2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternmbu Karang 2.1.1 Biologi karang
Terumbu karang (coral reefi sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu yang mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut karang. Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur
dalarn lingkungan sedikit nutrien (oligotcofik). Karang merupakan hewan sederhana, berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus (Suharsono 1996). Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang
terletak di badan atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993). Tentakel-tentakel berkapsul yang dapat melukai (nematokis) dan berfungsi sebagai penangkap makanan berupa plankton (Nybakken 1992). Polip karang tersusun dari bagian lunak dan bagian keras yang berbentuk kerangka kapur. Kerangka kapur ini berfungsi sebagai penyangga sehingga seluruh jaringan pada polip karang. Kerangka kapur ini bempa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak yang disebut septa, septa tersusun dari bahan organik dan kapur yang merupakan hasil sekresi
dari polip karang. nnding polip karang terdiri dari 3 lapisan (Veron 2000), yaitu :
1. EKlodennis: Jaringan terluar dimana banyak dijumpai sel glandula yang berisi mukus dan sel knidoblast yang berisi sel nematokis. Nematokis merupakan sel penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertakdcan diri dari pemangsaan. 2. Mesoglea: Merupakan jaringan yang di bagian tengahnya berupa jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan di lapisan luar terdapat sel semacam otot.
3. Endodermis: Lapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang (zooxanthellae).
Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan silia dan flagella, yang berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel da~idi dalam sel mesenteri. Karang mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfimgsi secara baik. Selanjutnya gambaran mengenai anatomi karang dapat d i l i i t pada Gambar 2 hrikut.
Drsl d k m y cavity bra1 cane WUkrl
mynx wan
Gambar 2. Anatorni karang (Veron 2000) Karang banyak dijurnpai diantara 30°LU dan 25OLS. Hewan ini kebanyakan bersifat nocturnal (aktif mencari makan pada malam hari). Hal ini dikarenakan mangsanya berupa zooplankton, banyak rnuncul dimalam hari dan karang merupakan hewan karnivora (Veron 1986). Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter. Menurut Sumich (1992) dan Burke ei al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Pada sernua jaringan polip b a n g hematifik terdapat alga dari Kelas Dinoflagellata yakni Symbiodium microdriaticum sang mengandung klorofil dan disebut zooxanthellae (Falkowski et al. 1984). Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang aka. dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae (Sumich 1992 dan Burke et al. 2002).
Selanjutnya Sumich (1992) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga
menyebabkan bertambahnya
-
produksi
kalsium
karbonat
dengan
menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HC03) t--+ CaC03 + H2C03
H20 + C02
Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kits 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahennatipik) clan tidak bersimbiose dengan moxanthellae. Karang memiliki dua cara dalam reproduksi, yaitu dengan cara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual karang m e n g h a s i i larva planula yang berenang bebas dalam kolom perairan untuk sementara waktu, yang kemudian melekat pada substrat dan mengalami tahap perkembangan selanjutnya Menurut Harrison dan Wallace (1990) dalam Tomascik et al. (1997), karang sclerectinia memiliki empat prinsip dasar dalam reproduksi seksual. Hal ini berkaitan anatara hubungan hermaphrodit @embuahan eksternal)
-
-
gonochorisme dengan pemijahan
melahirkan (pembuahan internal). Mayoritas (60%)
karang sclerectinia yang memilii sel kelamin ganda (hermaphrodit) melakukan pembuahan diluar (eksternal). Hanya 15% karang hermaphrodit yang melakukan pembuahan di dalam dan mengeluarkan planula dalam tahap awal reproduksinya Demikian halnya dengan karang yang memiliki sel kelamin terpisah (gonochorisrne) atau dioceous, me&
juga memiliki dua macarn pembuahan
(eksternal dan internal). Sekitar 70% dari gonochorisme yang diketahui melakukan pembuahan dengan cara eksternal. Penelitian secara ekstensif yang
dilakukan di Great Barier Reef, Laut Merah, dan di beberapa ternpat di Laut Karibia memperliiatkan bahwa 70% karang sclerectinia yang diteliti melakukan pembuahan diluar, hanya 23% yang melakukan pembuahan didalam (Harrison dan Wallace 1990 dalam Tomascik et al. 1997). Setelah karang melekat pada substrat maka ia akan mengalami perubahan struktur dan histologi. Ketika polip menjadi dewasa dan membentuk koralit,
maka ia mulai melakukan reproduksi secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang dapat terjadi melalui intratentacular budding maupun extratentacular budding. Iniratentacular budding adalah tumbuhnya
individu baru dari individu yang lama dan hasilnya terdapat dua individu yang identik, Extratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama. Nybakken (1992) mengatakan bahwa berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik (reef builder) dan karang ahermatipik (non reef builder). Karang hermatifik (reef builder) adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik (non reef builder) adalah karang yang hanya sedikit menghasillcan kapur dan tidak menjadi bagian dari terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zmxanthellae. Ahermatipik (non-reef builder) adalah hewan karang yang tidak memiliki zooxanthellae atau hanya sediit mempunyai zooxanthellae dan dapat dijumpai pada beberapa karang keras atau karang lunak. Karang ahermatipik hidup tanpa eahaya matahari di dasar laut w o n 1986, Nybakken 1992, Tomascik et al. 1997). Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan masif (deposit) padat kalsium karbonat (CaC03) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme-organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaC03). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractinia) me~pakanpenyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef -building corals). T e m b u karang adalah suatu ekosistem di laut tropis yang mempunyai produktilltas tinggi (Sukamo et al. 1983). Besarnya prodnktifitas yang d i l i k i terumbu karang disebabkan oleh adanya pendantan ulang zat-zat hara melalui proses hayati (Longhurs & Panly 1987). Pada dasarnya terbentuk dari endapanendapan (deposit) kalsium karbonat (CaC03) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (kamng hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractina yang hidup bersimbiosis dengan zmxanthellae, dan sedikit tambahan
dari alga berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat Pengen 2001).
Morfologi skeleton karang yang digunakan oleh Veron (1986) untuk mengambarkan bentuk pertumbuhan karang yang menghasilkan morfolgi karang yaitu massive (sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak), branching (seperti cabang pohin atau jari), encrusting (melekat pada substrat atau berbentuk kerak, foliceous (seperti dam), laminar (seperti lempengan) danfree living (hidup lepas dari substrat).
