11, TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Sistem
Secara definisi sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suahr tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch dan Park, 1976). Coyle (1996) mendefinisikan sistem sebagai suatu kumpulan dari bagian-bagian yang temrganisasi untuk suatu tujuan.
Eriyatno (1999) mmenyatakan sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struMur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Berdasarkan definisidefinisi tersebut penekanan kata terorganisasi dalam arti gugus dari elemen (bagian-bagian) berhubungan satu dengan lainnya datam
berbagai cara dan mencoba untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu tidak semua kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem
jika tidak
memenuhi syarat adanya kesatuan (undy), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna. Pola pikir ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai
hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya adalah visi kesisteman, sedangkan misi sistem adalah bertujuan menghubungkan berbagai pekerjaan dan keahlian yang beragam rnenuju kebutuhan suatu sistem yang definiti (8rocklesby dan Cumrning, 1995). Pada tahun 1940an para ilmuwan mengembangkan suatu bentuk
pengetahuan sistematik dan multi disiplin untuk operasi militer dan bisnis. Semenjak itu, di dunia telah dimulai suatu era sistem. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan Von Sertalanffy mengintrodusit ide tentang 'General system Theory". Teori tersebut mencari pengettian dari keseluruhan melalui pengetahuan
atas bagian-bagiannya. Paradigma bani itu mempelajari tentang su&u yang utuh dan keutuhan. Dalam konsep ilmu sistem (Sistemologi) bertujuan untuk menghubungkan berbagai pekerjaan dan keahlian yang beragam menuju kepada kebutuhan atau suatu tujuan dari sistem yang definitif. Teoi sistem dimanfaatkan guna mempelajari kenyaban akan aturan yang sistematik dan ketergantungan (interdependency) di
dunia (Eriyatno, 1999).
Suatu sistem terdiri dari sub sistem dan elemen. Sub sistem adalah suatu unsur atau komponen fungsional daripada suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian sistem tersebut. Untuk membedakan sub sistem dengan elemen, maka diperlukan pembahasan atas tingkat resolusi (penguraian).
Sub sistem
dikelompokkan dari bagian-bagian sistem yang masih berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tertinggi. Sedangkan etemen dari sistem adalah pemisahan bagian pada tingkat resolusi yang rendah (Eriyatno, 1999). Menurut Wetherbe (19881, interaksi antar sub sistem (disebut juga interface) terjadi karena output dari suatu sistem dapat menjadi salah satu input dari sistem yang lain. Jika interface antar sub sistem terganggu, maka proses transformasi
pada sistern secara kesehruhan akan terganggu juga sehingga akan menghasilkan bias pada tujuan yang hendak dicapai.
-
Operasi dari elemen-ebmen dalam sistem yang dikenal sebagai proses transformasi yang mengolah input menjadi output sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dapat dinyatakan sebagai; (1) fungsi matematik, (2) operasi logika dan (3) proses operasi. Konsep Black-box menyatakan transforrnasi sebagai "kotak gelap" adalah sebuah sistem dari detildetil (perincian) yang tiiak terhingga yang menakup struktur-struktur terkecil dan paling mikro. Karakter kotak gelap dengan dernikian adalah tinjauan sikap.
Kotak gelap digunakan untuk mengobservasi apa yang
terjadi, bukan mengetahui tentang bagaimana transformasi terjadi. Transformasi kotak gelap dapat diketahui melalui tiga cara: (1) spesifikasi, misalnya melalui katalog atau buku standar, (2) analogi, kesepadanan dan modifikasi, dan (3)
observasi dan percobaan. Teori sistem menyatakan bahwa kesisteman adalah suatu meta-konsep atau metadisiplin, dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil (Gih, 1993; Camavayal,
1992) di datam Eriyatno (1999). Para ahli sistem memberikan batasan pennasalahan yang seyogyanya dikaji
dengan menggunakan pendeltatan sistem memenuhi karakteristik: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pandangan ke
masa depan dan (3)
probabilistic, yaitit diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekornendasi. Eriyatno (1999) menyatakan ada tiga pola pikir dasar yang menjadi pegangan pokok para ahli sistem dalam rnerancang bangun solusi pennasalahan, yaitu: (1) sibernetik (cybernetic), yaitu berorientasi pada tujuan, (2) hotistib (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan (paradigma ini
adalah khas ilmu sistem) dan (3) efektif (effectiveness), yaitu lebih dipentingkan
hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan. 2.2. Perkembangan Agroindustri Kelapa Sawit
Agroindustri adalah suatu perusahaan yang rnengolah bahan-bahan yang berasal
dari tanaman atau hewan.
Pengolahan yang dimaksud meiiputi
transformasi (perubahan) dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyirnpanan, pengemasan dan distribusi (Austin, 1992 dan Brown, 1994). Pengembangan agroindustri dapat mernberikan berbagai keuntungan, antara lain adalah (1) memberikan nilai tambah yang lebih tinggi, (2) meningkatkan
pendapatan petani, (3) rnenjadikan bentuk produk yang awet, (4) dapat
11
menyelamatkan dan memanfaatkan hasil panen dan (5) mernberikan keuntungan yang lebih tinggi untuk bersaing, dan (6) dapat memperluas lapangan kej a (Azis, 1993).
Menurut Herman (1997) misi utama
dari pengembangan
agroindustri
adalah meningkatkan pendapatan dan kesempatan keja bagi petani, serta memanfaatkan hasil pertanian m r a optimal dengan memberikan nilai tambah yang tinggi melalui pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan tekmlogi.
Komodbs pettanian merupakan bahan baku yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk industri. Bagan produk yang dapat dihasilkan dari suatu rangkaian proses pengolahan suatu bahan dikenal sebagai suatu pohon industri.
Pohon industri berbasis bahan baku kelapa sawit yang menghasilkan CPO dan ?KO yang dapat diolah lebih bnjut menghasiliran antara lain minyak goreng, margarine, vitamin A, sabun, detergen dan berbagai produk oleokimia. Selain itu,
juga dapat dihasilkan berbagai produk dari pemanfaatan mngkang, tandan kosong dan batang. Agroindustri kelapa sawit dimulai di Indonesia didirikan di Tanah ltam Ulu, Sungai Liput dan Puiu Raja pada tahun 1922. Pada tahun 1995, 165 pabrik kelapa
sawit didirikan di seluruh Indonesia. Sampai tahun 1980 industn' kelapa sawit di Indonesia hanya menghasitkan dua produk utama yaitu CPO dan Palm Kernel. I
Sejarah pengolahan kelapa sawit berubah pada tahun 1981 ketika negara dihadapkan krisis bahan baku minyak goreng dari kopra. Sejak itu, kelapa sawit sebagai suplemen kopra untuk industri minyak goreng. Dan 800 080 ton kelapa
sawit yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit tahun 1981, hanya I96 %I ton (24,5%) di ekspor ke negara lain. Sisanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri,
dimana kebanyakan untuk minyak goreng.
Sebagian besar hasil perkebunan '
kelapa sawit baru mengolah hasilnya menjadi CPO dan PKO, dan sebagian diolah lagi menjadi minyak goreng, margarine dan sabun.
Untuk meningkatkan nilai
12 tambah inti sawit, sejak 1981 inti sawit tidak hanya diekspor dalam bentuk inti sawit tapi juga minyak inti sawit (PKO). Pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia hingga sekarang ini masih
didominasi oleh produk CPO dan minyak goreng, sehingga masih terdapat potensi nilai tambah yang belum dimanfaattan secara optimum. Untuk memperkuat industri kelapa sawit, pengembangan produk-produk baru yang diharapkan meningkatkan nilai tambah kelapa sawit hendaknya
terus dilanjutkan.
