AKTUALISASI DIRI PADA PENSIUNAN KEPALA SEKOLAH IDCHAM NURJAMAN SAPUTRA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masa pensiun yang biasa menjadi momok bagi para pekerja, khususnya kepala sekolah dalam skripsi ini, yang mengalami masa-masa sulit saat menghadapi usia pensiun. Namun, masih ada pensiunan kepala sekolah yang dapat mengaktualisasikan dirinya dan masih terus berperan di masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah, Faktor-faktor yang dapat menyebabkan aktualisasi diri pensiunan kepala sekolah, dan Proses aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah. Pendekatan penelitaian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dalam bentuk studi kasus. Proses pengambilan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara pada subjek, yaitu seorang pensiunan kepala sekolah yang masih memiliki aktivitas sebagai wujud aktualisasi dirinya. Sementara itu, significant other adalah orang terdekat subjek yang mengetahui latar belakang dan keseharian subjek. Dari penelitian ini dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pertama, mengenai gambaran aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah, dapat dikatakan bahwa kepala sekolah tersebut berhasil mengaktualisasikan dirinya karena aktivitasnya menunjukan ciri-ciri yang seseuai dengan karakter para pengaktualisasi diri seperti kepekaan sosial yang tinggi, kreatif, otonom, realistis, demokratis, religious, dan resisten. kemudian yang kedua, faktor-faktor yang menyebabkan bahwa pensiunan kepala sekolah tersebut dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada pada dirinya, adalah kesiapan mental menghadapi masa pensiun, memberdayakan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, kreatif, kemampuan bersosialisasi, dan kasih sayang orang disekitarnya. Yang ketiga, mengenai proses aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah, pada awalnya, sebelum subjek pensiun subjek telah mempersiapkan diri baik secara materil ataupun mental, secara materil subjek telah mempersiapkan dengan cara menabung dan melakukan penyesuaian kebutuhan. Secara mental subjek menanamkan dalam dirinya bahwa masa pensiun pasti terjadi dan subjek mempersiapkan mental untuk itu. Saat ini, subjek menyibukan diri dalam aktivitas dan organisasi sebagai wujud aktualisasi dirinya. Untuk kedepannya subjek berharap bisa terus mengabdikan dirinya pada masyarakat dengan tetap menjaga kesehatan. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah perlu diadakan penelitian yang lebih fokus dengan banyaknya elemen yang menunjang terjadinya aktualisasi diri, maka sangat diperlukan waktu dan intensitas yang lebih banyak dalam tatap muka dengan subjek, sehingga penelitian lebih mendalam. Kata kunci: Aktualisasi diri, pensiunan, kepala sekolah
1
2
A. LATAR BELAKANG MASALAH Bekerja adalah aktivitas yang dilakukan manusia untuk melestarikan dan mempertahankan kehidupan yang diarahkan pada perubahan positif dalam lingkungannya ( Neff, dalam Davies & Shackleton, 1975). Kemudian O’Toole (dalam Davies & Shackleton, 1975) menyatakan bahwa bekerja merupakan aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang bernilai untuk diri sendiri dan orang lain. Sehingga bekerja dapat dikatakan sebagai tujuan juga sarana bagi seseorang dalam menjalankan hidupnya. Bekerja membuat manusia mengolah alam dan menciptakan karya-karya baru, serta berusaha untuk mengaktualisasikan diri secara optimal potensi-potensi diri, serta meningkatkan keterampilan dan mengembangkan kreativitas. Demikian juga, dalam kehidupan bermasyarakat selalu dipengaruhi oleh kesuksesan seseorang dalam bekerja. Keberhasilan di dalam berkarir mudah diukur, misalnya tingkat jenjang, pangkat yang memuaskan serta tanggung jawab dan kewenangan, status sosial, finansial, fasilitas khusus, ruang kantor yang istimewa. Pencapaian kesuksesan seperti ini bagi sebagian orang sulit untuk dicari pengantinya (Trimardhani, 2003). Persoalan akan menjadi lain apabila pekerja memasuki masa pensiun, karena keberhasilan dalam meniti karir berbeda dengan keberhasilan dalam menjalani masa pensiun. Perbedaan itu terletak pada kesiapan mental dan sikap individu pekerja menghadapi masa pensiun. Individu yang menghadapi masa pensiun biasanya akan merasa seorang diri, merasa tidak ada lagi yang memperdulikan dirinya, tidak ada lagi yang memberikan pujian atas pekerjaan yang diselesaikan dengan baik, tidak ada teguran, tidak ada imbalan keuangan sebanyak ketika ia bekerja atau ketika menduduki suatu jabatan tertentu. Dalam penelitian Robinson (dalam Perlmutter, 1985, dalam Trimardhani, 2003) pada masyarakat barat mengenai sikap tentang pensiun yaitu waktu bekerja menjadi waktu luang (tidak bekerja) merupakan proses yang negatif termasuk rangkaian dari beberapa kehilangan seperti: berkurangnya pendapatan, identitas pekerjaan, status sosial, kelompok aktivitasnya, jadwal harian, dan aktivitas. Hal inilah yang menjadi permasalahan bagi pensiunan yang belum siap dengan perubahan kondisi aktif bekerja menjadi tidak bekerja, sehingga pensiunan tersebut mengalami kecemasan yang cukup tinggi. Begitu seseorang memasuki usia pensiun banyak perubahan yang dialaminya seperti pola hidupnya, jadwal hidupnya, kegiatan sehari-harinya,