Berdasarkan cara hidupnya, karang sclerectinia dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok hidup berkoloni dan yang hidup dalam bentuk soliter
(Thamrin 2006). Kelompok karang berkoloni secara garis besar dibagi ke dalam empat bentuk yaitu bentuk massive, bentuk bercabang (branching), foliceous dan bentuk encrusting, sedangkan bentuk koloni lainnya merupakan kombinasi dari ke empat kelompok besar tersebut. Bentuk pertumbuhan koloni juga dipengaruhi berbagai faktor lingkungan, terutama berhubungan dengan kedalaman dan kekeruhan. Kecepatan pertumbuhan karang ditentukan oleh tiga faktor penting yaitu bentuk pertumbuhan koloni, keddaman dan temperature (Thamrin 2006). Bentuk pertumbuhan bercabang umumnya lebii cepat dibandiigkan dengan bentuk pextumbuhan massive atau foIiceous. Kecepatan perturnbuhau karang paling cepat adalah karang bercabang Acropora dengan kecepatan pertumbuhan mencapai 15
cm per tahun. 'Karang tipe massive merniliki kecepatan pertumbuhan yang sangat lambat, seperti karang Porites memili kecepatan pertumbuhan sekitar 8 mrn per
tahun. Kecepatan pertumbuhan tergantung pada sifat dan jenis spesies karang.
Pada umumnya kecepatan pertumbuhan karang berhubungan dengan simbionnya zooxanthellae, akan tetapi ada kelompok karang tertentu yang juga menggantungkan dii cukup besar pada zooplankton dimana mengalami kecepatan pertumbuhan yang m a k s ' i pada saat zooplankton berlinlpah di perairan. Berdasarkan tipenya, terumbu karang dikelompokkan menjadi tiga kategori (Sukarno et al. 1983, Nontji 1993, Nybakken 1992) yaitu: 1) Terumbu karang tepi Pinging reen. Tentmbu karang tipe ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup m s . Sedangkan diantara pantai dan tepi luar
terumbu, karang batu cenderung mempunyai perhunbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. 2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reej). Terumbu karang ini terletak di
berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh
dasar laut yang terlalu dalam untuk perhunbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan -
akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Great Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil. 3) Terumbu h a n g cinch (atol) yang melingkari suatu goba (lagoon). Kedalaman goba didalam at01 sekitar 45m jarang sampai lOOm seperti terumbu karang at01 di Pulau Taka Bone Rate di Sdawesi penghalang. ~ontohn~a-adalah Selatan. Diantara tiga struktur terse.but, terumbu karang yang palmg m u m dijumpai di perairan Indonesia adalah t-bu
karang tepi (Suharsono, 1996).
Selanjufnya Sukarno et al. (1983) menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang pada dasarnya dapat dijumpai tiga macam bentuk permukaan dasar yang merupakan mnasi ekosistem terumbu karang yaitu :
1. Rataan terumbu (reefflai) yaitu bentuk pemukaan dasar terumbu
yang medatar ditempat dangkal ini banyak dipengaruhi oleh keadaan pasang clan surut air laut dan gelombang sehingga habitat ini memilii kondisi lingkungan yang be~ariasidan berfluktuasi sangat besar. Pada keadaan pasang surut, banyak bagian yang menderita kekeringan dan pada tipe terumbu karang pantai
mendapat banyak pengamh endapau dari darat, air tawar clan tambahan nutrient
dari darat. 2. Lereng terumbu (reef slope) yaitu bentuk permukaan dasar yang miring ini dapat dibedakan menjadi dua lereng terumbu. Lereng tenunbu miring ke tempt yang lebih dalam diluar mtaan terumbu kea rah laut lepas disebut lereng terumbu depan @re reef slope) dan lereng terumbu yang kearah goba disebut lereng terumbu belakang atau lereng goba. Lereng terumbu depan keadaannya terbuka menghadap ombak dan laut terbuka, sedangkan lereng pada goba agak
terlindung dari gempuran ombak keras k a n a adanya rataan terumbu. Nybakken (1992) menyatakan bahwa pada kedalaman 15 meter sampai kepermukaan, karang dapat tumbuh dengan subur dan bervariasi, didominasi oleh karang bercabang berbentuk daun dari Acropora. 3. Dasar goda (lagoonfloor) atau teras datar (sub marine terrace) yaitu bentuk
permukaan d m yang mendatar ditempat dalam ini mempunyai kondisi yang lebih bervariasi daripada di dasar goba yang biasanya mempakan tempat sedimen. Dasar teras yang dangkal merupakan komunitas terumbu h a n g yang
padat apabila cukup arus dan ombak yang dapat menghalau akumulasi organisme yang dibawa dari tempat-tempat yang lebih dangkal. Menurut Nybakken (1992) bahwa kondisi di dalam goba yang gelombang dan sirkulasi tidak besar serta sedimen yang lebih besar kurang baik untuk pertumbuhan karang. Dasar goba banyak ditumbuhi rumput laut (ThaIassia, Cymodocea) atau alga hijau seperti Caulerpa dan Halimeda.
2.1.2 Ancaman dan faktor-faktor pmbatas pertumbuhan karang Ancaman atau pemanfaatan yang b e r l e b ' i terhadap terumbu karang dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu ancaman atas perbuatan manusia (antropogenik) dan alami (Cesar 2000). Selain itujuga, bencana dam juga menjadi accaman bagi
kendam terumbu karang. Selanjutnya, menurut Cesar (2000) bahwa yang ..
menjadi ancaman utama kerusakan terumbu karang adalah ;
1. Pengnwkan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti
penggunaan bahan bemun, pengeboman, penggunaan murc-ami dan lain sebagainya;
2. Sedimentasi, polusi dan limbah, 3. Penambangan karang, aktivitas pengerukan dasar pairaq 4. Aktivitas wisata yang tidak bertanggung jawab.
