BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Umat manusia merupakan makhluk yang dilengkapi dengan kamampuan berpikir yang melebihi makhluk-makhluk bumi lainnya untuk mengatasi segala bentuk kesulitan hidup. Kemampuan berpikir yang dimiliki itu telah menjadi faktor penting dalam menciptakan berbagai upaya ideologis untuk menata kehidupan di muka bumi. Selain perang dan damai, upaya ideologis yang lain pun dilakukan untuk menata kehidupan yang dicita-citakan, yaitu suatu kehidupan esensial yang lebih baik dari masa ke masa. Salah satu upaya ideologis tersebut adalah apa yang kemudian disebut dengan demokrasi (democracy). Istilah demokrasi, sebagai fenomena global, tentunya sudah sangat familiar dalam kehidupan setiap manusia. Jika demokrasi Yunani merupakan entitas yang ditemukan dan terbatas pada sistem politik pemerintahan, kini demokrasi adalah suatu hal yang telah mengalami tranformasi ideologis menjadi way of life, menyangkut setiap segi dan bidang kehidupan manusia. Ide demokrasi, sebagai sebuah ideologi yang bersifat universal, diyakini sebagai satu-satunya hasil karya pikir manusia yang dapat menghadirkan cita-cita tertinggi kehidupan manusia di dunia, seperti: kebebasan, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Dalam masalah kebebasan, masyarakat dihadapkan pada beberapa realitas kebebasan,
di antaranya:
kebebasan pers,
kebebasan
berpendapat, kebebasan berorganisasi, dan seterusnya. Selain runtuhnya sistem yang lama, terbukanya akses, dan pemberdayaan setiap orang, akan datang
1
2
kebebasan dan kebahagiaan individu yang terus meningkat (Zakaria, 2004: 17). Segala yang terkait dengan demokrasi, sebagai ideologi yang dinilai paripurna, sepenuhnya dianggap baik. Popularitas demokrasi yang terus meningkat itu kemudian menyebabkan kekaburan dalam membedakan rezim demokratis dan non-demokratis. Mayoritas rezim di dunia berupaya menyatakan diri sebagai rezim demokratis atau berada pada tahapan menuju demokratis, bahkan, rezim diktator sekalipun percaya bahwa terdapatnya satu dua kata tentang demokrasi merupakan syarat keabsahan pemerintahan (Dahl, 1992: xii). George Sorensen, dalam karyanya Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World, juga mengemukakan hegemoni demokrasi yang terus meluas tersebut. Indikasi kemajuan demokrasi sebagai ideologi yang sangat berpengaruh terlihat dari banyaknya negara yang menganut demokrasi atau bergerak dalam ranah „menjadi negara demokratis‟. ―A statement often repeated nowadays, in both scholarly circles and the mass media, is that democracy has made great progress throughout the world in a brief period of time. In Eastern Europe, totalitarian systems have been replaced by democracies; in Africa, one-party systems headed by a strongman who maintains personal control of the state are challenged by opposition forces exploiting newly gained political liberties; in Latin America, the military dictatorships have crumbled; in many Asian countries, authoritarian systems are moving—or being forced to move—in a democratic direction‖ (Sorensen, 2008: 1) Bertolak dari pandangan kedua tokoh di atas, serta berdasarkan kenyataan bahwa demokrasi telah dianut oleh negara dan kelompok masyarakat secara universal dan kemudian melahirkan ketergantungan (dependence) terhadap demokrasi inilah yang menciptakan universalitas demokrasi. Kenyataan yang semakin menguat tersebut menjadikan interaksi masyarakat global tidak dinamis.
3
Semua aktifitas kemanusiaan maupun politis, mulai dari penguasa sampai orang biasa, terarah pada satu orientasi saja, yaitu penegasan diri sebagai pendukung demokrasi. Setiap individu terjebak dalam keyakinan sempit dan keharusan mewujudkan demokrasi. Jika tidak dalam posisi tersebut, maka dunia akan memusuhinya. Realitas politik inilah yang selanjutnya penulis menyebutnya dengan „klaim demokrasi‟. Pada level negara, tidak ada satupun negara di dunia ini yang rela apabila kebijakan-kebijakannya dituduh berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Singkatnya, demokrasi adalah kebutuhan bersama setiap orang. Doktrin tersebut terus bertahan dan menguat sampai saat ini seiring populernya wacana globalisasi dan internasionalisasi yang mengandaikan adanya saling keterhubungan yang tidak dapat ditolak antara manusia di seluruh dunia pada setiap level kehidupan. Hal ini tentu terkait dengan adanya klaim kaum globalis sekaligus sebagai dalil teoritis globalisasi yang mengatakan bahwa globalisasi akan membawa iklim demokrasi ke seluruh dunia (Qodir, 2009 : 234). Konsekuensi dari universalisalitas demokrasi kini dapat diamati dari banyaknya varian demokrasi, mulai pembagian demokrasi formal atau prosedural dan substansial sampai varian-varian demokrasi yang lebih spesifik dan religius, seperti demokrasi islam. Tanpa kuasa untuk menolak, masyarakat dunia pun dihadapkan pada harapan-harapan besar dengan hadirnya demokrasi. Akibatnya, keyakinan bahwa kedamaian, kesejahteraan, kebebasan, dan kondisi kehidupan ideal lainnya hanya dapat dicapai melalui demokrasi terus menguat.
