UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1998 (5/1998) Tanggal: 28 SEPTEMBER 1998 (JAKARTA) _________________________________________________________________ Tentang: PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia harus dicegah dan dilarang; b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, di dalam sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984, telah menyetujui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 23 Oktober 1985; d. bahwa konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia serta selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus-menerus menegakkan dan memajukan pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan *9052 dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Undang-undang. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21
ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA). Pasal 1 (1) Mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1). (2) Salinan naskah asli Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20, dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggeris, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini. Pasal 2 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1998 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1998 *9053 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 164 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) I. UMUM Pada tanggal 9 Desember Tahun 1975 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menerima Deklarasi tentang Perlindungan Semua
Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, dan menyatakan perlunya langkah-langkah yang efektif untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Langkah-langkah ini mencakup antara lain perbaikan cara interogasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. Adapun pengertian penyiksaan dalam Deklarasi ini adalah tindak pidana, menurut ketentuan dalam hukum pidana. Namun, karena deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang selanjutnya diajukan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara konsensus rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987. Pemerintah Republik Indonesia menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktober 1985. Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia (HAM), termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia 1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan prioritas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang *9054 HAM, termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan. Karena didorong oleh rasa tanggung jawab untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dan pembangunan hukum di Indonesia, DPR-RI memutuskan menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting. Saat ini Konvensi telah disahkan oleh 105 negara. Sebagai negara berdaulat dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku, Indonesia memutuskan untuk menyampaikan suatu pernyataan (declaration) terhadap Pasal 20 Konvensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimuat dalam konvensi, kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah Negara Pihak harus tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Pernyataan (declaration) ini tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga pernyataan tersebut sama sekali tidak menghapuskan kewajiban atau tanggung jawab Negara Pihak untuk melaksanakan isi Konvensi. Sesuai dengan ketentuan Konvensi, Indonesia juga menyatakan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui jurisdiksi yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku. II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI 1. Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi di
berbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan berbudaya. Dalam rangka menegakkan sendi-sendi masyarakat demikian itu, seluruh masyarakat internasional bertekad bulat melarang dan mencegah segala bentuk tindak penyiksaan, baik jasmaniah maupun rohaniah. Masyarakat internasional sepakat untuk mengatur pelarangan dan pencegahan tindak penyiksaan ini dalam suatu wadah perangkat internasional yang mengikat semua Negara Pihak secara hukum. 2. Dalam kaitan itu, Majelis Umum PBB telah menerima Deklarasi Universal HAM pada tanggal 10 Desember 1948. Pasal 5 Deklarasi ini menjamin sepenuhnya hak setiap orang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. 3. Selanjutnya, perangkat internasional di bidang HAM yang bersifat sangat penting lainnya, yakni Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan *9055 Politik (Pasal 7), menetapkan bahwa hak tersebut merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dengan alasan apa pun (non-derogable rights). III. ALASAN INDONESIA MENJADI NEGARA PIHAK DALAM KONVENSI 1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan isi Konvensi ini. 2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Namun perundang-undangan itu karena belum sepenuhnya sesuai dengan Konvensi, masih perlu disempurnakan. 3. Penyempurnaan perundang-undangan nasional tersebut, akan meningkatkan perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga akan lebih menjamin hak-hak setiap warga negara bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demi tercapainya suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya. 4. Suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya akan mampu mewujudkan upaya bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban umum, dan kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia. 5. Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggung jawab menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Hal ini juga akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia. IV. POKOK-POKOK ISI KONVENSI 1. Konvensi menentang penyiksaan terdiri atas pembukaan dengan 6 paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab yang terdiri atas 33 pasal. a. Pembukaan meletakkan dasar-dasar dan tujuan Konvensi. Dalam konsideran secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah lebih mengefektifkan perjuangan di seluruh dunia dalam menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat *9056 manusia. b. Bab I (Pasal 1-16) memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur definisi tentang penyiksaan dan kewajiban Negara Pihak untuk mencegah dan melarang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. c. Bab II (Pasal 17 _ 24) mengatur ketentuan mengenai Komite Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) dan tugas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan Konvensi. d. Bab III (Pasal 25 _ 33) merupakan ketentuan penutup yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan mulai berlakunya Konvensi, perubahan, pensyaratan (reservation), ratifikasi dan aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesaian perselisihan antar Negara Pihak. 2. Ketentuan-ketentuan Pokok Konvensi Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun pelarangan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi ini tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah efektif lainnya guna mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak terdapat pengecualian apa pun, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan ini, perintah dari atasan atau penguasa (public authority) juga tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas suatu penyiksaan. Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Hal yang sama berlaku pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur bahwa pelaku tindak pidana tersebut dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan sifat tindak pidananya. Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaan sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Konvensi selanjutnya melarang Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan. Negara Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan *9057 terhadap seseorang yang melakukan tindak penyiksaan apabila tidak mengekstradisikannya. Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan atas tindak penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam proses penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau perlakuan terhadap setiap pribadi/individu yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan. Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya bahwa korban suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk mendapatkan rehabilitasi. 3. Implementasi Konvensi Implementasi Konvensi dipantau oleh Komite Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) yang terdiri dari sepuluh orang pakar yang bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang HAM. Negara Pihak harus menanggung pembiayaan yang dikeluarkan oleh para anggota Komite dalam menjalankan tugasnya dan pembiayaan penyelenggaraan sidang Negara Pihak dan sidang Komite. Menurut ketentuan Pasal 19, Negara Pihak harus menyampaikan kepada Komite, melalui Sekretaris Jenderal PBB, laporan berkala mengenai langkah-langkah yang telah mereka lakukan dalam melaksanakan kewajibannya menurut Konvensi. Setiap laporan akan dipertimbangkan
