TINJAUAN PUSTAKA Bioprospeksi Bioprospeksi
pada
prinsipnya
adalah
upaya
pencarian,
penelitian,
pengumpulan, ekstraksi dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Kehati 2001). Sedangkan menurut Reid et al (1993), bioprospeksi adalah eksplorasi biodiversitas sumber-sumber genetik dan biokimia yang bernilai komersial, terutama mengacu pada industri farmasi, bioteknologi, dan pertanian. Berbagai spesies biodiversitas mempunyai potensi kandungan bahan-bahan kimia dan sumberdaya genetika. Melalui pemberian nilai tambah terhadap biodiversitas tersebut akan diperoleh keuntungan secara ekonomis. Hal tersebut dapat menimbulkan insentif yang dapat memotivasi eksploitasi sumberdaya hayati secara berkelanjutan. Potensi ini merupakan keunggulan komperatif, karena pada saat ini terjadi peningkatan industri terhadap sumber-sumber bahan kimia untuk memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna, bahan pengawet makanan dan lain- lainnya (Sumardja 1998) Ancaman terhadap biodiversitas dapat bersifat global dan yang bersifat regional atau lokal. Ancaman yang bersifat global karena pertumbuhan populasi manusia, kepemilikan, dan pencemaran udara dan air. Ancaman yang bersifat regional atau lokal terjadi akibat pemanfaatan jenis secara berlebihan oleh manusia, pemakaian bahan-bahan beracun, pembagian habitat, penggurunan, penyempitan ekosistem dan bank genetik, masuknya jenis eksotik dan konversi kawasan konservasi untuk kegiatan pertanian, pemukiman dan industri (Salwasser 1991). Biodiversitas Keanekaragaman hayati merupakan terjemahan dari kata biological diversity, disingkat menjadi biodiversity yang dalam bahasa Indonesia menjadi biodiversitas. Istilah biodiversitas menunjukkan adanya varietas dan variasi diantara organisme hidup yang terkait dalam ekosistem yang kompleks di habitatnya (Temple 1991). Beberapa definisi biodiversitas yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Sastrapraja et al. (1989) mengemukakan biodiversitas adalah pelbagai macam variasi
7
bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terkait pada berbagai tingkatan persekutuan mahluk, yaitu tingkat ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetika. McNeely (1990) biodiversitas sebagai jumlah jenis yang berbeda dalam suatu sistem dan frekuensi relatif jenis yang berbeda. Soemarwoto (1992), mendefinisikan biodiversitas sebagai jumlah jenis. Dobson (2000), biodiversitas merupakan keanekaragaman diantara organisme hidup dan kompleks ekologinya. Kekayaan hidup di bumi, termasuk jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, gen yang didukungnya, dan ekosistem yang dibangun menjadi lingkungan hidup. Biodiversitas dapat ditinjau dari tiga tingkat, yaitu : (1) tingkat gen dan kromosome yang merupakan pembawa sifat keturunan; (2) tingkat jenis, yaitu berbagai golongan mahluk yang mempunyai susunan gen yang sama; (3) tingkat ekosistem atau ekologi, yaitu tempat jenis melangsungkan kehidupannya dan berinteraksi dengan faktor biotik dan faktor abiotik (Temple 1991; Soemarwoto 1992). Dikenal tiga konsepsi keanekaragaman, yaitu : (1) keanekaragaman alfa (αdiversity) merupakan kekayaan spesies dalam satu komunitas atau habitat; (2) keanekaragaman beta (β-diversity) merupakan ukuran kecepatan dan besarnya perubahan spesies sepanjang gradien dari satu habitat ke habitat lainnya; dan (3) keragaman gamma (?-diversity) merupakan kekayaan spesies dalam satu kisaran habitat
dari
satu
daerah
geografis
contohnya
pulau
(Southwood
1978).