4
―The swift progress of democracy in many countries raised hopes for a better world; the expectations were that democracy would not only promote political liberties and other human rights but would also lead to rapid economic development and increased welfare as well as to international relations characterized by peaceful cooperation and mutual understanding‖ (Sorensen, 2008: 1) Padahal, secara filosofis, kedamaian, kesejahteraan, dan kebebasan merupakan kebutuhan dasariah setiap manusia yang tidak membutuhkan dan mengharuskan hadirnya instrumen demokrasi terlebih dahulu. Siapa pun, individu, kelompok masyarakat, maupun negara, tidak harus menyatakan diri sebagai negara demokratis terlebih dahulu untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, bebas, dan sejahtera. Apabila ditelusuri lebih jauh, seiring menguatnya ideologi demokrasi sebagai satu-satunya jalan mencapai kedamaian, kesejahteraan, dan kebebasan, masyarakat global dihadapkan pada realitas kehidupan yang penuh teror dan rasa takut. Atas nama demokrasi, Amerika Serikat dan sekutu, bebas ikut campur urusan sosial-politik negara lain dan seringkali dengan kekuatan militer yang dimiliki, menyebabkan jatuhnya beberapa penguasa di dunia, di antaranya Saddam Husen di Irak dan Muammar Khadafi di Lybia. Singkatnya, atas nama demokrasi, perang adalah cara yang halal. Keuntungan bangsa Amerika Serikat dalam hal ini adalah bahwa mereka telah mencapai keadaan demokratis tanpa perlu menjalani revolusi demokratis (Tocqueville, 2005: 312) Fenomena universalitas demokrasi yang semakin tidak dapat ditolak tersebut, tentunya berkaitan erat dengan aktivitas sosial dan ekonomi manusia yang terus berkembang berdasarkan semangat globalisme dan industrialisme yang sebenarnya lebih menguntungkan negara-negara maju. Terhadap eksistensi
5
negara, keduanya menuntut keterbukaan dan kebebasan yang luas dan cenderung tanpa batas, bagi setiap individu dalam upaya pencapaian hak-haknya. Pada konteks ideologis, kaum globalis dan industrialis menggunakan demokrasi untuk memenuhi kepentingan utama tersebut. Implikasinya, pilihan menjadi demokratis tidak lagi bertolak pada kebutuhan riil manusia, tapi lebih pada keharusan dan tekanan ideologis. Demokrasi yang dicita-citakan sebagai jalan mencapai kehidupan yang lebih baik berubah menjadi realitas penindasan. Pada konteks inilah, filsafat politik Karl Marx (1818 -1883) sangat relevan dalam melihat realitas demokrasi dewasa ini. Karl Marx merupakan salah satu pemikir besar yang telah berhasil meletakkan dan menjelaskan realitas dan dinamika historitas kehidupan politik manusia berdasarkan basis aktivitas dan hubungan material manusia. Perspektif Marx dalam pembahasan demokrasi sangat dibutuhkan untuk membebaskan manusia dari ideologisasi demokrasi yang berpotensi menindas. Pemikiran Karl Marx tentang realitas politik salah satunya terdapat dalam The German Ideology (1998). Bagi Marx, persoalan konsepsi, ide, dan kesadaran itu merupakan hasil dari aktivitas dan hubungan material manusia sebagai bahasa kehidupan yang nyata (languages of real life) (1998: 42). Demokrasi, sebagai salah satu bagian dari konsepsi dan ide (gagasan) politik yang diciptakan manusia, dengan demikian, merupakan implikasi dari aktivitas dan hubungan material manusia itu sendiri. Ketergantungan pada demokrasi bukan karena sejatinya demokrasi itu baik dan benar, tapi karena konsekuensi dari aktivitas material dan hubungan material manusia yang semakin kompleks.
6
Karena itulah, yang penting bukan modifikasi gagasan demokrasi atau refleksi ideis untuk menjawab pesrsoalan sosial-politik, tetapi refleksi material. Refleksi material terhadap superioritas ide demokrasi akan memberikan sudut pandang baru (new paradigm) ditengah kebingungan dunia dengan gagasan demokrasi yang tidak menentu dan hanya menguntungkan mereka-mereka yang berkuasa.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah penelitian ini dapat dirumuskan dalam tiga pertanyaan, yaitu: 1.
Bagaimana pemikiran Karl Marx tentang realitas politik?
2.
Bagaimana perkembangan demokrasi sehingga melahirkan universalitas demokrasi?
3.
Realitas apakah yang terdapat di balik universalitas demokrasi menurut perspektif filsafat politik Karl Marx?
1.3.
Tujuan Penelitian
Searah dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tiga tujuan berikut: 1.
Menjelaskan pemikiran Karl Marx tentang realitas politik (filsafat politik Karl Marx);
2.
Menginditifikasi aspek filosofis dari perkembangan demokrasi sebagai ideologi politik sehingga melahirkan universalitas demokrasi; dan
7
3.