Untuk oleo-pangan,
pengembangan produk seharusny rnemberi perhatian pada trend dunia mengkonsumsi pangan yang sehat yaitu pengembangan produk minyak berbasis p d u k pangan yang mengandung nutrisi esensial seperti pro-vitamin A, vitamin E dan asam-asam lemak esensial (omega-3 dan omega$)
hendaknya terus
dilanjutkan. Pengembangan minyak sawit krbasis industri kimia hendaknya terus dilanjutkan.
Berdasarkan proses pembuatannya oleokimia dapat digolongkan
menjadi dua keIompok, yaitu oleo-kimia dasar yaitu fatty acid, glycerine, fatty
alcohol dan turunan oleo-kimia yang merupakan pengotahan lebih tanjut dari hasil oleo-kimia, antara lain metalk shop (stabilizer), fatfy aimhol sulfate, fatty alcohol
sulfosuccin ate. Pabrik kelapa sawit di Indonesia tahun 1998 sebanyak 206 buah dengan kapasitas terpasang 7 977 ton TBSbam.
Dua daerah yang memiliki pabrik
terbanyak adatah Propinsi Sumatera Utara sebanyak 81 buah dengan kapasitas
terpasang 2 944 ton TBSljam dan Propinsi R i u 44 buah dengan kapasitas terpasang 2 017 ton TBS/jam, secara rina disajikan pada Tabet 2.
Pada tahun 1998 di Indonesia terdapat 57 pabrik minyak goreng yang menggunakan k h a n baku minyak sawit, dengan kapasitas pmduksi sebesar 7 857 517 ton minyak goreng per tahun. Pabrik minyak goreng tersebut sebagian besar
berlokasi di Sumatera Utara yaitu sebanyak 22 buah dengan kapasitas produksi
13
seksar 2 186 212 ton per tahun (27,87% dari total kapasitas prduksi terpasang Indonesia), DKI Jakarta 12 buah dengan kapasitas 1 364 455 ton per tahun atau 17,4% dari total kapasitas p d u k s i Indonesia. Untuk jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 3. Tabel 2. Jurnlah dan kapasitas pabrik kelapa sawit di IndonesiaTahun 1998 I
Propinsi
No.
Jumlah Pabrik
Pangsa
ton Kapasitas TBSram
(%I
1 0.1. A ~ e h
14
410
51
2 Sumatera Utara
81
2 944
36,9
3 Sumatera barat
7
295
3,7
44
2 017
253
9
375
4,7
13
501
6,3
7 Bengkulu
6
2,3
8
4
230 125
2
60
0,7
10
430
54
11 Kalimantan Tengah
3
90
1,1
12 Kalirnantan Selabn
3
110
13 Kalimantan Timur
3
130
1,6
14 Sulawesi Tengah
1
30
0,4
15 Sulawesi Selatan
4
150
f ,9
16 lrian Jaya
2
80
1,o
206
7 977
100
4 Riau
5 Jambi 6 Sumatera Selatan
Lampung
9 Jawa Barat 10 Kalimantan Barat
Jurnlah
1,6
Sumber: Dijenbun, (1 999)
lndustri
margarinelshortening
di
Indonesia
juga
memperlihatkan
perkembangan yang baik. Pada bhun 1998 terdapat 17 industri margarine dan
shortening dengan kapasitas produksi total mencapai 455 200 ton per tahun yang terdiri dari 357 900 ton margarine dan 97 300 ton shortening. Oilihat dari lokasinya
industri margarine tersebut telah tersebar di 6 propinsi masing-masing OK1 Jakarta 6
14
perusahaan, Jawa Barat 3 perusahaan, Sumatera Utara 3 perusahaan,
Jawa
Tengah dan Sumatera Barat masing-masing 1 perusahaan. Tabel 3. Jumlah dan kapasitas pabrtk minyak goreng dl lndonesra tahun 1998
!
Pangsa
1
Sumatera Utara
22
Kapasitas (tonltahun) 2 186 212
2
Sumatera Barat
1
35 000
0,4
3
Riau
1 496 250
19,O
4
Sumatera Selatan
3 2i
531 000
6,8
5
Lampurig
237 000
3,Q1
6
OK1 Jakarta
12
1164155
17,4
7
Jawa Barat
3
689 600
8,8
8
Jawa Timur
9
1 173 000
14,9
9
Jawa Tengah
1
90 000
10
Kalimantan Barat
2
Jumlah
57
55 000 7 857 517
No.
!
Jumlah
Propinsi
'I
,
(%I 27,9
I
1,I
0,7 100
Sumber: CIC, (1999) Pada tahun 1998 Indonesia terdapat 40 unit industri yang menghasilkan
sabun mandi dan sabun cud.
Delapan dari 40 unit industri sabun tersebut
merupakan industri terpadu, yang juga menghasilkan detergen, baik dalam bentuk detergen cream, detergen bar, maupun detergen powder. Sebagian industri sabun tersebut terletak di Pulau Jawa sebanyak 24 unit, yaitu 7 unit di Jawa Barat, 8 unit di Jawa Timur, 6 unit di DKI Jakarta dan 3 unit di Jawa Tengah. Dl Sumatera Utara
7 unit, Sumatera Barat 3 unit, lampung 2 unit , Riau 2 unit, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing 1 unit. Perkembangan
produksi
olekirnia
satiap
tahunnya
menunjukkan
peningkatan. Produksi fatty acid pada tahun 1993 tercatat sebesar 303 223 ton, kemudian pada tahun 1998 meningkat 324 538 ton. Produksi glycerine terus menunjukkan trend yang cenderung meningkat, dengan laju rata-rata sekitar 10%
per tahun. Lain halnya dengan produksi fatty alcohol meskipun tingkat produksinya masih kecil, tapi laju pertumbuhannya relatif tinggi dibanding produk oledtimia lainnya. Untuk lebih jebsnya dapat dilihat pada Tabet 4.
Tabel 4. Produksi Oleo-kimia Indonesia Tahun
Produksi
Total
Fatty acid
Glycerine
Fatty alcohol
1993
303 223
14 887
14 920
333 030
1994
408 685
20 367
25 390
454 442
1995
385 403
18 713
22 440
426 556
3996
418 540
20 196
77 786
516 552
1997
340 081
22 791
120 993
483 865
1988
324 538
22 171
107 189
453 898
i
Sumber: CIC, (1999)
Secara keseluruhan, pemakaian CPO baik yang digunakan oleh industri rninyak goreng, margarine, sabun serta oleo-kimia, industri minyak goreng
rnerupakan konsumen utama terhadap GPO, kemudian baru diikuti oleh industri oleo-kimia, sabun serta industri margarine dan shortening. Total konsumsi CPO oleh sektor industri pemakainya menunjukbn kecenderungan terus meningkat. Adapun proyeksi konsumsi CPO oleh industri pemakainya dapat dilihat pada Tabel
Dilihat dari data tersebut, maka peran agroindustri kelapa sawit sangat besar dalam penciptaan kesempatan berusaha, dan juga menunjang pertumbuhan ekonomi.