Penangkapan ikan secara tidak ramah lingkungan seperti menggunakan bahan peledak masih sering digunakan oleh pelaku hampir di seluruh perairan di Indonesia. Ledakan bom ikan dapat menyebabkan kematian ikan dan organisme laut lainnya. Selain itu juga, ledakan ini berakibat parah bagi rusaknya terumbu k m g sehingga meninggalkan patahan kataug yaog berserakan di dasar perairan membentuk serpihan karang mati. Serpihan karang ini dibawa ams laut,
selanjutnya menggeser atau menutupi karang-karang muda lainnya yang masih hidup sehingga menghambat atau mencegah pemulihan karang (Fox et al. 2003). Pemutihan karang (menjadi pudar atau berwarna putih salju) terjadi akibat berbagai macam tekanan baik secara alami maupun karena manusia yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae sebagai pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al. 1999, Fitt et al. 2000). Selarna peristiwa pemutihan, h a n g akan kehilangan 60-90% dari jumlah zooxanthellae nya clan zooxanthellae yang tersisa dapat kehilangan 50-80% dari pigmen fotosintesisnya (Glynn 1996). Pemutihan dapat juga tejadi pada organism-organisme bukan pembentuk terumbu seperti karaug lunak, anemone dan beberapa jenis kima raksasa tertentu (tridacna spp.) yang juga mempunyai alga simbiosis dalam jaraingannya Sama halnya seperti karang, organism-organisme ini &pat juga mati apabila kondisi-kondisi yang mengarah kepada pemutihan cukup parang (Westmacott et al. 2000). Tenunbu karang yang telah rusak akibat kegiatan m'musia dapat menjadi lebih rentan untuk memutih bilamana hot spot meluas. Hal ini dikarenakan karang telah lemah dan berkurang kemampuannya untuk menghadapi naiknya suhu permukaan laut (Brown 1997). Di lain pihak, terumbu yang tidak diganggu oleh manusia dapat memiliki kemampuan yang lebih baik untuk pulih bila keadaan 'ngkungan optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan karang. Suatu ekologi atau ekosistem memilii kemampuan untuk memulihkan diri sendiri ke keadaan semula apabila kondisi lingkungan telah mendukung clan disebut ecology resilience (Holiing 1973). Resiliensi merupakan kecepatan suatu komunitas untuk kembali pada bentuk semula setelah mengalami gangguan dan terpisahkan dari awalnya Kemudian Peterson et al. (1998) menambahkan bahwa ekologi resiliensi diasumsikan bahwa suatu ekosistem dapat kembali hadirlutuh dalam mengorganisasi dirinya sendiri atau ke bentuk yang stabil. Veron (1995) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik
karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sediientasi, eutrofikasi
dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Faktor-faktor pembatas bagi
kehidupan karang, distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah suhu, kedalaman, cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, gelombang dan substrat (Barnes 1980;Nybakken 1992). Penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Suhu Pertumbuhan biota karang sangat dipengaruhi oleh perairan sekitarnya. Biota karang dapat tumbuh pada suhu 18 - 36, O C dan pertumbuhan optimum terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 26 - 28,
O C
(Bikeland 199T),
sedangkan menurut Nybakken (1992) perkembangan terumbu yang paling
-
optimal tejadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23 25'C dan masih dapat mentolerir suhu hingga 36 - 40,
'c. Terlalu tinggi atau rendahnya suhu
suatu perairan dapat menyebabkan kehilangan organisme zooxanthellae dari jaraingan karang. Zooxanthellae me~p?,kan organisme yang memberikan wama pada biota karang. Kehilangan zooxanthellae dalam jangka wakt; yang
lama berdampak pada bleaching dan kematian karang. Rentang ketahanan organism karang terhadap fluktuasi suhu pada dasamya tergantung pada fluktuasi tahunan suhu perairan dirnana karang tersebut ditemukan. Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat
pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1983 telah menyebabkan pemutihan karang yang diikuti dengan kematian massal. Brown & Suharsono (1990) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata
suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3, OC di atas suhu normal selama beberapa bulan. b. Kedalaman Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 meter dan tidak dapat berkembang dengan baik pada kedalaman yang lebih dari 50 - 70 meter, ha1 inilah yang menyebabkan banyaknya terumbu karang ditemukan di pinggiran benua-benua atau pulau-pulau (Nybakken 1992). Faktor kedalaman ini berpengaruh terhadap hewan katang yang berhubungan dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan. Perbedaan kedalaman dapat mempengaruhi bentuk koloni suatu karang, seperti Montrastrea annularis dari bentuk bercabang berubah menjadi bentuk massive
dan kemudian berubah bentuk foliceous (Thamrin 2006). Sedangkau karang
ahermatifik yang tidak mampu membentuk terumbu, ditemukan hampir pada semua kedalaman (Nybakken 1992). Kekeruhan berhubungan dengan kecerahan perairan. Kekeruhan mempengaruhi siklus hidup hewn karang mulai dari larva hingga kelangsungan hidup karang. Tingkat kekeruhan yang normal bagi terumbu karang berkisar antara 0 mglliter sampai dengan 10 mgfliter (Roger 1990 dalam Thamrin 2006). c. Cahaya Cahaya merupakan faktor pembatas bagi terumbu karang, ha1 ini berkaitan dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh zooxantheNae yang membutuhkan adanya cahaya Cahaya yang cukup h m tersedia agar proses fotosintesis oleh mxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana (Nybakken 1992). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan b e h g dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula Terumbu masih dapat hidup pada kedalaman yang mas& menerima intensitas sinar matahari sampai titik kompensasi cahaya untuk karang nampaknya kedalaman
dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15 - 20% dari intensitas di pemukaan (Nybakken 1992). d. Salinitas Karang hennatipik sangat dipengaruhi oleh dinitas air laut. Menurut Nontji
(1993), kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh t e m b u karang adalah antara 27 - 40, %, namun terumbu karang hidup dengan baik pada dinitas
normal yaitu 32 - 35, % (Nybakken 1992).
Perubahan pa& salinitas
mempengamhi terumbu karang. Curah hujan yang tinggi dan aiiran material permukaan dari damtan (mainland run o f l dapat membunuh terumbu karang melalui penhgkatan sedimen dan tejadinya penurunan dinitas air laut. e. Sedimentasi Secara umum terdapat dua macam sedimen yang terdapat dalam air laut. Pertama adalah terrigenow sediment, yang terbentuk dari hasil pelapukan; erosi dari daratan yang kemudian ditmnsfer masuk ke laut melalui sungai, gletser dan angin. Mereka terdiri dari gravel, pasir, lumpur dan tanah liat
(clay). Kedua adalah biogenous sediment, yang terbentuk dari hasil proses-
proses biologis organisme planktonik (dominan) yang mensekresikan skeleton
dari kalsium karbonat atau silica (Bearman 1999). Selanjutnya Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa terrigenous sediment lebih dominan terdapat di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Pada daerah ini (misalnya: pantai utara Jawa dan selatan Katiantan), masukan lumpur dan pasir (yang kaya akan clay mineral) banyak dijumpai sebagai penyusun habitat dasar. Untuk daerah yang lebii kering serta kawasan non-vulkanik, sediien pada
perairan dangkalnya lebih didominasi oleh biogeous sediment. Pengaruh sedimen terhadap komunitas karang secara garis besar terjadi melalui beberapa mekanisme. Pertama, partikel sedimen menutupi permukaan koloni/individu karang sehingga polip karang memerlukan energi yang lebii untuk menyingkirkan partikel-partikel tersebut. Kedua, sedimen menyebabkan penGgkatan kekeruhan clan dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dasar perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan s p i e s - s p i e s karang yang kehidupannya sangat bergantung terhadap penetrasi cahaya (Salvat 1987). Sedimentasi baik di dalam air rnaupun di atas karang, mempunyai pengaruh negatif terhadap karang (Nybakken 1992). Kebanyakan terumbu karang tidak dapat hidup di daerah yang sedimentasinya tinggi, karena sedimen ini akan menutupi polippolip karang dan menghalangi masuknya cahaya, sehingga karang tidak &pat melanjutkan proses fotosistesis untuk mendapatkan makanan. Ketiga, selain mampu mengikat unsur hara, sedimen juga dapat mengadsorpsi bahan toksik clan penyakit yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan karang. Selanjutnya Hubbard (1997) menyebutkan bahwa sedimentasi juga dapat menghalang-halangi penempelan larva karang
pada substrat dasar. Sebagaimana diketahui bahwa larva karang membutuhkan substrat yang keras untuk menempel, dengan adanya penutupan substrat oleh sedimen, larva tersebut tidak mendapatkan kestabilan dalam penempelan sehingga tahap perkembangan selanjutnya tidak dapat tercapai.