Keanekaragaman alfa atau keanekaragaman habitat merupakan jumlah spesies didalam suatu habitat (Rice 1992) dan terjadi interaksi antar spesies tersebut (Primack et al. 1998). Keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua komponen yang berbeda, yaitu total spesies dan kemerataan spesies. Indeks yang menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal disebut indeks keanekaragaman. Peubah-peubah yang disatukan menjadi satu nilai tunggal adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan (Ludwig dan Reynold 1988). Dengan demikian prosedur perhitungan indeks keanekaragaman meliputi indeks kekayaan, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan (Ludwig dan Reynold 1988; Magurran 1988). Keanekaragaman beta atau keanekaragaman ekosistem adalah variasi dalam komposisi spesies antar dua atau lebih habitat di suatu lansekap. Keanekaragaman beta mengarah kepada tingkat perubahan
8
komposisi spesies sepanjang gradien lingkungan. Sedangkan keanekaragaman gamma adalah variasi di suatu dearah yang mencakup keanekaragaman alfa dan keanekaragaman beta (Rice 1992). Pemanfaatan biodiversitas dapat digolongkan berdasarkan nilai konsumtif, nilai produktif, nilai pilihan, nilai eksistensi, dan nilai ekologis atau lingkungan (Primack et al. 1998). Dikatakan mempunyai nilai produktif, karena manusia tergantung dari sumberdaya hayati untuk memenuhi kebutuhan sandang, panga n, dan papan (KLH 2002c). Sedangkan nilai kegunaan produktif diperoleh dari perdagangan biodiversitas di pasar lokal maupun internasional (Godoy et al. 1993) dan ekoturisme (Tjakrarini 2002; Subadia 2003). Nilai pilihan terkait dengan potensi biodiversitas dalam memberikan keuntungan pada masyarakat dimasa mendatang. Nilai manfaat yang belum disadari atau belum dapat dimanfaatkan oleh manusia pada saat kini, namun seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan perkembangan teknologi nilai tersebut menjadi penting di masa depan (Myers 1984). Nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki oleh biodiversitas karena keberadaannya. Nilai ini terkait dengan nilai estetis (bersifat abstrak) yang ditimbulkannya pada manusia
serta tidak berkaitan dengan manfaat ekonomi riil dan potensialnya
(Groombridge 1992). Biodiversitas juga memberikan jasa ekologis atau jasa lingkungan bagi manusia.
Ekosistem hutan melindungi keseimbangan siklus
hidrologi dan tata air, sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan. Hutan juga menjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari seresah
hutan,
dapat
mencegah
erosi
dan
mengendalikan
iklim
mikro
(Kusumaatmadja 2001; Soemarwoto 2001; Molles 2002). Dengan demikian, biodiversitas mempunyai arti yang penting tidak hanya bagi kehidupan manusia, namun juga bagi kelangsungan seluruh sistem kehidupan. Selain nilai- nilai tersebut di atas biodiversitas juga merupakan satu kesatuan dimana komponen yang ada saling berkaitan dan tergantung. Sebagai contoh, rantai makanan tersusun atas ratusan ribu spesies yang saling memanfaatkan. Demikian pula jasa lingkungan yang disediakan ekosistem juga dibutuhkan dan dinikmati oleh beragam spesies yang lain (Primack et al. 1998).
9
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodiversitas Tumbuhan Lingkungan yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dan kebutuhan tumbuhan akan keadaan lingkungan yang khusus mengakibatkan keragaman jenis tumbuhan yang berkembang dapat terjadi menurut perbedaan tempat dan waktu. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan jenis tumbuhan yang berkembang dengan perbedaan tinggi tempat atau perbedaan musim (Sitompul dan Guritno 1995). Demikian halnya dengan perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan kearifan tradisional masyarakat pada masing- masing wilayah (Sugandhy 2001; Waluyo 2003). Bentuk suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor- faktor lingkungan. Lingkungan penting yang mempengaruhi komunitas tropika merupakan gabungan dari berbagai macam unsur, yaitu unsur penyus un di atas tanah dan lingkungan dalam tanah yang dikelompokkan menjadi faktor fisik (abiotik) dan faktor biologi (biotik). Sebagian dari unsur ini khususnya yang terdapat dalam tanah dapat dikendalikan sedang unsur yang terdapat di atas tanah pada umumnya sulit atau tidak dapat dikendalikan (Sitompul dan Guritno 1995). Menurut Setiadi dan Muhadiono (2000), bentuk vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti: bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme-organisme hidup dan waktu. Interaksi dari faktor- faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat lingkungan yang bersangkutan. Besarnya biodiversitas jenis tumbuhan di daerah tropika disebabkan oleh keanekaragaman kondisi lingkungan tempat hutan tropis berkembang, periode waktu yang tersedia dan kemungkinan adanya migrasi dengan pertukaran jenis (Longman dan Jenik 1987). Kumpulan jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu daerah tertentu disebut dengan flora, sedangkan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas individuindividu jenis atau kumpulan populasi jenis disebut dengan vegetasi (Samingan 1989). Vegetasi hutan di pulau Jawa berdasarkan pembagian mintakat klimatis, diklasifikasikan menjadi: (1) mintakat tropikal (ketinggian 1–1000 m dpl); (2) mintakat montana (ketinggian 1000–2400 m dpl); (3) mintakat subalpina (ketinggian >2400 m dpl). Vegetasi pada ketinggian 500–1000 m termasuk dalam mintakat colline dan ketinggian 1000–1500 m kedalam mintakat submontana (Steenis 1972).
