2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Karang Karang tergolong dalam jenis makhluk hidup (hewan) yaitu sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat hewan (Rahmawaty 2004). Dalam bentuk yang paling sederhana, karang hanya bisa terdiri dari sebuah polip yang mempunyai bentuk seperti tabung dengan mulut di bagian atas yang dikelilingi oleh tentakel (Burke et al 2002). Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang, yang hidup di dasar perairan, yang berupa batuan kapur (CaCO3), dan mempunyai kemampuan yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut (Supriharyono 2007). Terumbu karang merupakan ekosistem yang terdapat khas di daerah tropis. Terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat yang dihasillkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatifik) dari filum Cnidaria, ordo Sclerectinia yang hidup bersimbiosis dengan alga zooxanthellae dan sedikit tambahan alga berkapur dan organisme lain yang mengsekresi kalsium karbonat (Bengen 2001). Karang yang ada di dunia terbagi dua kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik dalam menghasilkan terumbu. Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik yang dinamakan zooxanthellae. Hasil samping dari aktivitas fotosintesis tersebut adalah berupa endapan kalsium karbonat, yang struktur dan bentuk bangunannya khas. 2.1.1. Cara makan dan sistem reproduksi Thamrin (2006) menyatakan pada umumnya karang mempunyai tentakel yang berkontraksi atau dapat menarik dan menjulur yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan dan sebagai alat pertahanan diri. Namun, kebutuhan energi dan makanan karang sebagian besar tergantung pada simbionnya yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan endodermis karang. Sebagian besar jenis karang membutuhkan makanan hanya sekitar 2% yang berasal dari kelompok plankton.
Kebutuhan karang terbesar disuplai oleh simbionnya zooxanthellae, bahkan Veron (1993) in Thamrin (2006) menyatakan kebutuhan karang yang berasal dari simbionnya zooxanthellae mencapai sekitar 98%, bahkan ada yang memperkirakan hampir mencapai 100% dengan kisaran antara 75-99% (Tackett dan Tackett 2002 in Thamrin 2006). Apabila dirinci maka sumber makanan karang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Zooplankton yang melayang dalam air. 2. Menerima hasil fotosintesis zooxanthellae Thamrin (2006) mengelompokkan mekanisme bagaimana mangsa yang ditangkap karang mencapai mulut kedalam tiga cara, yaitu: 1. Mangsa ditangkap lalu dibawa oleh tentakel ke mulut. 2. Mangsa ditangkap lalu terbawa ke mulut oleh gerakan silia di sepanjang tentakel. 3. Mesentrial filament yang berasal dari rongga perut juga dimanfaatkan untuk menangkap partikel makanan disamping digunakan untuk pencernaan. Sistem reproduksi karang dilakukan baik dengan seksual maupun aseksual. Sebagian besar reproduksi karang dilakukan dengan cara ovipar. Perkembangan gamet karang ditemukan dalam dua kelompok, yaitu sebagian besar bersifat hermafrodit dan sebagian kecil bersifat gonochoric. Mekanisme reproduksi melalui fertilisasi disusul embriogenesis di dalam tubuh dan ada juga yang melakukan spawning yang disusul fertilisasi dan embriogenesis di dalam kolom air (Thamrin 2006). Menurut Thamrin (2006) tipe perkembangan gamet dan tempat terjadinya fertilisasi dan embryogenesis pada karang dipengaruhi lingkungan dan letak lintang dimana karang tersebut berada. Namun, secara umum jumlah terbesar jenis karang mempunyai perkembangan gamet secara hermafrodit dengan fertilisasi serta embryogenesis terjadi di dalam kolom air atau dengan spawning. Waktu reproduksi pada kebanyakan spesies karang antara menjelang malam sampai tengah malam (Harrison et al. 1994; Shlesinger & Loya 1985; Babcock et al. 1986; dan Szmant 1986 in Rani et al. 2005). Umumnya waktu pemijahan terjadi dalam suatu periode tertentu setelah matahari terbenam pada setiap populasi, dan waktu pemijahan pada umumnya konsisten dari tahun ke tahun (Harrison et al. 1984 dan Babcock et al 1986 in Rani et al. 2005).
