanah sehingga erosi dapat dicegah. Kadar bahan organik yang tinggi di dalam tanah memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus coklat kehitaman), sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi suhu dalam tanah dapat dihindarkan. 2. Memperbaiki kualitas kesuburan kimia tanah Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (N,P,K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Mo, dan Si). Dalam jangka panjang, pemberian kompos dapat memperbaiki pH dan meningkatkan hasil tanaman pertanian pada tanah-tanah masam. Pada tanahtanah yang kandungan P-tersedia rendah, bentuk fospat organik mempunyai peranan yang penting dalam penyediaan hara tanaman karena hampir sebagian besar P yang diperlukan tanaman terdapat pada senyawa P-organik. Selain itu kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan hara makro dan mikro yang sangat dibutuhkan tanaman. Misel humus mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar dari daripada misel lempung (3-10 kali). Kapasitas tukar kation (KTK) asam-asam organik dari kompos lebih tinggi dibandingkan mineral liat, namun lebihn peka terhadap perubahan pH karena mempunyai sumber muatan tergantung pH (pH dependent change). Pada nilai pH 3.5, KTK liat sebesar 45.5 dan C-organik 199.5 me 100 g-1 sedangkan pada pH 6.5 meningkat menjadi 63 dan 325.5 me 100 g-1. Oleh karena itu penambahan kompos dapat meningkatkan nilai KTK tanah. 3. Memperbaiki kualitas kesuburan biologi tanah Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri dan alga). Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah tidak hanya jutaan mikroorganisme yang ditambahkan, akan tetapi mikroorganisme yang ada dalam tanah juga terpacu untuk berkembang. Proses dekomposisi lanjut oleh mikroorganisme akan tetap berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO2 yang dihasilkan mikroorganisme tanah akan dipergunakan untuk proses fotosintesis tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat.Amonifikasi, nitrifikasi dan fiksasi nitrogen juga akan meningkat karena pemberian bahan organik sebagai sumber karbon yang terkandung dalam kompos. Peranan bahan organik juga penting pada tanah karena kemampuannya bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompleks. Dengan demikian ion logam yang bersifat meracuni tanaman serta merugikan penyediaan hara pada tanah seperti Al, Fe dan Mn dapat diperkecil dengan adanya khelat dengan bahan organik. Setyorini et al. (2006) menyatakan bahwa kompos mempunyai kandungan hara yang rendah dan bisa dilakukan pengayaan kompos untuk meningkatkan status nutrisinya. Jenis-jenis pengkayaan : pengapuran, pengkayaan dengan fosfor, pengkayaan dengan kalium, pengkayaan dengan Nitrogen dan pengkayaan dengan mikroba. Beberapa bahan yang bisa digunakan : penambahan tepung tulang, fosfat alam, kapur, darah kering dan pengayaan mikroba.
10
Standar Mutu Kompos Standart mutu compost. Menurut SNI (2004), kematangan kompos ditunjukkan oleh beberapa hal yaitu : C/N – rasio mempunyai nilai (10-20):1; suhu sesuai dengan suhu tanah, berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah dan berbau tanah (Tabel 5). Sesuai Kepmen Pertanian No. 434.1/KPTS/ TP 27017/2001 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, kompos yang dibuat dilarang mengandung bahan aktif pestisida Tabel 5 Standar kompos (SNI : 19:7030-2004) Tabel 4. : Standar kualitaskualitas kompos (SNI : 19:7030-2004) No Parameter Satuan Minimum Maksimum 1 Kadar air % 50 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Temperatur Warna Bau Ukuran partikel Kemampuan ikat air pH Bahan asing Unsur makro Bahan organik Nitrogen Karbon Phospor (P2O5) C/N-rasio Kalium (K2O) Unsur Mikro Arsen Cadmium Cobal (Co) Chromium (Cr) Tembaga (Cu) Mercuri (Hg) Nikel (Ni) Timbal (Pb) Selenium (Se) Seng (Zn) Unsur lain Calsium Magnesium (Mg) Besi (Fe) Aluminium (Al) Mangan (Mn) Bakteri Fecal Coli Salmonella sp.
o
C
mm %
0.55 58 6.8
% % % % %
suhu air tanah kehitaman berbau tanah 25 7.49 1.5
27 0.4 9.8 0.1 10 0.2
58
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
* * * * *
13 3 34 210 100 0.8 62 150 2 500
% % % % %
* * *
%
MPN/gr MPN/4gr
* * * *
32
25.5 0.6 2 2.2 0.1 1000 3
Keterangan : * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
Pembanding kualitas kompos adalah pupuk organik. Menurut Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2006), berdasarkan hasil pembahasan para pakar lingkup Puslitbangtanak, Direktorat Pupuk dan Pestisida, IPB Jurusan Tanah, Depperindag, serta Asosiasi Pengusaha Pupuk dan Pengguna, maka telah disepakati persyaratan Teknis Minimal pupuk Organik sesuai Tabel 6.
