10
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu merokok, stereotipi perokok, konformitas dan kaitannya dengan remaja awal.
2.1 Merokok 2.1.1 Definisi Dalam kamus the world book encyclopedia (1982) smoking adalah the drawing of tobacco smoke from a cigarette, a cigar, or a pipe into the mouth and often into the lungs and puffing it out. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap, baik menggunakan pipa ataupun rokok (Sitepoe, 2000). Asap yang dihisap perokok disebut dengan mainstream smoke, sedangkan asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar dan terhisap oleh orang yang ada di sekitar perokok adalah sidestream smoke. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa merokok adalah kegiatan membakar tembakau dari rokok yang melibatkan proses memasukkan asap ke dalam tubuh dengan cara menghisapnya.
2.1.2 Tahapan Merokok Ada empat tahap dalam merokok pada remaja sebagaimana dijelaskan oleh Leventhal and Cleary (dalam Oskamp, 1984), yaitu: a. Tahap persiapan (preparation) Tahap persiapan muncul sebelum individu pernah mencoba merokok. Tahap ini terdiri dari berkembangnya sikap dan intensi tentang perilaku merokok dan citra yang muncul dari merokok. Hal tersebut didapat dari hasil observasi terhadap orangtua, orang dewasa di sekitar dan kesan yang dibentuk dari iklan rokok oleh media yang ada di lingkungan sekitar. b. Tahap mencoba (initiation) Tahap ini merupakan tahap ketika individu mencoba merokok. Tahap ini merupakan tahapan yang paling kritis dari semua tahap merokok. Menurut
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
11
Kaplan, Sallis & Peterson (1993) seseorang mulai mencoba merokok adalah pada usia belasan tahun, dan banyak juga yang mencoba selama masa SMP (Papalia, et al, 2004 ; Steinberg, 1999). Keputusan untuk mencoba merokok seringkali terjadi karena desakan dari teman. Pada tahap percobaan ini pada umumnya secara fisik tidak menyenangkan, tetapi bagi beberapa orang menginterpretasikan sensasi fisik itu sebagai hal yang tidak penting, sehingga mereka meneruskan untuk merokok hingga masuk pada tahap menjadi perokok tetap. c. Tahap menjadi perokok (becoming a smoker) Tahap ini terjadi ketika individu menjadi perokok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diperlukan sekitar dua tahun bagi individu untuk beralih dari ekperimentasi awal ke tahap merokok secara reguler. Levental dan Clearly (dalam Oskamp, 1984) menyebutkan bahwa pada tahap ini terjadi
proses
pembentukan
konsep,
mempelajari
konsep
dan
menginternalisasikan peran perokok ke dalam konsep diri individu tersebut. Pada tahap ini juga mulai terbentuk toleransi pada efek psikologis. Tahap ini sangat tergantung pada kelompok teman sebaya dan citra diri yang diasosiasikan dengan merokok. d. Tahap mempertahankan menjadi perokok (maintenance of smoking) Tahap ini adalah tahap terakhir ketika faktor psikologis dan mekanisme biologis bersama membentuk pola perilaku merokok. Berbagai penelitian menemukan berbagai alasan psikologis seseorang merokok, diantaranya: kebiasaan, kecanduan, penurun kecemasan atau ketegangan, relaksasi yang menyenangkan, cara berteman dan memperoleh social reward dan stimulasi. Sedangkan dua faktor mekanisme biologis yang paling umum mempertahankan perilaku merokok yaitu: efek penguat nikotin dan level nikotin yang dibutuhkan oleh darah (Oskamp, 1984).
