5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu terletak di Pantai Selatan Jawa Barat, termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Perairan Teluk Palabuhanratu terletak pada posisi geografis 6o57’-7o07’LS dan 106o22’-106o23’BT. Perairan ini mempunyai hubungan bebas dengan Samudera Hindia. Pantai Palabuhanratu terbagi menjadi tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Kecamatan Palabuhanratu dan Kecamatan Ciemas. Perairan ini juga merupakan tempat bermuaranya empat sungai antara lain, Sungai Cimandiri, Citepus, Cidadap dan Cipalabuhan (Pariwono et al. 1988). Menurut Pariwono et al. (1988) jika dilihat berdasarkan sifat arusnya, arus Pantai Selatan Jawa ini sering berlawanan arah dengan arus di laut dalam (Samudera Hindia). Pada bulan Februari sampai Juni arus permukaan di pantai bergerak ke arah Timur di sepanjang Pantai Jawa, sedangkan arah arus di Samudera Hindia menuju ke Barat. Kecepatan arus pada bulan Februari mencapai 75 cm/detik yang kemudian semakin lemah pada bulan April sampai dengan Juni mencapai 50 cm/detik. Pada bulan Agustus arus pantai berganti arah ke Barat dengan kecepatan sekitar 75 cm/detik. Arah dan kecepatan arus di Lautan Hindia pada bulan itu sama dengan arus pantai. Sampai bulan Oktober, arah arus pantai tetap ke Barat dengan kecepatan 50 cm/detik. Sementara itu, arus di lautan Hindia kecepatan dan arah arus tetap. Bulan Desember terjadi perubahan arah arus lagi menuju Timur, sedangkan di Samudera Hindia arus mengarah ke Barat Laut. Sifat angin di perairan Selatan Jawa sangat bersesuaian dengan sifat laut seperti dinyatakan oleh Wyrtki (1961) in Pariwono et al. (1988). Kecepatan angin di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 1-15 mil/jam, karena angin merupakan penyebab utama gelombang, maka tinggi gelombang sangat ditentukan kecepatan angin tersebut. Di daerah ini dikenal dua musim ikan, yaitu musim timur dan musim barat. Musim timur merupakan musim banyak ikan, terjadi pada bulan Juni sampai dengan September/Oktober. Periode ini ditandai dengan angin lemah, laut tenang serta kemarau, sedangkan musim barat ditandai dengan angin kencang, gelombang besar dan bersesuaian dengan musim hujan. Periode musim barat ini merupakan musim
6 kurang ikan, berlangsung sekitar bulan November/Desember sampai dengan bulan April/Mei. Alat penangkapan ikan yang dominan diperairan Palabuhanratu adalah payang dan gill net. Hasil tangkapan kedua alat tersebut merupakan 70% dari total hasil tangkap seluruh alat tangkap yang beroperasi di daerah tersebut. Jenis ikan yang banyak tertangkap adalah cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tuna (Thunnus albacares). Selain itu tertangkap pula ikan-ikan eteman, peda, tembang, layur, petek dan teri. 2.2 Identifikasi Larva Ikan Identifikasi menurut Mayr (1971) in Laily (2006) adalah menempatkan atau memberikan identitas suatu individu melalui prosedur deduktif ke dalam suatu takson dengan menggunakan kunci determinasi. Kunci determinasi adalah kunci jawaban yang digunakan untuk menetapkan identitas suatu individu. Kegiatan identifikasi bertujuan untuk mencari dan mengenal ciri-ciri taksonomi yang sangat bervariasi dan memasukkannya ke dalam suatu takson. Selain itu, untuk mengetahui identitas atau nama suatu individu atau spesies dengan cara mengamati beberapa karakter atau ciri morfologi spesies tersebut dengan membandingkan ciri-ciri yang ada sesuai dengan kunci determinasi. Leis and Ewart (2000) mengemukakan ada empat metode dalam mengidentifikasi larva ikan, antara lain dengan menggunakan literatur, metode seri atau bertahap, metode biokimia, dan metode rearing (pemeliharaaan). Metode dengan menggunakan literatur merupakan metode identifikasi larva ikan dengan menggunakan literatur atau sumber bacaan dalam menentukan spesies larva ikan. Metode
seri
merupakan
metode
yang
paling
umum
digunakan
dalam
mengidentifikasi larva ikan, namun metode ini membutuhkan banyak bahan, untuk dapat mengumpulkan larva dalam berbagai ukuran. Metode ini diterapkan berdasarkan kemiripan dalam pendugaan identifikasi, sehingga memungkinkan terjadinya
kesalahan dalam identifikasi. Metode biokimia dapat digunakan
bersamaan dengan metode seri untuk membantu dalam identifikasi. Sayangnya metode ini tidak praktis digunakan untuk mengidentifikasi spesimen dari studi lapang yang dilakukan secara rutin, tetapi metode ini berkontribusi dalam pengembangan identifikasi menjadi lebih baik. Metode rearing yaitu metode