3
lingkungan sosialnya, pekerjaan, dan sebagainya. Keahlian dan pengalaman profesinya seakan-akan tidak lagi dapat difungsikan secara optimal setelah masa pensiun karena mengalami proses degeneratif. Pekerjaan yang semula dirasakan bermakna dan memberikan identitas serta membuat kebanggaan dan kemantapan dirinya seakan-akan lepas dalam sekejap. Akibatnya timbul perasaan diri tidak berguna sehingga sering sakit-sakitan, serta lebih sering mengurung diri di rumah, cepat tersinggung, dan enggan untuk bersosialisasi dengan lingkungan. Biasanya yang menjadi sasaran kekesalan adalah orang-orang terdekat seperti istri, anak, dan pembantu, dimana hal tersebut biasanya jarang terjadi pada masa aktifnya. Seorang kepala sekolah yang pada saat bertugas memiliki kedudukan dan posisi yang memungkinkan untuk memerintah, memiliki fasilitas ruang kantor yang bagus, bawahan yang menghormati, dan tunjangan yang memadai. Selain itu, kepala sekolah yang notabene sebagai guru adalah sosok yang menjadi panutan bagi murid-muridnya, kemudian kesehariannya yang memungkinkan memiliki beberapa peran, dimana peran-peran tersebut akan berkurang saat memasuki masa pensiun. Jika dilihat dari hal tersebut tentunya seorang pensiunan kepala sekolah harus memiliki kesiapan mental yang lebih dari pekerja lainnya dalam menghadapi masa pensiun. Perkembangan dunia pendidikan saat ini sejak diterapkanya UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, yang mengatur mengenai manajemen sekolah, dimana penyelenggaraan aktivitas di sekolah sepenuhnya dilalukan dan dilaksanakan oleh pihak sekolah. Sistem ini disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah sistem yang mengatur mengenai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada pihak sekolah yang menyangkut bidang anggaran personil dan kurikulum. Oleh karena itu memberikan hak kontrol proses pendidikan kepada seluruh komponen sekolah dimana kebijakan yang diambil haruslah merupakan hasil musyawarah antara kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua (Kubick, dalam Nurkolis, 2003). Sistem ini juga mengatur kinerja kepala sekolah yang memiliki wewenang sepenuhnya mengenai penyelenggaraaan pendidikan dan usaha-usaha lain yang bertujuan untuk kemajuan sekolah. Sistem ini seolah-olah memposisikan kepala sekolah sebagai direktur dari suatu unit usaha, yang memiliki wewenang dan kekuasaan sebagai penentu arah tujuan dari suatu sekolah.
4
Bagi kepala sekolah yang sukses dalam menjalani masa pensiun adalah mereka yang jauh sebelum pensiun sudah mempersiapkan diri untuk mengahadapinya, yaitu mencari aktivitas setelah pensiun sebagai tempat mengaktualisasikan diri serta menjaga kesehatan, meskipun memang dalam menghadapi tibanya masa pensiun mereka juga mengalami stres, tapi intensitasnya tidak terlalu tinggi. Berdasarkan hasil keterangan yang didapat dari seorang pensiunan kepala sekolah yang pensiun pada tahun 2005 dan keterangan yang didapat dari orang-orang terdekatnya. Yang bersangkutan mengisi masa pensiunnya dengan tetap beraktivitas pada organisasi yang digeluti sejak masih sekolah. Hal itu terbukti sampai saat ini yang bersangkutan masih tercatat sebagai anggota dewasa aktif Gerakan Pramuka, Kwartir Daerah Jawa Barat. Selain itu, yang bersangkutan juga masih aktif sebagai pelatih pada kegiatan KMD (Kursus Mahir Dasar) dan KML (Kursus Mahir Lanjutan) dan kursus-kursus lain yang berhubungan dengan pelatihan bagi para anggota pramuka ataupun bagi para calon pembina. Sehubungan dengan hal di atas, pensiunan kepala sekolah yang dapat mengaktualisasikan diri menarik untuk diteliti. Ditengah-tengah kondisi sulit yang memungkinkan seseorang mengalami stres atau depresi karena kehilangan pekerjaan, bawahan yang menghormati, ruang kantor yang memadai, dan penghasilan yang semulanya mencukupi. Ternyata ada pensiunan kepala sekolah yang mampu menghadapi masa-masa sulit tersebut dan berhasil mengaktualisasikan diri dengan tetap berperan di masyarakat. Dari uraian di atas tidak dapat dipungkiri bahwa masa pensiun adalah masa yang mutlak dialami oleh setiap individu yang bekerja, tetapi masa pensiun bukan berarti masa penutupan dari segala aktivitas hidup atau berakhirnya manfaat seseorang terhadap lingkungan. Aktivitas sehari-hari memang berkurang tapi akan lebih baik jika tetap bisa bermanfaat bagi lingkungan. Bagi manusia, pengaktualisasian diri adalah kebutuhan yang paling sulit dipenuhi sebelum seseorang merasa sadar akan potensi-potensi yang ada pada dirinya dapat bermanfaat bagi orang lain atau lingkungan. Dengan demikian penulis tertarik untuk melihat dengan jelas pengaktualisasian diri pada pensiunan kepala sekolah dalam menghadapi masa pensiunnya.