oleh Komite, yang selanjutnya dapat memberikan tanggapan umum dan memasukkan informasi tersebut dalam laporan tahunannya kepada Negara Pihak dan kepada Sekretaris Jenderal PBB. Selain melalui penyampaian laporan berkala oleh Negara Pihak, pemantauan atas pelaksanaan Konvensi juga dapat dilakukan melalui cara-cara berikut : a. Menurut Pasal 20, apabila Komite menerima informasi yang dapat dipertanggungjawabkan (reliable), bahwa penyiksaan dilakukan secara sistematis di wilayah suatu Negara Pihak. Komite harus mengundang Negara Pihak tersebut untuk bekerja sama membahas informasi tersebut dan Komite menyampaikan hasil pengamatannya. Komite dapat memutuskan, apabila informasi tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, segera melaporkannya kepada Komite dan menugaskan anggotanya seorang atau lebih, melakukan suatu penyelidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite. Dengan persetujuan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat berupa kunjungan ke wilayah Negara Pihak tersebut. *9058 b. Negara Pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 21, dapat membuat deklarasi yang mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan (communications) suatu Negara Pihak yang menyatakan bahwa Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi. Komite hanya berwenang menerima dan membahas laporan pengaduan oleh Negara Pihak yang telah membuat Deklarasi. Komite tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan tentang suatu Negara Pihak yang tidak membuat suatu Deklarasi. c. Negara Pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 22, dapat membuat deklarasi mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan dari atau atas nama pribadi/individu yang berada dalam yurisdiksinya, yang menyatakan diri menjadi korban pelanggaran yang dilakukan Negara Pihak itu terhadap Konvensi. Komite tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan jika menyangkut suatu Negara Pihak yang tidak membuat Deklarasi. Komite juga tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan dari seseorang, kecuali jika Komite menyatakan bahwa : 1) Pengaduan tersebut belum pernah atau tidak sedang dibahas oleh prosedur penyelesaian atau penyelidikan internasional lainnya; 2) Perorangan yang dimaksudkan sudah menggunakan segala upaya penyelesaian hukum di dalam negerinya. 4. Pensyaratan (Reservation) dan Deklarasi (Declaration) Konvensi ini memperbolehkan Negara Pihak mengajukan pensyaratan terhadap 2 pasal, yakni : a. Menyatakan tidak mengakui kewenangan Komite Menentang Penyiksaan dalam Pasal 20, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Konvensi. b. Menyatakan tidak terikat pada pengajuan penyelesaian suatu perselisihan di antara Negara Pihak kepada Mahkamah Internasional, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Konvensi. Konvensi ini juga memungkinkan Negara Pihak membuat deklarasi mengenai kewenangan Komite Menentang Penyiksaan, sebagaimana diatur oleh Pasal 21 dan Pasal 22 Konvensi. V. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Ayat (1) Diajukannya Deklarasi (Declaration) terhadap Pasal 20 adalah berdasarkan prinsip untuk menghormati kedaulatan negara dan keutuhan wilayah *9059 Negara Pihak dan diajukannya Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) adalah berdasarkan prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan Para Pihak. Ayat (2) Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli Konvensi,
Deklarasi terhadap Pasal 20 dan Pensyaratan terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggeris. Pasal 2 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3983 --------------------------CATATAN KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis Umum 39/46 tanggal 10 Desember 1984 Mulai berlaku : 26 Juni 1997, sesuai Pasal 27(1) Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Menimbang bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas hak-hak yang sama dan hak-hak yang tidak boleh dipisahkan dari semua umat manusia merupakan landasan kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, Mengakui bahwa hak-hak tersebut melekat pada martabat manusia sebagai pribadi, Menimbang bahwa kewajiban Negara-negara dalam Piagam, terutama Pasal 55, yaitu untuk memajukan penghormatan dan pentaatan yang universal terhadap, hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar, Mengingat Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang menyatakan bahwa tak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, Mengingat pula Deklarasi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan martabat manusia, *9060 yang diterima oleh Majelis Umum pada tanggal 9 Desember 1975, Berkeinginan untuk menjadikan lebih efektif perjuangan menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan di seluruh dunia, Telah menyepakati hal-hal sebagai berikut : BAB I Pasal 1 1. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu
atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengatahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. 2. Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang mengandung atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan penerapan yang lebih luas. Pasal 2 1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya. 2. Tidak ada terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau mau pun keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. 3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. Pasal 3 1. Tidak ada Negara Pihak yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler), atau mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan. *9061 2. Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang berkaitan, termasuk apabila mungkin, terdapat pola tetap pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi manusia di negara tersebut. Pasal 4 1. Setiap Negara Pihak harus mengatur agar tindak penyiksaan merupakan tindak pidana menurut ketentuan hukum pidananya. Hal yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang membantu atau turut serta dalam penyiksaan. 2. Setiap Negara Pihak harus mengatur agar tindak pidana dapat dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan pertimbangan sifat kejahatannya. Pasal 5 1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah diperlukan dalam menetapkan kewenangan hukumnya (jurisdiction) atas pelanggaran yang disebut pada Pasal 4 dalam hal-hal berikut : a. Apabila tindak pidana dilakukan di dalam suatu wilayah hukumnya atau di atas kapal laut atau pesawat yang terbang yang terdaftar di negara itu; b. Apabila pelaku yang dituduhkan adalah warga dari negara
tersebut; c. Apabila korban dianggap sebagai warga negara tersebut, dan negara itu memandang perlu. 2. Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menetapkan kewenangan hukumnya atas tindak pidana dalam kasus yang pelaku tindak pidana yang dituduh itu berada di wilayah kewenangan hukumnya dan negara itu tidak menyerarahkannya mengektradisikannya sesuai dengan Pasal 8 ke negara lain sebagaimana tersebut dalam ayat (1) Pasal ini. 3. Konvensi ini tidak mengesampingkan kewenangan hukum pidana apapun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional. Pasal 6 1. Setelah yakin, melalui pengujian informasi yang tersedia untuk itu, bahwa keadaan menhendakinya, semua Negara Pihak yang di wilayahnya terdapat i orang yang diduga telah melakukan tindak pidana yang disebut dalam Pasal 4, harus menahannya orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum lain itu harus disesuaikan dengan hukum negara tersebut, tetapi dapat diperpanjang dalam jangka waktu tertentu yang diperlukan agar memungkinkan prosedur pidana atau ekstradisi dilaksanakan. *9062 2. Negara tersebut harus segera melaksanakan penyelidikian awal berdasarkan fakta yang ada. 3. Seseorang yang ditahan berdasarkan ayat (1) Pasal ini harus dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan terdekat negara, tempat ia menjadi warga negara, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan negara tempat ia biasa menetap. 4. Apabila suatu negara, sesuai dengan pasal ini, telah menahan seseorang, negara tersebut harus segera memberitahukan kepada negara yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1), tentang kenyataan bahwa orang tersebut benar berada dalam tahanan dan alasan penahanannya. Negara yang melakukan penyelidikan awal sebagaiman dimaksud dalam ayat (2) pasal ini harus segera melaporkan temuannya kepada negara termaksud dan menyampaikan apakah pihaknya akan melaksanakan kewenangan hukum. Pasal 7 1. Negara Pihak yang di wilayah kewenangan hukumnya ditemukan seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana sebagaimana disebut dalam pasal 4, pada kasus yang dimaksud dalam Pasal 5, jika negara itu tidak mengekstradisinya, harus mengajukan kasus itu kepada pihaknya yang berwenangnya untuk tujuan penuntutan. 2. Pihak-pihak yang berwenang ini harus mengambil keputusannya dengan cara yang sama seperti dalam mengambil keputusan pada kasus tindak pidana biasa lain yang menurut hukum itu merupakan tindak pidana berat. Dalam kasus yang disebut dalam Pasal 5 ayat (2), standar pembuktian yang diperlukan dan penuntutan dan penghukuman sama sekali tidak boleh kurang kerasnya dibandingkan dengan standar pembuktian yang diterapkan pada kasus-kasus yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1). 3. Seseorang yang sedang diajukan ke sidang pengadilan sehubungan dengan suatu tindak yang disebut dalam Pasal 4 harus dijamin mendapatkan perlakuan adil pada semua tahap proses pengadilan.
Pasal 8 1. Tindak pidana yang disebut dalam Pasal 4 harus dianggap sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisi di dalam setiap perjanjian yang telah dibuat di antara Negara Pihak. Negara Pihak harus memasukkan tindak pidana semacam itu sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang disepakati di antara mereka. 2. Dalam hal suatu Negara Pihak yang mensyaratkan adanya suatu perjanjian untuk melakukan ekstradisi menerima permohonan ekstradisi dari suatu Negara Pihak lain. Negara pihak yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengannya, dapat menganggap Konvensi ini sebagai dasar hukum bagi ekstradisi yang berkenaan dengan tindak *9063 pidana semacam itu. Ekstradisi ini tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Negara yang menerima permohonan. 3. Negara-negara Pihak yang tidak mensyaratkan adanya suatu perjanjian untuk melakukan ekstradisi harus mengakui tindak pidana semacam itu sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisi di antara mereka sendiri yang tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum negara yang menerima permohonan. 4. Tindak pidana seperti itu harus diperlakukan, untuk keperluan ekstradisi antara Negara-negara Pihak, sebagai tindak pidana yang dilakukan tidak hanya di tempat dimana tindak pidana itu terjadi tetapi juga di wilayah Negara yang diminta untuk menetapkan kewenangan hukumnya sesuai dengan pasal 5 ayat (1). Pasal 9 1. Negara-negara Pihak harus saling memberi bantuan sebesar-besarnya sehubungan dengan tindak pidana yang disebut dalam pasal 4, termasuk memberikan semua bukti yang mereka miliki yang diperlukan untuk penyelesaian perkara itu. 2. Negara-negara Pihak akan melaksanakan kewajibannya berdasarkan ayat 1 pasal ini sesuai dengan setiap perjanjian timbal balik yang mungkin ada di antara negara-negara tersebut. Pasal 10 1. Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukkan dalam pelatihan bagi para petugas penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain yang ada kaitannya dengan penahanan, interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara. 2. Setiap Negara Pihak harus mencantumkan larangan ini dalam peraturan atau instruksi yang dikeluarkan sehubungan dengan tugas dan fungsi orang-orang tersebut di atas. Pasal 11 Setiap Negara Pihak harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara
dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya , dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan. Pasal 12 Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi-instansi yang berwenang harus melakukan suatu penyelidikan dengan *9064 cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya. Pasal 13 Setiap Negara Pihak harus menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak berwenang. Langkah-langkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduannya atau setiap kesaksian yang mereka berikan. Pasal 14 1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan kompesasi. 2. Dalam pasal ini tidak ada apapun yang boleh mengurangi hak korban atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam hukum nasional. Pasal 15 Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah dibuat sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan harus tidak digunakan sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah di buat. Pasal 16 1. Setiap Negara Pihak harus mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1, apabila tindakan semacam itu dilakukan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke bentuk-bentuk lain dari perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. 2. Ketentuan Konvensi ini tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap perangkat internasional atau hukum nasional yang melarang perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, atau yang berhubungan dengan ekstradisi atau pengusiran.
*9065 BAB II Pasal 17 1. Harus dibentuk suatu Komite Menentang Penyiksaan (selanjutnya disebut Komite) guna melaksanakan tugas-tugas yang telah ditetapkan. Komite terdiri dari sepuluh pakar yang bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang hak asasi manusia, yang harus bertugas dalam kapasitas pribadinya. Para pakar itu dipilih oleh Negara-Negara Pihak berdasarkan pada pembagian geografis yang adil dan berdasarkan manfaat dari keikutsertaan mereka yang mempunyai pengalaman di bidang hukum. 2. Para anggota Komite harus dipilih melalui pemungutan suara secara rahasia berdasarkan suatu daftar dari mereka yang dicalonkan oleh Negara-Negara Pihak. Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu orang warga negaranya. Negara-Negara Pihak harus mempertimbangkan manfaat pencalonan orang-orang yang juga menjadi anggota Komite Hak Asasi Manusia yang didirikan dimenurut Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan yang bersedia bertugas dalam Komite Menentang Penyiksaan. 3. Pemilihan para anggota Komite harus dilakukan pada sidang dua tahunan antar Negara-Negara Pihak yang diadakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam sidang itu, dua-pertiga Negara-Negara Pihak yang hadir merupakan kuorum; orang-orang yang terpilih untuk duduk sebagai anggota Komite adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dan mayoritas mutlak dari suara para wakil Negara-Negara Pihak yang hadir dan memberikan suara. 4. Pemilihan pertama harus diadakan paling lambat enam bulan setelah tanggal diberlakukannya Konvensi ini. Sekurang-kurangnya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada Negara-Negara Pihak yang meminta agar dalam waktu tiga bulan mereka sudah mengajukan calon-calonnya. Sekretaris Jenderal menyiapkan suatu daftar menurut abjad semua calon beserta Negara-Negara Pihak yang mencalonkan mereka dan kemudian menyampaikannya kepada Negara-negara Pihak. 5. Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Jika dicalonkan kembali, mereka dapat dipilih lagi. Masa jabatan lima orang di antara para anggota yang dipilih pada pemilihan pertama berakhir pada akhir tahun kedua; segera setelah pemilihan pertama nama-nama lima orang anggota ini harus dipilih lewat undian oleh Ketua Sidang yang disebut dalam ayat (3) pasal ini. 6. Dalam hal seorang anggota Komite meninggal atau mengundurkan diri atau karena suatu alasan tidak dapat lagi menjalankan tugas-tugasnya dalam Komite, Negara Pihak yang mencalonkannya harus menunjuk seorang ahli *9066 lain di antara warga negaranya untuk bertugas selama sisa masa jabatan yang ditinggalkan tersebut, setelah ada persetujuan mayoritas dari Negara-Negara Pihak. Persetujuan dianggap telah diberikan, kecuali kalau setengah atau lebih Negara-Negara Pihak memberi jawaban negatif dalam waktu enam minggu setelah diberitahukan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai penunjukkan orang yang diusulkan. 7. Negara-negara Pihak bertanggung jawab atas pembiayaan yang dikeluarkan oleh para anggota Komite manakala mereka melakukan tugasnya.
Pasal 18 1. Komite memilih pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun dan dapat dipilih kembali. 2. Komite harus menetapkan aturan tata kerjanya sendiri yang menentukan antara lain, bahwa: (a) Enam anggota Komite diperlukan untuk suatu kuorum; (b) Keputusan-keputusan Komite harus diambil dengan suara mayoritas dari para anggota yang hadir. 3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan staf dan fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan efektif dari tugas Komite berdasarkan Konvensi ini. 4. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan sidang pertama Komite. Setelah sidang pertama ini, Komite harus bertemu pada waktu-waktu seperti yang ditetapkan dalam aturan tata kerjanya. 5. Negara-negara Pihak harus menanggung pembiayaan yang timbul berkenaan dengan penyelenggaraan rapat-rapat Negara Pihak dan rapat Komite, termasuk penggantian pembayaran kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa atas semua pengeluaran, seperti biaya staf dan fasilitas, yang telah dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan ayat 3 pasal ini. Pasal 19 1. Negara-negara Pihak harus menyerahkan kepada Komite, melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, laporan tentang tindakan-tindakan yang telah mereka ambil dalam rangka pelaksanaan dari Konvensi ini, dalam waktu satu tahun setelah diberlakukannya Konvensi ini untuk Negara Pihak yang bersangkutan. Setelah itu Negara-Negara Pihak menyerahkan laporan pelengkap setiap empat tahun sekali tentang langkah-langkah baru yang diambil dan laporan-laporan lain yang mungkin diminta oleh Komite. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus meneruskan laporan-laporan tersebut kepada semua Negara *9067 Pihak. 3. Setiap laporan harus dipertimbangkan oleh Komite yang dapat memberikan komentar umum terhadap laporan tersebut apabila Komite menganggapnya tepat dan harus meneruskan komentar ini kepada Negara Pihak yang bersangkutan. Negara Pihak tersebut dapat memberikan tanggapan melalui observasi-observasi yang dibuatnya kepada Komite. 4. Secara bijaksana Komite dapat memutuskan untuk memasukkan setiap komentar yang dibuatnya sesuai dengan ayat (3) pasal ini, bersamaan dengan observasi atas komentar itu dari Negara Pihak yang bersangkutan, dalam laporan tahunannya yang disusun sesuai dengan Pasal 24. Jika diminta oleh Negara Pihak yang bersangkutan, Komite juga dapat menyertakan salinan laporan yang diajukan berdasarkan ayat (1) pasal ini. Pasal 20 1. Dalam hal Komite menerima informasi terpercaya yang menurut Komite
mengandung petunjuk yang cukup beralasan bahwa penyiksaan sedang dilakukan secara sistematik di wilayah suatu Negara Pihak, Komite dapat mengundang Negara Pihak itu untuk bekerjasama dalam memeriksa kebenaran dari informasi tersebut dan untuk keperluan ini mengajukan observasi berkenaan dengan informasi tersebut. 2. Berdasarkan observasi yang mungkin telah disampaikan oleh Negara Pihak dan informasi terkait lainnya yang dimiliki oleh Komite, Komite dapat memutuskan, jika hal itu dibenarkan, untuk menugaskan seorang atau lebih anggotanya untuk mengadakan suatu penyelidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite. 3. Dalam hal suatu penyelidikan yang diadakan sesuai dengan ayat (2) pasal ini, Komite harus mengupayakan kerjasama dari Negara Pihak yang bersangkutan. Melalui persetujuan dengan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat berupa kunjungan ke wilayah Negara Pihak tersebut. 4. Setelah memeriksa temuan-temuan dari anggota yang diajukan sesuai dengan ayat (2) pasal ini, meneruskan temuan-temuan tersebut kepada Negara bersangkutan bersama dengan komentar atau saran situasi yang ada.
atau para anggotanya Komite harus Pihak yang yang sepadan dengan
5. Semua tindakan yang dilakukan oleh Komite yang disebut dalam ayat (1) sampai (4) pasal ini harus bersifat rahasia, dan pada setiap tahap, harus diupayakan adanya kerjasama dengan Negara Pihak yang bersangkutan. Setelah rangkaian tindakan berkenaan dengan penyelidikan dilakukan sesuai dengan ayat 2 tersebut selesai dan setelah berkonsultasi dengan Negara Pihak yang bersangkutan, Komite dapat memutuskan untuk memasukkan laporan singkat mengenai hasil-hasilnya *9068 dalam laporan tahunannya yang disusun berdasarkan Pasal 24. Pasal 21 1. Negara Pihak Konvensi ini setiap saat berdasarkan Pasal ini dapat menyatakan bahwa pihaknya mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan yang menyebutkan bahwa suatu Negara Pihak menyatakan bahwa suatu Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan Konvensi ini. Laporan pengaduan semacam ini dapat diterima dan dibahas sesuai dengan prosedur yang diatur dalam pasal ini hanya jika diajukan oleh suatu Negara Pihak yang telah mengeluarkan pernyataan yang mengakui wewenang Komite. Tidak ada laporan pengaduan yang harus ditandatangani oleh Komite berdasarkan pasal ini, jika hal itu berkenaan dengan suatu Negara Pihak yang belum mengeluarkan pernyataan seperti itu. Laporan pengaduan yang diterima berdasarkan pasal ini harus ditangani sesuai dengan prosedur berikut ini: (a) Jika suatu Negara Pihak berpendapat bahwa suatu Negara Pihak lain tidak menjalankan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, negara tersebut, dengan laporan pengaduan tertulis, dapat mengajukan persoalan itu untuk menjadi perhatian Negara Pihak yang bersangkutan. Dalam waktu tiga bulan setelah diterimanya laporan pengaduan tersebut, negara penerima harus memberikan kepada negara yang mengirim laporan pengaduan suatu penjelasan atau suatu pernyataan lain secara tertulis untuk menjelaskan persoalan yang mencakup, sejauh dimungkinkan dan berkaitan, acuan kepada prosedur-prosedur dalam negeri dan langkah perbaikan yang diambil yang disiapkan atau yang ada dalam masalah tersebut; (b) Jika persoalan itu ditangani secara tidak memuaskan bagi kedua Negara Pihak yang bersangkutan dalam waktu enam bulan setelah
diterimanya laporan pengaduan awal oleh Negara penerima, kedua Negara berhak menyerahkan permasalahannya kepada Komite, melalui pemberitahuan yang disampaikan kepada Komite dan kepada Negara lain tersebut; (c) Komite harus menangani suatu masalah yang diserahkan kepadanya berdasarkan Pasal ini hanya setelah Komite memastikan bahwa semua langkah perbaikan di dalam negeri telah diupayakan dan digunakan sepenuhnya dalam masalah ini, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara umum. Hal ini tidak berlaku apabila penerapan langkah perbaikan itu diperpanjang secara tidak masuk akal atau tidak mungkin membawa perbaikan secara efektif kepada orang yang menjadi korban dari pelanggaran hukum seperti yang diatur dalam Konvensi ini; (d) Komite mengadakan pertemuan yang harus tertutup, manakala memeriksa laporan pengaduan berdasarkan pasal ini; *9069 (e) Berdasarkan pada ketentuan sub-ayat (c), Komite memberikan jasa-jasa baiknya kepada Negara-Negara Pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk memecahkan permasalahan secara bersahabat dan atas dasar penghormatan terhadap kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Konvensi ini. Untuk tujuan ini, apabila dipandang tepat, Komite dapat membentuk suatu Komisi konsiliasi adhoc; (f) Dalam menangani setiap masalah yang diajukan kepadanya berdasarkan pasal ini, Komite dapat meminta kepada Negara-Negara Pihak yang bersangkutan, yang disebut dalam sub-ayat (b), untuk memberikan semua informasi yang berkaitan; (g) Negara-Negara Pihak yang bersangkutan, yang disebut dalam sub-ayat (b), berhak untuk memberikan pandangannya secara lisan dan/atau tertulis, apabila masalah itu dibahas oleh Komite; (h) Komite, dalam jangka waktu dua belas bulan setelah diterimanya pemberitahuan berdasarkan sub-ayat (b), harus menyampaikan suatu laporan: (i) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat(e) tercapai, Komite membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang fakta dan penyelesaian yang dicapai; (ii) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tidak tercapai, Komite membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang fakta; pengajuan tertulis dan rekaman mengenai pengajuan-pengajuan lisan yang disampaikan oleh Negara-Negara Pihak yang bersangkutan dilampirkan pada laporan tersebut. Dalam setiap penanganan masalah, laporan harus disampaikan kepada Negara-Negara Pihak yang bersangkutan. 2. Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku apabila lima Negara Pihak Konvensi ini telah membuat pernyataan berdasarkan ayat (1) pasal ini. Pernyataan tersebut harus disampaikan oleh Negara-Negara Pihak kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang harus meneruskan salinan-salinan dari padanya kepada Negara-Negara Pihak lainnya. Suatu pernyataan dapat ditarik kembali sewaktu-waktu dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan kembali semacam itu harus tidak mempengaruhi pembahasan mengenai suatu masalah yang merupakan pokok persoalan dari suatu laporan pengaduan yang sudah dikirimkan berdasarkan Pasal ini; tidak ada laporan pengaduan lebih lanjut dari suatu Negara Pihak harus diterima berdasarkan Pasal ini, setelah pemberitahuan mengenai penarikan pernyataan itu diterima oleh Sekretaris Jenderal, kecuali kalau Negara Pihak yang bersangkutan membuat pernyataan baru. Pasal 22 1. Suatu Negara Pihak dalam Konvensi ini setiap waktu dapat menyatakan berdasarkan Pasal ini bahwa pihaknya mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan dari atau atas nama pribadi-pribadi *9070 yang tunduk pada kewenangan hukumnya, yang menyatakan menjadi korban dari suatu pelanggaran yang dilakukan oleh Negara Pihak terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi. Laporan pengaduan
tidak diterima oleh Komite kalau hal itu menyangkut suatu Negara Pihak yang belum membuat pernyataan seperti itu. 2. Komite harus tidak menerima setiap laporan pengaduan yang dibuat berdasarkan pasal ini yang tidak dibubuhi tanda-tangan (tidak jelas pengirimnya) atau yang dianggap oleh Komite sebagai penyalahgunaan hak untuk mengajukan komunikasi semacam itu atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. 3. Berdasarkan ketentuan ayat 2, Komite harus membawa setiap laporan pengaduan yang diajukan berdasarkan pasal ini untuk mendapatkan perhatian dari Negara Pihak dalam Konvensi ini yang telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1 dan dituduh melanggar suatu ketentuan Konvensi ini. Dalam waktu enam bulan, negara penerima harus mengajukan kepada Komite penjelasan tertulis atau pernyataan-pernyataan yang menjernihkan permasalahan dan langkah perbaikan, kalau ada, yang mungkin telah dilakukan oleh Negara tersebut. 4. Komite harus mengadakan pembahasan terhadap laporan pengaduan yang diterima menurut pasal ini berdasarkan semua informasi yang ada padanya oleh atau atas nama pribadi dan oleh Negara Pihak yang bersangkutan. 5. Komite harus tidak mengadakan pembahasan terhadap suatu laporan pengaduan dari seorang pribadi berdasarkan pasal ini, kecuali Komite merasa yakin bahwa: (a) Masalah yang sama yang belum dan tidak sedang diperiksa berdasarkan suatu prosedur lain dari penyelidikan atau penyelesaian internasional; (b) Pribadi tersebut telah menggunakan semua upaya penyelesaian yang tersedia di dalam negerinya; hal ini tidak berlaku apabila penerapan upaya penyelesaian tersebut diulur-ulur secara tidak masuk akal atau mungkin sekali tidak membawa perbaikan efektif terhadap orang yang menjadi korbani pelanggaran dari Konvensi ini. 6. Komite memeriksa laporan pengaduan berdasarkan pasal ini dalam sidang-sidang tertutup. 7. Komite harus menyampaikan pandangan-pandangannya kepada Negara Pihak yang bersangkutan dan kepada pribadi tersebut. 8. Ketentuan-ketentuan pasal ini mulai berlaku apabila lima Negara Pihak dalam Konvensi ini telah membuat pernyataan berdasarkan ayat (1) pasal ini. Pernyataan semacam itu harus dikirimkan oleh Negara-Negara Pihak kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan pernyataan semacam itu harus tidak mempengaruhi pembahasan mengenai suatu masalah yang merupakan pokok persoalan *9071 laporan pengaduan yang telah dikirimkan berdasarkan pasal ini; tidak ada laporan pengaduan selanjutnya oleh atau atas nama seorang pribadi yang dapat diterima berdasarkan pasal ini, setelah pemberitahuan mengenai penarikan kembali pernyataan itu diterima oleh Sekretaris Jenderal, kecuali kalau Negara Pihak tersebut membuat suatu pernyataan baru. Pasal 23 Para anggota Komite dan Komisi-Komisi konsiliasi ad hoc yang mungkin telah ditunjuk berdasarkan pasal 21 ayat (1e), berhak atas fasilitas, hak istimewa, dan kekebalan sebagai ahli yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti diatur di dalam bagian-bagian terkait dalam Konvensi Hak-hak Istimewa dan Kekebalan Perserikatan
Bangsa Bangsa. Pasal 24 Komite harus menyerahkan laporan tahunan tentang kegiatan-kegiatannya berdasarkan Konvensi ini kepada Negara-negara Pihak dan kepada Majelis Umum Perikatan Bangsa Bangsa. BAB III Pasal 25 1. Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani oleh semua negara. 2. Konvensi ini harus diratifikasi. Piagam ratifikasi harus disimpan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa. Pasal 26 Konvensi ini terbuka intake aksesi oleh semua Negara. Aksesi berlaku dengan penyerahan piagam aksesi kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 27 1. Konvensi ini berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal penyerahan piagam kedua puluh ratifikasi atau aksesi kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau mengaksesinya setelah penyerahan piagam ratifikasi atau aksesi yang keduapuluh, Konvensi ini berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal penyerahan piagam ratifikasi atau aksesi Negara tersebut. Pasal 28 1. Setiap Negara, pada waktu menandatangani, meratifikasi atau mengaksesi, Konvensi ini, dapat menyatakan bahwa pihaknya mengakui wewenang Komite yang ditetapkan pada Pasal 20. *9072 2. Setiap Negara Pihak yang telah mengadakan pensyaratan sesuai dengan ayat (1) pasal ini, setiap saat, dapat menarik kembali pensyaratannya dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 29 1. Setiap Negara Pihak dalam Konvensi ini dapat mengusulkan perubahan dan mengajukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sekretaris Jenderal selanjutnya harus menyampaikan perubahan yang diusulkan tersebut kepada Negara-Negara Pihak dengan suatu permintaan agar mereka memberi tahu kepadanya, apakah mereka menyetujui untuk mengadakan suatu konperensi antar Negara-Negara Pihak dengan tujuan membahas dan memberikan suara kepada usulan itu. Apabila dalam waktu empat bulan sejak tanggal laporan pengaduan tersebut sekurang-kurangnya sepertiga dari Negara-Negara Pihak menyetujui konperensi semacam itu, Sekretaris Jenderal harus menyelenggarakan konperensi itu di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap perubahan yang disahkan oleh mayoritas Negara Pihak yang hadir dan memberikan suara dalam konferensi itu harus disampaikan oleh
Sekretaris Jenderal kepada semua Negara Pihak untuk disetujui. 2. Suatu perubahan yang disahkan sesuai dengan ayat (1) pasal ini berlaku apabila dua pertiga Negara-Negara Pihak telah memberi tahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa mereka telah menerimanya sesuai dengan proses peraturan perundang-undangan mereka masing-masing. 3. Sesudah berlaku, perubahan-perubahan itu mengikat Negara-Negara Pihak yang telah menerimanya; Negara-Negara Pihak lain masih terikat dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan setiap perubahan terdahulu yang telah mereka terima. Pasal 30 1. Setiap perselisihan antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan, atas permintaan salah satu dari negara tersebut, diajukan kepada arbitrasi. Jika dalam waktu enam bulan sejak tanggal diajukannya permintaan untuk arbitrasi para Pihak itu tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai organisasi arbitrasi, salah satu dari Para Pihak itu dapat meminta Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan perselisihan tersebut berdasarkan ketentuan mahkamah tersebut. 2. Setiap Negara, pada saat penandatanganan atau ratifikasi Konvensi ini atau aksesi terhadapnya, dapat menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat oleh ayat (1) pasal ini. Negara-Negara Pihak lainnya harus tidak terikat pada ayat (1) pasal ini dalam hubungannya dengan setiap Negara Pihak yang telah membuat *9073 pensyaratan semacam itu. 3. Setiap Negara Pihak yang telah membuat pensyaratan sesuai dengan ayat (2) pasal ini, setiap saat dapat menarik kembali pensyaratannya dengan memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa . Pasal 31 1. Suatu Negara Pihak dapat menarik diri dari Konvensi ini dengan pemberitahuan tertulis kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penarikan diri tersebut berlaku setahun setelah tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut oleh Sekretaris Jenderal. 2. Penarikan diri semacam itu tidak membebaskan Negara Pihak tersebut dari kewajibannya, berdasarkan Konvensi ini, berkenaan dengan setiap tindakan atau penghapusan yang terjadi sebelum tanggal penarikan diri itu berlaku, demikian pula pemisahan diri itu harus tidak mempengaruhi, dengan cara apapun, pembahasan yang berlanjut dari setiap masalah yang sudah dibahas oleh Komite sebelum tanggal penarikan diri itu berlaku. 3. Setelah tanggal penarikan diri suatu Negara Pihak berlaku efektif, Komite harus tidak memulai pembahasan mengenai suatu masalah baru berkenaan dengan Negara itu. Pasal 32 Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus memberitahu semua Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan semua negara yang telah menandatangani atau mengaksesi Konvensi ini mengenai hal-hal berikut:
(a) Penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi berdasarkan Pasal 25 dan 26; (b) Tanggal diberlakukannya Konvensi ini berdasarkan Pasal 27 dan tanggal diberlakukannya setiap perubahan berdasarkan Pasal 29; (c) Penarikan diri berdasarkan Pasal 31. Pasal 33 1. Konvensi yang naskah-naskahnya dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol adalah sama-sama autentik, disimpan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa menyampaikan salinan Konvensi yang telah disahkan kepada semua negara. LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR *9074 PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) DECLARATION TO ARTICLE 20 AND RESERVATION TO ARTICLE 30 PARAGRAPH 1 CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT Declaration : The Government of the Republic of Indonesia declares that the provisions of paragraphs 1, 2 and 3 of Article 20 of the Convention will have to be implemented in strict compliance with the principles of the sovereignty and territorial integrity of States. Reservation : The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of Article 30, paragraph 1, and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the Convention which cannot be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) DEKLARASI TERHADAP PASAL 20 DAN PENSYARATAN TERHADAP PASAL 30 AYAT (1) KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Pernyataan : Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara. Pensyaratan :
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat pada *9075 ketentuan Pasal 30 ayat (1) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Adopted and opened signature, ratification and Accession by General Assembly resolution 39/16 of 10 December I984 Entry into force: 26 June 1987 in accordance with article 27 (1) The States Parties to this Convention, Considering that, in accordance with the principles proclaimed in the Charter of the United Nations, recognition of the equal and inalienable rights of all members of the human family is; he foundation of freedom, justice and peace in the world, Recognizing that those rights derive from the inherent dignity of the human person, Considering the obligation of States under the Charter, in particular Article 55, to promote universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms, Having regard to article 5 of the Universal Declaration of Human Rights and article 7 of the International Covenant on Civil and Political Rights. Both of which provide that no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, Having regard also to the Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, adopted by the General Assembly on 9 December 1975, Desiring to make more effective the struggle against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment throughout the world, Have agreed as follows: PART I Article I 1. For the purposes of this Convention, the term "torture" means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally *9076 inflicted on a person tor such purposes as obtaining from him or a third person infonnation or a confession, punishing him for an aa he or a third person has committed or is suspected of having committed, or intirni-dating or coercing him or a
third person, or for any reason based on discrim-ination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. It does not include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sanctions. 2. This article is without prejudice to any intemational instrument or national legislation which does or may contain provisions of wider application. Article 2 1. Each State Party shall take effective legislative, administrative, judicial or other measures to prevent acts of torture in any territory under its jurisdiction. 2. No exceptional circumstances whatsoever, whether a state of war or a threat of war, internal political instability or any other public emergency, may be invoked as a justification of torture. 3. An order from a superior officer or a public authority may not be invoked as a justification of torture. Article 3 1. No State Party shall expel, return ("refouler") or extradite a person to another State where there are substantial grounds for believing that he would be in danger of being subjected to torture. 2. For the purpose of determining whether there are such grounds, the competent authonties shall take into account all relevant considerations including,, where applicable, the existence in the State concerned of a coosistent pattern of gross, flagrant or mass violations of human rigths. Article 4 1. Each State Party shall ensure that all acts of torture are offences under its criminal law. The same shall apply to an attempt to commit torture and to an act by any person which constitutes complicity or participation in torture. 2. Each State Party shall make these offences punishable by appropriate penalties which take into account tbeir grave nature. Article 5 *9077 1. Each State Party shall take such measures as may be necessary to establish its jurisdiction over the offences referred to in article 4 in the following cases: (a) When the offcnces arc committed in any territory under its jurisdic-tion or on board a ship or aircraf registered in that State; (b) When the alleged offender is a national of that State; (c) When the victim is a national of that State if that State considers it appropriate. 2. Each State Party shall likewise take such measures as may be necessary to establish its jurisdiction over such offences in cases
where the alleged offender is present in any territory under its jurisdiction and it does not extradite him pursuant to article 8 to any of the States mentioned in paragraph 1 of this article. 3. This Convention does not exclude any criminal jurisdiction exercised in accordance with internal law. Article 6 1. Upon being satisfied, after an examination of information available to it that the circumstances so warrant, any State Party in whose territory a person alleged to have committed any offence referred to in article 4 is present shall take him into custody or take other legal measures to ensure his presence. The custody and other legal measures shall be as provided in the law of that State but may be continued only for such time as is necessary to enable any criminal or extradition proceedings to be instituted. 2. Such State shall immediately make a preliminary inquiry into the facts. 3. Any person in custody pursuant to paragraph 1 of this article shall be assisted in communicating immediately with the nearest appropriate representative of the State of which he is a national, or, if he is a stateless person, with the representative of the State where he usually resides. 4. When a State, pursuant to this article, has taken a person into custody, it shall immediately notify the States referred to in article 5, paragraph 1, of the fact that such person is in custody and of the circumstances which warrant his detention. The State which makes the preliminary inquiry contemplated in paragraph 2 of this article shall promptly report its findings to the said States and shall indicate whether it intends to exercise jurisdiction. Article 7 1. The State Party in the territory under whose jurisdiction a person alleged to have committed any *9078 offence referred to in article 4 is found shall in the cases contemplated in article 5, if it does not extradite him, submit the case to its competent authorities for the purpose of prosecution. 2. These authorities shall take their decision in the same manner as in the case of any ordinary offence of a serious nature under the law of that State. In the cases referred to in article 5, paragraph 2, the standards of evidence required for prosecution and conviction shall in no way be less stringent than those which apply in the cases referred to in article 5, paragraph 1. 3. Any person regarding whom proceedings are brought in connection with any of the offences referred to in article 4 shall be guaranteed fair treatment at all stages of the proceedings. Article 8 1. The offences referred to in article 4 shall be deemed to be included as extraditable offences in any extradition treaty existing between States Parties. States Parties undertake to include such offences as extraditable offences in every extradition treaty to be
concluded between them. 2. If a State Party which makes extradition conditional on the existence of a treaty receives a request for extradition from another. State Party with which it has no extradition treaty, it may consider this Convention as the legal basis for extradition in respect of such offences. Extradition shall be subject to the other conditions provided by the law of the requested State. 3. States Parties which do not make extradition conditional on the existence of a treaty shall recognize such offences as extraditable offences between themselves subject to the conditions provided by the law of the requested State. 4. Such offences shall be treated, for the purpose of extradition between States Parties, as if they had been committed not only in the place in which they occurred but also in the territories of the States required to establish their jurisdiction in accordance with article 5, paragraph 1. Article 9 1. States Parties shall afford one another the greatest measure of assistance in connection with criminal proceedings brought in respect of any of the offences referred to in article 4, including the supply of all evidence at their disposal necessary for the proceeding. 2. States Parties shall carry out their obligations under paragraph 1of this article in conformity with any *9079 treaties on mutual judicial assistance that may exist between them. Article 10 1. Each State Party shall ensure that education and information regard-ing the prohibition against torture are fully included in the training of law enforcement personnel, civil or military, medical personnel, public officials and other persons who may be involved in the custody, interrogation or treatment of any individual subjected to any form of arrest, detention or imprisonment. 2. Each State Party shall include this prohibition in the rules or instructions issued in regard to the duties and functions of any such person. Article 11 Each State Party shall keep under systematic review interrogation rules, instructions, methods and practices as well as arrangements for the custody and treatment of persons subjected to any form of arrest, detention or impris-onment in any territory under its jurisdiction, with a view to preventing any cases of torture. Article 12 Each State Party shall ensure that its competent authorities proceed to a prornpt and impartial investigation, wherever there is reasonable ground to believe that an act of torture has been committed in any terrytory under its jurisdiction. Article 13
Each State Party shall ensure that any individual who alleges he has been subjected to torture in any territory under its jurisdiction has the right to complain to, and to have his case promptly and impartially examined by, its competent authorities. Steps shall be taken to ensure that the complainant and witnesses are protected against all ill-treatment or intimidation as a consequence of his complaint or any evidence given. Article 14 1. Each State Party shall ensure in its legal system that the victim of an act of torture obtains redress and has an enforceable right to fair and adequate compensation, including the means for as full rehabilitation as possible. In the event of the death of the victim as a result of an act of torture, his dependents shall be entitled to compensation. 2. Nothing in this article shall affect any right of the victim or other persons to compensation which may exist under national law. Article 15 *9080 Each State Party shall ensure that any statement which is established to have been made as a result of torture shall not be invoked as evidence in any proceedings, except against a person accused of torture as evidence that the statement was made. Article 16 l. Each State Party shall undertake to prevent in any territory under its jurisdiction other acts of cruel, inhuman or degrading treatment or punish-ment which do not amount to torture as defined in article l, when such acts are committed by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. In particular, the obligations contained in articles 10, 11, 12 and 13 shall apply with the substitution for references to torture or references to other forms of cruel, inhuman or degrading treatment or punishment 2. The provisions of this Convention are without prejudice to the pro-visions of any other international instrument or national law which prohibits cruel, inhuman or degrading treatment or punishment or which relates to extradition or expulsion. PART II Article 17 1. There shall be established a Committee against Torture (hereinafter referred to as the Committee) which shall carry out the functions hereinafter provided. The Committee shall consist of ten experts of high moral standing and recognized competence in the field of human rights, who shall serve in their personal capacity. The experts shall be elected by the States Parties, consideration being given to equitable geographical distribution and to the usefulness of the participation of some persons having legal experience. 2. The members of the Committee shall be elected by secret ballot from a list of persons nominated by States Parties. Each State Party may