2.1.3 Penggolongan Perokok Gilchrist, Schinke, Bobo dan Snow (dalam Sweeting, 1990) membedakan perokok dalam 3 tipe, yaitu: a. Experimental smoker, yaitu orang yang pernah mencoba rokok tetapi tidak
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
12
menjadi kebiasaan. Orang yang termasuk dalam kelompok ini biasanya tidak atau belum mengalami kecanduan nikotin. b. Regular smoker, yaitu orang yang merokok secara teratur dan telah menjadi kebiasaan. Seseorang yang menjadi perokok reguler karena telah mengalami kecanduan nikotin. c. Non smoker, yaitu orang yang tidak pernah mencoba merokok. Boshtam dan Zadegan (1994) menggolongkan perokok menjadi tiga tipe berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi perharinya: a. Perokok ringan apabila merokok sekitar 10 batang per hari, b. Perokok sedang menghabiskan 11-20 batang per hari, c. Perokok berat apabila merokok lebih dari 20 batang per hari. Selain itu dalam Brotowasisto (2001) menggolongkan perokok berdasarkan waktu merokoknya, yaitu: a. Perokok ringan merokok dengan selang waktu merokok 60 menit dari bangun pagi. b. Perokok sedang dengan selang waktu merokok 31-60 menit dari bangun pagi. c. Perokok berat dengan selang waktu merokok 6-30 menit dari bangun pagi. d. Perokok sangat berat dengan selang waktu merokok 5 menit dari bangun pagi.
2.1.4 Dampak Merokok Dampak merokok terhadap kesehatan telah diketahui secara luas. Merokok berakibat terhadap 25% kematian akibat penyakit jantung koroner, 80% kasus penyakit saluran pernafasan kronis, 90% kematian akibat kanker paru, serta memiliki kontribusi terhadap berkembangnya kanker laring, mulut, dan pankreas, serta kanker paru pada perokok pasif (Taylor, 2003). Rokok mengandung berbagai zat kimia beracun yang menyebabkan berbagai gangguan fisik seperti impotensi, kanker, gangguan jantung, dan gangguan pernafasan seperti sesak nafas, penyakit paru obstruktif kronis seperti bronkhitis dan emfisema, serta gangguan kehamilan pada wanita. Hal yang lebih penting lagi adalah akibat rokok yang tidak hanya dirasakan oleh si perokok, melainkan juga harus ditanggung
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
13
oleh orang-orang yang ada di sekitarnya (perokok pasif). Perokok pasif yang tinggal bersama perokok memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit kronis (Emmons, 1999). Di samping itu merokok dapat menimbulkan efek adiksi akibat adanya nikotin yang terkandung dalam rokok
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi merokok pada remaja Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi remaja merokok: a. Pengaruh teman sebaya disebut menjadi faktor yang paling penting dalam mempengaruhi permulaan merokok pada remaja. Ada 70% dari perokok remaja mengaku merokok saat bersama teman-teman (Biglan, McConnell, Severson, Bavry & Ary dalam Taylor, 1999). Bahkan suatu penelitian menujukkan bahwa jika orangtua individu tidak merokok, teman sebaya yang merokok mempunyai pengaruh pada permulaan merokok pada remaja awal (Rice, 1996). Hal ini terlihat pada masa remaja awal, khususnya remaja pria yang mulai merokok sebagai mekanisme coping sosial.
Permulaan
kebiasaan
merokok
berawal
sebagai
tindakan
konformitas terhadap teman sebayanya. b. Pengaruh orang tua dan orang dewasa lainnya. Remaja yang memiliki orang tua yang merokok memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk merokok. Mereka mereka meniru perilaku mrokok orang tua atau orang dewasa lain (Rice, 1996). c. Iklan rokok. Melalui iklan rokok, perilaku merokok diidentifikasikan dengan maskulinitas, kebebasan, berjiwa muda, kecerdasan dan gaya hidup hedon (Rice, 1996). d. Merokok terkait dengan harga diri dan kebutuhan untuk diakui oleh beberapa remaja. Seringkali remaja yang merokok melakukan perilaku tersebut sebagai alat kompensasi karena mereka jatuh dalam pelajaran atau karena memiliki kebutuhan ego yang hendak dicapai. Pada remaja perempuan biasanya mulai merokok sebagai tanda pemberontakan atau kemandirian (Rice, 1996). e. Stereotipi perokok. Stereotipi perokok yang positif mempengaruhi seorang remaja untuk merokok, mereka merasa dengan merokok dapat
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
14
memberikan citra diri yang dia inginkan (Rice, 1996). Dalam penelitian ini faktor yang akan diteliti adalah pengaruh teman melalui proses konformitas dan stereotipi perokok terhadap perilaku merokok siswa SMP. Kedua faktor ini dipilih karena faktor konformitas dan faktor stereotipi perokok merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok remaja yang masih jarang diteliti secara khusus di Indonesia. Sehingga peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh tiap faktor terhadap perilaku merokok siswa SMP di Jakarta. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai masingmasing faktor.
