2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Jaminan Kesehatan Nasional Program JKN yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial dengan tujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (Kemenkes RI, 2014a). 2.2
Fasilitas KesehatanTingkat Pertama Program JKN Fasilitas kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan
untuk melaksanakan upaya pelayanan kesehatan perorangan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi pengguna JKN terdiri atas FKTP dan FKRTL. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah faskes yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan individu yang bersifat umum untuk keperluan pengamatan, promotif, preventif, mendiagnosis, perawatan atau pelayanan kesehatan lainnya (Kemenkes RI, 2014b). Prosedur layanan kesehatan dalam JKN yaitu pelayanan bagi pasien dilaksanakan secara berjenjang yang dimulai dari FKTP yang diselenggarakan oleh FKTP tempat peserta terdaftar. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) peserta JKN terdiri dari Puskesmas, dokter, dokter gigi, klinik pratama dan
10
11
Rumah Sakit Kelas D Pratama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (Kemenkes RI, 2014b). Dokter praktek baik dokter umum maupun dokter gigi termasuk fasilitas kesehatan tingkat pertama pada program JKN dengan melakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Pusat kesehatan masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas merupakan faskes yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Kemenkes RI, 2014c). Puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan namun dalam kondisi tertentu pada satu kecamatan dapat didirikan lebih dari satu Puskesmas berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk dan aksesbilitas. Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang diberikan
oleh
Puskesmas
kepada
masyarakat,
mencakup
perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, pencatatan, pelaporan, dan dituangkan dalam suatu sistem. Klinik merupakan faskes
yang melaksanakan layanan kesehatan
perorangan dengan melayani pelayanan medis dasar dan atau spesialistik (Kemenkes RI, 2014d). Berdasarkan jenis pelayanan, klinik terdiri dari klinik pratama dan utama. Klinik pratama merupakan klinik yang melaksanakan pelayanan medis dasar baik umum maupun khusus. Klinik dapat diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. BPJS Kesehatan dalam menetapkan pilihan fasilitas kesehatan melakukan seleksi, kredensialing dan rekrendensialing dengan kriteria teknis yang meliputi
12
sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan serta komitmen pelayanan (Kemenkes RI, 2013). Kriteria teknis digunakan untuk penetapan kerjasama dengan BPJS Kesehatan, besaran kapitasi dan jumlah peserta yang bisa dilayani. Seluruh FKTP milik TNI/ POLRI yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, pada masa peralihan dinyatakan sebagai klinik pratama dan dalam jangka waktu dua tahun harus memenuhi persyaratan sebagai klinik pratama sejak Permenkes No. 71 Tahun 2013 berlaku, serta FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dikecualikan dari kewajiban terakreditasi dan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam jangka waktu lima tahun (Kemenkes RI, 2013). 2.3
Status Kepesertaan dalam JKN Peserta program JKN merupakan setiap orang termasuk orang asing yang
bekerja minimal selama enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. (Kemenkes RI, 2014b). Peserta program JKN terdiri dari atas dua kelompok yaitu: Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan dan peserta bukan PBI jaminan kesehatan. Peserta PBI jaminan kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu. Peserta bukan PBI jaminan kesehatan adalah pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya serta bukan pekerja dan anggota keluarganya (Kemenkes RI, 2014b). Iuran Jaminan kesehatan untuk peserta pekerja penerima upah dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja sendiri sedangkan iuran peserta mandiri (pekerja bukan penerima upah dan bukan
13
pekerja) dibayarkan oleh peserta sendiri kepada BPJS Kesehatan sesuai kelas perawatannya (Kemenkes RI, 2014b). 2.4
Kepuasan Pasien Kepuasan menjadi bagian menyeluruh dari kegiatan jaminan mutu layanan
kesehatan, dimana kepuasan pasien menjadi salah satu dimensi mutu layanan kesehatan yang penting dengan demikian maka kepuasan pasien merupakan salah satu tujuan dari peningkatan mutu layanan kesehatan. Kepuasan pelanggan merupakan respon pelanggan terhadap kesesuaian harapan sebelum menerima pelayanan dan setelah pelayanan yang diterima pelanggan (Muninjaya, 2011). Kepuasan merupakan tanggapan pelanggan dengan terpenuhinya kebutuhan dan harapan (Koentjoro, 2007). Hal tersebut diatas merupakan bentuk penilaian pelanggan terhadap pelayanan yang diterima, mencerminkan kesesuaian pemenuhan kebutuhan dengan harapan. Salah satu sasaran yang dicapai dalam pengembangan JKN adalah kepuasan pasien, dimana dalam peta jalan JKN disebutkan bahwa paling sedikit 75% pasien menyatakan puas diberikan pelayanan oleh faskes yang bekerjasama dengan BPJS pada tahun 2014 dan pada akhirnya mencapai kepuasan pasien sebesar 85% pada tahun 2019 (DJSN, 2012). Perpres No. 12 Tahun 2013 menyebutkan bahwa dalam jangka waktu paling sedikit tiga bulan peserta JKN berhak memilih FKTP yang diinginkan. Adanya mutasi peserta JKN tentu akan berdampak bagi FKTP terkait besaran kapitasi dan jumlah peserta yang bisa dilayani.