Melakukan evaluasi kritis terhadap realitas dibalik universalitas demokrasi menurut perspektif filsafat politik Karl Marx untuk membangun konsepsi filosofis yang lebih utuh.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu filsafat dan tindakan praksis. Pertama, bagi perkembangan ilmu filsafat. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian filsafat pada wacana-wacana kontemporer dan faktual, khususnya terkait dengan masalah demokrasi yang semakin menguat, tanpa melupakan hasil pemikiran yang pernah ada. Kedua, bagi tindakan praksis. Saat ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada hegemoni gagasan demokrasi yang bersumber dari Barat. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa praktek demokrasi yang berlaku saat ini menegaskan demokrasi ala liberalisme. Karena itulah, melalui penelitian ini diharapkan, bangsa Indonesia dapat menemukan apa yang tepat buat dirinya tanpa terjebak pada apa yang dipersepsikan oleh Barat. Hegemoni gagasan demokrasi telah menyebabkan kaum intelektual, aktivis politik, pengamat, pemerintah, dan agenagen perubahan (agent of change) lainnya kehabisan waktu hanya untuk membuat gagasan demokrasi dengan sebaik mungkin. Akibatnya, persoalan kesejahteraan rakyat menjadi terlupakan. Kerena itulah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi mereka bahwa kesejahteraan rakyat adalah yang utama dan harus diperioritaskan, caranya dengan melakukan refleksi material.
8
1.5.
Keaslian Penelitian
Berbagai penelitian tentang demokrasi maupun pemikiran Karl Marx tentunya telah banyak dilakukan mengingat popularitas keduanya sudah sangat familiar dan memberikan pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat secara global. Penelitian-penelitian tersebut ada yang menganalisis demokrasi dan pemikiran Karl Marx sampai pada hakikat terdalam atau hanya sekedar menampilkannya secara deskriptif. 1.
Tesis dengan judul Pemikiran Karl Marx Tentang Alienasi: Sejarah, Metode, dan Isi yang dilakukan oleh Bakaruddin R. Ahmad, Program Master Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1991. Penelitian ini mencoba untuk mengungkap dan menelusuri latar belakang historis pemikiran Marx tentang alienasi, cara (metode) Marx menjelaskan alienasi, isi pemikiran Marx tentang alienasi, dan tawaran Marx mengenai jalan keluar dari alienasi. Penelitian tersebut memiliki objek materialnya adalah keterasingan manusia dan epistemologi Karl Marx tentang alienasi sebagai objek formalnya. Adapun penelitian ini berbeda dari segi objek material dan formalnya, yaitu: menganalisis secara kritis persoalan demokarsi (universalitas demokrasi) sebagai objek material, berdasarkan filsafat politik Karl Marx sebagai objek formal.
2.
Karya Georg Sorensen berjudul Democracy and Democratization: Processes an Prospects in Changing World, tahun 1993 dan terbitkan oleh Westview Press. Beberapa hal yang terdapat dalam hasil penelitian ini telah peneliti
9
kemukakan pada bagian latar belakang. Penelitian Sorensen tersebut mencoba menguji proses dan prospek dari harapan-harapan besar manusia terhadap demokrasi yang tidak hanya terbatas pada masalah kebebasan politik dan hak asasi manusia, tapi juga terhadap masalah perdamaian dan kesejahteraan. Penelitian ini mengungkap dua konsekuensi demokrasi: konsekuensi domestik
(terkait
dengan
masalah
kesejahteraan),
dan konsekuensi
internasional (terkait dengan masalah perdamaian). Penelitian di atas menggunakan demokrasi sebagai objek material dan objek formalnya adalah filsafat sosial dan filsafat politik. Berbeda dari segi objek material dan formalnya, penelitian akan menganalisis secara kritis persoalan demokarsi (universalitas demokrasi) sebagai objek material, berdasarkan filsafat politik Karl Marx sebagai objek formal. 3.
Nur Sayyid Santoso Kristeva dalam tesisnya Negara Marxist dan Revolusi Proletariat yang telah diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, tahun 2011. Penelitian ini bermaksud menelusuri konsep Karl Marx tentang negara dan revolusi sosial serta tugas-tugas proletariat di dalam revolusi sosial tersebut. Penelusuran terhadap konsep-konsep Karl Marx itu diawali dengan pengungkapan tentang latar historis pemikiran, filsafat dasar aliran materialisme, peta pemikiran materialisme dialektik dan historis, kritik ekonomi politik, perjuangan kelas dan doktrin sosialisme-komunisme. Pada penelitian ketiga objek materialnya negara dan revolusi proletariat dan objek formalnya adalah filsafat sosial dan filsafat politik Karl Marx. Adapun penelitian ini menggunakan demokarsi (universalitas demokrasi) sebagai objek material, dan filsafat politik Karl Marx sebagai objek formal.
10
4.
Penelitian dengan judul Hakikat Demokrasi Menurut Muhammad Hatta: Relevansinya dengan Pengembangan Otonomi Daerah oleh Drs. Mat Jalil, M. Hum, Program Doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 2012. Penelitian ini bermaksud melakukan interpretasi kritis dan menemukan konsep demokrasi Muhammad Hatta serta merefleksikan konsep tersebut dengan pengembangan otonomi daerah. Objek material penelitian kelima adalah demokrasi, sedangkan objek formalnya filsafat sosial Muhammad Hatta. Berbeda dari segi objek material dan formalnya, yaitu: menganalisis secara kritis persoalan demokarsi (universalitas demokrasi) sebagai objek material, berdasarkan filsafat politik Karl Marx sebagai objek formal.
