7
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Fisika Kimia Radionuklida Dari lambang nuklida
, dapat ditentukan jumlah proton dan neutron dalam
inti atom, dan sekaligus juga jumlah elektron yang mengitari inti. Jumlah proton (nomor atom) adalah Z, jumlah neutron adalah massa atom (A) dikurangi dengan nomor atom (Z).
Nuklida-nuklida dengan jumlah proton sama tetapi jumlah
neutron berbeda disebut isotop.
Menurut UU No. 10 Tahun 1997 tentang
ketenaganukliran, radioisotop (radionuklida) adalah isotop yang mempunyai kemampuan untuk memancarkan radiasi pengion, dimana radiasi pengion itu sendiri adalah gelombang elektromagnetik dan partikel bermuatan yang karena energi yang dimilikinya mampu meng-ionisasi media yang dilaluinya.
Zat
radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70 kBq/kg (2 nCi/g). Angka 70 kBq/kg (2 nCi/g) tersebut merupakan patokan dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dari Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency). Proses peluruhan zat radioaktif sebenarnya adalah proses alami dari suatu zat radioaktif atau radioisotop dalam rangka keseimbangan menuju energi dasarnya. Peluruhan radioaktif (radioactive decay) adalah emisi partikel-partikel secara spontan atau radiasi elektromagnetik dari atom yang tidak stabil yang mengakibatkan transformasi (perubahan bentuk) dalam nukleus/intinya.
Hasil
dari transformasi ini yaitu alpha, beta dan partikel neutron dapat dikeluarkan dari inti, kadang-kadang disertai dengan emisi partikel positron, sinar gamma, dan sinar – X. Atom berubah menjadi elemen baru, yang dapat bersifat radioaktif atau stabil (Morrison dan Murphy 2006). Partikel alpha, beta dan positron memiliki waktu paruh yang sangat pendek dan tidak stabil di dalam lingkungan. Sinar gamma dan sinar – X merupakan foton (Morrison dan Murphy 2006). Kuantitas dari radionuklida diuraikan oleh aktivitasnya sesuai dengan persamaan berikut (Morrison dan Murphy 2006):
8
A= λ N .......................................................................... (1) dimana: A
= aktivitas (Bq)
λ
= konstanta/tetapan peluruhan (satuan s-1)
N
= jumlah atom (1
×
)
Aktivitas pada waktu tertentu diuraikan oleh persamaan berikut (Morrison dan Murphy 2006): A = A0 e- λ t ................................................................... (2) dimana: A
= aktivitas (Bq)
A0 = aktivitas awal pada t=0 λ
= konstanta/tetapan peluruhan (satuan s-1)
t
= waktu sejak t = 0 (dalam detik) Waktu paruh dari suatu isotop radioaktif adalah selang waktu yang
dibutuhkan agar aktivitas radiasi berkurang setengah dari aktivitas semula. Waktu paruh juga dapat didefinisikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan agar setengah dari inti radioaktif yang ada meluruh. Ketika t = T1/2 maka sehingga waktu paruh kita peroleh dengan cara:
=
A = A0 e- λ t = e- λ t = 0,5 atau 0,5 = e- λ t1/2 Ln 0,5 = - λt1/2 atau -0,693 = - λt1/2 sehingga, t1/2 =
,
(detik) (Morrison dan Murphy 2006).
Dalam sistem internasional, satuan aktivitas radiasi dinyatakan dalam Becquerel (disingkat Bq) sesuai dengan nama penemu radioaktivitas, dimana 1 Bq = 1 peluruhan/detik. Tabel 1 menunjukkan unit-unit yang digunakan dalam ilmu radiologi.
9
Tabel 1. Unti-unit dalam radiologi Kuantitas
Unit SI baru dan simbol
Becquerel Radioaktivitas (Bq)
Unit lama dan simbol
Definisi
peluruhan/detik Curie (Ci)
Definisi 3,7 X 1010 peluruhan per detik
Catatan: 1. Tera Becqurel (TBq) umum digunakan untuk buangan radioaktif: 2. Konsentrasi radioaktivitas diberikan dalam Becquerel per kilogram (Bq/kg): Dosis yang diabsorpsi
Dosis equivalen
Gray (Gy)
J/kg
Sievert (Sv)
J/kg X (modifying factor)
rad (rad)
10-2 J/kg
rem (rem)
10-2 J/kg X (modifying factor)
Konversi data 1 Ci = 3,7 X 1010 Bq 1 Bq = 2,7 X 10-11 Ci = 27pCi 1 TBq = 1012 Bq = 27 Ci 1 Bq/kg = 1 mBq/g = 27 pCi/kg 1 pCi/g = 37 Bq/kg 1 rad = 10-2 Gy 1 Gy = 102 rad 1 rem = 10-2 Sv = 10mSv 1 Sv = 102 rem
Sumber: Laws (1993) 2.2 Unsur Radionuklida Alam Unsur radionuklida alam adalah unsur yang mempunyai konfigurasi unsur kimia tidak mantap, senantiasa meluruh sambil memancarkan radiasi α (alpha), β (beta) dan γ (gamma). Berdasarkan sumbernya, unsur tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur radionuklida kosmogenik dan unsur radionuklida primordial (dari dalam kerak bumi). Berbagai bahan yang berasal dari alam dan mengandung materi radioaktif dikenal dengan istilah Naturally Occuring Radioactive Materials (NORM). Radionuklida alam primordial yaitu unsur radionuklida alam yang terbentuk dalam kerak bumi, yang telah ada sejak terbentuknya bumi beberapa milyar tahun. Unsur tersebut terdapat dalam mineral-mineral batuan dan tanah, dapat terkonsentrasi atau meningkat kadarnya akibat penggunaan ada kegiatan industri (Mellawati 2004). Radionuklida alam primordial terdiri atas 2 kelompok, yaitu radionuklida alam primordial yang tidak membentuk deret (singly occuring primordial radionuclida) seperti 40 K,
87
Rb, dan
204
Pb dan yang membentuk deret
(decay series) seperti deret uranium (238U) (Gambar 2), deret aktinium (235U), dan
10
thorium (232Th) (Gambar 3) (UNSCEAR 1993 dan Bennet 1995 in Mellawati 2004). 2.2.1 Uranium Uranium adalah salah satu unsur radioaktif yang terjadi secara alami di lapisan kerak bumi.
Uranium merupakan logam dengan densitas yang tinggi (18,9
3
g/cm ). Radionuklida uranium termasuk kelompok aktinida yang mempunyai nomor atom 92, bobot massa 238,02891, titik cair 1135 oC dan titik didih 4131 oC. Uranium dalam bentuk murninya adalah logam berat berwarna perak dengan densitas hampir dua kali timbal (Pb). Batuan bumi mengandung rata-rata 3 ppm (= 3 mg/kg) uranium, dan di air laut diperkirakan 3 ppb (= 3 µg/kg). Kathren (1998) menyebutkan bahwa hampir semua jenis batuan mengandung uranium rata-rata 33 Bq/kg. Uranium yang berasal secara alami terdiri dari tiga isotop yang semuanya merupakan zat radioaktif yaitu 238
U dan
235
238
U,
235
U, dan
234
U (Tabel 2).