7 identifikasi larva ikan dengan cara memelihara ikan muda (larva) hingga menjadi dewasa di laboratorium. Namun dalam identifikasi dengan metode ini kerap kali tidak sesuai dengan spesies yang sebenarnya. Hal ini disebabkan, kondisi laboratorium dapat membawa perubahan perkembangan secara normal, perbedaan pigmentasi, proporsi tubuh dan ciri-ciri meristik umumnya dapat mengalami perubahan. Cara yang baik dalam mengidentifikasi larva ikan yaitu dengan cara mengkombinasikan metode-metode tersebut. 2.3 Biologi Larva Ikan Istilah ichthyoplankton menurut Olii (2003) berasal dari kata ichthyes (ikan) dan plankton (pengembara) artinya ikan yang masih bersifat plaktonis. Organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai plankton dan ketika dewasa menjadi perenang aktif kategori nekton. Syahailatua (2006) mengatakan bahwa dalam fasenya sebagai plankton mempunyai pergerakkan yang sangat terbatas karena alat geraknya berupa sirip yang belum berkembang dengan sempurna. Hal ini memudahkannya
untuk
Keterbatasannya
dalam
dimangsa bergerak
oleh juga
predator-predator menyebabkan
di
keterbatasan
perairan. dalam
mendapatkan makanan alami pada saat persediaan kuning telur telah diserap habis, sehingga kondisi larva ikan sangat ditentukan oleh peluang dimana mereka berada. Keterbatasan dalam menghindari predator dan mendapatkan makanan inilah yang menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi dari ichthyoplankton. Olii (2003) juga menyatakan bahwa ichthyoplankton sebagai tahapan awal daur hidup ikan mulai dari perkembangan sejak dari stadia telur, larva dan juvenil ikan, dimana ichthyoplankton ini memiliki tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator, perubahan lingkungan, dan ketersediaan makanan di alam. Effendi (2002) mempertegas bahwa stadia larva merupakan masa kritis dalam daur hidup ikan, dimana pada stadia ini terbilang kritis disebabkan faktor biotik yang berhubungan dengan larva itu sendiri. Masa kritis dari stadia ini terletak pada sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan pada masa transisi ketika mulai mengambil makanan dari luar. Hal ini menunjukan bahwa pergerakkan larva atau
8 tingkah laku untuk mendapatkan makanan serta kepadatan persediaan makanan merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan hidup ikan. Menurut Effendi (2002) perkembangan larva secara garis besar dibagi menjadi dua tahap, yaitu prolarva dan post larva. Sedangkan menurut Balon (1975) and Kendal et al. (1984) in Sjafei (1992) periode larva terdiri dari fase protopterygiolarva dan pterygiolarva. Effendi (2002) menjelaskan bahwa tahap prolarva ditandai dengan masih adanya kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang belum diketahui fungsinya, sirip dada dan sirip ekor sudah ada namun belum sempurna bentuknya, sirip perut hanya bentuk tonjolan saja, sistem pernafasan dan pencernaan serta peredaran darah belum sempurna. Tahap postlarva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru dan penyempurnaan organ-organ tersebut sehingga pada masa akhir postlarva secara morfologi sudah menyerupai induknya. Kendal et al. (1984) in Sjafei (1992) menjelaskan bahwa fase protopterygiolarva, meliputi peralihan makanan dari masa kuning telur dengan masa makanan yang berasal dari luar dan mulainya diferensiasi lipatan sirip tengah sampai pertama kali munculnya gambaran tonjolan lepidotrichia, sirip dorsal, dan sirip anal di dalam lipatan sirip. Fase pterygiolarva berlangsung sejak dimulainya pembentukan sirip-sirip
tunggal
sampai lipatan sirip
tengah benar-benar
berdiferensiasi atau tidak terlihat lagi. Hoar and Randall (1987) in Anwar (2008) mengatakan bahwa ikan dalam mengawali daur hidupnya akan melalui tiga tahap, yaitu telur, larva dan juwana. Diantaranya terdapat dua tahap transisi antara telur dan larva dan antara larva dan juwana, yaitu tahap yolk sac, dan tahap transformasi larva. Dalam tahap telur, dibagi kedalam tiga sub divisi yaitu awal, tengah, dan akhir. Pada tahap larva juga di bagi menjadi 3 sub divisi, yaitu preflexion, plexion dan postflexion larva. Leis and Ewart (2000) mendefinisikan preflexion adalah tahap awal perkembangan sirip ekor dimana tulang hipural rata atau kebawah. Flexion adalah pembengkokan tulang hipural ke atas, sedangkan postflexion adalah tahap perkembangan bentuk sirip ekor hingga terbentuk semua kelengkapan meristik luar dan sirip ekor mulai dapat digerakkan dengan baik.
