2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Wilayah Umum Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu terletak pada 106o20′00′′ BT hingga 106o57′00′′ BT dan 5o10′00′′ LS hingga 5o57′00′′ LS yang terbentang dari Teluk Jakarta di Selatan hingga Pulau Sebira di Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara (Muzaki, 2008). Lokasi Kepulauan Seribu mempunyai batas-batas wilayah secara umum adalah sebagai berikut : sebelah Utara adalah Laut Jawa dan Selat Sunda, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan Selat Sunda, serta sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Jakarta dan Tanggerang Banten (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Luas wilayah Kepulauan Seribu ± 8,7 km2 terdiri dari perairan dan daratan pulau-pulau. Terdapat 103 buah pulau yang tersebar didalam beberapa gugus pulau, dengan jumlah penduduk ± 21.071 jiwa yang bermukim di 11 pulau yang penyebarannya lebih terkonsentrasi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara yaitu berjumlah ± 12.742 jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan berjumlah 8.329 jiwa (BPS, 2010). 2.1.1. Topografi Kepulauan Seribu merupakan suatu gugusan kepulauan yang sebagian besar terdiri dari pulau-pulau karang dan gosong karang. Topografi Kawasan Kepulauan Seribu rata-rata mendatar dan mempunyai tingkat ketinggian dari permukaan laut antara 1 sampai dengan 2 meter, keadaan tanah di kawasan tersebut merupakan tanah berpasir dengan tingkat kesuburan yang relatif rendah.
3
4
Kawasan ini terdiri dari gugus pulau-pulau yang sangat kecil, 86 gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektar (reef flat seluas 1.994 ha, laguna seluas 119 ha, selat seluas 18 ha dan teluk seluas 5 ha), terumbu karang dengan tipe karang fringing reef, mangrove dan lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/ lumpur, dan kedalaman dangkal sekitar 0-40 m (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007). 2.1.2. Hidro-oseanografi Kondisi perairan gugus Kepulauan Seribu pada umumnya memiliki karakteristik yang relatif beragam pada setiap pulaunya. Tipe pasang surut (pasut) tahunan di Kepulauan Seribu adalah pasang surut harian tunggal (diurnal), dimana dalam satu hari terdapat satu kali pasang dan satu kali surut dengan periode pasut selama 24 jam 50 menit (Ali et al, 1994). Kedudukan air tertinggi sebesar 6 dm diatas duduk tengah,dan kedudukan air terendah sebesar 5 dm di bawah duduk tengah. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani (masa pertengahan bulan) adalah 9 dm, dan rata-rata tunggang air pada pasang mati (masa seperempat bulan akhir) adalah 2 dm (Miharja dan Pranowo, 2001). Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara 28.5°C-30.0°C. Pada musim timur suhu permukaan berkisar antara 28.5°C-31.0°C, Salinitas permukaan berkisar antara 30%-34% pada musim barat maupun pada musim timur. Tinggi gelombang dan arus permukaan di perairan Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh musim. Gelombang pada musim barat ketinggiannya antara 0.5 – 1.5 m, dan saat angin kencang ketinggian bisa mencapai lebih besar dari 1.5 meter. Gelombang pada musim timur ketinggiannya antara 0.5 – 1.0 m, Sedangkan gelombang pada musim peralihan ketinggiannya dapat lebih rendah
5
dari 0.5 meter (Dishidros dalam Miharja dan Pranowo, 2001). Kecepatan arus permukaan pada musim timur berkisar antara 0.10-0.17 m/detik, kecepatan reletif lebih besar terjadi pada musim barat yaitu sekitar 0.43 m/detik. 2.1.3. Iklim Cuaca di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh musim hujan, musim kemarau, diantara kedua musim tersebut terdapat musim peralihan. Kondisi laut pada saat itu biasanya berubah-ubah, tetapi relatif tenang (LAPI-ITB, 2001). Musim hujan terjadi bulan November – April dengan banyaknya hari hujan antara 10 – 20 hari per bulan, dan curah hujan terbesar terjadi pada sekitar bulan Januari. Musim kemarau terjadi bulan Mei – Oktober dengan banyaknya hari hujan antara 4 – 10 hari per bulan, dan curah hujan terkecil terjadi pada sekitar bulan Agustus (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Sedangkan musim peralihan terjadi pada bulan April – Mei dan Oktober – November. Dalam hal ini cuaca buruk sering terjadi dalam bulan Desember – November, dan cuaca baik umumnya terjadi pada bulan Juni – Oktober (Dishidros dalam Miharja dan Pranowo, 2001). Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat (Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim peralihan terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot per jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim timur kecepatan
6
angin berkisar antara 7-15 knot per jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara.