U merupakan nuklida induk (parent) yang memiliki deret luruh
sendiri, sedangkan
234
U merupakan produk peluruhan dari deret
238
U (Argonne
National Laboratory 2005). Uranium yang terdapat dalam perairan alami adalah uranium heksavalen, berupa ion uranil (UO22-).
Tabel 2. Isotop-isotop uranium yang berasal secara alami Isotop Uranium Persentase dalam uranuim Nomor Nomor Isotop alamiah proton neutron Uranium-238 99.284 92 146 Uranium-235 0.711 92 143 Uranium-234 0.0055 92 142 Sumber: IEER (2005)
Waktu paruh ( tahun) 146 milyar 704 juta 245000
Peluruhan uranium sangat lambat dengan memancarkan partikel alfa. Waktu paruh uranium-238 adalah 4,5 miliar tahun, yang berarti tidak sangat radioaktif seperti ditunjukkan oleh spesific abundance yang rendah (0,00000034 Ci/g). Sejumlah kecil uranium alam dapat ditemukan hampir di setiap tempat, di tanah, batuan bumi, dan air, sementara bijih uranium ditemukan hanya di beberapa
11
tempat, biasanya dalam batuan keras atau batuan pasir, depositnya biasanya ditutupi oleh tanah dan vegetasi (Argonne National Laboratory 2005). Selama bertahun-tahun, uranium digunakan untuk mewarnai gelas keramik, menghasilkan warna yang berkisar dari merah jingga sampai kuning lemon. Uranium juga digunakan untuk pewarnaan pada masa awal fotografi.
Sifat
radioaktif uranium tidak diketahui sampai tahun 1896, dan potensinya untuk digunakan sebagai sumber energi tidak pahami sampai pertengahan abad ke-20. Dalam reaktor nuklir, uranium berfungsi baik sebagai sumber neutron (melalui proses fisi) dan bahan target untuk menghasilkan plutonium.
Plutonium-239
dihasilkan ketika uranium-238 menyerap neutron. Saat ini, penggunaan utamanya adalah sebagai bahan bakar pada reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir. Uranium juga digunakan dalam reaktor nuklir kecil untuk memproduksi isotop untuk keperluan medis dan industri. Pengayaan uranium yang tinggi merupakan komponen utama senjata nuklir tertentu (Argonne National Laboratory 2005). Dalam kondisi alami, uranium terbentuk sebagai bijih oksida, U3O8. Senyawa tambahan yang mungkin terdapat juga di dalamnya oksida yang lain (UO2, UO3) maupun fluorida, karbida atau karbonat, silikat, vanadates, dan fosfat. USEPA menetapkan tingkat kontaminan maksimum (MCL) untuk uranium dalam air minum yaitu 0,030 miligram per liter (mg/l) atau setara dengan sekitar 27 picocuries (pCi) per liter (Argonne National Laboratory 2005). 2.2.2 Thorium Thorium adalah salah satu unsur radioaktif yang terbentuk secara alami di lapisan kerak bumi dan tanah dengan konsentrasi rendah, dimana kelimpahannya sekitar tiga kali lebih banyak daripada uranium.
Tanah pada umumnya
mengandung thorium dengan rata-rata sekitar 6 ppm. Peluruhan Thorium-232 (232Th) sangat lambat (waktu paruhnya sekitar tiga kali usia bumi) tetapi isotop thorium yang lain terbentuk dari hasil peluruhan dan berada dalam rantai peluruhan uranium. Sebagian besar dari uranium tersebut berumur pendek dan lebih radioaktif daripada
232
Th, walaupun jika didasarkan pada massanya mereka
tidak berbeda signifikan (World Nuclear Association 2009). Ketika dalam bentuk murninya, thorium merupakan logam berat dengan warna putih perak yang akan tetap berkilau selama beberapa bulan. Tetapi, ketika
12
terkontaminasi oleh oksida, thorium akan memudar dengan perlahan-lahan di udara, menjadi berwarna abu-abu dan dapat menjadi hitam.
Thorium oksida
(ThO2), yang disebut juga thoria, memiliki titik didih tertinggi dari semua jenis oksida yang lain (3300 oC). Ketika dipanaskan di udara, logam thorium akan kembali terbakar dan terbakar sempurna dengan sinar putih. Karena sifat-sifat tersebut, thorium ditemukan pada aplikasinya yaitu elemen bola lampu, pembungkus lentera, arc-light lamp, sambungan (las) elektroda, dan keramik tahan panas. Gelas (kaca) yang mengandung thorium oksida memiliki indeks refraksi dan penyebaran yang tinggi dan digunakan dalam lensa yang berkualitas tinggi untuk kamera dan peralatan ilmiah (World Nuclear Association 2009). Sumber utama thorium adalah mineral fosfat (monazite), yang mengandung sampai 12% thorium fosfat, dengan rata-rata 6-7%. Monazite ditemukan pada hasil solidifikasi magma (igneous) dan batuan lainnya tetapi konsentrasi terbesar dalam deposit sedimen yang mengandung mineral-mineral berharga (placer deposit), terkonsentrasi oleh gaya gelombang dan arus bersama logam berat yang lain.
Sumber monazite di bumi diperkirakan sekitar 12 juta ton.
Thorium
dibebaskan dari monazite biasanya melibatkan proses leaching menggunakan sodium hydroxide pada suhu 140 oC diikuti dengan proses kompleks untuk mengendapkan ThO2 murni. Mineral lain yang mengandung thorium yaitu torite (ThSiO4) (World Nuclear Association 2009).
2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Di dunia saat ini terdapat berbagai jenis pembangkit listrik, dan berdasarkan klasifikasi penggunaan jenis bahan bakarnya, terdapat pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batubara), air, nuklir, dan terbarukan (gas, panas bumi, biogas, matahari, dan lain-lain). Pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil salah satunya adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). PLTU ada yang menggunakan batubara, bahan bakar minyak, dan gas sebagai bahan bakar dalam operasi pembangkit tenaga listrik.
PLTU-batubara adalah
pembangkit listrik yang menggunakan uap air untuk memutar turbin dan menggerakan generator, serta akhirnya menghasilkan listrik. PLTU menghasilkan tenaga listrik melalui pembakaran batubara di boiler untuk memansakan air untuk
13
menghasilkan uap air. Uap air, pada tekanan yang tinggi, mengalir menuju turbin, yang mana akan memutar generator untuk menghasilkan tenaga listrik. Uap air kemudian menjadi lebih dingin, dan dikembalikan ke boiler untuk memulai proses seperti di atas.