Cara reproduksi A. nobilis bersifat pemijah hermafrodit (Spawning hermafrodit) yang merupakan tipe umum dari karang skleraktinia (Harrison and Wallace 1990; Richmond and Hunter 1990; Richmond 1997 in Rani et al. 2005). Berdasarkan penelitian Rani dan Jamaluddin (2005) di Pulau Baranglompo, Makasar, diketahui pemijahan A. nobilis bersifat hermafrodit simultan (broadcast spawning simultaneous hermaphrodite). A. nobilis mengeluarkan kemasan gamet dalam satu paket buntelan telur-sperma (egg-sperm bundles) secara perlahan (lambat) melalui mulut polip dengan sedikit sentakan selama 5-15 menit. Jumlah telur dari tiap buntelan berkisar 5-13 butir (n=38) dengan ukuran sel telur berkisar 289-785 µm dengan rata-rata sebesar 416±24,06 µm (n=46). Polip di bagian tengah lebih sinkron mengeluarkan gamet dibandingkan dengan apikal atau bagian basal cabang. Penelitian Rani et al. (2005) menunjukkan waktu pemijahan A. nobilis terjadi pada saat bulan purnama (tiga malam) dan bulan baru atau gelap (empat malam). 2.1.2. Pertumbuhan dan bentuk koloni karang Acropora Laju pertumbuhan pada tiap koloni karang bisa berbeda satu dengan yang lainnya tergantung kepada spesies, umur koloni, dan lokasi terumbu tersebut. Namun, koloni yang muda dan kecil cenderung tumbuh lebih cepat daripada koloni yang lebih tua, koloni yang besar dan bercabang (Nybakken 1992). Raymond et al. (2006) menyatakan karang dengan bentuk submasif dan masif biasanya menampilkan pertumbuhan lebih lambat tapi lebih baik dalam bertahan hidup. Sedangkan spesies dengan bentuk percabangan yang halus dan foliose memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi namun buruk dalam bertahan hidup. Nybakken (1992) menyatakan bahwa lokasi karang juga mempengaruhi bentuk pertumbuhan dari spesies karang. Spesies karang yang terdapat di tempat yang lebih dalam memiliki bentuk yang lebih tipis dan kurus, hal ini mungkin disebabkan oleh proses kalsifikasi yang kurang optimal. Arus menyebabkan bentuk cabang mempunyai penyesuaian arah tertentu sedangkan gerakan gelombang menyebabkan spesies bercabang mempunyai cabang yang lebih pendek dan tumpul. English
et
al.
(1994)
membagi
karang
batu
berdasarkan
bentuk
pertumbuhannya menjadi dua yaitu karang Acropora dan non-Acropora. Pengelompokkan ini berdasarkan kepada ada tidaknya koralit axial dan radial pada
karang batu tersebut. Karang Acropora mempunyai axial dan radial koralit sedangkan karang non-Acropora hanya mempunyai radial saja. Selain itu, pengelompokkan ini didasarkan pada jumlah kelompok karang Acropora yang menurut Thamrin (2006) umumnya merupakan salah satu kelompok karang yang sangat dominan pada suatu perairan. Genera karang Acropora umumnya memiliki bentuk morfologi koloni yang bercabang dan salah satu komponen utama pembangun terumbu karang. Pertumbuhan karang bercabang berlangsung lebih cepat pada bagian ujung cabang tanpa zooxanthellae dibandingkan dengan bagian basal (Goreau 1959; Pearse & Muscatine 1971; Oliver 1984; dan Rinkevich & Loya 1984 in Rani et al. 2005). 2.2. Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang Keanekaragaman,
penyebaran,
dan
pertumbuhan
hermatifik
karang
tergantung pada lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisika, kimia, maupun biologis. Faktor-faktor fisika-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan dan /atau laju pertumbuhan karang antara lain cahaya matahari, suhu, salinitas, pH dan sedimen. Sedangkan faktor biologis, biasanya berupa predator atau pemangsanya (Supriharyono 2007). Titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara 200-700 f.c. atau umumnya terletak antara 300-500 f.c. (Kanswisher dan Wainwright 1967 in Iswara 2010). Birkeland (1997) menyatakan pada umumnya terumbu karang ditemukan pada perairan dengan suhu 18-36 °C, tetapi menurut Nybakken (1992) terumbu karang dapat mentolerir suhu sampai 36-40 °C. Pada daerah tropis suhu rata-rata tahunan untuk perkembangan optimal terumbu karang adalah 25-30 °C, sedangkan salinitas air laut yang normal untuk kehidupan karang hermatifik adalah 32-350/00 (Nybakken 1992), meskipun menurut Suharsono (1996) pada salinitas ekstrem seperti di Teluk Persia 460/00 dan di Laut Hindia Selatan 260/00 terumbu karang masih dapat hidup. Padatan tersuspensi (kekeruhan) berhubungan dengan kecerahan perairan. Thamrin (2006) menyatakan bahwa padatan tersuspensi mempengaruhi sepanjang
