PUTUSAN Nomor: 01/K/N/1998 ================================= DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara kepailitan dari : 1. PT. Ometraco Corporation Tbk. Berkedudukan di Wisma Bank Tiara lantai 7 dan 8. JI. MT. Haryono Kav. 16 Jakarta Selatan 12810, dalam hal ini diwakili oleh para kuasanya Toni Budidjaja, SH dan Rahmat Bastian, SH. penasehat hukum dari Firma Hukum Dermawan & Co. berkedudukan di The Landmark Centre, Menara B. lantai 27, JI. Jend. Sudirman No. 1 Jakarta 12910, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 11 September 1998, sebagai Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi II dahulu Termohon/Debitur. MELAWAN: 2.1. American Express Bank Ltd Singapore Branch berkedudukan di 10 Collyer Quay lantai 8 Singapore 049318; 2.2. Overseas Chinese Banking Corporation Limited berkedudukan di 65 Chulia Street OCBC Centre, Singapura 049513; 2.3. Royal Bank Of Canada berkedudukan di 140 Cecil Street # 01-00, PIL Building, Singapura 069540 2.4. PT. Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero) berkedudukan di Plaza Exim Podium Barat Level 1, Jalan Gatot Subroto Kav. 36-38 Jakarta 12190 2.5. Union De Banques Arabes Et Franchises Singapore Branch berkedudukan di 6 Temasek Boulevard, # 25-04/05, Suntec Tower Four, Singapura 038986; 2.6. PT. Fuji Bank International Indonesia berkedudukan di Plaza Bit, Tower II, Lantai 24, Jalan MH. Thamrin Kav. 22 Jakarta 10350; 2.7. PT. Bank BII Commonwealth berkedudukan di Plaza Bit Menara II Lantai 5, Jalan MH. Thamrin No. 51 Kav. 22 Jakarta 10350; 2.8. PT. Bank Pembangunan Indonesia (Persero) berkedudukan di Jakarta, bertindak melalui Kantor Cabangnya di Hong Kong beralamat di 1701-3 New World Tower, 16-18 Queen's Road, Central Hong Kong; 2.9. The Commercial Bank Of Korea, Singapore Branch berkedudukan di 5 Shenton Way # 17-03, UIC Building Singapura 068808; 2.10.Industrial And Commercial Bank Limited berkedudukan di 80 Raffles Place, UOB Plaza Singapura 048624; Semuanya dalam hal ini diwakili oleh Para kuasa mereka Sudaraweti S.Kramadibrata dan Bambang SM. Praptomo, SH Advokat dan Pengacara dari Law Firm Kramadibrata Karim Sani Manihuruk, berkantor di Wisma Danamon Aetna Life, Lantai II, Jalan Jend. Sudirman Kav. 4546, Jakarta, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 1 Oktober 1998, sebagai Para Termohon Kasasi I juga Para Pemohon Kasasi II dahulu para Pemohon/Para Kreditur. Dan:
3.1. PT. Bank International Indonesia Tbk. berkedudukan di Bit Plaza Tower II Lantai 21, Jalan MH. Thamrin Kav. 22 Jakarta 10350; 3.2. Bumi Daya Finance International Ltd berkedudukan di lantai 7 Far East Finance Centre, 16 Harcourt Road, Hong Kong; 3.3. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Hong Kong, berkedudukan di G/F. Far East Finance Centre, 16, Harcourt Rd, Hong Kong; Sebagai para Turut Termohon Kasasi dahulu para Pemohon/para Kreditur;
Mahkamah Agung tersebut: Membaca surat-surat yang bersangkutan: Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Para Pemohon Kasasi II dan para Turut Termohon Kasasi yang juga para Termohon Kasasi I sebagai Para Pemohon/Kreditur telah mengajukan permohonan pailit terhadap sekarang Pemohon Kasasi I yang juga Termohon Kasasi II sebagai Debitur dimuka Persidangan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada pokoknya atas dalil-dalil: Tentang Facility Agreement 3 Desember 1996; Bahwa pada tanggal 3 Desember 1996, Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, bersama-sama dengan bank-bank lainnya, yaitu: (i) Banque Paribas, Singapore Branch; (ii) Commerzbank (South East Asia) Ltd; (iii) Commerzbank Aktiengesellschaft, Singapore Branch; (iv) Compagnie Financiere de CIC et del "Union Europeene, Singapore Branch; (v) Credit Lyonnais, Singapore Branch; (vi) DKB Merchant Bank (Singapore) Limited; (vii) The Dai-Ichi Kanggyo Bank, Limited, Singapore Branch; (viii) The Fuji Bank, Limited, Singapore Branch; (ix) Westdeutsche Landesbank Girozentrale, Singapore Branch; (x) Banca Commerciale Italiana, Singapore Branch; (xi) The Bank of Tokyo Mitshubishi, Ltd., Singapore Branch; (xii) Norddeutsche Landesbank Girozentrale, Singapore Branch; (xiii) The Royal Bank of Scotland Pic, Singapore Branch; (xiv) The Sanwa Bank, Limited, Singapore Branch; (xv) Tat Lee Bank Limited; (xvi) Banque Francaises du Commerce Exteriur, Singapore Branch; (xvii) Societe Generate, Singapore Branch; (xviii) The Long Trem Credit Bank of Japan, Ltd, Singapore Branch; (xix) Banque Paribas, Luxemborg; dan (xx) Kreditbank N.V.; telah sepakat untuk memberikan Fasilitas Kredit kepada (I) Debitur, sebuah perseroan terbatas yang merupakan "investment holding Company" kelompok usaha Ometraco Group, yang saham sahamnya telah tercatat di . bursa, dan (II) PT. Ometraco Multi Artha ("OMA"), salah satu anak perusahaan Debitur, Fasilitas Kredit (roll over credit facility) sampai jumlah Maksimum sebesar US$ 125,000,000 (seratus dua puluh lima juta dolar Amerika Serikat) satu dan lainnya sebagaimana diperjanjikan dalam "Roll Over Facility Agreement" ("Agreement") tanggal 3 Desember 1996. Bahwa Agreement dimaksud selanjutnya menentukan antara lain sebagai berikut: - bahwa dari jumlah keseluruhan fasilitas kredit dimaksud di atas (yaitu sebesar US$125,000,000). Debitur akan memperoleh sejumlah minimum US$ 50,000,000 (Lima
puluh juta dolar Amerika Serikat) sedangkan OMA akan memperoleh sejumlah maksimum US$ 75,000,000 (tujuh puluh lima juta dolar Amerika Serikat). - bahwa Debitur sepakat dan mengikat diri untuk menjamin pembayaran yang tepat waktu atas jumlah seluruh uang yang terutang oleh OMA kepada Pemohon I, Pemohon II,. Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V (dan Bank bank lainnya) berdasarkan Agreement dan bahwa sebagai demikian Debitur dianggap bertanggung jawab atas "Guaranteed Amounts" seolah olah Debitur adalah satu-satunya dan utama untuk seluruh jumlah uang yang terutang oleh OMA kepada Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V (dan Bank-bank lainnya). Yang dimaksud dengan "Guaranteed Amounts" sebagaimana ditentukan dalam pasal 17.1 (alinea terakhir) Agreement adalah setiap dan semua jumlah uang yang menurut Agreement ini wajib dibayar OMA kepada Agent atau kepada Bank-bank (atau salah satu dari mereka). Bahwa Agreement ini pada esensinya merupakan suatu perjanjian kredit Sindikasi, berdasarkan perjanjian mana para Kredit sepakat untuk memberikan fasilitas kredit dengan jumlah/komitment yang ditentukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing kreditur (Inggeris : "on several basis"). Demikian pula jumlah-jumlah uang yang terutang (oleh Debitur dan OMA) kepada masing-masing Bank (Kreditur) merupakan hutang hutang yang terpisah dan berdiri sendiri, dan sebagai demikian masing-masing Bank berhak untuk melindungi dan melaksanakan sendiri hak-haknya berdasarkan agreement ini untuk itu tidak ada keharusan bagi Bank (Bank) lainnya atau Agent untuk bergabung dalam mengajukan tuntutan hukum, demikian menurut Pasal 3 Agreement. Bahwa Debitur dan OMA telah melakukan penarikan sejumlah pinjaman pokok US$125.000.000 dari Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V (dan dari Bank-Bank lainnya yang merupakan pihak dalam Agreement). Bahwa pada tanggal 7 Juli 1998 jumlah uang yang terhutang dan tidak dibayar oleh Debitur kepada Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V termasuk hutang pokok berikut bunga yang terutang atasnya (a) dalam kedudukannya selaku penjamin (Guarantor) untuk hutang OMA, satu dan lain berdasarkan Pasal 17.1 dan 17.2 adalah: Hutang langsung Debitur: US$ 14,607,935,60 dan Hutang karena menjamin Hutang OMA: US$15,825,264.15 masing-masing hutang dengan perincian seperti tersebut dalam surat permohonan. Perlu dicatat bahwa selain jumlah yang tersebut di atas Debitur juga berhutang untuk bunga kelalaian yaitu bunga yang dikenakan karena kelalaian pembayaran pada hari bayar yang diperjanjikan (maturity date), ongkos-ongkos dan biaya-biaya bank berdasarkan Agreement. Bahwa kedudukan Pemohon V sebagai kreditur berdasarkan Agreement ini karena adanya pengalihan sebagian piutang yaitu sebesar US$ 2,500,000 (dua juta lima ratus ribu Dolar Amerika Serikat) dari jumlah keseluruhan US$ 10,500,000 (sepuluh juta lima ratus ribu Dolar Amerika Serikat) dari Credit Lyonnais, Singapore branch, satu dan lain berdasarkan dokumen Transfer Certificat tanggal 8 Juni 1998. Bahwa Pasal 8.1 Agreement menentukan bahwa Debitur wajib untuk membayar (kembali) setiap jumlah hutang pokok yang ditariknya berdasarkan Agreement pada "Maturity Date" atau Hari Bayar dari penarikan fasilitas kredit yang bersangkutan. Bahwa dari pasal 8.1. (b) dan Pasal 1.1 Agreement dapat dikatakan bahwa fasilitas (kredit) yang diberikan kepada Debitur dan OMA adalah kredit/pinjaman rekening koran (revolving credit). Dikatakan "revolving" karena Debitur dan OMA, dengan tunduk pada ketentuan-