2.2 Stereotipi 2.2.1 Definisi Istilah stereotipi berasal dari bahasa Yunani, stereos (kaku) dan tupos (jejak yang berurut). Dalam Hamilton (2004) stereotipi didefinisikan sebagai “mental representations of groups, in manner paralleling impressions of individuals.” Sedangkan dalam Baron dan Byrne (2003) stereotipi adalah “beliefs to the effect that all member of specific social groups share certain traits or characteristic”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan stereotipi adalah kerangka kognitif yang berisi pengetahuan dan kepercayaan mengenai suatu kelompok sosial dan sifat-sifat yang dipercaya dimiliki oleh anggota kelompok sosial tersebut. Bila seseorang memiliki stereotipi terhadap suatu kelompok, maka untuk seterusnya ia akan berpikir bahwa semua anggota kelompok tersebut memiliki ciri seperti yang ada dalam stereotipi tersebut. Penyamarataan atau penggeneralisasi ciri dan sifat didasarkan pada keanggotaan seseorang di dalam kelompok tersebut. Secara umum stereotipi dapat dikatakan sebagai usaha untuk menggeneralisasikan suatu kelompok. Sebagai contoh, ketika seseorang memiliki stereotipi perokok berani atau stereotipi perokok bandel maka ia akan berpikir bahwa semua perokok adalah seorang yang berani atau semua perokok adalah seorang yang bandel. Usaha generalisasi ini dilakukan berkaitan dengan informasi yang diterima oleh setiap individu dan adanya keterbatasan dalam pengolahan informasi. Dalam kasus stereotipi perokok, stereotipi perokok yang positif terbentuk melalui
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
15
pembentukan citra sosial dalam masyarakat mengenai perokok dan citra perokok yang disampaikan melalui iklan-iklan rokok yang mengasosiasikan rokok dengan hal-hal yang positif. Sedangkan stereotipi perokok yang negatif terbentuk melalui iklan-iklan anti rokok dan pengalaman negatif yang dialami yang berkaitan dengan rokok. Penilaian yang dilakukan untuk menempatkan suatu objek ke dalam suatu kategori dapat dilakukan melalui komponen stereotipi. Komponen stereotipi menurut Ehrenfels (dalam Leyens, 1995) adalah deskripsi dan evaluasi. Komponen deskripsi adalah penilaian yang menggambarkan atribut atau tingkah laku, sedangkan komponen evaluatif adalah penilaian berdasarkan dua sudut pandang yaitu menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang lain atau kelompok lain. Sudut pandang ini dapat ditujukan kepada diri sendiri atau orang lain. Contohnya stereotipi bahwa perokok adalah pemberani termasuk dalam komponen deskripsi sedangkan stereotipi bahwa perokok adalah lebih bandel daripada orang yang bukan perokok adalah termasuk komponen evaluatif.
2.2.2 Definisi Stereotipi Perokok Salah satu bentuk stereotipi adalah stereotipi perokok. Dalam penelitian tentang perilaku merokok pada remaja yang dilakukan oleh Aloise-Young, Hennigan, dan Graham (1996) stereotipi perokok didefinisikan sebagai “image of smokers”. Berdasarkan definisi stereotipi tersebut maka disimpulkan stereotipi perokok adalah pengetahuan dan kepercayaan seseorang mengenai citra kelompok perokok dan sifat-sifat atau karakteristik yang dipercaya dimiliki oleh kelompok perokok tersebut.
2.2.2 Dinamika Stereotipi dan Perilaku Merokok pada Remaja Awal Pada tahap remaja awal, mereka sangat peduli terhadap pandangan orang lain terhadap diri mereka terutama pada teman sebayanya. Elkind (dalam Barton, et al, 1982) menyebut “imaginary audience” untuk menjelaskan keyakinan remaja bahwa orang lain sangat memperhatikan tingkah laku dan penampilan mereka. Penampilan dan citra diri yang positif membantu mereka untuk masuk dalam hubungan pertemanan dan penerimaan kelompok. Ketika remaja memiliki
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
16
kemiripan citra diri dengan stereotipi perokok yang positif seperti seorang yang berani, disukai, dan dewasa, kemudian remaja mencoba menggunakan rokok sebagai cara untuk mendapatkan karakteristik tersebut sebagai cara untuk mengkomunikasikan citra diri yang dia inginkan (self enhancement) (AloiseYoung, Hennigan & Graham, 1996).