14
Parasuraman dan Beryy dalam Muninjaya (2011) telah melaksanakan penelitian dan mengidentifikasi lima dimensi dalam menilai mutu pelayanan. Kelima dimensi karakteristik mutu pelayanan. 1.
Bukti langsung (tangibles) bahwa mutu pelayanan kesehatan dapat dirasakan oleh para penggunanya secara langsung dengan menggunakan inderanya (mata, telinga dan rasa) untuk menilai mutu layanan kesehatan yang diterima meliputi ketersediaan sarana dan prasarana, kebersihan dan kenyamanan ruang penerimaan pasien, ketersediaan sarana komunikasi, tempat parkir, penampilan staf yang rapi, menarik dan bersih.
2.
Kehandalan (reliability) meliputi kemampuan memberikan pelayanan dengan segera, terpercaya, akurat, sesuai dengan yang telah dijanjikan dan bersikap simpati kepada pelanggan.
3.
Daya tanggap (responsiveness) yaitu keinginan dan kemampuan dalam memberikan pelayanan yang tanggap, cepat, tepat waktu dan tidak lama kepada pelanggannya.
4.
Jaminan (assurance) yaitu kriteria yang berkaitan dengan pengetahuan, kesopanan dan kepercayaan pelanggan kepada petugas. Dimensi ini meliputi keramahan, kompetensi teknis dan keamanan.
5.
Empati (empathy) yaitu kriteria yang berkaitan dengan kepedulian dan perhatian kepada setiap pelanggan, memahami kebutuhan mereka dan bisa dihubungi pelanggan yang membutuhkan bantuan. Terkait dengan dimensi mutu pelayanan terdapat beberapa pendapat dari hasil
penelitian. Hasil penelitian mutu pelayanan di Puskesmas Pamboang Kabupaten
15
Majene Tahun 2012 didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara ketepatan waktu, hubungan antar manusia, informasi, kenyamanan dengan mutu pelayanan (Halil et al., 2012). Hasil yang sama didapatkan pada penelitian (Wati et al., 2012) bahwa ada hubungan antara kenyamanan, informasi, akses dan kompetensi teknis petugas dengan kepuasan pasien di Rumah Sakit Umum Daya Makasar. Wira (2014) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa persepsi kehandalan, daya tanggap, jaminan, empati memiliki hubungan yang bermakna dengan kepuasan pasien rawat inap Rumah Sakit Wangaya Denpasar. Menurut Hall dan Dorman dalam Pohan (2006), kepuasan pasien dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik gedung maupun penampilan petugas, kejelasan informasi, perhatian petugas terhadap masalah psikososial pasien, pengaturan sistem layanan kesehatan untuk
memberi kemudahan pasien,
kompentensi petugas dengan konsisten terhadap standar layanan kesehatan, akses, biaya layanan kesehatan dan kesinambungan layanan kesehatan. Disebutkan juga bahwa kepuasan pasien dipengaruhi oleh reliability, assurance, humanitas, responsiveness, tangible, aksesibilitas, empati, sumber biaya, diagnostik dan karakteristik pasien (Budijanto & Suharmiati, 2007). Dapat disimpulkan bahwa kepuasan pasien dipengaruhi oleh banyak faktor atau merupakan konsep multi dimensi. 2.4.1
Metode Pengukuran Kepuasan Pengukuran kepuasaan pasien digunakan sebagai dasar dalam perubahan
sistem layanan kesehatan sehingga perangkat yang digunakan untuk mengukur
16
kepuasan harus dapat dipercaya dan handal. Menurut Pohan (2006) terdapat indikator untuk mengukur kepuasan pasien. 1. Kepuasan pasien terhadap akses layanan kesehatan, dinyatakan oleh sikap dan pengetahuan sejauh mana layanan kesehatan tersedia, kemudahan memperoleh layanan kesehatan pada saat biasa maupun gawat darurat. 2. Kepuasan pasien terhadap mutu layanan kesehatan, dinyatakan oleh sikap terhadap kompetensi teknis dokter maupun petugas dalam melayani pasien, perubahan yang dalami pasien setelah mendapatkan layanan kesehatan. 