siklus hidup hewan karang. Sedimen berpengaruh terhadap pertumbuhan binatang karang baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung sedimen adalah dengan menutupi polip karang sehingga menyebabkan kematian pada karang. Sedangkan pengaruh tidak langsung yaitu menghalangi penetrasi cahaya sehingga mengganggu fotosintesis (Bak 1978 in Supriharyono 2007). Selain itu, sedimen yang tinggi memaksa karang untuk mengeluarkan energi lebih guna menghalau sedimen tersebut yang mengakibatkan turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Tingkat kekeruhan yang normal bagi terumbu karang berkisar antara 0-10 mg/liter (Rogers 1990, Larcombe et al. 1995 in Thamrin 2006). Arus diperlukan karang untuk memperoleh makanan dalam bentuk zooplankton, oksigen, serta dalam membersihkan permukaan karang dari sedimen (Thamrin 2006; Stoecker 1978 in Estradivari at al. 2009). Rachmawati (2001) in Wibowo (2009) menyatakan bahwa gelombang yang cukup kuat akan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Karang sendiri memiliki kemampuan dalam membersihkan permukaan tubuhnya (koloninya) dari sedimen, tetapi dalam jumlah yang sangat terbatas. sehingga jenis karang yang ditemukan dalam perairan yang memiliki tingkat sedimentasi yang tinggi hanya terbatas pada jenis karang tertentu. Amonium tidak bersifat toksik (innocuous) namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik (Tebbut 1992 in Effendi 2003). Karang biasanya hidup pada perairan dengan nutrien anorganik yang rendah (Grover 2003 in Wibowo 2009). Nutrien yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dan alga pada perairan tersebut juga meningkat. Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001 in Wibowo 2009). 2.3. Klasifikasi dan Ciri-Ciri Karang yang Diteliti Menurut Wells (1954) in Suharsono (2008) klasifikasi hewan karang pembentuk terumbu yang ditransplantasikan sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Cnidaria/Madreporaria
Kelas
: Anthozoa
Sub kelas
: Zoantharia
Ordo
: Scleractinia
Famili
: Merulinidae
Genus
: Hydnophora
Spesies Famili
: H. rigida
: Acroporidae
Genus Spesies
: Acropora : A. nobilis A. microphthalta
Famili Merulinidae terdiri dari tiga genera, yaitu Merulina, Scapophyllia, dan Hydnophora. Semua genera Famili Merulinidae memiliki zooxanthellae dan berbentuk koloni. Struktur rangkanya mirip Faviidae tetapi sangat difusi dan tanpa paliform. Lembah pemisah antar koralit dangkal dan kabur atau seperti menyebar. Semua genera menyebar dan berada di indo-Pasifik (Veron 2000). Famili Merulinidae mempunyai koloni masif, merayap atau lembaran. Adanya alur-alur saling bersatu, begitu juga struktur koralit (Suharsono 2008). Berdasarkan Suharsono (2008) Hydnophora memiliki koloni merayap, masif atau bercabang. Marga ini dicirikan dengan adanya struktur hydnophore yaitu bentuk kerucut-kerucut kecil yang terbentuk dari dinding antara koralit yang terpecah-pecah. Hydnophore ini menutupi seluruh permukaan sehingga marga ini mudah dikenali. Genus Hydnophora terdiri dari lima jenis dan tersebar di seluruh perairan Indonesia. H. rigida memiliki karakter koloni bercabang dengan koralit berbentuk hydnophoroid kecil dengan sebaran yang tidak teratur. Warna hijau atau coklat muda. Jenis ini tersebar di seluruh peraiaran Indonesia dan sangat umum dijumpai di lereng terumbu. Sedangkan menurut Veron (2000) H. rigida memiliki ciri-ciri koloni terdiri dari cabang-cabang yang tidak teratur, biasanya memiliki lapisan encrusting atau rata pada bagian bawah atau dasar koloni. Monticules biasanya berfungsi membentuk tonjolan seperti gunung ke arah sisi. Cabang utama memiliki panjang 7-12 mm. Berwarna krim atau hijau. Acroporidea terdiri atas empat genus, yaitu Montipora, Astreopora, Anacropora dan Acropora dimana genus Acropora merupakan genus dengan spesies