1.6. Tinjauan Pustaka Demokrasi, sebagai ideologi dan institusi politik, harus diakui telah mengalami tranformasi, baik secara konseptual dan historis. Menurut Schumpeter, doktrin klasik demokrasi menyatakan bahwa metode demokratis berkaitan dengan pengaturan kelembagaan dalam rangka mencapai keputusan-keputusan politik yang bersandar pada kebaikan umum dengan membuat masyarakat memutuskan masalah-masalahnya
sendiri
melalui
pemilihan
individu-individu
untuk
berkumpul dalam rangka melaksanakan kehendaknya (1976: 260). Pernyataan Schumpeter tersebut senada dengan himbauan ajaran klasik demokrasi bahwa rakyat harus berdaulat; rakyat seharusnya memerintah diri sendiri dan tidak menyerahkan kekuasaannya kepada ototritas lain manapun (Hardiman, 2009: 125) Doktrin yang berasal dari abad kedelapan belas tersebut
11
terus mengalami perkembangan. Saat ini, pembahasan tentang demokrasi tidak dapat lagi ditekankan hanya pada sebagai cara bagaimana sebuah negara atau masyarakat kota diperintah, tapi juga terkait dengan cara bagaimana manusia mengatur kehidupannya secara umum. Kenyataan ini tentunya berimplikasi pada perdebatan yang tiada putusnya. Georg Sorensen dalam karyanya, Democracy and Democratization: Processes and Prospects in Changing World (2008), menyatakan: ―Democracy is a form of government in which the people rule. The concrete way in which democracy should be organized and the conditions and preconditions it requires have been intensely debated for centuries. Indeed, the early contributions to this discussion go back to ancient Greece‖ (Sorensen, 2008: 3) Pernyataan Sorensen di atas memberikan gambaran tentang demokrasi sebagai ideologi politik yang dihadapkan pada perdebatan terus menerus secara konseptual, terutama mengenai kondisi dan prakondisi yang dibutuhkan dalam demokratisasi. Lebih lanjut, Sorensen mengemukakan pendiriannya dalam kaitannya dengan masalah demokrasi. Baginya, ada tiga persoalan penting terkait dengan masalah demokrasi, yaitu: arti demokrasi yang diperdebatkan; ide tentang demokrasi yang relevan; dan kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang mempengaruhi kualitas sebuah demokrasi. Hal ini termuat dalam ungkapan berikut: ―I contend that anyone who wants to understand democracy and its present position in the world must have an awareness of the most important debates about the meaning of democracy, a notion of the core features of democracy relevant for today‘s world, and an understanding of how economic, social, and cultural conditions affect the quality of democracy‖ (Sorensen 2008: 3) Keberadaan demokrasi juga telah menciptakan harapan-harapan besar pada setiap orang yang mulai prustasi atas penderiataan hidup akan kemiskinan
12
dan konflik berkepanjangan. Demokrasi diharapkan tidak hanya dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan stabil, tapi juga dapat mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian. Dua konsekuensi demokrasi yang juga disoroti oleh Georg Sorensen dalam Democracy and Democratization. Terkait dengan konsekuensi yang pertama, Sorensen berkomentar: ―The scholars who have addressed this issue are not all optimists; some even see a trade-off between political democracy on the one hand and economic development on the other. The main standpoints in the theoretical debate are outlined, and the empirical studies addressing the question are surveyed. I reject the notion of a general trade-off between democracy and economic development, and I demonstrate why economic development and welfare improvement will not necessarily be forthcoming from the new democracies.‖ (2008: 99) Istilah trade-off yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah sebuah kondisi ketidaksinambungan antara dua varibel yang dianggap terkait erat. Yaitu, antara demokrasi politik dan pembangunan ekonomi yang diyakini akan mewujudkan kesejahteraan itu. Harus diakui pula, diantara ilmuwan memang ada yang meyakini bahwa demokrasi politik akan melahirkan kesejahteraan, namun tidak sedikit pula yang meragukannya (pesimistis). Adapun
terkait
dengan
konsekuensi
yang
kedua,
Sorensen
mengetengahkan argumen utama: ―The scholarly debate contains widely diverging views. One school of
thought expects profoundly positive consequences from the spread of democracy; another rejects the importance of democracy for international relations.‖ (2008: 131) Perdebatan-perdebatan yang terjadi dikalangan para ilmuwan, baik yang menfokuskan pada masalah keterkaitan demokrasi dengan kesejahteraan maupun dengan perdamaian ternyata tidak mengurangi harapan masyarakat dunia terhadap
13