9 Ikan-ikan yang hidup di laut, periode larva berlangsung lebih lama. Pada ikan sardin dan ikan-ikan karang sampai ½ minggu, pada ikan belut (Anguilla sp.) dapat berbulan-bulan (Sjafei 1992). Menurut Houde (1994) perbedaan dinamika dan sifat energentik dari larva ikan laut dan air tawar memiliki implikasi penting dalam menentukan perkembangan awal daur hidup ikan. Larva ikan laut memiliki berat yang lebih ringan, memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi, mempunyai kebutuhan metabolisme yang lebih tinggi dan memiliki durasi menjadi larva yang lebih lama dibandingkan dengan larva ikan air tawar. Perbedaan ukuran tubuh antara kedua kategori larva tersebut, yaitu larva ikan laut lebih kecil dibandingkan dengan larva ikan air tawar, dimana hal ini merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi dinamika pertumbuhan dan sifat energetik. Larva ikan laut lebih memungkinkan terjadinya mortalitas akibat kelaparan karena ukuran tubunya yang kecil dan memungkinkan material makanannya lebih besar. Hal ini terkait pula dengan kebutuhan metabolismenya. Houdo (1994) mengemukakan bahwa ketahanan hidup rata-rata (survival rate) larva ikan air tawar diduga lebih tinggi dibandingkan dengan larva ikan laut. Survival rate ini berhubungan terbalik dengan fekunditas. Sjafei (1992) ikan-ikan yang fekunditasnya tinggi mempunyai mortalitas yang tinggi terutama pada fase embrio dan larva. Pengurangan dan penambahan pada survival rate periode larva akan berpengaruh besar terhadap ukuran populasi ikan dewasa. 2.4 Stok dan Rekruitmen Jaminan stok berbagai komoditas perikanan umumnya tergantung pada keberadaan fase larva, dimana larva inilah yang menjadi rekruit di suatu perairan untuk mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan (Anwar 2008). Menurut Cushing (1968) penurunan stok perikanan dikarenakan ikan-ikan kecil yang tidak diproduksi dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan stok perikanan. Banyak kegagalan yang terjadi dalam perikanan disebabkan karena kegagalan dalam rekruitmen. Menurut Rounsefell (1958) 1956 in Cushing (1968) kegagalan rekruitmen menjadi stok ikan dikaitan dengan penangkapan ikan. Menurut Widodo dan Suadi (2006) peningkatan (increment) populasi ikan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun. Sedangakan penurunan dari populasi tersebut (decrement) akibat dari mortalitas baik karena
10 faktor alami (predasi, penyakit, dll) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia. Faktor yang mempengaruhi stok perikanan adalah pertumbuhan, rekruitmen, penangkapan dan mortalitas alami. Hubungan stok dewasa dengan rekruitmen adalah berbanding lurus, dimana ketika jumlah stok dewasa banyak maka jumlah rekruitmennya pun akan banyak. Namun, pada kondisi ketika jumlah stok dewasa banyak tetapi jumlah rekruitmen sedikit, hal ini disebabkan karena adanya mortalitas perekruitmen (Syahailatua 2006). Watanabe (2002) in Syahailatua (2006) menyatakan bahwa penyebab menurunya produksi perikanan akibat tangkap lebih (overfishing). Tangkap lebih ini diakibatkan karena banyak tertangkapnya ikan-ikan muda dan gagalnya proses rekruitment
(recruitment
overfishing).