terbanyak dan hampir ditemukan menyebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Suharsono (2008) menyatakan bahwa ketiga marga Acropora, Anacropora, dan Montipora mempunyai ciri yang hampir sama yaitu koralit kecil, tanpa kolumella, septa sederhana dan tidak mempunyai struktur tertentu dan koralit dibentuk secara ekstratentakular. Marga keempat Astreopora agak berbeda yaitu ukuran koralit lebih besar, septa berkembang dengan baik dan dengan kolumella yang sederhana. Genus Acoropora biasanya mempunyai bentuk pertumbuhan bercabang (branching), tabulate, digitate dan kadang-kadang berbentuk encrusting atau submasif. Genus Acropora memiliki bentuk percabangan sangat bervariasi dari karimbosa, arboresen, kapitosa dan lain-lainnya. Ciri khas dari marga ini adalah mempunyai axial dan radial koralit. Bentuk radial koralit juga bervariasi dari bentuk tubular basiform, dan tenggelam. Marga ini mempunyai 113 jenis, tersebar di perairan Indonesia. Menurut Veron (2000) selain memiliki dua tipe koralit, yaitu axial dan radial Acropora tidak mempunyai kolumela, dinding koralit dan koenesteumnya poros serta tentakelnya hanya keluar di malam hari. A. nobilis memiliki bentuk percabangan arboresen, radial koralit terdiri dari dua ukuran besar dan kecil dengan bukaan demidiate. Warna coklat muda dan coklat keabu-abuan. Hidup di tempat dangkal, umum dijumpai dan tersebar di seluruh perairan Indonesia (Suharsono 2008). Selain itu, A. nobilis memiliki cabang silinder yang tegak dan besar dengan ketinggian dapat mencapai sekitar lima meter, cabang basal horizontal hanya berkembang di perairan dangkal. Radial koralit mempunyai ukuran dan bentuk bermacam-macam. Warna krim, cokelat, biru, kuning, dan hijau. Warna koloni individu seragam kecuali pada ujung cabang berwarna sedikit pucat. A. microphthalma memiliki karakteristik dengan tinggi koloni dapat mencapai lebih dari dua meter dan percabangan yang luas, arboresen, kecil, ramping, dan lurus. Subcabang rapi dan teratur, radial koralit kecil, banyak, dan ukuran sama. Warna umumnya pucat abu-abu, kadang pucat coklat atau krim (Veron 2000). 2.4. Transplantasi Karang Transplantasi karang adalah kegiatan untuk memperbayak koloni karang melalui fragmentasi spesimen yang berasal dari habitat alam atau sumber lainnya dengan cara melekatkan fragmen tersebut pada media buatan dan menumbuhkan pada habitat alam atau buatan (SK Dirjen PHKA 2008). Soedharma et al.(2007)
mendefinisikan transplantasi karang sebagai suatu teknik penanaman dan pertumbuhan koloni karang baru dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu, sedangkan menurut Hariot dan Fisk (1988) transplantasi karang adalah pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan. Transplantasi karang bertujuan untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah mengalami kerusakan atau untuk memperbaiki daerah terumbu karang yang rusak, terutama untuk meningkatkan keragaman dan persen penutupan (Hariot dan Fisk 1998 in Soedharma dan Arafat 2007). Selain itu, masih menurut Hariot dan Fisk (1998) in Sandy (2000) dijelaskan bahwa tranplantasi dapat digunakan untuk merehabilitasi terumbu karang secara cepat, karena waktu yang dibutuhkan antara beberapa bulan sampai satu tahun dengan tingkat keberhasilan 50100%. Tujuan transplantasi karang menurut Dirjen PHKA (2008) adalah untuk mempercepat regenerasi dari terumbu karang sehingga dapat dimanfaatkan untuk perdagangan dan peningkatan kualitas habitat karang. Transplantasi karang telah dipelajari dan dikembangkan sebagai teknologi pilihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang terutama pada daerah-daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Hariot dan Fisk 1988). Tranplantasi karang telah digunakan di beberapa