12
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab Tinjauan Pustaka akan dibahas mengenai berbagai teori yang berkaitan dengan sikap terhadap hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan homoseksual, serta kereligiusan. Termasuk didalamnya teori mengenai sikap, perilaku seksual, dan agama.
2.1.
Sikap
2.1.1
Pengertian Sikap Ketika
individu semakin berkembang, cara berfikir, merasakan, dan
bereaksi terhadap hal-hal di sekitarnya terorganisasikan kedalam sebuah sistem, sistem inilah yang kemudian disebut dengan sikap (attitude) (Krech et al., 1962). Oleh para pakar, sikap didefinisikan berbeda-beda. Berikut ini merupakan definisi-definisi sikap yang dikemukakan oleh pakar psikologi. Menurut Allport (dalam Taylor, 1997:139), sikap adalah ” A mental or neural state of readiness, organized through experience, exerting a directive or dynamic influence upon the individual’s response to all objects and situations with which it is related”. Fazio
dan
Roskos-Ewoldsen
(dalam
Baron
&
Byrne,
2003)
mendefinisikan sikap sebagai “Associations between attitude objects (virtually any aspects of the social world) and evaluations of those objects”. Sedangkan dalam Baron dan Byrne (2003), sikap dikatakan sebagai evaluasi
terhadap
berbagai aspek dalam kehidupan sosial, yang ditunjukan dengan reaksi kesetujuan atau ketidak setujuan mengenai suatu masalah, ide, orang lain, kelompok sosial, dan objek. Dari definisi-definisi yang telah disebutkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulkan mengenai pengertian sikap, yakni
kesiagaan mental individu
berdasarkan pengalaman untuk mengevaluasi berbagai macam objek, berupa respon derajat kesetujuan hingga ketidaksetujuan.
2.1.2
Objek Sikap Seperti yang telah disebutkan diatas, sikap selalu berkaitan erat dengan
objek. Menurut Krech et al., (1962) objek sikap merupakan segala sesuatu yang
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
13
memiliki arti bagi individu. Sehingga dapat dikatakan cakupan dari objek sikap sangat luas dan dapat berupa berbagai macam hal. Walaupun demikian, jumlah sikap yang dimiliki seseorang terbatas pada segala sesuatu yang dikenal dalam dunia psikologisnya, objek sikap yang tidak berada pada dunia psikologis seseorang tidak akan dikenalinya (Krech et al., 1962). Hal ini berarti sebuah objek sikap merupakan kondisi penting bagi seseorang untuk mempunyai sikap. Objek sikap dalam penelitian ini ialah perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan homoseksual. Sesuai dengan penjabaran diatas, perilaku-perilaku seksual yang telah disebutkan tadi dapat dikategorikan sebagai suatu objek sikap. Perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual dapat disikapi berbeda oleh tiap individu, disesuaikan dengan dunia psikologisnya.
2.1.3
Komponen Sikap Sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan konatif.
Berikut penjelasan mengenai ketiga komponen tersebut: 1. Komponen Kognitif Terdiri dari pikiran seseorang yang berupa fakta, keyakinan (belief), pengetahuan mengenai objek sikap (Taylor et al., 1997). Komponen ini mengandung evaluative belief
terhadap kualitas objek sikap sebagai
favoravble atau unfavorable, diinginkan atau tidak diinginkan, baik atau buruk, dsb. (Ajzen, 2005). 2. Komponen Afektif Mengacu pada hubungan antara emosi dan objek sikap (Taylor et al., 1997). Menurut Ajzen (2005) emosi yang muncul disebabkan oleh kehadiran nyata atau oleh representasi simbolis dari objek, situasi atau peristiwa. Objek sikap dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. 3. Komponen Konatif Mengacu pada kecenderungan perilaku, intensi, komitmen, dan aksi terhadap objek sikap (Ajzen, 2005). Jika seseorang bersikap favorable
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
14
terhadap suatu objek sikap, maka ia akan cenderung membantu atau memberikan reward atau dukungan terhadap objek sikap tersebut. Namun, jika seseorang bersikap unfavorable, ia akan menyakiti, menghukum atau menghancurkan objek sikap (Baron & Byrne, 2003). Ketiga komponen yang telah dijabarkan diatas saling terkait erat, hal ini dapat dilihat ketika dihadapkan pada suatu objek sikap yang sama, maka ketiga komponen tersebut harus mengarah pada suatu sikap yang sama. Seperti contoh berikut, individu yang memiliki keyakinan bahwa perilaku hubungan seks pranikah adalah perbuatan yang haram (aspek kognitif), akan menganggap perilaku hubungan seks pranikah adalan perbuatan yang salah (aspek afektif), sehingga ia akan menjauhi atau tidak melakukan perilaku hubungan seks pranikah (konatif).