Penangkapan
yang
intensif
dalam
pengeksploitasian ikan-ikan dewasa juga akan menurunkan stok biomas pemijahan dan kemudian akan berdampak pada produksi telur yang rendah dalam setahun, dimana rekruitmen mengalami kegagalan. Kegagalan dalam rekruitmen juga disebabkan karena faktor lingkungan perairan yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup ichthyoplankton. Syahailatua (2006) juga menjelaskan bahwa tingginya tingkat mortalitas dari ichthyoplankton mengindikasikan penurunan laju kelangsungan hidupnya (survival rate). Hal ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses rekruitmen ikan dewasa dan sekaligus mempengaruhi produksi perikanan. 2.5 Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Dalam penggunaan model produksi yang didasarkan pada sifat biologis hanya dapat mengetahui potensi sumberdaya perikanan dan tingkat produksi maksimum. Akan tetapi suatu usaha perikanan ditunjukan untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan model produksi belum dapat menunjukan prilaku dan potensi ekonomi industri penangkapan ikan dan belum dapat menentukan tingkat pengusahaan yang akan menghasilkan keuntungan ekonomi maksimum bagi masyarakat. Teori ekonomi perikanan yang didasarkan atas sifat dasar biologis populasi ikan ditunjukan untuk memahami prilaku ekonomi dan industri perikanan tangkap (Purwanto 1988).
Pendekatan yang memadukan faktor ekonomi yang
11 mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi yang menetukan produksi dan suplay disebut pendekatan bioekonomi (Clark 1985 in Purwanto 1988) Model bioekonomi perikanan pertama kali ditulis oleh Gordon (1954) dalam artikelnya menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak ada seorang pun yang memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun melarang orang lain untuk ikut memanfaatkannya (common property). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena permasalahan perikanan selama ini terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dalam permasalahan tersebut maka Gordon (1954) melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori GordonSchaefer. Pendekatan ini dengan memasukkan parameter ekonomi, yaitu harga dari output (harga ikan persatuan berat) dan biaya dari input produksi (cost per unit effort). Pemanfaatan
sumberdaya
ikan
yang
bersifat
open
access
dapat
mengakibatkan terjadinya permasalahan overfishing, baik economic overfishing maupun biological overfishing. Economic overfishing terjadi ketika upaya penangkapan (effort) melebihi kapasitas produksinya dan jika dinilai dengan uang, maka pendapatan total (TR) lebih kecil dibandingkan dengan biaya total (TC), sedangakan biological overfishing terjadi jika hasil tangkapan telah melebihi potensi lestarinya sehingga akan mengarah pada kelangkaan sumberdaya perikanan. Dalam memahami pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan harus memperhatikan prinsipprinsip model bioekonomi Gordon-Shaefer (Fauzi 2006). Menurut Ruslan (2005)
berdasarkan segi ekonomi, tingkat optimum
pemanfaatan perikanan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan maksimum (maximum profit).