Negara untuk merehabilitasi ekosistem terumbu karang yang telah rusak seperti di Filipina transplantasi karang telah diterapkan untuk menyembuhkan ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak (Auberson 1982), Singapura menggunakan tranplantasi karang untuk menyimpan (menyelamatkan) spesies yang habitatnya direklamasi (Plucer-Rosario and Randall 1987), sedangkan di Florida transplantasi karang telah digunakan untuk mempercepat dan memperbanyak tutupan ekosistem terumbu karang (Gittings et al. 1988) dan di Taman Laut Great Barrier Reef, tranplantasi karang digunakan untuk mempercepat regenerasi ekosistem terumbu karang akibat serangan achantaster plancii (Harriot dan Fisk 1988). 2.4.1. Transplantasi karang di Indonesia Penelitian mengenai transplantasi karang terhadap beberapa jenis karang telah banyak dilakukan seperti penelitian terhadap tingkat keberhasilan hidup karang transplantasi jenis Madracis mirabilis dan jenis Acropora sp. (Bak dan Criens 1981
in Johan et al. 2008). Penelitian terhadap transplantasi karang jenis Acropora sebanyak 40 sampel dari sebelas spesies karang dengan menggunakan substrat buatan (keramik) di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Sadarun 1999). Penelitian tingkat keberhasilan transplantasi karang batu di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dengan meggunakan tiga jenis karang genus Acropora yaitu Acropora Donei, Acropora Acuminata dan A. Formosa (Johan et al. 2008). Karang yang ditransplantasikan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda. Supriharyono (2007) menyatakan bahwa karang dengan life form branching umumnya mempunyai tingkat pertumbuhan sangat cepat yaitu bisa >2 cm/bulan sedangkan coral masif tumbuhnya sangat lambat yaitu hanya <1 cm/tahun. Sadarun (1999) mendapatkan pertumbuhan karang branching dari jenis Acropora yongei dan Acropora digitifera yang ditranplantasikan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu selama lima bulan mempunyai pertumbuhan rata-rata sebesar 0,4 cm dan 0,1 cm. 2.4.2. Metode transplantasi karang Jaap (1999) in Prawidya (2003) menyatakan bahwa tujuan utama transplantasi karang adalah mempercepat pemulihan ekosistem terumbu karang. Transplantasi dinyatakan sukses dari sudut pandang biologis dengan tingkat ketahanan hidup berkisar antara 50-100% (Harriot dan Fisk 1998 in Herdiana 2001). Menurut Harriot dan Fisk (1988), karang yang paling cocok untuk tranplantasi adalah karang Acropora bercabang seperti halnya yang pernah mereka lakukan di Samudera Pasifik. Hal ini karena karang Acropora memiliki tingkat ketahanan hidup yang besar, sangat indah, kecepatan pertumbuhan yang tinggi, dan kemampuan yang bersar dalam hal menutupi daerah ekosistem terumbu karang yang kosong. Adverland (2001) menjelaskan bahwa hal yang harus diperhatikan dalam teknik pengembangbiakan karang adalah koloni yang dikembangkan haruslah koloni yang sehat dan pemotongan koloni hendaknya memperhatikan arah arus untuk menghindari penutupan koloni akibat pelendiran koloni. Alat yang digunakan untuk memotong fragmen dari induknya juga berbeda-beda tergantung dari bentuk pertumbuhan koloni. Untuk koloni yang bentuk koloninya bercabang, digunakan gunting kawat sedangkan untuk koloni yang bentuknya masif, alat yang digunakan
sebaiknya gergaji besi. Arah potongan karang juga menentukan laju pertumbuhan jangka panjang koloni tersebut. Menurut Clark dan Edwards (1995) in Sadarun (1999), untuk mengurangi stress, karang yang akan ditarnsplantasi dilepaskan secara hati-hati dan ditempatkan dalam wadah plastik berlubang serta proses pengangkutan dilakukan di dalam air. Sebaiknya operasi ini hanya menghabiskan waktu ±30 menit untuk setiap tumpukan karang yang akan dipindahkan. Harriot dan Fisk (1988) menjelaskan bahwa pengangkutan karang transplantasi di atas deck kapal yang terlindung selama kurang dari satu jam, tidak berbeda nyata dengan pengangkutan dalam air. Bila terkena udara selama dua jam, keberhasilan karang