f. Arus Pada umumnya, tenunbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami arus yang cukup kuat. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh arus yang
cukup kuat. Adanya arus akan menyuplai plankton dan air segar yang kaya
akan oksigen bagi terumbu k m g , sekaligus akan membersihkan terumbu karang dari sedimen yang melekat (Nybakken 1992). ANS juga berperan dalam proses fertilisasi dan distribusi karang terutama dalam masa spawning dan larva Selain dari faktor-faktor pembatas pertumbuhan karang seperti di jelaskan di atas, nutrien juga mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang (Thamrin 2006). Di perairan pesisir, dua nutrien yaitu nitrogen and fosfor hadir dengan konsentrasi rendah sehingga mereka akan menghalangi pertumbuhan yang utuh fill growth). Nitrat (N03) adalah bentuk utama nitrogen di perairan yang merupakan nutxien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae, dimana keberadaannya sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabii. Fosfor dalam benhk ortofosfat merupakan elemen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh alga dan tumbuhan air, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis terlebih dahulu membentuk ortofosfat sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Keberadaan fosfor secara berlebihan dengan diiringi keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae. kelebihan zat ham (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meialui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap k m g .
2.13 Nilai dan fungsi terumbu karang Strategi dunia mengenai konservasi terumbu karang diidentifikasii sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai macam kehidupan yang dibutuhkan produksi makanan, kesehatan dan berbagai aspek dari kehidupan musia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjutan. Bebempa nilai dari fungsi terumbu karang antara lain (Dahuri et al.
1996) : 1). Nilai ekologis, terumbu karang menjaga keseimbaogan kehidupan biota laut dan hubungan tibal balik antara biota laut dengan faktor abiotik.
2). Nilai ekonomis, sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai komoditi yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
3). Nilai estika, terumbu karang membentuk panorama yang indah di kedalaman laut yang dapat dimanfaatkan sebagai wisata bahari.
4). Nilai bilogis, yakni sebagai penghasil oksige perairan dan pengatur
keseimbangan ekosistem pedran.
5). Nilai edukuesi, yakni sebagai obyek penelitia dan pendidikan. Selain itu terumbu karang mempuuyai h g s i yang penting antam lain: 1). Sebagai habitat sumberdaya &an, dalam ha1 ini dienal sebagai tempt
mernijah, bertelur, mengasuh, mencari makan dan berlindung bagi biota laut. 2). Sebagai sumber benih alami bagi pengembangan budi daya perikanan.
3). Sebagai sumber berbagi makanan dan bahan baku subtansi aktif yang berguna
bagi dunia f m a s i dan kedokteran. 4). Sebagai pelidung dari pantai dari gelombang laut sehingga pantai dapat
terhindar dari degrasi dan abrasi. Densitas ikan karang dibatasi oleh ketersediaan ruang bidup (space) yang cocok, terutama jika ruang dijadikan sebagai pertahanan diri atau tempat aktivitas mutualisme. Keberadaan ruang biasanya berkaitan dengan individu ikan yang bersifat tentorial, dimana densitas yang tinggi dan diversitas dari ikan-ikan karang dipengamhi oleh ruang terumbu karang. Menurut Jones (1991), pentingnya ruang bagi ikan karang adalah karena :
1). Ikan karang yang bersifat tentorial sangat terbatas pada ruang untuk mengembangkan populasinya, sehingga ruang c e n d m g menurunkan jumlah populasi. 2). Perbedaan kelas umur cendemng menggunakan tipe ruang yang berbeda 3). Kompetisi ruang dapat terjadi jika terdapat banyak ruang yang kualitasnya
bervariasi. Keberadaan lubang atau celah merupakan tempat perlindungan (shelter)
ikan karang, terutama selama adanya semgan badai atau serangan predator. Korelasi umum antara topografi karang dengan kelimpahan ikan karang serta observasi dalam mempertahankan ikan di lokasi perlindungan bersifat nyata sebagai pembatas. Jones (1991) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah tempt perlidungan mengakibatkan peningkatan kelimpahan &an yang secara spesifik menjadikan k m g sebagai tempat persembunyian. Keberadaan karang hidup juga memberikan perlindungan terhadap invertebrata dan organisme bentik lainnya.
Salah satu surnber makanan bagi ikan yang banyak dijumpai di terumbu karang. Makanan yang dimaksud adalah berupa lendir yang dihasilkan oleh karang yang sebenarnya digunakan karang untuk menangkap mangsanya. Lendir tersebut diieluarkan oleh beberapa jenis karang yang tidak memiliki tentakel atau tentakelnya telah tereduksi. Lendii tersebut merupakan sumber makanan penting
bagi jenis-jenis ikan tertentu dan hewan karang lainnya (Barnes 1980). Beberapa jenis ikan pemakan karang adalah famili Chaetodontidae, Apogonidae, Balistidae, Labridae dan sekelompok kecil Scaridae (Choat & Bellwood 1991). Ikan karang famili Chaetodontidae, Labridae, dan Scaridae
secara langsung mernakan jaringan lendir (mucus) yang diproduksi oleh karang dan sirnbiosisnya. Kelompok ikan dari famili Acanthurids dan kebanyakan dari famili Labridae lainnya memakau alga yang tumbuh dalam batuan keras berkapw (calcareous). 2.2 Komunitas Ikan Karang
Ikan karang merupakan ikan yang berasosiasi dengan ekosistern terumbu karang sebagai habitatnya. Ikan karang merupakan jenis ikan yang umumnya menetap atau relative tidak bexpindah tempat (sedentmy) dan pergerakannya relatif mudah dijangkau. Jenis substrat untuk dijadikan habitat biasanya pada karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak (Suharti 2005). Hubungan antara kompleksitas topography terumbu karang dm keanekamgaman komunitas ikan mengindikasikan bahwa struktur dari komunitas ikan karang dapat dipengaruhi oleh kompleksitas fisik dari substrat (Bell & Galzin 1984). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kondisi terumbu karang mampu menyediakan ruang perlindungan dan atau area makanan, selanjutnya meningkatkan kekayaan
jenis ikan karang. Luckhurst & Luckhurst (1978) menguji hubungan antara parameter komunitas ikan karang dan keanekagaraman substrat, dan kekayaan jenis karang dimana hasilnya menunjukkan bahwa tidak diketemukan hubungan yang signifikan.
Adrim (1983) menjelaskan bahwa sebagian kelompok ikan karang berlindung dan menjelajah di terumbu karang termasuk di dalam kelompok ikan butana (herbivom) dan kelompok kamivora seperti ikan kakap dan ikan kerapu. Kelompok ikan karnivora di daerah terumbu karang sekitar 50 - 70%, kelompok
ikan pemakan karang dan herbivore sekitar 15%. Ran-ikan dari kelompok pemakan k m g dan herbivore sangat tergantung kepada kesehatan karang untuk mengembangkan populasinya. Kelompok planktivora dan omnivore hanya terdapat dalam jumlah sangat sedikit (Choat & Bellwood 1991). Ehrlich (1975) menyatakan bahwa Ikan karang memiliki peranan tersendiri ddam ekosistem terumbu karang, untuk itu berdasarkan peran yang dimainkan oleh ikan karang dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : 1. Ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi.
Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan sarangldaerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (
i
kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (
i bibii tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae
(ikan pakol); 2. Ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daemh terumbu b
g dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tekbut. Ikan-ikan
indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (buftegyfishes); 3. Ikan mayor, dimana ikan ini umumnya dijumpai dalam jumlah yang banyak dan dijadikan sebagai ikan bias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae). Berdasarkan periode aktif mencari makan, ikan karang dapat digolongkan sebagai ikan yang mencari makan malam hari ( n o c t m r ) , siang hari (diurnal) dan ada yang mencari makan pada sore hari (crepcular) (Adrim 1983). Ketiga kelompok ikan karang tersebut adalah sebagai berikut :
1. lkan Nokturnal (aklif ketika malam hari), sekitar lP?jenis ikan karang yang memiliki sifat nocturnal, ikan ini bersembunyi di celah-celah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Contohnya pada ikan-ikan dari Suku Holocentridae (Swanggi), Suku Apogoninade (Beseng), Suku Harnulidae, Priacanthidae (Big eyes), Muraenidae (Eels), Seranidae (Jew fish) dan beberapa dari suku dari Mullidae (Goatjshes) clan lain-lain.
2. Ikan Diurnal (&if ketika siang hari), sekitar 75% ikan yang hidup di daerah
terumbu karang dan sebagian dari ikan-ikan ini berwarna sangat menarik serta umumnya sangat erat kaitannya dengan terumbu karang. Contohnya pada ikanikan dari Suku Labraidae (wrasses), Chaetodontidae (ButterJyyfishes), Pomacentridae (Darnselfishes), Scaridae (Surgeonjshes), Bleniidae (Blennies),
(Parrolfishes), Acanthuridae Balistidae (TriggerJshes),
Pomaccanthidae (Ange@shes), Monacanthidae, Ostracionthidae (Boxfishes), Etraodontidae, Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (Goatj2shes)
3. Ikan Crepuscular (aktif diantaranya) contohnya pada ikan-ikan dari suku Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (Groupers), Carangidae (Jacks), Scorpaenidae (Liontshes), Synodontidae (LizardJshes), Carcharhinidae, Lamnidae, Spymidae (Sharkr) clan beberapa dari Muraenidae (Eels). Choat 62 Bellwood (1991), mengelompokkan ikan karang dalam kelompok herbivore utama, kelompok pemakan karang, kelompok omnivore dan planktivor. Komunitas ikan karang dipengaruhi oleh karakteristik kelompok ikan itu sendiri, ekologi terumbu karang, habitat, dan pola distribusi.
1. Karakteristik Kelompok Ikan Kelompok ikan karnivor di daerah terumbu karang sekitar 50-70% dan hampir meliputi semua ikan di daerah ini. Kelompok ikan karnivor di daerah terumbu karang dapat berfungsi sebagai level ke-2 dalam rantai makanan. Kelompok
ikan pemakan karang dan herbivore sekitar 15%. Ikan-ikan ini sangat beqptung pada kesehatan karang karena polippolip karang merupakan makanannya. Sedangkan kelompok planktivor clan omnivore hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit ( M m l i 1998). 2. Karakteristik Ekologi
Terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang tetapi juga daerah berpasir, bermacam-maeam goa dan lubangfcelah, wilayah alga, perairan dangkal, perairan dalam serta adanya zonasi terumbu karang. Keterkaitan ikan karang dengan karang dalam suatu ekologi yang sama pada satu area adalah sangat kompleks. Sebagai contoh, keterkaitan khusus yang terjadi pada spesies pemakan bentik sessil dan invertebrate kecil. Hal ini menghasilkan banyak diversitas yang harus diidentifikasi. Kerumitan substrat sebagai tempat
perlindungan lebih mencirikan kamkteristik ekologi dari populasi ikan karang dibanding kondisi substrat sebagai sumber makanan (Choat & Bellwood 1991). 3. Karakteristik Habitat
Perbedaan habitat terumbu karang dapat mendukung perbedaan kelompok ikan (Marsaoli 1998). Oleh karena itu, interaksi intra dan inter spesies berperan penting dalam penentuan penguasaan ruang sehingga banyak ikan-ikan yang menempati ruang tertentu. Keberadaan karang rnerupakan habitat penting bagi
ikan karang, karena sebagian besar populasi ikan karang mengadakan rekruitmen secara langsung dalam terumbu karang (Nybakken 1992). Stadia planktonik ikan karang selalu berada pada substrat karang. Ikan-ikan tersebut terdiri dari Scarids, Acanthurids, Siganids, Chaetodontids, Pomacantids dan banyak spesies Labrids dan Pomacentrids. 4. Pola Distribusi
Perbedaar~waktu makan ikan k a m g (diurnal, nociurnal, crepuscular) dipengaruhi oleh ruang, sehingga ikan-ikan ini akan bersembunyi atau berlindung bila bukan waktunya makan. Pada habitat terumbu karang, keberadaan ruang menjadi faktor pembatas. Selain itu, beberapa spesies ikan berdistribusi berdasarkan keadaan pasang surut (Nybakken 1992). Keberadaan kominitas ikan karang secara parsial dan temporal dipengaruhi oleh ketersediaan larva plankton bagi juvenil ikan-ikan karang (Sale 1991). Larva ikan-ikan karang bersifat nocturnal dimana dipengaruhi oleh kehadiran plankton pada habitat terumbu karang dan disebut proses penempelan (settlement) (Victor
1991 in Almany 2004), dan proses setelah penempelan bagi larva yang hidup disebut rekruitmen. Sale et al. (1994) mengatakan bahwa kehadimn larva pada suatu habitat merupakan faktor dominan bagi terbentuknya struktur komunitas. Sebagai contoh, beberapa larva mernilih habitat terumbu karang dengan berskala kecil (Ohman et al. 1998 in Almany 2004) atau wna terumbu karang dalam skala besar (Wellington 1998 in Almany 2004). Setelah proses penempelan, kompetisi
dan predasi terjadi antara ikan-ikan baru (yang telah terekruit) clan rnembentuk
kelompok yang mungka mempgaruhi komposisi komunitas ihkamg.
2.3 Ikan Chaetodontidae
Keberadaan ikan pemakan karang pada ekosistem terumbu karang memegang
peranan
penting
dalam
mengendalikan
perhunbuhan
dan
perkembangan karang. Jenis ikan ini bersimbiosis dengan karang sehingga pada setiap daerah terumbu karang, kehadiran ikan pemakan karang dijadikan sebagai indikator kondisi karang. P e n m a n penutupan karang hidup secara langsung mengurangi dan menghilangkan ketersediaan sumber pakan utama sehingga akan memberikan tekanan terhadap populasi ikan pemakan karang.