ketentuan Agreement, berhak untuk menarik "advances" untuk jangka waktu 1, 3 atau 6 bulan. Pada saat berakhirnya masing-masing masa penarikan ("drawing period") Debitur dan OMA wajib membayar kembali jumlah pokok penarikan dan bunganya. Bahwa Hari Bayar berkenaan dengan jumlah-jumlah yang terhutang kepada Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V sebagaimana dimaksud tersebut diatas maupun kepada Bank-bank lainnya telah jatuh tempo. Tidak ada lagi perpanjangan waktu (atau "roll-over") yang diberikan kepada Debitur berkenaan dengan penarikan-penarikan yang telah dilakukan sebelumnya dan yang (masih) terhutang pada saat permohonan ini diajukan. Untuk perpanjangan diperlukan kesepakatan dari semua Bank dan nyatanya kesepakatan itu tidak telah diberikan oleh bank manapun juga. Debitur telah lalai dalam melaksanakan kewajiban untuk membayar jumlah-jumlah uang yang terhutang pada hari-hari bayar yang bersangkutan. Dengan demikian masing-masing dari Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V secara sendiri-sendiri berhak atas pembayaran yang segera atas seluruh jumlah uang yang terhutang dan harus dibayar oleh Debitur. Bahwa, sebagaimana ternyata dari surat Banque Paribas Cabang Singapore tertanggal 3 Februari 1998 yang ditujukan kepada Debitur dan OMA seluruh jumlah uang yang terhutang oleh Debitur kepada Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV dan Pemohon V dan Bank-bank lainnya untuk pertama kalinya jatuh tempo pada tanggal 20 Januari 1998. Namun atas kesepakatan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V bersama-sama dengan Bank-Bank lainnya, hutang tersebut di "roll over" untuk waktu 14 hari, sehingga utang tersebut jatuh tempo pada tanggal 3 Februari 1998. Bahwa surat dari Banque Paribas cabang Singapore selaku Agent tertanggal 3 Februari 1998 tersebut juga menegaskan: (i) bahwa seluruh pinjaman/fasilitas kredit jatuh tempo pada hari itu dibuat: 3 Februari 1998 (ii) bahwa tidak diperoleh kesepakatan bulat ("unanimous consent") bagi perpanjangan selanjutnya (iii) bahwa sebaiknya Bank-bank tidak pula menerima permintaan pemberitahuan untuk roll over (iv) bahwa sebagai akibatnya pinjaman dan bunga atasnya jatuh tempo dan wajib dibayar pada hari ini (v) bahwa selain daripada itu bunga atas pinjaman yang jatuh tempo pada tanggal 20 Januari 1998 belum dibayar dan karenanya dikenakan bunga kelalaian terhitung mulai tanggal 20 Januari 1998 sampai dibayar penuh. Bahwa selanjutnya Surat 3 Februari 1998 memberitahukan bahwa jumlah hutang-hutang pokok dan bunga-bunga yang tidak dibayar adalah sebagai berikut: 1. Jumlah uang secara langsung terhutang oleh Debitur kepada para krediturnya termasuk Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V dan Bank-Bank lainnya yang menjadi kreditur dalam Agreement tanggal 3 Desember 1996 pertanggal 3 Februari 1998 total US$ 60,662,189.95. 2. Jumlah uang yang terhutang karena pinjaman OMA uang dijamin oleh Debitur total US$ 65,717,372.37 dengan perincian seperti tersebut dalam surat permohonan; Selanjutnya Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V menagih jumlah uang yang terhutang dan wajib dibayar oleh Debitur (dan OMA) kepadanya berdasarkan Agreement; termasuk seluruh jumlah yang terhutang oleh Debitur berdasarkan jaminan sebagaimana ditentukan pada pasal 17 Agreement. Surat 3 Februari 1998 pada alinea terakhir menegaskan bahwa sesuai dengan ketentuanketentuan Agreement, bunga keterlambatan dengan tingkat suku bunga 2% p.a. akan dibebankan atas semua jumlah yang tersebut di atas sampai seluruhnya dibayar lunas.
Bahwa namun demikian surat peringatan tersebut sama sekali tidak diindahkan oleh Debitur dan di lain pihak Debitur pun tidak pernah membantah mempunyai hutang yang sudah jatuh tempo dari wajib dibayar sebagaimana diuraikan Surat 3 Februari 1998; Debitur telah tidak membayar jumlah uang yang telah terhutang kepada Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V termasuk hutang pokok dan bunganya seperti tertera di atas, bahkan sampai didaftarkannya surat permohonan ini pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Debitur tidak juga memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya sebagaimana disebutkan di atas. Tentang Perjanjian Kredit Sindikasi 26 Juni 1997 Bahwa Pemohon IV, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII, dan Pemohon XIII bersama-sama dengan Bank-bank lainnya telah memberikan beberapa fasilitas kredit kepada OMA sampai jumlah maksimum sebesar US$75,000,000 (tujuh puluh lima juta Dolar Amerika Serikat) (selanjutnya disebut "fasilitas" atau "facility"), satu dan lain berdasarkan akta Syndicated Loan Agreement tanggal 26 Juni 1997 No. 293, yang dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta, SH. Notaris di Jakarta, (Selanjutnya disebut "Perjanjian Kredit Sindikasi" atau ""PKS") dengan perincian seperti tersebut pada surat permohonan; Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 20.3. sub (ii) PKS, sebagian dari fasilitas kredit yang diberikan oleh Pemohon VI i.c. sebesar US$ 38,000,000 (tiga puluh delapan juta Dolar Amerika Serikat) (vide: sub a) di atas, telah diambil bagian oleh (i) Pemohon X sebesar US$ 3,000,000 (tiga juta dolar Amerika Serikat) (ii) Pemohon XI sebesar US$ 2,000,000 (dua juta dolar Amerika Serikat) (iii) Pemohon XII sebesar US$ 2,000,000 (dua juta dolar Amerika Serikat) (iv) Peregrine Fixed Income sebesar US$ 5,000,000 (lima juta dolar Amerika Serikat); (v) Commerzbank AG, Singapore sebesar US$ 10,000,000 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat ); sehingga fasilitas kredit dari Pemohon VI hanya tinggal US$ 16,000,000 (enam belas juta dolar Amerika Serikat). Bahwa OMA (selaku Debitur) telah mengakui seluruh jumlah hutang tersebut diatas, satu dan lain sebagaimana dinyatakan dalam akta "Acknowledgement of Indebtedness" tanggal 26 Juni 1997 No. 294, yang dibuat dihadapan Misahardi Wilamarta, SH., Notaris di Jakarta. Bahwa seluruh fasilitas kredit kepada OMA (selaku debitur) dari para Kreditur tersebut telah ditarik oleh OMA (selaku Debitur) dengan promissory Notes dan telah jatuh tempo pada tanggal 23 July 1998 namun tidak dibayar, adapun perincian hutang pokok yang tidak dibayar adalah sebagai berikut: a. Fasilitas kredit dari Pemohon VI telah ditarik oleh OMA (selaku Debitur) dan sebagai buktinya OMA (selaku Debitur) menerbitkan Promissory Note tanggal 14 Juli 1997, berdasarkan mana OMA (selaku Debitur) wajib membayar hutang pokoknya sebesar US$ 38,000,000 (tiga puluh delapan juta dolar Amerika Serikat) tersebut kepada Pemohon VI pada tanggal 23 Juli 1998, dan dengan dialihkannya sebagian fasilitas kredit ini kepada Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII, sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka OMA (selaku Debitur) juga wajib membayar hutang-hutang pokok tersebut masing-masing kepada Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII, pada tanggal 23 Juli 1998; b. Fasilitas kredit dari Pemohon IV telah ditarik oleh OMA (selaku Debitur) dan sebagai buktinya OMA (selaku Debitur) menerbitkan Promissory Note tanggal 14 Juli 1997, berdasarkan mana OMA (selaku Debitur) wajib membayar hutang pokoknya sebesar US$ 15,000,000 (lima betas juta dolar Amerika Serikat) tersebut kepada Pemohon IV pada tanggal 23 Juli 1998;
c. Fasilitas kredit Pemohon VII telah ditarik oleh OMA (selaku Debitur) dan sebagai buktinya OMA (selaku Debitur) menerbitkan Promissory Note tanggal 14 Juli 1997, berdasarkan mana OMA (selaku Debitur) wajib membayar hutang pokoknya sebesar US$ 10,000,000 (sepuluh juta Dolar Amerika Serikat) tersebut kepada Pemohon VII pada tanggal 23 Juli 1998; d. Fasilitas Kredit dari Pemohon VIII telah ditarik oleh OMA (selaku Debitur) dan sebagai buktinya OMA (selaku Debitur) menerbitkan Promissory Note tanggal 14 Juli 1997 berdasarkan mana OMA (selaku Debitur) wajib membayar hutang pokoknya sebesar US$ 5,000,000 (lima juta dolar Amerika Serikat).kepada Pemohon VII pada tanggal 23 Juli 1998; dan e. Fasilitas Kredit dari Pemohon IX telah ditarik oleh OMA (selaku Debitur), dan sebagai buktinya OMA (selaku Debitur) menerbitkan Promissory Note tanggal 14 Juli 1997 berdasarkan mana OMA (selaku Debitur) wajib membayar hutang pokoknya sebesar US$ 2,000,000 (dua juta dolar Amerika Serikat) kepada Pemohon VIII pada tanggal 23 Juli 1998; f. Fasilitas Kredit dari Pemohon XIII telah ditarik oleh OMA (selaku Debitur) dan sebagai buktinya OMA (selaku Debitur) menerbitkan Promissory Note tanggal 14 Juli 1997 berdasarkan mana OMA (selaku Debitur) wajib membayar hutang pokoknya sebesar US$ 5,000,000 (lima juta dolar Amerika Serikat) kepada Pemohon XIII pada tanggal 23 Juli 1998. Bahwa pasal 5.1 (tentang Repayment Schedule) PKS menentukan bahwa seluruh fasilitas atau Outstandings wajib dibayar kembali oleh OMA (selaku Debitur) tidak lebih lambat dari hari bayar Final (Final Maturity date) dan bahwa kecuali ditentukan lain dalam PKS, OMA (selaku Debitur) wajib membayar facility atau Outstandings tersebut dalam "bullet payment". Selanjutnya Pasal 1 (mengenai Definisi) PKS menentukan antara lain bahwa Hari Bayar Final/Final Maturity Date adalah tanggal yang jatuh pada/bersamaan dengan tahun kedua dari Tanggal Penerbitan/Issuance Date dari Non Negotiable Promissory Notes; Bahwa sebelum tanggal 23 Juli 1998 yang menjadi tanggal jatuh tempo tiap-tiap Promissory Note tersebut diatas, pada tanggal 20 Januari 1998, OMA (selaku Debitur) telah melakukan wanprestasi dengan melanggar ketentuan pasal 7.1, 7.4 dan 10.1 (i) PKS, karena OMA (selaku Debitur) tidak membayar bunga-bunga atas hutang-hutang pokok yang wajib dibayarnya pada tanggal 20 Januari 1998. Perincian bunga-bunga yang tidak dibayar tersebut sebagaimana ternyata dari Surat Pemohon VI kepada OMA (selaku debitur) tanggal 31 Maret 1998 No. 98.751/DIRPI-DPM adalah seperti berikut dalam surat permohonan; Bahwa oleh karena OMA (selaku Debitur) melakukan wanprestasi (Event of Default) menurut pasal 7.1, 7.4 dan 10.1 (i) PKS sebagaimana dibuktikan di atas, maka berdasarkan pasal 10.2 PKS, Pemohon IV, VI s/d XIII berhak menyatakan bahwa semua hutang-hutang yang telah diberikan dan fee serta setiap jumlah lain yang wajib dibayar oleh Debitur berdasarkan Fasilitas, termasuk, tidak terbatas pada, bunga-bunga yang diuraikan di atas, menjadi jatuh tempo dan wajib dibayar pada waktu pembatalan tersebut; Bahwa oleh karena OMA telah melakukan wanprestasi tidak membayar bunga-bunga tersebut pada waktu jatuh tempo untuk dibayar pada tanggal 20 Januari 1998, maka Pemohon VI untuk dan atas nama diri sendiri serta semua kreditur dalam Perjanjian Kredit Sindikasi menggunakan haknya untuk membatalkan Komitmen-komitmen dengan surat Pemohon VI tanggal 31 Maret 1998 No. 98.751/DIRPI-DPM tersebut di atas sehingga semua hutang-hutang Debitur wajib dibayar pada waktu pembatalan yang dilakukan pada tanggal 31 Maret 1998. Bahwa dengan demikian seharusnya Pemohon IV,VI s/d XIII sebagai para kreditur berhak mendapatkan pembayaran dari OMA (selaku Debitur) untuk hutang-hutang pokok tersebut di atas beserta bunga sebagaimana dibuktikan di atas, berdasarkan PKS, paling lambat pada
tanggal 31 Maret 1998. Tetapi dalam kenyataan sampai dengan surat permohonan ini didaftarkan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, OMA (selaku debitur) tidak membayar hutang-hutangnya tersebut, baik hutang-hutang pokok maupun bunganya, kepada Pemohon IV, VI s/d XIII. Demikian pula tidak terlihat bahwa OMA (selaku Debitur) mengajukan proposal yang secara adil dapat melindungi kepentingan para kreditur untuk mendapatkan pelunasan hutang-hutang tersebut. Bahwa berkenaan dengan pinjaman/hutang OMA (selaku Debitur) kepada Pemohon IV, VI s/d XIII, debitur (PT. Ometraco Corporation Tbk.) yang tidak pernah ditolak keberadaannya oleh OMA (selaku debitur) dan sudah jatuh tempo dan wajib tersebut. Debitur telah memberikan jaminan pelunasan pembayaran secara tepat waktu, satu dan lain sebagaimana telah dinyatakan dalam akta "Corporate Guarantee Agreement" tanggal 26 Juni 1997 No. 296 (selanjutnya disebut "Guarantee") dibuat dihadapan Misahardi Wilamarta, SH., Notaris di Jakarta juncto pasal 1.1 PKS. Bahwa section II (tentang Guarantee), Pasal 2 Guarantee menentukan "Guarantor as guarantor for the outstanding indebtedness (as defined hereunder) hereby irrevocably and uncoditionally guarantees to the Lenders the due, punctual and complete performance by the of each and any of the Borrower's payment obligation under or pursuant to the facility documentation and each other agreement, document or understanding in relation thereto, to which the Borrower is a party or that the borrower is to perform (collectively, the "Related Undertakings", which term shall include .... etc. Bahwa selanjutnya dalam pasal 3 mengenai "Waivers" guarantor mengesampingkan : (b) "Any right to require the Lenders to proceed agains the Borrower or againt any security received from borrower or too pursue any other remedy available to the Lenders; (c) in favor of the Lenders, any and all of its right, set, off counter claim, protection, privileges and defenses provided by law to a guarantor and in particular waives the provision in Articles 1430, 1831; 1837; 1843 and 1847 through 1850 of the Indonesian Civil Code:" Bahwa dengan demikian Guarantor dalam hal ini Debitur (PT. Ometraco Corporation Tbk) bertanggung jawab sepenuhnya atas semua jumlah uang yang terhutang oleh OMA (selaku Debitur) kepada para krediturnya seolah-olah Debitur (PT. Ometraco Corporation Tbk.) sendiri adalah debitur satu-satunya dan utama berkenaan dengan seluruh jumlah uang yang terhutang oleh OMA (selaku Debitur). Bahwa mengingat fasilitas kredit yang diberikan baik kepada Debitur maupun kepada OMA yang dijamin oleh Debitur merupakan fasilitas kredit tanpa jaminan maka untuk mencegah kemungkinan Debitur melakukan tindakan terhadap kekayaannya sehingga dapat merugikan kepentingan Para Pemohon dalam rangka mengambil pelunasan atas seluruh jumlah uang yang terhutang oleh Debitur kepada para krediturnya khususnya para Pemohon, baik untuk hutangnya langsung maupun untuk hutang OMA yang dijamin oleh Debitur berdasarkan perjanjian-perjanjian sebagaimana dirujuk .di atas, dan dengan merujuk pada Pasal 7 ayat 1 Ordonansi Kepailitan sebagaimana diubah dan ditambah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998, Para Pemohon dengan hormat memohon kepada Pengadilan Niaga untuk meletakkan sita jaminan atas seluruh asset-asset Debitur, termasuk saham-saham dan asset-asset Debitur yang ada di dalam anak-anak perusahaan Debitur. Bahwa dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat 1 Ordonansi Kepailitan sebagaimana diubah dan ditambah dengan Perpu No. 1 tahun 1998, Para Pemohon mengusulkan agar Pengadilan Niaga merujuk dan mengangkat Laksmi Djuwita dari Kantor Akuntan Publik Drs.
Hadi Susanto & Rekan, Correspondence of Price Water House Coopers, di Gedung Price Water House JI. HR. Rasuna Said Kav. C-3, Jakarta 12940 sebagai Kurator Debitur dalam Kepailitan ini. Berdasarkan hal-hal di atas, maka Para Pemohon memohon kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memutuskan sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan, Debitur berada dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya. 3. Mengangkat Laksmi Djuwita dari Kantor Akuntan Publik Drs. Hadi Susanto & Rekan, Correspondence of Price Waterhouse Coorpers, di Gedung Price Waterhouse, JI. HR. Rasuna Said Kav. C-3, Jakarta 12940 sebagai Kurator dalam kepailitan ini. 4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum. Bahwa terhadap permohonan pailit tersebut Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusan tanggal 29 September 1998 No. 05/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst. yang amarnya berbunyi sebagai berikut: Menyatakan, permohonan Pernyataan Pailit para Pemohon tersebut tidak dapat diterima; Menghukum, para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang ditaksir sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah); Bahwa sesudah putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut diberitahukan kepada Para Pemohon/Para Kreditur dan Termohon/Debitur pada tanggal 29 September 1998, kemudian terhadapnya oleh Termohon/Debitur dan Para Pemohon I s/d V, VII s/d IX, XI dan XII/Kreditur dengan perantaraan pada kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus masing-masing tanggal 11 September 1998 dan tanggal 1 Oktober 1998, diajukan permohonan kasasi secara lisan masing-masing pada tanggal 6 Oktober 1998, sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi masing-masing No.02/Kas/Pailit/1998/PN.Niaga/Jks-Pst dan No.03/Kas/Pailit/1998/ PN.Niaga/Jkt-Pst, yang dibuat oleh Panitera Perkara Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, permohonan mana disertai oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada hari itu juga. Bahwa setelah itu oleh para Pemohon I s/d V, VII s/d IX, XI dan XII/Kreditur dan Termohon/Debitur yang masing-masing pada tanggal 7 Oktober 1998 telah disampaikan salinan permohonan kasasi dan salinan memori kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Para Pemohon Kasasi II diajukan kontra memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat masing-masing tanggal 13 Oktober 1998; Menimbang, bahwa permohonan-permohonan kasasi a quo serta alasan-alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonanpermohonan kasasi tersebut formal dapat diterima; Menimbang, bahwa keberatan yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah: Pemohon Kasasi I: 1. Bahwa Judex Factie kurang tuntas dalam memeriksa dan memutus perkara permohonan Pernyataan Pailit ini, seharusnya Judex Factie dalam memeriksa dan memutus suatu permohonan Pernyataan Pailit pada saat yang bersamaan memeriksa hal-hal yang
menyangkut formalitas hukum (Formeel Recht atau proces recht) untuk menentukan sah ataupun tertib tidaknya suatu permasalahan pernyataan Pailit dan juga hal-hal yang menyangkut substansi/materi hukum (materiele recht) untuk menentukan ada tidaknya kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum yang bersangkutan ataupun terbukti tidaknya dalil-dalil yang diajukan untuk mendukung permohonan yang bersangkutan. 2. Bahwa Judex Factie tidak ataupun lalai memeriksa, dan karenanya mempertimbangkan, dalil-dalil Pemohon Kasasi I/Termohon yang menyangkut formalitas hukum permohonan pernyataan pailit yang diajukan secara bersama-sama oleh para Termohon Kasasi I/Para Pemohon, khususnya yang menyangkut hal-hal sebagai berikut: 2.1. tentang Kumulasi Permohonan (cumulatie van verzoeken); 2.2. tentang Permohonan yang Gelap (obscuur verzoeken); 2.3. tentang Keabsahan Surat Kuasa dari Para Termohon/ Pemohon; 3. Bahwa Judex Factie tidak ataupun lalai memeriksa, dan mempertimbangkan, dalil-dalil Pemohon Kasasi/Termohon khususnya menyangkut hal-hal sebagai berikut: 3.1. tentang "Roll Over Facility Agreement" ("Agreement") tanggal 3 Desember 1996; 3.2. tentang "Perjanjian Kredit Sindikasi" atau "PKS" tanggal 26 Juni 1997; Pemohon Kasasi II: 1. Bahwa Judex factie dalam mengambil keputusannya atas permohonan pernyataan pailit terhadap Debitur yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi telah mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum yang antara lain adalah sebagaimana dimuat pada alinea 17 juncto alinea 2 yang berbunyi sebagai berikut: Alinea 17 "Menimbang bahwa sekalipun menurut Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 tahun 1998 ditentukan bahwa "Permohonan Pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan, pailit telah terpenuhi" namun demikian atas dasar berbagai hal seperti dimaksud di atas, tidaklah terpenuhi termasuk didalamnya persyaratan prosedural dalam mengajukan permohonan tersebut". Alinea 2 Menimbang bahwa tanpa bermaksud untuk mengingkari prosedur pembuktian secara sederhana yang diatur dalam ayat (3) pasal 6 Undang-undang No. 4 tahun 1998, Pengadilan, dengan dimajukannya tanggapan berikut lampiran surat-surat dari Debitur memandang perlu untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut"; Dari pertimbangan-pertimbangan hukum di atas jelas dan nyata bahwa Judex Factie bukan saja telah keliru, melainkan lebih dari itu, sama sekali mengesampingkan/tidak menerapkan hukum kepailitan sebagaimana dituangkan dalam Ordonansi Kepailitan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 (selanjutnya disebut dengan "Undang-Undang Kepailitan") in casu Pasal 6 (3) juncto Pasal l (I) yang secara tegas dan mendasar menganut cara pembuktian sederhana dalam memeriksa suatu permohonan kepailitan, yaitu memeriksa dan menentukan apakah terdapat sedikitnya dua orang kreditur, dan apakah terdapat satu utang yang jatuh tempo dan wajib dibayar. Selanjutnya bahwa sejauh kedua unsur persyaratan dimaksud di atas terpenuhi/terbukti adanya, maka Judex Factie wajib mengabulkan permohonan pernyataan pailit dengan suatu keputusan. Undangundang Kepailitan tidak menentukan persyaratan lainnya yang perlu ditelaah, dinilai ataupun dibuktikan dalam suatu permohonan Kepailitan, sebagaimana justru telah dilakukan oleh Judex factie. 01.1. Bahwa dari fakta-fakta yang diajukan para Pemohon Kasasi telah dapat dibuktikan dan terbukti bahwa Debitur berhutang kepada lebih dari dua kreditur, yaitu baik kepada (a)
sesama kreditur yang terikat dalam suatu perjanjian pinjaman sindikasi in casu Facility Agreement tanggal 3 Desember 1996 (selanjutnya disebut "Facility Agreement", bukti P-1) untuk jumlah USD 60,000,000 (enam puluh juta dolar Amerika Serikat) maupun kepada (b) kreditur-kreditur yang terikat dalam Perjanjian Kredit Sindikasi No. 293 tanggal 26 Juni 1997 (bukti P-2) dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta, SH. (selanjutnya disebut "Perjanjian Kredit Sindikasi") Notaris di Jakarta untuk jumlah USD 75,000,000 (tujuh puluh lima juta dolar Amerika Serikat). 01.2. Bahwa telah pula dibuktikan dan terbukti bahwa hutang yang diberikan oleh Para Pemohon dan diterima oleh Debitur berdasarkan Facility Agreement yang telah jatuh tempo pada tanggal 3 Februari 1998, bahkan kalau tidak karena para kreditur memberikan perpanjangan/roll over, utang dimaksud seharusnya telah jatuh tempo pada tanggal 20 Januari 1998 (bukti P-4). 01.3. Bahwa karena telah dapat dibuktikan dan terbukti Debitur berutang kepada sesama kreditur yang terkait berdasarkan facility Agreement (bukti P-1) dan kepada sesama kreditur yang terkait berdasarkan Perjanjian Kredit Sindikasi (bukti P-2), dan karena telah terbukti pula bahwa utang Debitur terhadap pada Pemohon dan kreditur-kreditur lainnya berdasarkan Facility Agreement telah jatuh tempo, maka telah pula terpenuhi kedua syarat bagi Debitur untuk dinyatakan berada dalam keadaan Pailit (dengan segala konsekwensi hukumnya); 2. Bahwa Judex Factie dalam pertimbangan hukumnya alinea 12, alinea 13 dan alinea 14 (juncto alinea 15) mengatakan sebagai berikut: Alinea 12 :" bahwa tanpa bermaksud untuk mengambil alih pertimbangan atau dalil yang dikemukakan oleh Debitur menurut surat tanggal 23 September 1998, No.Ref. D&C/Pdd/296/IX/1998 ternyata bahwa substansi hukum yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit terhadap Debitur /OC menjadi dasar hukum bagi pernyataan pailit terhadap OMA menurut Perkara No. 04/Pailit/PN.Niaga/Jakarta Pusat" Alinea 13 :" baik OMA yang dimohon pailit dalam perkara No. 04 maupun OC/Debitur yang dimohon pailit dalam perkara No. 05 satu sama lain terikat dan sama-sama terikat dalam suatu substansi perikatan hukum yang sama" "OC/Debitur juga tergesa-gesa disebut dianggap sebagai satu-satunya debitur utama atas utang OMA yang dijamin " Alinea 14 mengatakan "Menimbang bahwa dengan mencermati bukti-bukti sampai pada kesimpulan, bahwa seharusnya para pemohon hanya mengajukan satu permohonan pailit yang terhadap OMA sekalipun terhadap OC/Debitur dimana OC terikat demi hukum sebagai penjamin tanggung menanggung/renteng dapat dinyatakan pailit dalam satu putusan." Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikutip di atas menunjukkan adanya inkonsistensi karena judex Factie dalam satu nafas mempertimbangkan bahwa permohonan No. 04 dan No. 05 seharusnya diajukan dalam satu permohonan pailit, akan tetapi kemudian pada bagian kedua alinea 14 Judex Factie mempertimbangkan bahwa baik OMA maupun OC/Debitur tersebut dapat dinyatakan pailit dalam satu putusan. UU Kepailitan tidak mensyaratkan agar permohonan pernyataan pailit terhadap holding (induk perusahaan) dan (salah-satu) subsidiary (anak perusahaan) diajukan dalam satu permohonan ataupun satu dokumen. Permohonan kepailitan terhadap induk dan anak perusahaan dapat diajukan dalam satu dokumen atau dalam dua dokumen yang terpisah. Salah satu alasan untuk itu adalah karena perusahaan induk dan perusahaan anak merupakan badan hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Menurut pasal 1 ayat (1),