yang ditranplantasi berkisar 50-90%, sedangkan bila terkena udara selama tiga jam, maka keberhasilan karang yang ditransplantasi berkisar 40-70%. Fragmen transplan harus terikat dengan kokoh agar tidak mudah terlepas akibat pengaruh arus dan gelombang. Hal ini dapat dilakukan dengan melekatkan fragmen pada semen yang keras dengan menggunakan lem epoxy atau tali pengikat kabel (cable tie) (Jaap 1999 in Prawidya 2003). Vaughan (1916) in Prawidya (2003) menggunakan semen untuk melekatkan karang batu di Pantai Florida dan Pantai Goulding di Bahama untuk meneliti laju pertumbuhannya, sedangkan untuk area transplantasi yang arus dan gelombangnya kuat, digunakan pemberat untuk menahan base atau substrat transplan. Menurut Adverlund (2001) untuk karang yang perambatannya pada substrat relatif cepat, dapat digunakan lem super-glue untuk penempelannya, sedangkan untuk jenis karang yang perambatannya pada substrat relatif lama, sebaiknya digunakan lem epoxi. Karang untuk transplantasi harus diambil dari tempat yang sama dengan tempat pelaksanaan transplantasi terutama dalam hal pergerakan air, kedalaman, dan turbiditas. Koral dari daerah tubir (reef slope) yang dangkal, jernih, dan bergelombang tidak akan tumbuh dengan baik pada perairan yang keruh dan tenang (Maragos 1974 in Sadarun 1999). Menurut Moore (1958) in Herdiana (2001), ketika sebuah koloni dipisahkan menjadi dua bagian dan kemudian ditempatkan pada habitat yang berbeda maka laju pertumbuhan dan tingkat ketahanan hidup akan lebih baik pada daerah dimana jenis itu banyak ditemukan. Yap dan Gomez (1984) in Sadarun (1999) menyatakan bahwa tingkat kematian karang yang tinggi terjadi pada
musim panas. Oleh karena itu, sebaiknya hindari pelaksanaan kegiatan transplantasi karang pada musim-musim disaat karang sedang stres. 2.5. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Secara astronomis Kepulauan Seribu terletak antara 06000’40” dan 05054’40” Lintang Selatan dan 106040’45” dan 109001’19” Bujur Timur. Wilayah Administrasi Kepulauan Seribu yang terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta terdiri atas 105 pulau yang sebagian besar tidak berpenduduk. Perairan Kepulauan Seribu memiliki kedalaman yang cukup bervariasi dimana kedalaman yang cukup dalam terdapat di sebelah utara Pulau Pari dan utara Pulau Semak Daun dengan kedalaman hingga 70 meter. Dasar rataan karang perairan Kepulauan Seribu terdiri dari komponen pasir, karang mati, hingga karang batu hidup (Estradivari et al. 2007). Suhu permukaan air laut di Kepulauan Seribu berkisar 25,7-31,0 °C dengan rerata sebesar 29,1 ºC, sedangkan pH menunjukkan rerata sebesar 7,4 dengan kisaran antara 7,0 sampai 8,3. Rerata salinitas sebesar 28,6o/oo dengan kisaran antara 23,3-30,3o/oo. Kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,01 sampai 0,15 m/s dengan rerata sebesar 0,07 m/s. Kecerahan berkisar antara 3,88 sampai 9,42 m dengan rerata 6,33 m. Rerata oksigen terlarut sebesar 7,11 mg/l dengan kisaran antara 6,10-7,96 mg/l (Setyawan et al. 2011). Salah satu pulau di Kepulauan Seribu adalah Pulau Kelapa dengan luas sekitar 13,09 ha. Pulau ini merupakan pulau yang mempunyai penduduk sangat padat dengan kepadatan 354 orang/ha pada tahun 2002 dan merupakan pusat pemerintahan Kelurahan Pulau Kelapa yang berjumlah 36 pulau. Kualitas perairan Pulau Kelapa berdasarkan pengamatan Bapepalda DKI Jakarta dan LAPI ITB pada tahun 2001 didapatkan suhu perairan pulau kelapa sebesar 30,2 ºC, Turbiditas 3, pH 7,94, salinitas 34,40/00, dan DO 5,9 mg/ltr. Pengamatan yang dilakukan Seawatch-BPPT pada bulan November dan Desember 1998 mencatat kecepatan arus pada kisaran 0,6 cm/dtk hingga 77,3 cm/dtk dengan rata-rata kecepatan sebesar 23,6 cm/dtk dengan dominasi arah arus kearah timur-timur laut. Tinggi gelombang di Pulau Kelapa berdasarkan pengamatan Seawatch Indonesia pada bulan Nopember 1998-Agustus 1999 pada kisaran 0,05-1,03 meter dengan periode gelombang berkisar antara 2,135,52 detik (Noor 2003).