demokrasi akan kondisi ideal, seperti kesejahteraan dan perdamaian, yang bisa diwujudkan. Sebabnya sangat jelas bahwa adanya perdebatan itu sendiri merupakan implikasi dari keberadaan demokrasi. Terbukanya ruang untuk berdebat akan segala persoalan, termasuk mengenai persoalan demokrasi, yang mengindikasikan tidak adanya praktik kediktatoran dapat dikatakan sebagai inti dari gagasan demokrasi. Gagasan demokrasi lahir sebagai koreksi terhadap pemerintahan kaum aristokrat, oligarki, monarki, atau tirani, yang membatasi keikutsertaan lebih banyak orang dalam jalannya sistem pemerintahan, menguasai sumberdaya dan lembaga yang diperlukan dalam pelaksanaannya (Dahl, 1992: 4). Hipotesa ini terus bertahan sampai saat ini seiring semakin kompleksnya persoalan-persoalan kehidupan umat manusia. Demokrasi lahir sebagai perlawanan terrhadap setiap bentuk intimidasi dan pembatasan hak hanya pada segelintir orang. Eksistensi demokrasi berarti adanya kebebasan. Konsepsi ini akan memnggiring kita pada konsep otonomi demokrasi (democratic autonomy) David Held dalam karyanya Models of Democracy (1987). Menurut Held, dalam demokrasi, setiap orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya. ―Persons should enjoy equal rights and, accordingly, equal obligations in the specification of the political framework which generates and limits the opportunities available to them; that is, they should be free and equal in the processes of deliberation about the conditions of their own lives and in the determination of these conditions, so long as they do not deploy this framework to negate the rights of others‖ (1987: 271) Konsepsi Held diatas mengindikasikan bahwa gagasan atau ide demokrasi seharusnya dapat menciptakan kebebasan dan kesetaraan bagi setiap orang dalam menentukan arah hidupnya. Lebih lanjut, hak yang dimaksud Held dalam
14
pernyataannya tersebut, selain mengacu pada hak politik juga menyangkut hak ekonomi dan sosial. ―Without tough social and economic rights, rights with respect to the state could not be fully enjoyed; and without state rights new forms of inequality of power, wealth and status could systematically disrupt the implementation of social and economic liberties‖ (1987: 285) Pernyataan di atas menegaskan akan pentingnya realitas material bagi terwujudnya sebuah negara ideal yang dalam perspektif Held semua itu dapat diwujudkan melalui jalan demokrasi. Artinya, negara demokratis adalah negara yang tidak hanya memberikan hak-hak politik pada warganya, tapi juga sosial dan ekonomi, sehingga akan terwujud kebebasan dalam masyarakat. Sementara itu, secara historis perkembangan demokrasi dalam konteks demokratisasi atau proses menjadi demokratis suatu masyarakat, dihadapkan pada dua gelombang yang saling berseberangan, yaitu, gelombang anti demokrasi dan gelombang demokrasi. Gelombang anti demokrasi terjadi antara akhir 1950-an yang kemudian berlanjut pada era 1960-an sampai akhir 1970-an, sedangkan gelombang demokrasi berlangsung mulai pertengahan 1970-an sampai 1990-an (Markoff, 2002: 2). Setiap gelombang ditandai dengan perubahan politik dengan proses yang berbeda. Apabila gelombang demokrasi berlangsung dengan cara reformasi atau revolusi, maka, gelombang anti demokrasi berlangsung dengan cara tranformasi menuju cara-cara yang tidak demokratis (Markoff, 2002, 2-3). Pemetaan ini mengisyaratkan bahwa gelombang demokrasi dapat dipahami dalam dua wajah atau penampilan (appearance) yang kontradiktif, yaitu: pertama, demokratisasi adalah suatu bentuk perubahan politik, dan kedua, demokratisasi dapat terjadi dengan jalan damai maupun kekerasan.
15
Di lain pihak, tidak hanya proses demokratisasi yang terwujud dalam dua wajah kontradiktif, cita-cita demokrasi juga tampil dalam dua wajah kontradiktif. Haryatmoko,
dalam
tulisannya
Etika
Politik
dan
Kekuasaan
(2003),
mengemukakan: ―Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidakadilan dan membuat pengorganisasian kehidupan kolektif menjadi lebih rasional. Selain itu, demokrasi sering dianggap akan melindungi kebebasan warganegara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Orang begitu percaya kepada sistem politik ini sehingga demokrasi seakan identik dengan kebebasan, hormat terhadap martabat manusia, kesamaan, keadilan, keamanan dan pertubuhan ekonomi. Demokrasi dianggap sebagai pengorganisasian kehidupan bersama yang paling mencerminkan kehendak umum karena tekanan pada partisipasi, representasi, dan akuntabilitas‖ (2003: 91) Namun, kepercayaan dan harapan yang kemudian ikut serta menciptakan universalitas dmokrasi tersebut dihadapakan pada kekecewaaan-kekecewan. ―Orang kecewa ketika menyaksikan dan mengalami bahwa demokrasi tidak otomatis menghasilkan apa yang diharapkan itu. Ironisnya demokrasi harus lahir melalui konflik yang berkepanjangan; kerusuhan terjadi dimanamana; pertumbuhan ekonomi tidak juga menampakkan batang hidungnya, bahkan pengangguran semakin merajalela; banyak kasus dimana pertumbuhan ekonomi bisa terwujud tanpa demokrasi; tiadanya rasa aman karena kriminalitas semakin meluas dan nekat; korupsi tidak juga mereda; angka kemiskinan semakin tinggi‖ (2003: 91-92) ―Kebanyakan negara demokrasi cenderung meminggirkan kelompok minoritas yang pada dasarnya sudah dalam posisi rentan‖ (2003: 92) ―Mekanisme politik dalam demokrasi tidak seefektif dan representatif seperti yang dijanjikan karena akhirnya hana beberapa orang yang menjalankan kekuasaan itu‖ (2003: 92) Kecewaan-kecewaan yang bersumber dari cita-cita demokrasi itu ternyata tidak
mengurangi
ketergantungan
masyarakat
global
pada
demokrasi.
Ketergantungan ideologis yang seringkali mengabaikan proses dan nilai-nilai demokrasi sepenuhnya merupakan fenomena politik yang tidak terelakkan. Suatu
16
negara dapat disebut demokratis jika pemerintahannya dibentuk atas dasar kehendak rakyat melalui pemilihan umum yang menunjukkan bahwa rakyat memiliki hak dipilih dan memilih, serta dijaminnya secara hukum hak-hak politik dan sipil rakyat, meskipun negara itu tidak sepenuhnya mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat dan kesataraan politis (Beetham dan Boyle, 2002: 21). Pertanggungjawaban setiap ideologi politik terletak pada kemampuannya dalam mewujudkan kesejahteraan. Kedekatan demokrasi dengan tuntutan untuk kesejahteraan pada umumnya sangat terasa di negara-negara Dunia Ketiga yang masih berkutat dalam persoalan kemiskinan tanpa kemudian melupakan apa yang terjadi di negara-negara maju. Kenyataan ini pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan teorisasi demokrasi itu sendiri. Menurut Mohtar Mas‟oed (1999: 2), teorisasi demokrasi dapat dilihat dalam dua cara: pertama, dalam dimensi dikotomik negara-masyarakat, yang terjadi adalah perubahan tekanan pencarian variabel independen, yaitu mula-mula pada sisi masyarakat, kemudian berubah ke negara dan akhir-akhir ini kembali lagi ke penekanan pada variabel masyarakat; dan kedua, teorisasi politik mengenai demokrasi sejak 1970-an berbeda dengan sebelumnya terutama karena sebagian besar perdebatan dewasa ini sebetulnya mengenai proses redemokratisasi, yaitu, transisi menuju demokrasi dalam sistem politik yang sebelumnya pernah demokratis tetapi saat itu sedang dikunkung otoriterisme. Satu hal yang harus menjadi catatan penting adalah implikasi dari teorisasi demokrasi akan melahirkan varian konseptual dan gagasan demokrasi. Joshua Cohen, dalam hal ini berkomentar: ―Democracy comes in many forms, and more determinate conceptions of it depend on an account of membership in the people
17
and, correspondingly, what it takes for a decision to be collective – authorized by citizens as a body‖ (Cohen dalam Jon Elster, 1998: 185). Artinya, demokrasi dapat saja terwujud dalam bentuk-bentuk yang berbeda, tetapi bahwa itu bersumber dari satu kata „demokrasi‟ adalah niscaya dan tidak dapat ditolak. Kepercayaan yang kuat atas sempurnanya teori politik demokrasi belum dapat tergoyahkan secara filosofis, sosiologis, maupun dalam format
yuridis
ketatanegaraan; demokrasi dipercayai sebagai gagasan universal yang dapat diterima dalam ragam perspektif (Nurtjahjo, 2006: 1-2).
1.7. Landasan Teori Istilah universalitas demokrasi, paling tidak, mengacu pada realitas demokrasi yang dikemukakan Robert A. Dahl dan Georg Sorensen. Sebagaimana telah peneliti kemukakan pada bagian pendahuluan bahwa: pertama, mengikuti argumen Robert A. Dahl, kebanyakan rezim berusaha menyatakan dirinya demokrasi, dan rezim yang tidak demokratis seringkali bersikeras menyatakan bahwa keadaan khusus mereka yang tidak demokrastis itu merupakan suatu tahap yang penting untuk akhirnya sampai pada demokrasi. Adapun yang kedua, mengikuti argumen Georg Sorensen bahwa alasan yang mendasari argumen kemajuan pesat dari demokrasi adalah dalam waktu singkat, banyak negara memulai suatu proses demokratisasi. Universalitas demokrasi merupakan suatu kondisi ketergantungan manusia terhadap demokrasi. Demokrasi diyakini sebagai satu-satunya gagasan politik yang relevan dalam mewujudkan cita-cita kemanusiaannya.
18
Universalitas demokrasi kemudian melahirkan demokrasi dalam berbagai varian yang bersumber upaya terus-menerus memperbaiki konsepsi demokrasi. Mulai dari yang formal dan substansial, sampai yang berupaya memadukan demokrasi dengan nilai-nilai agama, misalnya demokrasi Islam. Pada level negara, masing-masing negara memiliki versinya sendiri. Namun, bahwa semua itu bersumber pada satu kerangka ideologi demokrasi adalah faktual adanya. Bahkan, pada level privat, demokrasi telah menjadi way of life, orang sangat bangga ketika dirinya disebut sebagai pribadi demokratis. Pilihan menjadikan demokrasi tidak bertolak pada kebutuhan riil manusia, tetapi pada konstruksi berfikir yang sudah meluas secara global bahwa hanya dengan demokrasi, sebuah negara atau kelompok masyarakat dapat mewujudkan perdamaian, kesejahteraan, keadilan, dan cita-cita ideal lainnya. Pada aspek yang lebih radikal, tidak penting bagi sebuah negara apakah kekuasaan yang ada lahir dari proses demokratisasi yang sesungguhnya atau tidak. Hal itu tidak mengurangi keyakinan bahwa negara tersebut sebagai negara demokratis, apalagi para penguasanya sangat serius dalam mewujudkan cita-cita luhur kemanusiaan. Karena itulah, persoalan demokrasi adalah realitas politik yang harus dikritisi dalam kerangka filsafat poltik. Filsafat politik merupakan refleksi untuk memperdalam segi-segi politik dan dengan upaya ini kehidupan politik dapat mengungkap struktur-strukturnya, maknanya dan nilainya (Haryatmoko, 2003: 4-5). Sementara itu, Kaelan menyatakan bahwa filsafat politik merupakan bidang filsafat khusus yang membahas tentang hakikat politik, yaitu berkaitan dengan hakikat kehidupan
19
manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, bangsa, dan negara (Kaelan, 2005: 44). Filsafat politik. sebagai bidang kajian kefilsafatan, memiliki tugas yang khas. Pertama, filsafat politik tidak mendeskripsikan fakta, tetapi membangun konsep-konsep politik semakin dipahami secara mendalam; kedua, mencoba menjelaskan konsep-konsep, prinsip-prinsip, cara penalaran khas praktik institusiinstitusi dan ideologi-ideologi politik; dan ketiga, menganalisa secara refleksif, menyingkap dan mendiskusikan secara kritis isi normatif yang ada dalam koteks sosio-budaya (Haryatmoko, 2003: 3, 5, dan 9). Berdasarkan ketiga tugas politik tersebut, penelitian ini mengacu pada tugas yang kedua dan ketiga. Haryatmoko (2002: 13), juga memandang filsafat politik tidak sama dengan pencarian kebenaran dalam empiris, namun bukan pula suatu bentuk elaborasi ideologi. Karena itulah, tugas filsafat yang kedua dan ketiga sangat tepat sebagai pendekatan teoritis penelitian ini. Singkatnya, dalam filsafat politik, ideologi diuji dan dibongkar sedemikian rupa sampai menemukan kebenaran sejati di balik fenomena. Terkait dengan masalah demokrasi, dalam perkembangannya, filsafat politik dituntut untuk memahami kebaharuan yang berkembang dewasa ini seperti transformasi negara, demokrasi, kewarganegaraan, kekerasan politik, dan kecenderungan pada primordialisme (Haryatmoko, 2003: 6). Selain itu, filsafat politik juga dihadapkan pada permasalahan klasik keilmuan, yaitu terjebak pada normativitas dan utopia tanpa semangat untuk mengubah realitas. “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan pelbagai cara, padahal yang terpenting adalah
20
bagaimana mengubahnya” (The German Ideology, tesis kesebelas). Karena itulah, selain menjadikan sifat refleksif sebagai dimensi khasnya, kekuatan filsafat politik terletak pada cara menjelaskan dan mengorganisir secara keheren norma-norma atau nilai-nilai yang terdapat dalam penafsiran moral suatu situasi sosial tertentu (Haryatmoko, 2003: 10). Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, terkait dengan fenomena universalitas demokrasi maka dapat dirumuskan kategori-kategori analisis sebagai berikut: pertama, filsafat politik berupaya mengungkap struktur, makna, dan nilai dari universalitas demokrasi; kedua, filsafat politik berupaya mengungkap hakikat dari universalitas demokrasi terkait dengan eksistensi masyarakat, bangsa dan negara; ketiga, filsafat politik berupaya membongkar konsep-konsep yang kabur dan muatan ideologis dalam universalitas demokrasi. Filsafat politik Karl Marx bersumber pada konsepnya tentang materialisme historis. Perspektif Karl Marx tentang realitas politik adalah bahwa: ―The way in which men satisfy their wants constitutes the foundation of society. Their social and political system are the superstructure which they erect on this foundation‖ (Schmandt, 1960: 388) ―The production of the immeditely requisite means of subsintence, therefore, constitutes the foundation upon which social institutions and ideas are built ― (1960: 388-389) Berdasarkan kutipan di atas, ada tiga poin yang menjadi titik tolak filsafat politik Karl Marx, yaitu: pertama, cara manusia memenuhi kebutuhannya menjadi pondasi masyarakat; kedua, sistem sosial dan politiknya merupakan super struktur yang dibangun di atas pondasi cara pemenuhan manusia memenuhi kebutuhan tersebut; dan ketiga, pembentukan sarana untuk memenuhi kebutuhan material
21
menjadi pondasi yang di atasnya institusi sosial dan ide-ide dibangun. Rumusan tersebut bersumber dari konsep materialisme historis yang dibangun Karl Marx dalam melihat realitas kehidupan manusia dan perkembangannya, khususnya realitas politik. Secara sederhana, materialisme historis berarti bahwa cara memproduksi kebutuhan hidup pada akhirnya menentukan ide-ide dan institusi-institusi sosial (historical materialism means that the manner of producing the quirements of life determines in the last instance the social ideas and institutions of an era) (Schmandt, 1960: 389). Artinya, sejauh mana efektifitas sebuah gagasan politik sangat tergantung pada cara manusia memproduksi kebutuhan hidupnya. Maka, dapat ditarik sebuah generalisasi bahwa adanya universalitas demokrasi sebenarnya lahir dari perkembangan cara manusia dalam memproduksi kebutuhan hidupnya. Hal ini searah dengan pernyataan berikut: ―The social structure and the state are continually evolving out of the lifeprocess of definite individuals, however, of these individuals, not as they may appear in their own or other people‘s imagination, but as they actually are, i.e., as they act, produce materially………‖ (Marx and Engels, 1998: 41) Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa filsafat politik Karl Marx sangat menekankan pada aktivitas material. Sebuah struktur sosial, termasuk dalam masyarakat demokratis, merupakan implikasi dari apa yang masyarakat tersebut lakukan dan produksi untuk memenuhi kebutuhannya, bukan terletak pada apa yang dipahami dan imaginasi orang lain diluar mereka. Filsafat politik Karl Marx, dengan demikian, memberikan orienrtasi berbeda dalam pembahasan demokrasi. Jika selama ini orang bertolak dari gagasan demokrasi dengan segala variannya untuk menata kehidupan riil, filsafat
22
politik Karl Marx bertolak dari realitas kehidupan riil manusia untuk menguji gagasan demokrasi. Corak dan varian demokrasi ditentukan oleh aktivitas dan hubungan material, bukan sebaliknya.
1.8.