2.1.4
Perilaku Seksual (Hubungan Seksual, Masturbasi, Pornografi, dan
Homoseksual) Menurut Sarwono (2001), perilaku seksual merupakan segala bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam, mulai dari berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Sedangkan Duvall dan Miller (1985) membagi perilaku seksual ke dalam empat tahap yakni touching, kissing, petting, dan hubungan seksual. Gagnon dan Simon (dalam Ilhaminingsih, 2004) menjabarkan perilaku seksual yang berkaitan dengan masalah sosial ke dalam: 1. Tolerated Sex Variance. Tolerated sex variance merupakan perilaku seksual yang jika dilakukan umumnya tidak disetujui namun hanya sedikit mendapatkan sanksi. Termasuk didalamnya yakni kontak oral-anal genital pada pasangan heteroseksual,masturbasi dan premaritalextramarital intercourse.
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
15
2. Asocial Sex Variance. Perilaku yang terdapat dalam asocial sex variance tidak mendapatkan dukungan sosial. Perilaku tersebut meliputi incest, child molestation, perkosaan, exhibitionism dan voyerism. 3. Structured Sex Variance. Dalam structured sex variance, perilaku dipersepsikan sebagai perilaku yang dapat mengancam tatanan sosial, karena menyimpang dari norma-norma yang ada di masyarakat. Perilakuperilaku
tersebut
meliputi
homoseksualitas,
prostitusi
dan
pornografi. Dari sejumlah perilaku seksual yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, peneliti hanya akan memfokuskan pada beberapa macam perilaku seksual saja, yakni hubungan seksual, masturbasi, homoseksual, dan pornografi. Berikutnya akan dijabarkan mengenai perilaku-perilaku seksual yang terdapat dalam penelitian ini. Hubungan seksual merupakan suatu kegiatan seksual yang dilakukan secara berpasangan, tidak hanya berupa penentrasi penis kedalam vagina (vaginal sexual intercourse) namun juga dapat berupa hubungan oral ataupun hubungan anal (Kelly, 2001). Dalam penelitian ini akan memfokuskan pada vaginal sexual intecourse. Di sebagian besar kebudayaan, perilaku vaginal sexual intercourse dipengaruhi oleh nilai moral dan sosial. Lingkungan sosial dan agama membuat peraturan yang ketat mengenai perilaku ini, dengan tujuan untuk membatasi angka kelahiran dan mencegah orang untuk melakukan tindakan asusila yang dapat mengarah pada perbuatan dosa (Kelly, 2001). Disejumlah negara, hubungan seksual erat kaitannya dengan pernikahan, oleh karena itu hubungan seksual yang dilakukan diluar pernikahan dianggap suatu perbuatan yang terlarang. Institusi sosial, khususnya institusi agama, sekolah, keluarga dan jaringan sosial lainnya mendukung adanya pelarangan tersebut (Kelly, 2001). Di Indonesia sendiri sikap terhadap hubungan seks pranikah masih mendapat pengaruh yang cukup kuat dari norma-norma yang melarang perilaku
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
16
tersebut (Kolopaking dalam Sarwono 2002), namun pada prakteknya hubungan seks pranikah tetap saja dilakukan (Sarwono, 2002). Masturbasi ialah istilah yang diberikan ketika individu melakukan stimulasi manual pada alat kelaminnya. Sampai beberapa tahun terakhir ini masturbasi dipandang sebagai perilaku yang secara fisik dan mental dapat membahayakan dan secara moral merupakan perilaku yang tidak benar dan berdosa apabila dilakukan (Kelly, 2001). Masturbasi dipercaya mengakibatkan timbulnya efek negatif pada keadaan fisik dan mental yaitu sterilitas, impoten, epilepsi dan gangguan kemampuan mengingat. Masturbasi dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental karena berlebihnya stimulasi pada sistem syaraf. Asumsi yang berkembang tersebut memunculkan keyakinan bahwa masturbasi merupakan perilaku yang immoral dan tidak sehat (Kay dalam Kelly, 2001). Namun opini yang berkembang diantara para ahli dibidang kesehatan dan