Hal
ini disebut
sebagai hasil maksimum secara ekonomi
(Maximum Economic Yields) yang disingkat "MEY", yaitu selisih antara biaya total (TC) dan penerimaan total (TR). Dalam menentukan MEY ini terlebih dulu harus mengkonversi hasil tangkapan menjadi penerimaan dalam bentuk uang dan tingkat usaha penangkapan (effort) dirubah menjadi biaya. Penerimaan (Total Revenue =
12 TR ) merupakan hasil tangkapan yang dikalikan dengan harga ikan, sedangakan biaya total (Total cost = TC) merupakan effort yang dikalikan dengan harga per unit effort
TCOA
Gambar 2. Keseimbangan statik model Gordon Schaefer Sumber : Clark (1985) in Wahyudin et al. (2005) 2.6 Ekologi Ekonomi Perikanan Ekologi merupakan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalah ekologi. Ekologi dan ekonomi mempunyai persamaan yaitu sama-sama mempunyai alat transaksi. Alat transaksi dalam ekonomi adalah uang, sedangkan dalam ekologi alat traksaksi yang digunakan adalah materi (seperti sumberdaya ikan). Oleh karena itu ekologi perikanan dapat disebut sebagai ekonomi alam dari suatu sumberdaya ikan. Ekonomi mempelajari keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan lingkungan dikatakan dalam keseimbangan ekologis jika proses aliran energi dan materi tidak terganggu (elerning.gunadarma.ac.id). Pauly et al. (2002) in Wiyono (2006) mengatakan bahwa kegiatan perikanan merupakan suatu kegiatan perburuan atau penangkapan sumberdaya ikan. Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada perburuan atau penangkapan yang dilakukan secara industri di dunia ini, kecuali pada sumberdaya ikan. Jika kegiatan penangkapan sumberdaya ikan ini dijadikan industri dalam skala besar, maka aspek ekonomi akan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek biologi maupun ekologi dari
13 sumberdaya ikan itu sendiri. Hal ini akan memicu peningkatan upaya penangkapan (effort) hingga melebihi kapasitas maksimumnya dan mengakibatkan kerusakan dan kepunahan dari sumberdaya ikan Secara umum, tujuan pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk mengoptimalkan tiga tujuan utama, yaitu ekonomi, biologi dan sosial. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan diharapkan mampu untuk memuaskan aspek ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya nelayan secara berkelanjutan. Namun demikian, dari ketiga tujuan utama tersebut, khususnya antara tujuan ekonomi dan biologi sering kali bertentangan dan sulit dicapai secara bersamaan. Mengoptimalkan ekonomi akan berdampak pada kerusakan sumberdaya ikan dan sebaliknya mengoptimalkan sumberdaya ikan (kelestarian sumberdaya ikan) tidak akan mampu memuaskan aspek ekonomi. Perkembangan model pengelolaan sumberdaya ikan yang pada awalnya hanya diukur dengan aspek biologi semata, maximum sustainable yield (MSY) yang kemudian dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, maximum economic yield (MEY) dan terakhir menjadi optimum sustainable yield (OSY) menunjukkan upaya-upaya perbaikan terhadap model yang ada (Wiyono 2006). Mudzakir (2003) juga mendukung pernyataan diatas dengan mengatakan bahwa pembangunan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam harus memperhatikan pengembangan dan pengelolaan pada keseimbangan aspek ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan. Alder et al. (2001) in Mudzakir (2003) menegaskan bahwa agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan yang dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatannya. Ia juga mengatakan bahwa menurunnya sumberdaya perikanan tangkap tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekologi tetapi juga oleh faktor sosial, ekonomi, dan teknologi akibat dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang diterapkan. 2.7
Ikan Pepetek (Secutor indicus) Klasifikasi ikan pepetek menurut Saanin (1984) in Muliawarman adalah
sebagai berikut : Filum
: Chordata
14 Sub Film
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Percoidea
Famili
: Leognathidae
Genus
: Leognathus Secutor Gazza
Nama Indonesia
: Pepetek, petek, peperek, kope, maco, Pettah, Dodok dan Gampar
Gambar 3. Larva ikan pepetek
Gambar 4. Ikan pepetek (Secutor indicius) Sumber : Muliawarman (1997)
Ikan pepetek termasuk ke dalam suku Leiognathidae, bentuknya pipih, berukuran kecil dan panjangnya jarang yang melebihi 15 cm. Ikan pepetek ini bisa digolongkan dalam 3 marga yaitu Leiognathus, Gazza dan Secutor. Ketiga marga ini bisa dibedakan dari bentuk mulut dan giginya. Gazza mempunyai gigi taring, sedangkan yang lain hanya mempunyai gigi kecil dan mulutnya dapat dijulurkan ke depan dengan mengarah ke atas (Secutor) ataupun ke bawah (Leiognathus) (Nontji 2005). Pepetek adalah salah satu ikan demersal yang cukup banyak tertangkap di perairan indonesia. Beberapa perairan Laut Jawa, seperti Pantai Utara Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Timur Lampung/Sumatra Selatan ikan yang dominan tertangkap adalah ikan pepetek (Dwiponggo and Badrudin 1980 in Mulawarman 1997). Berdasarkan data statistik PPN Palabuhanratu ikan pepetek ditangkap dengan menggunakan alat tangkap payang, bagan, pure seinne dan gillnet.