2.3 Konformitas 2.3.1 Definisi Menurut Cialdini dan Goldstein (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2006) konformitas adalah : “the tendency to change one beliefs or behaviours to match the behaviour of others.” Definisi tersebut mengatakan bahwa konformitas adalah kecenderungan seseorang untuk mengubah tingkah laku atau kepercayaan agar sesuai dengan tingkah laku orang lain. Definisi tersebut sejalan dengan definisi menurut Baron dan Byrne (2003) yang menyatakan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Sedangkan Myers (1996) memiliki definisi yang sedikit berbeda, yaitu: A change in behavior or belief as a result of real or imagined group pressure” (p. 233) Konformitas diartikan sebagai perubahan tingkah laku atau keyakinan individu sesuai dengan kelompoknya yang merupakan hasil dari tekanan yang nyata atau tidak nyata dari kelompok. Adanya tekanan tersebut dinyatakan oleh Middlebrook (1980) “conformity pressure is the pressure to modify what you are say or do to make it correspond with what others say and do.” Definisi di atas menyatakan tekanan untuk konform adalah tekanan untuk memodifikasi apa yang dikatakan atau dilakukan untuk membuatmya sama dengan yang dikatakan atau dilakukan orang lain. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah perubahan tingkah laku atau keyakinan individu yang disebabkan oleh
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
17
norma sosial yang ada agar sesuai dengan tekanan atau harapan kelompok. Tekanan kelompok tersebut dapat berupa tekanan yang nyata atau tidak nyata. Oleh karena itu, konformitas bukan hanya berarti bertingkah laku seperti orang lain tetapi terpengaruhi oleh cara kelompok tersebut bertindak dan tindakan ini akan berbeda jika dilakukan sendirian. Individu berada diantara nilai dan pendapatnya dengan nilai dan norma-norma yang dianut kelompok.
2.3.2 Kondisi yang Mendorong Terjadinya konformitas Kondisi yang dapat mendorong individu untuk menuruti tekanan konformitas dari lingkungan sekitarnya adalah sebagai berikut (Middlebrook, 1980; Myers, 1996; Baron & Byrne, 2003): a. Kelekatan (cohesiveness) Kelekatan adalah derajat ketertarikan yang dirasakan individu terhadap suatu kelompok. Semakin tinggi rasa suka dan mengagumi suatu kelompok tertentu maka semakin tinggi tekanan untuk melakukan konformitas, begitu juga sebaliknya. Misalnya, remaja lebih menurut kepada teman-temannya (karena kelekatan yang besar) daripada menurut pada orang tua. b. Ukuran kelompok Konformitas meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah kelompok. Penelitian Ach (1956) menemukan konformitas meningkat ketika jumlah anggota kelompok sampai empat orang, lebih dari itu tidak berpengaruh atau bahkan menurun. Sedangkan Bond dan Smith (1996) menemukan bahwa konformitas meningkat seiring pertambahan jumlah kelompok hingga sembilan orang atau lebih (Baron&Byrne, 2003). c. Status Semakin tinggi status seseorang, semakin rendah tekanan untuk konformitas, begitu juga sebaliknya (Myers, 1996). d. Peran jenis kelamin Pada umumnya, perempuan dianggap lebih konform dibandingkan dengan pria. Tetapi sampai saat ini hal ini masih terus diteliti. (Myers, 1996). e. Response condition (publicity)
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
18
Semakin umum keadaan atau diketahuinya identitas individu oleh publik sewaktu bertingkah laku, maka umumnya akan semakin konform pula (Myers, 1996). f. Group Unanimity Group unanimity adalah kehadiran atau ketidak hadiran social support (Middlebrook, 1980; Myers, 1996; Baron & Byrne, 2003), saat adanya ketidakbulatan suara atau dukungan sosial untuk tidak konform, maka akan menurunkan tingkat konformitas. g. Difficulty dan ambiguity Semakin sulit dan ambigu tugas yang harus dilakukan, maka umumnya seseorang akan semakin konform. Semakin ambigu dasar penilaian yang digunakan maka umumnya seseorang akan semakin konform. h. Komitmen Seseorang dengan komitmen yang semakin tinggi terhadap sesuatu, maka tingkat konformitasnya akan menurun (Middlebrook, 1980; Myers, 1996). Semakin tinggi komitmen seseorang dengan kelompoknya, maka tekanan untuk konform akan semakin kuat (Sears, Peplau & Taylor, 1991)