Gambar 2. Deret peluruhan radionuklida alam 238U (Smith 1992)
14
Gambar 3. Deret peluruhan radionuklida alam 232Th (Smith 1992)
15
2.3.1 Batubara Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, dengan komposisi utama terdiri dari cellulosa.
Proses pembentukkan batubara dikenal sebagai
proses coalification. Faktor fisik dan kimia yang ada di alam akan mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumina, bitumina atau antrasit.
Reaksi
pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai berikut (Sukandarrumidi 2009): 5(C6H10O5) cellulosa
C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO ........ (3) lignit
gas metan
Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan (dari tingkatan paling tinggi sampai tingkatan terendah) yaitu: antrasit, bituminus, subbituminus, lignit dan gambut, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Penggolongan tersebut
menekankan pada kandungan relatif antara kandungan unsur C dan H2O yang terdapat dalam batubara.
Tabel 3. Jenis-jenis batubara Jenis batubara Penampakan dan karakteristik Warna hitam sangat mengkilat (luster) metalik, berat jenis tinggi, kandungan abu rendah, Antrasit mudah dipecah, nilai kalor sekitar 8300 kkal/kg Warna hitam mengkilat, kandungan abu Bituminus rendah, nilai kalor antara 7000-8000 kkal/kg SubMenyerupai bituminus, sumber panas yang bituminus kurang efisien Warna coklat, sangat lunak, bila dibakar Lignit menghasilkan kalor 1500-4500 kkal/kg Gambut Berpori, nilai kalor 1700-3000 kkal/kg Sumber: Sukandarrumidi (2009); Mellawati (2009)
Kadar C dan H2O (%) Kadar C 86 - 98%, kadar air (H2O) < 8% Kadar C 68 - 86%, kadar air 8 - 10% Kadar sedikit , H2O banyak Kadar H2O 35 75% Kadar H2O > 75%
Perkiraan jumlah dan lokasi cadangan sumberdaya alam batubara di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 4 (Mellawati 2009). Jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik adalah yang berkualitas tinggi maupun rendah. Umumnya batubara yang kualitasnya tinggi menghasilkan sedikit sekali unsur pengotor (impurities) yang bersifat berbahaya, sehingga tidak begitu mencemari lingkungan, sedangkan yang berkualitas rendah menghasilkan banyak
16
unsur pengotor (Mellawati 2009). Bila jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pada PLTU-batubara tergolong batubara muda atau brown coal (lignite) yang memiliki kadar air diatas 55% maka perlu dikeringkan terlebih dahulu dengan alat pengering (Pre-Drying System) seperti yang dilakukan pada PLTU Mulut Tambang Simpang Belimbing. Dari segi kuantitas, batubara termasuk cadangan energi fosil yang penting bagi Indonesia, karena jumlahnya berlimpah mencapai jutaan ton. Akan tetapi perlu penghematan pemaikaiannya sehingga juga dapat menekan lepasan polutannya (CO2, SO2, NOx, CxHy, logam berat, dan radionuklida) ke lingkungan (Mellawati 2009).
Gambar 4. Perkiraan cadangan batubara di Indonesia hingga tahun 2003
2.3.2 Cara kerja PLTU-batubara Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik ditunjukkan pada Gambar 5 (Canadian Clean Power Coaltion 2004).
17
Gambar 5. Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik Keterangan: 1.
Suplai/pasokan batubara §
Batubara dari pertambangan dikirim ke gerbong/kontainer batubara, dimana batubara tersebut digiling/dihancurkan sampai berukuran 5 cm (2 inch).
§
Batubara diproses dan dikirim menggunakan ban berjalan (conveyor belt) menuju instalasi pembangkit.
2.
Mesin penghancur/penggiling (pulverizer) §
Batubara kemudian dihancurkan sampai menjadi bubuk yang halus, dicampurkan dengan udara dan dialirkan menuju ketel uap (bioler), atau tungku (furnace) untuk pembakaran.
3.
Ketel uap (boiler) §
Campuran batubara/udara dibakar pada boiler.
§
Jutaan liter air murni dipompa melewati pipa di dalam boiler.
§
Panas yang sangat kuat dari hasil pembakaran batubara mengubah air murni dalam tabung boiler menjadi uap, yang akan memutar turbin (lihat nomor 4) untuk menghasilkan energi listrik.
4.
Presipitator, tiang silinder (stack) §
Pembakaran batubara menghasilkan gas karbondioksida (CO2), sulfur oksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx).
§
Gas-gas tersebut keluar dari boiler.
18
§
Abu dasar, yang membentuk fragmen-fragmen kasar yang jatuh ke dasar boiler, dibuang/dibersihkan.
§
Abu terbang, yang sangat ringan, keluar dari boiler bersama dengan gasgas bersuhu panas.
§
Presipitator elektrostatik (saringan udara yang sangat besar) memisahkan 99,4% abu terbang sebelum gas-gas dalam cerobong disebar ke atmosfer.
5.
Turbin, generator §
Air dalam tabung boiler membawa panas dari boiler dan bergerak dalam bentuk uap.
§
Uap dengan tekanan tinggi dari boiler dilewatkan ke dalam turbin (drum pejal dengan ribuan lempeng baling-baling).
§
Ketika uap menabrak plat baling-baling, maka akan mengakibatkan turbin berputar dengan cepat.
§
Putaran
turbin
mengakibatkan
tongkat
rotating
silinder
panjang
bergerak/menyala di dalam generator, menghasilkan arus listrik. 6.
Kondensor (pendingin uap) dan sistem pendingin air §
Air pendingin dibawa (dialirkan) ke dalam pembangkit dan disirkulasikan melewati kondensor , dimana uap dingin dilepaskan dari bagian turbin.
§
Uap dari bagian turbin juga dilewatkan melewati kondensor dalam pipa yang terpisah dari air pendingin.
§
Air dingin dipanasakan dengan penguap, dimana uap kembali ke dalam air murni dan disirkulasikan kembali ke boiler untuk memulai proses pembangkitan energi listrik kembali.
§
Air pendingin, yang telah menjadi hangat karena pertukaran panas di kondensor, dilepas/dibuang dari pembangkit.
7.
Instalasi pengelolaan air (water treatment plant): pemurnian air §
Untuk mengurangi korosi, air harus benar-benar murni untuk dapat digunakan dalam tabung boiler.
§
Sistem air limbah lain di dalam instalasi mengumpulkan air yang digunakan untuk membersihkan pipa-pipa dan peralatan lain, dan endapan (lumpur) hasil dari proses pemurnian air dan proses lainnya.
19
§
Air limbah dipompa ke luar dari instalasi/pembangkit dan menuju kolam penampungan.
8.
Presipitator, sistem pengelolaan abu §
Abu yang terbentuk pada lempengan presipitator dibersihkan/dijatuhkan dan dikumpulkan dalam bak besar.
§
Abu terbang dan abu dasar dibuang dari pembangkit dan dipindahkan dengan truk ke lokasi pembuangan (ash lagoon).
§
Tergantung pada permintaan pasar, abu terbang yang dihasilkan dari TransAlta's three plants dijual kepada industri semen untuk bahan konstruksi.