para psikolog mengatakan bahwa masturbasi merupakan salah satu bentuk ekspresi seksual yang tidak membahayakan fisik dan psikis (Sanford, 1994 dalam Kelly, 2001). Berikut ini merupakan fakta-fakta mengenai masturbasi (Kelly, 2001), diantaranya yakni: 1. Masturbasi tidak hanya dilakukan oleh remaja atau individu tanpa pasangan. Banyak inidvidu yang telah menikah—baik laki-laki maupun perempuan— yang masih melakukan masturbasi. Frekuensi melakukan masturbasi mengalami puncaknya pada usia 24-50 tahun. Pola perilaku ini ditemukan pada individu normal yang sehat secara fisik dan psikis. 2. Masturbasi tidak selalu merupakan pengganti hubungan seksual dengan pasangan. Masturbasi memang kadang dilakukan sebagai pengganti hubungan seksual dengan pasangan namun juga dapat merupakan representasi dari bentuk ekspresi seksual itu sendiri. Individu yang memang telah memiliki akses untuk melakukan hubungan seksual berpasangan, mengaku tetap sering melakukan masturbasi. 3. Masturbasi dapat di dibagi dengan orang lain. Sebagian besar pasangan cenderung bersikap tertutup mengenai perilaku masturbasinya. Masturbasi masih dianggap sebagai suatu hal yang harus dijaga kerahasiaannya. Padahal
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
17
dengan membicarakan perilaku masturbasi dengan pasangan, dapat melatih komunikasi seksual yang nantinya akan mempengaruhi kepuasan seksual itu sendiri. 4. Tidak ada batasan dalam frekuensi melakukan masturbasi. Hal ini disebabkan kepuasan seksual masing-masing individu berbeda-beda. Kuantitas masturbasi juga tidak menyebabkan gangguan secara fisik. 5. Masturbasi sama memuaskannya dengan hubungan seksual yang dilakukan secara berpasangan. 6. Masturbasi merupakan cara terbaik untuk belajar mengenali perasaan dan responsivitas seksual. 7. Masturbasi tidak menyebabkan kelemahan, gangguan mental atau kelemahan fisik. 8. Frekuensi masturbasi yang tinggi tidak menyebabkan berkurangnya jumlah sperma pada laki-laki. Karena secara alami tubuh akan terus memproduksi sperma mulai dari masa remaja hingga usia lanjut. 9. Masturbasi tidak mengarahkan individu pada orientasi dan perilaku homoseksual. 10. Masturbasi bukanlah suatu perilaku fisik yang utama. Ada mitos yang mengatakan apabila sperma terlalu lama ditahan maka akan berbahaya untuk tubuh. Yang sebenarnya terjadi ialah tubuh akan menyesuaikan sperma yang diproduksi dengan aktivitas seksual yang dilakukan. Data statistik National Health and Social Life Survey (NHSLS) di Amerika Serikat, menghasilkan bahwa 60% pria dan 40% wanita yang berada pada usia 18-59 tahun mengaku pernah melakukan masturbasi dalam kurun waktu 12 bulan, bahkan 25% pria dan 10% wanita mengaku melakukan masturbasi minimal sekali dalam seminggu (Kelly, 2001). Di Indonesia sendiri, banyak penelitian yang mengatakan hampir semua pria melakukan masturbasi, sedangkan sedikitnya 70%-80% wanita juga melakukan masturbasi (Pangkahila, 2005 ). Homoseksual merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketertarikan secara seksual antar individu yang memiliki jenis kelamin yang sama (Kelly, 2001). Sebelum tahun 1972, orientasi homoseksual dalam Kedokteran Jiwa masih digolongkan sebagai ganggua atau kelainan jiwa, akan tetapi sejak
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
18