10
Secara umum dalam komunitas hutan hujan tropika, pohon-pohon menunjukkan strata yang jelas dan biasanya terdiri atas tiga strata tegakan pohon. Disamping strata pohon terdapat strata semak-semak, herba-herba raksasa dan strata tumbuhan bawah (Richards 1964). Loveless (1989) membagi strata pohon hutan hujan tropis menjadi tiga strata, yakni: strata A, biasanya membentuk kanopi yang kurang lebih kontinyu atau diwakili oleh pohon-pohon yang mencuat di atas kanopi umum; strata B, biasanya merupakan strata terlebat; dan strata C, disusun oleh jenisjenis permulaan yang mencapai strata A, strata B dan pohon kecil. Sebaliknya, menurut Richards (1964) pada strata A biasanya membentuk kanopi yang tidak kontinyu, strata B bisa kontinyu atau tidak kontinyu, dan strata C hampir selalu kontinyu dan sering merupakan strata paling lebat di hutan. Vegetasi yang paling lebat hanya akan ditemukan di tempat-tempat yang kelembaban tanahnya tinggi dengan draenase yang cukup baik. Penyederhanaan dalam struktur komunitas akan mulai tampak dalam vegetasi, bila kelembaban tidak memadai untuk pertumbuhan optimal sepanjang tahun (Loveless 1989). Secara umum komposisi jenis hutan tropik adalah campuran, dengan asosiasi tanpa dominasi tunggal. Jumlah populasi dominan berkisar antara satu sampai enam jenis. Jumlah ini berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya (Richards 1964). Jenis dominan suatu tumbuhan dalam komunitas dapat diketahui dengan cara studi vegetasi suatu daerah. Studi vegetasi ini dapat dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif memberikan gambaran tentang komposisi jenis tumbuhan, stratifikasi, fenologi, vitalitas jenis, asosiasi dan sosiobilitas, bentuk tumbuh dan fisiognomi serta organisasi tingkatan tropika (Misra 1980). Sedangkan analisis kuantitatif memberikan gambaran tentang komposisi jenis, pola penyebaran, frekuensi, kerapatan, dan dominansi jenis tersebut (Setiadi dan Muhadiono 2000). Jumlah frekuensi relatif, kerapatan relatif dan dominansi relatif adalah merupakan nilai penting dari suatu jenis di dalam komunitasnya dan menunjukkan besarnya peranan jenis tersebut. Jenis dominan ini adalah jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi dan dapat digunakan untuk menduga keadaan lingkungan tempat tumbuhnya (Mueller- Dombois dan Ellenberg 1974; Cox 2002). Kerapatan adalah jumlah individu dari jenis-jenis yang menjadi anggota suatu komunitas
11
tumbuhan persatuan luas tertentu (Cox 2002). Kerapatan relatif menunjukkan persentase dari jumlah individu jenis yang bersangkutan di dalam komunitasnya. Frekuensi adalah nilai besaran yang menyatakan drajad penyebaran jenis di dalam komunitasnya. Angka frekuensi diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari petak-petak yang diduduki oleh suatu jenis terhadap keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh dalam melakukan analisis vegatsi. Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi, seperti luas petak contoh, penyebaran tumbuhan, dan ukuran jenis tumbuhan (Setiadi dan Muhadiono 2000) Dominansi adalah besaran yang digunakan untuk menyatakan drajat penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas area yang ditumbuhi oleh sejenis tumbuhan atau kemampuan suatu jenis tumbuhan untuk bersaing terhadap jenis lainnya. Dalam pengukuran dominansi dapat digunakan persentase perlindungan (penutupan tajuk), luas basal area, biomasa atau volume (Setiadi dan Muhadiono 2000; Cox 2002). Nilai kerapatan, frekuensi, dan dominansi untuk spesies-spesies tertentu mungkin diekspresikan mutlak atau relatif yang menunjukkan porsentase bahwa nilai spesies individu merupakan total untuk semua spesies. Nilai relatif untuk kerapatan, dominansi, dan frekuensi dapat digabung menjadi nilai penting tunggal (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974; Shukla dan Chandel 1982; Setiadi dan Muhadiono 2000; Cox 2002). Pemanfaatan dan Pelestarian Tumbuhan Liar Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang dalam pertumbuhan maupun perkembangannya tanpa adanya ikut campur tangan manusia, sehingga pertumbuhan maupun perkembangannya sepenuhnya tergantung keadaan alam. Menurut Waluyo (1989) proses pengalihan tumbuhan liar menjadi tanaman budidaya, sampai sekarang masih belum jelas. Di Irian Jaya misalnya sagu (Metroxylon sagu) ditanam di kampung-kampung walaupun masih banyak yang tumbuh meliar. Demikian halnya dengan kelapa hutan atau woramo (Pandanus brosimos) banyak ditemui ditanam di sekitar pemukiman orang-orang Dani di Lembah Baliem Irian Jaya