5
B. PERTANYAAN PENELITIAN Dari uraian latar belakang diatas dapat ditarik permasalahan umum yang dapat diteliti, yaitu: 1. Bagaimana gambaran aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah? 2. Apa saja faktor-faktor yang dapat menyebabkan aktualisasi diri pensiunan kepala sekolah? 3. Bagaimana proses aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah?
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah tersebut di atas, yang nantinya akan bermanfaat bagi pengaktualisasian diri pada pensiunana kepala sekolah menghadapai masa pensiun. Tujuan tersebut adalah mengetahui: 1. Gambaran pengaktualisasian diri pada pensiunan kepala sekolah. 2. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan aktualisasi diri pensiunan kepala sekolah. 3. Proses aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah.
C. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Dari hasil penelitian ini dapat diambil manfaat yaitu dapat memperoleh gambaran mengenai proses aktualisasi diri pensiunan kepala sekolah dalam menghadapi masa pensiunnya,, selain itu dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teoriteori ilmu psikologi khususnya bidang psikologi kepribadian dan psikologi klinis tentang aktualisasi diri. 2. Manfaat Praktis Dari penelitian ini penulis mengharapkan adanya manfaat yang dapat diambil, yaitu bagi para pensiunan dan calon pensiunan, serta masyarakat pada umumnya dapat memperoleh dapat mempersiapkan diri untuk mengaktualisasi diri sebagai suatu cara untuk mengisi masa pensiun.
6
D. LANDASAN TEORI 1. Aktualisasi Diri Paragima Maslow tersebut berpendapat bahwa manusia yang sehat adalah manusia yang mengembangkan dirinya sendiri berdasarkan kekuatan-kekuatan dari dalam. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Maslow (dalam Schultz, 1991) bahwa aktualisasi diri dapat didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat yang dimiliki manusia, pemenuhan semua kualitas dan kapasitas. “Setiap orang berkembang sepenuh kemampuannya.” Pemaparan tentang kebutuhan psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan menggunakan kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri, yang merupakan salah satu aspek penting dari teorinya mengenai motivasi pada manusia. Maslow (dalam Goble, 1987) juga melukiskan kebutuhan ini sebagai “hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya, menjadi apa saja sesuai kemampuannya.” Maslow menemukan bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul sesudah kebutuhan akan dicintai dan memiliki (Love and Belonging) dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai. Motif aktualisasi diri dihubungkan dengan motif efektan (kecenderungan individu untuk meningkatkan otonomi, rasa percaya diri, pengalaman, dan kreativitas) dan motif intrinsik. Aktualisasi diri menunjukkan ke kebutuhan pribadi untuk mengembangkan potensi mereka, dengan kata lain melakukan apa yang mereka mampu lakukan. Oleh sebab itu, aktualisasi diri adalah individu yang menggunakan kemampuannya secara menyeluruh (Maslow dalam Morgan dkk, 1986). Rogers (dalam Schultz, 1991) menyatakan aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologisnya yang unik. Rogers percaya bahwa manusia memiliki dorongan yang dibawa sejak lahir untuk mencapai sifat-sifat serta potensi-potensinya dan bahwa hasil ciptaan yang sangat penting adalah dirinya sendiri, suatu tujuan yang dicapai jauh lebih sering oleh orangorang yang sehat dari pada oleh orang-orang yang sakit secara psikologis. Sedangkan Menurut Maslow (dalam Hall & Lindzey, 1993) menerangkan bahwa orang-orang yang telah mengaktualisasikan diri adalah orang-orang yang telah merealisasikan potensipotensi yang ada pada dirinya dengan sepenuh-penuhnya.