baik induk perusahaan (holding) maupun anak perusahaan (subsidiary) adalah debitur. Selanjutnya, baik induk perusahaan maupun anak perusahaan mempunyai aset dan kewajiban sendiri-sendiri. Bahwa induk dan anak perusahaan merupakan satu kesatuan ekonomi tidak relevan untuk dipertimbangkan oleh Judex Factie. Bahwa induk dan anak perusahaan merupakan satu kesatuan ekonomi semata-mata menunjukkan bahwa kedua permohonan itu ada kaitannya tetapi hal demikian sudah pasti tidak dapat dijadikan argumentasi atau pertimbangan hukum bagi Judex Factie dalam mengambil keputusannya. Karena kalau itu dijadikan satu pertimbangan hukum apa yang akan terjadi pada anak-anak perusahaan lainnya yang (juga) tergabung dalam kesatuan/unit ekonomi? Bagaimana pendapat Judex Factie dalam hal dimaksud, diatas? Apakah unit-unit ekonomi yang lain (yang tergabung dalam satu kesatuan) juga harus dinyatakan pailit?. Seandainya Judex Factie (meskipun inkonsistensi diatas) cenderung untuk berpendapat bahwa Permohonan No. 5 ini harus digabungkan dengan Permohonan No. 04 sepatutnya Judex Factie memutuskan untuk menggabungkan kedua permohonan tersebut, dan tidak lalu menyatakan Permohonan No.05 "tidak dapat diterima" (niet ontvankelijk verklaard). Sebagai akibat dari penggabungan itu Pengadilan memeriksa kedua permohonan tersebut dalam waktu yang bersamaan. Kalaupun terdapat "keterkaitan" antara permohonanpermohonan yang bersangkutan, para kreditur dapat mengajukan suatu permohonan bersama terhadap induk dan anak perusahaan. Akan tetapi bagaimanapun juga Pengadilan tetap harus mengambil keputusan yang memuat dua putusan: satu terhadap induk dan yang lainnya terhadap anak perusahaan. Bahwa kalau saja Judex Factie mau lebih teliti di dalam membaca permohonan a quo, maka Judex Factie akan sependapat dengan Para Pemohon bahwa terdapat perbedaan substansi antara permohonan No. 04 (yang notabene masih dalam proses pemeriksaan) dan permohonan No. 05. Kalau permohonan No. 04 didasarkan pada Facility Agreement (bukti P-1), maka permohonan No. 05 didasarkan pada Perjanjian Kredit Sindikasi (bukti P-2). Sehingga dengan mengacu pada hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, harus dikatakan bahwa selain subyeknya yang berbeda, obyek hukumnya pun berbeda. Bahwa Debitur/OC menjadi penjamin untuk pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh krediturkreditur baik berdasarkan "Facility Agreement maupun berdasarkan Perjanjian Kredit Sindikasi tidaklah mengubah posisi hukum Debitur sebagai debitur untuk pinjamannya sendiri sebesar US$ 60,000,000 (enam puluh juta dolar Amerika Serikat) sebagaimana dibuktikan di atas. Sebaliknya bahwa Debitur/OC adalah penjamin bagi pinjaman OMA tidak meniadakan fakta bahwa OMA mempunyai hutang terhadap para krediturnya, baik yang termasuk dalam Pinjaman Kredit Sindikasi maupun kreditur-kreditur lainnya di luar perjanjian pinjaman tersebut di atas. Kreditur-kreditur perusahaan induk tidak perlu dan tidak selalu sama dengan kreditur-kreditur anak perusahaan dan sebaliknya kreditur-kreditur anak perusahaan tidak perlu dan tidak selalu sama dengan kreditur-kreditur induk perusahaan. Bahkan kenyataan menunjukkan adanya kemungkinan bahwa perusahaan induk adalah kreditur anak perusahaan dan sebaliknya anak perusahaan adalah kreditur dari perusahaan induk mungkin juga bahwa seseorang kreditur merupakan kreditur baik dari perusahaan induk maupun dari anak perusahaan induk maupun dari anak perusahaan pada saat yang bersamaan, misalnya dalam hal perusahaan induk telah memberikan jaminan terhadap kewajiban-kewajiban anak perusahaan, sebagaimana halnya dalam Permohonan ini dan Permohonan No. 04. Dalam hal demikian, sesuai dengan UU Kepailitan Kreditur i.c. Para Pemohon berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit secara terpisah terhadap debitur dan juga terhadap penjamin
pada waktu yang bersamaan, karena penjamin pun sesuai ketentuan Pasal 1 ayat 1 adalah seseorang debitur. Bahwa Pasal 131 ayat (1) UU Kepailitan menentukan bahwa "Kreditur yang piutangnya dijamin oleh seorang penanggung untuk piutang itu dikurangi jumlah yang telah diterimanya dari penanggung yang bersangkutan." Konsekuensi dan dari ketentuan itu adalah bahwa Para Pemohon dapat mengajukan Permohonan Pailit baik terhadap Debitur/OC maupun OMA dan yang demikian itu dapat mendapatkan pembayaran utang dua kali lipat dari yang semestinya sebagaimana diasumsikan oleh Judex Factie. Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap OC selaku badan hukum yang mandiri dan induk perusahaan dari OMA yang juga merupakan badan hukum yang mandiri dan terpisah dari perusahaan induknya i.e. OC adalah sah menurut hukum dan tidak menyalahi "persyaratan prosedural dalam mengajukan permohonan" ini sebagaimana dipertimbangkan oleh Judex factie. 3. Bahwa pertimbangan Judex Factie didasarkan asumsi, bukan pada fakta hukum yaitu: Bahwa Judex Factie dalam pertimbangan hukum alinea 15.5 mengatakan bahwa " kesimpulan Majelis Hakim tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan maupun logika yuridis "Antara lain : (a) bahwa OC adalah Investment Holding Company; (b) bahwa OC dan OMA merupakan kesatuan ekonomi; (c) bahwa OC selain terikat sebagai debitur juga terikat selaku penjamin (Guarantor) dari OMA; (d) bahwa sebagai kesatuan ekonomi dan dalam kedudukan sebagai debitur dan guarantor/penjamin tanggung menanggung/renteng, yang pada akhirnya akan membawa konsekwensi yuridis yang membingungkan (rancu). Pertimbangan hukum demikian secara juridis adalah keliru dan karenanya harus dikesampingkan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, apabila Permohonan No. 04 (terhadap OMA) dan Permohonan No. 05 terhadap Debitur diputus "sejalan", hal ini tidak akan menimbulkan masalah-masalah "serius" yang dirumuskan oleh Judex Factie sebagaimana disebutkan dalam Pertimbangan Hukum. Masalah pengumuman merupakan kewajiban yuridis sebagaimana ditentukan dalam UU Kepailitan Pasal 13 ayat 4. Tujuan dari pengumuman adalah untuk memberitahukan seluruh kreditur debitur yang dipailitkan dan bukan untuk mencemarkan nama baik atau reputasi debitur. Kalaupun ada dampak yang merugikan karena adanya pengumuman itu maka hal tersebut harus sudah diantisipasi. Kepailitan tidak saja bisa merugikan debitur tapi juga kreditur. Akan tetapi hal ini seharusnya tidak menjadi pertimbangan hukum untuk tidak mengabulkan permohonan pernyataan pailit. Adanya dua Hakim Pengawas dan Kurator tidak akan menimbulkan masalah serius, sebab masingmasing Hakim Pengawas dan Kurator seyogyanya mengawasi pemberesan dua budel pailit yang berasal dari aset/kekayaan dua badan hukum yang berbeda sesuai dengan ketentuan Undang-undang Kepailitan; Logika Hukum Judex Factie dalam Pertimbangan Hukum alinea 15.5.b adalah keliru. Keberhasilan proses PKPU dalam Permohonan No. 04 (terhadap OMA) tidak harus dikaitkan dengan/digantungkan pada kepailitan OC. Apakah OC dalam keadaan pailit atau tidak, proses PKPU dalam Permohonan No. 04 tergantung pada para kreditur OMA, dan tidak tergantung pada kepailitan Debitur/OC. Disamping itu, seandainya Debitur/OC dinyatakan pailit, yang dapat diambil oleh kurator Debitur/OC dalam badan hukum OMA, bukan asetaset OMA, melainkan aset Debitur/OC. Aset-aset OMA tetap dapat diperhitungkan dalam proses PKPU Permohonan No. 04, yang kesemuanya itu tergantung pada Para Kreditur
OMA untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal Debitur/OC dinyatakan pailit, proses PKPU dalam Perkara No. 04 terhadap OMA tidak akan sia-sia, karena yang dapat disita dan diambil oleh Kurator OC hanyalah aset/kekayaan OC yang antara lain berupa saham (equity) OC dalam badan hukum OMA. Sedangkan diluar saham/equity OC tersebut masih ada asetaset OC yang lain. Dalam pada itu, saham milik OC dalam OMA bukan merupakan aset OMA. Demikian pula saham-saham lainnya dalam OMA bukan aset OMA melainkan merupakan asset individu atau badan hukum yang memiliki saham-saham dimaksud. Dan kalaupun dalam rangka pemberesan budel pailit, saham-saham milik OC harus dijual untuk tujuan pelunasan utang-utangnya terhadap para krediturnya. Modal saham tersebut akan tetap berada dalam badan hukum OMA, hanya saja pemiliknya yang berubah. Oleh karena itu penyitaan umum atas saham-saham milik OC dalam OMA tidak akan mempengaruhi status asset OMA yang menjadi jaminan bagi pelunasan utangnya terhadap pihak ketiga (kreditur OMA) ataupun usaha-usaha penjadwalan utang OMA ataupun restrukturisasi kapital. Bahwa Logika Hukum Judex Factie dalam Pertimbangan Hukum-alinea 15.5.c adalah keliru. Diajukannya 2 (dua) permohonan pernyataan pailit masing-masing terhadap Debitur/OC dan OMA tidak berdasarkan pada keragu-raguan dan tidak perlu bersifat spekulatif, melainkan semata-mata didasarkan pada fakta dan ketentuan perundangan yang berlaku sebagaimana diuraikan diatas. Bahwa Logika Yuridis Judex Factie dalam Pertimbangan Hukum alinea 15.5.d adalah keliru dalam menerapkan hukum dan cenderung bersifat mengada-ada, karena bagaimanapun juga masing-masing utang dari para Kreditur harus dan akan diverifikasikan/dicocokan satu dari lainnya sesuai dengan ketentuan pasal 104 s/d 134 UU Kepailitan. 4. Bahwa Judex Factie telah keliru menerapkan hukum dalam Pertimbangan Hukum-alinea 19, karena pengajuan 2 (dua) permohonan pernyataan pailit masing-masing terhadap Debitur dan OMA adalah sesuai dengan dan karenanya tidak melanggar ketentuan perundangundangan yang berlaku, dan masing-masing permohonan dapat diputus menurut pasal 6 (3) juncto pasal 1 (1) UU Kepailitan secara adil, cepat, transparan dan efektif. Oleh karena Debitur telah memenuhi persyaratan hukum untuk dinyatakan pailit, maka permohonan Para Pemohon dalam perkara a quo sepatutnya dikabulkan dan Debitur dinyatakan pailit.