2.2. Budidaya Perikanan Laut 2.2.1. Definisi Budidaya Perikanan Laut Budidaya perikanan laut merupakan budidaya yang dilakukan di perairan laut yang kadar garam berkisar antara 30-35 ppt (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2010). Budidaya laut dilakukan untuk meningkatkan produksi perikanan laut dengan memanipulasi laju pertumbuhan, mortalitas dan reproduksi. Kegiatan budidaya telah dilakukan sejak dulu yaitu pemeliharaan pada media air dengan pemberian makanan untuk biota yang dipelihara. Kegiatan budidaya ikan laut pada umumnya dilakukan menggunakan keramba jaring apung dan keramba jaring tancap. Budidaya ikan dengan menggunakan karamba merupakan alternatif wadah budidaya ikan yang sangat potensial untuk dikembangkan karena seperti yang telah diketahui bahwa wilayah Indonesia ini terdiri dari 70% perairan baik air tawar maupun air laut. Dengan menggunakan wadah budidaya karamba dapat diterapkan beberapa sistem budidaya ikan yaitu secara ekstensif, semi intensif maupun intensif disesuaikan dengan kemampuan para pembudidaya ikan. Teknologi yang digunakan dalam membudidayakan ikan dengan karamba ini relatif tidak mahal dan sederhana, tidak memerlukan lahan daratan menjadi badan air yang baru serta dapat meningkatkan produksi perikanan budidaya.
7
2.2.2. Pemilihan Lokasi Budidaya Perikanan Laut Pemilihan lokasi untuk budidaya memegang peranan yang sangat penting. Pemilihan lokasi yang tepat akan mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan kesesuaian perairan untuk budidaya ikan khususnya pada keramba dapat digolongkan menjadi dua bagian. Pertama adalah faktor kesesuaian fisik/teknis wilayah perairan dan kedua adalah faktor kesesuaian sosial ekonomi (sosek) masyarakat (LAPAN, 2004). Menurut Murdjani (2003), faktor teknis adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan budidaya yang meliputi diantaranya pemilihan lokasi budidaya, struktur kerangka keramba yang digunakan, ketersediaan atau kemudahan transportasi, serta hal-hal lainnya yang berkaitan secara langsung terhadap proses kegiatan budidaya. Beberapa parameter fisik yang perlu diperhatikan itu diantaranya yaitu keadaan angin, gelombang, kedalaman perairan, keterlindungan, substrat dasar, serta kualitas air. Beberapa parameter kualitas air yang menjadi perioritas, diantaranya yaitu: a. Kecerahan Perairan yang jernih secara visual menandakan adanya kualitas air yang baik, karena dalam air yang jernih umumnya kandungan partikel terlarut yang rendah. Pada air yang mempunyai tingkat kecerahan tinggi, beberapa parameter kualitas air yang terkait erat dengan bahan organik seperti NO 2, H2S, dan NH3 cenderung rendah. Kekeruhan suatu perairan pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu blooming plankton dan tersuspensinya partikel- partikel dasar perairan. Partikel penyebab kekeruhan menyebabkan gangguan penetrasi cahaya yang
8
masuk dalam media air, sehingga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fitoplankton. Disamping itu keadaan blooming plankton juga dapat menyebabkan kematian (Murdjani, 2003). b. Salinitas Pada umumnya perairan terumbu karang memiliki salinitas 30-35 ppt. Oleh karena itu lokasi hendaknya tidak dekat dengan muara sungai, karena pada wilayah muara sungai salinitas cenderung fluktuatif. Salinitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan budidaya dapat menyebabkan gangguan kesehatan, pertumbuhan, serta nafsu makan terhadap biota yang dibudidaya (Tiskiantoro, 2006). Hal ini disebabkan secara fisiologis salinitas akan mempengaruhi fungsi organ osmoregulator ikan. Perbedaan salinitas air media pada tubuh ikan akan menyebabkan gangguan keseimbangan. c. Derajat Keasaman (pH) Reaksi asam basa sangat penting bagi lingkungan, karena semua proses biologi terjadi dalam kisaran pH optimum. Derajat keasaman umumnya yaitu berkisar antara 7-9, hal ini disebabkan didalam massa air laut terdapat sistem penyangga (buffer). Menurut Boyd (1982) dekomposisi bahan organik dan respirasi akan menurunkan kandungan oksigen terlarut, sekaligus menaikkan kandungan CO2 yang berdampak menurunnya pH air laut. Dalam pemilihan lokasi budidaya yang tepat salah satunya dengan melihat keberadaan padang lamun, koral, maupun hutan mangrove yang pada umumnya memiliki pH yang optimum. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada kisaran 7,0 – 8,5. Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH.