Asosiasi Psikiater Amerika Serikat dan Organisasi Kesehatan Dunia mencoretnya dari daftar gangguan dan kelainan jiwa, homoseksual tidak lagi digolongkan sebagai gangguan atau kelainan jiwa (Sarwono, 2002). Dalam isu homoseksual, dikenal dua istilah, yakni lesbian dan gay. Lesbian diperuntukkan bagi homoseksual berjenis kelamin perempuan, sedangkan gay sebutan untuk homoseksual berjenis kelamin laki-laki. Sampai saat ini belum ditemukan jawaban yang pasti mengenai faktorfaktor penyebab individu menjadi seorang homoseksual, ada yang mengatakan homoseksual merupakan faktor bawaan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ellis & Ames (dalam Sarwono, 2002) yang menemukan adanya perbedaan struktur otak antara orang homoseksual dan heteroseksual. Pengaruh lingkungan atau teman (Masters, Johnson & Kolodny, 1988 dalam Sarwono, 2002 ), orang tua (Holtzen, Kenny, & Mahalik, 1995 dalam Sarwono, 2002), ekonomi atau budaya (misalnya, pada para pemain ludruk di Jawa Timur) (Winarno, 1981 dalam Sarwono, 2002) atau interaksi antara keduanya (Money, 1988 dalam Sarwono, 2002). Pornografi adalah gambar-gambar, film atau bacaan-bacaan yang dengan sengaja bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual melalui penggambaran secara eksplisit aktivitas seksual (Kelly, 2001). Pornografi sering disamakan dengan kecabulan (obscenity) dan erotika, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Kecabulan (obscenity) cenderung bersifat offensive terhadap selera masyarakat luas dan terhadap nilai-nilai moral. Sedangkan apabila pornografi dibandingkan dengan erotika, pornografi cenderung memiliki aspek kekerasan, agresi, ataupun penurunan martabat manusia, sedangkan erotika mencerminkan keseimbangan antara sikap saling menghargai, afeksi, dan kesenangan (Kelly, 2001). erotika juga mengacu pada ‘sexual materials’ yang dibuat secara artistik (Rathus, Nevid & Rathus, 1993). Pornografi juga biasanya disebut dengan istilah ‘sexually explicit material’. Pornografi dapat dijumpai dalam berbagai macam bentuk media, seperti media cetak dan media elektronik. Pornografi dalam media cetak dapat dijumpai pada majalah-majalah, tabloid, dan komik, sedangkan dalam media elektronik dapat dijumpai pada video-video, film, dan situs-situs di dunia maya. Sejumlah
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
19
penelitian mengatakan bahwa film dan video porno (sexually explicit) lebih dapat menstimulasi gairah seksual apabila dibandingkan dengan gambar yang tidak bergerak (Davis & Bauserman dalam Kelly, 2001). Di era globalisasi seperti sekarang ini, pornografi di dunia maya dapat dengan sangat mudah ditemui. Dalam waktu satu tahun, hampir 10 juta orang mengunjungi 10 situs cybersex terfavorit (Cooper dalam Kelly, 2001) dan sebagian besar dari pengunjung situs tersebut berjenis kelamin laki-laki (Kim & Bailey dalam Kelly, 2001). Laki-laki dan perempuan secara fisiologi akan sama terangsangnya ketika menyaksikan gambar, film ataupun mendengar kutipan yang mengandung unsur pornografi (Rathus, Nevid & Rathus, 1993). Seperti yang telah disebutkan diatas, pornografi bertujuan untuk menimbulkan atau meningkatkan rangsangan seksual, maka pornografi biasanya digunakan sebagai media untuk bermasturbasi, dan tak jarang juga digunakan oleh pasangan untuk meningkatkan rangsangan seksual ketika sedang berhubungan intim (Rathus, Nevid & Rathus, 1993).
2.1.5 Sikap terhadap Perilaku Seksual (Hubungan Seksual, Masturbasi, Pornografi dan Homoseksual) Perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual merupakan contoh-contoh perilaku seksual. Sehingga dapat dikatakan bahwa sikap terhadap perilaku seksual merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen kognitif, afektif dan konatif yang dapat memberikan penilaian terhadap segala bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual. Atau dengan kata lain, sikap terhadap perilaku seksual merupakan kombinasi antara pemahaman, perasaan dan tingkah laku overt yang menghasilkan reaksi evaluasi (favorableunfavorable) terhadap representasi perilaku manusia yang didorong oleh hasrat seksual. Sikap positif yang ditunjukkan terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual mengartikan adanya sikap terbuka dan lebih permisif terhadap perilaku-perilaku yang telah disebutkan. Sebaliknya, sikap negatif yang ditunjukkan terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi mengartikan adanya sikap yang lebih tertutup dan konservatif terhadap