11
Studi awal tentang kemungkinan kombinasi pengomposan sludge limbah produksi susu (kandungan 10-15 % padatan) dengan bahan sisa tanaman (green waste), Wilkinson et al. (2011) menyatakan bahwa rumput cacah sebagai bahan kompos di daerah Melbourne-Australia yang mengandung komponen N sebesar 1,8 %, C/N rasio sebesar 17 dan kadar air 40% bisa di komposkan dengan sludge limbah produksi (konsentrasi 25% berat). Tabel 6Tabel Persyaratan Teknis Minimal Pupuk 5. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik Organik (Balai Besar(Balai Litbang Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Sumberdaya Lahan Pertanian,2006) 2006) No
Parameter
Unit
Kandungan Pupuk Padat Pupuk Cair ≥ 12 ≥ 4.5 10 - 25 ≤2 -
1 C-organik % 2 C/N rasio 3 Bahan ikutan % (kerikil, beling, plastik) 4 Kadar air % - Granula 4 - 12 - Curah 13 - 20 5 Kadar Logam Berat ppm As ≤ 10 ≤ 10 Hg ≤1 ≤1 Pb ≤ 50 ≤ 50 Cd ≤ 10 ≤ 10 6 pH 4-8 4-8 7 Kadar Total <5 <5 - P2O5 % <5 <5 - K2O % 8 Mikroba Pathogen dicantumkan dicantumkan (E. coli, Salmonella ) 9 Kadar unsur mikro % - Zn, Cu, Mn maks 0.500 maks 0.2500 - Co maks 0.002 maks 0.0005 -B maks 0.250 maks 0.1250 - Mo maks 0.001 maks 0.0010 - Fe maks 0.400 maks 0.0400 * C organik 7-12 % dimasukkan sebagai pembenah tanah
Tavarini et al. (2011) menyatakan bahwa pada aplikasi kompos terjadi peningkatan karakteristik kimia dan fisik tanah. Aplikasi kompos bisa meningkatkan kandungan senyawa nitrate, phenols, dissolve organic carbon dan salinity tanah seiring dengan peningkatan dosis aplikasi kompos. Juga terjadi peningkatan hydrolase activity (amylase, alkaline phosphatase dan protease) meningkat seiring dengan peningkatan dosis kompos. Pada dosis kompos 25% amylase activity naik sebesar 100 kali; sedangkan pada dosis 50% amylase activity naik sampai 220 kali. 2.4 Pertanian Organik Susetyo (2011) menyatakan bahwa seiring dengan maraknya gerakan konsumen hijau, kesadaran konsumen untuk membeli produk yang ramah lingkungan semakin meningkat termasuk di dalamnya produk-produk pertanian yang sehat dan bebas bahan kimia. Pertanian organik bisa menjadi alternatif bagi bangsa
12
Indonesia. Konsep pertanian organik ini memberikan ruang bagi petani untuk berkreasi yaitu memanfaatkan bahan-bahan tidak berguna untuk kegiatan bertaninya. Dalam konteks pertanian yang berkelanjutan, model pertanian organik merupakan suatu strategi penguatan pemahaman petani akan harkat hidupnya dan masa depan pertanian Indonesia. Sistem pertanian organik sudah lama dikembangkan. Pertanian organik ini mulai berkembang pesat pada periode 1970-1990 didorong oleh adanya krisis minyak dan adanya agro ecological issue. Sejak 1990 dan seterusnya pertanian organik makin berkembang melalui promosi baik pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Dalam pertanian organik, nutrisi tanaman ditambahkan ke tanah dalam bentuk material organik (pupuk kandang, kompos, sisa-sisa tanaman dan legume) atau dalam bentuk sumber bahan slow release (misal : phosphate alam). Konsekuensinya, dalam pertanian organik terjadi proses kimiawi dan biologi di tanah agar dihasilkan nutrisi yang bisa dikonsumsi oleh tanaman (Stockdale dan Watson 2005) Menurut Shi Ming dan Sauerborn (2006), pertanian organik adalah : pendekatan system manajemen holistik yang mengedepankan kebaikan agro-eco system yang meliputi biodiversitas, siklus biologi, dan aktivitas biologis dalam tanah. Beberapa prinsip dalam pertanian organik menurut IFOAM (2012) adalah sebagai berikut : 1. The principle of health – Pertanian organik harus bisa menjaga kondisi tanah, tanaman, hewan dan manusia secara utuh. 2. The principle of ecology – Pertanian organik harus didasarkan pada system ekologi dan siklus kehidupan dan melestarikan kesetimbangan ekologi. 3. The principle of fairness – Pertanian organik harus menjaga keseimbangan yang adil antara pelestarian lingkungan dan kebutuhan hidup manusia. 4. The principle of care – Pertanian organik harus dikelola sebagai perwujudan tanggung jawab untuk melindungi kehidupan generasi sekarang dan masa depan. 2.5 Sayuran Daun (leafy vegetables) 1. Pakchoi (Brasica rapa L) Menurut Siemonsma dan Kasem (1994), Pakchoi (Brasica rapa L) adalah jenis tanaman sayur-sayuran yang termasuk keluarga Brassicaceae. Tumbuhan pakchoy berasal dari China dan telah dibudidayakan setelah abad ke-5 secara luas di China selatan dan China pusat serta Taiwan. Sayuran ini merupakan introduksi baru di Jepang dan masih sefamili dengan Chinese vegetable. Saat ini pakchoy dikembangkan secara luas di Philipina dan Malaysia, terbatas di Indonesia dan Thailand. Secara umum di Indonesia dinamakan sawi hijau, sawi bakso, caisim, atau caisin.