Prospek pengembangan agroindustri kelapa sawit dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi penawaran bahan baku dan sisi permintaan pasar. Minyak sawit mempunyai peluang pasar yang wkup besar mengingat perkembangan konsumsi dunia terhadap minyak nabati temasuk rninyak sawit yang cukup pesat. Pada kurun waktu 1993-1997, konsumsi rata-rata minyak nabati
16
adatah 90,5 juta tonAh (pangsa minyak sawit 17%) yang kemudian meningkat menjadi 104,3 juta todth pada kurun waktu 1998-2001 (pangsa minyak sawit naik
menjadi 19,2%) (Pcehngan. 2000). Tabel 5. Proyeksi konsumsi minyak sawit (CPO) menurut sektor industri Margarine
Sabun
Oleo-kimia
Total
Tahun
Minyak Goreng
1993
1 508 462
80 800
118 970
299817
2008049
1994
1 788 369
86 240
124 433
408998
2408040
1995
2 014 062
93 440
140 686
383 440
2 631 828
1996
2 382 712
102 000
144 549
484 869
3 094 130
1997
2 860 862
109 360
148 327
435479
3554028
1998
3 289 705
115 360
152 859
408508
3966432
1999
3 160 673
114 105
154 258
458315
3917351
2000
3 318 708
118 668
157 174
514195
4108745
2001
3 484 644
124 602
160 146
576888
4346280
2002
3 658 876
130 832
163 176
647225
4600109
2003
3 841 819
137 374
166 363
626 137
4 771 639
Sumber: CIC, (1999) Peluang pasar yang besar tersebut perlu ditangkap, baik melalui perluasan areal maupun peningkabn produktivitas dan efisiensi perkebunan serta industri kelapa sawit di Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, semua pihak yang terlibat dalam agribisnis kelapa sawit muiai dari petani, pengusaha perkebunan, industri kelapa sawit dan pihak-pihak yang terkait harus dapat berperan aktif terutama dalam menerapkan teknologi-teknoiogi baru yang lebih baik dan lebih
eftsien. Pemerintah perlu memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan yang
dapat mendorong pengembangan industri kelapa sawit termasuk menyediakan sarana dan prasarana. Berdasahn sejarah perkembangan kelapa sawit negara-negara produsen,
bersamaan dengan prduksi yang akan datang. Gambar 1 menunjukkan suatu gambaran keseluruhan produksi minyak sawit oteh negara-negara produsen utama,
17 Nigeria, Indonesia dan Malaysia. Peneliian yang dilakukan Oil Wodd menunjukkan pduksi kdapa sawit Indonesia akan melampaui produbi Malaysia menjelang
tahun 2010. Setdah itu Indonesia akan terus rnenjadi produsen terbesar kelapa
sawit dunia.
0
1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020
Tahun Gambar 1. Produksi kelapa sawit dunia (Oil World, 1998)
2.3. Aspek Teknologi lndustri Ada h k r a p a tekndogi terkini yang diharapkan dapat mninghtkrm produktlvitas dan efisiensi industri kelapa sawit Indonesia, Paket-paket tebologi tersebut tehagi dalam kberapa bidang antara lain pemuliaan tanaman, budidaya tanaman, mekanisasi dan rnodemisasi, teknologi proses poduksi CPO, pengolahan
dan pemanfaatanPmbah, dan pengembangan produk behasis minyak sawit. 2.3.1. Pemuliaan Tanaman
Pada dasamya ada tiga program perbaikan bahan tanaman ketapa sawit yaitu peningkatan pduklidivitas minyak sawit mentah (CPO) melalui persilangan dan
kuItur jaringan serta pehaikan prodWivitas minyak inti sawit (PKO) melalui
18
persilangan.
Pusat Penelitiiian Kelapa Sawit (PPKS Medan, 2000) telah
menghasilkan varietas-varietas barn dengan kenaikan produktivitas CPO tertinggi
sebesar 41% (7,54 tonlhaltahun) atau 31.4 ton TBSlhaltahun yaitu Klon D x P yang dihasilkan dengan teknik kultur jaringan, tingkat produksi minyak inti sawit 0,8 - 1 tonlhaltahun. Peningkatan produksi minyak kelapa sawit juga diharapkan melalui penggunaan bahan tanaman yang seragam. 2.3.2. Budidaya Tanaman
a. Teknik Underplanting Teknik underplanting adalah salah satu teknik dalam melaksanakan penanaman kelapa sawit dengan menyisipkan tanaman baru di antara tanaman tua. Penerapan teknik underplanting memberi keuntungan, yaitu tetap berproduksinya kelapa sawit yang akan diremajakan selama 2 sampai 3 tahun pada areal TBM, sehingga tidak tejadi masa kevakuman produksi pada areal peremajaan tersebut. Hasil analisis ekonomi PPKS, Medan (2000), menunjukkan bahwa pada TM-4 penerapan teknik underplanting memiliki nitai kini bersih (NPV) 1.5 sampai 3 kali lebih tinggi dibandingkan cara konvensional. b. Tanah dan Agroklimat
Hasil penelitian PPKS Medan (2000) menunjukkan bahwa aplikasi limbah cair secara nyata meningkatkan rerata bobot tandan (RBT).
Sampai dengan
semester 1 1999, aplikasi limbah cair dapat meningkatkan RBT dari 30,2 menjadi
32,2kg per tandan dan jumlah tandan dari 3,7 menjadi 4,4 tandanlpohodsernester. Penambahan kompos tandan kosong sawit (TKS) dapat meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK), pH, dan ketersediaan hara seperti N, P, K dan Mg. c. Proteksi Tanaman PPKS Medan (2000), telah berhasil memanfaatkan mikroorganisme
entomopatogenik seperti virus P Nudaurelia, multiple nucleopolyhedmvirus (MNPV) dan jamur Cordyceps aK militaris untuk pengendalian hayati terhadap ulat api S.
19
asigna. Hasit penelitian ini menunjukkan bahwa mikroorganisrne entomopatogenik
tersebut rnerupakan sarana pengendalian hayati terhadap ulat S. asigna yang
efektif, efisien dan aman terhadap tingkungan sehingga dapat rnengurangi atau menggantikan pertggunaan insektisida kimia sintetik. Penggunaan feromon mampu memerangkap kumbang jantan dan ktina. Sebanyak 158 kumbang telah ditangkap selama empat minggu dengan rnenggunakan tujuh perangkap. d. Optirnasi ~atnenfaatanLahan
Penanaman tanaman sela secara tumpang sari, baik tanaman pangan Uagung) dan jati super. Tumpang sari ternak dornba sudah terbukti meningkatkan pendapatan pekebun (PPKS Medan, 2000).
Hasil penelitian Gunawan (19%)
menunjukkan penerimaan dari hasil temak domba di perkebunan kelapa sawit sebesar 13 sampai 16,6 % dari hasil usaha tani.
e. Mekanisasi dan Moderniasi PraMek mekanisasi adalah untuk meringankan beban kerja, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, mengurangi kebutuhan tenaga kerja dan unit biaya. Di
Indonesia dengan tenaga kerja murah dan banyak, rasio tanaga kerja : lahan adalah 1 : 5 ha. Rasio tenaga kej a dengan lahan untuk operasi kebun di Malaysia sudah
rneningkat dari 1 : 7 ha pada tahun 1980-an hingga 1 : 10 ha tahun 1990-an. Malaysia akan mengernbangkan mekanisasi secara baik, dengan rasio tenaga kerja dengan Lahan 1: 15 ha tahun 2000 dan 1 : 20 ha pada tahun 2005 (Jalani, 1998). 2.3.3.