3. Kepuasan pasien terhadap proses layanan kesehatan, dinyatakan dengan kepuasan termasuk hubungan antar manusia dengan tingkat kepercayaan pada dokter, pengertian tentang diagnosis dan sejauh mana kesulitan untuk memahami penjelasan dokter serta rencana pengobatan. 4. Kepuasan pasien terhadap sistem layanan kesehatan, dinyatakan oleh sikap melalui pengamatan terhadap fasilitas fisik, sistem perjanjian dalam hal waktu tunggu, jumlah dan jenis keluhan yang diterima oleh sistem layanan kesehatan. Terdapat beberapa metode yang dipergunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan (Kotler, 2002). 1. Sistem keluhan dan saran dengan penyediaan kotak saran, hotline service, dan lain-lain yang memberikan kesempatan pada pelanggan atau pasien dalam menyampaikan keluhan, komentar saran dan pendapat pelanggan. 2. Ghost shopping (pembelanja misterius) dengan mempekerjakan beberapa orang (ghost shopper) sebagai pasien atau pembeli produk selanjutnya
17
melaporkan temuannya sehingga dapat dijadikan pertimbangan oleh organisasi untuk pengambilan keputusan. 3. Lost customer analysis dengan menghubungi pelanggan yang telah berhenti atau beralih kelayanan kesehatan lain sehingga diketahui penyebabnya sehingga organisasi dapat mengambil keputusan dalam penyempurnaan berikutnya. 4. Survei kepuasan pelanggan dengan melakukan survei dan penelitian mengenai kepuasan pelanggan melalui kuesioner, wawancara langsung, telepon maupun pos. Beberapa penelitian kepuasan pelanggan yang menggunakan survei kepuasan pelanggan sebagai tehnik dalam pengumpulan data seperti penelitian yang dilakukan di Amerika menggunakan survei kepuasan melalui telepon pada pasien dan keluarga yang merupakan pelanggan rumah sakit dan pusat pengobatan kanker (Quinn et al., 2004). Terdapat pula penggunaan metode lain pada survei kepuasan pelangggan dengan wawancara langsung menggunakan kuisioner pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Toraja Utara (Allo et al., 2013). Penelitian Nurkholiq (2011) mengenai kepuasan pasien umum dan pengguna Askes juga menggunakan kuisioner dalam pengumpulan pengumpulan data. Pada umumya penelitian kepuasan pasien menggunakan survei kepuasan pasien dengan cara wawancara dan kuisioner pada pasien. 2.4.2
Manfaat Kepuasan Pasien Komponen kepuasan pasien menjadi salah satu komponen yang penting
dari mutu layanan kesehatan. Pasien atau masyarakat yang mengalami kepuasan
18
dalam pelayanan kesehatan memiliki kecenderungan pasien untuk mengikuti nasihat dan taat pada pengobatan yang dilakukan, sedangkan ketidakpuasan pasien dalam pelayanan kesehatan cenderung akan menyebabkan ketidakpatuhan akan pengobatan dan berpindah ke faskes lainnya (Pohan, 2006). Pelanggan yang loyal adalah mitra (Koentjoro, 2007). Pasien yang mendapatkan pelayanan memuaskan akan menjadi pembeli ulang, jika terus menerus memperoleh kepuasan maka akan menjadi pelanggan setia. Pelanggan setia inilah yang dapat dijadikan sebagai mitra dalam pelayanan kesehatan. Kepuasan pelanggan diupayakan sebagai langkah menuju kesetiaan dan kemitraan dengan pelanggan. Manfaat kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan di faskes berdampak pada kesetiaan pasien dalam menggunakan kembali faskes tersebut. Hasil penelitian pengaruh kualitas layanan terhadap kesetiaan pasien di Teheran Iran menunjukkan patient loyalty dapat berupa membicarakan hal yang positif tentang faskes dari mulut kemulut, kemauan untuk merekomendasikan faskes tersebut kepada teman sampai kemauan menggunakan faskes itu kembali sangat dipengaruhi oleh kepuasannya terhadap mutu layanan faskes yang ditunjukkan dengan empat dimensi mutu yaitu kehandalan, komunikasi, empati, bukti fisik dan biaya (Arab et al., 2012). Hasil penelitian di India menunjukkan, bahwa kepuasan pasien diantaranya ditentukan oleh kualitas layanan yang diberikan oleh provider, sikap, perilaku tenaga kesehatan dan biaya yang dikeluarkan. Keterlibatan provider dalam pelayanan kesehatan sering dikaitkan atau berujung pada kepuasan pasien, sehingga kepuasan pasien ini akan mempengaruhi loyalitasnya