7
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aktualisasi diri adalah suatu perwujudan sikap seseorang yang memenuhi seluruh potensi, kualitas, dan kapasitas yang ada pada dirinya sehingga seseorang bisa merasakan kepuasan batiniah atas pemenuhan kebutuhan tertinggi manusia. 2. Sifat-sifat Para Pengaktualisasi Diri Sifat-sifat para pengaktualisasi diri menurut Maslow (dalam Schulzt, 1991) sebagai berikut : a. Mengamati Realitias Secara Efisien Orang-orang yang sehat mengamati objek-objek dan orang-orang di dunia sekitarnya secara objektif (Maslow menyebut persepsi objektif ini : being atau Bcognition). Mereka tidak memandang dunia hanya sebagaimana mereka inginkan atau butuhkan, tetapi mereka melihatnya dengan apa adanya. Sebagai bagian dari persepsi objektif ini. Maslow berpendapat bahwa para pengaktualisasi diri adalah hakim yang teliti terhadap orang lain dan mampu menemukan dengan tepat ketidakjujuran dan penipuan. Berarti para pengaktualisasi diri bersandar semata-mata pada keputusan dan persepsi mereka sendiri serta tidak terdapat pandangan yang berat sebelah atau prasangka-prasangka. Semakin objektif dalam menggambarkan kenyataan, maka semakin baik kemampuan para pengaktualisasi diri untuk berpikir secara logis, untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang tepat dan pada umumnya untuk menjadi efisien secara intelektual. Allport (dalam Schultz, 1991) juga berpendapat bahwa orang-or ang yang sehat memandang dunia mereka secra objektif. Mereka tidak perlu percaya bahwa orang lain atau situasi-situasi semuanya jahat atau semuanya baik menurut prasangka pribadi terhadap realitas. Mereka menerima realitas sebagaimana adanya. b. Penerimaan Umum Atas Kodrat, Orang-orang Lain, dan Diri Sendiri Orang yang mengaktualisasikan diri menerima diri mereka, kelemahankelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan. Sesungguhnya mereka tidak terlampau memikirkannya. Meskipun individu yang sehat ini memiliki kelemahan, tetapi mereka tidak merasa malu dan tidak merasa
8
bersalah terhadap hal tersebut. Maslow menulis, “Orang tidak dapat mengeluh tentang air karena basah atau tentang batu karena keras, atau tentang pohon-pohon karena hijau”. Karena orang-orang yang mengaktualisasikan diri begitu menerima kodrat mereka, maka mereka tidak harus mengubah dan memalsukan diri mereka. Mereka tidak defensif dan tidak bersembunyi di belakang topeng-topeng atau peranan-peranan sosial. Mereka santai dan puas dengan diri mereka dan penerimaan ini berlaku bagi semua tingkat kehidupan. Mereka menerima selera hawa nafsu tanpa malu dan mereka menerima tingkat-tingkat cinta dan memiliki, penghargaan, dan harga diri mereka. Pada umumnya mereka sabar terhadap kelemahan dari orang-orang yang mereka kenal dan bersabar dalam menghadapi gejolak kehidupan dalam lingkungan. Allport (dalam Schultz, 1991) berpendapat bahwa kepribadian-kepribadian yang sehat mampu menerima semua segi dari mereka, termasuk kelemahankelemahan dan kekurangan-kekurangan tanpa menyerah secara pasif pada kelemahan dan kekurangan tersebut. c. Spontanitas, Kesederhanaan, Kewajaran Dalam setiap segi kehidupan para pengaktualisasi diri bertingkah laku secara terbuka dan langsung tanpa pura-pura. Mereka tidak harus menyembunyikan emosi-emosi mereka, tetapi dapat memperlihatkan emosi-emosi tersebut secara wajar dan jujur, dalam istilah sederhana, individu seperti ini bertingkah laku secara kodrati. Akan tetapi para pengaktualisasi diri juga bijaksana dan penuh perhatian terhadap orang lain. Dalam situasi-situasi dimana ungkapan perasaan jujur dan wajar dapat menyakiti orang lain atau dimana hal tersebut tidak penting, maka untuk sementara mereka akan mengekang perasaan-perasaan itu. Dengan demikian mereka dapat memainkan permainan sosial yang dibutuhkan. Rogers (dalam Schultz, 1991) berpendapat orang yang sehat dapat bertindak menurut impuls-impuls yang timbul seketika dan intuitif. Dalam tingkah laku yang demikian terdapat banyak spontanitas dan kebebasan, tetapi tidak sama dengan bertindak terburu-buru atau tidak mempertimbangkan segala konsekuensinya.
9
d. Fokus Terhadap Masalah-masalah Di Luar Diri Mereka Bagi para pengaktualisasi diri melibatkan diri mereka dalam pekerjaan adalah hal yang mutlak dibutuhkan. Mereka memiliki suatu perasaan akan tugas yang menyerap mereka dan mengabaikan kebanyakan energi mereka kepada pekerjaan. Begitu kuatnya Maslow merasakan sifat ini sehingga dia menyimpulkan bahwa tidak mungkin menjadi orang yang mengaktualisasikan diri tanpa perasaan dedikasi tinggi. Melalui dedikasi pekerjaan yang hebat ini, para pengaktualisasi diri dapat memenuhi atau mencapai kebutuhan-kebutuhan mereka. Allport (dalam Schultz, 1991) menekankan pentingnya pekerjaan dan perlunya menenggelamkan diri sendiri di dalamnya. Keberhasilan dalam pekerjaan menunjukan keterampilan dan bakat tertentu suatu tingkat kemampuan. Tetapi tidak hanya cukup memiliki keterampilan yang relevan, orang yang sehat juga menggunakannya secara ikhlas, antusias, dan menempatkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan. e. Kebutuhan Akan Privasi dan Interdependensi Individu yang mengaktualisasikan diri tidak tergantung pada orang lain untuk pemenuhan kepuasan-kepuasan mereka dan dengan demikian mereka mungkin sangat egosentris dan terarah pada diri mereka sendiri. Berarti mereka memiliki kemampuan untuk membentuk pikiran, mencapai keputusan, dan melaksanakan dorongan-dorongan disiplin mereka sendiri. Rogers (dalam Schultz, 1991) percaya bahwa semakin seseorang sehat secara psikologis, semakin juga mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak. Orang yang sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan antara pikiran dan tindakan. f. Berfungsi Secara Otonom Kepribadian-kepribadian yang sehat dapat berdiri sendiri dan tingkat otonomi mereka yang tinggi dapat menaklukkan diri mereka sendiri, agar tidak rentan terhadap krisis dan kerugian. Kemalangan yang dapat menghancurkan orang yang tidak sehat mungkin hampir tidak dirasakan oleh para pengaktualisasi diri, mereka mempertahankan ketenangan dasar di tengah-tengah apa yang dilihat oleh individu yang tidak sehat sebagai malapetaka.
10
Menurut Allport (dalam Schultz, 1991) orang yang memiliki tingkat pemahaman (self-objectification) yang tinggi tidak mungkin memproyeksikan kualitas-kualitas pribadi yang negatif kepada orang lain. Orang itu akan menjadi hakim yang seksama bagi orang lain. Dan biasanya dapat diterima dengan baik oleh orang lain karena tingkat ototnomnya dalam memandang sesuatu. g. Apresiasi Senantiasa Segar Para pengaktualisasi diri senantiasa menghargai pengalaman-pengalamn tertentu, walaupun betapa seringnya pengalaman-pengalaman itu berulang. Suatu pandangan yang bagus atau menyegarkan terhadap dorongan setiap hari untuk bekerja. Setiap harinya para pengaktualisasi diri selalu mendapatkan semangat baru dan akan diperbarui setiap harinya. Menurut Rogers (dalam Schultz, 1991) orang yang sehat hidup sepenuhnya dalam setiap momen kehidupan. Setiap pengalaman dirasa segar dan baru, seperti belum pernah terjadi sebelumnya dalam cara yang persis sama. Maka dari itu, ada kegembiraan dari setiap pengalaman yang terungkap. h. Pengalaman-pengalaman Mistik atau “Puncak” Ada kesempatan dimana para pengaktualisasi diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang hebat dan meluap-luap, sama seperti pengalaman-pengalaman keagamaan yang mendalam. Selama pengalaman puncak ini, yang dianggap Maslow adalah biasa dikalangan orang-orang yang sehat dan orang-orang itu digenggam oleh perasaan kuat, kepercayaan, dan kepastian dalam suatu perasaan yang dalam bahwa tidak ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan. Fokus perhatian Maslow pada pengalaman puncak mencerminkan perhatiannya pada aspek spiritualitas tentang humanitas. Ia menganggap kemampuan ini sebagai bukti kemampuan manusia untuk mentransendenkan pengalaman pribadi yang hadir menuju kepada beberapa pengalaman dan realitas puncak. Menurut Rogers (dalam Schultz, 1991) orang yang sehat memiliki kepribadian yang fleksibel, tidak hanya mau menerima pengalaman yang diberikan oleh kehidupan, tetapi juga dapat menggunakan dalam membuka kesempatankesempatan persepsi atau ungkapan baru. Allport (dalam Schultz, 1991) juga berpendapat bahwa suara hati yang matang adalah suatu perasaan kewajiban dan
11
tanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada orang lain, dan mungkin berakar dari nilai-nilai agama atau nilai etis. i. Minat Sosial Para pengaktualisasi diri memiliki empati dan afeksi yang tinggi dan mendalam terhadap semua manusia, juga suatu keinginan yang besar untuk membantu sesama. Mereka memiliki perasaan persaudaraan yang khusus, seperti sikap dari orang yang lebih tua terhadap saudara sekandung yang lebih muda. Menurut Allport (dalam Schultz, 1991) semakin seseorang terlibat sepenuhnya dengan berbagai aktivitas, orang, atau ide, maka akan semakin sehat secara psikologis. Perasaan partisipasi otentik ini berlaku setiap pekerjaan yang dilakukan, hubungan dengan keluarga, teman-taman, kegemaran, keanggotaan dalam organisasi dan agama. Diri menjadi tertanam dalam aktivitas-aktivitas yang penuh arti. j. Hubungan Antar Pribadi Para pengaktualisasi diri mampu mengadakan hubungan yang lebih kuat dengan orang lain dari pada individu yang memiliki kesehatan jiwa yang biasa. Mereka mampu memiliki cinta yang lebih besar dan persahabatan yang lebih dalam dan identifikasi yang lebih sempurna dengan individu lainnya. Cinta yang dirasakan oleh para pengaktualisasi diri terhadap orang lain adalah suatu cinta khusus: Being-love (B-love) yang berlawanan dengan Deficiencylove (D-love). D-love yang didukung oleh adanya kekurangan, khususnya karena adanya kekurangan atas kebutuhan memiliki dan cinta. Orang yang memiliki kesehatan mental biasa, apabila kehilangan cinta akan sangat mengharapkan seperti orang lapar. Dalam B-love, orang yang sehat sama sekali tidak mengharapkan cinta dan mungkin terjadi dalam waktu yang cukup lama. Cinta mereka bukanlah cinta egoistis, dimana memberi cinta sama pentingnya dengan menerimanya. Dalam B-love lebih banyak lelucon, kegembiraan, dan kebahagiaan, kualitas-kualitas yang kurang dalam cinta didorong oleh potensi-potensi diri. Allport (dalam Schultz, 1991) berpendapat bahwa orang yang sehat secara psikologis mampu memperlihatkan keintiman (cinta) terhadap orang tua, anak, partner, dan sahabat. Apa yang dihasilkan oleh kapasitas keintiman ini adalah suatu
12
perasaan perluasan diri yang berkembang dengan baik. Syarat lain bagi kapasitas untuk keintiman adalah suatu perasaan identitas diri yang berkembang dengan baik. k. Struktur Watak Demokratis Individu yang sehat secara mental membiarkan dan menerima semua orang tanpa memperhatikan kelas sosial, tingkat pendidikan, golongan, politik, agama, atau ras. Perbedaan seperti itu tidak menjadi masalah bagi para pengaktualisasi diri. Maslow mengatakan bahwa mereka jarang menyadari perbedaan-perbedaan tersebut. Menurut Rogers (dalam Schultz, 1991) orang yang sehat terbuka sepenuhnya pada pengalaman, maka dia memiliki jalan masuk untuk seluruh informasi yang ada dalam suatu situasi membuat keputusan. Keterbukaannya kepada semua pengalaman ini, maka individu yang sehat dapat membiarkan seluruh organisme mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi. l. Perbedaan Antar Sarana dan Tujuan, Antara Baik dan Buruk Bagi para pengaktualisasi diri tujauan atau cita-cita lebih penting daripada sarana untuk mencapainya, seperti halnya yang dijelaskan Maslow, bahwa individu yang sehat sepenuhnya senang “melakukan” dan “menghasilkan” sebanyak mungkin tujuan yang ingin mereka tuju. Sarana yang menjadi tujuan karena kesenangan dan membedakan baik-buruk, benar-salah. Mereka juga memiliki norma-norma etis dan moral yang dirumuskan dengan baik dan dipegang teguh dalam setiap situasi. Allport (dalam Schultz, 1991) menyebut orang yang sehat memiliki suatu dorongan yang disebut “arah”(directness). Arah ini membimbing semua segi kehidupan seseorang menuju suatu tujuan dan memberikan alasan seseorang untuk hidup. Jadi, bagi Allport mustahil memiliki suatu kepribadian yang sehat tanpa aspirasi-aspirasi dan arah ke masa depan. m. Perasaan Humoris yang Tidak Menimbulkan Permusuhan Humor
para
pengaktualisasi
diri
bersifat
filosofis,
humor
yang
menertawakan manusia pada umumnya, akan tetapi bukan kepada individu yang khusus. Humor ini kerap kali bersifat instruktif, yang dipakai langsung kepada hal yang dituju dan juga menimbulkan tertawa. Hal tersebut semacam humor yang bijaksana yang mengakibatkan suatu senyuman dan anggukan tanda mengerti dari
13
gelak tawa yang keras. Humor semacam ini hanya akan dihargai oleh orang lain yang juga sehat. Menurut Allport (dalam Schultz, 1991) orang yang sehat memiliki korelasi yang tinggi antara tingkat wawasan diri dan perasaan humur, yakni tipe humor yang menyangkut persepsi terhadap hal-hal yang aneh dan hal-hal yang mustahil serta kemampuan untuk mentertawakan diri sendiri. Allport membedakan humor ini dari humor komik yang menyangkut seks dan agresi. n. Kreativitas Senantiasa Meningkat Kreativitas merupakan suatu sifat yang diharapkan dari setiap para pengaktualisasi diri. Mereka adalah asli, infentif, dan inovatif. Meskipun tidak selalu dalam pengertian menghasilkan suatu karya. Maslow menyamakan kreativitas ini dengan daya cipta dan daya khayal yang tinggi, suatu cara yang tanpa prasangka dan langsung kepada hal-hal yang penting. Kebanyakan dari kita kehilangan kreativitas masa kanak-kanak, hal itu dikarenakan pengaruh sekolah dan kekuatan sosial lainnya, tetapi para pengaktualisasi diri mempertahankan dan mendapatkan kembali dalam hidupnya. Bagi para pengaktualisasi diri kreativitas lebih merupakan sikap, suatu ungkapan psikologis, dan lebih mengenai bagaimana cara kita mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang sudah selesai dari suatu karya. Menurut Rogers (dalam Schultz, 1991) orang yang sehat adalah orang yang kreatif dan spontan, mereka tidak konformis terhadap tekanan-tekanan sosial dan kultural. o. Resisten Terhadap Inkulturasi Para pengaktualisasi diri dapat berdiri sendiri, mampu melawan dengan baik pengaruh-pengaruh sosial, untuk berpikir dan bertindak menurut cara-cara tertentu. Mereka mempertahankan otonom batin, tidak terpengaruh oleh orang kebudayaan, mereka dibimbing oleh diri mereka bukan oleh orang lain. Menurut Rogers (dalam Schultz, 1991) orang yang sehat memiliki perasaan berkuasa terhadap kehidupan pribadi dan percaya bahwa masa depan tergantung pada
14