12
Secara umum tanaman berguna dikelompokkan (Waluyo 1987) menjadi : (1) bahan pangan, baik untuk makanan pokok maupun unt uk makanan tambahan; (2) bahan bangunan dan bahan lain seperti : bahan bangunan rumah baik yang permanen maupun semi permanen, bahan sandang, bahan untuk alat rumah tangga dan pertanian, bahan tali temali dan anyam-anyaman; (3) pelengkap upacara tradisiona l dan kegiatan sosial; (4) bahan obat-obatan, rempah-rempah dan kosmetika; (5) bahan pewarna; dan (6) pemenuhan keindahan, seni dan lain- lain. Jenis-jenis tumbuhan berguna tersebut kapan sebenarnya mulai dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia belum diketahui secara pasti. Diduga bahwa asal mula pemanfaatan diawali dari adanya suatu rangsangan untuk mencoba dan mencicipinya. Daya tarik tumbuhan itu biasanya ditimbulkan oleh warna dan bentuk perawakan atau bagianbagian tumbuhan seperti buah dan bunga. Seterusnya apabila jenis-jenis tadi memenuhi selera dan kebutuhan, dicari, dikumpulkan, dan akhirnya dibudidayakan. Selanjutnya pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan itu berkembang sejalan dengan meningkatnya budaya dan pengetahuan tentang olah mengolah dan masak memasak dari tumbuhan tersebut (Waluyo 2003). Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengungkapkan sistem pengetahuan masyarakat adalah: pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan kearifan; kepercayaan, persepsi, dan pengetahuan; dan sistem kognitif (Purwanto 2003). Menurut Toledo (1992), terdapat dua hal dalam mempelajari sistem pengetahuan yang ideal, yaitu ilmu pengetahuan (science) dan kearifan (wisdom). Ilmu pengetahuan lebih mengutamakan justifikasi, sedangkan kearifan berdasarkan pada penga laman pribadi. Ilmu pengetahuan memandang pengalaman pribadi sebagai konfirmasi, sedangkan kearifan memandang pengetahuan pribadi sebagai petunjuk untuk memperoleh pengalaman pribadi. Sehingga kearifan tidak memerlukan validasi justifikasi secara universal. Pengertian
tentang
kepercayaan
memegang
peranan
penting
dalam
melakukan pendekatan secara integratif dalam mempelajari pola pikir (corpus). Kepercayaan suatu masyarakat mencapai bentuk yang paling sistematis terdapat pada sebuah mitos. Hal yang sama terjadi pada pengertian pengetahuan, seperti konsepsi pemikiran teori ekologis mengenai proses produksi berkelanjutan yang hanya dapat dicapai apabila keseimbangan ekosistem terpelihara dengan baik. Oleh karena itu
13
untuk menganalisis corpus dari pemikiran para informan, harus dilakukan penggabungan antara sistem kepercayaan dan persepsi masyarakat (Purwanto 2003). Sistem kognitif atau kesadaran, merupakan komponen terakhir yang harus diperhatikan dalam mempelajari corpus. Sistem ini mempunyai kontribusi penting untuk memahami dimensi corpus. Oleh karena itu seorang etnoekolog harus mampu menggali informasi sistem pengetahuan lokal yang meliputi sistem klasifikasi populer terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya (Purwanto 2003). Konservasi keanekaragaman hayati sangat penting untuk bioprospeksi disamping pemanfaatannya yang berkelanjutan. Apabila peningkatan kemampuan serta berbagai keuntungan yang diperoleh digunakan untuk konservasi dan pembangunan yang berkesinambungan, berarti membuka sumber pendapatan baru untuk meningkatkan nilai keanekaragaman hayati yang akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Biodiversitas selain mempunyai fungsi ekonomi bagi kehidupan manusia, juga sangat erat hubungannya dengan fungsi ekosistem. Menurut Krebs (2001) salah satu alasan untuk pengawetan spesies adalah apabila biodiversitas dihubungkan dengan ekosistem, karena ekosistem sangat bermanfaat dalam sistem hidrologi dan polusi. Pengawetan biodiversitas lebih ditekankan terhadap spesies asli dibandingkan dengan introduksi, karena spesies asli merupakan kunci kontribusi terhadap fungsi ekosistem. Keanekaragaman kultural masyarakat