Menimbang: Mengenai keberatan kasasi ad 3dari Pemohon Kasasi I dapat dibenarkan karena Judex Factie dalam perkara ini tidak melaksanakan tata cara mengadili yang semestinya. Pelanggaran tata cara mengadili itu terjadi disebabkan Judex Factie telah keliru memahami dan menerapkan hukum korporasi (company law) mengenai Holding Company, yang berakibat permohonan dinyatakan tidak dapat diterima. Menimbang, sebelum sampai pada uraian pertimbangan yang di kemukakan di atas, lebih dahulu akan ditanggapi mengenai sifat Volunter perkara pailit. Masalah ini telah menimbulkan perbedaan pendapat antara Majelis Hakim Niaga yang memeriksa perkara ini dengan pihak Pemohon. Pada satu segi, Majelis telah menerima dan mempertimbangkan tanggapan yang diajukan pihak Termohon. Sedang pada sisi lain, sikap dan tata cara mengadili permohonan pailit yang demikian, dianggap pihak Pemohon melanggar sistem pemeriksaan sederhana dan sumir yang digariskan Pasal 6 Undang-Undang No. 4/1998.
Bahwa sehubungan dengan itu, peradilan tingkat kasasi melalui putusan ini merasa perlu menyamakan suatu pengertian yang dapat dijadikan landasan keseragaman hukum (Unified legal framework) maupun keseragaman standar hukum (Unified law standard) dalam penyelesaian proses pemeriksaan permohonan pailit di Pengadilan Niaga apabila permohonan berbentuk Involuntary Petition (permohonan diajukan kreditur). Bahwa memang benar, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 (1) Undang-undang No. 4 tahun 1998, bentuk gugat perkara pailit adalah Volunter, yakni berbentuk Permohonan (petition), dan Undang-undang tidak menyebut berbentuk Contentiosa meskipun indikasinya bersifat contentiosa. Dengan demikian pada prinsipnya, proses pemeriksaannya di sidang pengadilan adalah bersifat Ex Parte (sepihak) bukan bersifat partai. Bahwa selanjutnya, Pasal 6 telah menegaskan sistem pemeriksaan pembuktian adalah Expedited Procedure atau acara Sumir. Yakni pemeriksaan pembuktian cepat dan ringkas, sehingga penyelesaian perkara benar-benar menaati tahap-tahap Terminasi (termination) yang ditentukan Pasal 4 dan 6, sehingga dalam tempo 30 hari dari tanggal registrasi permohonan, harus dijatuhkan putusan. Bahwa akan tetapi, sifat Volunter maupun sifat Ex Parte perkara pailit, tidak persis sama dengan bentuk yang ditemukan dalam bidang perkara biasa. Bentuk Volunter dalam perkara pailit: tidak murni bersifat Ex Parte, tetapi lebih mirip bentuk Contentiosa yang bersifat partai secara semu, sehingga terdapat perbedaan yang prinsipil diantara keduanya sebagai berikut: dari segi subyek, pada perkara Volunter perdata biasa, memang benar-benar tidak ada orang yang ditarik sebagai pihak (tergugat atau terlawan). Sedang dalam pailit, meskipun bentuknya volunter (permohonan), ada pihak yang ditarik dan ditempatkan sebagai Termohon dalam hal ini pihak Debitur apabila permohonan bersifat Involuntary Proceeding (yang mengajukan pihak kreditur). Apabila permohonan tidak menarik dan mendukung Debitur sebagai Termohon, permohonan pailit tidak memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 1, oleh karena itu permohonan harus ditolak. Dari sudut Ex Parte, dalam perkara perdata biasa sifat proses pemeriksaannya benar-benar mutlak secara sepihak. Yang didengar dan diperiksa mutlak hanya pemohon dan saksi-saksi yang diajukan pemohon tanpa perlawanan atau tanggapan maupun bantahan dari pihak lain. Tidak demikian halnya dalam permohonan pailit. Sifat Ex Parte nya tidak mutlak tetapi relatif dengan acuan: 1. Termohon tidak dilarang tapi dibolehkan mengajukan pendapat atau tanggapan terhadap permohonan. 2. Dalam hal yang dianggap penting untuk memperjelas maksud permohonan, Majelis dapat mendengar pendapat Termohon sebagaimana yang terkandung dalam Ketentuan Pasal 6 (1) huruf b. 3. Pasal 4 (6) memberi hak kepada Debitur (Termohon) untuk menunda pemeriksaan. 4. Dalam hal Involuntary petition (yang minta pailit adalah Kreditur), Pengadilan wajib memanggil Debitur (Termohon). Bahwa meskipun demikian, kebolehan Debitur menyatakan pendapat, tidak boleh melenyapkan prinsip pemeriksaan yang cenderung bersifat Ex Parte. Proses pemeriksaan tidak membuka sistem replik-duplik. Oleh karena itu, dalam proses pemeriksaan, penegakan azas Audi Alteram Partem (to give the same opportunity to each party) lebih dipersempit penerapannya. Namun
demikian tidak seluruhnya ditutup, tetapi asas tersebut ditegakkan melalui upaya kasasi. Bagi yang merasa kepentingannya dirugikan, dapat mengajukan pembelaan melalui upaya kasasi. Bahwa demikianlah penerapan Ex Parte dan Audi Alteram Partem yang digariskan ketentuan Undang-undang Pailit dalam kedudukannya sebagai Lex Specialis (special law), sebagaimana yang ditegaskan Pasal 284, yang menyatakan sepanjang hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang ini, harus ditaati dan diterapkan sebagai aturan beracara (the rule of the game). Bahwa memang agak berbeda dalam Voluntary Petition. Apabila yang mengajukan permohonan pailit adalah Debitur sendiri, sifat Ex Parte pemeriksaannya lebih cenderung volunter murni. Namun demikian, tidak tertutup hak pihak Kreditur mengajukan pendapat tentang kemungkinan permintaan itu diajukan Debitur mengandung iktikad buruk (bad faith). Menimbang, uraian selanjutnya akan mengemukakan alasan-alasan hukum atas kesalahan dan kekeliruan penerapan dan kesimpulan yang dilakukan Judex Factie dalam perkara ini. Seperti yang disinggung terdahulu, Judex Factie berpendapat dan menyimpulkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan para Pemohon mengandung cacat Obscur Libel. Hal itu terjadi disebabkan para Pemohon telah memisah dan mengajukan dua permohonan pernyataan pailit kepada Ometraco Corporation dengan No. 05/1998 dan dengan No. 04/1998 kepada Ometraco Multi Artha. Padahal ternyata substansi yang menjadi dasar hukum permohonan diantara keduanya adalah sama. Dengan demikian Judex Factie menyimpulkan antara yang satu dengan yang lain, saling terkait dan terikat, sehingga harus diajukan dalam satu permohonan saja. Bahwa pendapat dan kesimpulan tersebut ditinjau dari hukum korporasi (company law), salah dan keliru. Bertitik tolak dari dalil permohonan pun sudah ditegaskan, Ometraco Corporation sebagai Debitur terhadap para pemohon adalah Holding Company (dalam bentuk Investment Holding Company), sedang Ometraco Multi Artha merupakan salah satu Subsidiary. Jadi Ometraco Corporation merupakan Induk Perusahaan (Parent Company) dan Ometraco Multi Artha merupakan Anak Perusahaan. Dalil permohonan ini, telah ditegaskan juga dalam 1.1: Definition yang tertuang dalam Facility Agreement ( 3 Desember 1996) : - Ometraco Corporation adalah Group Company, dan - Material Subsidiaries, terdiri : PT. Japfa Comfeed Indonesia, PT. Trasindo Perkasa, PT. Supra Usadhatama, PT. Ometraco Multi Artha dan Bank Tiara Asia. Bahwa fakta tentang kebenaran dalil yang didukung oleh penegasan 1.1 Facility Agreement tersebut, tidak disangkal dan tidak diragukan lagi. Kalau begitu dalam mempertimbangkan konstruksi pinjaman dikaitkan dengan pengajuan dua permohonan pernyataan pailit dalam kasus ini. Judex Factie harus bertitik tolak dari hukum korporasi mengenai Holding Company, dihubungkan dengan perjanjian kredit yang terjadi. Bahwa sepanjang pertimbangan Judex Factie yang menyatakan: dalam holding company, terdapat satu kesatuan ekonomi antara Induk Perusahaan dengan Subsidiary (anak perusahaan) adalah benar. Memang dalam praktek bisnis, holding company merupakan parent company yang bertindak sebagai Controlling Company terhadap Subsidiary (anak perusahaan), sehingga anak perusahaan berada dalam posisi Controlled Company. Keadaan dan posisi yang demikian, ditegaskan dalam penjelasan Pasal 29 Undang-Undang No. 1 tahun 1995 (Tentang Perseroan Terbatas), antara lain menyatakan: Yang dimaksud dengan anak perusahaan (subsidiary) adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena (a) lebih dari 50% sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya (Parent