9.
Substasiun, transformer, kabel transmisi §
Ketika
energi
listrik
dibangkitkan,
transformer
meningkatkan
volt/tegangan listrik sehingga energi listrik dapat dibawa melalui kabel transmisi. §
Ketika energi listrik terkirim ke substasiun di kota-kota, volt/tegangan yang ada dalam kabel transmisi dikurangi, dan dikurangi lagi ketika energi listrik didistribusikan ke pelanggan.
PLTU-batubara kini menjadi sumber daya energi pembangkit listrik alternatif yang akan dikembangkan di Indonesia. PLTU juga merupakan industri yang paling banyak menggunakan batubara. Tercatat dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 35,342 juta ton, 71,11% di antaranya digunakan oleh PLTU.
Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2005,
penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya meningkat rata-rata 13,00%. Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai dampak permintaan listrik yang terus meningkat rata-rata 7,67% per tahun (Tim Kajian Batubara Nasional 2006). PLTU-batubara merupakan sistem pembangkit listrik yang relatif murah dengan biaya operasi sekitar 30 % lebih murah dibandingkan dengan sistem pembanglkit listrik dengan bahan bakar yang lain dan dapat memberikan energi listrik cukup besar. Keunggulan PLTU-batubara adalah harga bahan bakarnya
20
lebih murah dibandingkan minyak dan cadangan yang tersedia di Indonesia masih relatif banyak (Mellawati 2009; Sutarman 2007). Hingga tahun 2005 telah dibangun sebanyak 11 unit PLTU yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, yaitu PLTU Labuhan Angin, PLTU Ombilin, PLTU Tanjung Enim, PLTU Tarahan, PLTU Suralaya, PLTU Cilacap, PLTU Tanjung Jati, PLTU Paiton, PLTU Asam-Asam, PLTU Lati, dan PLTU Amurang seperti yang disajikan pada Gambar 6 (Mellawati 2009). PLTU Suralaya berkapasitas 3.400 MW, berfungsi untuk menyediakan energi listrik 50% produksi PT. Indonesia Power atau 25% dari kebutuhan energi listrik se Jawa - Bali. Untuk membangkitkan energi listrik tersebut PLTU Suralaya memerlukan batubara kurang lebih 32.000 ton/hari. Batubara tersebut sebanyak 50% berasal dari daerah Sumatera Selatan dan 50% lagi berasala dari Kalimantan. PLTU Suralaya didesain untuk batubara yang mempunyai kekerasan rendah (lunak) (Sukandarrumidai 2009).
Gambar 6. Lokasi PLTU-batubara di Indonesia
21
2.4 Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian PLTU-Batubara Berbagai industri “non nuklir” memakai bahan baku yang mengandung bahan radioaktif alam, terutama bahan baku yang berasal dari perut bumi. Pada Tabel 4 disajikan jumlah radionuklida alam yang terkandung di dalam hasil proses industri “non-nuklir”, antara lain industri timah, fosfat, minyak dan gas, semen, PLTUbatubara, dan bauksit, sekaligus termasuk limbahnya.
Dari beberapa industri
“non-nuklir” tersebut ada 2 industri yang menurut laporan UNSCEAR mempunyai potensi yang besar sebagai pencemar lingkungan yaitu pabrik pupuk fosfat dan PLTU-batubara (Bunawas dan Pujadi 1998). Pengoperasian PLTUbatubara memiliki konsekuensi yaitu dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan
berupa gas beracun (SOx, NOx, COx) yang dapat menyebabkan hujan asam, abu terbang (fly ash) yang mengandung logam-logam berat (Pb, Hg, Ag, dan Cd) dan radionuklida alam yang berasal dari kerak bumi, yaitu deret uranium (238U), thorium (232Th), dan potasium-40 (40K) (Sutarman 2007).
2.4.1 Karakteristik radionuklida alam lepasan dari kegiatan PLTU-batubara Mineral batubara tersusun dari sekitar 1% elemen kelumit dan radionuklida. Menurut UNSCEAR (2000), rata-rata konsentrasi radionuklida alam dalam batubara adalah untuk
238
U sebesar 35 Bq/kg (kisaran: 16–110 Bq/kg),
226
Ra
sebesar 35 Bq/kg (kisaran: 17–60 Bq/kg), 232Th sebesar 30 Bq/kg (kisaran: 11–64 Bq/kg) dan 40K sebesar 400 Bq/kg (kisaran: 140–850 Bq/kg). USEPA menyatakan bahwa di dalam batubara kandungan rata-rata uranium adalah 1,3 ppm dan kandungan thorium rata-rata 3,2 ppm. Kadar radionuklida primordial di dalam batubara bervariasi, bergantung pada jenis batubara dan lokasi asal-usul batubara (Susiati, 2006). Hasil analisis kandungan radionuklida dalam batubara berikut jenis radiasi yang dipancarkan oleh radionuklidaradionuklidanya ditunjukkan pada Tabel 5 (Mellawati 2009).
22
Tabel 4. Kadar radionuklida yang terkandung di dalam hasil proses industri “non nuklir” dan hasil limbahnya. Kadar radionuklida alam (Bq/kg) Jenis 238 232 225 40 210 Industri Jenis Hasil U Th Ra K Po Timah Timah < 100 < 200 Monasit < 30000 326000 31000 Zirkon 16000 43000 16000 Timah-ore < 300 < 1000 < 200 < 200 200000 Fume Pupuk fosfat Fosfat-ore 1400 16 1200 100 Asam fosfat 1900 20 300 270 TSP 1050 28 700 20 Gip 160 21 1010 300 Minyak dan gas Air 2 4 290 Lumpur 10 33 393 Kerak air - > 69000 1500 Semen Gip 160 21 1010 300 Abu semen 64 1,5 81 273 PLTU Batubara 1,2 1,5 1,2 10 Abu terbang 98 191 98 595 Bauksit Bauksit 27 – 129 32 – 165 27 – 129 - 1 – 48 Tailing 85 208 122 43 Sumber: Bunawas dan Pujadi (1998)
Tabel 5. Kandungan radionuklida dalam batubara. No. Radionuklida 1 Uranium-238 (dan turunannya) Radium-226 Timbal-210 Polonium-210 2 Thorium-232 (dan turunannya) Thorium-228 Radium-228 3 Potasium-40
Jenis radiasi Radiasi α
Waktu paruh (tahun) 4,50x109
226
Ra 210 Pb 210 Po 232 Th
Radiasi α Radiasi β Radiasi α Radiasi α
3,43x104 19,40 138,30 1,39x1010
228
Radiasi α Radiasi β Radiasi β dan γ
1,90 6,70 1,28x109
Lambang 238 U
Th Ra 40 K 228
23
Pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu yang cukup besar jumlahnya. Abu hasil pembakaran batubara dikenal sebagai ash content (kandungan abu). Abu ini tidak dapat terbakar (non combustible materials), atau yang dioksidasi oleh oksigen. Laju produksi abu batubara pada sistem PLTU kira-kira 10% dari volume batubara (Susiati 2006). Kadar abu batubara Indonesia berkisar 5% - 20% (Sukandarrumidi 2009). Apabila batubara dipakai untuk PLTU, abu yang ada akan terpisah menjadi abu dasar/abu tinggal (bootom ash) (10-20%) yang terkumpul di dasar tungku dan abu terbang (fly ash) (80-90%) yang keluar
melalui cerobong asap
(Sukandarrumidi 2009). Abu dasar biasanya terkumpul di dasar atau di sekitar tungku pembakar karena terlalu berat untuk dibawa oleh gas buang. Abu dasar biasanya berwarna gelap dan ukuran butirannya bervariasi dari ukuran pasir hingga kerakal. Dermata dan Meng (2003) in Jumaeri et al. (2007) menyatakan abu terbang/layang adalah residu halus yang dihasilkan dari pembakaran batu bara gilingan (grounded) atau serbuk (powdered) yang dipindahkan dari tungku pembakaran melalui boiler oleh aliran gas buang. Abu terbang/layang adalah abu batubara yang berupa serbuk halus yang tidak dapat terbakar dengan distribusi ukuran 1-100 μm dan relatif homogen (Maulbetch dan Muraka 1983 in Jumaeri et al. 2007) dan berwarna lebih terang (keabu-abuan) bila dibandingkan dengan abu dasar. Berat jenisnya berkisar antara 1,95–2,95 g/cm3. Abu terbang ditangkap dengan menggunakan presipitator elektrostatik, filter atau silikon. Efisiensi dari penyaringan abu terbang dapat mencapai 99,9% (dengan presipitator elektrostatik) dan sisanya, berupa butiran yang sangat halus, terbang ke udara (Prijatama 1996). Abu terbang (fly ash) sebagai limbah PLTU berbahan bakar batubara dikategorikan oleh Bapedal sebagai limbah berbahaya (B3). Ketika batubara dibakar, sejumlah radionuklida berpotensi juga terlepas ke lingkungan melalui fly ash (abu terbang) dan bottom ashnya (abu tinggal). Hal ini terjadi karena ketika batubara dibakar akan mengalami pemecahan molekulmolekul batubara berukuran besar menjadi molekul-molekul berukuran lebih kecil, sehingga radionuklida yang terjebak di dalam batubara selama berjuta-juta
24
tahun (sebagai impurities) akan keluar bersama-sama dengan hasil emisi batubara lainnya melalui fly ash dan bottom ash (Mellawati 2009). Lepasnya zat radioaktif melalui abu ketika batubara dibakar akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi radioaktivitas per unit berat sehingga dapat meningkatkan paparan radiasi di lingkungan (Meij dan Winkel 2001). PLTU Suralaya menghasilkan abu layang ± 750.000 ton per tahun (Nasrul dan Utama 1995 in Jumaeri et al. 2007). Konsentrasi unsur radioaktif dalam abu terbang yang dihasilkan dalam pengoperasian PLTU-batubara di beberapa negara (Bq/kg) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan dan konsentrasi radionuklida dalam abu terbang PLTUbatubara di beberapa negara. 40
Negara Australia Jerman India Italia: I II III Hungaria USA: I II III Rumania Baoji, Cina Hong Kong, Cina Shanghai, Cina Beijing, Cina Lodz, Polandia India
226 238 210 210 232 228 228 K Ra U Pb Po Th Th Ra (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) td 520 td td td td td td 200300td 70-300 70-300 3000 5500 30-100 td td td 100 td td td td td 130 801000 44-330 40-70 td td 300 td td 37-74 333 999 td 20-560 td td td td td td 260160250100100100270 15 200 630 700 160 120 160 161 84 137 67 500 113 71 206 240 59 70 261,5– 76,1– 118,7– 520,8 165,7 195,6 -
178 176,5– 278,6 213– 699 448,5– 758,0 148,0– 840,1
140 136,5– 189,8 56,9– 160 54,2– 119,3 40,7– 151,7
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Lu et al. (2006); Mellawati (2009)
155 123,6– 202,4 50,2– 162 47,5– 91,5 96,2– 177,7
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
25
2.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Lingkungan Perairan Pesisir PLTU-batubara di Indonesia sebagian besar berlokasi di daerah pesisir sehingga radionuklida alam primordial seperti
238
U dan
232
Th yang terlepas dari
proses pengoperasiannya dapat masuk ke perairan laut (pesisir) salah satunya melalui jatuhan abu terbang dari atmosfer. Radionuklida tersebut akan tersebar dalam ekosistem perairan dan yang tidak melarut secara cepat (senyawa karbonat) akan terakumulasi pada sedimen di sekitar instalasi pembangkit (Connel dan Miller 1995).
Peningkatan radionuklida di perairan laut mengakibatkan
perubahan dalam latar (beckground) lingkungan laut, di air laut, padatan tersuspensi, sedimen, dan biota (Strezov dan Nonova 2009). Secara umum, perairan pesisir laut memiliki kedalaman yang lebih dangkal dan beban materi tersuspensi yang lebih besar, bila dibandingkan dengan di laut lepas. Oleh karena itu, proses scavenging dari radionuklida atau unsur-unsur lain melalui asosiasi dengan materi partikulat dan deposisi ke dasar perairan dapat terjadi dengan lebih intensif dalam kawasan pesisir. Massa air fluvial dan materi partikulat yang keluar melalui sistem sungai dapat mempengaruhi persediaan dan distribusi radionuklida di wilayah pesisir (Nagaya dan Nakamura 1992). 2.5.1 Radionuklida alam 238U dan 232Th di air, padatan tersuspensi dan sedimen perairan Ketika radionuklida alam masuk ke kolom perairan laut (pesisir) maka proses fisik di kolom perairan tersebut memainkan peranan utama dalam mengontrol perilaku kontaminan di lingkungan air.
Proses-proses ini dapat menentukan
secara langsung distribusi spasial polutan melalui pergerakan/perpindahan massa air (arus, gelombang, turbulensi) dan dapat mempengaruhi kondisi ekologi sistem akuatik (Monte et al. 2009). Radionuklida juga akan dipartisi antara fase padat dan terlarut. Berbagai proses yang mungkin terlibat dalam partisi ini, termasuk diantaranya penyerapan (sorption) oleh material organik maupun non organik dari partikel tersuspensi, presipitasi dan disolusi, koloid agregasi dan disagregasi, aktivitas mikroba, dan uptake maupun release kembali oleh biota. Partisi berupa padatan dan larutan dari suatu radionuklida merupakan parameter yang sangat penting dan menggambarkan perilakunya, kecuali untuk pengambilan secara
26
biologis (biological uptake), hal ini dapat didefinisikan dengan koefisien distribusi (Kd) yang diperkenalkan oleh NEA/ OECD (1983) in Warner dan Harrison (1993).
Keterangan:
=
As =
......................................................................... (4)
ℎ
c=
ℎ
ℎ
ℎ
(
/
(
)
/
)
Penggunaan Kd secara umum adalah untuk menggambarkan parameter
sederhana yaitu distribusi padatan/larutan untuk tujuan pemodelan distribusi biogeokimia
radionuklida.
Konsep
Kd
menggambarkan
keseimbangan
(equilibrium) dan reversible. Karakteristik kimia air penting dalam penentuan perilaku radionuklida dan Kd.
Spesiasi radionuklida dalam larutan mungkin
tergantung pada komposisi ionik dan ionic strength dalam air, kehadiran ligan organik, potensial redoks (Eh) dan keasaman (pH); perbedaan penting dalam perilaku radionuklida adalah pengamatan pada kondisi air yang aerobik dan non aerobik. Perbedaan utama komposisi ionik dan kekuatan ionik (ionic strength) ada antara air asin dan air tawar, dan di antara air basa dan asam, memainkan peran penting dalam menentukan spesiasi dan perilaku radionuklida (Warner dan Harrison 1993). Akan tetapi, kelarutan beberapa jenis radionuklida alam dalam air sangat rendah, sehingga biasanya mudah tersedimentasi. menyatakan bahwa ada potensi ion-ion
238
WHO (2001)
U dengan densitas 19 g/cm3 dan
232
Th
dengan densitas 11 g/cm3 membentuk senyawa tidak terlarut dan akan berada pada fase padat yang kemudian turun ke dasar perairan. Migrasi radionuklida dari kolom air ke sedimen dan sebaliknya merupakan proses yang kompleks melibatkan interaksi antara fase terlarut dan padat dari kontaminan dan sedimantasi dan resuspensi materi partikulat. Proses interaksi radionuklida terlarut dengan partikel padat yang tersuspensi maupun terdeposit, biasanya dimodelkan berdasarkan konsep Kd.
Nilai Kd untuk beberapa
radionuklida baik untuk air laut maupun tawar telah dilaporkan oleh IAEA (1982, 2001). Proses fisik utama yang terlibat dalam migrasi radionuklida ke dan dari sedimen adalah settling dari partikel tersuspensi yang terkontaminasi radionuklida dan resuspensi dari partikel sedimen yang terkontaminasi radionuklida.
27
-
Fluks kontaminan dari kolom air ke dasar sedimen: Fws = vws Cw ;
-
...................................................................................... (5)
Fluks kontaminan dari dasar sedimen ke kolom air: Fsw = Ksw Ds.
...................................................................................... (6)
Dimana vws adalah kecepatan migrasi radionuklida dari kolom air ke sedimen; Ksw adalah tingkat migrasi radionuklida dari sedimen ke kolom air; Cw adalah konsentrasi radionuklida di kolom air; Ds adalah radionuklida yang terdeposisi ke sedimen (Bq/m2) (Monte et al. 2009). Beberapa hasil investigasi melaporkan bahwa radionuklida lebih banyak terkonsentrasi dalam sedimen dengan ukuran butiran halus (fine-grained) daripada di sedimen dengan ukuran butiran lebih kasar (coarse-grained). Radionuklida di sedimen juga berasosiasi dengan komponen geokimia sedimen seperti karbonat, Mn dan Fe oksida, dan berikatan kuat dengan clay mineral tertentu. Proses-proses yang menyebabkan penyerapan radionuklida di partikel sedimen dipengaruhi oleh fisik-kimia dan kondisi biologi sedimen seperti pH, kondisi redoks, zeta-potensial, dan aktivitas bakteri (Duursma dan Gross 1971). Baku mutu yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir untuk aktivitas
238
U yaitu 104 Bq/L dan
232
Th yaitu 700 Bq/L sebagai senyawa terlarut
(BATAN 1995). Kandungan uranium yang dianggap dapat menimbulkan dampak pada organisme perairan laut adalah 1,24 Bq/L. 2.5.2 Radionuklida alam 238U dan 232Th pada organisme perairan (biota dan tumbuhan) Telah diketahui dengan baik bahwa organisme laut dapat mengkonsentrasi beberapa radionuklida alam sehingga dapat diperoleh informasi penting yang sangat bermanfaat bagi studi dalam bidang radioekologi.
Limbah dari hasil
produk industri yang masuk ke lingkungan perairan laut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap organisme perairan. Selain logam berat, bahan pencemar lain yang masuk ke perairan laut yaitu radionuklida yang berasal dari limbah industri, apabila bahan tersebut diserap oleh organisme perairan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sel-sel dalam tubuh yang menyebabkan kematian atau pengaruh mutagen.
Unsur radionuklida alam dapat masuk ke
28
dalam komponen biotik perairan pesisir melalui mekanisme penyerapan air, sedimen atau organisme lain secara ingesti (Michael 1994 in Mellawati 2004), dan ditransfer sebagai elemen-elemen dalam rantai makanan (Strezov dan Nonova 2009). Uptake radionuklida oleh biota terjadi oleh sejumlah mekanisme dari fase larutan dan partikulat.
Uptake oleh produsen utama, contohnya fitoplankton,
terjadi dari larutan melalui adsorpsi permukaan dan metabolisme. Kontaminasi permukaan oleh partikulat dapat juga terjadi dengan makro-algae. Mekanisme uptake utama untuk organisme invertebrata dan vertebrata adalah melaui konsumsi makanan (pencernaan).
Namun, untuk beberapa invertebrata yang
detrital filter/sedimen-feeder, pada umumnya, secara langsung melibatkan partikel radionuklida. partikel).
Respirasi juga melibatkan intake radionuklida fase larutan (dan
Kontaminasi radionuklida pada organisme darat dapat juga terjadi
dengan memakan organisme perairan (Warner dan Harrison 1993). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa zat kimia tertentu (misalnya radionuklida) memiliki kemampuan terkonsentrasi dalam tubuh organisme (biokonsentrasi) secara langsung dari air laut, dan akan dibioakumulasi dan biomagnifikasi melalui rantai makanan, mengakibatkan organisme pada trofik level lebih tinggi menjadi terkontaminasi zat kimia pencemar dengan konsentrasi yang lebih tinggi daripada mangsanya (Hall 2002).
Biokonsentrasi adalah
pengambilan zat kimia pencemar melalui jaringan epitel atau insang organisme, dan konsentrasi zat kimia pencemar berikutnya dalam jaringan organisme ke tingkat yang melebihi konsentrasi ambient lingkungan.
Bioakumulasi adalah
proses dimana konsentrasi zat kimia pencemar dalam organisme meningkat dengan umur dan ukuran organisme.
Biomagnifikasi adalah proses dimana
konsentrasi zat kimia pencemar meningkat dalam organisme secara berturut-turut pada trofik level lebih tinggi, atau secara ringkas yaitu peningkatan konsentrasi zat kimia pencemar ke level lebih tinggi dari rantai makanan (Campbell et al. 1988; Hall 2002). Biokonsentrasi, bioakumulasi, dan biomagnifikasi zat kimia pencemar dalam biota laut merupakan proses yang dinamis yang mencakup banyak variabel yang saling berhubungan.