dirinya. Karena itu, mereka melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupan dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukan. 3. Pensiunan Kepala Sekolah a. Pengertian Pensiunan Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1974 pasal 10, tentang pokok-pokok kepegawaian yang berbunyi : “Setiap Pegawai Negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan berhak atas pensiun, pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap pegawai negeri yang telah bertahuh-tahun mengabdikan dirinya pada negara.” Schwartz (dalam Hurlock,1980) mengatakan bahwa pensiun dapat merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan-perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu. a. Pengertian Kepala Sekolah Berdasarkan kamus Besar Bahasa Indonesia, kepala sekolah terdiri dari dua kata yang pertama adalah kepala yang dapat diartikan ketua atau orang yang memimpin. Sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk mengajar dan belajar serta tempat memberi dan menerima pelajaran. Kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran (www.wordpress.com). Dilihat dari pengertian berbagai sumber diatas dapat disimpulkan pensiunan kepala sekolah adalah guru atau pengelola lembaga pendidikan yang memimpin suatu lembaga pendidikan yang telah habis masa baktinya atau telah memasuki batas usia kedinasan sesuai dengan ketentuan pensiun. 4. Tahapan Pensiun Ahli Gerentologi Atchley (dalam Santrock, 1976) membagi tahap pensiun kedalam dua fase, fase preretirement dan fase retirement. fase preretirement terbagi atas dua tahap dan fase retirement terbagi kedalam lima tahap, dengan urutan sebagai berikut:
15
a. Tahap sebelum pensiun (Preretirement Phese) Tahap ini dibagi kedalam dua bagian, yaitu: remote dan near. Pada tahap remote, pensiun dipersiapkan sebagai suatu peristiwa yang masih jauh dijalani, tahap ini dimulai sejak individu bekerja sampai saat mendekati pensiun. Tahap near dimulai saat individu menyadari bahwa dirinya akan pensiun dalam waktu dekat. b. Tahap bebas tugas (Honeymoon) Tahap ini ditandai dengan munculnya suatu perasaan menemukan kembali kebebasan baru. Banyak individu yang merasakan bahwa masa ini merupakan masa yang sibuk kerana memiliki banyak aktivitas yang akan dilakukan. Tahap ini bisa berlangsung singkat atau lama, tergantung pada sumber daya yang dimilki individu dan bagaimana mereka memanfaatkannya. Tahap ini sampai berikutnya disebut juga fase retirement. c. Tahap timbulnya perasaan kecewa (Disenchentment Phase) Individu mulai menyadari adanya masalah sehubungan dengan statusnya sebagai seorang yang telah pensiun. Dalam keadaan demikian, timbul perasaan tertekan yang disebabkan beberapa faktor seperti menurunnya kesehatan dan menipisnya keuangan yang dimiliki. Individu mulai menyadari bahwa dirinya sudah berbeda dengan saat masih bekerja. d. Tahap orientasi kembali (Reorientation Phase) Pada tahap ini pengalaman individu sebagai pensiunan selama beberapa waktu dijadikan dasar untuk mengembangkan alternatif-alternatif kehidupan baru. Tahap inilah masa penyesuaian yang sesungguhnya dimulai. e. Tahap tercapainya keseimbangan (Stability Phase) Individu yang telah mencapai tahap ini telah mantap dalam menentukan alternatif dalam mengisi masa pensiunnya. Mengetahui hal yang diharapkan dari dirinya dan mengetahui bagaimana mereka harus melakukan kegiatan. Tahap ini individu telah mengatasi peran-perannya Sebagai pensiunan. f. Tahap akhir (Termination Phase) Tahap ini merupakan tahap terakhir dari masa pensiun seseorang. Pada tahap ini kondisi fisik dan kesehatan semakin menurun. Selain itu, individu mulai menyadari bahwa dirinya semakin dekat dengan kematian.
16
E. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus yang dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna sesuatu atau objek yang diteliti. Peneliti menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistic) bukan perlakuan (treatment) atau manipulasi variabel yang dilibatkan. Menurut Stake (dalam Heru Basuki, 2006) studi kasus bukan merupakan pilihan metodologi tetapi pilihan masalah yang bersifat khusus untuk dipelajari. Sebagai suatu bentuk pemilihan penelitian studi kasus lebih ditentukan oleh ketertarikan pada kasus-kasus yang bersifat individual, bukan oleh pemilihan metode penelitian.
F. SUBJEK PENELITIAN Subjek penelitian memiliki karakteristik yaitu individu lanjut usia (senescence) yang telah pensiun dari tugasnya sebagai kepala sekolah yang memiliki beberapa aktivitas sebagai wujud aktualisasi diri. Jumlah subjek yang akan digunakan sebagai responden dalam penelitian ini adalah satu orang subjek dan satu orang significant others.
G. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah, adalah sebagai berikut: Berdasarkan wawancara dan observasi yang telah peneliti lakukan terhadap subjek yang merupakan seorang pensiunan kepala sekolah, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya subjek yang dapat mengaktualisasikan dirinya adalah kepala sekolah yang dapat realistis dalam bersikap dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi sulit, mampu menyadari kelemahan dan kekuatan yang ada pada dirinya, dapat mengutarakan pendapat dan mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang, dapat menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya dan mempu memenuhi kebutuhannya, tidak bergantung pada orang lain dan mampu bekerja sama, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, menghargai pengalaman-pengalaman hidupnya dan memiliki semangat dalam beraktivitas, berupaya untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan meningkatkan kualitas ibadah, dapat terlibat dalam kegiatan sosial dan mampu menjaga hubungan baik dengan semua golongan, memiliki kelompok
17
persahabatan dan selalu berupaya menjaga hubungan baik dengan rekan-rekanya, memiliki tujuan yang ingin dicapai dan memegang prinsip hidupnya, memiliki rasa humor dalam keseharianya dimana humor tersebut menjadi sarana untuk lebih akrab, produktif dalam menghasilkan karya dan mampu menilai karya orang lain, memiliki nilai-nilai yang dipegang sesuai dengan batinnya. Dalam mengaktualisasikan diri para pensiunan kepala sekolah tentu saja memiliki beberapa kendala pada awal memasuki masa pensiunnya. Kendala tersebut seperti, masalah finansial atau pendapatan yang berkuarang sehingga diharuskan melakukan penyesuaikan kebutuhan, kemudian kendala kesehatan, para pensiunan kepala sekolah yang sudah tidak muda lagi sering terbentur masalah kesehatan dalam beraktivitas sehingga diperlukan usaha untuk menjaga kesehatan seperti olah raga dan menjaga pola makan. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah, adalah sebagai berikut: Diketahui bahwa masa pensiuan adalah masa yang butuh penyesuaian karena telah berakhirnya masa tugas, hal tersebut membuat seorang pensiunan kepala sekolah harus bisa menyesuaikan diri sehingga tetap dapat beraktivitas sebagai wujud aktualisasi diri. Begitu juga dalam hal kesiapan mental menghadapi masa pensiun, seorang pensiunan kepala sekolah yang dapat mengaktualisasikan diri adalah mereka yang dari jauh hari sudah mempersiapkan mental untuk memasuki masa pensiun sehingga ketika memasuki masa pensiun meraka tidak mengalami kecemasan yang berlebihan. Para pensiunan kepala sekolah yang berhasil mengaktualisasikan dirinya adalah mereka yang mampu memberdayakan pengalaman hidupnya, pengetahuan yang dimiliki, dan kreativitas yang membuat hidup mereka tidak kehilangan arti. Kemampuan untuk bersosialisasi juga menjadi kunci keberhasilan para pensiunan kepala sekolah yang mengaktualisasikan dirinya, mereka dapat mengoptimalkan peran mereka di masyarakat sehingga peran dan kehadirannya masih sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dapat dilihat juga dari cara mereka mencurahkan kasih sayang terhadap keluarga, mereka tanpa ragu untuk mengungkapkan kasih sayang kepada orang yang mereka sayangi. Pensiunan kepala sekolah yang berhasil mengaktualisasikan diri adalah mereka yang berhasil mengatasi kecemasan dan kecenderungan negatif saat memasuki masa pensiun sehingga dapat terus berkarya, berperan, dan bersosialiasi terhadap lingkungan.
18
3. Proses aktualisasi diri pada pensiunan kepala sekolah, adalah sebagai berikut: Sejak awal subjek memang telah memperseiapkan segala sesuatunya untuk mesa pensiuan, dari segi mental subjek telah mempersiapkan diri dengan menganggap bahwa jabatan yang dipegangnya bukanlah untuk selamanya sehinga saat memasuki masa pensiun subjek sudah siapa mental. Dari sisi finansial subjek telah berusaha untuk menabung dan berinvestasi sebagai bekalnya dalam memasuki masa pensiun. Kemudian subjek juga telah memiliki aktivitas yang telah disiapkan untuk mengisi masa pensiun sebagai wujud aktualisasi dirinya. Pada awal subjek pensiuan, subjek memang mengalami kecemasan tetapi dengan kempuan subjek menyesuaikan diri akhirnya subjek dapat mengatasinya. Kemudian subjek memfokuskan diri pada aktivitas yang telah disiapkan untuk mengisi masa pensiun yang kemudian dijalaninya dengan sepeneuh hati dan sebaik mungkin. Saat ini, subjek telah memiliki peran di masyarakat yang membuatnya dapat mengaktualisasikan diri dengan modal pengalaman dan pengetahuian yang dimilikinya. Subjek juga memiliki kemampuan utnuk tetap berkarya sehingga kreativitasnya tidak pernah berhenti. Untuk kedepannya, subjek berharap tetap memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya dimana hal tersebut akan terwujud jika kondisi kesehatan subjek tetap baik.
H. SARAN 1. Untuk Subjek Berdasarkan gambaran aktualisasi diri yang baik pada subjek, diharapkan agar subjek dapat mempertahankan aktualisasi dirinya dalam menghadapi dan mengisi masa pensiun sehingga dapat terus berkarya dan beraktivitas sesuai dengan kapasitasnya. Bahkan sangat diharapkan untuk terus mengembangkan kemampuannya dan terus berperan serta dalam aktivitas sosial, dengan demikian subjek dapat terus mengaktualisasikan diri di masa pensiunnya. 2. Untuk Keluarga Subjek Bagi keluarga subjek diharapkan dapat terus memberikan perhatian dan memotovasi subjek, termasuk memberikan perhatian lebih pada kondisi kesehatan subjek sehingga subjek dapat terus beraktivitas sesuai dengan kapasitasnya.
19
3. Untuk Penelitian Selanjutnya Saran bagi penelitian selanjutnya adalah perlu diadakan penelitian yang lebih fokus dengan banyaknya elemen yang menunjang terjadinya aktualisasi diri, maka sangat diperlukan waktu dan intensitas yang lebih banyak dalam tatap muka dengan subjek, sehingga penelitian lebih mendalam.