Teknologi Proses Produksi CPO CPO merupakan salah satu p d u k olahan primer kelapa sawit.
Prinsip
pengolahan kelapa sawit adalah mengekstraksi minyak yang ada dalarn mesokarp dan memisahkan inti kelapa sawit dari cangkang yang menyelimutinya.
20
Menurut Purwanto (1997) proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO terdiri atas rangkaian proses sebagai berikut: Proses Penerimaan Buah. Penerimaan buah terdiri dari dua aktiv-hs utama yaitu penimbangan dan penampungan sementara TBS. Penimbangan dilakukan
untuk mengetahui berat buah agar dapat ditentukan perkiraan volume produksi, biaya transportasi, upah pekerja dan produktivitas tanaman.
TBS yang telah
ditimbang dibongkar dalam loading ramp sebagai tempat penampungan sernentara. Proses Perebusan (sterilisasi). Perebusan dilakukan untuk menonaktifkan
enzim-enzim lipase yang menyebabkan kerusakan buah melalui reaksi enzimatik,
memasak buah agar lebitr mudah untuk dibrondolkan dalam proses selanjufnya, melepaskan brondolan buah dari tandannya dan untuk mempersiapkan inti sawit dalam biji cukup masak hingga mudah dipisahkan dari cangkangnya. Proses Penebahan.
Proses penebahan bertujuan untuk memisahkanl
memberondolkan buah dari tandannya, sehingga memudahkan proses pelurnatan dan ekstraksi minyak dari buah. Pernipilan dilakukan dalam drum pemipil yang dikontrol frekuensi putarannya agar buah dapat membrondol maksirnal. Proses Pelumatan dan Ekstraksi Minyak. Pelumatan buah kelapa sawit
dilakukan dalam bejana pelumat yang dilengkapi dengan impeler untuk membantu
proses pemisahan daging buah dari biji. Hasil lurnatan k r u p a adonanlmassa padat yang terdiri dari minyak, cairan, serabut dan biji. Pelumatan juga berfungsi merusak 4
dinding sei dan melepaskan minyak.
Ekstraksi dilakukan secara rnekanik menggunakan screw pa. Screw
press
mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan kempa sistem
hidrolik, seperti kapasitas olah yang lebih tinggi, kebutuhan operator sedikit,
kebutuhan tenaga rendah (Naibaho, 1998).
Proses PernurniaMarifikasi Minyak. Hasil pengepresan berupa campuran minyak-air dengan perbandingan W 5 % minyak dan 45-5596 air, kotoran dan
21
pasir. Proses kelarifikasi untuk memisahkan minyak, air dan Sludge. Klarifikasi
dilakukan dabm dua tahap, yaitu klarifikasi statis dan klarifikasi dinamis. Klarifikasi statis mengandalkan gravitasi alami berdasarkan perbedaan k w t jenis minyak, air
dan kotoran serta dibantu obh perlakuan panas. Klarifikasi dinamis dilakukan dengan prinsip sentrifugasi yaitu memutar
rnassa cair dalam suatu wadah tertutup yang dapat rnenimbulkan gravitasi buatan sangat besar, sehingga proses pemisahan berlangsung sangat cepat dengan
tingkat efisiensi yang tinggi, Melalui proses klarifikasi dinamis ini, kadar kotoran ditunrnkan sampai 0,10,3% dan kadar air 0,5-0,7%. Minyak kemudian dikeringkan dalam vacuum dryer untuk menurunkan kadar air sampai 0,10% dan kadar kotoran 0,01%. sebelum dialirkan ke tangki penimbun.
Sludge diolah pada sludge separator untuk mengambil kembali minyak yang terbawa dalam sludge. Minyak yang berhasil dipisahkan dialirkan kembali ke tangki
klarifikasi dan padatan diendapkan dalam fat fit sebelurn diolah di instalasi pengolahan limbah.
Proses pemisahan biji dan serabut. Pemisahan dilakukan dengan prinsip penghisapan berdasarkan perbedaan berat jenis, sehingga biji akan turun ke bawah dan dipoles dalam drum pemoles untuk menghilangkan serabut sisa.
Biji
seianjutnya diperam dalam nut silo selama 18-20 jam. Proses Pemecahan dan Pemisahan Inti. lnti hasil pemeraman d i p d k a n dalam nut cracker &tau ripple mill sebelum dipisahkan antara inti dan cangkangnya. Efektivitas pemecahan tergantung pada suhu biji, waktu pemeraman, pengkerutan biji dan kadar airnya.
Pemisahan cangkang dari inti menggunakan prinsip
penghisapan berdasatkan perbedaan berat jenis. lnti yang mempunyai berat jenis lebih besar akan jatuh ke kernel silo sedangkan dngkang terhisap dan diiunakan
sebagai bahan bakar boiler.
22
Kehhasilan proses pengolahan rninyak sawit sangat tergantung pada Mneija masing-masing baqian dan peralatan. Suplai uap sangat bemngaruh pada
kebefiasilan proses sterilisasi, pelurnatan, pengepresan dan proses klarrfikasi.
Proporsl penambahan air hams disesuaikan dengan standar pada masing-masing proses.
Penambahan air yang kurang dari standar dapat mengurangi kineja
ekstrabi dan pernumian minysk, sedangkan penambahan air yang berlebihan menyebabkan proses klarifikasi menjadi tidak efektii.
2.3.4. Teknologi Pemanfaatan Limbah darr Hasil Samping Mesin perajang petepah kelapa sawit (Perajang PLS) dirancang untuk dapat mencacah pelepah kelapa sawit langsung di areal kebun.
Kapasitas mesin
sebesar 6 ton PLSljam dengan tenaga penggerak sebuah genefator. Ukuran hasil rajangan pelepah kelapa sawit adalah 3 - 5 cm (standar mutu bahan baku pulp dan
kertas), untuk papan partikel, produk panel dan lain-lain. PPKS Medan juga telah berhasil merancang bangun alat perajang tandan kosong sawit (TKS). Kapasitas mesin sebesar 6 ton TKwam. Mesin perajang TKS
berguna unhrk penanganan limbah TKS dan persiapan bahan baku dari TKS untuk produk-produk berbasis serat.
Reaktor Anaerobik Unggun Tetap (RANUT) hasil rancangan PPKS Medan
dapat meningkatkan efrsiensi perombakan bahan organ& dalam limbah cair pabrik
keiapa sawit (LCPKS) sampai dengan 30 bli lipat dan limbah yaw temlah -dapat
langsung digunahn untuk aplikasi lahan. Aplikasi teknologi pada industri sawit mernungkjnkan tempainya zem wasb dan zem edsi yang merupakan satu aspek pada implementasi produksi bersih. Potensi masingmasing limbah tersebut menurut Pamin. Damoko dan Guritno (Warta PPKS, 1995. Vol3 (2): 47-53), disajikan pada Tabel 6 .
23 Tabel 6. Potensi limbah kelapa sawit Kandungan
Jenis Limbah
No 1
Limbah cair
1 m3/tonTBS
2
Tandan kosong sawit
0,2 ton basahlton TBS
3
Serat buah
0,13 ton keringlton TBS
4
Cangkang
0,05 ton keringttonTBS
5
Pelepah
10,5 ton keringlhaltahun
6
Batang sawit
I
70 ton keringlhal25 tahun 1'
2.3.5. Agrotndustri Hilir
Minyak sawit selain unggul dalam harga yang relatif murah dan ketersediaan yang melimpah, juga unggul daiam ha1 nilai gizi mayor (kandungan asam lemak
jenuh dan tak jenuh yang seimbang), gizi minor (kandungan vitamin A dan E yang
sangat tinggi), serta kemudahannya diolah menjadi beragam praduk pangan.