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
20
perilaku-perilaku tersebut. Sedangkan sikap sedang, menunjukkan adanya sikap yang masih ragu-ragu atau belum menentukan pilihan terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual
2.1.6. Pengukuran
Sikap
terhadap
Hubungan
Seksual,
Masturbasi,
Pornografi dan Homoseksual Instrumen yang digunakan berisikan pernyataan-pernyataan mengenai perilaku seksual, terkait dengan isu hubungan seksual, masturbasi, homoseksual dan pornografi. Pernyataan tersebut disusun berdasarkan pencarian dari berbagai sumber literatur, informasi, dan kreativitas peneliti. Item-item disusun berdasarkan ranah kognitif, afektif dan konatif. Tabel 2.1 Keterangan Alat Ukur Sikap terhadap Perilaku Seksual
Komponen
Kognitif
Indikator Perilaku
Pikiran
seseorang
yang
berupa
fakta,
keyakinan,
pengetahuan mengenai:
Afektif
Konatif
•
Hubungan seksual
•
Masturbasi
•
Homoseksual
•
Pornografi
Hubungan antara emosi dengan: •
Hubungan seksual
•
Masturbasi
•
Homoseksual
•
Pornografi
Kesiapan tingkah laku yang diasosiasikan dengan sikap terhadap: •
Hubungan seksual
•
Masturbasi
•
Homoseksual
•
Pornografi
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
21
2.2
Agama dan Religiusitas
2.2.1. Pengertian Agama Agama (religion) didefinisikan berbeda-beda oleh sejumlah pakar. Kata ”religi” berasal dari bahasa latin religio yang merupakan akar kata dari religare— yang berarti mengikat (dalam Daud Muhammad, 2005). Religion dalam istilah Eropa diartikan sebagai hubungan yang mengikat antara diri manusia dengan halhal di luar manusia, yaitu Yang Maha Tinggi, Yang Maha Mandiri, Yang Maha Mutlak ialah Tuhan (Nihayah, 2001). Selain itu, masih banyak definisi yang diajukan oleh para ahli, antara lain yang dikemukakan oleh James (dalam Spilka et al., 2003 p.247), ”The feelings, act, and experiences of individual men in their solitude so far as they apprehend themselves to stand in relation to whatever they may consider the divine”. Dan menurut Thoules (1992) yang mendefinisikan agama sebagai sikap atau cara penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu –the spatio temporal physical word- (yakni dunia spritual). Beragamnya definisi agama ini disebabkan karena setiap individu cenderung memahami agama menurut ajaran agamanya sendiri. Hal tersebut juga ditambah oleh kenyataan agama yang ada didunia amat beragam. Namun Daud, Muhammad (2005) mengatakan bahwa ada segi-segi agama yang sama, sehingga dapat dibuat rumusan umum mengenai definisi agama, yakni agama ialah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu. Definisi inilah yang dinilai peneliti sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan.
2.2.2
Pengertian Religiusitas Mangunwijaya (dalam Nihayah, 2001) membedakan antara istilah agama
(religi) dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban-kewajiban; sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu dalam hati. Dalam Miracle et al., (2003) religiusitas diartikan sebagai kualitas religius, kesalehan
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
22
yang lebih dari biasanya, ditambahkan pula religiusitas ialah kepercayaan yang kuat serta kehadiran individu di acara-acara keagamaan. Piedmont (dalam Lefkowitz, 2004) mendefinisikan religiusitas sebagai “Being concerned with how one’s experience of transcendent being shaped by, and expressed through, a community or social organization”. Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan individu terhadap agama yang dianutnya. Penghayatan individu tersebut akan berpengaruh terhadap sikap, perilaku, tindakan dan pandangan hidupnya.