Ikan Chaetodontidae diienal juga dengan butterflyfishesdiiana merupakan sdah satu ikan terumbu karang yang mudah diienali diperairan terumbu karang (Gambar 3). Kebanyakan ikan Chaetodontidae ditemukan di perairan tropis, dangkal, disekitar terumbu karang pada kedalaman kurang dari 60 feet (Ism), tetapi pada beberapa penemuan terakhir telah ditemukan spesies baru yang berada pada kedalaman 600 feet (180m) (Fishbase 2009).
Gambar3. Spesies Ikan Chaetodontidae: (a) Chaetodon @) Chelmon rostratus, (c) Coradion chryzosonus
octofasciatus,
Para ahli ikhtiologi mengklasifikasikan ikan Chaetodontidae berdasarkan desain gigi mereka. Semuanya mempunyai gigi yang mirip sisir. Umumnya mulutnya lancip dan rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil dan tajam untuk mencari makanannya di karang batu. Pergerakannya yang cukup cepat dan bentuk warnanya yang jelas juga merupakan salah satu alasan pemberian nama pada grup ikan ini. Para peneliti juga mengusulkan beberapa kemungkinan fungsi dari warna-warna dramatis dan bentuk pewarnaan yang umumnya didominasi oleh kuning, hitam dan putih.
Berikut adalah klasifikasi dari ikan Chaetodontidae (Fishbase 2009) : Kingdom :Animalia Film
: Chordata
Subfilum : Vertebrata Kelas
:Osteichthyes
Ordo
:Perciformes
Famili
: Chaetodontidae
Genus
: Chaetodon
Spesies
: Chaetodon octofaciahrs
Chelmon rosbalus Coradion chryzosonus Ikan Chaetodontidae merupakan anggota dari ikhtiofauna yang terlihat
mencolok dan m e m i l i penyebaran yang luas dimana sel&
ditemukan
berasosiasi dengan tenunbu karang. Memjuk pada spesies-spesies di Indo-Pasifik, sejurnlah penelitian tentang kebiasaan makan ikan ini telah dilakukan seperti yang telah dilakukan oleh Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1982) dimana ikan Chaetodontidae ini menyukai karang sebagai makanannya Untuk beberapa jenis ikan Chaetodontidae, khususnya yang mempunyai hubungan yang dekat dengan habitat yang sama, pengenalan spesies mungkin penting pada saat identifikasi pasaugan. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritori tertentu yang sesuai dengan pewamaanya yang berguna untuk perlindungan dari predator. Ikan chaetodontidae pemakan karang merupakan jenis paling baik yang digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang, karena bersifat territorial sebingga mudah diduga pola pergerakannya dan menghuni secara pennanan daerah karang hidup. Kelipahan ikan pemakan karang hidupnya tinggi dan akan
menurun sejalan dengan besarnya perubahan penutupan karang (Marsoali 1998). Hal ini, disebabkan karena penutupan karang hidup yang tinggi menyediakan
pakan dalam jumlah banyak sehingga ikan pemakan karang dengan mudah mendapatkan pakan untuk kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan populasi. Selain itu, Neudecker (1977) dalam Jones (1991) menggambatkan adanya pengaruh langsung pemakan karang lainnya seperti Balistapus undulates dalam
karang Polcillopora damicornis. Spesies ikan ini ditemukan secara kontinyu memakan karang dan bersifat generalis dan akan menurun sejalan dengan berkumngnya penutupan karang hidup. Ikan pemakan karang kebanyakan bersifat sebagai predasi yang selektif dalam karang yang dominan sehingga memberikan peluang meningkatnya kelirnpahan karang yang kurang disukai. Kelompok ikan Chaetodontidae merupakan jenis ikan karang yang sangat sensitif sebagai indikator perubahan kondisi karang. Menurut Reese (1991),proporsi penggunaan ikan Chaetodontidae sebagai indikator dampak liigkungan meliputi beberapa asumsi, yaitu : a Terumbu karang yang sehat mempunyai persentase penutupan karang tinggi,
b. Dampak-dampak liigkungan cenderung menurunkan persentase penutupan karang batu, c. Jenbjenis Chaetodontidae tertentu bergantung kepada tingkat atau kondisi penutupan karang batu, d. Ikan Chaetodontidae akan memodifhsi tingkah laku pada kondisi liigkungv yang mendapatkan tekanan. 23.1 Ekobiologi Ikan Chaetodontidae
Berdasarkan tipe dari mangsa yang dimakan dan berat makanan, maka ikan Chaetodontidae dikelompokkan menjadi tiga tipe utama tingkah laku makan yaitu (Reese 1977, Harme1in-Vivien & Bouchan-Navaro 1982): (1) pemangsa karang (coralfeeders) dimana sebagian besar atau keselwuhau makamnnya berasal dari
karang sclerectinia; (2) pemangsa invertebrata bentik selain karang; (3) pemangsa zooplankton. Pemangsa karang (coral feeders) &pat dibagi menjadi dua kelompok yaitu obligate coral feeder dimana makanannya hanya pada polip
karang clan ficuItative coral feeder dimana makanannya berupa sebagian dari polip karang. Selanjutnya, penelitian mengenai makanan ikan Chtodontidae terus berlangsung hingga saat ini. Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983), Sano (1989), Mackay in Edrus & Syam (1998), Yusuf & Ali (2004), Pratchett (2007), Ghaffar et al. (2006), Maddupa (2006) telah melalcukan penelitian langsung
mengenai makanan pada beberapa spesies ikan Chaetodontidae. Tabel 1 berikut
ini adalah beberapa spesies ikan Chaetodontidae dan kebiasaan makanannya.