19
pada provider tersebut yaitu berupa merekomendasikan provider pada koleganya, kepatuhan dan mau menggunakan kembali pelayanan bahkan untuk tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau lebih mahal (Naidu, 2009). Terdapat pula hasil penelitian, bahwa terdapat hubungan antara kepuasan dan minat kunjungan ulang pasien ke Puskesmas di Kota Bekasi yang bermakna secara statistik (Prastiwi & Ayubi, 2008). Kepuasan pasien merupakan hal yang penting dalam era persaingan di dunia kesehatan saat ini, dimana pasien yang merasakan kepuasan akan membuat mereka loyal untuk tetap memakai jasa layanan di faskes tersebut dan pelanggan yang setia tentunya akan membuat faskes mampu bersaing dan bertahan. 2.5
Hubungan Jenis Fasilitas Kesehatan Primer dengan Kepuasan Pasien Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan hubungan jenis fasilitas
kesehatan dengan kepuasan pasien dengan hasil yang berbeda. Penelitian analisis Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia mengenai bukti empiris kebijakan asuransi kesehatan sosial dengan rancangan studi observasional dan penggunaan data putaran kedua Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia untuk mengukur permintaan (demand), didapatkan hasil penelitian bahwa ketika peserta asuransi menghadapi alternatif PPK (publik dan swasta) maka peserta asuransi cenderung memilih PPK swasta dibandingkan publik karena tidak memberikan kepuasan konsumen (Hidayat, 2010). Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) swasta diminati oleh mereka yang sakit, belum menikah, kaya dan berpendidikan tinggi. Berbeda halnya dengan hasil penelitian kepuasan pasien terhadap mutu layanan PPK I di Kota Kendari pada peserta
20
Askes wajib dan Askes sukarela, dimana didapatkan hasil tingkat kepuasan peserta Askes sukarela yang berobat pada dokter keluarga lebih rendah dibandingkan dengan kepuasan peserta Askes wajib di Puskesmas (Aga et al., 2005). Hal ini disebabkan oleh perbedaan akan mutu pelayanan dokter, peresepan obat, sistem rujukan pasien, kemudahan akses ke layanan kesehatan, ketersediaan fasilitas dan kondisi lingkungan fisik Puskesmas dan dokter keluarga. Penelitian tentang kepuasan terhadap layanan kesehatan primer berdasarkan jenis faskes pernah dilakukan di Provinsi Bali pada Puskesmas dan dokter keluarga yang merupakan PPK I Askes di Kota Denpasar (Witriasih, 2012) dengan hasil bahwa tingkat kepuasan pasien peserta PT ASKES (Persero) Cabang Denpasar pada dokter keluarga lebih tinggi dibandingkan Puskesmas karena hubungan kedekatan pasien dengan dokter keluarga meskipun kepuasan pasien ASKES di Puskesmas dan dokter keluarga tergolong sama-sama sangat puas. Pelayanan kesehatan melibatkan pasien dan provider, keterlibatan provider dalam pelayanan kesehatan sering dikaitkan atau berujung pada kepuasan pasien. Kepuasan pasien ini diantaranya ditentukan oleh kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh provider, sikap dan perilaku tenaga kesehatan (Naidu, 2009). Ketidakpuasan pasien terhadap mutu layanan kesehatan disebabkan oleh perbedaan harapan pasien terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh provider. Perbedaan mutu pelayanan kesehatan pada jenis fasilitas kesehatan karena kompetensi pemberi layanan, sistem peresepan obat, sistem rujukan pasien, kemudahan akses ke layanan kesehatan, ketersediaan fasilitas dan kondisi lingkungan fisik faskes tersebut (Aga et al. , 2005). Baik buruknya kualitas