Beragam prcduk pangan yang telah berhasil dikemhangkan di PPKS Medan antara lain berikut ini: I)minyak makan merah adalah minyak alamiah hasil pengokhan lanjut pada
agroindustri hilir dari CPO.
Minyak makan merah merupakan minyak makan
yang kaya dengan karoten (provitamin A,
- 440 ppm), sekaligus kaya dengan
vitamin E (- 500 ppm). Keduanya s e a m ilmiah terbukti sangat esensial untuk kesehatan, sistem kekebalan tubuh, anti-oksidasi, penundaan penuaan dan pencegahan kanker, 2)
minyak makan merah dapat diolah menjadi margarine merah. Margarine merah ini memiliki keunggulan nutrisi dan kesehatan yang behiitan dengan keberadaan minyak sawit merah yang dikandungnya,
3) minyak inti sawit dapat digunakan sebagai pengganti lemak susu karena kesamaan sifat-sifatnya dan telah berhasil rnemperkaya minyak inti sawit dengan konsentrat asam lemak omega9 dari minyak ikan,
24
4)
memproduksi susu kental manis dengan minyak inti sawit kaya omega-3,
5)
mendapatkan formula vanaspati sawit (palm ghee) yang setara dengan vanaspati komersial dengan bahan baku minyak olein, stearin dan minyak inti sawit. PPKS Medan (2000),juga telah menghasilkan beberapa produk non-pangan
yaitu: 1) teknologi pembuatan plasticiser yaitu epoksi RBDPO (dad refined bleached
deodoratibn palm oil), epoksi metil ester dan butil asetoksi stearat dari asam Iemak sawit. Epoksi RBDPO dan epoksi metil ester dapat berfungsi sebagai
plasticiser sekaligus stabiliser, sementara butil asetoksi stearat lebih berperan sebagai plasticiser saja. Keunggulan plasticiser dari minyak sawit adalah lebih
aman, mudah terbiodegradasi dan tidak beracun,
2)
diversifikasi minyak sawit telah berhasil mengembangkan biodiesei dan pelumas dari minyak sawit,
3)
bioemollient untuk bahan baku kosmetik, sebagai pelanit parfum, ultraviolet filter, dan liquid foundation,
4)
produk emulsifier dan surfaktan, antara lain propilen glikol ester dan sukrosa ester,
5)
sabun rmandi transparan yang dihasilkan mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan jenis sabun lainnya, yaitu penampakannya lebih berltilau dan busa yang dihasilkan lebih lembut di kulit,
6)
lilin berbahan baku asam kmak sawit yang disebut dengan bio lilin. Bio lilin
mempunyai kelebihan antara lain ramah lingkungan, tidak berasap dan retatif lebih keras. 2.4.
Kemitraan Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor: 4 tahun 1997 pasal 1, kemitraan adalah kerjasama
25
usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling rnemerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Kemitraan ditujukan untuk menumbuhkan, meningkatkan
kemampuan dan meningkatkan peranan usaha kecil dalam perekonomian nasional, khususnya dalam mewujudkan usaha kecil sebagai usaha yang tangguh dan
mandiri, yang mampu menjadi tulang punggung dan mampu mernperkokoh struktur perekonomian nasional.
Kemitraan usaha dalam bidang pertanian merupakan
suatu jurus untuk mewujudkan pertanian modern yang bemrientasi pada agribisnis dan agroindustri yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas surnberdaya melalui peningkatan volume dan kualitas usaha dan meningkatkan kualis sumberdaya terutama pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun dan usaha
kecil datam bidang pertanian. Melalui kemitraan juga diharapkan tejadi alih pengetahuan, keterampilan penguasaan teknik-teknik manajemen usaha dan teknolugi proses.
Adanya
bantuan dan bimbingan usaha besarlmenengah, pengusaha kecil dapat menerirna
dan mengadaptasi nilai-nilai baru dalam benrsaha. Lambat laun terjadi penrbahan kultur yakni dari nilai-nilai budaya agraris tradisional menjadi nilai-nilai baru yakni
nilai-nilai budaya rnasyarakat industrial seperti perluasan wawasan, prakarsa dan I
kreativitas, berani mengambil risiko yang telah diperkirakan, etos kerja,
kewiraswastaan dan
kemampuan penguasaan aspek-aspek rnanajerial dan
teknologi proses, bekerja atas dasar perencanaan dan bewawasan kedepan.
Menurut Diden lndustri Primer dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen
Pertanian (20001, azas kemitraan yang dikembangkan haruslah menjamin terciptanya suasana keseimbangan, keselamsan dan keterpaduan dengan rincian sebagai berikut:
(1) kedudukan antara pekebunlkelompok pekebun dengan
pengusahal8UMN haruslah sama, (2) saling percaya mempercayai, dalam arti bahwa aturan main dapat dipegang teguh oleh kedua b l a h pihak, (3) salng
26 menguntungkan, baik untuk koperasi pekebun maupun pengusaha dalam arti
pelaku
agribisnis
yang
melakukan
kemitraan
secara
proporsional
rnengembangkanlmeningkatkan nilai tambah pihak-pihak yang bermitra, (4) saling
memegang dan mematuhi etika bisnis kemitraan, dalam arti aturan main dapat dipegang teguh dan dipatuhi oleh kedua b l a h pihak yang bermitra dan (5) saling
membina dan mendidik. Usaha perkebunan kelapa sawit masih diternui berbagai kendala antara lain belum sinerginya kegiatan hulu-tengah dan hilir. Para pelaku usaha perkebunan
yang krada di tengah dan hilir (industri pengolahan dan pemasaran) pada umumnya memiliki potensi menghasilkan nilai tambah dan meraih keuntungan yang lebih tinggi dibanding dengan pelaku hulu (pekebun). Para pekebun baru dapat menikmati nilai tambah dari kegiatan usaha tani dan belum dapat rnenikmati nilai tambah dari kegiatan industri pengoiahan dan pemasaran, disamping itu para pekebun rnenanggung risiko dan ketidakpastian yang relatif tinggi dibanding dengan pelaku industri pengolahan dan pemasaran. Untuk itu diperlukan kebijakan yang memberikan peluang pernbagian nilai tambah yang adil antara hulu-tengah dan hilir agar usaha perkebunan dapat berkelanjutan. Dalam era reformasi ini, pemerintah dalam ha1 ini Dijen Perkebunan,
Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, (1999)
menginginkan koperasi
mendapatkan kesempatan yang sama dengan perusahaan (PBS dan PBN) untuk memasuki atau menangani bidang usaha yang margin keuntungannya tinggi seperti industri pengolahan produk perkebunan dan pemasaran.
Sehubungan dengan perihal tersebut, untuk memberdayakan pekebun melalui koperasi pekebun dapat mengembangkan usahanya di bidang agroindustri kelapa sawit dengan sistem kemitraan usaha.
Kemitraan usaha dapat
meningkatkan efisiensi, efektwitas dan prduktwitas usaha.