2.2.3
Dimensi-dimensi Religiusitas Beberapa pakar psikologi dan sosiologi telah mencoba untuk mencari tahu
cara mengukur kereligiusan. Mereka merumuskan dimensi-dimensi yang dapat dijadikan indikator perilaku religius. Beberapa diantaranya yakni yang dikemukakan oleh Von Hugel (dalam Wulff, 1997) yang mengidentifikasi tiga elemen agama, yakni : (1) Tradisional atau historikal, berhubungan dengan perasaan-perasaan (senses), imaginasi, dan ingatan. Biasanya terbentuk pada masa kanak-kanak; (2) Rasional atau sistematik, kehadirannya disertai dengan kemampuan untuk merefleksikan, berargumen, dan mengabstraksi; dan (3) Intuisi atau volitional, menandakan telah matangnya pengalaman diri (inner experience) dan perilaku yang ditampakkan (outer action). Pendekatan yang sama juga digunakan oleh James Pratt (dalam Wulff, 1997), namun Pratt memisahkan dua aspek yang berbeda dari tiga elemen yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Von Hugel. Pratt menyebutnya dengan empat aspek yang menjadi ciri khas dari agama, yakni tradisional, rasional, mistikal, dan praktikal atau moral. Von Hugel dan Pratt berpendapat bahwa setiap elemen atau aspek pada dasarnya saling berhubungan dengan elemen atau aspek yang lain, walaupun hal ini berlaku hanya pada kasus tertentu. Elemen yang dikemukakan oleh Von Hugel dan Pratt kemudian diintegrasikan oleh C.Y Glock dan R. Stark (dalam Wulff, 1997) dengan menyebutnya sebagai lima dimensi beragama, yakni ideologis, intelektual, ritualistik, eksperensial, dan konsekuensi. Tiga dimensi pertama merupakan
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
23
penjabaran dari elemen tradisional yang dikemukakan oleh Von Hugel dan Pratt, sedangkan dua dimensi selanjutnya (eksperensial dan konsekuensi) serupa dengan elemen praktikal dan mistikal yang diajukan Pratt. Dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh C.Y. Glock dan R. Stark merupakan variabel multidimensional. Yang berarti bahwa religius di satu dimensi belum tentu religius di dimensi yang lain. Namun secara empirik telah dibuktikan bahwa kelima dimensi tersebut memiliki korelasi yang cukup tinggi satu sama lain (Spilka et al., 2003), seperti misalnya dimensi eksperensial memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan dimensi konsekuensi (Faulker dan Dejong, 1996; Weigert dan Thomas, 1969 dalam Spilka et al., 2003). Berikut ini merupakan penjelasan dimensi-dimensi dari C.Y. Glock dan R. Stark (dalam Robertson, 1988) yakni: a.
Dimensi Kepercayaan atau Dimensi Ideologis. Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana individu yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin yang meliputi isi dan cakupan keimanan, tipe keimanan, tata nilai, serta dalil yang membuat individu setia terhadap agama. dimensi ini merupakan dimensi yang paling mendasar dalam isu religiusitas. Contoh: percaya akan adanya sorga, neraka, malaikat, hari akhir, dll.
b.
Dimensi Praktek Ritual atau Peribadatan. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan individu untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Seperti misalnya shalat, bermeditasi, puasa, berdoa, misa, haji, dll.
c.
Dimensi
Pengalaman
atau
Eksperensial.
Dimensi
ini
menggambarkan tingkat penghayatan dan pengalaman religius individu,
berkaitan
dengan
perasaan-perasaan,
pengalaman-
pengalaman keagamaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang pernah dirasakan dan dialami. Dalam dimensi ini meliputi bentuk keadaan mental terdalam dan kondisi emosi individu yang bersifat subjektif. Seperti misalnya: perasaan dekat dengan tuhan, takut akan
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
24
dosa, terkabulkannya doa-doa, atau merasa mendapat pertolongan dari Tuhan. d.
Dimensi Intelektual atau Dimensi Pengetahuan. Pada dimensi ini menunjukkan tingkat pemahaman individu akan agama yang dianutnya. Minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi. Serta adanya keinginan untuk menambah pemahamannya dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan agamanya. Contohnya seperti membaca buku agama, membaca kitab suci, mengikuti pengajian, dll.
e.
Dimensi Konsekuensi. Dimensi ini mengukur perilaku sehari-hari individu yang mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran agamanya. Melihat sejauh mana individu berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih bersifat sosial, yakni berkaitan dengan hubungan antara individu dengan orang lain. seperti misalnya menjenguk orang sakit, berderma, bersikap jujur, tidak mencuri dll.
Melihat penjelasan diatas, maka peneliti menganggap dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh C. Y. Glock dan R. Stark lebih lengkap bila dibandingkan dengan Von Hugel dan Pratt. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan digunakan klasifikasi dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh C. Y. Glock dan R. Stark untuk menyusun alat ukur.
2.2.4. Pengukuran Religiusitas Instrumen yang digunakan untuk mengukur religiusitas adalah kuesioner yang berisikan skala religiusitas. Item-item pada kuesioner ini berdasarkan teoriteori tentang dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Robertson, 1988), yang menyebutkan bahwa dimensi religiusitas terdiri dari kepercayaan, praktek ritual, pengalaman, intelektual, dan konsekuensi.