2.3.3 Alasan untuk konform Ketika individu konform terhadap suatu hal, para Psikolog sepakat mengatakan bahwa ada dua alasan yang menyebabkan individu konform terhadap suatu hal, yaitu: a. Pengaruh sosial normatif Pengaruh sosial yang bersifat normatif menekan individu untuk konform agar terhindar dari hukuman, mendapatkan penerimaan kelompok, atau terhindar dari rasa malu karena berbeda dari yang lainnya. Menurut Baron & Byrne (2003), yang mendasari konformitas ini adalah keinginan untuk disukai, rasa takut akan penolakan dan penyimpangan. b. Pengaruh sosial informatif Pengaruh sosial yang bersifat informatif terjadi saat kita bergantung pada orang lain untuk informasi yang berhubungan dengan realita, sehingga kita konform terhadap pendapat mayoritas karena menurut kita pendapat atau
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
19
penilaian mayoritas tersebut benar. Hal yang mendasari konformitas ini adalah keinginan untuk merasa benar. Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2006), kecenderungan untuk melakukan konformitas berdasarkan pengaruh sosial informatif tergantung pada dua aspek, yaitu seberapa besar kepercayaan individu terhadap informasi yang dimiliki kelompok dan seberapa besar kepercayaan diri individu terhadap keputusannya sendiri.
2.3.4 Alasan untuk tidak konform Menurut Baron & Byrne (2003) ada dua alasan mengapa seseorang memilih untuk tidak konform pada suatu hal, yaitu: a. Kebutuhan akan individuasi Setiap
individu
memiliki
kebutuhan
untuk
mempertahankan
individualitasnya, keinginan untuk memiliki jati diri sehingga dapat dibedakan oleh orang lain dalam beberapa hal. Dengan mengikuti suatu kelompok, yang sebenarnya tidak sesuai dengan dirinya maka individu kehilangan jati dirinya sendiri. Penelitian menemukan bahwa individu dengan tingkat individuasi yang tinggi (high-individuation) cenderung tidak mengikuti pandangan mayoritas (Sears, Peplau & Taylor, 1991). b. Kebutuhan untuk mempertahankan kontrol atas hidup Sebagian besar orang memiliki kebutuhan untuk mempertahankan kontrol terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidupnya. Dengan mengikuti suatu kelompok, yang sebenarnya tidak sesuai dengan dirinya secara tidak langsung menghambat kebebasan diri dan kontrol pribadi pada individu. Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin kuat kebutuhan individu akan kontrol pribadi maka semakin rendah kecenderungan mereka untuk konform terhadap tekanan sosial.
2.3.5 Konformitas pada remaja Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang disertai oleh perubahan fisik (pubertas), kognitif dan psikososial (Papalia,2004). Menurut Hall (dalam Santrock, 2003) masa remaja terjadi dalam rentang usia 12 tahun hingga 22-23 tahun. Kemudian dalam rentang usia tersebut
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
20
Konopka (dalam Pikunas, 1976) membagi rentang usia remaja menjadi tiga masa, yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja menegah (15-18 tahun) dan masa remaja akhir (18-22 tahun). Subjek dalam penelitian ini difokuskan pada siswa SMP yang pada umumnya berusia sekitar 12 sampai dengan 15 tahun, yang berarti berada pada masa remaja awal. Menurut Harris (dalam Abernathy, Massad, Romano-Dweyer, 1995), masa remaja adalah suatu masa dimana timbulnya motivasi yang tinggi untuk melakukan konformitas terhadap tingkah laku, nilai-nilai, dan sikap yang terdapat pada budaya anak muda. Konformitas bisa hadir dalam bentuk apapun dan mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan remaja (Santrock, 2003). Penelitian Sebald (dalam Rice, 1996) tentang konformitas pada 200 SMA di Amerika menunjukkan bahwa konformitas yang ditunjukkan oleh siswa adalah dalam hal aktivitas, bahasa, sikap, penampilan, dan minat. Hal tersebut membuktikan bahwa pada remaja biasanya konformitas terjadi dalam aktivitas, bahasa, sikap, penampilan dan minat. Konformitas pada remaja dapat berdampak positif dan negatif. Remaja yang terikat pada perilaku konformitas yang negatif biasanya melakukan perbuatan-perbuatan seperti bahasa kotor, pencurian, kekerasan, dan mengolokolok
orang
tua
dan
guru.