merupakan bagian dari eksistensi
keanekaragaman hayati yang bersifat saling menguatkan yang termanifestasikan dalam bahasa, kepercayaan, struktur sosial, seleksi tanaman, manajemen lahan serta sejumlah simbul kemanusian lainnya. Oleh karena itu, keanekaragaman kultural tersebut merupakan satu komponen utama dalam kajian strategi konservasi biodiversitas. Menurut Tjakrarini (2002), keberhasilan pembangunan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terukur dari keberhasilan pencapaian tiga sasaran konservasi yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis di sekitarnya yang menjamin kelangsungan kehidupan mahluk yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; (2) pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahun dan
14
teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan; (3) pemanfaatan secara lestari, yaitu dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Ketiga kepentingan ini tidak berdiri sendiri, tapi membentuk hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Etnobotani Studi yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh masyarakat primitif atau penduduk asli yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat
dikenal dengan istilah etnobotani. Menurut Heiser(1985),etnobotani
adalah suatu studi tentang tumbuh-tumbuhan yang berkaitan dengan masyarakat yang memanfaatkannya. Sedangkan Schultes (1992) mengartikan, etnobotani sebagai pencatatan secara menyeluruh tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh penduduk asli. Umumnya penduduk yang memanfaatkan tumbuhan tersebut telah mengenal tumbuhannya, mengetahui cara pemanfaatannya, mengetahui jenis tumbuhan yang beracun atau mematikan serta telah mengetahui pula bentuk-bentuk pengolahan tumbuhan secara tradisional. Harshberger (1896) dalam Wickens (1989) menjelaskan, bahwa entobotani dapat menjelaskan beberapa hal antara lain: (1) keadaan kebudayaan suatu bangsa yang memanfaatkan tumbuh-tumbuhan; (2) membuktikan penyebaran tumbuhtumbuhan pada masa lalu; (3) membuktikan jalur perdagangan; dan (4) berguna dalam menerangkan nilai yang didapat dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang diambil dari alam. Pengetahuan tradisional (Indigenous knowledge) dan asli masyarakat lokal merupakan sesuatu yang unik dalam satu kultur ataupun satu masyarakat yang sering disebut pengetahuan asli, pengetahuan lokal, nilai- nilai tradisional atau ilmu tradisional. Masyarakat lokal, telah memiliki berbagai pengetahuan yang luas tentang ekosistem dimana mereka hidup. Pengetahuan bagaimana cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan yang ada di lingkungannya dengan karakteristik kehidupan sosial masyarakatnya (Anonim 1997).
15
Sistem-sistem lokal berbeda satu sama lain tergantung budaya dan tipe ekosistem setempat. Pada umumnya berupa sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan secara turun temurun. Sebagai contoh: masyarakat adat ekosistem rawa bagian Selatan pulau Kimaam, kabupaten Merauke, Papua berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi. Komunitas adat Dayak di Kalimantan, memiliki sistem perladangan berotasi. Adat sasi disebagian besar Maluku mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu (Nababan 2001). Prinsip-prinsip kearifan tradisional (Nababan 2001) antara lain: (a) ketergantungan manusia dengan alam mensyaratkan keselarasan hubungan dan keseimbangan yang harus dijaga; (b) penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan kepemilikan komunitas (comunual property resources), selanjutnya dikenal sebagai wilayah adat yang mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya bagi keadilan dan kesejahteraan bersama sekaligus mengamankannya dari eksploitasi pihak luar; (c) sistem pengetahuan dan struktur pengaturan adat memberikan kemampuan memecahkan masalah- masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; (d) sistem alokasi dan penegakan hukum adat, mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun pihak luar; (e) mekanisme penerapan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama, dapat meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.