Tabel 1. Beberapa spesies chaetodontidae beserta tipe kebiasaan makannya Spesies Ikan
Referensi
Obligate Coral Feeder : Chaetodon bennetti Chaefodonornatissimus Chaetodon retimlahcr Chaetodon trifosciafis Chaetodon trijhrciatus Chaetodon collare Chaetodon octofa~ciahcr Chaetodonplebeius Chaetodon triangulum Heniochus singularis Facultatice Coml Feeder : Chaetodon auriga Chaeiodon ci!rinellus Chaetodon ephipium Chaetodon lunula Chaetodonpelewemis Chaetodon quodiimaculattrs Chaetodon ulietemis Chaetodon unimaculafus Chaetodon vagabundw Forcipigerflavissimur H e n i m chysostomus Chaetodon lineolatw Chaetodon rflesi Chelmon rostratum Coradion altivelis Corodion chysozom*~ Heniochus amminutus Heniochw plurotaenia
Fishbase (2009), Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983) Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983), Sano (1989) Harmelin-Vivien & Bouchan-Navm (1983) H a r m e l i i v i e n & Bouchan-Navaro (1983), Sano (1989), Yusuf & Ali (2004) Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983), Sano (1989), Yusuf & Ali (2004) Ywuf & Ali (2004) Yusuf & Ali (2004), Gh& et al. (2006), Hawis (2006) Yusuf & Ali (2004) Yusuf & Ali (2004) Yusuf & Ali (2004) Harmelm-Vivien & Bouchan-Nam (1983), Ywuf & Ali (2004) Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983) Harmelin-Vivien& Bouchan-Naw (1983) Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983) Harmeliiivien & Bouchan-Navaro (1983) Harmelm-Vivien & Bouchan-Navaro (1983) Harmelm-Vivien & Bouchan-Nam (1983) Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983) Harmelm-Vivien & Bouchan-Nam (1983), Yusuf & Ali (2004) Harmelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983) Harmelin-Vivien & Bouchan-Nam (1983) Yusuf & AAli (2004) Yusuf & Ali (2004) Yusuf & AU (2004) Yusuf & Ali (2004) Yusuf & Ali (2004) Yusuf & Ali (2004) Yusuf & Ali (2004)
Ikan Chaetodontidae yang termasuk dalam kelompok pemangsa invertebrate bentik yaitu Forcipiger longirostris (Harmelin-Vivien & Bonchan-Navaro 1983). Pada penelitian yang dilakukan di Moorea, makanan ikan ini adalah krustacea
khususnya udang Caridean yang tertangkap diantara karang bembang. Selanjutnya, yang termasuk kelompok pemangsa plankton pada penelitian Hannelin-Vivien & Bouchan-Navaro (1983) adalah Hemitaurichthys polylepis
dimana sebesar 55% makan Kopepoda, 26% siphonophora, telur ikan (2%), algae, IarvapoZychaeta, udang dan kustacea lainnya Nontji (1993) mengelompkkan ikan Chaetodontidae menjadi lima kategori pemangsaan ikan kepe-kepe yaitu (1) pemangsa kacang batu (hard coral feeder), (2) invertebmta sesil (invertebrate sessile feeder), (3) invertebrate bentik, (4)
omnivora, dan (5) planktivora (umumnya zooplankton). Ikan Chaetodontidae biasanya ditemukan secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil (Nontji 1993). Sumber makanan merupakan faktor penentu utama yang membedakan kehidupan sosial clan sistem pertemanan diantara ikan Chaetodontidae. Ikan koralivora umumnya ditemukan berpasangan sedangkan ikan planktivora biasanya ditemukan berkelompok (Nontji 1993).
23.2 Chaetodontidae sebagai Bioindikator Menurut Markert et al. (2003), terdapat tiga tipe utama bioindikator yaitu
(1). Compliance indicator, yang dipili untuk menduga ekosistem terumbu k m g yang berhubimgan dengan restorasi dan menjaga W t a s lingkungan, (2). Diagnostic indicator, selain tipe pertama dan (3). Early warning indicator yang memberikan tanda kepada manajer untuk melakukan aksi sebelum kondisi lingkungan menjadi parah.
Ikan Chaetodontidae sangat mungkin untuk menjadi indikator lingkungan terumbu karang karena hubungannya sangat erat dengan substrat karang hidup. Reese (1981) mengusullcan ikan Chaetodontidae sebagai "organisme indikator" dari kondisi tenunbu karang dan berkurangnya ppulasi ikan ini mengindjkasiikan terganggunya kondisi terumbu karang. Namun, ada dua M yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Biotik indikator yang sensitif lebii berguna untuk mendeteksi polusi pada level rendah sepexti polusi kimia level rendah atau perubahan kecil pada temperature atau tingkat nutrien, 2. Tidak semua jenis Chaetodontidae dapat dijadikan spesies indikator. Misalnya yang bersifat planktivor tidak sensitif terhadap perubahan tenunbu karang sehingga sangat sdit mendeteksi kebiasaan makannya
Terdapat banyak spesies dari famili Chaetodontidae yang mempunyai hubungan kuat dengan karang khususnya yang bersifat obligate coral feeders (pemangsa karang). Selain itu, metabolism atau kebutuhan energi dari ikan kepekepe sangat berhubungan dengan kesehatan karang, sehingga jenis pemangsa karang tersebut merupakan calon potensial sebagai i d i t o r perubahan terhadap terumbu karang (Crosby & Reese 1996). Crosby & Reese (1996) menyatakan empat alasan penting mengapa Chaetodontidae merupakan indikator yang sangat potensial : 1. Nama ilmiah dari karang dan ikan bukan merupakau persyaratan utama yang
hatus diketahui oleh pengambil data, 2. Pengumpulan data dapat dilakukan secara bertahap, misalnya langkah pertama dapat menghitung jurnlah ikan famili Chaetodontidae disepanjang transek clan kemudian langkah selanjutnya dapat menghitung jumlah koloni karang. Metode ini sangat sesuai apabila W g n y a sumberdaya manusia yang tersedia,
3. Chaetodontidae merupakan indikator terbaik yang digunakan h a n a ada perubahan secara waMu (gradual), gangguan kronis yang mana sulit untuk dihitung atau dilakukan oleh alternatifmetode lainnya, misalnya pengumpulan data jaraingan dan analisis kualitas air, 4. Metode bioindikator ini sangat ramah liigkungan, relatif murah, tidak meTusak
dan tidak membutubkaa teknisi ilmiah yang sangat terarnpil. Oleh karena itu, Chaetodontidae yang pemangsa karang dan bersifat territorial merupakan indikator ideal. U k m teritorial ikan Chaetodontidae yang pemaugsa kamng ditentukan oleh jumlah makanan "polip karang" yang tersedia
Jika ketersediaan makanan karang sediikit di suatu area terumbu karang maka ikan tersebut akan memperluas daerah teritorinya (Crosby & Reese 1996). 2.4
Hubungan Ikan Chaetodontidae dengan Kondisi Terumbu Karang
Bell & Galzin (1984), Sano el al. (1984), Adrim & Hutomo (1989), Bouchon-Navam dan Bouchon (1989), Edrus & Syam (1998), Zekeria & Videler (2000) menunjukkan bahwa keanekaragaman dan kelimpahan ikan
famili
Chaetodontidae meningkat dengan meningkatnya tutupan karang hidup. Selanjutnya, Zekeria & Videler (2000), Gha£far eta1 (2006), Hawis (2006)
menjelaskan hubungan spesies ikan Chaetodontidae terhadap tutupan karang hidup. Pada penelitian Zekeria & Videter (2000) di bagian Selatan Red Sea menunjukkan bahwa Chaetodon larvatus, C. semilarvatus dan C. mesoluecos m e m i l i hubungan yang signifikan dengan penutupan karang hidup. Sedangkan