15 Bila ditinjau dari segi ekonomi, ikan pepetek di Indonesia terutama di Pantai Utara Jawa dan Timur Sumatra banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan harganya pun relatif baik, dengan demikian ikan pepetek dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting (Muliawarman 1997). Ikan pepetek hidup di perairan dangkal dan biasanya dalam gerombolan yang besar. Operasi penangkapan ikan dengan kapal pukat (Trawler) dan dengan bagan bisa memperoleh ikan pepetek dalam jumlah yang sangat besar. Produksi pepetek yang tertinggi di pesisir Jawa Timur biasanya sekitar bulan Desember-Maret, sedangkan terendah pada bulan Juli-September (Nontji 2005). Berdasarkan penelitian Chu et al. (2011) ikan pepetek spesies Secutor ruconius memiliki persamaan panjang berat W = 0.06 L2.63. 2.8 Ikan Layur (Lepturacanthus savala) Penelitian mengenai biologi reproduksi ikan layur mencakup dua famili yaitu Trichiuridae dan Gempylidae. Famili Trichiuridae terdiri dari dua genus yaitu Trichiurus (Gambar 7) dan Lepturacanthus (Gambar 8). Famili Gempylidae terdiri dari genus Gempylus (Gambar 9). Ada pun klasifikasi ikan layur menurut Nakamura and Parin (1993) in Ambarwati (2008) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Sub Film
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Scrombroidea
Famili
: Thrichiuridae Gempilydae
Genus
: Thrichiurus Lepturacanthus Gempylus
Spesies
: Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Gempylus serpens Cuvier, 1829
16 Nama Indonesia
: Layur
Nama Internasional
: Hairtails, ribbon fish
(a)
(b)
Gambar 5. Larva ikan layur jenis Lepturacanthus savala (a), Juvenil ikan layur jenis Gempylus (b)
Gambar 6. Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Sumber : Ambarwati (2008)
Gambar 7. Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Sumber : Ambarwati (2008)
Gambar 8. Gempylus serpens Cuvier, 1829 Sumber : Ambarwati (2008) Ikan layur memiliki tubuh yang panjang dan gepeng serta ekornya panjang. Kulitnya tak bersisik dan berwarna keperak-perakan. Sirip perut tak ada sedangkan
17 sirip dubur terdiri dari sebaris duri-duri kecil yang lepas. Rahang bawah lebih panjang daripada rahang atas. Mulutnya Lebar dan kedua rahangnya bergigi kuat dan tajam. Ikan layur dapat berukuran panjang sampai lebih 100 cm (Nontji 2005). Pada siang hari, ikan layur dewasa biasanya bermigrasi vertikal ke dekat permukaan untuk mencari makan dan kembali bermigrasi ke dasar perairan pada malam hari. Ikan layur muda (anak) yang berukuran kecil akan membentuk gerombolan (schooling) mulai dari dasar sampai dekat permukaan pada siang hari dan pada malam haari menyebar serta mengelompok untuk mencari makan sampai kedekat permukaan. Habitat layur meliputi perairan laut, estuari, rawa pantai dan mangrove. Populasi ikan layur banyak tertangkap di perairan pantai yang dangkal di sekitar muara sungai (Badrudin & Wudianto 2004 in Sharif 2009). Berdasarkan data statistik PPN Palabuhanratu ikan layur ditangkap dengan menggunakan payang, gillnet, bagan, pancing (pancing ulur dan rawai), dan pure seinne. Alat tangkap dominan yang digunakan dalam menangkap ikan layur di Teluk Palabuhanratu adalah pancing ulur (wawancara). Ikan layur yang banyak tertangkap di Teluk Palabuhanratu dan yang biasa diekspor adalah dari jenis Lepturacanthus savala (Anita 2003 in Sharif 2009). Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan layur (Lepturacanthus savala) di Teluk Palabuhanratu (Sharif 2009) Parameter Biologi
Nilai
K (per tahun) L∞ (mm) t0
0.56 1348 -0.62
Pola pertumbuhan ikan layur adalah allometrik negatif yang berarti bahwa pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Hal ini dilihat berdasarkan nilai b>3 berdasarkan hubungan panjang-berat ikan layur W = 2x10-8 L3.55 dan telah dilakukan uji t (α =0.05) terhadap nilai b tersebut (Sharif 2009). Menurut penelitian Ambarwati (2008) juga menyatakan pola pertumbuhan ikan layur jantan allometrik positif (W = 2x10-7 L3.2626) dan ikan layur betina (W = 2x10-6 L2.8368) memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya.