7
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioprospeksi Bioprospeksi didefinisikan sebagai pengambilan biota laut yang akan digunakan untuk proses penemuan, pengembangan dan jika memungkinkan, penyediaan bahan obat secara komersial (Hunt & Vincent 2006). Kajian bioprospeksi merupakan bagian dari penelitian penemuan dan pengembangan obat dari bahan alami laut dan bioprospeksi merupakan tahap awal dalam proses penemuan tersebut (Dewi et al. 2008). Bioprospeksi melibatkan pengambilan ribuan biota laut telah dikoleksi dari habitatnya untuk memenuhi harapan dapat menemukan substansi bioaktif baru dan mengembangkannya menjadi obat. Pengambilan awal biasanya bersifat luas dan spekulatif untuk memaksimalkan kemungkinan ditemukannya substansi bioaktif atau metabolit sekunder. Proses selanjutnya melibatkan proses ekstraksi dan maserasi untuk memperoleh ekstrak. Kemudian ekstrak yang diperoleh dari sekian banyak sampel bahkan ribuan diuji aktivitas biologisnya terhadap berbagai target penyakit menular atau kanker melalui uji in vitro untuk memperoleh sejumlah kecil sampel yang memiliki aktivitas biologis dan disebut sebagai hit. Untuk mengembangkan hit menjadi kandidat untuk uji pra-klinis atau disebut sebagai lead, ekstrak dianalisis lebih lanjut melalui proses fraksinasi, isolasi, dan kromatografi untuk penentuan struktur senyawa aktif. Proses ini dapat saja membutuhkan sekitar 50.000 – 100.000 senyawa aktif untuk memperoleh satu lead (Hunt & Vincent 2006). Kunci utama bioprospeksi adalah menyediakan ribuan senyawa yang memiliki keunikan struktur kimia dan bioaktivitas (Kursar et al. 2007 in Dewi et al. 2008). Secara umum, proses ini dapat terlihat pada Gambar 1. Hingga saat ini, sebagian besar sumber substansi bioaktif adalah metabolit sekunder yang berasal dari avertebrata laut yang bertubuh lunak dan menempel pada substrat (sessile), seperti Porifera (spons), Cnidaria (ubur-ubur, karang batu, karang lunak, anemone laut), dan Urochordata (ascidian). Hal ini disebabkan karena biota-biota tersebut relatif lebih mudah dikoleksi hanya dengan
8
menggunakan tangan pada saat penyelaman dari habitat dengan keanekaragaman yang tinggi, dangkal dan perairan yang hangat seperti terumbu karang (Hunt & Vincent 2006). Sampel-sampel Spons Ekstraksi Ekstrak kasar
Analisa tidak diteruskan
Tidak aktif
Uji Aktivitas Sitotoksik
Aktif
Fraksinasi
Analisa tidak diteruskan
Tidak aktif
Uji Aktivitas Sitotoksik Aktif
Subfraksi
Analisis Kromatografi
Senyawa Murni
Gambar 1 Gambaran umum tahap bioprospeksi yang ideal. Proses di atas disebut juga sebagai bioassay-guided fractionation atau fraksinasi dipandu uji bioaktivitas menggunakan sel lestari kanker atau pun biota lain seperti Artemia salina (brine shrimp lethality test atau BSLT). Proses utama
9
yang terlibat dalam proses ini adalah ekstraksi, fraksinasi dan kromatografi. Ekstraksi dilakukan dengan melakukan perendaman atau maserasi sampel biota laut di dalam larutan kimia seperti alkohol untuk memperoleh ekstrak kasar. Ekstraksi didefinisikan sebagai suatu metode pemisahan atau pengambilan secara selektif zat terlarut dari campuran yang didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan (Triyulianti 2009). Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode fase organik karena dalam prosesnya digunakan pelarut organik yaitu berupa alkohol teknis (96%) atau etanol. Fraksinasi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen organik dan ionik (larut dalam air) dalam suatu senyawa campuran menjadi dua fraksi berbeda (Parenrengi 1999 in Triyulianti 2009). Fraksinasi merupakan kegiatan awal pemurnian dalam tahapan isolasi dan melibatkan uji bioaktivitas untuk menentukan apakah ekstrak memiliki aktivitas atau tidak. Kromatografi adalah teknik analisis kimia bagi pemisahan komponen senyawa yang masih bercampur. Kromatografi analitik digunakan untuk menentukan identitas dan konsentrasi molekul pada suatu senyawa campuran, dimana pemisahan kromatografi dapat memurnikan sejumlah besar sampel molekul. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harborne 1987; Gritter et al. 1991). Tahap pengembangan, senyawa aktif lead memasuki standar uji pra-klinis dan klinis. Untuk menyiapkan uji ini, biasanya akan dibutuhkan bahan baku tambahan yaitu sampel biota laut. Proses pengambilan kembali (re-collection) sampel spesies yang merupakan kandidat atau lead (Hunt & Vincent 2006). Pada tahap kedua ini kuantitas sampel (per spesies) yang diambil akan lebih banyak daripada kuantitas sampel pada tahap pertama. Hal ini disebabkan: 1. sangat rendahnya konsentrasi alami senyawa aktif yang terkandung sehingga memungkinkan dilakukannya pengambilan sampel basah secara besar-besaran
10
untuk menjamin jumlah ekstrak pada proses pengembangan obat lanjutan (uji klinis) (Mendola 2003); 2. kompleksnya struktur kimia metabolit sekunder sehingga mempersulit industri farmasi dalam usahanya melakukan sintesis dan berpotensial tidak ekonomis (Faulkner 2000). Memasuki uji pra-klinis, senyawa aktif lead akan diuji melalui uji in vivo dengan menggunakan hewan dalam serangkaian tesnya. Sedangkan dalam uji klinis, senyawa aktif lead langsung diuji coba pada manusia. Biasanya satu dari 50 lead akan menghasilkan obat yang dapat dipasarkan (Hunt & Vincent 2006). Kedua proses baik penemuan maupun pengembangan membutuhkan waktu 15 tahun, diantaranya fase penelitian dan klinis membutuhkan waktu hingga 13 tahun ditambah fase akhir yang sifatnya administratif selama dua sampai tiga tahun (UNU-IAS Report 2005 in Dewi et al. 2008). Proses pengembangan obat baru sangat mahal dan membutuhkan dana sebesar 900 juta US dollar atau melebihi 1 miliar US dollar untuk menghasilkan suatu produk mulai dari konsep hingga ke pasar (Hunt & Vincent 2006; Lindberg 2006 in Dewi et al. 2008). 3.2 Biologi Spons Menurut Pechenik (2005), spons diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia atau hewan, subkingdom Metazoa, dan filum Porifera. Spons dimasukkan ke dalam filum Porifera dikarenakan seluruh tubuhnya yang berpori dimana dalam bahasa Latin “Porifera” berarti memiliki pori. Spons memiliki 3 pembagian dasar struktur tubuh, yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid. Sebagian besar spesies spons memiliki struktur tubuh leuconoid. Berdasarkan komposisi kimia dan morfologinya filum Porifera terbagi atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida. Namun saat ini telah diketahui kelas ke-4 dari filum ini, yaitu: Sclerospongia terdiri atas 16 spesies yang memiliki struktur leuconoid dan hanya terdapat di bagian gua-gua dan celah-celah terumbu karang yang gelap (Pechenik 2005). Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang paling dominan di antara Porifera masa kini. Jenis ini tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun
11
organismenya sangat banyak. Umumnya berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar yang mengandung cambuk kecil yang berbentuk bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa spikulanya hanya terdiri dari serat spongin, serat kolagen atau tanpa spikula yaitu terdapat dalam famili Dictyoceratida, Dendroceratida, dan Verongida. Spons pada umumnya berwarna putih atau abu-abu, dan ada pula yang berwarna kuning, jingga, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut sebagai zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons pada umumnya adalah cyanophyta (sianobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthellae). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980). Walaupun terlihat tidak memiliki pertahanan, spesies-spesies ini jarang dimakan oleh beberapa jenis ikan dan kepiting. Kenyataan inilah yang dijadikan acuan bahwa spesies-spesies tersebut memiliki semacam mekanisme pertahanan diri (Castro & Huber 2007). Sebagian besar spons laut yang bersifat sessile mengandung sistem imun yang primitif dan menghasilkan senyawa kimia yang bersifat toksik sebagai bentuk pertahanan dirinya. Beberapa senyawa ini memiliki aktivitas farmakologi karena interaksi mereka dengan reseptor dan enzim yang spesifik (Amador et al. 2003). Spons termasuk hewan filter feeder yang menyaring air yang memasuki tubuhnya melalui pori-pori kecil yang disebut sebagai ostia sebagai tempat masuknya air laut untuk bersirkulasi melalui sejumlah saluran atau kanal dimana partikel-partikel plankton dan organik akan dimakan dan disaring keluar kembali. Pori-pori tersebut dan sistem kanal tersebut berfungsi untuk menyaring air setiap 5 detik. Kanal-kanal tersebut adalah choanocytes yang merupakan lapisan sel
12
yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Partikel-partikel plankton dan organik tersebut di pompa masuk menuju ruang makan yang lebih besar yang disebut sebagai spongocoel. Sel choanocyte berperan dalam pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert & Barnes 1994). Pada bagian atas tubuhnya terdapat kanal yang berfungsi sebagai tempat keluarnya air yang disebut osculum dengan jumlah yang lebih sedikit daripada ostia. Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekrutmen mikroba simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder. Dikatakan bahwa spons mengandung komunitas mikroba yang beragam dan kompleks, yang secara genetik berbeda dengan mikroba yang ditemukan di plankton dan sedimen laut (Fieseler et al. 2004 in Sjögren 2006). Spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001) in Thakur & Müller (2004), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi ekologi spons (Proksch et al. 2003; Thakur & Müller 2004; Ismet 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan, beberapa bakteri dan fungi diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Ismet 2007). Telah diketahui bahwa mikroba simbion spons memiliki peran menjaga kestabilan pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Ismet 2007), beberapa spons hidup secara simbiosis dengan sianobakteria, yang berfungsi sebagai penyuplai nutrien melalui proses fotosintesis (Hoffmann et al. 2005 in Sjögren 2006), menghambat mikroba patogen, serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar UV dan penghasil enzim antioksidan (Ismet 2007). Dugaan lain juga muncul bahwa mikroba yang
13
berasosiasi dengan spons inilah yang menjadi penghasil senyawa metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologis (Proksch 2003). Secara ekologis, spons yang mengalami tekanan evolusi yang intensif dari kompetitor, yang mengancam dengan mengungguli pertumbuhannya, meracuni, menginfeksi atau memangsa telah mempersenjatai dengan senjata kimia yang potensial. Kajian pada kimia ekologi spons berhasil mengungkap bahwa metabolit sekunder yang dikandung spons tidak hanya berperan pada beragam peran metabolisme tetapi juga dalam menghadapi lingkungan hidupnya (Thakur & Müller 2004). Spons bereproduksi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual, spons bereproduksi melalui proses fragmentasi atau dengan menghasilkan gemmules atau budding. Secara seksual, spons bereproduksi dengan menghasilkan sel telur dan sel sperma. Sebagian besar spesies spons bersifat hermafrodit dimana satu individu menghasilkan 2 jenis gamet (sel telur dan sel sperma) sekaligus. Proses pembuahan dan perkembangan awal embrio biasanya terjadi secara internal. Sebagian besar spons menahan embrionya yang sedang berkembang secara internal selama beberapa waktu, kemudian melepaskannya keluar melalui oscula sebagai larva yang berenang. Sedangkan sebagian kecil spons bersifat oviparous dimana sel telur yang baru dibuahi dilepaskan ke kolom air laut dan embrio akan berkembang secara eksternal. Larva spons biasanya tidak mampu untuk mencari makan dan berenang selama kurang dari 24 jam sebelum mengalami metamorfosis. Sebelum kehilangan kemampuannya untuk berenang, larva menempel pada suatu substrat. Selama proses metamorfosis lanjutan, sel-sel dari berbagai bagian embrio mengalami perpindahan dan perubahan menjadi spons dewasa secara besarbesaran (Pechenik 2005). 3.3 Produk Alami Laut dari Spons Pengertian produk alami laut merupakan salah satu cabang ilmu kimia yang membahas tentang senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam bahan alam laut baik dari tanaman atau hewan laut. Sebenarnya senyawa kimia yang biasa kita
14
jumpai seperti karbohidrat, lipid, vitamin dan asam nukleat termasuk bahan alam, namun ahli kimia memberikan arti yang lebih sempit tentang istilah bahan alam yakni senyawa kimia yang berkaitan dengan metabolit sekunder saja seperti alkaloid, terpenoid, golongan fenol, feromon dan sebagainya. Produk alami laut dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah diperoleh dalam jumlah yang besar dan barangkali dapat diubah menjadi bahan-bahan yang lebih berharga; (2) substansi bioaktif yang termasuk (a) senyawa antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologis (sinyal kimia), (c) senyawa aktif secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; dan (3) racun laut (Ismet 2007). Metabolit terbagi atas dua tipe yaitu primer dan sekunder. Metabolit primer memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan kehidupan bagi semua makhluk hidup dan terbentuk melalui serangkaian reaksi metabolit yang terbatas. Metabolit