Company), (b) lebih dari 50% suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dikuasai oleh induk perusahaannya, dan atau (c) kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaan. Bahwa memang dalam kegiatan bisnis masa kini maupun masa yang akan datang, berkembang bentuk Group perusahaan (group company) dengan sejumlah subsidiary (anak perusahaan). Bisa puluhan atau ratusan subsidiary. Dalam hal yang demikian, pada dasarnya tidak ada pemisahan kegiatan dan tujuan pencapaian ekonomis (may have no separate economic existence) antara induk dengan anak perusahaan : Bahkan tidak ada pemisahan bisnis antara keduanya, apalagi bila holding company subsidiary dipimpin oleh Direktur yang sama. Namun dengan demikian hukum korporasi (company law) tetap memperlakukan subsidiary sebagai Entitas yang terpisah atau separate entity (that company law still treats the subsidiary as a separate entity). Induk perusahaan memiliki aset sendiri sejumlah saham yang ditanamkan dalam masing-masing subsidiary, sedang setiap subsidiary memiliki aset sendiri sesuai dengan kekayaan yang dipunyainya. Menimbang, berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dalam kasus permohonan pernyataan pailit ini, Ometraco Corporation adalah induk perusahaan, sedangkan Ometraco Multi Artha adalah anak perusahaan (subsidiary). Antara keduanya tidak merupakan satu entitas, dan pertanggung jawaban terbatas (limited liability) serta asetnya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Bahwa dalam praktek dunia bisnis, yang selalu bertindak melakukan peminjaman modal investasi atau modal operasional untuk kepentingan group atau kepentingan salah satu anak perusahaan adalah induk perusahaan (holding company). Namun hal itu tidak menutup kemungkinan anak perusahaan dapat langsung bertindak melakukan pinjaman dengan/dalam menempatkan induk perusahaan sebagai penjamin (corporate guarantor). Demikianlah yang terjadi dalam kasus ini: - Ometraco Corporation sebagai induk perusahaan bertindak sebagai Debitur terhadap para pemohon untuk kepentingan anak perusahaan Ometraco Multi Artha berdasar Facility Agreement (3 Desember 1996). - Ometraco Multi Artha sebagai anak perusahaan bertindak sebagai Debitur yang diterangkan dalam bentuk Perjanjian Kredit Sindikasi (PKS) tanggal 26 Juni 1997 No. 274. Bahwa berdasar fakta Facility Agreement 3 Desember 1996 dan Perjanjian Kredit Sindikasi 26 Juni 1997 dimaksud, dikaitkan dengan prinsip hukum Separate Entity antara induk perusahaan dengan anak perusahaan dalam holding company, maka pengajuan permohonan pernyataan pailit (Petition of bankruptcy) dalam dua permohonan yang terpisah dan berdiri sendiri (No. 04/1998 dan No. 05/1998) tidak bertentangan dengan ketentuan acara dan ketentuan hukum; tetapi sesuai dengan hukum acara (due process) dan sesuai dengan hukum (due to law). Dengan demikian pendapat dan kesimpulan Judex Factie yang mengharuskan penggabungan penyelesaian dalam satu permohonan pernyataan pailit, tidak bisa dipertahankan, sehingga putusan yang dijatuhkan Judex Factie harus dibatalkan. Menimbang, seperti yang sudah dijelaskan, sistem penyelesaian permohonan pernyataan pailit sebagaimana digariskan dalam Pasal 6 (3) adalah bersifat sederhana (sumir) sesuai dengan konsep acara singkat (exepideted procedure) yang terkandung dalam ketentuan Pasal 6. Namun demikian konsep dan prinsip acara singkat,tersebut, tidak boleh mengabaikan asas pemeriksaan yang sesuai dengan hukum acara (due proces) dan sesuai dengan hukum (due to law).
Bahwa sehubungan dengan itu, peradilan kasasi perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai permasalahan hukum yang berkenaan dengan Jatuh Tempo (Maturity date) pembayaran. Menurut draft pemohon (angka 8) berdasar surat pemberitahuan (notify) dari Banque Paribas Cabang Singapura tanggal 3 Februari 1998 yang ditujukan kepada Ometraco Multi Artha, pembayaran atas pinjaman jatuh tempo pada tanggal 20 Januari 1998, dan atas kesepakatan Pemohon I, II, III dan IV hutang tersebut di-roll over untuk jangka waktu 14 hari, sehingga jatuh tempo pada tanggal 3 Februari 1998. Sebaliknya Termohon dalam tanggapan dan alasan kasasi menjatuhkan jatuh tempo yang dikemukakan Pemohon, tidak sesuai dengan yang digariskan dalam 15.1 dihubungkan dengan 1.1 Facility Agreement tanggal 3 Desember 1996. Bahwa salah satu asas pokok permintaan Pernyataan pailit yang ditentukan dalam Pasal 1 (1) Undang-undang Pailit No. 4 tahun 1998 adalah debitur tidak membayar (sedikitnya satu) utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (unable to pay of fail! to pay debts as the fall due). Sehubungan dengan asas ini, perlu dipertimbangkan; apakah pinjaman Debitur (Termohon) telah jatuh tempo untuk ditagih, sebagaimana yang ditentukan dalam Facility Agreement (P.l). Bahwa menurut Majelis Kasasi, permasalahan dapat atau belum dapat ditagih (jatuh tempo) pembayaran pinjaman yang diperjanjikan dalam kasus ini, harus merujuk kepada ketentuan angka 1.1 dikaitkan dengan angka 15.1 seperti yang diuraikan berikut ini: 1. berdasar Interpretation (angka 1) yang berkenaan dengan DEFINITION (pengertian) yang dirumuskan pada 1.1. yang berkenaan dengan Final Maturity Date dan First Maturity Date telah disepakati pengertian tanggal jatuh tempo terakhir (Final Maturity Date) adalah 24 bulan sejak tanggal penarikan pertama; sedangkan jatuh tempo pertama (First Maturity. Date) pada tanggal yang bertepatan 24 bulan sejak tanggal penarikan pertama. Jika bertitik tolak dari rumusan ketentuan ini dikaitkan dengan dalil dan penandatanganan Facility Agreement tertanggal 3 Desember 1996, berarti penarikan pertama (first drawing) atas pinjaman terjadi tanggal 3 Desember 1996. Kalau begitu, jatuh tempo penagihan pinjaman adalah 24 bulan dari tanggal 3 Desember 1996. Dengan demikian jatuh tempo, baru efektif berlaku 24 bulan dari 3 Desember 1996 adalah 3 Desember 1998. 2. Berdasarkan angka 15, telah diatur mengenai Cidera Janji atau Default. Lebih lanjut 15.1 telah menyebut satu persatu bentuk-bentuk cidera janji yang disepakati (mulai dari a s/d n, seperti non-payment, breach of obligation, misrepresantation dan seterusnya). Bentuk-bentuk Default dimaksud, dapat dijadikan dasar Percepatan Jatuh Tempo pembayaran (immediate due and payable). Jadi, apabila, Ometraco. Corporation sebagai Debitur melakukan salah satu tindakan cidera janji yang disebut dalam pasal 15.1 (P.1), dapat dijadikan alasan oleh pihak Kreditur untuk mempercepat jatuh tempo pembayaran. Selanjutnya kalimat terakhir 15.1. mengatur pernyataan dan tata cara penerapan percepatan jatuh tempo. pembayaran yakni: - Percepatan jatuh tempo atas permintaan Bank Mayoritas (upon the request of Mayority Bank). Dan yang dimaksud Bank Mayoritas menurut 1.1 (P.1): jumlah pinjaman yang masih berlangsung sampai di atas 50% dari seluruh jumlah yang masih berlangsung atau seluruh komitmen semua Bank (selain dari pada Penyandang Dana); - Permintaan itu disampaikan Bank Mayoritas kepada Agen; dalam hal ini Banque Paribas Singapore Branch; - Selanjutnya, Agen memberitahu kepada peminjam (notice to the Borrower) dalam hal ini Ometraco Corporation;