21
pelayanan provider tergantung kemampuan provider dalam menyediakan layanan kesehatan memenuhi keinginan pasien secara efisien dan konsisten.
2.6
Hubungan Status Kepesertaan dengan Kepuasan Pasien Penelitian tentang hubungan status kepesertaan pasien dengan tingkat
kepuasan pasien yang cenderung menunjukkan perbedaan kepuasan pasien dengan status kepesertaan sebagai pasien umum dengan status kepesertaan sebagai peserta jaminan dan asuransi kesehatan. Penelitian perbedaan kualitas layanan Puskesmas Kelurahan Sukorame Kecamatan Mojoroto Kota Kediri berdasar sistem pembayaran ditinjau dari persepsi konsumen menunjukkan ada perbedaan kualitas layanan yang di berikan Puskesmas dimana pengguna sistem pembayaran langsung mempersepsikan kualitas layanan lebih baik dibandingkan pengguna sistem pembayaran Askes dan Jamkesmas (Suciati, 2013). Penelitian sistem atau cara pembayaran dan kualitas pelayanan Puskesmas di Kota Wonogiri didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara sistem pembayaran pasien dengan kualitas pelayanan rawat jalan di Puskesmas yang secara statistik signifikan dimana pasien yang membayar langsung (out of pocket) merasakan mendapatkan kualitas pelayanan tertinggi dibandingkan dengan pasien Askes dan Jamkesmas (Budi, 2010). Terdapat pula penelitian kepuasan pasien cara bayar umum dengan pengguna kartu Askes pada pelayanan dokter keluarga Askes di Kota Semarang dengan hasil penelitian bahwa terdapat perbedaan bermakna pada tingkat kepuasan pasien berdasarkan status kepesertaan, yaitu pada pasien cara bayar umum dengan peserta Askes (Nurkholiq, 2011).
22
Hasil penelitian Setiawan (2014) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kepuasan Pasien JKN dengan status kepesertaan PBI dengan pasien umum terhadap kualitas layanan kesehatan di Sukoharjo dimana pasien PBI lebih puas dibandingkan dengan pasien umum. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Rattu et al ( 2015) bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas layanan keperawatan pada pasien PBI dan non PBI di Manado. Kepesertaan Peserta PBI jaminan kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu dimana iuran peserta PBI dibayarkan Pemerintah Pusat melalui Kementrian Kesehatan ke BPJS Kesehatan (Kemenkes, RI 2014b). Peserta bukan PBI jaminan kesehatan adalah pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya serta bukan pekerja dan anggota keluarganya. Iuran peserta pekerja penerima upah dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja sendiri sedangkan iuran peserta mandiri (pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja) dibayarkan oleh peserta sendiri kepada BPJS Kesehatan sesuai kelas perawatannya (Kemenkes RI, 2014b). Pasien yang membayar untuk layanan kesehatan cenderung lebih banyak menuntut, tidak mudah puas dan berharap layanan yang diterima memang berkualitas dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan layanan kesehatan secara gratis atau membayar lebih murah. Tuntutan pasien akan kepuasan cenderung meningkat karena merasa telah membayar iuran asuransi kesehatan yang dipotong dari gaji tiap bulannya atau sebagai penanggung (Tukimin, 2005).