primer berperan
sebagai
bahan
penyusun
dalam
pembuatan
makromolekul seperti protein, asam nukleat, karbohidrat dan lipid. Sedangkan metabolit sekunder tidak memiliki peran penting dalam kehidupan makhluk hidup dan terbentuk dari metabolit primer (Gudbjarnason 1999). Definisi metabolit sekunder yang berlaku secara luas yaitu senyawa yang terbentuk di dalam tubuh makhluk hidup tetapi tidak ikut berperan dalam proses metabolisme yang diperlukan dalam kehidupan dan perkembangan makhluk hidup (Hedner 2007). Kebanyakan metabolit sekunder berfungsi meningkatkan kemampuan bertahan hidup suatu organisme dan dapat berfungsi, contohnya, sebagai senjata kimia untuk melawan bakteri, jamur, serangga dan hewan yang besar. Fungsi metabolit sekunder inilah yang dikatakan memiliki aktivitas biologis atau disebut juga sebagai substansi bioaktif. Sebagian besar produk alami yang menjadi perhatian industri farmasi adalah metabolit sekunder tetapi ada pula yang tertarik pada produk metabolit primer seperti beragam lipid laut, enzim dan heteropolisakarida yang kompleks (Gudbjarnason 1999). Karakteristik senyawa metabolit sekunder adalah (Ismet 2007): a. Masing-masing senyawa metabolit sekunder dihasilkan oleh beberapa organisme tertentu saja;
15
b. Metabolit sekunder bukanlah merupakan senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi; c. Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan organisme; d. Beberapa senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan organisme merupakan kelompok senyawa yang berkerabat (memiliki kesamaan struktur); e. Beberapa organisme membentuk berbagai substansi yang berbeda sebagai metabolit sekundernya; f.
Regulasi biosintesis metabolit sekunder sangat berbeda dengan metabolit primer;
g. Produksi metabolit sekunder seringkali dapat terjadi secara berlebihan jika terkait dengan produksi metabolit primer; h. Produk metabolit sekunder dapat berasal dari hasil samping produk metabolit primer, atau disebut juga berasal dari beberapa produk intermedia yang terakumulasi selama metabolisme primer. Spons merupakan salah satu avertebrata laut yang memiliki kekayaan kandungan metabolit sekunder yang bersifat bioaktif. Dalam tinjauannya, Lee et al. (2001) menyajikan 89 spesies spons yang menghasilkan metabolit sekunder yang beragam. Spesies yang sama menghasilkan beberapa metabolit sekunder dan aktivitas biologis yang berbeda. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons laut memiliki golongan senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, poliketida dan lain-lain (Thakur & Müller 2004). Potensi biologis yang dimilikinya pun sangat beragam antara lain inhibitor enzim, inhibitor pembelahan sel, anti-virus, antifungi, antiparasit, insektisida, antimikroba, anti-inflamasi, antitumor, sitotoksik atau kardiovaskular. Spons yang kandungan metabolit sekundernya memiliki aktivitas biologis sitotoksik berjumlah 27 spesies, diantaranya berasal dari genus yang sama yaitu Haliclona, Jaspis, Petrosia, Spongia, dan Verongia. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Hingga tahun 2004 tercatat 16 senyawa metabolit sekunder yang bersumber dari spons layak memasuki tahap uji pra-klinis dan klinis. Senyawa-senyawa tersebut berhasil diisolasi dari 23 spesies spons dan diantaranya terdapat satu
16
metabolit sekunder yang diisolasi dari beberapa spons. Tahap uji yang dilakukan bervariasi dari uji sebagai obat anti asma, anti osteoarthritis, antikanker, antiinflamasi, anti malaria, anti TB (tuberculosis), dan lain-lain. Bahkan beberapa metabolit sekunder telah memperoleh ijin untuk dijadikan bahan pengembangan obat oleh beberapa perusahaan farmasi. Salah satu metabolit sekunder, yaitu Manzamin A, diperoleh dari spons Haliclona sp. yang diperoleh di perairan Indonesia. Selengkapnya daftar tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Metabolit sekunder yang paling menonjol diisolasi dari spons adalah halichondrin B. Halichondrin B adalah senyawa polieter dan merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder paling aktif diantara senyawa halichondrin B yang lain. Senyawa halichondrin B yang lain adalah isohomohalichondrin B dan homohalichondrin B. Isolasi halichondrin B pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 1986 dari spons Halichondria okadai. Metabolit ini juga pernah diisolasi dari beberapa spons yang hidup di wilayah Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, spesies spons tersebut antara lain Axinella sp. di Pasifik Barat, Phakellia carteri di Samudera Hindia bagian timur dan Lissodendoryx sp. di lautan dalam lepas Pantai Timur di South Island, Selandia Baru (Newman & Cragg 2004). Beberapa peneliti Indonesia juga telah melakukan isolasi dan identifikasi struktur senyawa metabolit sekunder dari spons di perairan Indonesia. Senyawa antioksidan berhasil diidentifikasi dari spons Callyspongia sp. asal Kepulauan Seribu (Hanani et al. 2005). Handayani et al. (2006) melaporkan spons laut Axinella carteri Dendy asal Pulau Babi, Sumatera Barat memiliki potensi sebagai larvasida. Gabungan 7 (tujuh) senyawa toksik berhasil diidentifikasi dari ekstrak spons laut yang berasal dari perairan Gili Sulat, Lombok (Swantara et al. 2007). Setyowati et al. (2007) telah berhasil mengisolasi senyawa bersifat sitotoksik terhadap sel lestari tumor myeloma dari ekstrak spons Kaliapsis sp. asal Pulau Menjangan, Bali Barat. Senyawa antibakteri pun telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari ekstrak spons Petrosia nigrans asal Pulau Babi, Sumatera Selatan (Handayani et al. 2008). Dan yang terkini adalah aktivitas antibakteri dan
17
toksisitas ekstrak metanol spons Geodia sp. asal Pantai Wediombo, Yogyakarta (Isnansetyo et al. 2009). 2.4 Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan disekitarnya seluas ± 1.390.000 Ha ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, tanggal 30 Juli 1996 dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus 2002, terdiri dari 4 (empat) pulau besar (P. Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia dan P. Binongko) yang terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Luas masingmasing pulau tersebut adalah Pulau Wangi-wangi (156,5 km2), Pulau Kaledupa (64,8 km2), Pulau Tomia (52,4 km2), dan Pulau Binongko (98,7 km2) (Dirjen PHKA Dephut 2007). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lokasi pengambilan di perairan Pulau Wangi-wangi dan Pulau Hoga. Berdasarkan Permenhut Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tanggal 29 Agustus 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, kedua lokasi pengambilan sampel termasuk kedalam zona pemanfaatan (Dirjen PHKA Dephut 2007). Gambaran umum pulau-pulau tempat diambilnya dua sampel spons yang digunakan dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut (CRITC COREMAP II-LIPI 2007; Rudianto & Santoso 2008): 1. P. Wangi-wangi, bagian selatan bertopografi datar hingga curam. Pulau ini memiliki luas 156,5 km2, berbentuk memanjang kearah barat laut dengan lebar sekitar 14,36 km dan panjang 16,09 km. pada rataan pulau ini sendiri terdiri dari beberapa pulau antara lain Pulau Kapota, Pulau Oroho, dan Pulau Sumanga. Rataan terumbu cenderung melebar ke arah timur dan selatan
18
dengan panjang sekitar 250 m – 1,5 km. Pulau Wangi-wangi mempunyai profil yang hampir sama dengan pulau-pulau di sekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu lebar dengan dasar perairan karang mati dan pasir lumpuran. Kedalaman perairannya berkisar 5 – 1.884 m. Lereng terumbu mempunyai kemiringan antara 60-70o dengan pertumbuhan karang hidup yang tidak begitu rapat sampai kedalaman 40 meter. Kecepatan arus perairan P. Wangi-Wangi 0,09 – 0,6 m/detik. Musim timur gelombang sangat kuat dipengaruhi angin Laut Banda, sedang musim barat tidak terlalu besar karena terhalang P. Buton. 2. P. Hoga, pulau ini merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam gugusan pulau dalam rataan terumbu Pulau Kaledupa dan berada di sebelah timur Pulau Kaledupa. Perairan Pulau Hoga bagian selatan telah ditetapkan sebagai daerah perlindungan (no fishing zone) oleh masyarakat. Secara geografis, Pulau Hoga memiliki kemiripan dengan Pulau Wangi-wangi, perairan bagian timurnya dipengaruhi langsung oleh Laut Banda dan sebelah baratnya terlindungi oleh Pulau Kaledupa.