nominate one person from among its own nationals. States Parties shall bear in mind the usefulness of nominating persons who are also members of the Human Rights Committee established under the International Covenant on Civil and Political Rights and who are willing to serve on the Committee against Torture. 3. Elections of the members of the Committee shall be held at biennial meetings of States Parties convened by the Secretary-General of the United Nations. At those meetings, for which two thirds of the States Parties shall constitute a quorum, the persons elected to the Committee shall be those who obtain the largest number of votes and an absolute majority of the votes of the representatives of States Parties present and voting. *9081 4. The initial election shall be held no later than six months after the date of the entry into force of this Convention. At least four months before the date of each election, the Secretary-General of the United Nations shall address a letter to the States Parties inviting them to submit their nominations within three months. The Secretary-General shall prepare a list in alphabetical order of all persons thus nominated, indicating the States Parties which have nominated them, and shall submit it to the States Parties 5. The members of the Committee shall be elected for a term of four years. They shall be eligible for re-election if renominated. However, the term of five of the members elected at the first election shall expire at the end of two years; immediately after the first election the names of these five members shall be chosen by lot by the chairman of the meeting referred to in paragraph 3 of this article. 6. If a member of the Committee dies or resigns or for any other cause can no longer perform his Committee duties, the State Party which nominated him shall appoint another expert from among its nationals to serve for the remainder of his term, subject to the approval of the majority of the States Parties. The approval shall be considered given unless half or more of the States Parties respond negatively within six weeks after having been informed by the Secretary-General of the United Nations of the proposed appointment. 7. States Parties shall be responsible for the expenses of the members of the Committee while they are in performance of Committee duties. Article 18 1. The Committee shall elect its officers for a term of two years. They may be re-elected. 2. The Committee shall establish its own rules of procedure, but these rules shall provide, inter alia, that: (a) Six members shall constitute a quorum; (b) Decisions of the Committee shall be made by a majority vote of the members present 3. The Secretary-General of the United Nations shall provide the necessary staff and facilities for the effective performance of the functions of the Committee under this Convention. 4. The Secretary-General of the United Nations shall convene the initial meeting of the Committee. After its initial meeting, the Committee shall meet at such times as shall be provided in its rules
of procedure. *9082 5. The States Parties shall be responsible for expenses incurred in connection with the holding of meetings of the States Parties and of the Committee, including reimbursement to the United Nations for any expenses, such as the cost of staff and facilities, incurred by the United Nations pursuant to paragraph 3 of this article. Article 19 l. The States Parties shall submit to the Committee, through the Secretary-General of the United Nations,reports on the measures they have taken to give effect to their undertakings under this Convention, within one year after the entry into force of the Convention for the State Party concerned. Thereafter the States Parties shall submit supplementary reports every four years on any new measures taken and such other reports as the Committee may request. 2. The Secretary-General of the United Nations shall transmit the reports to all States Parties. 3. Each reports shall be considered by the Committee which may make such general comments on the reports as it may consider appropriate and shall forward these to the State Party concerned. That State Party may respond with any observations it chooses to the Committee. 4. The Committee may, at its discretion, decide to include any comments made by it in accordance with paragraph 3 of this article, together with the observations thereon received from the State Party concerned, in its annual report made in accordance with article 24. If so requested by the State Party concerned, the Committee may also include a copy of the report submitted under paragraph I of this article. Article 20 1. If the Committee receives reliable information which appears to it to contain well-founded indications that torture is being systemacally practised in the territory of a State Party, the Committee shall invite that State Party to co-operate in the examination of the information and to this end to submit observations with regard to the information concerned. 2. Taking info account any observations which may have been submitted by the State Party concerned, as well as any other relevant information available to it, the Committee may, if it decides that this is warranted, designate one or more of its members to make a confidential inquiry and to report to the Committee urgently. 3. If an inquiry is made in accordance with paragraph. 2 of this article, the Committee shall seek the co-operation of the State Party concerned. In agreement with that State Party, such an inquiry may include a *9083 visit to its territory. 4. After examining the findings of its members submitted in accordance with paragraph 2 of this article the Commission shall transmit these findings to the State Party concerned together with any or suggestions which seem appropriate in view of the situation. 5. All the proceedings of the Committee referred to in paragraph 1 to
4 of this article shall be confidential, and at all stages of the proceedings the co-operation of the State Party shall be sought. After such proceedings have been completed with regard to an inquiry made in accordance with paragraph 2, the Committee may, after consultations with the State Party concerned, decide to include a summary account of the results proceedings in its annual report made in accordance with article 24. Article 21 1. A State Party to this Convention may at any time declare under this article that it recognizes the competence of the Committee to receive and consider communications to the effect that a State Party claims that another State Party is not fulfilling its obligations under this Convention. Such com-munications may be received and considered according to the procedures laid down in this article only if submitted by a State Party which has made a declaration recognizing in regard to itself the competence of the Committee. No communication shall be dealt with by the Committee under this article if it concerns a State Party which has not made such a declaration. Communication received under this article shall be dealt with in accordance with the following procedure; (a) If a State Party considers that another State Party is not giving effect to the provisions of this Convention, it may, by written communication, bring the matter to the attention of that State Party. Within three months after the receipt of the communication the receiving State shall afford the State which sent the communication an explanation or any other statement in writing clarifying the matter, which should include, to the extent possible and pertinent, reference to domestic procedures and remedies taken, pending or available in the matter; (b) If the matter is not adjusted to the satisfaction of both States Parties concerned within six months after the receipt by the receiving State of the initial communication, either State shall have the right to refer the matter to the Committee, by notice given to the Committee and to the other State; (c) The Committee shall deal with a matter referred to it under this article only after it has *9084 ascertained that all domestic remedies have been invoked and exhausted in the matter, in conformity with the generally recog-nized principles of international law. This shall not be the rule where the application of the remedies is unreasonably prolonged or is unlikely to bring effective relief to the person who is the victim of the violation of this Convention; (d) The Committee shall hold closed meetings when examining communications under this article; (e) Subject to the provisions of subparagraph (c), the Committee shall make available its good offices to the States Parties concerned with a view to a friendly solution of the matter on the basis of respect for the obligations provided for in this Convention. For this purpose, the Committee may, when appropriate, set up an ad hoc conciliation commission; (f) In any matter referred to it under this article the Committee may call upon the States Parties concerned, referred to in subparagraph (b) to supply any relevant information;