Metode Penelitian
1.8.1. Model Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan refleksi filosofis. Paradigma penelitian kualitatif adalah model penelitian ilmiah yang meneliti kualitas-kualitas objek penelitian seperti misalnya, nilai, makna, emosi manusia, penghayatan religious, keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, simbol-simbol, dan artefak tertentu (Kaelan, 2005: 28). Sedangkan, pendekatan refleksi filososfis penting karena penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran yang mendasar; menemukan makna, dan inti dari segala inti (Bakker, 1990: 15). 1.8.2. Bahan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan berbasis pada studi kepustakaan. Datadata yang akan peneliti gunakan berupa dokumen-dukumen sekunder terkait dengan demokrasi dan materialisme historis Karl Marx. Bahan untuk objek material, terutama karya-karya berikut: a)
Joseph A. Schumpeter, 1976, Capitalism, Socialism, and Democracy, Allen and Unwin, London.
b) David Held, 1987, Models of Democracy, Polity Press, Cambridge. c.
Robert A.Dahl, 1992, Democracy and It‘s Critics, (terj.), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
23
c)
John Markoff, 2002, Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, (terj.), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
d) George Sorensen, 2008, Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World, Westview Press, Colorado. Sedangkan, sebagai objek formal, khusus mengenai pemikiran Karl Marx tentang realitas politik, peneliti mengacu kepada beberapa karya penting, terutama: a)
Karl Marx and Frederick Engels, 1948, Manifesto of the Communist Party, International Publisher, New York
b) Karl Marx, 1978, Capital, J.M. Dent and Sons Ltd, London. c)
Karl Marx, 1977, Selected Writings, Oxford University Press, Oxford.
d) Karl Marx, 1998, The German Ideology, Prometheus Books, Amherst, New York. 1.8.3 Cara Penelitian Langkah-langkah penelitian yang dilakukan meliputi: inventarisasi data, pengorganisasian data, analisis data, penyususnan draft hasil penelitian, dan penyusunan laporan hasil penelitian. a.
Inventarisasi Data Inventarisasi data dimaksudkan untuk mencari bahan-bahan kepustakaan baik berupa buku, artikel, jurnal maupun sumber-sumber dari internet yang berkaitan dengan perkembangan demokrasi dan filsafat politik Karl Marx.
b.
Pengorganisasian Data Pengorganisasian data dilakukan dalam tiga tahap, antara lain: 1) Reduksi data, yaitu: proses seleksi data tanpa merubah maknanya sesuai dengan objek
24
material
maupun
formal
penelitian);
2)
Klasifikasi
data,
yaitu:
pengelompokan data berdasarkan objek material dan formal penelitian; dan 3) Display data, yaitu: membuat skematisasi yang berkaitan dengan fokus penelitian. c.
Analisis Data Unsur-unsur motodis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: interpretasi, koherensi intern, holistika, kesinambungan historis, idealisasi, dan refleksi kritis. 1. Interpretasi: proses analisa data dilakukan dengan mengungkap, menerakan, dan menjelaskan aspek filosofis dari fenomena yang diteliti, berupa struktur-struktur dan norma-norma yang terkandung didalamnya dan dikemudian dievalusasi secara kritis. 2. Koherensi intern: analisa data menfokuskan pada upaya mengungkap halhal yang bersifat filosofis yang melatarbelakangi kemunculan sebuah fenomena atau peristiwa. 3. Holistika: analisa data yang dilakukan berupaya untuk membangan cakrawala pemikiran yang menyeluruh. 4. Kesinambungan historis: proses analisa data yang dilakukan terhadap objek penelitian ditempatkan dalam kerangka historis, bagaimana fenomena atau peristiwa itu muncul dan berkembang. 5. Idealisasi: analisa data berupaya untuk menimalisasi inkonsistensi, ketidakselarasan, dan penyimpangan akan pemahaman manusia terhadap fenomena dalam rangka membangun konsepsi filosofis yang mendasar dan universal.
25
6. Refleksi kritis: analisa data berorientasi pada upaya membangun konsepsi yang lebih bersifat kontekstual sehingga mampu menjawab persoalanpersoalan aktual. d.
Penyusunan Draft Hasil Penelitian.
e.
Penyusunan Laporan Penelitian.
1.9. Sistematika Penulisan BAB I: PENDAHULUAN Bab pertama ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II: FILSAFAT POLITIK KARL MARX Pada bab kedua, peneliti akan menjelaskan biografi singkat Karl Marx dan pemikiran Karl Marx yang terbagi dalam dua poin, yaitu: konstruksi umum pemikiran dan hubungan Karl Marx dengan sosialisme. Terkait dengan kebutuhan penelitian yang peneliti sedang lakukan, pada bab kedua ini pula dijelaskan tentang filsafat politik Karl Marx yang meliputi: dialektika, materialisme historis, ideologi, negara, dan pembebasan (liberasi). Bab III: HISTORITAS DAN TEORISASI UNIVERSALITAS DEMOKRASI Bab ketiga ini memamparkan sejarah singkat demokrasi, konsepsi demokrasi, problem demokrasi yang bersifat historis maupun konseptual, dan masalah universalitas demokrasi yang menjadi objek material penelitian yang peneliti lakukan.
26
BAB IV: UNIVERSALITAS DEMOKRASI: KRITIK DAN AGENDA PEMBEBASAN Bab keempat merupakan inti dari penelitian ini. Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan tentang realitas dibalik universalitas demokrasi dan politik pembebasan (liberasi) sebagai upaya melepaskan masyarakat dari ketergantungan ideologis pada gagasan ideal demokrasi. Selain itu, pada bab ini peneliti juga melakukan refleksi kontekstual terutama menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab V: PENUTUP Bab kelima merupakan bab terkahir penelitian ini. Pada bab ini, peneliti akan membuat kesimpulan hasil penelitian dan memberikan saran.