9
d. Suhu Suhu secara langsung berpengaruh terhadap metabolisme ikan. Pada suhu tinggi metabolisme dipacu, sedangkan pada suhu rendah proses metabolisme diperlambat. Bila terjadi hal seperti ini dan berlangsung lama maka akan menggangu proses metabolisme dari ikan, sehingga untuk pemilihan lahan budidaya hendaknya memilih lokasi yang memiliki kisaran suhu yang stabil. Peningkatan 10 °C suhu perairan meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 - 3 kali lipat (LAPAN, 2004). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Suhu dapat berpengaruh terhadap perkembangan hama dan penyakit pada ikan. Suhu perairan pada umumnya tidak berubah antara lokasi satu dengan yang lainnya kecuali suatu daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang menyebabkan naik atau turunnya suhu di suatu perairan seperti, kawasan perindustrian yang membuang limbanya langsung ke perairan. Dalam menentukan lokasi budidaya hendaknya jauh dari kawasan industri yang menghasilkan banyak limbah. e. Amoniak Amoniak (NH3) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu hasil dari proses penguraian bahan organik. Amoniak terdapat dalam dua bentuk yaitu amoniak tak berion (NH3) dan amoniak berion (NH4). Amoniak berion sifatnya tidak beracun, sedangkan amoniak tak berion sifatnya beracun.
10
Menurut Boyd (1982) tingkat keracunan NH3 berbeda- beda untuk tiap spesies, tetapi pada kadar 0.5 mg/l dapat berbahaya bagi organisme. Kadar amoniak yang ideal untuk suatu perairan yaitu berkisar antara 0.25-0.45 mg/l. f. Oksigen Terlarut Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi ikan yang dibudidayakan. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Konsentrasi oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan, dan mengurangi daya dukung perairan. Selain itu Oksigen terlarut di perairan sangat dibutuhkan sumua organisme yang ada di dalamnya untuk proses respirasi dalam rangka melangsungkan metabolisme dalam tubuh. Ikan akan hidup dengan baik pada kandungan oksigen 5–8 ppm (BBL Lampung, 2001). g. Bahan Organik Bahan organik merupakan berbagai bentuk ikatan kimia karbon dan hidrogen dengan unsur-unsur lain yang terikat pada atom karbon. Bahan organik dalam perairan biasanya berasal dari sisa-sisa organisme yang telah mati maupun yang berasal dari daratan yang dibawa oleh sungai. Pengaruh bahan organik secara langsung terhadap organisme yang dipelihara yaitu dapat mengakibatkan gangguan sistem pernapasan. h. Sumber Polutan Sumber polutan pada lingkungan perairan secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sumber polutan tetap dan sumber polutan tersebar. Sumber polutan tetap berasal dari industri, sedangkan sumber polutan tersebar berasal dari rumah tangga, peternakan, tempat akhir pembuangan sampah, limpasan daerah
11
pertanian. Selain itu sumber polutan dapat berasal dari pakan ikan yang dibudidayakan itu sendiri, pakan ikan yang tidak termakan akan jatuh ke dasar perairan jika jumlahnya berlebih maka akan menimbulkan yang signifikan terhadap perubahan lingkungan perairan (Prihadi et al, 2008). Hendaknya untuk memilih lokasi yang akan digunakan dalam kegiatan budidaya jauh dari sumbersumber polutan.