(g) The States Parties concerned, referred to in subparagraph (b), shall have the right to be represented when the matter is being considered by the Committee and to make submissions orally and/or in writing; (h) The Committee shall, within twelve months after the date of receipt of notice under subparagraph (b), submit a report: (i) If a solution within the terms of subparagraph (e) is reached, the Committee shall confine its report to a brief statement of the facts and of the solution reached; (ii) If a solution within the terms of subparagraph (e) is not reached, the Committee shall confine its report to a brief statement of the facts; the written submissions and record of the oral submissions made by the States Parties concerned shall be attached to the report. ln every matter, the report shall be communicated to the States Parties concerned. 2. The provisions of this article shall come into force when five States Parties to this Convention have made declarations under paragraph 1 of this article. Such declarations shall be deposited by the States Parties with the Secretary-General of the United Nations, who shall transmit copies thereof to the other States Parties. A declaration may be withdrawn at any time by notification to the Secretary-General. Such a withdrawal shall not prejudice the consideration of any matter which is the subject of a communication already *9085 transmitted under this article; no further communication by any State Party shall be received under this article after the notification of withdrawal of the declaration has been received by the Secretary-General, unless the State Party concerned has made a new declaration. Article 22 1. A State Party to this Convention may at any time declare under this article that it recognizes the competence of the Committee to receive and consider communications from or on behalf of individuals subject to its jurisdiction who claim to be victims of a violation by a State Party of the provisions of the Convention. No communication shall be received by the Committee if it concerns a State Party which has not made such a declaration. 2. The Committee shall consider inadmissible any communication under this article which is anonymous or which it considers to be an abuse of the right of submission of such communications or to be incompatible with the provisions of this Convention. 3. Subject to the provisions of paragraph 2, the Committee shall bring any communications submitted to it under this article to the attention of the State Party to this Convention which has made a declaration under paragragh 1 and is alleged to be violating any provisions of the Convention. Within six months, the receiving State shall submit to the Committee written explanation or statements clarifying the matter and the remedy, if any, that may have been taken by that State. 4. The Committee shall consider communications received under this article in the light of all information made available to it by or on behalfd of the individual and by the State Party concerned. 5. The Committee shall not consider any communications from an
individual under this article unless it has ascertained that: (a) The same matter has not been, and is not being, examined under another procedure of international investigation or settlement; (b) The individual has exhausted all available domestic remedies; this shall not be the rule where the application of the remedies is unreasonably prolonged or is unlikely to bring effective relief to the person who is the victim of the violation of this Convention. 6. The Committee shall hold closed meetings when examining communications under this article. 7. The Committee shall forward its views to the State Party concerned and to the individual. *9086 8. The provisions of this article shall come into force when five States Parties to this Convention have made declarations under paragraph 1of this article. Such declarations shall be deposited by the States Parties with the Secretary-General of the United Nations, who shall transmit copies thereof to the other States Parties. A declaration may be withdrawn at any time by notification to the Secretary-General. Such a withdrawal shall not prejudice the consideration of any matter which is the subject of a communication already transmitted under this article, no further communication by or on behalf of an individual shall be received under this article after the notification of withdrawal of the declaration has been received by the Secretary General, unless the State Party has made a new declaration. Article 23 The members of the Committee and of the ad hoc conciliation commis-sions which may be appointed under article 21, paragraph 1 (e), shall be entitled to the facilities, privileges and immunities of experts on mission for the United Nations as laid down in the relevant sections of the Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations. Article 24 The Committee shall submit an annual report on its activities under this Convention to the States Parties and to the General Assembly of the United Nations. PART III Article 25 1. This Convention is open for signature by all States. 2. This Convention is subject to ratification. Instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. Article 26 This Convention is open to accession by all States. Accession shall be effected by the deposit of an instrument of accession with the Secretary General of the United Nations.
Article 27 1. This Convention shall enter into force on the thirtieth day after the date of the deposit with the Secretary-General of the United Nations of the twentieth instrument of ratification or accession. 2. For each State ratifying this Convention or acceding to it after the deposit of the twentieth instrument of *9087 ratification or accession, the Conven-tion shall enter into force on the thirtieth day after the date of the deposit of its own instrument of ratification or accession. Article 28 1. Each State may, at the time of signature or ratification of this Convention or accession thereto, declare that it does not recognize the competence of the Committee provided for in article 20. 2. Any State Party having made a reservation in accordance with paragraph 1of this article may, at any time, withdraw this reservation by notification to the Secretary-General of the United Nations. Article 29 1. Any State Party to this Convention may propose an amendment and file it with the Secretary-General of the United Nations. The Secretary General shall thereupon communicate the proposed amendment to the States Parties wilh a request that they notify him whether they favour a conference of States Parties for the purpose of considering and voting upon the proposal. In the event that within four months from the date of such communication at least one third of the States Parties favours such a conference, the Secretary General shall convene the conference under the auspices of the United Nations. Any amendment adopted by a majority of the States Parties present and voting at the conference shall be submitted by the Secretary-General to all the States Parties for acceptance. 2. An amendment adopted in accordance with paragraph 1 of this article shall enter into force when two thirds of the States Parties to this Convention have notified the Secretary-General of the United Nations that they have accepted it in accordance with their respective constitutional processes. 3. When amendments enter into force, they shall be binding on those States Parties which have accepted them, other States Parties still being bound by the provisions of this Convention and any earlier amendments which they have accented. Article 30 1. Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of this Convention which cannot be settled through negotiation shall, at the request of one of them, be submitted to arbitration. If within six months from the date of the request for arbitration the Parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those Parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in conformity with the Statute of the Court.
*9088 2. Each State may, at the time of signature or ratification of this Convention or accession thereto, declare that it does not consider itself bound by paragraph 1 of this article. The other States Parties shall not be bound by paragraph 1of this article with respect to any State Party having made such a reservation. 3. Any State Party having made a reservation in accordance with paragraph 2 of this article may at any time withdraw this reservation by notification to the Secretary-General of the United Nations. Article 31 1. A State Party may denounce this Convention by written notification to the Secretary-General of the United Nations. Denunciation becomes effective one year after the date of receipt of the notification by the Secretary-General. 2. Such a denunciation shall not have the effect of releasing the State Party from its obligations under this Convention in regard to any act or omission which occurs prior to the date at which the denunciation becomes effective, nor shall denunciation prejudice in any way the continued consideration of any matter which is already under consideration by the Committee prior to the date at which the denunciation becomes effective. 3. Following the date at which the denunciation of a State Party becomes effective, the Committee shall not commence consideration of any new matter regarding that State. Artticle 32 The Secretary-General of the United Nations shall inform all States Members of the United Nations and all States which have signed this Convention or acceded to it of lhe following: (a) (b) and 29:
Signatures, ratifications and accessions under articles 25 and 26: The date of entry into force of this Convention under article 27 the date of the entry into force or any ammedments under article (c) Denunciations under article 31.
Article 33 1. This Convention, of which the Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts are equally authentic shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. 2. The Secretary-General of the United Nations shall transmit certified copies of this Convention to all *9089 States. Kutipan: MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1998 _________________________________________________________________