Sebagai contoh, yaitu karakteristik zat kimia (sifat
29
hidrofobik, lifofilik, dan resistensi terhadap degradasi), faktor lingkungan (salinitas, suhu, konsentrasi zat kimia organik yang lain, dan potensial redoks), faktor biotik (tipe makan organisme, posisi pada trofik level, konsentrasi lemak, dan metabolisme), dan ketersediaan secara biologis (bioavailability) (masukan zat kimia, mekanisme transport, derajat kontaminasi) (Hall 2002). Model linier sederhana faktor konsentrasi (CF) adalah suatu model dua bagian (two-compartment) yang umumnya digunakan oleh ahli ekologi untuk menggambarkan bahan pencemar yang masuk dalam suatu ekosistem. Bagian donor (misalnya air laut) menyediakan radionuklida ke bagian penerima (misalnya tulang dan daging ikan) (Pyle dan Clulow 2008). Perbandingan antara konsentrasi aktivitas dalam organisme dan lingkungan perairan didefinisikan sebagai faktor konsentrasi (CF) (Warner dan Harrison 1993). Persamaan linier sederhana CF dihitung dengan rumus (Pyle dan Clulow 2008):
Keterangan:
=
............................................................................... (7)
Rj = konsentrasi radionuklida dalam jaringan Rl = konsentrasi radionuklida di lingkungan Faktor biomagnifikasi (BMF) adalah rasio konsentrasi bahan pencemar pada satu trofik level ke trofik level berikutnya yang dihitung berdasarkan berat lemak (Hall 2002). Faktor konsentrasi biota laut jenis moluska untuk beberapa jenis unsur radioaktif adalah relatif tinggi, yaitu mencapai 200, sedangkan pada ikan 5. Masuknya
radionuklida
alam
primordial
ke
jaringan
mengakibatkan kerusakan gen-gen dalam kromosom.
organisme
akan
Hal ini terjadi karena
adanya perubahan genetik dan deformasi pada kromosom dan menyebabkan kanker atau kelainan fungsi organ (Michael 1994 in Mellawati 2004). Ikan yang menyukai tinggal pada permukaan dasar perairan akan menerima dosis radiasi lebih banyak dibandingkan dengan yang tinggal di permukaan perairan. a. Kerang Evaluasi tingkat radioaktivitas perairan laut tidak hanya didasarkan pada pengukuran secara langsung terhadap komponen-komponen abiotik, tetapi juga
30
pada pengukuran terhadap kelimpahan dan kemampuan menyerap radionuklida dalam organisme perairan tertentu. Bioakumulasi bahan pencemar bersifat isotop oleh jaringan dan organ organisme perairan telah dan terus dipelajari secara luas dan mengantarkan pada adobsi konsep bioindikator untuk memperkirakan kualitas lingkungan (Florou et al. 2004).
Keberhasilan pemanfaatan kerang untuk
monitoring pencemaran laut telah ditunjukkan dalam
U.S. Mussel Watch
Programs di tahun 1970an dan 1980an (Tkalin et al. 1998). Kerang-kerangan dikenal secara luas sebagai organisme bioindikator pencemaran karena dapat mengakumulasi bahan pencemar dalam jaringannya pada elevasi tingkatan yang berhubungan dengan bahan pencemar yang tersedia secara biologi dalam lingkungan perairan. Dengan kata lain, mereka digunakan untuk menunjukkan respon yang cepat terhadap kontaminasi radionuklida yang masuk (penambahan) ke ekosistem (Florou et al. 2004). Bivalvia deposit feeder berhubungan langsung dengan sedimen, dan memiliki kemampuan untuk mengakumulasi bahan pencemar dari interstitial water melalui penyaringan makanan pada sedimen. Faktor konsentrasi dalam kaitan dengan sedimen pada umumnya lebih tinggi untuk makro-invertebrata yang sessile daripada organisme akuatik lain, karena pergerakannya terbatas, sehingga makroinvertebrata sering digunakan sebagai monitoring secara biologi
terhadap
pencemaran logam berat maupun radionuklida (Campbell et al. 1988). Transfer radionuklida dari sedimen ke organisme dan ke manusia merupakan jalur penting dimana radionuklida dapat mencapai manusia. Spesies kerang yang umumnya digunakan untuk monitoring radioaktivitas lingkungan di lokasi sumber radionuklida (PLTU dan fasilitas nuklir) adalah Mytilus edulis (untuk habitat estuari) dan Septifer virgatus (ditemukan di habitat laut terbuka) (Tateda dan Koyanagi 1986). b. Rumput laut Kemampuan rumput laut dalam menyerap radionuklida dengan konsentrasi yang sangat rendah di air laut merupakan alasan sehingga pada awal 1960 digunakan sebagai biomonitor. Rumput laut telah digunakan secara luas sejak program monitoring terhadap buangan radioaktif (Goddard dan Jupp 2001). Algae laut terdistribusi dengan baik di sepanjang pesisir dan dapat dijumpai dalam
31
jumlah yang banyak, sehingga banyak studi yang telah dikerjakan di seluruh dunia untuk mendeskripsikan karakteristik spesies algae untuk kandungan kimia, elemen kelumit, dan radionuklida.
Spesies makrofita (tumbuhan air makro)
merupakan salah satu bioindikator paling tepat untuk menentukan konsentrasi radionuklida dan logam di ekosistem laut dan memainkan peranan utama dalam rantai makanan. Makroalgae tersebut beradaptasi terhadap perubahan kondisi yang berbeda dari habitat dan dapat ditemukan baik itu diwilayah yang bersih maupun terkontaminasi.
Banyak studi tentang pencemaran lingungan yang
menunjukkan penggunaan spesies-spesies makroalgae secara luas untuk memonitor pencemaran laut di berbagai wilayah. Ceramium sp. dan Cystoseira sp. merupakan spesies yang paling banyak dipelajari dan kemampuan mereka dalam mengakumulasi radionuklida dan logam telah diketahui dengan baik juga (Strezov dan Nonova 2009). Manjon et al. (1995) in Goddard dan Jupp (2001) mengukur radioaktivitas di dalam contoh rumput laut dan lamun dari pantai Andalusia di Spanyol. Bhat et al. (1981) in Goddard dan Jupp (2001) menganalisis kandungan radionuklida,
137
Cs,
di rumput laut yang ditemukan di dekat stasiun tenaga nuklir di sepanjang pantai India di Laut Arab. Goddard dan Jupp (2001) mengukur kandungan radionuklida dalam rumput laut dan lamun di sekitar pesisir Oman dan United Arab Emirates. Tabel 7 menunjukkan data rata-rata minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (minimum detectable activity/MDA) berdasarkan rata-rata ukuran sampel 45 gram yang terjadi dari buatan manusia dan alami (dalam Bq/kg berat kering). Sampel yang lebih besar kurang lebih 200 gram menunjukkan nilai MDA yang lebih kecil setengahnya (Goddard dan Jupp 2001). Rumput
laut
mengkonsentrasi
137
hijau/algae
hijau
(green
seaweeds)
diketahui
dapat
Cs lebih dari pada varietas coklat (Manjon et al. 1995 in
Goddard dan Jupp 2001). Hasil penelitian Goddard dan Jupp (2001) menyetujui pernyataan tersebut: rata-rata konsentrasi
137
Cs dalam Chlorophyta adalah 3,3
Bq/kg dan dalam Phaeophyta adalah 1,8 Bq/kg.