13
Gambar 5 Sayur pakchoi (Brasica rapa L) 2. Bayam cabut (Amaranthus tricolor L.) Menurut Siemonsma dan Kasem (1994), bayam merupakan tanaman setahun, monoecious, dan berumur pendek. Meskipun sistem perakaran bayam umumnya jarang, tetapi karena bayam merupakan tanaman C4, bayam toleran terhadap suhu tinggi dan kekeringan. Tanaman bayam (Gambar 8) yang memiliki siklus hidup yang relatif singkat ini mampu menghasilkan biji dalam jumlah banyak berukuran kecil sehingga daya sebarnya luas
Gambar 6 Sayur bayam cabut (Amaranthus tricolor L.) Tanaman yang termasuk genus Amaranthus ini memiliki spesies yang sangat bervariasi. Secara umum bayam dibagi dua yaitu bayam liar dan bayam budidaya. Bayam liar yang dikenal adalah bayam duri (Amaranthus spinosus L.) dan bayam tanah (Amaranthus blitum L.) Terdapat dua macam bayam yang biasa dibudidayakan, yaitu bayam cabut (Amaranthus tricolor L.) dan bayam petik (Amaranthus hybridus L.) Bayam merupakan salah satu jenis sayuran daun yang banyak diminati oleh berbagai kalangan masyarakat. Di daerah tropis seperti Indonesia bayam dapat
14
ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tanah subur dengan aerasi dan drainase yang baik serta ber pH 6 – 7 sangat mendukung pertumbuhan bayam. Curah hujan sekitar 1 500 mm/tahun, suhu udara 16 – 20 °C, dan kelembaban udara antara 40 – 60 % merupakan iklim yang sesuai untuk pertumbuhan bayam Populasi bayam umumnya berkisar 25-50 tanaman/m2. Bayam biasanya diperbanyak secara generatif melalui bijinya. Biji bayam ditanam secara alur ataupun disebar. Benih bayam yang disebar terlebih dahulu dicampur abu dengan perbandingan benih : abu adalah 1 : 10. 3. Kangkung (Ipomea aquatic) Menurut Siemonsma dan Kasem (1994), kangkung dapat ditanam di dataran rendah dan dataran tinggi. Kangkung (Gambar 9) merupakan jenis tanaman sayuran daun, termasuk kedalam famili Convolvulaceae. Daun kangkung panjang, berwarna hijau keputih-putihan merupakan sumber vitamin pro vitamin A. Berdasarkan tempat tumbuh, kangkung dibedakan menjadi dua macam yaitu: kangkung darat dan kangkung air. Kangkung darat, hidup di tempat yang kering atau tegalan.
Gambar 7 Sayur kangkung (Ipomea aquatic) 4. Kailan (Brasica oleracea) Menurut Siemonsma dan Kasem (1994), kailan (Brassica oleracea) merupakan sayuran yang berdaun tebal, datar, mengkilap, berwarna hijau, dengan batang tebal dan sejumlah kecil kepala bunga berukuran kecil hampir vestigial mirip dengan bunga pada brokoli. Kailan (Gambar 10) termasuk dalam spesies yang sama dengan brokoli dan kembang kol, yaitu Brassica oleracea.
15
Gambar 8. Sayur kailan (Brasica oleracea)
2.6 Kesuburan Tanah Menurut Foth dan Ellis (1997) di dalam Munawar (2011), kesuburan tanah adalah status suatu tanah yang menunjukkan kapasitas untuk memasok unsur-unsur esensial dalam jumlah yang mencukupi untuk pertumbuhan tanaman tanpa adanya konsentrasi meracun dari unsur manapun. Pengaruh aplikasi kompos terhadap mutu nutrisi sayuran daun terhadap kesuburan tanah. Menurut Stockdale dan Watson (2005), populasi bakteri dan nematode bisa menunjukkan adanya peningkatan kesuburan tanah. Pada pertanian organik salah satu indikatornya adalah peningkatan keanekaragaman populasi bakteri. Bahan Organik Tanah (BOT) adalah seluruh senyawa karbon di dalam tanah. Ia berasal dari sisa tanaman dan hewan yang telah mati. Meskipun kandungan totalnya dalam tanah mineral pada umumnya hanya 5 % di daerah tropika, BOT mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kesuburan tanah dan nutrisi tanaman (Prasad dan Power, 1997 di dalam Munawar, 2011). Munawar (2011) menyatakan bahwa dari sudut pandang kesuburan tanah dan nutrisi tanaman, peranan dan fungsi bahan organik tanah (BOT) dapat dibedakan dalam dua kategori : 1. BOT yang terakumulasi di dalam tanah merupakan penyimpan dan pemasok hara-hara esensial tanaman karena sebagian besar BOT berasal dari sisa-sisa tanaman sehingga ia mengandung semua hara yang dibutuhkan tanaman. 2. BOT mampu memperbaiki sifat-sifat tanah yang dapat menjaga ketersediaan unsur hara di dalam tanah dan membuat kondisi tanah cocok untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Marriott et al. (2006), kandungan total karbon di dalam tanah, terbagi dua bagian yaitu inert karbon organik dan karbon organik aktif. Inert karbon organik sangat berperan dalam proses pertukaran ion, daya serap air tanah. Sedangkan karbon organik aktif merupakan senyawa karbon yang bisa langsung dimanfaatkan tanaman. Indikator total karbon organik lebih diwakili oleh inert karbon organik. Hal ini disebabkan karena perputaran dari karbon organik aktif relatif cepat. Dengan demikian kadar karbon organik aktif bisa dijadikan indikator yang lebih peka
16
terhadap perubahan kualitas tanah. Pertanian organik akan meningkatkan kandungan bahan organik total pada permukaan tanah. Jika dibandingkan dengan pertanian konvensional, pertanian organik akan meningkatkan kadar organik total tanah sebesar 14 % lebih tinggi setelah dijalankan dalam kurun waktu 10 tahun. Rasio karbon-nitrogen (C/N). Hubungan C dan N menentukan nilai dari bahan atau paling tidak menentukan tindakan yang harus dilakukan agar penambahan bahan organik bermanfaat untuk perbaikan kondisi tanah. Pentingnya rasio C/N suatu bahan terkait dengan pengaruh bahan tersebut bagi ketersediaan N bagi tanaman dan laju tingkat dekomposisi bahan di dalam tanah. Rasio C/N rendah berarti bahan mengandung banyak N dan mudah terdekomposisi, sehingga cepat memasok N bagi tanaman. Sebaliknya bahan-bahan dengan rasio C/N tinggi akan sulit terdekomposisi dan dapat menyebabkan kekahatan N pada tanaman. Jika hanya sedikit N yang terkandung dalam residu tanaman maka jasad renik akan menggunakan N-inorganik di dalam tanah untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian ia berebut N dengan tanaman dan mengurangi jumlah N yang tersedia bagi pertumbuhan tanaman (Munawar, 2011) Susetyo (2011) menyatakan bahwa setiap jenis tanah memiliki keadaan kesetimbangan kandungan bahan organik sendiri-sendiri. Dengan demikian jumlah pemberian pupuk organik pada tiap tanaman dan pada berbagai jenis tanah tidak akan sama. 2.7 Pemupukan Pupuk Organik Rekomendasi dosis aplikasi kompos dan mulsa kompos pada tanaman sayuran yang ditanam pada tanah berpasir (light sandy soils) sebesar 20 – 25 m3/hektar (Pauline dan O’maley, 2008). Menurut Sutapradja (2008), pada penelitian terhadap tanaman kubis dengan perlakuan kompos sampah perkotaan, dosis aplikasi 15 ton perhektar memberikan hasil yang terbaik ditinjau dari berat bersih per krop pertanaman dan diameter krop serta lebih baik bila dibandingkan dengan penggunaan dosis kompos 5 dan 10 ton per hektar.