23
2.7
Hubungan Karakteristik Sosio-Demografis dengan Kepuasan Pasien Faktor penentu kepuasan pasien juga dipengaruhi oleh karakteristik pasien
yang merupakan ciri-ciri atau kekhasan seseorang yang membedakan seseorang dengan yang lain meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
Peneliti
hendaknya
demografis
penduduk
setempat.
mempertimbangkan Beberapa
penelitian
karakteristik tentang
sosio
hubungan
karakteristik sosio-demografis dengan tingkat kepuasan pasien. Penelitian kepuasan pasien pada perawatan primer di Amerika didapatkan hasil, bahwa selain kontinuitas perawatan yang berhubungan dengan kepuasan pasien juga terdapat faktor lain yaitu demografis dan sosial ekonomi pasien (Fan et al., 2005). Penelitian kepuasan pasien rawat jalan di Puskesmas Kabupaten Bandung Barat didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara umur, pekerjaan, penghasilan dan sumber dana dengan tingkat kepuasan pasien rawat jalan di Puskesmas sedangkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan tingkat pendidikan dengan tingkat kepuasan pasien rawat jalan di Puskesmas (Abdilah & Ramdan, 2007). Hasil penelitian yang sama didapatkan pada penelitian kepuasan pasien Jamkesmas di Puskesmas Wawonasa Kecamatan Singkil Manado Tahun 2013 bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kepuasan pasien Jamkesmas di Puskesmas (Laurina et al., 2013). Hasil penelitian Handayani (2003) disebutkan bahwa karakteristik pasien yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien rawat inap pada Puskesmas di kabupaten Cilacap dalam pelayanan kesehatan adalah umur, pendidikan dan tempat asal pasien.
24
Kelompok umur usia produktif cenderung lebih banyak menuntut dan berharap banyak terhadap layanan kesehatan. Pasien usia tua pada umumnya lebih bersifat terbuka sehingga tuntutan dan harapannya lebih rendah dibandingkan pasien usia muda maka hal ini menyebabkan pasien tua lebih cepat puas daripada pasien usia muda (Oroh et al., 2009). Pria cenderung lebih banyak menuntut dan mengkritik layanan kesehatan daripada wanita karena dalam keluarga seorang pria yang menjadi kepala keluarga yang melindungi, memberi rasa aman dan cenderung mengintervensi wanita dalam melakukan sesuatu. Pendidikan pasien dapat mempengaruhi kepuasan pasien akan layanan kesehatan sesuai dengan nilai-nilai dan harapan pasien (Abdilah & Ramdan, 2007). Pendidikan dan pengetahuan pasien yang tinggi menuntut diberikannya pelayanan kesehatan yang lebih baik, sebaliknya pada pasien dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih banyak menerima karena jarang memikirkan hal-hal di luar daya nalarnya, tidak tahu apa yang dibutuhkannya dan kesembuhan saja sudah cukup bagi pasien. Masyarakat yang bekerja cenderung lebih banyak menuntut atau mengkritik layanan kesehatan yang diterimanya karena dipengaruhi oleh lingkungan pekerjaannya dan lingkungan keluarganya dibandingkan dengan masyarakat yang bekerja (Abdilah & Ramdan, 2007). Pasien yang berpenghasilan tinggi dan merasa mampu membayar mahal maka tidak akan mudah merasa puas bila layanan kesehatan yang diterima tidak sesuai kehendaknya sedangkan pasien yang berpenghasilan rendah dan tidak bekerja tidak akan terlalu menuntut (Handayani, 2003).