27
Pengernbangan pola kernitraan usaha antara koperasi dengan mitra usaha
(BUMN dan swasta) dapat dilakulran melalui kajian terhadap pola kernitman usaha
yang telah ada rnaupun pola-pola kemitraan usaha yang mungkin diterapkan. Kemitraan sub sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit dengan pola PIR telah banyak memberikan hasil yang positif, antara lain berupa peningkatan
pendapatan pekebun, menambah lapangan keja. serta peningkatan produksi perkebunan sebagai penghasil devisa (Lembaga Penelitian IPB, 1997). beberapa ken&
Ada
dan pertnasalahan yang dijumpai antara lain: penetapan harga
dan sistem pembayaran tandan buah segar (TBS), distribusi risiko, dan distribusi manfaat atau keuntungan yang masih merugikan pekebun plasma. Kemitraan usaha yang selama ini dilakukan di Indonesia meliputi berbagai
pola, antara lain adalah: (1) Pola Inti-Plasma, (2) Subkontrak, (3) Waralaba, dan (4) Pola Dagang Biasa.
Namun sangat sediki yang berbasil rnemperkuat sistem
integrasi vertikal komoditas yang diusahakannya.
Beberapa ha! yang dapat
diidentifikasi sebagai penyebab kegagalan sistem kemitraan yang telah dilakukan selama ini dipaparkan berikut ini (Sa'id, 2001) : 1) kemitraan yang terbentuk antara pengusaha b s a r dan UKMK (Usaha Kecil
Menengah dan Koperasi) tidak didasarkan pada prinsip saling membutuhkan. Misalnya BUMN Pertamina membentuk kemitraan dengan usaha kerajinan, sehingga masing-masing tidak memiliki ikatan usaha yang dapat menumbuhkan hubungan saling membutuhkan, 2) kemitraan yang terbentuk tidak disertai dengan prinsip keadilan distribusi nilai
tambah dalam suatu sistem komoditas. Misalnya, kemitraan PIR kelapa sawit, nilai tambah yang tercipta
dalam sistern komoditas kelapa sawit yang
diusahakan diambil oleh agroindustri, sedangkan pekebunnya hanya rnenikmati
bagian nilai tambah yang kecil dari usaha kebun,
28 3) kemitraan yang terbentuk tidak disertai dengan prinsip transfer pengetahuan
dan pengalaman, sehingga tidak terdpta suatu sistem pembinaan yang mampu menjamin peningkatan profesionalisme pengusaha kedl yang menjadi mitrsnya, 4) kemitraan yang terbentuk tidak didasarkan pada prinsip bisnis, tetapi lebih
terpaksa kepada memenuhi kewajiban yang digariskan oleh pemerintah, 5) kemitraan yang terbentuk seringkali hanya sekedar sebatas rencana dan M U ,
tetapi implementasinyatidak mampu direalisasikan sesuai dengan harapan, 6) kemitraan yang terbentuk hanya sekedar jargon politik, jargon prestise
'pengusaha besar untuk publikasi, sehingga kemitraan yang terbentuk seringkali terbukti hanya sebatas untuk seremonial saja, dan
7) kernitraan yang terbentuk hanya didasarkan pada paradigma yang sempit yaitu
hanya sekedar
untuk membagikan bantuan dana kepada UKMK tanpa
pertanggungjawabanpenggunaannya. Hal ini sangat tidak mendidik masyarakat untuk merniliki kernampuan dalam merencanakan dan memperbaiki masa depannya. Pada masa yang akan datang kernitman yang dibentuk harus mampu
menghindari praktek-praktek tersebut. yang tidak menciptakan nilai tambah dari pengobanan dana, waktu clan tenaga untuk membangun suatu kemitraan. Oleh
karena itu, untuk membangun kemitraan atas dasar prinsip bisnis yang saling menguntungkan meropakan pengejawantahan dari kebewamaan berusaha, bertumbuh dan berkembang bersama, serta keadilan dalam pernbagian nilai tambah. Pola-pola kemitraan yang dikenal selama ini (seperti Pola PIR, Bapak-Anak Angkat, Subkontrak) telah banyak dilakukan, meskipun tidak sedikit yang mengalami kegagalan. Agar kemitraan yang terbentuk sukses sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan prinsip-prinsip kemitraan, yaitu saling ketergantungan dan saling membutuhkan, saling menguntungkan, memiliki transparansi, rnemiliki azas
29
formal dan legal, melakukan alih pengetahuan dan pengalaman, mebkukan pertukaran informasi, penyelesaian masalah dan pembagian keuntungan yang adil. Sa'id (2001) memaparkan prinsip-prinsip kemitraan tersebut berikut ini: 1)
prinsip saling ketergantungan dan saling membutuhkan lebih mudah diwujudkan apabila kemitraan dibentuk untuk memperkuat integrasi vertikal
Misalnya, kemitraan antara industri pengalengan
suatu sistem komoditas.
nenas dengan para petani nenas (asosiasi petani nenas) di sekitar bkasi
industri. Para petani membutuhkan industri pengalengan untuk menyerap pmduknya. Sebaliknya, industri pengakngan membutuhkan para petani nenas sebagai pemasok bahan baku industrinya, 2)
prinsip saling menguntungkan antar para partisipan kemitraan yang tidak diperhatikan sering menjadi penyebab kegagalan integrasi vertikal yang dicitacibkan. Salah satu pihak mengeksploitasi pihak lainnya, dan kemitraanpun tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan,
3)
prinsip transparansi merupakan salah satu kunci suksesnya sistem kemitraan, sehingga tidak terdapat saling curiga antara para partisipan. Semua partisipan haws
dapat
mengakes
informasi-informasi
yang
dibutuhkan
untuk
memperkokoh fondasi kemitraan, 4)
suatu kemitraan hams dibentuk berdasarkan perjanjian dan kesepakatan bersama dari semua partisipan, sehingga memenuhi prinsip formal dan legal.
Prinsip tersebut merupakan pengikat yang berkekuatan hukum bagi para partisipan kemitraan.
Apabila terdapat perselisihan yang tidak dapat
disebsaikan dengan cara musyawarah, maka dapat ditempuh jalur huhum. Prinsip tersebut menjadi jaminan perlindungan hukum bagi semua partisipan kemitraan, 5)
prinsip alih pengetahuan dan pengalaman terutama ditujukan untuk pembinaan UKMK yang menjadi partisipan kemitraan, sehingga operasi dan produknya
30 dapat memenuhi standar yang telah ditentukan Misalnya, pernbinaan dalam
ha1 kemampuan manajerial, pengawasan mutu produk, dan keterampilan teknis,
6 ) prinsip pertukaran informasi diterapkan, baik untuk bidang produksi, mutu, pasar dan pemasaran, maupun informasi lainnya yang berguna bagi peningkatan kinerja dan integritas kemitraan,
7)
prinsip keadilan, terutama dalam ha1 distribusi pembagian nilai tambah yang tercipta dari operasi kemitraan harus dapat terdistribusi ke seluruh partisipan kemitraan berdasarkan pangsa sumberdaya yang diberikan untuk rnenciptakan nilai tambah tersebut. rnenyebabkan
Ketimpangan dalam pembagian nilai tambah akan
kecemburuan
sosial
antar partisipan,
sehingga
akan
menghancurkan kemitraan yang telah dibentuk,
8)
kemitraan yang terbentuk harus dapat menjadi sarana untuk saling
memperkuat dan saling melengkapi antar para partisipan kemitraan. Kemitraan tersebut harus membentuk akurnulasi kekuatan yang lebih k s a r dari penjumlahan kekuatan masingmasing partisipan dan dapat membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi partisipan, yang sulit diselesaikan dengan hanya menggunakan kekuatan sendiri, 0)
prinsip pemahaman hams mampu mernberikan dorongan agar masing-masing partisipan memahami wewenang dan tanggung jawabnya, serta hak-haknya, baik yang bersifat positif (apa yang dilakukan) maupun yang bersifat normatif
(apa yang sebaiknya dilakukan), 10) para partisipan harus mampu dan mau melakukan proses belajar, terutama ditujukan untuk memperbaiki integritas sistem komoditas secara berketanjubn. Proses belajar diyakini rnampu meningkatkan dinamika operasional dan manajemen internal para partisipan,
31 11) kemitraan yang terbentuk hams dilembagakan, sehingga nilai-nilai dan noma-
norma kelembagaan dapat menjadi pengikat bagi para partisipan, 12) kemitraan yang terbentuk haws dapat dikelola dengan menerapkan fungsi-
fungsi
manajemen
yang
meliputi
perencanaan,
pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pengendalian. Prinsipprinsip kemitraan tersebut di atas harus menjadi pedoman dalam
pembentukan dan operasi kemitraan, sehingga semua partisipan dapat menikmati manfaat dari kemitraan yang dikntuknya.