Menimbang, mengenai percepatan penagihan atau jatuh tempo berdasar kalimat terakhir 15,1 telah disampaikan atau diberitahu (notify) Agen, Banque Paribas kepada Ometraco Corporation pada tanggal 3 Februari 1998, sebagaimana yang tertuang dalam surat bukti P4. Bahwa akan tetapi, baik berdasar P4 maupun berdasar alat bukti lain, tidak mampu membuktikan bahwa percepatan jatuh tempo dimaksud telah memenuhi persyaratan yang ditentukan 15.1. Pemohon tidak mampu membuktikan pengeluaran P4 didasarkan pada fakta adanya pelanggaran yang dilakukan Termohon terhadap salah satu unsur Default yang dirinci dalam 15.1 (a s/d n). Bahwa selain dari pada itu, para Pemohon tidak pula dapat membuktikan, pengeluaran dan pemberitahuan P4 yang dilakukan Agen kepada Termohon sebagai Debitur, benar-benar berdasar Permintaan Bank Mayoritas (upon the request of the Majority Bank). Semestinya Agen harus menjelaskan yang dibarengi dengan bukti dokumen, tentang adanya permintaan Bank Mayoritas atas kelahiran P4 yang disampaikan kepada Ometraco Corporation. Menimbang, selain dari pada itu, dalam permohonan ini, Pihak Pemohon telah mencampur aduk jatuh tempo yang disepakati dalam fasilitas Agreement tanggal 3 Desember 1996 dengan jatuh tempo yang diatur dalam Perjanjian Kredit Sindikasi 26 Juni 1997, atas alasan: - penentuan jatuh tempo dan percepatan jatuh tempo yang dipedomani dalam permohonan No. 05/1998, merujuk kepada Final and First Maturity Date yang disebut dalam 1.1 dihubungkan dengan 15.1. seperti yang diuraikan diatas. - sebaliknya patokan menentukan jatuh tempo dan percepatan jatuh tempo dalam permohonan No. 04/1998, merujuk kepada ketentuan Event of Default Pasal 7.1,7.4 dan 10;1 (i) yang diatur dalam Perjanjian Kredit Sindikasi 16 Juni 1997. Menimbang, kalau begitu, oleh karena Pemohon tidak dapat membuktikan pengeluaran P4 benar-benar didasarkan atas adanya pelanggaran salah satu unsur Default, dan kemudian juga tidak membuktikan kelahiran P4 oleh Agen berdasar permintaan Bank Mayoritas, berarti patokan menentukan jatuh tempo pembayaran harus berdasar ketentuan yang digariskan 1.1 yakni 24 bulan dari penarikan pertama. Kemudian oleh karena pihak Kreditur sendiri telah mengajukan dua permohonan (04/1998 dan 05/1998), jatuh tempo dalam permohonan 04/1998 tidak dapat digunakan untuk permohonan 05/1998. Bahwa jika demikian halnya, maka jatuh tempo yang dibenarkan hukum dalam kasus Facility Agreement tanggal 3 Desember 1996 (Pl) adalah pada tanggal 3 Desember 1998. Bahwa sehubungan dengan itu, untuk menyatakan apakah Ometraco Corporation sebagai Debitur telah berada dalam keadaan Insolvensi atau Unable To Pay hutang yang dipinjamnya dari Para Pemohon sebagai Kreditur, baru dapat diajukan paling cepat 3 Desember 1998. Bahwa dengan demikian permohonan pernyataan pailit yang diajukan para Pemohon dalam permohonan 05/1998 kepada Pengadilan Niaga, adalah Prematur, atau masih terlampau dini. Dengan demikian permohonan pernyataan pailit yang diajukan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 (1) Undang-undang Kepailitan, karena hutang atau pinjaman yang menjadi dasar permohonan: Belum Jatuh Waktu Untuk Ditagih. Menimbang oleh karena permohonan tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 (1), cukup alasan untuk Menolak permohonan tanpa menutup hak para Pemohon untuk mengajukan permohonan kembali setelah jatuh tempo yang dikemukakan dalam pertimbangan terdahulu dilewati.
Menimbang, berdasar alasan-alasan yang dipertimbangkan di atas, putusan Judex Factie tidak dapat dipertahankan, oleh karena itu harus dibatalkan, dan berbarengan dengan itu peradilan kasasi akan mengadili sendiri sesuai dengan amar yang disebutkan dalam putusan ini. Bahwa perlu dijelaskan, pada dasarnya, putusan yang dapat dijatuhkan dalam perkara permohonan pailit hanya terbatas pada Menolak atau Menerima permohonan. Jadi jika ditinjau dari pendekatan acara perdata biasa, putusan yang dapat dijatuhkan bersifat positif yakni menolak atau menerima (mengabulkan) permohonan. Akan tetapi Penolakan permohonan dalam perkara pailit, tidak sama pengertian positifnya dalam acara perdata biasa, karena penolakan di sini tidak bersifat menuntaskan dan mendefinitifkan hubungan hukum yang menyangkut dengan hak atau kepemilikan atas suatu benda. Tetapi yang terjadi, penolakan itu semata-mata berdasar tidak terpenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 1, permohonan dapat diajukan kembali oleh pihak Kreditur; seperti halnya dalam kasus ini, sekiranya telah terlampaui tanggal jatuh tempo yang dikemukakan dalam pertimbangan di atas yakni 3 Desember 1998, para Kreditur dapat lagi mengajukan permohonan kembali. Menimbang, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pada ad.3 tersebut diatas, dengan tanpa mempertimbangkan keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I lainnya, maka menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : PT. Ometraco Corporation Tbk, dan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi II; 1. American Express Bank Ltd Singapore Branch, 2. Overseas Chinese Banking Corporation Limited, 3. Royal Bank Of Canada, 4. PT. Bank Exspor Impor Indonesia, 5. Union De Banques Arabes Et Franchises Singapore Branch, 6: PT. Fuji Bank Internasional Indonesia, 7. PT. Bank Bii Commonwealth, 8. PT. Bank Pembangunan Indonesia, 9. The Commecial Bank Of Korea Singapore Branch, 10. Industrial And Commercial Bank Limited, dan untuk membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, sehingga Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan menolak permohonan Pemohon Asal; Menimbang, oleh karena permohonan Pemohon Kasasi I/Termohon asal dikabulkan, maka tidak perlu lagi dipertimbangkan alasan-alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi II/Pemohon Asal. Menimbang, bahwa oleh karena Para Termohon Kasasi I juga Para Pemohon Kasasi II/Para Pemohon Asal/Para Kreditur di pihak yang kalah maka mereka harus membayar semua biaya perkara baik yang jatuh dalam tingkat Pengadilan Niaga maupun yang jatuh dalam tingkat kasasi; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-undang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 14 Tahun 1985 dan Undang-undang No. 4 Tahun 1998/Perpu No. 1 Tahun 1998 serta Undangundang yang bersangkutan: Mengadili: Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi II: 1. American Express Bank Ltd Singapore Branch, 2. Oversea Chinese Banking Corporation Limited, 3 Royal Bank Of Canada, 4. PT. Bank Exspor Impor Indonesia, 5. Union De Banques Arabes Et Franchises Singapore Branch, 6. PT. Fuji Bank Internasional Indonesia, 7. PT. Bank Bii Commonwealth, 8. PT. Bank Pembangunan Indonesia, 9. The Commecial Bank Of Korea Singapore Branch, 10. Industrial And Commercial Bank Limited tersebut.
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I PT. Ometraco Corporation Tbk tersebut. Membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tanggal 29 September 1998 No.05/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt-Pst. Mengadili Sendiri: Menolak permohonan para Pemohon/para Kreditur; Menghukum Para Termohon Kasasi I juga Para Pemohon Kasasi II/Para Pemohon/Para Kreditur untuk membayar semua biaya perkara, baik yang timbul dalam tingkat Pengadilan Niaga sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan dalam tingkat kasasi sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah); Demikianlah diputus dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Jum'at tanggal 6 November 1998 dengan H.M. Yahya Harahap, SH, Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang, NY. Marianna Sutadi, SH dan S.O. Nainggolan, SH. Sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari: Kamis tanggal 19 November 1998 oleh Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri NY. Marianna Sutadi, SH. dan S.O. Nainggolan, SH. Hakim-Hakim Anggota, NY. Andriani Nurdin, SH. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.
Hakim Ketua:
ttd.
Ny. Marianna Sutadi, SH.
Hakim-Hakim Anggota: ttd H.M. Yahya Harahap, SH.
ttd.
S.O. Nainggolan, SH.