C. fasciatw dan H intermedius menunjukkan bahwa kelimpahan ikan-ikan ini tidak ada korelasi dengan penutupan karang hidup. Pada penelitian Ghaffar et al. (2006) yang dilakukan di perairan Pulau Redang-Malaysia menunjukkan bahwa C. octofmciam memiliki hubungan yang positif dengan penutupan kamng hidup dan penutupan kamng Acropora. Begitu juga dengan penelitian Hawis (2006) menunjukkan bahwa C.octofmciatus memiliki hubungan yang positif terhadap penutupan karang hidup. Nybakken (1992) menyatakan bahwa ket-an
Chaetodontidaeterhadap
terumbu karang kuat sekali. Berbeda halnya dengan Luckhurst & Luckhurst (1978), Bell et al. (1985), Robert et al. (1988) dan Cox (1994) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang lemah atau tidak ada hubungan sama sekali diantaranya Sangat sulit sekali untuk menyatakan hepotesis mana yang benar, karena hasil bias saja berbeda sepanjang pengambilan sampel berbeda, dan atau range penutupan karang dan kompleksitas topography terumbu karang berbeda dan masih banyak faktor lainnya (Suharti 2006). Reese (1981) menyatakan bahwa beberapa ikan famili Chaetodontidae dapat dijadikan sebagai ikan indikator kesehatan ekosistem tenunbu kamng. Kehadirannya dapat memberikan informasi tentang baik buruknya suatu ekosistem terumbu karang. Kesukaannya terhadap suatu jenis substrat tertentu dapat menggambarkan kondisi perairan t e m b u karang. Adrim et al. (1991) menyebutkan bahwa Chaetodon octofmciutus memungkinkan untuk dijadikan indikator degradasi tenunbu karang akibat tekanan lingkungan. Kerapatan penutupan karang kern yang semakin padat pada suatu ekosistem terumbu kiurrng akan berdampak pada semakin banyak pula polip kamng yang hidup. Hal ini berhubungan langsung pada meningkatnya makanan yang dapat dikonsumsi oleh ikan obligatif koralivora, sehingga dapat meningkatkan kelimpahan ikan farnili Chaetodontidae (Bell et al. 1985). Namun
demikian, tidak semua ikan Chatotdontidae pemakan karang kern (sclerectinian coral), ada juga yang memakan katang lunak (octocorao misalnya Chaetodon melannotus (Alino et al. 1988), bahkan ada juga yang makanannya adalah selain
karang (Harmelin-Vivien 62 Bouchan-Navaro 1983, Nontji 1993, Mackey dalam Ekhs & Syam 1998) Penelitian Bouchan-Navaro
et
al.
(1985)
di
Moorea-Polinesia
memperlihatkan hubungan antara p e n m a n persentase tutupan karang dengan kepadatan ikan famili Chaetodontidae. Pada tahun-tahun sebelumnya yaitu 1979
dan 1982, mereka juga melakukan penelitian yang sama pada ikan famili Chaetodontidae. Hasilnya adalah pada saat itu terjadi ledakan Acanthuster plancii yang mengakibatkan kerusakan tenunbu karang. Mortalitas karang mencapai 50% dan berakibat pada p e n m a n jumlah kepadatan ikan famili Chaetodontidae yang
ditemukan sebe* 47%. Hutomo et al. (1991) dan Manthachitra et al. (1991) melaporkan bahwa kelimpahan Chelmon rostratus paling besar pada perairan yang dangkal dan memiliki turbiditas yang tinggi. Pada tempat penelitian Yusuf dan Ali (2004) banyak ditemukan Chetodon octofasciatus dimana kondisi perairan keruh (jarak pandang di dalam air kumng dari 10 meter) dan keanekamgaman terumbu karang yang rendah. Bawole et al. (1999) juga menyatakan bahwa kehadiran yang dominan dari Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan, sedangkan kehadiran dorninan Chaetodon trijiasciatus, C. trifascialis dan C. ornatissimus mengindikasii bahwa kondisi
karang belum mendapatkan gangguan yang berarti atau relative masih baik. Lebih lanjut Bawole et al. (1999) menunjukkan bahwa variasi ikan famili Chaetodontidae ditentukan oleh bentuk p w b u h a n acropora bercabang, nonacropora bercabang, non-acropora massive, non-acropora encrusthg dan habitat yang beragam.
2.5 Pengelohan Temmbu Karang dan Ikan Karang Berkelanjatan Perairan laut yang bersifat open access kadangkala menimbulkan dampak negatif baik berupa kerusakan habitat sumberdaya ikan maupun menimbulkan konflik antar nelayan. Banyak para ahli di dunia yang mendefinisikan mengenai pengelolaan terumbu karang (managementof coral reeJ).Pengelolaan sumberdaya
dam memiliki konsep untuk menjamin semua tumbuh-tumbuhan dan hewanhewan dalam suatu ekosistem diatur sedemikian rupa agar fungsinya bejalan sebagaimana mestinya. Pada prinsipnya, pengelolaan ekosistem secera terpadu adalah memadukan prinsip-prinsip dasar dari ekologi, ekonomi dan sosial agar menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga sumberdaya di ekosistem tersebut dapat terus dianfaatkan secera berkelanjutan (Bengen 2001). Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan serta manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem. Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan ~ ~ b e r d a y a ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Pomeroy dan Williams (1999) in Nijuluw (2002), menarnbahkan bahwa keberhasilan manajemen pengelolaan sumberdaya perikanan lebii tergantung pada keterlibatan dan partisipasi pemegang kepentingm (stakeholder). Tujuan dari
pengelolaan terumbu karang adalah untuk menjaga dan melindungi kawasan ekosistem atau habitat t e m b u karang supaya keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga dan kelestariannya
dari
kegiatan-kegiatan
pengambilan
atau
dipelihara pengnwkan
(Supriharyono 2000). Beddington dan Retting (1983) in Nikijuluw (2002) berpendapat bahwa penyebab kegagalan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah strategi pendekatannya bersifat parsial atau hanya terfokus pada strategi tertentu. Menurutnya pengelolaan harus dilakukan secara menyeluruh dengan mengimplementasikan beberapa
pendekatan
apapun
pilihan
manajemen pengelolaan sangat bergantung pada kekhasan, si-i
alternative dan kondisi
perikanan yang di kelola serta tujuan pengelolaan (Nikijuluw 2002). Selanjutnya ditambahkan bahwa paling tidak p i l i i pengelolaan sebaiknya bedasarkan kriteria-kriteria berikut :
1. Diterima nelayan secara ekonornis, sosial, budaya atau politik
2. Dihnplementasikan secara gradual dimana nelayan secara perlahan dapat menyesuaikan kegiatan perikananya dengan hal yang baru. 3. Fleksibilitas, yaitu dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi biologi dan
ekonomi. 4. Implementasinya didorong efisiensi dan inovasi.
5. Pengetahuan yang sempurna tentang peraturan serta biaya yang dikeluarkan
untuk mengikuti peraturan tersebut.
6. I m p l i i i terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan. Segala bentuk pengatman apapun termasuk pengelolaan sumberdaya dam tidak akan bejalan efektif bila kegiatan pengawasan dan penegakan hukum tidak berjalan baik. Penegakan hukum di bidang lingkungan termasuk sumberdaya kelautan, sumberdaya kehutanan merupakan salah satu sisi terlemah, sehingga kerap kdi pelanggaran-pelanggaran masih tetap tejadi.