Oleh karena itu dalam penelitian ini diharapkan suatu kemitraan usaha Pola Mini Agroindustri Kelapa Sawit benar-benar memenuhi prinsip-prinsip kernitraan usaha yaitu saling menguntungkan, saling memperkuat, saling memerlukan dan adanya distribusi risiko dan manfaat yang proporsional antara pekebun melalui koperasi dengan investorlperusahaan.
2.5. Sistem Penunjang Keputusan
Menurut Eriyatno (1999) pendekaan secara sistem dalam pengambilan keputusan sering dikenal dengan istilah Sistem Penunjang Keputusan (SPK) a&u
Decision Support System (DSS). SPK dimaksudkan untuk memaparkan secara mendetail elemen-elemen sistem sehingga dapat menunjang manajer dalam proses pengambilan keputusannya. Konsep SPK pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1970-an oleh
Michael S. Scoot Morton dengan istilah Management Decision System (sistem penunjang manajemen). Terminologi SPK menurut Minch dan Bum (1983) dalam
Eriyatno (1999) adalah konsep spesifik sistem yang menghubungkan komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya. Suryahadi (1994) mendefinisikan SPK adalah sistem krdasarkan komputer yang interaktif,
yang membantu pembuat keputusan dalam menggunakanatau memanfaatkan data
32
dan model untuk memecahkan masalah yang tidak terstruktur. Karakteristik pokok yang melandasi teknik SPK adalah: 1) interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan, 2) dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap ganda,
3) suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, anbra Lain ilmu
komputer, psikologi, inteligensia buatan, itmu sistem dan ilmu manajemen, dan 4) mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan
berevotusi menuju sistem yang lebih bermanfaat, Alter Keen dalam Suryahadi (1994) menambahkan, SPK memiliki sifat
meliputi:
1) ia cenderung ditujukan untuk masalah yang belurn ditetapkan dan kurang terstruktur yang biasanya dihadapi oleh manajer tingkat atas, 2) ia berusaha mengkombinasilran penggunaan model atau teknik analitis yang
memiliki akses data tradisional dan fungsi pemanggilan data, 3) ia khususnya difokuskan pada bentuk yang memudahkannya untuk digunakan
oleh orang non-kornputer dalam model interaktif; dan 4) ia menekankan fleksibilitas dan daya adaptasi guna rnengakornodasi perubahan
dalam lingkungan dan cara pembuatan keputusan yang dilakukan oleh pernakai. Dalam SPK dikenal istilah kriteria dan alternatif.
lstilah kriteria dapat
digunakan untuk menggarnbarkan tujuan dari sistem serta sebagai basis datarn merancang bangun dan rnengembangkan sistem. lstilah alternard adalah suatu kemungkinan tindakan yang harus diambil dan dipilih agar diperoleh hasil yang terbaik serta sesuai dengan keinginan sistem. Konsep dari ranMng bangun dan pengembangan SPK terdiri dari tiga elemen utama (Eriyatno, 19991, yaitu: 1) pengoptimalan kriteria dalam merancang bangun sistem,
2) proses rancang bangun sistem secara total, dan
3) proses ranmng bangun sistem secara mendetail.
Teknik SPK dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dari pengambil keputusan dari pada efisiensi. Efektivitas mencakup kegiatan apa yang seyogyanya dikerjakan dan menjamin bahwa kriteria yang terpilih adalah yang mempunyai
relevansi dengan tujuan (Eriyatno, 1988). Menurut Eriyatno, (1988) aplikasi dari SPK baru dikatakan bermanfaat apabila terdapat kondisi sebagai berikut: 1)'eksistensi
dari
basis
data
yang
sangat
besar
sehingga
sulit
mendayagunakannya, 2) kepentingan adanya transforrnasi dan komputasi pada proses mencapai
keputusan, 3) adanya keterbatasan waMu, baik dalam penentuan hasil maupun dalam
prosesnya, dan 4) kepentingan akan penilaian atas pertimbangan aka1 sehat untuk menentukan
dan mengetahui pokok permasalahan, serta pengembangan alternatif dan pemilihan solusi.
Model konsepsional dari SPK merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu:
(a) para pengambil
keputusanlpihak pengguna (user),(b) model dan (c) data. Struktur dasar SPK disajikan pada Gambar 2. Sistem Manajemen Dialog adalah satu-satunya sub-sistem yang berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utamanya adalah
menerima input
dan
memberikan output yang dikehendaki pengguna. Sistem ini mempunyai pilihan modus dari interaksi dengan pengguna, misalnya format tabel, bentuk penyajian graf~sdan sebagainya. Sistem Pengolahan Problematik adalah koordinator dari pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima input dari
ketiga sub-sistem lainnya dalam bentuk baku, seda menyerahkan output ke sub
sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula,
Fungsi utamanya adalah
sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkain antara sub-sistem.
1
I
Sistem Manajemen Basis
Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)
Data (DBMS)
A
4
v
v
Sistem Manajemen Dialog I
I DSS
1
I Pengguna
Gambar 2. Struktur dasar SPK (Eriyatno, 1999) 2.6. Pengembangan Kelembagaan
Nasution (1999) rnendefinisikan kelembagaan adalah suatu sistem
organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya yang sekaligus mengatur hubungan antara seorang dengan lainnya. North (1991) mengemukakan bahwa kelembagaan
adalah aturan main dalam suatu masyarakat. Ruttan dan Hayami yang dikutip oleh Arkadie (1990) mendefinisikan kelembagaan adalah seperanglrat aturan (rules) suatu masyarakat atau organisasi untuk memudahkan koordinasi antar orangaxing untuk memperoleh harapan mereka masing-masing serta layak dari suatu kegiatan
tertentu.