2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menayangkan kembali data spasial dari dunia nyata (real world) untuk kepentingan-kepentingan tertentu (Prahasta, 2001). Sistem informasi geografis sering juga diartikan sebagai suatu integrasi dari perangkat keras dan lunak beserta manusianya yang dapat membantu dalam mempresentasikan dan menganalisis data berbasis geografi. Sistem ini mereferensi koordinat dunia nyata. SIG dapat juga menyimpan data atribut yang mengandung informasi yang menjelaskan fitur peta. Informasi ini biasanya diletakan terpisah dari data grafis, dalam suatu file database, tetapi tetap terkait dengan data grafis yang ada. Secara umum terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang ada di dunia nyata. Pertama yaitu data spasial, jenis data ini merepresentasikan aspek-aspek keruangan dan fenomena yang bersangkutan. Sedangkan yang kedua merupakan jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek deskriptif dari fenomena yang dimodelkan. Aspek deskriptif ini mencakup items atau properties dari fenomena
12
yang bersangkutan hingga dimensi waktu, data ini sering disebut juga data non spasial. Data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format yaitu data vektor dan data raster (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007). Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan dalam bentuk garis, area, titik dan nodes (titik perpotongan antar dua garis). Sementara data raster atau data grid yaitu data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan piksel. Resolusi tergantung pada ukuran piksel, dengan kata lain resolusi piksel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pikselnya. Contoh dari data vektor dan data raster seperti yang terdapat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Sumber: ESRI (2002) Gambar 1. Data Vektor
13
Sumber: ESRI (2002) Gambar 2. Data Raster
Analisis dalam SIG dikenal suatu metode yang disebut cell based modelling. Menurut ESRI (2002), cell based modelling merupakan analisis spasial pada data raster yang bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada cell based modelling dibagi menjadi lima kelompok (Gambar 3), yakni meliputi : 1) Local function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel dimana nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input. 2) Focal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat. 3) Zonal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama. 4) Global function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut. 5) Application function adalah gabungan dari keempat operasi diatas yang meliputi local function, focal function, zonal function, dan global function.
14
Local Function
Focal Function
Zonal Function
Global Function
Sumber: ESRI (2002) Gambar 3. Ilustrasi Operasi Piksel pada Cell Based Modelling
Keunggulan menggunakan metode cell based modelling dibandingkan analisis lainnya adalah struktur data raster yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dalam pemodelan dan analisis serta kompatibel dengan data citra satelit serta memiliki variabilitas spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi lapangan (Muzaki, 2008). Dasar cell based modeling dapat diperoleh melalui data penginderaan jarak jauh, setiap piksel dari citra satelit memiliki informasi cakupan area yang dapat diidentifikasi. Integrasi SIG dengan data penginderaan jarak jauh dapat membantu dalam suatu kegiatan perencanaan (Mainassy, 2005) , seperti informasi mengenai peluang pengembangan berbagai berbagai jenis budidaya yang didasarkan pada jenis dan kuantitas lahan serta dapat memperoleh keuntungan dalam hal perlakuan-perlakuan secara komprehensif dan
15
terintegrasi terhadap kriteria pengembangan budidaya perikanan laut dibandingkan dengan metode lain yang menggunakan teknik analitik dan pembuatan peta secara manual.
2.4. Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jarak jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Perolehan data penginderaan jarak jauh dapat dilakukan baik dengan sensor aktif maupun pasif. Sensor pasif merekam radiasi elektromagnetik alami yang dipantulkan atau dipancarkan oleh bumi. Sensor aktif seperti radar dan sonar dimana mencari permukaan bumi dengan radiasi elektromagnetik buatan dan kemudian merekam sejumlah fluks radian yang dikembalikan kepada sensor (Jensen, 1996 dalam Faisal, 2009). Proses penginderaan jarak jauh dengan energi elektromagnetik untuk sumber daya alam meliputi dua hal yaitu pengumpulan data dan analisis data. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) elemen pengumpulan data meliputi sumber energi, perjalanan energi menuju atmosfer, interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, sensor, dan hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial atau bentuk numerik. Sedangkan proses analisis data meliputi pengujian data menggunakan alat interpretasi, informasi yang didapat biasanya disajikan dalam bentuk peta dan tabel, selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan. Sistem penginderaan jarak jauh secara skematik ditampilkan pada Gambar 6.