Berdasarkan
data
yang
ada
pada
http://www.balipost.com, remaja yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes
konformitas sosial lebih mudah menjadi pengguna obat-obatan (termasuk rokok) dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah. Sedangkan dampak positif yang ditimbulkan dari konformitas adalah keinginan untuk terlibat lebih jauh lagi didalam dunia kelompok seperti, berpakaian sama, dan keinginan untuk menghabiskan sebagian besar waktunya dengan beberapa anggota dari peer tersebut. Keadaan tersebut dapat membuat seseorang melakukan tindakan prososial seperti menggalang dana untuk sesuatu hal (Santrock, 2003). Ada perbedaan derajat konformitas pada remaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan menunjukkan derajat yang lebih besar untuk melakukan konformitas daripada remaja laki-laki (Rice, 1996). Hal ini terjadi karena remaja perempuan lebih peduli terhadap hubungan harmonis dan penerimaan sosial sehingga mendorong mereka untuk lebih konform. Berbagai
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
21
penelitian juga menemukan bahwa konformitas terhadap teman sebaya pada remaja yang tertinggi terjadi pada masa remaja awal dan remaja tengah dibandingkan dengan masa pra remaja dan remaja akhir (Steinberg, 2002). Tingginya konformitas pada masa remaja awal disebabkan karena pada masa ini meningkatnya orientasi terhadap teman sebayanya dan butuh pengakuan dari kelompoknya (Lesmana, 2005). Pada masa ini, mereka sangat dipengaruhi oleh penilaian orang lain. Mereka sangat peduli terhadap apa yang dipikirkan oleh teman-temannya tentang mereka. Oleh karena itu mereka memilih untuk bergabung dengan suatu kelompok dan mengikuti norma kelompok untuk menghindari perasaan ditolak. Meningkatnya konformitas pada masa remaja awal dilihat sebagai tanda proses emosi antara menjadi mandiri secara emosi dengan menjadi mandiri seutuhnya (Steinberg, 2002).
2.4 Pengaruh Stereotipi Perokok dan Konformitas terhadap Perilaku Merokok pada Siswa SMP Stereotipi perokok dan konformitas adalah dua faktor yang berdiri sendiri yang memiliki hubungan dengan munculnya perilaku merokok pada remaja. Stereotipi perokok adalah pandangan individu mengenai perokok. Pada remaja, stereotipi perokok merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan mereka untuk merokok. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin positif pandangan remaja tentang perokok maka kecenderungan untuk merokok di kemudian hari akan semakin tinggi. Hal ini dapat dikaitan dengan keinginan remaja untuk mendapatkan citra diri idealnya. Semakin dekat stereotipi perokok dengan citra diri idealnya, semakin tinggi kecenderungan untuk merokok (AloiseYoung, Hennigan. & Graham, 1996). Pada penelitian Aloise-Young, Hennigan dan Graham (1996) menyebutkan bahwa ada motif bagaimana stereotipi perokok mempengaruhi perilaku merokok pada remaja, yaitu self enhancement dan self consistency. Motif Self enchancement dilihat dari keinginan remaja untuk merokok karena stereotipi perokok lebih positif dibandingkan dengan citra dirinya, oleh karena itu remaja merokok untuk mendapatkan citra diri yang dia inginkan. Sedangkan motif Self consistency melihat bahwa remaja merokok karena merasa memiliki kemiripan antara citra dirinya dengan stereotipi perokok
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
22