35
Saffer dan Schmid di dalam Pakpahan (1989) menyatakan bahwa suatu kelembagaan rnempunyai tiga unsur pakok, yaitu 1) batas yurisdiksi, 2) aturan
representasi (the ru/e of repmsentation),dan 3) hak pemilikan. Dalam penelitian ini ditelaah bagaimana sistem kemitraan usaha pola mini agroindustri kelapa sawit
memberikan kontribusi manfaat pada masing-masing pihak, aturan main dan peranan masing-masing pihak yang bermitra. Peranan utama kelembagaan dalam suatu masyarakat adalah untuk mengurangi keiidaktentuan dengan menentukan suatu struktur yang stabil bagi
interaksi manusia. Stabilitas kelembagaan itupun dapat saja berubah menurut waktu. Perubahan tersebut merupakan suatu proses yang rumit dan merupakan konsekuensi dari
adanya perubahan-perubahan dafam aturan-aturan dan
sebagainya. Karena kelembagaan dapat berubah. maka krarti secara kontinyu akan mengubah pilihan-pilihan yang tersedia bagi manusia dalam rnasyarakat.
Pengembangan kelembagaan merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan hubungan antara orang-orang dalam rnasyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang dikehendaki. Secara umum tujuan pengembangan kelembagaan adalah untuk mencapai
derajat pemenuhan kebutohan manusia dengan cara yang lebih baik dalam arti
adanya alokasi sumberdaya secara efisien dan efektif yang dapat diteiima oleh semua kelompok masyarakat secara adil. Secara spesifik mampu sebagai (1) wahana akses secara adil terhadap input faktor, (2) mampu memberikan aturan
main dan acuan secara adil bagi setiap pelaku dalam kelembagaan tersebut guna mencapai efisiensi dan elektfis yang tinggi dalam alokasi sumberdaya kepada semua unsur yang terlibat, (3) mampu mendistribusikan hasil proses pemanfaatan
sumberdaya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (Nasution, 1999). Ini berarti
bahwa tujuan dari pengembangan kelembagaan adalah untuk memberikan peranan
36
yang lebih besar dan seimbang bagi sernua unsur yang terlibat dalam setiap proses
pengambilan keputusan.
Menurut Nasution (1899), terdapat paling tidak tga ahernatif dalam mendukung upaya-upaya pengembangan kelembagaan (lokal), yaitu bantuan
(assistance), fasilitas (facilitation) dan promosi (promotion). Sebelum suatu proses pengembangan kelembagaan dilakukan, sebaiknya menganalisa terlebih dahulu tentang kelembagaan yang sudah berlaku dalam masyarakat. Setelah memahami
dan menganalisa tentang existing institutions, maka barulah dapat merencanakan
metode mana yang akan digunakan dalam pengembangan kelembagaan yang akan dikembangkan. Apabila kelembagaan lokal (local government, private enteprise) di
pedesaan berfungsi kuat dan dapat mengidentifikasi kebutuhan dan permasatahan, maka bantuan dari pihak luar yang sesuai bagi pengembangan kelembagan lokal
adalah bantuan.
Apabila kelembagaan lokal masih lernah dan belum
berpengalaman yang berarti kemampuan untuk mengambil inisiatif masih lemah,
maka peranan dari pihak luar untuk mengembangkan kelembagaan lokal yang dernikian adalah dalam bentuk fasilitasi. Dalam kasus dimana kelembagaan lokal
masih sangat belum berkembang (local institutions are underdewIopment), maka strategi untuk mengembangkan kelernbagaan lokal, adalah melalui cara promosi. Artinya, pada tahap awal pihak luar haruslah memiliki petanan yang pro-akti dalam
menumbuhkan kemarnpuan kelembagaan kkal. Untuk menentukan tolok ukur keberhasilan adalah adanya perubahan norma dan prilaku pada masyarakat yang menjadi sasaran pengembangan kelembagaan
yang
dimaksud.
Tingkat
penerimaan masyarakat dalam
pengembangan
kelemhagaan sangat tergantung dati seberapa jauh pengembangan tersebut dapat
memuaskan semua unsur masyarakat. Apabila masyarakat memperoleh kepuasan dengan adanya pengembangan tersebut, maka akan diikuti oleh partisipasi
37
masyarakat s e r a berkesinarnbungan.
Selain itu, tolok ukur keberhasibn
pengembangan kelembagaan dalam perspektiif ekonomi adalah dipenuhinya Pareto
Improvement yaitu perubahan dapat berlangsung lama manakala terdapat sekelompok masyarakat yang diuntungkan dan tidak ada sekelompok masyarakat
yang dirugikan. Hal ini akan menjamin keputusan partisipatif dan demokratis. Dengan peran serta masyarakat, pembangunan setempat (lokal) akan dijamin keberlanjutannya (Nasution, 1999). 2.7. Penelltian Terdahulu Berikut ini disajikan beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini antara lain: Hasil penelitian Suratman et al. (1997), pengembangan kemitraan dalam
agribisnis kelapa sawit sangat potensial dan prospektif untuk dilanjutkan. Faktorfaktor yang mendorong pelaksanaan pola kemitraan, yaitu: motivasi plasma untuk meningkatkan pendapatan, pemahaman plasma terhadap pola kemitraan, hornogenitas kepemilikan tanah, kemauanfttikad perusahaan inti untuk membangun plasma melalui kemitraan, kemampuan pemitra dalam memasyarakatkan pola kemitraan serta membina petani untuk melaksanakan pola tersebut, adanya sistem keuangan yang transparan dan mudah dipahami untuk pihak-pihak yang bermitra, besarnya dukungan pembina dan instansi terkait, dan karakteristik kornoditas
kelapa sawit yang tidak tahan lama dan memerlukan teknologi tinggi untuk pengalahan. Akan tetapi terdapat faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pola kemitraan, seperti heterogenitas plasma, konsolidasi tanah, banyaknya petani pasif, heterogenitas dalam pemlikan
luas tanah, ketidak-samaan persepsi tentang pola
kemitraan dari pelaku kemitraan, terbatasnya jumlah pemitra, sarana dan prasarana serta SDM, dan lemahnya kmrdinasi antam pembina.
Taib (2000) mengkaji pengembangan industri Crude Palm Oil skala kecil. Secara ekonomis industri CPO kapasitas 5 dan 15 ton TBS/jam layak untuk
38
diusahakan. Asumsi yang digunakan adalah harga dan pehitungan biaya produksi
berlaku pada bulan September 1999, yaitu harga TBS Rp 475/kg, harga CPO Rp 2 800/kg, harga kemei Rp I 8001kg,b i y a prduksi Rp 13 5 k g GPO. Hasil penetiiian Nasution (1997) menunjukan bahwa laba dan penerimaan
perusahaan inti lebih baik dibandingkan dengan kebun plasma dan harga TBS non PIR-Trans bbih tinggi dari harga TBS PIR-Trans.
Selain itu, disimpulkan bahwa
variasi pendapatan petani sangat besar dan masih banyak yang berada di bawah
kebutuhan fisik minimum. Penelitian terdahulu tentang rekayasa Sistem Penunjang Keputusan telah
banyak dilakukan antara lain: 1) Kustanto (1999) tentang SPK pengembangan agroindustri kelapa terpadu dengan m d e l AGRODEV, 2) Suswanto (2000) tentang model sistem rnanjemen ahl untuk perencanaan produksi mbai yang diberi nama CHIEXSYS, 3) Said Didu (2000) tentang rancang bangun SPK pengembangan
agroindustri kelapa sawit untuk perekonornian daerah dengan model GO-AGRO, 4) Agustedi (2001) tentang rekayasa model perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut orientasi ekspor dengan pendekatan wilayah, La Rianda (2001), tentang rekayasa sistem
pengembangan agroindustri perkebunan rakyat dengan
pendekatan wilayah dan Basdabella (2001) tentang pengembangan sistern agroindustri kelapa+sawitdengan pola perusahaan agroindustri rakyat.