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
25
Tabel 2.2 Keterangan Dimensi – dimensi Religiusitas
Dimensi
Indikator Perilaku
Kepercayaan / ideologis
•
Individu berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu
•
Individu mengakui kebenaran doktrindoktrin agama yang meliputi isi dan cakupan keimanan
Praktek ritual/ peribadatan
•
Individu patuh menjalankan kewajiban beribadah sesuai dengan ajaran agamanya
Pengalaman/ eksperensial
•
Individu
menghayati
dan
mengalami
pengalaman religius Intelektual/pengetahuan
•
Individu memahami ajaran agama yang dianutnya
•
Adanya
keinginan
menambah
individu
pemahaman
dalam
untuk hal
keagamaan •
Konsekuensi
Perilaku individu dalam lingkungan sosial mendapat pengaruh dari ajaran agama yang dianutnya
2.2.5
Agama Islam Kata Islam merupakan kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan,
ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), yang berasal dari kata salama artinya patuh atau menerima; berakar dari huruf sin lam mim (s-l-m). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela,tidak bercacat (Daud Muhammad, 2005). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa arti yang terkandung
dalam
perkataan
Islam
adalah:
kedamaian,
kesejahteraan,
keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan, dan kepatuhan.
2.2.5.1 Sumber Ajaran Agama Islam Sumber utama ajaran Agama Islam terdiri dari al-Quran dan Al-Hadist, kemudian akal pikiran manusia (rakyu) sebagai sumber pengembangannya atau
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
26
sumber tambahan. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber utama dan sumber tambahan dalam ajaran Agama Islam. 1. Al-Quran Al-Quran merupakan kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) Allah yang digunakan sebagai pedoman atau petunjuk umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak. Menurut Nasr (dalam Daud Muhammad, 2005) dalam al-Quran memuat ajaran yang dapat dijadikan petunjuk untuk manusia, diantaranya yakni ajaran mengenai akhlak atau moral serta hukum yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. 2. Al-Hadists Al-Hadist merupakan sumber kedua ajaran Agama Islam. Al-Hadist merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang al-Quran. Al-Hadist memiliki peran sebagai penegasan lebih lanjut mengenai ketentuan yang terdapat dalam al-Quran, penjelasan isi al-Quran, dan menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam al-Quran (Daud Muhammad, 2005). 3. Rakyu Rakyu merupakan hasil proses berpikir manusia yang berkompeten untuk menghasilkan norma-norma dan seperangkat penilaian mengenai perbuatan manusia dalam hidup dan kehidupan, baik dalam hidup pribadi maupun di dalam kehidupan bermasyarakat.
2.2.5.2 Dimensi-dimensi Religiusitas dalam Agama Islam Berikut ini akan dibahas dimensi-dimensi religiusitas yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam. 1. Dimensi Kepecayaan atau Ideologis. Dalam ajaran agama Islam dikenal istilah rukun iman, yang merupakan kerangka dasar agama Islam. Rukun iman merupakan lima hal yang harus diyakini oleh umat Islam, yakni percaya pada Allah, percaya pada malaikat utusan Allah, percaya pada kitab suci al-Quran,
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
27
percaya pada hari kiamat, dan percaya kada dan kadar (takdir yang telah ditentukan oleh Allah) (Daud Muhammad, 2005). 2. Dimensi Ritual atau Peribadatan. Ritual peribadatan dalam ajaran agama Islam yang pertama dan paling utama ialah shalat wajib yang dikerjakan sebanyak lima kali dalam sehari. Selanjutnya ialah ibadah puasa yang dilaksanakan setiap bulan Ramadhan selama 30 hari. Umat muslim menjalankan ibadah dengan tidak makan dan minum mulai dari waktu imsak (subuh) hingga azan magrib (sore). Umat muslim juga diwajibkan membayar zakat sebesar 2,5% dari penghasilannya untuk diberikan pada fakir miskin. 3. Dimensi Pengalaman atau Eksperensial. Pada dimensi ini, umat beragama mernghayati pengalaman religius. Seperti misalnya perasaan dekat dengan Allah, merasa doa-doanya dikabulkan, dan pengalaman-pengalaman religius lainnya. Pengalaman religius ini ditanggapi secara subyektif, sehingga hanya individu tersebut yang mampu merasakan dan memaknainya 4. Dimensi Intelektual atau Pengetahuan. Perilaku-perilaku yang dapat dijadikan contoh dimensi intelektual/pengetahuan berkaitan dengan agama Islam adalah membaca al-Quran, melakukan pengajian, membaca buku-buku yang membahas permasalahan agama, dll. 5. Dimensi Konsekuensi. Agama Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki perilaku yang pemaaf, jujur, berani, dan selalu berbuat baik sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat jahat terhadapnya (Daud Muhammad, 2005).
2.3.