Algae hijau B. plumosa
mengakumulasi radionuklida alam tiga kali lebih tinggi daripada contoh algae lain di Laut Hitam, Bulgaria (Strezov dan Nonova 2009).
32
Mekanisme akumulasi 234Th atau 7Be dalam algae berbeda dengan hewan laut. Pada umumnya, pengayaan radionuklida dalam rumput laut dapat berkaitan dengan adsorpsi dan absorpsi, dimana termasuk di dalamnya yaitu penempelan secara fisik (physical attachment) dan adhesi, ionic exchanges oleh alginic acid, atau membran transport secara biologi (biological membrane transport) (Ishikawa et al. 2004).
Tabel 7. Minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (MDA) untuk radionuklida yang terjadi dari buatan manusia atau dari alami Radionuklida MDA Radionuklida MDA alam (NORM) buatan (Bq/kg) (Bq/kg) 234 54 Th 40 Mn 1,1 58
Co
1,0
234
Pa
2,2
60
Co
1,9
230
Th
440
65
Zn
3,0
226
Ra
8,0
Zr
1,8
214
Pb
1,9
110m
0,8
214
Bi
2,9
134
Cs
0,7
210
Pb
250
137
Cs
0,7
235
U
0,5
144
Ce
3,1
231
Th
3800
5,1
231
Pa
3300
227
Th
5,1
223
Ra
3,5
219
Rn
5,3
228
Ac
6,6
228
Th
49
224
Ra
20
212
Pb
1,3
212
Bi
1,3
208
Tl
1,5
95
Ag
51
Cr
40
K
13
Sumber: Goddard dan Jupp (2001)
33
2.6 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Manusia Unsur radionuklida alam 238U dan 232Th dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa cara, yaitu melalui pernafasan (inhalasi), saluran pencernaan atau mulut (ingesti), injeksi melalui pembuluh darah dan melalui kulit (luka terbuka dan pori-pori kulit). Model asupan (intake), serapan (uptake) dan ekskresi unsur radionuklida dalam tubuh manusia terlihat pada Gambar 7 (O’Brien dan Cooper 1998 in Mellawati 2004; BATAN 2009). Radionuklida yang terdapat dalam tubuh manusia meradiasi jaringan selama jangka waktu yang ditentukan oleh waktu-paruh fisik dan retensi biologis dalam tubuh. Radionuklida thorium masuk ke dalam tubuh umumnya melalui inhalasi (kontaminasi debu) dan ingesti (makanan atau minuman). Ketika masuk melalui ingesti, thorium akan tinggal di dalam tubuh dalam beberapa hari segera di eksresikan melalui fases dan urin. Sejumlah kecil thorium akan masuk ke dalam aliran darah dan dideposisikan dalam tulang, serta tinggal untuk beberapa tahun. Sedangkan untuk uranium, ketika masuk ke dalam tubuh, akan secara cepat melalui aliran darah berasosiasi dengan sel darah merah membentuk kompleks uranil albumin, kompleks uranil hidrogen karbonat (UO2HCO3+) dalam plasma darah (Mellawati 2004). ekshalasi
inhalasi
injeksi
Sistem pernafasan
Jaringan lain DARAH
ingesti
Sistem saluran pencernaan
Sistem urinari
defikasi Gambar 7. Jalur masuk (intake), penyerapan (uptake) dan keluaran (ekskresi) radionuklida alam dalam tubuh manusia
ekskresi
34
Pada umumnya efek paparan radiasi terhadap kesehatan dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) kategori yaitu (BATAN 2009): a. Efek deterministik (reaksi jaringan yang berbahaya) yaitu kerusakan biologis yang segera dapat teramati secara klinis setelah terpapari radiasi dengan dosis di atas dosis ambang. Sebagian besar sel jaringan mengalami kematian atau fungsi sel rusak karena dosis radiasi tinggi.
Induksi reaksi jaringan pada
umumnya ditandai dengan adanya dosis ambang. Alasan ditetapkannya dosis ambang adalah bahwa kerusakan radiasi (gangguan fungsi yang serius atau kematian sel) suatu populasi kritis sel pada suatu jaringan perlu dipertahankan sebelum terlanjur jaringan tersebut cedera atau rusak. Di atas dosis ambang akan terjadi cedera atau kerusakan jaringan. Semakin besar dosis radiasi semakin meningkat terjadinya keparahan pada jaringan dan daya pemulihan jaringanpun akan terganggu. Menurut ICRP (1990) in Mellawati (2004) guna pencegahan efek deterministik pada manusia, maka batasan dosis ekivalen terikat (integral waktu 50 tahun) ≤0,5 Sv untuk semua jaringan kecuali lensa mata, dan ≤0,15 Sv untuk lensa mata. Contoh efek deterministik antara lain kerusakan kulit, eritema, epilepsi, katarak dan kemandulan. b. Efek stokastik, yaitu kerusakan biologis yang sukar teramati secara klinis, karena efeknya terlihat setelah beberapa tahun atau jangka waktu yang cukup lama. Efek ini munculnya tidak memerlukan dosis ambang. Contohnya yaitu berupa pengembangan kanker pada individu yang terpapari karena mutasi sel somatik atau penyakit keturunan pada keturunan individu yang terpapari karena mutasi sel reproduktif. Kerusakan pada materi inti sel, khususnya pada DNA dan kromosom meneyebabkan peluang terbentuknya kanker.
Studi
eksperimen dan epidemologi memberikan fakta adanya risiko radiasi sekalipun dengan ketidakpastian pada dosis sekitar 100 mSv atau kurang untuk kasus kanker. Sejak tahun 1990 fakta akumulasi menunjukkan bahwa frekuensi penyakit non-kanker meningkat pada beberapa populasi yang terpapar radiasi.
Studi
induksi efek non-kanker pada dosis efektif dalam orde 1 Sv yang diturunkan dari analisis mortalitas terkini survivor bom atom Jepang setelah tahun 1968 memperkuat bukti statistik mengenai hubungan antara dosis dengan terutama
35
penyakit jantung, stroke, gangguan pencernaan dan penyakit pernafasan. ICRP meninjau data korban bom atom mengenai induksi keterbelakangan mental yang berat setelah terpapari radiasi pada periode pra-kelahiran paling sensitif (8-15 minggu setelah pembuahan) mendukung dosis ambang paling tidak 300 mGy (BATAN 2009).