16
Sumber : Canada Center for Remote Sensing (2003)
Gambar 4. Sistem Penginderaan Jarak Jauh
Keterangan: A = Sumber Energi; B = Radiasi Elektromagnetik dan Atmosfer; C = Interaksi dengan objek; D = Perekaman energi oleh sensor; E = Transmisi, penerimaan, serta pemrosesan; F = Analisis data penginderaan jarak jauh; G = Aplikasi data penginderaan jarak jauh
Aplikasi dalam penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkandung di permukaan bumi (daratan) dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi objek-objek di dasar perairan dengan menggunakan sistem akustik contohnya dalam pemetaan batimetri. Informasi dapat diperoleh melalui penginderaan jarak jauh antaranya mengetahui luas penutupan lahan (mangrove, terumbu karang, sawah, perkebunan), estimasi atau pengukuran suhu permukaan, klorofil, dan TSS. Selain itu penginderaan jarak jauh dapat pula diaplikasikan dalam pembuatan potensi wisata (Jakti, 2009). Pemanfatan sistem penginderaan jarak jauh sangat menguntungkan, karena wilayah cakupan area yang cukup luas serta wilayah yang sulit dijangkau dan berbahaya (wilayah kebakaran hutan) dapat diliput dengan menggunakan sistem ini. Keuntungan ini dapat dimanfaatkan dalam perekaman data-data di negara Indonesia yang areanya sangat luas. Perekaman data penginderaan jarak jauh
17
dapat dilakukan secara berulang-ulang dengan periode tertentu tergantung dari resolusi temporal satelit (Faisal, 2009).
2.5. Advanced Land Observing Satellite (ALOS) ALOS merupakan satelite milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA ) yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006, dari komplek peluncuran Yoshinobu, Tanegashima Space Center Jepang. Satelite ALOS merupakan generasi setelah satelit japanese Earth Resources Satellite (JERS-1) yang digunakan untuk melakukan observasi terhadap permukaan bumi. Instrumen Satelit ALOS disajikan pada Gambar 7.
Sumber: JAXA (2010) Gambar 5. Skema Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite)
Satelit ALOS membawa tiga sensor remote sensing (Faisal, 2009), yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrumen for Stereo Mapping (PRISM) yang digunakan untuk memetakan topografi permukaan bumi, Advance Visible and Near Infrared Radiometer 2 (AVNIR-2 ) untuk observasi permukaan bumi dengan akurasi tinggi dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar
18
(PALSAR ) untuk observasi permukaan bumi pada setiap waktu (malam-siang) dan pada kondisi cuaca apa pun. AVNIR-2 adalah radiometer cahaya tampak dan infra merah dekat untuk observasi daratan dan wilayah pesisir. AVNIR-2 merupakan pengembangan dari AVNIR yang dibawa oleh satelit ADEOS. Adapun karakteristik dari citra ALOS yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS International Designation Code Waktu Peluncuran Kendaraan Peluncur Lokasi Peluncuran
Perlengkapan
Berat Orbit Ketinggian Injklinasi periode Kontrol Ketinggian
Band AVNIR
2006-002A 24 Januari 2006 pukul 10:33 H-IIA Launch Vehicle No.8 Tanegashima Space Center Box shape with a solar array paddle, phased array type L-band synthetic aperture radar (PALSAR), and data relay satellite communication antenna Main body: about 6.2m x 3.5m x4 .0m Solar Array Paddle: Approx. 3.1m x 22.2m PALSAR Antenna: Approx. 8.9m x 3.1m 4.000 kg Sun-Synchronous Subrecurrent/ Recurrent Perid:Approx. 46day 700 km 98 degrees 99 menit Three-axis stabilization (High accuracy attitude control orbit determination function) Band 1 : 0.42 to 0.50 micrometers Band 2 : 0.52 to 0.60 micrometers Band 3 : 0.61 to 0.69 micrometers Band 4 : 0.76 to 0.89 micrometers
Sumber: JAXA, 2010
AVNIR-2 mempunyai 4 band (Jakti, 2009) : band 1 (0,42-0,50 µm) yang digunakan untuk melihat penetrasi tubuh air, band 2 (0,52-0,60 µm) yang
19
digunakan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penelitian kesuburan, band 3 (0,61-0,69 µm) digunakan untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, dan band 4 (0,76-0,89 µm) yang digunakan untuk membedakan tanah, tanaman, lahan, dan air. ALOS memiliki karakteristik citra diantaranya resolusi spasial sebesar 10 x 10 meter, dengan lebar sapuan 70 km.