yang dipersepsikan. Oleh karena itu merokok sebagai bentuk konsistensi dari citra dirinya. Berbagai penelitian menemukan bahwa salah satu faktor paling besar yang mempengaruhi remaja dalam mencoba merokok adalah teman. Teman sebaya yang merokok mempunyai pengaruh pada permulaan merokok pada remaja awal (Rice, 1996). Hal ini terlihat pada masa remaja awal, khususnya remaja pria yang mulai merokok sebagai mekanisme coping sosial. Permulaan kebiasaan merokok berawal sebagai tindakan konformitas terhadap teman sebayanya. Penelitian Chalela, Velez dan Ramirez (2007) menemukan bahwa prediktor terkuat pada perilaku merokok pada remaja adakah pengaruh teman sebaya dan penelitian Devi Wulandari (2005) juga menunjukan bahwa pengaruh teman merupakan faktor yang paling kuat dalam memprediksi perilaku merokok pada remaja. Dalam hal ini, remaja merokok karena memiliki tingkat konformitas yang cenderung tinggi terhadap norma sosialnya yaitu lingkungan teman yang merokok. Kedua faktor di atas berkaitan dengan ciri perkembangan sosial pada siswa SMP yang pada umumnya berada pada masa remaja awal. Hubungan yang baik dengan teman atau kelompok peer merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan sosial remaja terutama remaja awal (Steinberg, 2002). Pada tahap remaja awal, mereka sangat peduli terhadap pandangan orang lain terhadap diri mereka terutama pada teman sebayanya (Barton, Chassin, Presson & Sherman, 1982). Elikind (dalam Rice, 1996) menyebut “imaginary audience” untuk menjelaskan keyakinan remaja bahwa orang lain sangat memperhatikan tingkah laku dan penampilan mereka. Oleh karena itu, mereka mencoba menampilkan diri mereka sebaik mungkin dan seperti yang orang lain harapkan. Penampilan dan citra diri yang positif membantu mereka untuk masuk dalam hubungan pertemanan dan penerimaan kelompok. Dalam hal ini kaitannya dengan perilaku merokok adalah ketika remaja memiliki stereotipi yang positif mengenai perokok seperti seorang yang berani, menarik, dan dewasa maka kemudian remaja mencoba menggunakan rokok untuk mendapatkan karakteristik tersebut (self enhancement). Selain itu, remaja merokok sebagai bentuk konformitas untuk membantu mereka masuk dalam hubungan pertemanan dan penerimaan kelompok
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
23
(Taylor,1999). Selain itu, karena pentingnya kelompok peer bagi remaja, maka banyak remaja yang bertingkah laku sesuai dengan harapan kelompoknya agar disukai dan diterima. Harapan kelompok tersebut dinilai sebagai tekanan (peer pressure) pada remaja. Tekanan itu membawa remaja pada konformitas, yaitu remaja merokok karena disebabkan tekanan secara nyata atau tidak dari kelompok temantemannya (Santrock, 2003). Konformitas ini terlihat sangat tinggi pada masa remaja awal, kemudian mengalami penurunan secara gradual seiring bertambahnya usia (Steinberg, 2002). Berdasarkan Konopka (dalam Pikunas, 1976) remaja awal berada ada rentang usia 12-15 tahun, yang mana pada umumnya di Indonesia remaja yang berada pada rentang usia tersebut berada pada tingkat pendidikan SMP. Dari paparan di atas, dapat dilihat bahwa stereotipi perokok dan konformitas mempengaruhi perilaku merokok pada remaja. Mengenai besar pengaruh dari tiap faktor yang telah disebutkan di atas selanjutnya akan dilihat dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
24
3. MASALAH, HIPOTESIS DAN VARIABEL
Pada bab ini akan diuraikan mengenai permasalahan, hipotesis, dan variabel apa saja yang diajukan dalam penelitian ini.
3.1. Permasalahan Penelitian Seperti yang telah dikemukakan dalam latar belakang penelitian, permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar pengaruh stereotipi perokok dan konformitas terhadap perilaku merokok pada siswa SMP?” dan “ Apakah terdapat perbedaan stereotipi perokok dan konformitas antara siswa SMP yang merokok dan yang tidak merokok?” Permasalahan utama di atas akan menurunkan pertanyaan berikut: a. Apakah
konformitas
memberikan
sumbangan
yang
lebih
besar
dibandingkan stereotipi perokok terhadap perilaku merokok siswa SMP? b. Seberapa besarkah sumbangan stereotipi perokok dan konformitas secara bersama-sama terhadap perilaku merokok pada siswa SMP? c. Apakah terdapat perbedaan stereotipi perokok pada siswa SMP yang merokok dengan yang tidak merokok? d. Apakah terdapat perbedaaan konformitas pada siswa SMP yang merokok dengan yang tidak merokok?