Dewasa Muda Dalam Papalia et al., (2000) usia dewasa muda dimulai ketika individu
menginjak usia 20-40 tahun. Hal ini juga disetujui oleh Hurlock dalam Mappiare (1983) yang mengatakan masa dewasa muda terbentang sejak tercapainya kematangan secara hukum sampai kira-kira usia empat puluh tahun—dialami seseorang sekitar dua puluh tahun. R.J Havighurst dalam Lemme (1995) menyebutkan beberapa tugas perkembangan pada tahapan usia dewasa muda, yakni: 1. Memilih teman bergaul (sebagai calon suami atau isteri).
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
28
2. Belajar hidup bersama dengan suami atau isteri. 3. Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga. 4. Belajar mengasuh anak-anak. 5. Mengelola rumah tangga. 6. Mulai bekerja dalam suatu jabatan. 7. Mulai bertanggungjawab sebagai warga negara secara layak. 8. Memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai pahamnya. Hal ini sejalan dengan tahapan perkembangan psikososial menurut Erikson (dalam Papalia, 2000) dimana dewasa muda berada pada tahap intimacy versus isolation. Individu dikatakan telah mulai menjalin keintiman dengan orang lain, baik itu sesama jenis maupun berlainan jenis. Individu juga mulai membangun sebuah hubungan yang berlandaskan komitmen dan ketika hubungan tersebut dapat terbentuk, maka individu dapat terhindar dari perasaan terisolasi dan self-absorption. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan usia dewasa muda erat kaitannya dengan kehidupan berkeluarga. Saxton dalam Mappiare (1983) mengatakan bahwa salah satu kebutuhan utama yang dapat mendorong individu untuk hidup berkeluarga ialah adanya kebutuhan seksual, sehingga dapat dikatakan individu dewasa muda telah lebih aktif secara seksual. Individu dewasa muda juga dihadapkan pada pilihan-pilihan terkait perilaku seksual dan secara mandiri telah mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan pilihannya, seperti misalnya: pernikahan, cohabitation, hubungan homoseksual,dll (Papalia, 2000). Selain menjalin komitmen terkait dengan kehidupan berkeluarga, individu dewasa muda juga menjalin komitmen terkait dengan isu agama (Lemme, 1995). Hal ini sesuai dengan tahapan perkembangan keyakinan yang diutarakan oleh Fowler (dalam Papalia, 2000), dimana individu dewasa muda telah sampai pada tahap individuating-reflective faith, yakni mereka sudah mulai bertanggung jawab terhadap kepercayaan, sikap, komitmen, dan gaya hidupnya sendiri. Minat terhadap agama pada dewasa muda juga dapat dikatakan cukup kuat, walaupun intensitas minat keagamaan individunya berubah meningkat secara gradual seiring dengan bertambahnya usia (Mappiare, 1983).
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia
29
2.4.
Hubungan antara Sikap Terhadap Hubungan Seksual, Masturbasi, Pornografi, dan Homoseksual dengan Tingkat Religiusitas Sikap telah menjadi fokus perhatian para pakar psikologi sosial dalam
menjelaskan perilaku manusia (Ajzen, 2005). Salah satu dari beberapa sikap manusia yang menjadi pusat perhatian adalah sikap terhadap perilaku seksual. Sikap terhadap perilaku seksual setiap individu dapat berbeda-beda, mulai dari sangat positif dan permisif hingga sikap sangat negatif dan membatasi (Baron & Byrne, 1997). Perbedaan ini dapat dipengaruhi salah satunya oleh agama (Rollins, 1996). Berkaitan dengan agama, religiusitas dapat dijadikan sebagai cara untuk melihat keterikatan individu terhadap agama yang dianutnya (Paloutzian, 2005). Berikut ini dapat disimak penelitian yang dilakukan oleh Earle dan Perricone (dalam Miracle et al., 2005) kepada mahasiswa disuatu Universitas beragama, menghasilkan bahwa mahasiswa yang religius memiliki sikap yang tidak permisif terhadap perilaku seksual. Berdasarkan penelitian diatas, maka peneliti mencoba untuk melihat hubungan yang terdapat antara perilaku seksual yang lebih spesifik, yakni hubungan seksual pranikah, masturbasi, pornografi, dan homoseksual dengan religiusitas pada dewasa muda. Dimana dikatakan bahwa pada usia dewasa muda, perilaku seksual dan komitmen beragama sedang mengalami perkembangan secara khusus (Arnett dalam Lefkowitz, 2004).
Hubungan Antar..., Akses Tri Handayani, F.PSI UI, 2008
Universitas Indonesia