3.1.1 Permasalahan Operasional a. Apakah nilai koefisien regresi konformitas lebih besar dibandingkan dengan nilai koefisien regresi stereotipi perokok dalam persamaan regresi berganda yang diukur menggunakan alat ukur konformitas dan stereotipi perokok terhadap skor perilaku merokok? b. Seberapa besar koefisien R2 dalam korelasi berganda stereotipi perokok dan konformitas secara bersama-sama terhadap perilaku merokok? c. Apakah terdapat perbedaan mean stereotipi perokok antara siswa SMP yang merokok dengan yang tidak merokok yang diukur menggunakan alat ukur stereotipi perokok?
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
25
d. Apakah terdapat perbedaaan mean konformitas antara siswa SMP yang merokok dengan yang tidak merokok yang diukur menggunakan alat ukur stereotipi perokok?
3.2. Hipotesis Penelitian 3.2.1 Hipotesis Alternatif (Ha) Ha-1
: Konformitas memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan stereotipi perokok terhadap perilaku merokok
Ha-2
: Terdapat perbedaan mean stereotipi perokok secara signifikan pada siswa SMP yang merokok dengan yang tidak merokok
Ha-3
: Terdapat perbedaan mean konformitas secara signifikan pada siswa SMP yang merokok dengan yang tidak merokok
3.2.2 Hipotesis Null (Ho) Ho-1
: Konformitas tidak memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan stereotipi perokok terhadap perilaku merokok
Ho-2
: Tidak terdapat perbedaan stereotipi perokok secara signifikan pada siswa SMP yang merokok dengan yang tidak merokok
Ho-3
: Tidak terdapat perbedaan konformitas secara signifikan pada siswa SMP yang merokok dengan yang tidak merokok
3.3. Variabel Penelitian Variabel dependen (DV)
: Perilaku merokok pada siswa SMP
Variabel independen 1 (IV 2)
: Stereotipi perokok
Variabel independen 2 (IV 2)
: Konformitas
3.3.1. Variabel Dependen Variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku merokok. Perilaku merokok adalah kegiatan atau kebiasaan merokok yang dilakukan seseorang. Perilaku merokok dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tipe yaitu: Regular smoker dan non smoker. Reguler smoker adalah orang yang merokok secara teratur dalam hitungan minggu atau lebih sering lagi. Sedangkan Non smoker
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008
26
adalah orang yang tidak pernah mencoba merokok (Sweeting, 1990).
3.3.2 Variabel Independen Variabel independen 1 pada penelitian ini adalah stereotipi perokok. Stereotipi perokok adalah persepsi seseorang tentang perokok. Hal ini diukur menggunakan kuesioner stereotipi perokok. Definisi operasional dari stereotipi perokok adalah skor yang diperoleh melalui skala stereotipi perokok pada partisipan penelitian ini. Semakin tinggi skor total partisipan semakin positif stereotipi seseorang mengenai perokok pada usianya, sebaliknya semakin rendah skor total partisipan semakin negatif stereotipi partisipan mengenai perokok pada usianya. Variabel independen 2 pada
penelitian ini adalah konformitas.
Konformitas adalah usaha perubahan tingkah laku atau keyakinan individu yang disebabkan oleh norma sosial yang ada agar sesuai dengan tekanan atau harapan kelompok. Tekanan kelompok tersebut dapat berupa tekanan yang nyata atau tidak nyata. Hal ini diukur oleh kuesioner konformitas. Definisi operasional dari konformitas adalah skor yang diperoleh partisipan penelitian melalui skor kuesioner konformitas yang disusun peneliti. Semakin tinggi skor total partisipan dalam kuesioner tersebut maka semakin tinggi pula tingkat konformitas partisipan, sebaliknya semakin rendah skor total partisipan dalam skala tersebut maka semakin rendah pula tingkat konformitas partisipan.
Universitas Indonesia Pengaruh Stereotipi..., Dian Pratiwi Widowaty, F.PSI UI, 2008